Bab III Metodologi
BAB III METODOLOGI PERANCANAAN 3.1 Flow Chart Perencanaan Start Analisa Perbandingan Perkerasan Runway Bandara Minangkabau dengan Metoda CBR dan FAA
Landasan Teori & Tinjauan Pustaka Metodologi Perencanaan
Metode CBR
Metode FAA
Parameter yang digunakan ; CBR Test ESWL Pesawat Rencana Lalu Lintas Pesawat Tebal Perkerasan Persyaratan tebal Base dan Perkerasan
Parameter yang digunakan ; Klasifikasi Tanah Dasar Tipe Roda Pendaratan Pesawat Rencana Beban Roda Pendaratan Utama Nilai Ekuivalen Keberangkatan Tahunan Pesawat Rencana Perkerasan Total Perencanaan Tebal Perkerasan Material dalam Perkerasan
Pengumpulan Data Perencanaan Lalulintas Pesawat, Material yg digunakan Konfigurasi Runway, Keadaan Tanah Dasar
Tidak Ok
Pengolahan Data
Tidak OK
Analisa Perencanaan Ok Struktur Tebal Perkerasan
Design Hasil 2 Metoda
Aspek-aspek yang perlu dalam Perencanaan Runway Kesimpulan dan Saran
Diagram Metoda Tugas Akhir
Finish III-1
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab III Metodologi
3.2 Metodologi Perencanaan Sebelum mendesain suatu bandar udara, terlebih dahulu kita harus mengetahui persayaratan teknis pengopersian fasilitas sisi udara. 3.2.1
Runway / Landas Pacu
a. Runway Designation / Number / Azimuth Penomoran pada landas pacu harus dilengkapi dalam membantu pergerakan pesawat yang akan melintas. Pedoman azimuth harus diperhatikan mulai dari pangkal garis tengah runway pesawat, jadi sinyal harus dapat terlihat dari cockpit pesawat oleh pilot dari arah kanan dan kiri kursinya pada saat pergerakan pesawat. Pedomana azimuth ditandai dengan warna putih dalam bentuk 2 angka atau kombinasi 2 angka dan satu hurup tertentu yang ditulis di run way sebagai identitas runway. b. Dimention (length, width) Panjang landas pacu harus memadai untuk memenuhi keperluan opersional pesawat sebagai mana runway yang dikenhendaki. Penentuan panjang runway / ARFL adalah panjang runway yang diperhitungkan pabrik untuk menunjang pesawat yang akan mendarat, dan hal itu tergantung dari ; Ketinggian Altitude, ARFL bertambah 7 % setiap kenaikan 300 m dari permukaan laut Fe = 0,007 (h/300) Dimana ;
Faktor Koreksi
(Fe)
Aerodrome Elevasi
(h) III-2
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab III Metodologi
Temperatur, ARFL bertambah 1% setiap kenaikan 1º C FT = 0,01 ( T – 0,0065 h) Dimana ;
Faktor Temperatur
(FT)
Temperatur Aerodrome Elevasi
(t)
Kemiringan landas pacu, ARFL bertambah 10%, setipa pertambahan kemirngan Fs = 0,1 x S Dimana ;
Faktor Koreksi Kemiringan
(Fs)
Kemiringan
(S)
Lebar landas pacu (runway) haruslah tidak kurang dari ketentuan tebal sebagai berikut ; Tabel 3.1 Lebar Runway (Width) berdasarkan Code Number Code
Code Letter
Number
A
B
C
D
E
F
1a
18 m
18 m
23 m
-
-
-
2
23 m
23 m
30 m
-
-
-
3
30 m
30 m
30 m
45 m
-
-
4
-
-
45 m
45 m
45 m
60 m
Sumber : Peraturan Dirjen Perhubungan No. SKEP/77/VI/2005 Tabel 3.2a Runway Separation Standart for Aircraft Categories A & B Uraian
Penggolongan Pesawat I1/
I
II
III
IV
Instrumen non-presisi dan garis tengah runway visual (m) 1. Holdline
38
60
60
60
75
2. Garis tengah taxiway / taxiline (D)
45
67,5
72
90
120
27,5
60
75
120
150
3. Area Parkir Pesawat (G)
III-3
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab III Metodologi
Instrumen presisi dan garis tengah runway visual (m) 4. Holdline
53
75
75
75
75
5. Garis tengah taxiway / taxiline (D)
60
75
90
105
120
6. Area Parkir Pesawat (G)
120
120
120
120
150
