BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini diawali dengan pendeskripsian data kebahasaan aktual yang masih hidup dan dipakai masyarakat penuturnya untuk pembuktian hubungan bahasa Modebur, Kaera, dan Teiwa di Pulau Pantar dengan bahasa Kedang dan Lamaholot. Selanjutnya, dilakukan perbandingan antarbahasa yang diteliti dengan data kebahasaan masa lalu untuk menentukan bentuk protobahasanya. Untuk membuktikan adanya hubungan kekerabatan dan kesejarahan,
metode yang
paling andal dan sentral adalah metode perbandingan (Antila, 1972:229), yang bersifat sinkomparatif dan diakomparatif (Penzl, 1969:11; 1979:65--67). Perbandingan bersifat sinkomparatif (bermatra horizontal) adalah perbandingan yang dilakukan untuk menemukan ciri-ciri kesamaan dan keberbedaan antarbahasa kerabat yang hidup pada masa yang sama, sedangkan perbandingan bersifat diakomparatif (bermatra vertikal) adalah perbandingan yang dilakukan untuk merekonstruksi protobahasa. Metode komparatif merupakan metode utama dalam bidang linguistik historis karena dengan menggunakan metode ini dapat ditelusuri perkembangan historis bahasa-bahasa yang diteliti, baik melalui perbandingan data yang aktual maupun data masa lalu (Crowley, 1997:89). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan terlebih dahulu, kemudian pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk memperoleh fakta mengenai persentase keeratan hubungan kekerabatan bahasa
42
43
Modebur, Kaera, dan Teiwa di Pulau Pantar yang tak mungkin dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan secara kualitatif. Sebaliknya, kualitatif
digunakan
di
samping
untuk
mendeskripsikan
pendekatan (baik
secara
sinkomparatif maupun diakomparatif) protobahasanya juga digunakan untuk mencari hukum bunyi perubahan fonem di antara bahasa-bahasa yang diteliti.
3.2 Jenis dan Sumber Data Jenis data penelitian ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu data utama atau data primer dan data penunjang yang ditunjang oleh teks percakapan atau data sekunder. Data primer berupa data lisan yang diambil dari beberapa informan yang merupakan penutur asli bahasa-bahasa yang diteliti, sedangkan data sekunder diambil dari penelitian-penelitian yang sudah dihasilkan dan ada hubungannya dengan penelitian ini serta dapat memberikan kontribusi dalam penelitian ini. Sumber data penelitian adalah penutur asli bahasa-bahasa yang diteliti. Dari setiap kelompok penutur bahasa diambil informan sampel yang mewakili. Setiap informan yang dipilih harus memenuhi syarat yang sesuai dengan ketentuan yang ada. Dalam penelitian linguistik, seorang penutur atau beberapa orang penutur asli yang memenuhi syarat sebagai informan dapat dianggap memadai sebagai informan. Metode yang digunakan untuk menentukan informan ini adalah sampling. Teknik yang digunakan adalah teknik purposif sampling. Teknik ini juga tidak menghendaki secara acak yang bersifat probalitas dalam pengambilan anggota informan, tetapi ditentukan atas dasar relevansinya dengan
44
maksud kelengkapan informasi aspek kebahasaan yang diteliti. Jumlah informan setiap bahasa yang diteliti ada dua atau lebih. Dalam studi ini pertama-tama ditetapkan dua orang yang dapat mewakili seluruh pemakai tiap-tiap bahasa
yang diteliti. Satu orang sebagai informan
utama dan satu orang sebagai informan pendamping. Hal ini penting dilakukan untuk mengontrol kebenaran data yang diberikan oleh informan utama karena bisa jadi sifatnya hanya sekadar menyenangkan peneliti (Djajasudarma, 1993: 20-24). Apabila dalam penelitian ini belum ditemukan informasi yang memadai dari informan utama
dan informan pendamping, maka pemilihan informan terus
