BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan data primer. Data primer adalah informasi yang diperoleh oleh peneliti dari tangan pertama dengan menggunakan instrumen seperti survei, wawancara, fokus grup, atau observasi (Sekaran & Bougie 2012). Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari kuesioner yang disebar kepada auditor inspektorat pemerintah daerah di beberapa kabupaten dan kota yang menjadi sampel dalam penelitian ini.
3.2 Populasi Penelitian Menurut Sugiyono (2008), definisi populasi yaitu “populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek dan subyek yang menjadi kuantitas dan karakteristik tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari, kemudian ditarik kesimpulannya”. Populasi dalam penelitian ini adalah auditor inspektorat di Kabupaten Sragen, Wonogiri, Boyolali, Ngawi, Magetan, Pacitan, Ponorogo, dan kota Madiun. Alasan memilih wilayah tersebut dikarenakan adanya kemudahan akses dan banyaknnya kasus korupsi.
3.3 Cara Pengumpulan Data Taknik pengambilan data penelitian ini adalah menggunakan sampling jenuh, yaitu suatu teknik penentuan sampel jika semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Cara pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuesioner. Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan 60
61
tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang hal-hal yang responden ketahui (Arikunto, 2006:151). Survei mengumpulkan data primer diperoleh dengan cara membagikan sejumlah kuesioner kepada auditor inspektorat. Kuesioner tersebut diberikan kepada para responden dan kemudian responden akan mengisinya sesuai dengan pendapat dan persepsi responden. Penelitian ini menggunakan skala dasar pengukuran memakai urutan skala lima dengan kriteria: sangat setuju=5, setuju=4, ragu-ragu=3, tidak setuju=2, sangat tidak setuju (STS)= 1. Alasan digunakan skala lima dengan pilihan ”ragu-ragu” adalah untuk mengindikasi item pernyataan dalam kuesioner yang tidak dimengerti dan tidak diketahui oleh partisipan. Sebelum disebarkan kepada responden,
kuesioner terlebih dahulu akan dilakukan pilot testing/pre-test kepada calon responden.
3.4 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Penelitian ini menggunakan empat variabel yang terdiri dari satu variabel dependen, yaitu efektivitas auditor aparat inspektorat, dan dua variabel independen yang terdiri dari independensi, dan faktor-faktor individual. Variabel yang ketiga, yaitu kohesivitas kelompok kerja, sebagai variabel mediasi antara independensi dan efektivitas audit aparat inspektorat. Penelitian ini menggunakan second order karena variabel efektivitas audit aparat inspektorat, independensi dan kohesivitas kelompok kerja mempunyai dimensi. Menurut Dahlan (2014), analisis faktor konfirmtori order dua (second order), atau sering juga disebut sebagai model pengukuran bertingkat dua. Model
62
order kedua (second order) adalah model pengukuran dimana sebuah faktor utama yang biasa disebut dimensi diukur dengan sejumlah faktor (sub dimensi), dan masing-masing faktor tersebut diukur dengan masing-masing sejumlah atribut/indikator. Menurut Ghozali (2012), pengujian second order konstruk dimana pengujiannya akan malalui dua jenjang. Pertama analisis dilakukan dari konstruk laten dimensi ke indikator-indikator dan, kedua, analisis dilakukan dari konstruk laten ke konstruk dimensinya.
3.4.1 Efektivitas Audit Aparat Inspektorat Efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh hasil aktual (kuantitas, kualitas dan waktu) yang telah dicapai oleh manajemen dalam memenuhi terget yang diinginkan. Indikator yang digunakan untuk mengukur efektivitas audit parat inspektorat adalah Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) yang dikutip dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 tahun 2008, yaitu perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 huruf g sekurang-kurangnya harus: 1.
memberikan kayakinan yang memadai atas ketaatan, kebenaran, efisiensi, dan efektivitas pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah,
2.
memberikan peringatan dini dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko dalam menyelenggarakan tugas dan fungsi instansi pemerintah,
3.
memelihara dan meningkatkan kualitas tata kelola penyelenggaraaan tugas dan fungsi instansi pemerintah.
63
Variabel ini diukur dengan menggunakan skala likert 5 poin dari tidak setuju (1), kurang setuju (2), netral (2), setuju (4), hingga sengat setuju (5).