Sumber : Peraturan Dirjen Perhubungan No. SKEP/77/VI/2005 Keterangan ; Categories A = Kecepatan Pesawat < 91 knots Categories B = Kecepatan Pesawat 91 knot < V < 121 knots Tabel 3.2a Runway Separation Standart for Aircraft Categories C & D Uraian
Penggolongan Pesawat I
II
III
IV
V
VI
Instrumen non-presisi dan garis tengah runway visual (m) 1. Holdline
75
75
75
75
75
75
2. Garis tengah taxiway / taxiline (D)
90
90
120
120
2/
180
3. Area Parkir Pesawat (G)
120
120
150
150
150
150
Instrumen presisi dan garis tengah runway visual (m)85 4. Holdline
75
75
75
75
85
98
5. Garis tengah taxiway / taxiline (D)
120
120
120
120
2/
180
6. Area Parkir Pesawat (G)
150
150
150
150
150
150
Sumber : Peraturan Dirjen Perhubungan No. SKEP/77/VI/2005 Keterangan ; Categories C = Kecepatan Pesawat 121 knot < V < 141 knots Categories D = Kecepatan Pesawat 141 knot < V < 166 knots 1/ Dimensi standar hanya untuk fasilitas pesawat kecil 2/ Untuk penggolongan pesawat V, standart garis tengah runway sampai dengan garis tengah taxiway paralel. c. Runwy Shoulder / Bahu Runway
III-4
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab III Metodologi
Bahu landasan harus dibuat secara simetris pada masing-masing sisi dari runway dan kemiringan melintang maksimum pada permukaan bahu landasan pacu 2,5%. Tabel 3.3 Runway Shoulder Code Letter
Penggolongan
Lebar Shoulder
Kemiringan Max
Pesawat
(m)
Shoulder (%)
A
I
3
2,5
B
II
3
2,5
C
III
6
2,5
D
IV
7,5
2,5
E
V
10,5
2,5
F
VI
12
2,5
Sumber : Peraturan Dirjen Perhubungan No. SKEP/77/VI/2005 d. Turning Area / area untuk berputar Area putaran untuk pesawat dilengkapi beberapa titi dirunway, lebar dari area putaran harus terbebas dari rintangan terutama roda pesawat yang akan digunakan di runway sampai dengan tepi dari titik area putaran, dan itu tidak kurang dari ketetapan jarak seperti pada tabel berikut ; Tabel 3.4 Turing Area Code
Penggolongan
Jarak Minimum antara roda
Letter
Pesawat
Dan tepi putaran (m)
A
I
1,5
B
II
2,25
C
III
4,5ß
D
IV
4,5
E
V
4,5
F
VI
4,5
Sumber : Peraturan Dirjen Perhubungan No. SKEP/77/VI/2005 III-5
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab III Metodologi
e. Runway Longitudinal / Kemiringan memanjang landas pacu berputar Seluruh kemiringan memanjang runway, ditentukan dengan membagi perbedaan antara maksimum dan minimum elevasi sepanjang garis tengah runway dengan panjang runway, dan maksimum kemiringannya sebagai berikut ; Tabel 3.5 Kemiringan memanjang maksimum runway Code
Pengglongan
Runway
Pada Bagian ¼ dari ujung
Jarak tampak
Letter
Pesawat
Gradient
Landasan
landasan
pada jarak min
(m)
(%)
(%)
½ landasan (m)
A
I
<2
<2
-
1,5
B
II
<2
<2
-
1,5
C
III
<1
< 1,5
<2
2
D
IV
<1
< 1,5
<2
2
E
V
<1
< 1,5
<2
3
F
VI
<1
< 1,5
<2
3
Sumber : Peraturan Dirjen Perhubungan No. SKEP/77/VI/2005 Perubahan berurutan dari satu kemiringan memanjang ke lainnya harus dipenuhi dengan kurva vertikal, dengan perbandingan dari perubahan minimum ; Tabel 3.6 Kurva Kemiringan memanjang Code
Pengglongan
Runway
Pada Bagian ¼ dari ujung
Jarak tampak
Letter
Pesawat
Gradient
Landasan
landasan
pada jarak min
(m)
(%)
(%)
½ landasan (m)
A
I
<2
0,4/30
7.500
> 45
B
II
<2
0.4/30
7.500
> 45
C
III
< 1,5
0,2/30
15.000
> 45
D
IV
< 1,5
0,2/30
15.000
> 45
E
V
< 1,5
0,1/30
30.000
> 45
F
VI
< 1,5
0,1/30
30.000
> 45
Sumber : Peraturan Dirjen Perhubungan No. SKEP/77/VI/2005 III-6
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab III Metodologi
f. Trasverse Slope Kemiringan melintang pada bebrap bagian dari runway harus cukup untuk menghindar penambahan air dan harus disesuaikan dengan tabel dibawah ini ; Tabel 3.7 Kemiringan Melintang Maksimum Runway Code
Penggolongan
Preferred
Minimum