dilakukan sampai batas kelengkapan data yang dibutuhkan. Artinya, ketuntasan perolehan informasi merupakan ukuran jumlah informan yang diperlukan. Dengan demikian, sekurang-kurangnya untuk setiap bahasa yang diteliti tersebut tersedia seorang informan utama dan informna pendamping. Para informan tersebut dapat dianggap merupakan sampel yang memadai dan dapat dipertanggungjawabkan dari segi metodologi penelitian bahasa (Durasid, 1990:22). Meskipun demikian, dalam pemilihan informan dihindari informan yang bersifat menggurui (Djajsudarma, 1993:22). Secara umum ada dua tahap dalam menentukan informan: (1) pemilihan informan awal untuk diajak bertatap muka, (2) pemilihan informan lanjutan guna memperluas informasi dan melacak berbagai fenomena kebahasaan yang relevan dengan penelitian ini. Selanjutnya dalam pemilihan sampel, informan harus memenuhi kriteria tertentu, seperti (1) memiliki kapabilitas, maksudnya mempunyai kemampuan dan
45
kesanggupan dalam kebahasan; (2) bersedia dan mempunyai waktu; (3) aksesibilitas, maksudnya mudah dicapai atau dihubungi; dan (4) permisif, maksudnya informan membolehkan dirinya untuk dijadikan sumber informasi (Faisal, 1990:58-61). Selain kriteria tersebut, informan juga harus memenuhi beberapa syarat. Syarat yang dimaksud meliputi (a) setiap informan minimal berumur berkisar 25 tahun, (b) memiliki organ bicara dan mental yang normal, (c) orang tua, istri, atau suami dan yang bersangkutan lahir di desa tersebut atau tidak pernah meningglakan desanya dalam waktu lama, (d) memiliki kebanggaan terhadap bahasa daerahnya (Samarin, 1988:55--67). Perlu dikemukakan di sini bahwa jumlah informan di atas digunakan pada saat pengumpulan data awal, sedangkan pada saat pengumpulan data lanjutan jumlah tersebut ditambah. Hal itu dilakukan mengingat jumlah data lanjutan yang dikumpulkan jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan data awal sehingga memerlukan waktu yang lebih lama. Untuk menghindari kejenuhan dalam pengumpuln data, idealnya informan lebih banyak (bandingkan dengan Samarin, 1967:20--41; Faisal, 1990: 58--61; Djajasudarma, 1993:23; Keraf, 1984:157).
3.3 Instrumen Penelitian Untuk memperoleh data yang teratur dan lengkap, diperlukan acuan dalam bentuk alat pengumpul data. Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas 200 kata Swadesh dan daftar Holle dengan 1.800 kata. Daftar 200 kata dasar Swadesh digunakan untuk menjaring data awal untuk membangun hipotesis secara kuantitatif dan daftar Holle digunakan untuk memperoleh data lanjutan untuk menjaring kata-kata kognat pada tiap-tiap bahasa
46
yang diteliti. Data awal yang bersifat kuantitatif diperlukan dalam rangka penyusunan hipotesis dan dipakai sebagai dasar pengelompokan bahasa-bahasa berkerabat yang diteliti. Data lanjutan yang bersifat kualitatif diperlukan untuk menentukan perubahan bunyi yang terjadi pada tiap-tiap kelompok bahasa yang dibandingkan. Berdasarkan perubahan bunyi tersebut dapat ditentukan tingkat kekerabatan dan direkonstruksi bahasa asal dari bahasa-bahasa yang diteliti. Peneliti merupakan salah satu instrumen dalam penelitian ini. Dalam pengumpulan data peneliti berperan serta dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Peneliti mengadakan wawancara dan pencatatan data secara langsung di lapangan. Untuk memudahkan penelitian ini digunakan alat-alat bantu berupa perekam, yaitu perekam suara. Perekam suara diperlukan dalam pendokumentasian secara audio. Alat bantu lain yang diperlukan berupa alat-alat tulis yang berguna untuk membantu pencatatan apabila terdapat hal yang tidak dapat direkam oleh alat perekam di samping mengantisipasi kerusakan teknis yang terjadi pada alat rekam.