3.4.2 Kohesivitas Kelompok Kerja Kohesivitas kelompok kerja merupakan kekompakan kelompok dalam mengerjakan tugas yang telah diberikan oleh atasannya sehingga dengan adanya kekompakan suatu tugas akan cepat dan mudah diselesaikan. Akan tetapi, tanpa adanya kekompakan dalam suatu kelompok. maka, tugas akan sulit untuk diselesaikan bahkan hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapakan. Dalam penelitian ini, variabel kohesivitas kelompok kerja diukur dengan mengadopsi penelitian Arif Wibowo (2012). Variabel ini diukur dengan 2 dimensi, yaitu kohesivitas tugas dan kohesivitas kelompok. Kohesivitas tugas diukur dengan 6 item indikator. Salah satu contoh itemnya sebagai berikut, “bagi saya, keberhasilan tim merupakan hal penting.” dan “saya bersedia memberikan usaha lebih besar dari biasanya agar tetap menjaga nilai defensive kita yang tinggi” Kohesivitas sosial diukur dengan 11 item, sepuluh item meminta anggota tim untuk menilai tim mereka pada skala 5, sebagai berikut: dingin-hangat, tidak menyenangkan-menyenangkan, tidak disukai-disukai, sopan-tidak sopan, tidak bisa diandalkan-dapat diandalkan, bersahabat-tidak bersehabat, berani-berhatihati, tidak resmi-formal, liberal-konservatif, dan cuek-serius. Pertanyaan kesebelas meminta subyek untuk menilai 1 sampai 5 yang mereka pikirkan tentang tim mereka. Dimensi kohesivitas tugas dan kohesivitas sosial diukur dengan menggunakan skala likert 5 poin dari tidak setuju (1), kurang setuju (2), netral (2), setuju (4), hingga sengat setuju (5).
64
3.4.3 Independensi Independensi adalah sikap tidak memihak. Pernyataan standar umum kedua SPKN adalah: “Dalam semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan pemeriksaan, organisasi pemeriksa dan pemerikasa, harus bebas dalam sikap mental dan penampilan dari gangguan pribadi, ekstern, dan oraganisasi yang dapat mempengaruhi independensinya”. Independensi merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh pemeriksa. Pemeriksaan memang harus memiliki kemampuan dan keahlian sesuai dengan bidang yang dibutuhkan untuk memeriksa, tetapi apabila pemeriksa tersebut tidak independen, maka seberapa hebatnya laporan hasil pemeriksaan yang dihasilkan, pada akhirnya pengguna laporan tetap akan meragukan krebilitas laporan tersebut (SPKN, 2008). Dimensi yang digunakan untuk mengukur independensi mengadopsi instrumen yang digunakan oleh Arif Yusri (2013) yang dimodifikasi berdasarkan SPKN BPK RI No. 01 Tahun 2007, yaitu: 1. pemeriksa harus bebas dari gangguan pribadi, 2. pemeriksa harus bebas dari gangguan ekstern, 3. pemeriksa harus bebas dari gangguan organisasi. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala likert 5 poin dari tidak setuju (1), kurang setuju (2), netral (3), setuju (4), hingga sengat setuju (5).
3.4.4 Faktor-Faktor Individual Faktor-faktor individual dalam penelitian ini terdiri dari tingkat pendidikan dan pengalaman kerja. Tingkat pendidikan merupakan suatu tingkatan pengetahuan yang didapat memlalui pendidikan formal dan pelatihan. Tingkat
65
pendidikan akan mempengaruhi disetiap pekerjaan di instansi pemerintah maupun swasta. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin baik kinerjanya. Dalam penelitian ini, tingkat pendidikan yang diukur adalah pendidikan formal yang akan diukur dengan memberi nilai mulai dari pendidikan SLTA sampai pedidikan S3 akan dijelas sebagai berikut: 1.
SLTA dengan deberi nilai = 1
2.
D3 dengan diberi nilai = 2
3.
S1 dengan diberi nilai = 3
4.
S2 dengan diberi nilai = 4, dan
5.
S3 dengan diberi nilai = 5. Adapun pengalaman audit dalam sub variabel faktor-fakor individu yang
dimana pengalaman audit merupakan suatu pengalama pekerjaan audit yang membutuhkan waktu relatif lama sehingga dengan pengalaman audit tersebut auditor akan terbiasa dengan hal-hal yang menantang dan kesulitan akan mudah diselesaikan dengan baik. Dalam penelitian ini, pengalaman audit diukur dengan 3 jenjang tahun mulai dari kurang dari 2 tahun dengan diberi nilai 1, 2-5 tahun dengan diberi nilai 2 dan lebih dari 5 tahun diberi dengan nilai 3.