Maximum
Letter
Pesawat
Slope
Slope (%)
Slope (%)
A
I
2
1,5
2,5
B
II
2
1,5
2,5
C
III
1,5
1
2
D
IV
1,5
1
2
E
V
1,5
1
2
F
VI
1,5
1
2
Sumber : Peraturan Dirjen Perhubungan No. SKEP/77/VI/2005 g. Sight Distance / Jarak Pandang Jika perubahan kemiringan tidak dapat dihindarkan maka harus ada suatu arah garis tanpa halangan dan terdapat pada tabel 3.4 berikut ini; Tabel 3.8 Jarak Pandang Code Letter
Penggolongan Pesawat
Jarak pandang pd jarak min ½ runway (m)
A
I
1,5
B
II
2
C
III
3
D
IV
3
E
V
3
F
VI
3
Sumber : Peraturan Dirjen Perhubungan No. SKEP/77/VI/2005
III-7
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab III Metodologi
h. Runway Strength Runway harus sanggup dan tetap melayani lalu lintas dari pesawat di runway yang dikehendaki. Dimana kemampuan runway PCN > CAN 1,1 PCN
(untuk flexible)
PCN > CAN < 1,05 PCN
(untuk rigid)
PCN = CAN min + (CAN Max – CAN Min) x (Allowable Load – Min Mass) (Maximum Mass – Min Mass) Tabel 3.9 Berat Pesawat yang diijinkan berdasarkan Kedatangan P/Po
Depature
1,1
2 kali sehari
Po = Berat yg diijinkan
1,1 – 1,2
1 kali sehari
P = Berat Aktual
1,2 – 1,3
1 kali seminggu
1,1 Po < P < 1,5 Po
1,3 – 1,4
2 kali sebulan
1,4 – 1,5
1 kali sebulan
Sumber : Peraturan Dirjen Perhubungan No. SKEP/77/VI/2005 Sedangkan sebagai metodologi dasar perhitungan perencanaan Runway untuk Bandara Internasional Minangkabau menggunakan dua metode yaitu ; 3.2.2
Metode California Division of Highwy (CBR) Metode CBR pertama kali digunakan oleh California Division of
Highway, yaitu badan pengembangan jalan milik pemerintah Negara bagian California di Amerika Serikat.Metoda ini adalah berdasarkan atas investigasi kekuatan daya dukung tanah dasar. Investigasi ini meliputi 3 jenis kegagalan utama dalam perkerasan yaitu, 1. Pergeseran lateral material pada lapisan pondasi akibat adanya panyerapan air oleh lapisan perkerasan III-8
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab III Metodologi
2. Penurunan yang terjadipada lapisan di bawah perkerasan 3. Lendutan yang berlebihan pada perkerasan akibat adanya beban yang bekerja Metoda ini bertujuan untuk mendesain suatu perekerasan yang kokoh yang dibuat dari bahan material yang telah dipersiapakan, sehingga untuk memprediksi karakter atau sifat material yang akan digunakan untuk perkerasan maka pada tahun 1929 diperkenalkan suatu test uji bahan yang disebut test uji CBR (Califonia Bearing Ratio), uji CBR ini dilakukan pada jenis banyak material yang dianggap representative terhadap material yang akan digunakan pada bahan pondasi. CBR adalah persentase perbandingan antara kuat penetrasi suatu material uji terhadap kuat penetrasi bahan standart berupa batu pecah yang memiliki CBR 100 persen. Penggunaan metode ini memungkinan perencanaan untuk menentukan ketebalan lapisan sub base, base dan surface yang diperlukan untuk memakai kurva-kurva desain dengan prosedur pengujian test terhadap tanah yang sederhana, dan berikut ini cara metoda yang digunakan dalam perhitungan Runway menggunakan metoda CBR : 3.2.2.1 CBR Test Test CBR dinyatakan dalam index kuat geser tanah pada suatu sampel tanah dasar untuk pengujian CBR yang diuji dalam laboratorium untuk menentukan nilai CBR. Pengujian ini dilakukan dengan melakukan pemadatan tanah kedalam cetakan silinder yang ditempatkan beban diatas tanah yang dipadatkan tadi. Harga CBR adalah daya tahan tanah terhadap penetrasi
III-9
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab III Metodologi
dibandingkan dengan daya tahan baru batu pecah standart terhadap pembebanan yang sama.
3.2.2.2 Equivalent Wheel Laod/Boussinesq’s Theory (ESWL) Kedalaman dimana tegangan yang terjadi pada perkerasan akibat dual wheel sama akibat Single Wheel yang tergantung kepada jarak dari kedua roda. Dekat pada permukaan, roda-roda bereaksi independent. Pada kedalaman yang lebih tebal tegangan akan saling tindih (Overlap) tetapi mengecil karena kedalaman bertambah. 3.2.2.3 Menentukan Pesawat Rencana Pesawat rencana akan dapat ditentukan dengan melihat jenis pesawat yang beroperasi dari besar MSTOW (Maksimum Structural Take Off Weight) dan data jumlah keberangkatan tiap jenis pesawat yang akan berangkat tersebut. Untuk kemudian dipilih pesawat yang menghasilkan tebal perkerasan yang paling besar, pemilihan pesawat rencana ini pada dasarnya bukanlah berasumsi harus berbobot paling besar, tetapi pada jumlah keberangkatan yang paling banyak melalui landasan pacu yang akan direncanakan. Pesawat rencana kemudian ditetapkan sebagai pesawat yang membutuhkan tebal perkerasan paling besar dan tidak perlu pesawat dengan bobot paling besar yang beroperasi di dalam bandara. 3.2.2.4 Menentukan Lalu-lintas Pesawat Pada metoda CBR, jumlah total repitisi beban pesawat rencana yang telah dihitung dalam bentuk ESWL selama umur rencana digunakan untuk menghitung tebal perkerasan total. Total repitisi pesawat rencana tersebut mencakup data III-10
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab III Metodologi
keberangkatan dan kedatangan pesawat rencana, dari data yang diperoleh maka dapat ditentukan jumlah pesawat tahunan yang direncanakan dengan cara mengalikan jumlah penerbangan setiap minggunya dalam satu tahun. 3.2.2.5 Menentukan Tebal Perkerasan Metoda ini dikembangkan berdasarkan teori yang telah diteliti dan didapat pendekatan empiris. Untuk mendapatkan tebal perkerasan total, metode ini memberikan persamaan sebagai berikut ;
Dimana ;
T = Tebal perkerasan total diatas Subgrade (mm) R = Jumlah ESWL yang bekerja (beban repitis) S = Tekanan roda ban (Mpa) P= ESWL (kg)
3.2.2.6 Syarat Tebal Minimum Lapisan Base dan Perkerasan Tabel 3.10 Pembebanan Berat Trafic Area A B C D Accesroad aprons Shoulder
Tebal Minimum (inch) Base (CBR 100) Base (CBR 80) Perkerasan
Base
Total
Perkerasan
Base
Total
5 4 4 3 3 2
10 9 9 6 6 6
15 13 13 9 9 8
6 5 5 3 3 2
9 8 8 6 6 6
15 13 13 9 9 8
Sumber : Basuki 1986
III-11
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab III Metodologi
Tabel 3.11 Pembebanan Medium Trafic Area A B C Accesroad aprons
Tebal Minimum (inch) Base (CBR 100) Base (CBR 80) Perkerasan
Base
Total
Perkerasan
Base
Total
4 3 3 3
6 6 6 6
10 9 9 9
6 4 4 3
6 6 6 6
11 10 10 9
Tabel 3.12 Pembebanan Ringan Trafic Area B C Accesroad aprons
Tebal Minimum (inch) Base (CBR 100) Base (CBR 80) Perkerasan
Base
Total
Perkerasan
Base
Total
3 3 3
6 6 6
9 9 9
4 3 4
6 6 6
10 9 10
Sumber : Basuki 1986 3.2.3
Metoda Federal Aviation Adminstration (FAA – 2009) Metoda perencanaan FAA adalah metode perencanaan yang mengacu pada
standart perencanaan perkerasan FAA Advisory Circular (AC) 150/5320-6E (FAA, 2009). Metode ini adalah pengembangan perencanaan perkerasan berdasarkan metode CBR. Metoda ini dilakuakan dengan beberapa cara yaitu ; 3.2.3.1 Klasifikasi Tanah Metode perencanaan perkerasan yang dikembangkan olehFederal Aviation Adminstration (FAA) ini pada dasarnya menggunakan statistik perbandingan kondisi lokal dari tanah, sistem drainase dan cara pembebanan untuk berbagai tingkah laku beban. Klasifikasi tanah didasarkan atas hal-hal berikut ini ; a. Butiran yang tertahan pada saringan No. 10 b. Butiran yang lewat saringan No. 10 tetapi ditahan No. 40 c. Butiran yang lewat saringan No. 40 tetapi tertahan saringan No. 200 III-12
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab III Metodologi
d. Butiran yang lewat saringan No. 200 e. Liquid Limit f. Plasticity Index Klasifikasi tanah diatas hanya membutuhkan analisa mekanis (analisa saringan) serta penentuan liquid limit dan plasticity index. Namun demikian untuk menetukan baik buruknya jenis tanah kita tidak hanya mendasarkan kepada analisa laboratorium diatas, tetapi memerlukan penelitian di lapangan terutama yang berhubungan dengan drainase kemampuan melewatkan air permukaan. Topografi, jenis-jenis lapisan tanah serta evaluasi air tanah akan berpengaruh besar terhadap sistem drain dilapangan. Drainase yang jelek akan menghasilkan subgrade yang tidak stabil, dengan sistem drainase yang baik maka akan menghindarkan subgrade dari genangan air. Ada dua procedure pemilihan ketebalan perkerasan , yaitu satu procedure untuk menentukan ketebalan perkerasan bagi lapangan terbang yang melayani pesawat dengan berat kotor diatas 30.000 lbs, sedangkan yang berikutnya untuk menentukan perkerasan dibawah 30.000 lbs yaitu untuk pesawat-pesawat ringan FAA telah membuat klasifikasi tanah untuk perencanaan perkerasan yang dibagi dalam 13 kelas dari E1 sampai E13. Klasifikasi ini diambil dari Airport Paving FAA-AC-150/5320-6B, sebagai berikut ; •
Group E1 Jenis tanah yang mempunyai gardasi tanah yang baik, kasar, butiran-butiran tanahnya tetap stabil walaupun sistem drainasenya tidak baik, dinegara-negara beriklim dingin tanah group E1 tidak terpengaruh oleh salju yang merugikan III-13
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab III Metodologi
dan biasanya terdiri dari pasir bergradasi baik, kerikil tanpa butiran-butiran halus. Didaerah dengan salju yang kuat, tanah harus dicek kandungan material yang dimater butirannya kurang dari 0,02 mm. •
Group E2 Jenis tanah mirip mirip dengan E1, tetapi kandungan pasirnya lebih sedkit dan mungkin mengandung persentase lumpur dan tanah liat yang lebih banyak. Tanah dalam kelas ini bisa menjadi tidak stabil apabila sistem drainasenya tidak baik.
•
Group E3 dan E4 Terdiri dari tanah yang berbutir halus, tanah berpasir dengan gradasi lebih jelek dibanding group E1 dan E2.Group ini terdiri dari pasir berbutir halus tanpa daya kohesi atau tanah liat berpasir dengan kualitas pengikatan mulai dari cukup sampai baik.Tipe ini kurang stabil disbanding tanah group E2 dibawah pengruh kondisi sistem drainase yang tidak baik.
•
Group E5 Terdiri dari tanah yang bergradasi jelek dengan kandungan lumpur dan tanah liat lebih dari 35 % tetapi kurang dari 45% dengan plastisitas index 10-15.
•
Group E6 Terdiri dari lumpur dan lumpur berpasir dengan index plasticity yang sangat rendah.Jenis ini relatif stabil bila kering atau pada moisture content rendah. Stabilitasnya akan hilang dan menjadi sangat lembek dalam keadaan basah, maka akan sangat sukar dipadatkan kecuali jika moisture contentnya betulbetul dikontrol dengan teliti sesuai kebutuhan. III-14
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab III Metodologi
•
Group E7 Termasuk didalamnya tanah liat berlumpur, tanah liat berpasir, pasir berlempung dan lempur berlempung, mempunyai rentang kosistensi kaku sampai lunak keika kering dan ketika basah. Jenis ini dipadatkan akan kaku dan padat pada moisture content yang tepat. Perubahan kelembapan akan menghasilkan perubahan volume total. Tekanan kapilernya sangat kuat, tetapi kenaikan air kapilernya lebih lambat disebanding pada group E6.
•
Group E8 Mirip dengan tanah group E7, tetapi pada liquid limit yang lebih tinggi akan menghasilkan derajat kemampatan yang lebih besar, pengembangan pengerutan dan stabilitas yang lebih rendah dibawah kondisi kelembapan yang kurang menguntungkan.
•
Group E9 Terdiri dari campuran lumpur dan tanah liat sangat elastis dan sangat sulit dipadatkan, stabilitasnya rendah baik dalam kedaan kering ataupun basah.
•
Group E10 Jenis tanah liat yang berlumpur dan tanah liat yang membentuk gumpalan keras dalam kedaan kering serta sangat palstis bila basah.Pada pemadaatan perubahan volumenya sangat besar mempunyai kemampuan mengembang menyusut dan derajat elastisitasnya tinggi.
•
Group E11
III-15
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab III Metodologi
Mirip dengan tanah group E10, tetapi mempunyai liquid limit yang lebih tinggi termasuk didalamnya tanah liquid limit antara 70-80 dengan index plastisitas diatas 30. •
Group E12 Jenis tanah yang mempunyai liquid limit diatas 80, tidak diukur berapapun index plastisitasnya.Bisa terbentuk oleh tanah liat dengan plasticitas tinggi, sangat tidak stabil dengan adanya kelembaban atau bahan-bahan organic dalam jumlah yang berlebihan.
•
Group E13 Meliputi semua jenis tanah rawa organik, seperti gambut mudah dikenal dilapangan. Dalam keadaan asli sangat rendah stabilitasnya serta densitynya dan sangat tinggi kelembapannya. Tabel 3.13 Klasifikasi Tanah Dasar untuk Perencanaan Perkerasan oleh FAA Analisa Saringan
Subgrade Class
%
% Bahan lebih kecil dari saraingan
Bahan
No. 10
tersisa
Pasir
Pasir
Campur
Saringa
kasar lolos
halus
an
Group
n
saringan
lewat
lumpur
Liqui
Plasti
Drainase
Drainase
Tanah
No. 10
No. 10,
saringan
dan
d
city
Baik
Jelek
tetapi
No. 40
tanah
Limit
Index
ditahan
ditahan
liat lolos
saringan
saringan
saringan
No. 10
No. 200
No. 200
Kerikil E1
0 - 45
40
65
15
25
6
Fa atau Fa
Fa atau Ra
E2
0 - 45
15
85
25
25
6
Fa atau Ra
F1 atau Ra
E3
0 - 45
25
25
6
F1 atau Fa
F2 atau Rb
E4
0 - 45
35
35
10
F1 atau Ra
F3 atau Rb
III-16
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab III Metodologi
Butiran
Fa atau Ra
halus E5
0 - 55
45
40
15
F3 atau Rb
E6
0 - 55
45
40
10
F4 atau Rc
E7
0 - 55
45
50
10-30
F5 atau Rc
E8
0 - 55
45
60
15
F6 atau Rc
E9
0 - 55
45
40
15-40
F7 atau Rd
E10
0 - 55
45
70
30
F8 atau Rd
E11
0 - 55
45
80
20-50
F9 atau Re
E12
0 - 55
45
80
30
F10 atau Fa
E13
TANAH GAMBUT TIDAK BISA DIGUNAKAN
Sumber : Basuki (1986) Tabel 3.14 Hubungan Harga CBR dengan Klasifikasi Subgrade menurut FAA Klasifikasi
CBR
Fa
20 atau lebih
F1
16 – 20
F2
13 – 16
F3
11 – 13
F4
9 – 11
F5
8–9
F6
7–8
F7
6–7
FB
5–6
F9
4–5
F10
3-4
Sumber : Basuki (1986)
III-17
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab III Metodologi
3.2.3.2 Menentukan Tipe Roda Pendaratan Utama a. Sumbu Tunggal Roda Tunggal (Single)
Gambar 3.1 Konfigurasi roda pendaratan untuk pesawat roda tunggal Sumber ; Yang(1984) b. Sumbu Tunggal Roda Ganda (Dual Wheel)
Gambar 3.2 Konfigurasi roda pendaratan untuk pesawat roda ganda Sumber ; Yang, (1984) III-18
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab III Metodologi
c. Sumbu Tandem Roda Ganda (Dual Tandem)
Gambar 3.3 Konfigurasi roda pendaratan untuk pesawat roda tandem ganda Sumber ; Yang, (1984) d. Sumbu Tandem Roda Double (DDT)
Gambar 3.3 Konfigurasi roda pendaratan untuk pesawat roda ganda double Sumber ; Yang, (1984) III-19
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab III Metodologi
3.2.3.3 Menentukan Pesawat Rencana Pesawat rencana dapat ditentukan dengan melihat jenis pesawat yang beroperasi dan besar MSTOW (Maksimum Structural Take Off Weight) dan data jumlah keberangkatan tiap jenis pesawat yang berangkat tersebut,lalu dipilih jenis pesawat yang menghasilkan tebal perkerasan yang paling besar. Pemilihan pesawat rencana ini pada dasarnya bukanlah harus berasumsi kepada bobot yang terbesar, akan tetapi pada jumlah keberangkatan yang paling banyak melalui landasan pacu yang akan direncanakan. Pesawat
rencana
kemudian
ditetapkan
sebagai
pesawat
yang
membutuhkan tebal perkerasan yang paling besar dan tidak perlu pesawat yang paling besar yang beroperasi didalam bandara. Karena pesawat yang beroperasi di bandara memiliki angka keberangkatan tahunan yang berbeda-beda, maka harus ditentukan keberangkatan tahunan ekivalen dari setiap pesawat dengan konfigurasi roda pendaratan dari pesawat rencana. 3.2.3.4 Menentukan Beban Roda Penadaratan Utama Pesawat (W2) Untuk pesawat yang berbadan lebar, dimana dianggap mempunyai MTOW yang cukup tinggi dengan roda pendaratan utama tunggal dalam perhitungan Equivalent Annal Depture (R1) ditentukan beban roda pesawat bahwa 95% berat total dari pesawat ditopang oleh roda pendaratan utama, maka dalam perhitungannya menggunakan rumus ;
Dimana ; W2 MSTOW
= Beban roda pendaratan dari masing-masing jenis pesawat = Berat kotor pesawat saat lepas landas III-20
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab III Metodologi
A
= Jumlah konfigurasi roda
B
= Jumlah roda persatu konfigurasi
P
= Persentase beban yang diterima roda pendaratan utama
Tipe roda pendaratan utama sangatlah menentukan dalam perhitungan tebal perkerasan.Hal ini dikerenakan penyaluran beban pesawat melalui roda-roda ke perkerasan. 3.2.3.5 Menentukan Nilai Ekivalen Keberangkatan Tahunan Pesawat Rencana Pada lalu lintas pesawat, struktur perkerasan harus mampu melayani berbagai macam jenis pesawat, yang mempunyai tipe roda pendaratan yang berbeda-beda dan bervariasi beratnya. Pengaruh dari beban yang diakibatkan oleh semua jenis model lalu litas itu harus dikonversikan kedalam pesawat rencana dengan Equivalen Annual Depature dari pesawat-pesawat campuran tadi, sehingga dapat disimpulkan bahwa perhitungan ini berguna untuk mengetahui total keberangkatan keseluruhan dari bermacam pesawat yang telah dikonversikan ke dalam pesawat rencana. Untuk menetapkan R1 dapat dihitung dengan menggunakan persamaan ;
Dimana ; R1 = Keberangkatan tahunan ekivalen oleh pesawat rencana (pound) R2 = Jumlah keberangkatan tahunan oleh pesawat berkenaan dengan konfigurasi roda pendaratan W1 = Beban roda pesawat rencana (pound) W2 = Beban roda pesawat yang harus diubah (pound)
III-21
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab III Metodologi
Bagi pesawat berbadan lebar, dianggap mempunyai berat 300.000 lbs dengan roda pendaratn dual tandem, dalam perhitungan Equivalent annual Departure.Tipe roda pendaratn juga berlainan bagi tiap-tiap jenis pesawat, maka perlu dikonversikan.Berikut ini faktor konversinya. Tabel 3.15 Determination Equivalent Annual Departure By Design AirCraft. Determination Equivalent Annual Departure By Design AirCraft Konversi Dari Single Wheel
Ke
Nilai Konversi
Dual Wheel
0,8
Dual Tandem
0,5
Dual Wheel
Dual Tandem
0,6
Double Dual Tandem
Dual Tandem
1,0
Dual Tandem
Single Wheel
2,0
Dual Wheel
1,7
Daul Wheel
Single Wheel
1,3
Double Dual Tandem
Dual Wheel
1,7
Sumber : Peraturan Dirjen Perhubungan No. SKEP/77/VI/2005
3.2.3.6 Menentukan Perkerasan Total Perencanaan perkerasan oleh FAA ini adalah perencanaan untuk masa umur rencana, dimana seharusnya selama masa layanan tersebut harus tetap dilakukan pemeliharaan secara berkala. Grafik-grafik pada perencanaan perkerasan FAA menunjukan ketebalan perkerasan total yang dibutuhkan, dimana tebal pondasi bawah + tebal pondasi atas + tebal pondasi permukaan. Nilai CBR tanah dasar digunakan bersama-sama dengan berat lepas landas kotor dan keberangkatan tahunan ekivalen dari pesawat rencana. III-22
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab III Metodologi
Grafik-grafik perencanaan digunakan dengan memulai garis lurus dari sumbu CBR, ditentukan secara vertikal ke kurva berat lepas landas kotor (MSTOW), kemudian kearah horizontal ke kurva keberangkatan tahunan ekivalen dan akhirnya diteruskan secara vertikal kesumbu tebal perkerasan untuk mendapatkan tebal perkerasan yang direncanakan. Beban lalu-lintas pesawat pada umumnya akan disebarkan pada daerah lateral dari permukaan perkerasan selama operasional. Demikian juga pada sebagian landasan pacu, pesawat akan meneruskan beban ke perkerasan. Olehkarena itu FAA memperbolehkan perubahan perkerasan pada permukaan yang berbeda-beda, yaitu seperti ; Tebal penuh T pada seluruh daerah kritis yang digunakan untuk tempat pesawat yang akan berangkat, seperti apron daerah tunggu (Holding Appron) bagian tengah landasan hubung dan landasan pacu (Runway). Tebal perkerasan 0,9 Tdiperlukan untuk dua jalur pesawat yang akan dating, seperti belokan landasan pacu berkecepatan tinggi. Tebal perkerasan 0,7 T diperlukan untuk tempat yang jarang dilalui
pesawat, seperti tepi luar landasan hubung dan tepi luar landasan pacu.
Gambar 3.1 Penampang lintang perkerasan landasan (sumber ; Basuki 19986) III-23
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab III Metodologi
3.2.3.7 Kurva-kurva Perencanaan Tebal Perkerasan a. Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Total untuk Pesawat Rencana Beroda Tunggal
Grafik 3.1 Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan untuk Pesawat Roda Tunggal b. Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Total untuk Pesawat Rencana Beroda Ganda
Grafik 3.2 Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan untuk Pesawat Roda Ganda III-24
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab III Metodologi
c. Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Total untuk Peswat Rencana Beroda Dual Tandem
Grafik 3.3 Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan untuk Pesawat Roda Tandem Ganda d. Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Total untuk Pesawat Rencana Beroda Dual Tandem
Grafik 3.4 Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan untuk Pesawat Roda Dual Tandem Sumber : Basuki (1986) III-25
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab III Metodologi
Grafik perencanaan yang tersedia diatas adalah grafik perencanaan untuk tingkat keberangkatan tahunan maksimum 25.000 keberangkatan. Untuk keberangkatan tahunan diatas 25.000, grafik tersebut juga dapat digunakan dengan mengalikan hasil akhir tebal total perkerasan yang dapat digunakan tahunan 25.000 dengan angka persentase yang diberikan pada table 3.7 berikut : Tabel 3.7 Persentase pengali untuk mendapatkan tebal total perkerasan dengan tingkat keberangkatan tahunan diatas 25.000. Tingkat Keberangkatan
% Tebal Total Keberangkatan
Tahunan
Tahunan 25.000
50.000
104
100.000
108
150.000
110
200.000
112
Sumber : Basuki (1986) 2.8.2.8Material yang Digunakan untuk Perkerasan Lapisan Permukaan Untuk lapisan permukaan digunakan aspal beton asphaltic concrete sebagai item P-401 Lapisan Pondasi Untuk lapisan pondasi digunakan beberapa item, yaitu ; 1. Item P-208 (Agregate Base Course) 2. Item P-209 (Crushed Agregate Base Course) 3. Item P-211 (Lime Rock Base Course) 4. Item P-304 (Cement Treated Base Course) 5. Item P-306 (Econocrete Subbse Course) III-26
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab III Metodologi
Lapisan Pondasi Bawah Untuk Lapisan pondasi bawah, digunakan beberapa item, yaitu ; 1. Item P-154 (Subbase Course) 2. Item P-210 (Caliche Base Course) 3. Item P-212 (Shell Base Course) 4. Item P-213 (Sand Clay Base Course) 5. Item P-301 (Soil CementBase Course) Untuk semua item perkerasan diatas berdasarkan pada FAA (2009) ; Tabel 3.17 Faktor Equivalent untuk Bahan yang digunakan : Bahan
Faktor Equivalent
P-401 (Asphalt Concrete)
1,7 – 2,3
P-201 (Bitumanors Base Course)
1,7 – 2,3
P-215 (Cold Laid Bituminours Base Course)
1,5 – 1,7
P-216 (Mixed In-Place Base Course)
1,5 – 1,7
P-304 (Cement Treated Base Course)
1,6 – 2,3
P-301 (Soil Cement Base Course)
1,5 – 2,0
P-209 (Crushed Agregate Base Course)
1,4 – 2,0
P-154 (Subbase Course)
1,0
Sumber : Basuki (1986)
III-27
http://digilib.mercubuana.ac.id/