3.4 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode cakap dengan teknik cakap semuka (Sudaryanto, 1988:7). Maksudnya, dengan bertatap muka, peneliti dan informan terlibat dalam suatu percakapan yang bersifat informal dan secara kekeluargaan serta berlangsung secara alamiah (Moleong, 1997:25--27). Dalam percakapan itu diupayakan agar informan secara sadar atau tidak terpancing untuk mengungkapkan informasi yang mengandung data yang diharapkan tanpa harus dipaksa. Walaupun demikian, peneliti tetap
47
mengendalikan pembicaraan berdasarkan daftar instrumen yang telah disiapkan. Setelah diadakan pencatatan dan perekaman, segera dilakukan pengecekan bersama-sama dengan informan yang telah terlibat. Selain metode cakap, juga digunakan metode simak dengan teknik simak bebas libat cakap (SBLC). Maksudnya, peneliti dan informan tidak terlibat langsung dalam percakapan. Informan tidak sadar bahwa ungkapannya sedang diteliti. Kemudian, informasi yang mengandung data tersebut dicatat dan direkam. Perekaman dilakukan agar data yang diperoleh lebih akurat terutama yang menyangkut pelafalan bunyi dan unsur-unsur suprasegemental lainnya. Dalam pengumpulan data penelitian dibedakan unsur serapan dari unsur asli karena ada kalanya ditemukan perangkat kognat berpadanan yang bukan kognat, tetapi diketahui sebagai unsur serapan bersama dari bahasa lain. Hal ini sangat perlu dijelaskan agar dapat dibedakan unsur serapan dari unsur asli yang benar-benar merupakan seperangkat kognat (bandingkan dengan Fernandez, 1996:26).
3.5 Metode Analisis Data Penelitian
ini
menggunakan
metode
analisis
sinkomparatif
dan
diakomparatif historis (Lass, 1969:15). Metode sinkomparatif diterapkan sebelum menggunakan metode diakomparatif dengan maksud untuk menganalisis data bahasa-bahasa serumpun yang sedang diteliti secara sinkronis. Metode ini digunakan berdasarkan kenyataan bahwa penelitian historis komparatif harus diawali dengan pendekatan sinkronis.
Maksudnya, dalam membandingkan
48
bahasa-bahasa berkerabat, sebelum dianalisis secara diakronis, bahasa-bahasa tersebut terlebih dahulu dianalisis secara sinkronis. Metode analisis sinkomparatif lebih menekankan pada deskripsi fonem dan penemuan aspek perubahan fonologis secara deskriptif. Analisis ini bertujuan menemukan fonem, alofon beserta variannya, dan hubungan setiap fonem pada tiap-tiap sistem fonologi bahasa yang diteliti (Antonsen, 1990:297). Hal ini penting dilakukan untuk dijadikan landasan asumsi bahwa bahasa yang diteliti merupakan bahasa berkerabat, bukan bahasa yang sama dan bukan pula bahasa yang tidak berkerabat sama sekali (Martinet, 1955 dan Maulton, 1961 dalam Fisiak, ed., 1985). Metode analisis diakomparatif digunakan sebagai langkah lanjutan untuk membandingkan semua bahasa berkerabat yang diteliti secara diakronis. Cara kerja diakronis dilakukan bertahap. Pertama, data dalam bentuk daftar 200 kosakata dasar Swadesh dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan teknik leksikostatistik. Dengan teknik ini dapat diperoleh jumlah persentase kognat tiaptiap bahasa (bandingkan Crowley, 1987:190; Janda, 2004:30). Berdasarkan angka persentase kognat antarbahasa dapat ditetapkan anggota kelompok yang bersifat sementara dari bahasa-bahasa yang diteliti. Kedua, data dianalisis secara kualitatif dengan memerhatikan (1) pasangan kata yang semua fonemnya identik, (2) pasangan yang memiliki korespondensi fonemis, (3) pasangan yang memiliki kemiripan secara fonetis, (4) pasangan yang mempunyai satu fonem beda. Keraf (1991) menyarankan agar ditempuh tiga langkah berikut dalam merekonstruksi fonem-fonem bahasa kerabat yaitu (a) mencatat semua korespondensi fonemis
49
kelompok bahasa yang dibandingkan, (b) membandingkan unsur-unsur yang menunjukkan kontras dalam lingkungan yang lebih luas dan mencari pasanganpasangan baru untuk memperkuat temuan yang diperoleh dengan cara pertama, (c) merekonstruksi setiap fonem dari kata yang dibandingkan. Berdasarkan analisis kualititaif tersebut silsilah kekerabatan bahasa-bahasa yang diteliti ditetapkan secara definitif. Analisis data dalam penelitian ini mengikuti urutan cara kerja yang mengacu pada tahapan dalam pencapaian tujuan penelitian. Sebagaimana yang dikemukakan di depan, bahwa tujuan penelitian ini meliputi pembuktian isolek, pengelompokan, dan rekonstruksi. Mengacu kepada hal itu, maka cara kerja penelitian ini menggunakan teknik-teknik seperti diuraikan berikut ini.
3.5.1 Teknik Leksikostatistik Leksikostatistik adalah salah satu teknik pengelompokan bahasa-bahasa atau dialek yang mengutamakan perhitungan kata-kata secara statistik untuk mengetahui jumlah kesamaan kata-kata kerabat yang diperbandingkan (Grimes, 1987 dalam Mead, 1999). Leksikostatistik berisikan daftar kosakata dasar setiap bahasa yang akan diperbandingkan. Morris Swadesh mengusulkan 200 kosakata dasar yang universal, yang meliputi kata-kata ganti, kata bilangan, kata-kata anggota badan (sifat dan aktivitasnya), alam dan sekitarnya, dan alat-alat budaya sehari-hari. Leksikostatistik sebagai salah satu teknik pengelompokan bahasa telah banyak dipakai oleh para pakar/ahli bahasa di dunia ini. Teknik ini memakai statistik yang berupa angka-angka sebagai dasar pemilahannya. Teknik tersebut
50
berusaha menemukan hubungan kekerabatan dua bahasa atau lebih dengan memperhitungkan unsur-unsur persamaan yang ada pada kosakatanya. Menurut Nothofer (1990), teknik leksikostatistik memiliki beberapa keunggulan bila dibandingkan dengan metode-metode lain. Keunggulankeunggulan yang dimaksud, antara lain (1) sebagai daftar kosakata dasar yang cepat dapat menentukan hubungan kekerabatan satu bahasa (bahasa kerabat), (2) sebagai alat pengelompokan bahasa/dialek yang sekerabat yang protobahasanya tidak begitu tua/kuno, dan (3) sebagai alat/metode pengelompokan yang dapat digunakan pada tahap awal untuk menentukan klasifikasi bahasa. Selanjutnya, Nothofer (1990) menetapkan tiga asumsi dasar teknik leksikostatistik, yakni (1) kosakata dasar diganti dengan kecepatan yang sama pada semua bahasa dalam waktu yang sama. Menurut asumsi ini bahwa setiap 1.000 tahun sekitar 18--20% kosakata dasar yang berubah dan berlaku umum pada semua bahasa secara serentak, (2) semua kosakata dasar yang terdapat pada daftar kosakata dasar kemungkinan besar kata-kata itu berganti secara serentak, dan (3) ada yang dinamakan kosakata dasar yang dianggap berlaku umum pada setiap bahasa di dunia. Terminologi leksikostatistik sangat berguna untuk membuktikan suatu isolek apakah isolek tersebut beda dialek atau beda bahasa. Begitu pula dalam penelitian ini. Untuk membuktikan isolek-isolek tersebut juga digunakan teknik leksikostatistik. Teknik leksikostatistik yang dimaksud adalah dialek dengan persentae 100-81%, bahasa dengan persentase 80-36%, keluarga dengan persentase 35-
51
12%, rumpun dengan persentase 12-4%, mikrofilum 3-2%, mesofilium 2-0%. (Crowley, 1987; Grimes, 1987) Berdasarkan pendapat para ahli di atas, diketahui bahwa mereka memasukkan suatu isolek menjadi dialek atau menjadi bahasa pada persentasepersentase yang sama. Menurut para ahli tersebut isolek hanya beda dialek jika persentase kognat yang sama atau mirip berkisar antara 81%--100%, sedangkan isolek beda bahasa jika persentase kognat yang sama atau mirip berkisar antara 36--86%. Cara kerja leksikostatistik dalam penelitian ini mengikuti pola-pola yang dikemukakan oleh Keraf (1990), yakni (1) mengumpulkan sejumlah kata dari kosakta dasar dan (2) menentukan pasangan kosakata dasar yang sekerabat. Selanjutnya, upaya menentukan kosakata dasar yang sekerabat mengikuti langkah-langkah yang dikemukakan oleh Keraf (1990), yakni (1) mencari kosakata yang bukan dari bahasa/kata pinjaman, (2) mengalami morfem tunggal/bebas saja dengan mengisolasi semua morfem terikat, dan (3) membandingkan semua pasangan kata untuk menentukan pasangan kata yang sekerabat dengan berdasarkan rekurensi, kookurensi, dan analogi. Upaya menentukan pasangan kata yang sekerabat itu dilakukan dengan mengidentifikasi semua pasangan kata mirip/sama, pasangan kata yang mirip secara fonetis, pasangan kata yang berkorespondensi bunyi, dan pasangan kata yang hanya memiliki perbedaan satu fonem. Rumus leksikostatistik
Persentase
Hubungan
Kekerabatan
berdasarkan
teknik
52
Tingkat hubungan kekerabatan dua bahasa atau lebih dapat diketahui dengan memakai rumus sebagai berikut. J H=
x 100%
G Keterangan:
H
= Hubungan kekerabatan
J
= Jumlah kata kerabat,
G
= Glos (item)
Teknik ini digunakan untuk membuktikan isolek-isolek di Pulau Pantar sebagai beda bahasa atau beda dialek. Setelah didapatkan hasil persentase kognat isolek-isolek tersebut, maka langkah selanjutnya adalah pembuktian isolek-isolek yang beda bahasa dan yang beda dialek. Teknik ini pula digunakan untuk mengelompokkan bahasa-bahasa di Pulau Pantar Nusa Tenggara Timur yang dilakukan berdasarkan bukti-bukti kuantitatif dan bukti-bukti kualitatif. Pengelompokan bahasa berdasarkan buktibukti kuantitatif menggunakan teknik leksikostatistik. Bukti-bukti kuantitatif semua bahasa yang diteliti itu dikumpulkan dengan menggunakan daftar 200 kosakata dasar Swadesh (revisi Blust, 1980). Dengan menggunakan teknik ini, bukti-bukti kuantitatif dalam bentuk kemiripan dan kesamaan kosakata seasal dari setiap bahasa yang diperbandingkan dapat dihitung. Penghitungan jumlah persentase berdasarkan jumlah pasangan kosakata seasal dibagi jumlah glos yang terisi kali seratus persen. Berdasarkan angka persentase itu dapat diketahui tingkat semua bahasa di sekitarnya dan silsilah kekerabatan bahasa-bahasa itu. Pengelompokan bahasa-bahasa di Pulau Pantar itu berdasarkan bukti kuantitatif masih bersifat belum tuntas. Untuk memperoleh ketuntasan pengelompokan bahasa itu diperlukan bukti-bukti kualitatif. Bukti-bukti kualitatif
53
itu dapat berfungsi ganda. Pertama, untuk memperkuat pengelompokan yang telah ditetapkan
berdasarkan
bukti-bukti
kuantitatif,
jika
ternyata
hasil
pengelompokannya saling mendukung. Kedua, jika berdasarkan bukti-bukti kualitatif dihasilkan pengelompokan yang bertentangan dengan pengelompokan sebelumnya, maka bukti-bukti kualitatif berfungsi menggugurkan pengelompokan berdasarkan bukti-bukti kuantitatif, sekaligus pengelompokan yang berlandaskan bukti-bukti kualitatif itu ditetapkan sebagai pengelompokan definitif (Blust, 1981). Bukti-bukti kualitatif itu berwujud fakta-fakta kebahasaan yang tergolong sebagai unsur-unsur inovasi bersama yang eksklusif, yang dikumpulkan dengan menggunakan daftar Holle dengan 1.800 kata Hakikat pengelompokan yang bersifat kualitatif pada tahapan ini adalah upaya penemuan kemiripan dan kesamaan unsur-unsur kebahasaan yang inovatif dan eksklusif pada bahasa-bahasa yang diteliti baik pada tataran fonologi maupun leksikal. Penemuan kemiripan dan kesamaan inovasi segi fonologi dapat ditelusuri pada kesamaan pola atau kaidah perubahan fonem yang ada pada bahasa-bahasa itu. Pada tataran leksikal, penemuan kemiripan dan kesamaan inovasi itu tampak pada kemiripan dan kesamaan kosakata seasal yang hanya dimiliki oleh kelompok atau
subkelompok
bahasa-bahasa
itu.
Ciri-ciri
yang
ditemukan
itu
dihubungbandingkan dengan cermat antarsesamanya (internal) dan dengan bahasa-bahasa di luar kelompok bahasa itu (eksternal). Semua itu kemudian disarikan dalam bentuk klasifikasi (a) bukti penyatu kelompok dan (b) bukti pemisah kelompok sekaligus penyatu subkelompok. Berdasarkan bukti penyatu kelompok dan bukti pemisah kelompok yang bersifat kualitatif itulah tingkat
54
keeratan kelompok bahasa itu ditetapkan dalam bentuk garis silsilah yang definitif.
3.5.2 Teknik Rekonstruksi Setelah pengelompokan bahasa ditetapkan, langkah selanjutnya adalah penemuan protobahasa Modebur, Kaera, dan Teiwa di Pulau Pantar dan protobahasa di bawahnya. Rekonstruksi protobahasa dilakukan dengan cara membanding-bandingkan kosakata seasal yang telah terkumpul dengan menelaah aspek kesepadanan fonologi dan leksikal. Teknik yang digunakan adalah teknik rekonstruksi,
baik
rekonstruksi
fonologi
maupun
rekonstruksi
leksikal.
Rekonstruksi protobahasa dilaksanakan secara induktif yang dikenal dengan pendekatan dari bawah ke atas (Bottom-up Reconstruction) Teknik ini digunakan mengacu pada studi bahasa Autronesia pertama kali, ketika bahasa-bahasa Austronesia Barat (Tagalog, Jawa, dan Batak Toba) dibandingkan untuk merekonstruksi protobahasa Indonesia (Dempwollf, 1938). Langkah penetapan protofonem dilakukan dengan cara penetapan protofonem demi protofonem. Setiap protofonem ditemukan melalui (a) penelusuran jumlah perangkat kosakata seasal yang menunjang penentuan protofonem tertentu yang direkonstruksi, (b) pengamatan korespondensi fonem dan penetapan formulasi sejumlah kaidah perubahan bunyi, dan (c) penetapan etimon-etimon protobahasa dalam leksikal (bandingkan Fernandez, 1996:30). Cara kerja tersebut mengikuti urutan langkah rekonstruksi fonologi terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan rekonstruksi leksikal. Cara kerja itu diuraikan sebagai berikut.
55
3.5.2.1 Teknik Rekonstruksi Fonologi Sebelum diadakan rekonstruksi fonologi terlebih dahulu diadakan penemuan dan pembuktian fonem tiap-tiap bahasa yang diteliti secara sinkronis. Penelitian ini menggunakan teori teknik penemuan dan pembuktian fonem yang dikemukakan oleh Bloch dan Trager (1944:40) dengan prosedur menemukan (1) pasangan minimal (kontras), dan (2) distribusi fonem, dan variasi bebas. Jika dua bunyi berbeda dalam posisi kontras, bunyi-bunyi itu adalah dua fonem. Jika dua bunyi tidak berbeda dalam distribusi komplementer atau dalam variasi bebas, bunyi-bunyi itu adalah dua fonem. Teori tersebut hanya terfokus pada kontras lingkungan yang sama. Oleh karena jika dua buah bunyi berada pada lingkungan yang tidak sama (lingkungan mirip) maka digunakan teori yang dikemukakan oleh L. Pike (1968:199). Prosedur penemuan fonem menurut Pike adalah jika dua buah bunyi berada pada lingkungan mirip bunyi-bunyi itu adalah dua buah fonem. Setelah ditemukan dan dibuktikan fonem-fonem bahasa yang diteliti maka tahap selanjutnya adalah rekonstruksi fonologi. Metode rekonstruksi, khususnya rekontruksi fonologi digunakan dalam proses penemuan dan pemerian protofonem serta sistem fonologi protobahasa Modebur, Kaera, dan Teiwa di Pulau Pantar. Proses ini ditempuh sebagai langkah persiapan menuju proses rekonstruksi leksikal. Langkah-langkah yang ditempuh dalam rekonstruksi fonologi meliputi (a) penetapan wujud protofonem beserta lingkungan yang dimasukinya; (b) perumusan pantulan fonem protobahasa pada bahasa Modebur, Kaera, dan Teiwa di Pulau Pantar yang dapat diamati dalam korespondensi bunyi berdasarkan padanan kosakata seasal; (c) perumusan kaidah korespondensi fonem antarbahasa
56
itu berdasarkan pantulan fonem protobahasa Modebur, Kaera, dan Teiwa di Pulau Pantar. Rekonstruksi
fonologi
dilakukan
untuk
menemukan
subkelompok Protobahasa Modebur dan Kaera (PMdKr)
protofonem
dan kelompok
Protobahasa Modebur, Kaera, Teiwa (PMdKrTw) bahasa itu. Rekonstruksi tersebut dilakukan fonem demi fonem untuk menemukan kaidah-kaidah perubahan protofonem dalam bahasa turunan sesuai dengan berkas-berkas kesepadanan fonem dalam kosakata seasal. Hasil rekonstruksi fonologi PMdKr itu dipakai untuk melakukan rekonstruksi leksikal PMdKrTw. Sebagaimana telah diuraikan bahwa rekonstruksi fonologi ditempuh dengan rekonstruksi fonem demi fonem protobahasa, yang bertujuan untuk penemuan setiap protofonem. Rekonstruksi dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama merekonstruksi protofonem MdKr. Cara yang ditempuh dalam penemuan protofonem mengikuti aturan rekonstruksi sebagai berikut. (a) Jika perangkat kosakata seasal memperlihatkan kesepadanan fonem serta fonem khusus yang diamati sama dalam bahasa-bahasa yang diamati, misalnya fonem t- (/t/) pada posisi awal sama, maka fonem itu juga ditetapkan sebagai protofonem. Dengan kata lain, pantulan protofonem tersebut sama sekali tidak mengalami perubahan pada semua bahasa. Misalnya, tia ‘tidur’ pada Md dan Kr memperlihatkan kesepadanan fonem, dan fonem khusus yang diamati dalam hal ini t- adalah sama, maka ditetapkan PMdKr *t-.
57
(b) Jika perangkat kosakata seasal memperlihatkan kesepadanan fonem dan fonem yang khusus diamati berbeda di antara salah satu bahasa yang diperbandingkan serta fonem itu sebelumnya telah ditetapkan sebagai protonya, maka dipakai satu tanda protofonem baru untuk menghindari ketumpangtindihan tanda protofonem. Misalnya, Md koi Kr χoi ‘atap ijuk’. Fonem khusus yang diamati -k- dan -χ- pada posisi antarvokal memperlihatkan kesepadanan fonem, maka protofonem ditetapkan -*K-, karena -*k- dan -*χ- sebelumnya telah ditetapkan sebagai protofonem. (c) Jika perangkat kosakata seasal memperlihatkan kesepadanan fonem dan fonem yang khusus diamati hanya ditemukan pada satu bahasa anggota subkelompok yang sama, maka unsur fonem tersebut direkonstruksi bersifat opsional. Misalnya, Md tasi, Kr taso ‘berdiri’ memperlihatkan kesepadanan fonem kosakata seasal, maka ditetapkan protofonemnya adalah PMdKr *(i,o). Tahap
kedua
adalah
melakukan rekonstruksi untuk
menentukan
protofonem PMdKrTw. Cara yang ditempuh dalam penemuan protofonem mengikuti aturan rekonstruksi sebagai berikut. (d) Jika perangkat kosakata seasal memperlihatkan kesepadanan fonem serta fonem khusus yang diamati sama dalam bahasa-bahasa yang diamati, misalnya fonem t- (/t/) pada posisi awal sama, maka fonrm itu juga ditetapkan sebagai protofonem. Dengan kata lain, pantulan protofonem tersebut sama sekali tidak mengalami perubahan pada semua bahasa.