Tabel 3.1 Kode Variabel dan Ringkasan Definsi Operasional Second order Efektivitas audit aparat inspektorat (EF)
First order Kelayakan dan arti penting temuan pemeriksaan berserta rekomendasi (EF_A)
Indikator EF_A1= Dalam melakukan pemeriksaan, saya memahami dan menguasai tugas pokoknya
EF_A2= Program Kerja Pemeriksaan Tahunan (PKPT) yang saya lakukan setiap tahun tercapai.
66
Lanjutan Tabel 3.1 Second order
First order Ketaatan terhadap peraturan perundangundangan (EF_B)
Indikator EF_B1= Dalam menjalankan PKPT, saya memahami dan menguasai aturan-aturan yang berlaku. EF_B2= Saya melaksanakan PKPT sesuai dengan aturan-aturan yang ada.
Efisiensi dan Kehematan biaya pemeriksaan (EF_C)
EF_C1= Saya mampu mengidentifikasi cara untuk dapat mencapai tujuan pemeriksaan dengan lebih EF_C2= Saya memberikan pertimbangan alternatif cara untuk melaksanakan pemeriksaan yang mungkin dapat memberikan hasil yang lebih baik dengan biaya yang lebih rendah.
Peringatan dini
EF_D1= Saya mampu
(EF_D)
mengelompokkan informasi yang dimilikinya sesuai dengan keterkaitannya untuk mengidentifikasi masalah yang dapat menghambat pencapaian tujuan pemeriksaan. EF_D2= Saya mampu memberikan rekomendasi yang dapat memperbaiki masalah yang dapat menghambat pencapaian tujuan pemeriksaan
Respon dan objek yang diperiksa (EF_E)
EF_E1= Saya mampu membuat laporan hasil pemeriksaan yang memuat temuan dan simpulan hasil pemeriksaan secara obyektif, serta rekomendasi yang konstruktif. EF_E2= Saya mampu membuat laporan dan simpulan pemeriksaan serta rekomendasi dapat dioperasionalisasikan atau ditindak lanjuti oleh auditee
Umpan balik dari manajemen lainnya (EF_F)
EF_F1= Saya mampu bekerja sama dengan baik dengan instansi pemerintah yang mengelola anggaran, akuntansi dan perbendaharaan.
67
Lanjutan Tabel 3.1 Second order
First order
Indikator EF_F2= Dalam menjalankan tugas pemeriksaan, saya dapat bekerja sama secara profesional dalam upaya memelihara dan meningkatkan kualitas tata kelola penyelenggaraan (good governance) dengan auditee terkait.
Tindak balik dari manajemen lainnya (EF_G)
Independensi (IN)
Bebas Dari Gangguan Internal Auditor (IN_A)
EF_G1= Saya dapat bekerja sama secara profesional dengan instansi terkait. EF_G2= Saya memastikan bahwa rekomendasi yang diberikan dapat dioperasionalisasikan oleh instansi terkait pemantauan yang berkelanjutan. IN_A1= Saya tidak mempunyai hubungan dekat dengan auditee seperti hubungan sosial, kekeluarga atau hubungan lainnya. IN_A2= Dalam melakukan audit, saya menghindar konflik kepentingan dalam merencanakan, melakukan dan melaporkan hasil audit IN_A3= Saya dapat bertindak adil tanpa dipengaruhi tekanan atau permintaan pihak tertentu yang berkepentingan atas hasil pemeriksaan.
Bebas Dari Gangguan Eksternal Auditor (IN_B)
IN_B1= Saya tidak dipengaruhi oleh pandangan subyektif pihak-pihak lain yang berkepentingan, sehingga saya dapat memberikan laporan audit sesuai fakta temuan yang sebenarnya. IN_B2= Saya tidak mempertimbangkan keadaan seseorang/ sekelompok orang atau unit organisasi untuk membenarkan perbuatan melanggar ketentuan atau peraturan perundanga-undangan yang berlaku. IN_B3= Saya tidak dapat diintimidasi oleh orang lain dan tidak tunduk karena tekanan yang dilakukan oleh orang lain guna mempengaruhi sikap dan pendapat saya.
68
Lanjutan Tabel 3.1 Second order
First order Bebas dari gangguan organisasi (IN_C)
Indikator IN_C1= Saya mendapat dukungan penuh dari pimpinan dan organisasi dalam merencanakan, melaksanakan dan melaporkan hasil audit. IN_C2= Saya menolak menerima penugasan audit bila pada saat bersamaan sedang mempunyai hubungan kerjasama dengan auditee. IN_C3= Pimpinan melakukan pergantian ketika ada salah satu anggota menghadapi situasi yang dapat mengganggu independensinya.
Kohesivitas tugas (KH)
Kohesivitas tugas (KH_A)
KH_A1= Bagi saya, keberhasilan tim merupakan hal penting. KH_A2= Saya bersedia memberikan usaha lebih besar dari biasanya agar tetap menjaga nilai defensive kami yang tinggi KH_A3= Bagi saya, mengerjakan tugas pemeriksaan ini dengan baik lebih penting dari pada melakukan tugas lain dimana saya telah bergabung KH_A4= Saya pasti membicarakan tugas pemeriksaan ini kepada temanteman saya bahwa ini merupakan tugas luar biasa untuk dikerjakan KH_A5= Hasil dari tugas pemeriksaan ini tidak ada hubungannya dengan saya sama sekali
Kohesivitas sosial (KH_B)
KH_A6= Bagi saya, ada beberapa manfaat pribadi yang didapat dengan bergabung dalam tugas pemeriksaan ini KH_B1= Dingin – Hangat KH_B2= Tidak menyenangkan – Menyenangkan KH_B3= Tidak suka – Disukai KH_B4= Sopan – Tidak sopan KH_B5= Tidak dapat di andalkan – dapat diandalkan KH_B6= Bersahabat – Tidak bersehabat
69
Lanjutan Tabel 3.1 Second order
First order
Indikator KH_B7= Berani – Berhati-hati KH_B8= Tidak resmi – Formal KH_B9= Liberal – Konservatif KH_B10= Cuek – Serius KH_B11= Mohon diberi nilai dari 1 sampai 5 untuk apa yang anda rasakan bahwa tim anda adalah kelompok yang “dekat” (5 untuk yang terdekat)
Faktor Individu (ID)
ID_1= Tingkat pendidikan ID_2= Pengalaman kerja
3.5 Teknik Analisis Data 3.5.1 Alat Statistik Dalam penelitian ini, analisis data menggunakan pendekatan Partial Least Square (PLS). PLS adalah model persamaan Structural Equation Modeling (SEM) yang berbasis komponen atau varian. Menurut Ghozali (2006), PLS merupakan pendekatan alternatif yang bergeser dari pendekatan SEM berbasis kovarian menjadi berbasis varian. Menurut Ghozali (2006), tujuan PLS adalah membantu peneliti untuk tujuan prediksi. Model formalnya mendefinisikan variabel laten adalah linear agregat dari indikator-indikatornya. Weight estimate untuk menciptakan komponen skor variabel laten didapat berdasarkan bagaimana inner model (model struktural yang menghubungkan antar variabel laten) dan outer model (model pengukuran yaitu hubungan antara indikator dengan konstruknya) dispesifikasi. Hasilnya adalah residual variance dari variabel dependen.
70
3.5.2 Model Pengukuran (Outer Model) Ada tiga kriteria untuk menilai outer model, yaitu validitas convergent, validitas discriminant dan uji reliabilitas. Validitas convergent dari model pengukuran dengan refleksif indikator dinilai berdasarkan korelasi antara item score/componen score yang dihitung dari 0.7 dengan konstruk yang diukur. Namun, menurut Chin (1998) dalam Ghozali (2008), untuk penelitian tahap awal dari pengembangan skala pengukuran, nilai loading 0.5 sampai 0.6 dianggap cukup memadai. Validitas discriminant dari model pengukuran dengan refleksif indikator dinilai berdasarkan Cross loading pengukuran dengan konstruk. Jika korelasi konstruk dengan item pengukuran lebih besar daripada ukuran konstruk lainnya, maka hal tersebut menunjukkan konstruk laten memprediksi ukuran pada blok mereka lebih baik daripada ukuran pada blok lainnya. Metode lain untuk menilai validitas discriminant adalah membandingkan nilai square root of average variance extracted (AVE) setiap konstruk dengan korelasi antara konstruk dengan konstruk lainnya dalam model (Imam Ghozali, 2008). AVE setiap konstruk lebih besar daripada nilai korelasi antar konstruk dengan konstruk lainnya dalam model, maka dikatakan memiliki nilai discriminant validity yang baik. Nilai AVE yang rekomendasikan harus lebih besar 0.5 (Fornell dan Larcker, 1981 dalam Imam Ghozali, 2008). Uji reliabilitas suatu konstruk dengan indikator reflektif dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu cronbach’s alpha dan composite reliability sering disebut Dillon Goldstein’s. Namun demikian, penggunaan cronbach’s alpha untuk
71