58
Misalnya, tia ‘tidur’ pada Md, Kr, dan Tw memperlihatkan kesepadanan fonem, dan fonem khusus yang diamati dalam hal ini t- adalah sama, maka ditetapkan PMdKrTw *t-. (e) Jika perangkat kosakata seasal memperlihatkan kesepadanan fonem dan fonem yang khusus diamati berbeda di antara salah satu bahasa yang diperbandingkan serta fonem itu sebelumnya telah ditetapkan sebagai protonya, maka dipakai satu tanda protofonem baru untuk menghindari ketumpangtindihan tanda protofonem. Akan tetapi,
jika perangkat
kosakata seasal itu distribusi kehadiran fonem lebih dominan dalam kata, maka yang ditetapkan sebagai protonya adalah fonem yang dominan itu. Misalnya, Md suriŋ Kr surim PMdKr *suriN Tw surim ‘nenek moyang’ Fonem khusus yang diamati adalah -ŋ- dan -m- pada posisi akhir memperlihatkan kesepadanan fonem, maka protofonem ditetapkan -*mmaka yang menjadi protonya adalah PMdKrTw *surim. (f)
Jika perangkat kosakata seasal memperlihatkan kesepadanan fonem dan fonem yang khusus diamati hanya ditemukan pada satu bahasa anggota subkelompok yang sama, maka unsur fonem tersebut direkonstruksi bersifat opsional. Misalnya Md imiŋ, Kr amiŋ. Tw timiŋ ‘hidung’ memperlihatkan kesepadanan fonem kosakata seasal, maka ditetapkan protofonemnya adalah PMdKrTw *(i,a,t).
59
3.5.2.2 Teknik Rekonstruksi Leksikal Rekonstruksi leksikal bertujuan untuk menemukan perangkat protokata yang memiliki makna (tertentu) yang sama atau mirip pada bahasa Modebur, Kaera, dan Teiwa di Pulau Pantar sebagai bahasa yang diperbandingkan (Dyen, 1975:7). Rekonstruksi leksikal dilaksanakan setelah rekonstruksi fonologi dilakukan. Meskipun dilakukan kemudian, kedua rekonstruksi tidak dapat dipisahkan. Rekonstruksi leksikal harus melibatkan kata. Melalui kosakata seasal itulah fonem dan perubahannya ditemukan. Setiap fonem dengan varian-variannya hanya dapat muncul dan secara gradual berubah dalam struktur kata (Robinson, 1977:70). Rekonstruksi leksikal berlandaskan pada perangkat kosakata seasal kelompok Modebur-Kaera-Teiwa dengan memperlihatkan kaidah perubahan bunyi atau korespondensi fonem yang telah ditemukan. Rekonstruksi protokata tersebut mengikuti beberapa ketentuan yang tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dalam rekonstruksi fonologi sebagai berikut. (a) Protokata dapat ditetapkan jika perangkat kosakata seasal ditemukan pada semua bahasa yang diteliti. Misalnya, jika ditemukan Md ipar, Kr ipar, dan Tw ipar ‘bermimpi’, maka protokata ditetapkan PMdKrTw *ipar. (b) Protokata dapat
ditetapkan,
meskipun perangkat
kosakata seasal
ditemukan berbeda pada salah satu bahasa yang diteliti jika perbedaan itu dapat dijelaskan sebagaimana ditemukan dan berlaku dalam rekonstruksi fonologi. Misalnya, jika ditemukan Md nataŋ, Kr nataŋ, dan Tw gataŋ
60
‘tangan ‘ maka protokata ditetapkan PMdKrTw *nataŋ. Contoh lain Md jibar Kr jibar Tw yibar ‘anjing’, maka protokata ditetapkan *jibar.
3.6 Cara Penyajian Hasil Analsis Data Dalam penyajian hasil analisis, metode yang digunakan adalah metode informal dan formal. Metode penyajian informal adalah perumusan dengan katakata biasa atau menggunakan bahasa sejelas-jelasnya sedangkan metode formal adalah perumusan dengan tanda dan lambang-lambang. Tanda yang dimaksud di antaranya tanda /.../ menunjukkan ejaan fonemis, tanda bintang (*) artinya proto, tanda panah ( ) arah perubahan atau tetap bertahan, tanda titk ((.))lambang yang menandai silabik, tanda kurung siku ([ ]) menunjukkan ejaan fonetis, dan lain-lain (Sudaryanto, 1993:144--157).