menguji reliabilitas konstruk akan memberikan nilai yang lebih rendah sehingga lebih disarankan untuk menggunakan composite reliability dalam menguji reliabilitas suatu konstruk. Untuk menilai reliabilitas konstruk, nilai composite reliability harus lebih besar dari 0.7 untuk penelitian yang bersifat confirmatory dan nilai 0.6 – 0.7 masih diterima untuk penelitian yang bersifat exploratory (Ghozali, 2012). 3.5.3 Model Struktur (Inner Model) Pengujian inner model atau model struktural dilakukan untuk melihat hubungan antar variabel laten, nilai signifikansi dan R-square dari model penelitian. Model struktural dievaluasi dengan menggunakan R-square untuk konstruk dependen dan uji t serta signifikansi dari koefisien parameter jalur struktural. Dalam menilai model dengan PLS dimulai dengan melihat R-square untuk setiap variabel laten dependen. Perubahan nilai R-square dapat digunakan untuk menilai pengaruh variabel laten independen tertentu terhadap variabel laten dependen apakah mempunyai pengaruh yang substantif (Ghozali, 2008). 3.5.4 Goodness of Fit Goodness of fit dikembangkan oleh Tenenhaus et al. (2004, dalam Ghozali, 2012) dengan sebutan GoF index. Indeks ini dikembangkan untuk mengevaluasi model pengukuran dan model struktur dan disamping itu menyediakan pengukuran sederhana untuk keseluruhan dari prediksi model. Untuk alasan ini GoF index dihitung dari akar kuadrat nilai average communality dan average R-square sebagai berikut:
72
Gof =
3.6.4. Pengujian Hipotesis Hasil pengujian hipotesis dapat dilihat pada pengujian inner model berikut ini. 1. T statistik Apabila koefisien t statistik menunjukkan koefisien yang lebih besar dari t tabel, hasil ini menggambarkan variabel tersebut signifikan, maka dapat diartikan bahwa terdapat pengaruh yang bermakna variabel laten terhadap variabel laten lainnya. Variabel eksogen dinyatakan signifikan pada variabel endogen apabila hasil t statistik lebih besar dari t tabel. 2. Path Coefficients Nilai path coefficients menunjukkan koefisien hubungan antara variabel laten dengan variabel laten lainnya. 3. Pengujian Variabel Intervening Menurut Sugiyono (2007), variabel intervening adalah variabel yang secara teoritis mempengaruhi hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen menjadi hubungan yang tidak langsung dan tidak dapat diamati dan diukur. Variabel ini merupakan variabel penyela antara variabel independen dengan variabel dependen, sehingga variabel independen tidak langsung mempengaruhi berubahnya atau timbulnya variabel dependen. Posisi dari variabel intervening sendiri berada di tengah, yaitu di antara variabel independen dengan variabel dependen. Berikut adalah gambar untuk mengetahui posisi dari variabel intervening.
73
Gamber 3.1 Posisi Variabel Intervening Variabel Independen
Variabel Intervening
Variabel Dependen
Dalam penelitian mengenai pengaruh independensi terhadap efektivitas audit aparat inspektorat, peneliti menggunakan variabel intervening yang menghubungkan antara independensi auditor dengan efektivitas audit aparat inspektorat adalah kohesivitas kelompok kerja. Artinya, independensi secara tidak langsung akan mempengaruhi efektivitas audit aparat inspektorat melalui kohesivitas kelompok kerja sebagai variabel intervening. Jika diketahui konsep dasar analisis yang melibatkan variabel mediator, maka perlu dilakukan uji peran mediator yang dapat diketahui dari nilai relative size. Model analisis yang melibatkan variabel mediator adalah sebagai berikut ini (Hair et al, 2013 dalam Sholihin, 2014:82). 1) Pengaruh langsung variabel independen terhadap variabel dependen harus signifikan. 2) Pengaruh tidak langsung harus signifikan, setiap jalur yaitu variabel independen terhadap variabel mediasi dan variabel mediasi terhadap variabel dependen harus signifikan untuk memenuhi kondisi ini. Pengaruh tidak langsung ini diperoleh dengan formula pengaruh variabel independen pada variabel mediasi dikalikan dengan pengaruh variabel mediasi pada variabel dependen yaitu variabel independen. Apabila pengaruh tidak langsung signifikan, maka hal ini menunjukkan
74
bahwa variabel pemediasi mampu menyerap atau mengurangi pengaruh langsung pada pengujian pertama. 3) Menghitung VAF untuk mencari nilai relative size dapat menggunakan rumus Variance Account For sebagai berikut: