BAB III KOTA GUNUNGSITOLI Kearifan Lokal dan Sikap Etnis Nias Terhadap Para Pendatang
A. Gambaran Umum Kota Gunungsitoli 1. Sejarah Singkat Berdasarkan salah satu sumber tertulis yang ada, secara historis momentum lahirnya Kota Gunungsitoli bersamaan dengan kelahiran Pelabuhan Luahanou, tepatnya pada hari Sabtu tanggal 7 April 1629.1 Terdapat banyak pendapat mengenai nama “Gunungsitoli” itu sendiri. Ada yang mengatakan bahwa nama “Gunungsitoli” berasal dari istilah Onozitoli, yaitu suatu nama kampung (banua), yang memiliki arti: ono = anak, zitoli atau sitoli = nama orang. Pendapat lain mengatakan bahwa nama Gunungsitoli berasal dari kata Hilisite’oli, yang memiliki arti: hili = gunung, dan site’oli = yang berjejer.2 Namun, salah seorang tokoh masyarakat sekaligus budayawan dan seniman Nias bernama F. Zebua, dalam salah satu bukunya menuliskan bahwa nama Gunungsitoli berasal dari istilah Hiligatoli. Ia mengatakan sebagai berikut: Asal-usul logis, benar, argumentatif dan historis-fundamental serta dapat dipertanggungjawabkan tentang sebutan “Gunungsitoli” berasal dari istilah Hiligatoli, nama gunung dalam pusat kota Gunungsitoli sekarang (persambung-an Hilihati sekarang). Nama Gunung itu berasal dari nama orang Toli’ana’a, dengan panggilan sehari-hari Katoli = Gatoli. Katoli ini adalah putera sulung baginda Löchözitölu Zebua (cikal-bakal Banua Hilihati). Toli’ana’a dikuburkan di gunung itu sebelum timbulnya pelabuhan Luahanou dan sebelum timbulnya istilah “gunungsitoli” itu. Kemudian Hiligatoli itu diterjemahkan dalam bahasa Melayu yang berakulturasi dengan 1
Marinus Telaumbanua (penyunting), Kota Gunungsitoli Sejarah Lahirnya dan Perkembangannya (Gunungsitoli Pulau Nias, 1996), 124. 2 Ibid., 70-71.
22
bahasa Nias menjadi gunungsitoli, yaitu: Hili = Gunung; Gatoli dari Katoli = Ka Toli = Si Toli atau Sitoli (nama orang tersebut di atas).3 Dalam bukunya, secara historis F. Zebua menuliskan perkembangan Kota Gunungsitoli dilihat dari beberapa aspek, antara lain: Mengenai statusnya: sejak lahirnya kota Gunungsitoli pada tahun 1629, masih sebagai pelabuhan alam terbuka, dan disebut Luaha. Kemudian hari menjadi pasar pelabuhan dan disebut “Fasa” dan sejak tahun 1755 menjadi kota pelabuhan dan disebut “kade”. Terakhir pada tahun 1840 menjadi ibu kota pemerintahan dan disebut “Ina Mbanua” (Ina Mbanua Danö Niha) hingga sekarang. Mengenai penduduk dan populasinya: pada awalnya adalah homogen Ononiha tetapi heterogen mado (dari Sitölu Tua). Kemudian mulai pada tahun 1700 terjadi heterogen etnis (Ononiha, Aceh, Minangkabau). Seterusnya pada tahun 1755 bertambah heterogen dengan datangnya etnis Belanda (VOC) dan etnis Melayu. Lalu pada tahun 1840 orang Belanda partikulir berganti dengan orang Belanda Gubernemen. Pada tahun 1850 ditambah lagi oleh etnis Cina. Pada tahun 1865 datang etnis Jerman dan pada tahun 1940/1942 datang orang Jepang. Sejak tahun 1945, masa Indonesia merdeka, penduduk menjadi heterogen dalam hal etnis dan mado (marga) secara terus-menerus dan silih berganti. 4 Sebelum pemekaran Kabupaten Nias menjadi 4 (empat) kabupaten (Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Barat dan Kabupaten Nias Utara) serta 1 (satu) kota, yaitu Kota Gunungsitoli; maka Gunungsitoli merupakan Ibu Kota Kabupaten Nias secara keseluruhan. Namun demi peningkatan pelayanan publik dan upaya percepatan pembangunan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka oleh masyarakat bersama-sama dengan Pemerintah dirasa sangat perlu untuk membentuk sebuah daerah otonom baru untuk merealisasikan program pelayanan dan pembangunan di atas. Oleh karena itu, dengan memperhatikan aspirasi seluruh komponen masyarakat tersebut serta demi efektifitas dan efisiensi pembangunan, Pemerintah telah
3
Ibid., 71-73. Ibid., 124-125
4
23
melakukan kajian secara mendalam dan menyeluruh mengenai kelayakan pembentukan
daerah dan berkesimpulan bahwa
perlu
dibentuk Kota
Gunungsitoli.5 Maka pada tahun 2008 terbentuklah Kota Gunungsitoli sebagai hasil dari pemekaran Kabupaten Nias. 2. Letak Geografis dan Batas-Batas Wilayah Seperti telah disebutkan di atas, Kota Gunungsitoli merupakan salah satu daerah otonom baru di Provinsi Sumatera Utara yang baru diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri, Mardiyanto, pada tanggal 29 Oktober 2008. Kota Gunungsitoli adalah salah satu daerah kota di Propinsi Sumatera Utara yang mempunyai jarak ± 85 mil laut dari Sibolga (daerah Propinsi Sumatera Utara). Luas wilayah Kota Gunungsitoli adalah sebesar ± 469,36 km² (0,63 % dari luas wilayah Propinsi Sumatera Utara).6 Secara administratif, dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2008, Kota Gunungsitoli terdiri dari 6 (enam) kecamatan, yaitu:7 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kecamatan Gunungsitoli Utara Kecamatan Gunungsitoli Alo’oa Kecamatan Gunungsitoli Kecamatan Gunungsitoli Selatan Kecamatan Gunungsitoli Barat Kecamatan Gunungsitoli Idanoi
Wilayah Kota Gunungsitoli berbatasan dengan:8 Sebelah Utara :
Kecamatan Sitölu Ōri (Kabupaten Nias Utara)
Sebelah Selatan:
Kecamatan Gidö dan Kecamatan Hili Serangkai (Kabupaten Nias)
5
Badan Pusat Statistik Kabupaten Nias & Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Gunungsitoli: Gunungsitoli Dalam Angka 2010 ,(No. Publikasi: 12015.10.10), xvii. 6 Ibid., 3. 7 Ibid., xvii. 8 Ibid., 3.
24
Sebelah Timur :
Samudera Indonesia
Sebelah Barat :
Kecamatan Alasa Talumuzöi dan Namöhalu Esiwa (Kabupaten Nias Utara), dan Kecamatan Hiliduho (Kabupaten Nias)
Gambar 1 : Peta Kepulauan Nias – Kota Gunungsitoli
3. Populasi Penduduk
Jumlah penduduk Kota Gunungsitoli berdasarkan Sensus Penduduk pada tahun 2009 adalah 104.260 jiwa. Sex Ratio Kota Gunungsitoli adalah sebesar
25
96,45 artinya jika ada 10.000 perempuan di Kota Gunungsitoli maka ada 9.645 laki-laki di Kota Gunungsitoli pada Mei tahun 2009. Hal ini berarti bahwa persentase banyaknya penduduk berjenis kelamin perempuan lebih besar daripada laki-laki yaitu perempuan 51% (63.915 jiwa) sedangkan laki-laki 49% (61.651 jiwa). Secara khusus dalam Kecamatan Gunungsitoli, jumlah penduduk adalah 60.169 jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 30.036 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 30.133 jiwa.9
4. Motto Kota Gunungsitoli Sejak diresmikannya Kota Gunungsitoli sebagai salah satu daerah otonom baru di Provinsi Sumatera Utara, maka dirumuskan sebuah motto pelayanan sebagai jiwa (semangat/visi) seluruh masyarakat, secara khusus bagi Pemerintah Kota dan beserta seluruh jajarannya dalam melaksanakan misi pembangunan dan pelayanan publik. Motto tersebut ialah “Gunungsitoli Kota Samaeri”. Istilah “samaeri” dalam bahasa Nias mengandung makna mengayomi, memelihara, dan menuntun. Istilah ini juga biasa digunakan terhadap tanggung jawab orangtua dalam membesarkan, mendidik, dan menyediakan kebutuhan hidup anakanaknya, sehingga mereka bisa mandiri dan memiliki masa depan yang cerah di masa yang akan datang.
Kemudian istilah “samaeri” ini diaplikasikan dalam misi pemerintahan dan pembangunan dengan uraian sebagai berikut: SA = Satukan langkah dan tekad,
9
Ibid., 38-39.
26
MA = Mandiri, E = Ekonomi kerakyatan, RI = Beriman.10 Motto “Gunungsitoli Kota Samaeri ini lebih lanjut diterjemahkan dalam misi:
SAtukan langkah dan tekad mewujudkan kota Mandiri yang berbudaya, sejahtera dan berwawasan lingkungan, dengan penguatan program Ekonomi, pendidikan, kesehatan, pariwisata dengan dukungan masyarakat beRIman, yang takut akan Tuhan sehingga memperoleh curahan berkat berkelimpahan yang dapat dinikmati secara bersama-sama.11 5. Kebudayaan Masyarakat Nias (Gunungsitoli)
Dalam konteks kemasyarakatan, secara umum telah diterima bahwa etnis Nias merupakan penduduk asli Pulau Nias. Pulau Nias biasa dikenal dengan nama Tanö Niha, artinya: Bumi Manusia. Penduduk asli Pulau Nias dikenal dengan sebutan Ono Niha, yang secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai manusia atau anak manusia. Sebutan ini merujuk kepada suku (orang) Nias asli. Sedangkan etnis-etnis pendatang dari luar (orang lain/orang asing) disebut dengan istilah Ndrawa, misalnya Ndrawa Aceh (orang asing dari Aceh), orang Belanda disebut sebagai Ndrawa Hulandro (orang asing dari Belanda). Istilah Hulandro itu diambil dari istilah Holland, suatu nama atau istilah lain yang dipakai di Eropa untuk menyebut negeri Belanda. Sedangkan etnis Cina atau orang keturunan Cina disebut dengan Gehai (Kehai).12 Dalam masyarakat Nias, salah satu mite menceritakan bahwa asal usul suku Nias diturunkan dari lapisan langit atau Teteholi Ana'a. Dalam hal ini sering
10
http://www.depdagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id/12/name/sumaterautara/detail/1278/kota-gunung-sitoli/ 6 Mei 2012. 11 12
Ibid., Johannes Maria Hammerle, Asal-Usul Masyarakat Nias Suatu Interpretasi.., 7.
27
dipakai istilah yang memiliki arti atau makna yang sama, yaitu: ladada, lafailo, yang memiliki arti: mereka diturunkan.13
Masyarakat Gunungsitoli sebagai bagian dari masyarakat Nias secara umum, sudah pasti mewarisi kebudayaan Nias itu sendiri. Hal ini semakin didukung dan dikuatkan oleh fakta sosial bahwa kelompok etnis mayoritas yang ada di dalam Kota Gunungsitoli itu sendiri adalah etnis Nias. Kebudayaan Nias dikenal dengan kekayaan budaya dan tradisi yang bernilai sejarah yang memiliki keunikan (kekhasan yang berbeda) dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Beberapa dari kekayaan budaya dan tradisi tersebut, antara lain: peninggalan budaya megalitikum dan tradisi lompat batu (hombo batu), arsitektur rumah adat Nias, Fatele (tarian perang),14 bahasa, tradisi lisan dan mite, adat-istiadat dan pandangan hidup,15 serta berbagai kebudayaan lainnya yang sangat kaya dan unik.
Selain beberapa bentuk kebudayaan yang telah disebutkan di atas, salah satu bentuk kebudayaan lainnya yang sangat kaya dalam masyarakat Nias secara umum, dan dalam masyarakat Gunungsitoli khususnya ialah kearifan-kearifan lokal. Kearifan-kearifan lokal ini sangat berperan atau berpengaruh dalam kelangsungan kehidupan sosial masyarakat Gunungsitoli, secara khusus dalam hal menjaga dan mempertahankan harmoni sosial.
13
Ibid., 67. Esther GN Telaumbanua, Nias Bangkit Langkah-Langkah Awal (Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan, 2011), 9. 15 Johannes Maria Hammerle, Asal-UsulMasyarakat Nias Suatu Interpretasi.., 3. 14
28
Untuk tetap menjaga keharmonisan sosial di dalam kelangsungan hidup bermasyarakat, secara khusus dalam hubungan antar etnis dan juga dalam hubungan antar umat beragama di Kota Gunungsitoli, terdapat beberapa kearifan lokal yang mempengaruhi sikap etnis Nias terhadap para pendatang dalam konteks masyarakat Gunungsitoli. Kearifan lokal tersebut adalah nilai-nilai kehidupan bermasyarakat yang disepakati bersama, yang merupakan perwujudan secara nyata dari nilai-nilai budaya dan nilai-nilai keagamaan yang ada dalam sistem masyarakat Nias secara umum, dan di dalam sistem masyarakat Gunungsitoli khususnya. Masyarakat dengan pengetahuan dan kearifan lokal telah ada di dalamkehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman pras e j a r a h sampai s e ka r a n g ini, ke a r i f a n tersebut m e r u p a ka n p e r i l a ku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat (Wietoler, 2007), yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya, perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara turun-temurun, s e c a r a u m u m , b u d a y a l o k a l a t a u b u d a y a d a e r a h d i m a k n a i s e b a g a i budaya yang berkembang di suatu daerah, yang unsur-unsurnya adalah budaya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah itu.16 Salah satu pendapat lainnya yang menjelaskan tentang kearifan lokal ialah: Kearifan lokal (local genius/local wisdom) merupakan pengetahuan lokal yang tercipta dari hasil adaptasi suatu komunitas yang berasal dari pengalaman hidup yang dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Kearifan lokal dengan demikian merupakan pengetahuan lokal yang digunakan oleh masyarakat lokal untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungannya yang menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, budaya dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama. Proses regenerasi kearifan lokal dilakukan melalui tradisi lisan (cerita rakyat) dan
16
http://www.scribd.com/doc/61508852/KEARIFAN-LOKAL/ 25-11-2011/
29
karya-karya sastra, seperti babad, suluk, tembang, hikayat, lontarak dan lain sebagainya. 17 Sementara Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986)18 mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya unstuckbertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah: 1. Mampu bertahan terhadap budaya luar. 2. Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar. 3. Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli. 4. Mempunyai kemampuan mengendalikan. 5. Mampu memberi arah pada perkembangan budaya. Berdasarkan pemahaman-pemahaman di atas, dan juga dari hasil wawancara dengan informan kunci serta beberapa sumber informasi lainnya, maka ada beberapa kearifan lokal yang tertuang dalam ungkapan dan pepatah berbahasa Nias di hampir seluruh daerah di Kepulauan Nias, dan di Kota Gunungsitoli khususnya. Berdasarkan informasi yang didapatkan di lapangan penelitian, secara historis dapat dikatakan bahwa tidak ada suatu data yang pasti (valid) tentang kapan dan dimana kearifan-kearifan lokal tersebut mulai muncul, disepakati dan dipergunakan untuk pertama kalinya dalam kebudayaan masyarakat Nias, termasuk perihal siapa yang merumuskannya sejak awal. Beberapa kearifan lokal tersebut ialah: -
Banua dan fatalifusöta. Berdasarkan hasil wawancara langsung dengan
Bapak Sorayana Zebua (Ama Cipta Zebua),19 banua dapat diartikan sebagai 17
http://www.yayasankorpribali.org/artikel-dan-berita/59-mengelola-nilai-kearifan-lokal-dalammewujudkan-kerukunan-umat-beragama.html /25-11-2011/ 18 Ayatrohaedi.,Kepribadian Budaya Bangsa( Local Genius) (Jakarta: Pustaka Jaya,1986), 40-41.
30
sebuah wilayah (teritorial) yang di dalamnya terdapat sejumlah individu-individu yang berinteraksi satu sama lain. Jadi, banua merupakan tempat tinggal sekelompok manusia atau sebuah komunitas sosial. Dalam banua, masyarakat Nias (Ono Niha) menata kehidupan atau yang disebut kebudayaan. 20 Kemudian di dalam banua ini, disepakati dan diterapkan sejumlah hukum atau norma atau adat istiadat yang mengatur kelangsungan hidup bersama demi tetap terpeliharanya harmoni sosial. Demikian juga dalam wawancara langsung penulis dengan Bapak Pdt. Y.S. Harefa,21 ia mengatakan bahwa banua merupakan salah satu faktor utama pemersatu sosial masyarakat Nias, termasuk Kota Gunungsitoli yang plural tersebut. Sedangkan fatalifusöta, memiliki makna ‘persaudaraan’, yang tidak hanya didasarkan atas hubungan darah (klan), tapi juga hubungan persaudaraan karena berada dalam satu banua, meskipun berbeda marga, suku, maupun agama. Lebih lanjut, Bapak Sorayana Zebua menjelaskan bahwa ketika banua didirikan, ada ikrar (janji/sumpah) dari setiap orang yang mau bergabung sebagai anggota masyarakat yang sah di dalam banua. Makanya ada ungkapan yang mengatakan: ‘ufaböbödo banua’ yang berarti “saya mengikatkan diri saya sebagai bagian dari masyarakat ini” dan sekaligus
terhitung
sebagai
warga/penduduk
yang
sah
dari
wilayah
(desa/kampung) tersebut. Dengan hal ini, maka ia memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan seluruh warga/penduduk yang sudah kian ada dalam wilayah 19
Wawancara dengan Bapak Sorayana Zebua (Ama Cipta Zebua), Minggu, 5 Februari 2012, Pukul 19.00, bertempat di rumah kediaman beliau di Desa Sihare’ö Siwahili, Kota Gunungsitoli. Ia adalah informan kunci dalam penelitian ini. Ia bekerja sebagai Sekretaris DPRD Kota Gusit, sekaligus merupakan tokoh masyarakat dan budaya di Kota Gunungsitoli. Ia juga merupakan putra sulung dari Bapak F. Zebua, alm. (Ama Yana Zebua) penulis buku “Kota Gunungsitoli Sejarah Lahirnya dan Perkembangannya”. 20 Tuhony Telaumbanua., “Upaya Menata Sosial-Budaya Masyarakat Nias Pasca Bencana”, di dalam Pramudianto (editor), Nias Rescuing And Empowering Authority (Tangerang: Cirao Credentia Center, 2005), 82. 21 Wawancara dengan Bapak Pdt. Y.S. Harefa, S.Th, Selasa, 7 Februari 2012, Pukul 09.30 Wib..,
31
tersebut. Hal ini merupakan komitmen dan kepatuhan terhadap segala hukum atau norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Oleh karena itu, banua sebagai komunitas sosial dalam kehidupan sosiologis masyarakat Nias merupakan sebuah tempat kehidupan bersama, yang di dalamnya terdapat banyak orang dari berbagai etnis atau suku yang bukan hanya terdiri dari etnis Nias saja, melainkan juga para pendatang atau etnis-etnis lainnya, dari timur dan barat, dari berbagai agama, dari berbagai marga yang berbeda-beda, serta dari berbagai latar belakang kehidupan budaya, sosial-ekonomi yang berbeda-beda. Akhirnya, semua ikatan, komunikasi dan interaksi sosial yang terjadi di dalamnya disebut sebagai fabanuasa. Kearifan lokal ini telah lama dipelihara, bahkan telah mengakar kuat dan memiliki pengaruh yang besar dalam prinsipprinsip hidup bersama dalam komunitas masyarakat Nias termasuk Kota Gunungsitoli. Dalam kearifan lokal ini terlihat secara jelas sikap positif dan konstruktif dari etnis Nias dalam menghadapi dan menerima para pendatang atau etnis-etnis lain. Kearifan lokal ini mempengaruhi sikap etnis Nias terhadap para pendatang dalam menciptakan harmoni sosial yang bernuansa pluralitas etnis dan pluralitas agama. Jadi, apa pun agamanya atau etnisnya tidak menjadi persoalan, yang paling penting adalah dia itu talifusögu, banuagu. Itulah sebabnya dalam berbagai kegiatan di Kota Gunungsitoli kita bisa melihat orangorang dari berbagai agama dan atau denominasi bisa duduk bersama dengan rukun.
32
Gambar 2: Foto bersama dengan Bapak Tapak Wong. Ia adalah Ketua Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Kota Gunungsitoli, sekaligus salah seorang tokoh masyarakat etnis Cina di Kota Gunungsitoli.
-
Emali dome si so ba lala, ono luo na so yomo. Dalam wawancara dengan
Bapak Pdt Y.S. Harefa,22 beliau mengatakan bahwa ungkapan ini merupakan salah satu filsafat hidup masyarakat Nias yang sudah lama ada dan dihidupi oleh masyarakat Nias sejak puluhan atau ratusan tahun yang lalu. Beliau menjelaskan bahwa filsafat hidup tersebut dapat diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut: “seseorang yang masih berada di jalan (di luar pekarangan rumah) dianggap sebagai tamu tak dikenal atau orang asing, namun seseorang itu dapat menjadi saudara (tamu agung) yang sangat dihormati kalau
22
Ibid.,
33
ia sudah berada di dalam rumah kita.” Ungkapan ini sesungguhnya bermakna penghormatan yang sangat tinggi dari masyarakat Nias terhadap tamu atau orang asing (pendatang) yang datang berkunjung, bertamu, atau singgah di rumah masyarakat Nias dalam lingkup yang paling kecil, atau di daerah Nias dalam lingkup yang lebih luas. Filsafat hidup ini juga sangat mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Nias secara umum dan di dalam kehidupan masyarakat Gunungsitoli secara khusus. Filsafat hidup ini menghadirkan kenyamanan, keamanan, persahabatan dan rasa persaudaraan terhadap siapa pun yang datang berkunjung atau pun tinggal menetap di Kota Gunungsitoli dan di Nias secara keseluruhan. Melalui filsafat hidup ini, masyarakat Nias mau mengungkapkan bahwa tamu atau orang asing (pendatang) yang memperkenalkan dirinya dan memberitahu maksud kedatangannya adalah tamu terhormat yang layak diperlakukan sebagai orang terhormat. Hal ini berlaku kepada siapa saja tanpa melihat latar belakang agama, etnis, hubungan darah, silsilah keluarga atau garis keturunan,
marga,
tingkat
kehidupan
sosial-ekonomi,
pendidikan,
dan
sebagainya. Selain pemaknaan di atas, secara sosial dan budaya, ungkapan ini juga bisa dipahami dalam dua pengertian: Pertama, mau mengungkapkan keinginan “tuan rumah” untuk mengundang “tamunya” datang atau masuk ke dalam rumah. Ini adalah bagian dari keramahtamahan dan keterbukaan orang Nias. Kedua, bentuk ajakan “tuan rumah” kepada orang lain untuk membicarakan (musyawarah) sesuatu hal (biasanya dipakai ketika ada “tamu” yang hendak “manofu niha”/melamar anak perempuan).
34
-
Sebua ta’ide’ide’ö, side’ide mutayaigö. Dalam wawancara langsung dengan
Bapak Pdt. Y. Laoli, S.Th,23 ia menjelaskan bahwa ungkapan ini seringkali digunakan sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan berbagai konflik atau masalah yang terjadi di kalangan masyarakat Nias. Ungkapan ini memiliki makna agar masalah yang besar jangan dibesar-besarkan, sebaliknya diusahakan menjadi lebih sederhana (kecil) sehingga dapat terselesaikan secara tuntas tanpa meninggalkan bekas atau dendam apa pun di hati kedua belah pihak yang sudah bertikai atau berkonflik. Kearifan lokal ini digunakan sebagai salah satu cara strategis untuk meredakan atau mendinginkan suasana konflik (pertikaian) yang sedang terjadi, serta merupakan salah satu unsur penting dalam rekonsiliasirekonsiliasi terhadap berbagai konflik sosial yang sedang terjadi di tengahtengah masyarakat. Kearifan lokal ini sering diperdengarkan oleh para orang tua dan tokoh-tokoh masyarakat dalam pertemuan-pertemuan yang membahas tentang penyelesaian masalah-masalah sosial, secara khusus masalah-masalah antar warga dan masalah-masalah kekeluargaan. Semua ini dilakukan demi menjaga dan mempertahankan harmoni sosial yang sudah lama lama terjalin dan terpelihara dalam komunitas masyarakat. Dalam penyelesaian masalah-masalah sosial tersebut, tidak ada pembedaan marga, suku, agama maupun status sosial lainnya; semuanya didasarkan atas nilai-nilai kekeluargaan, keadilan dan kesetaraan.
23
Wawancara dengan Bapak Pdt. Y. Laoli, S.Th, Kamis, 9 Februari 2012, Pukul 10.00 Wib bertempat di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Nias. Pada saat wawancara tersebut beliau adalah Penjabat Sementara Kepala Kantor Departeman Agama Kabupaten Nias. Beliau juga merupakan salah seorang anggota Badan Pekerja Majelis Sinode (BPMS) BNKP, Pendeta Fungsional di Gereja BNKP , dan juga salah seorang tokoh masyarakat Nias.
35
B. Keadaan Sosio - Religius Masyarakat Gunungsitoli
Masyarakat Gunungsitoli adalah masyarakat plural.
Pluralitas ini salah
satunya diindikasikan oleh segi kehidupan sosio-religiusnya, yaitu terdiri dari beragam agama yang diakui di Indonesia. Berdasarkan realitas objektif sosioreligiusnya ini, dapat dikatakan bahwa Kota Gunungsitoli merupakan salah satu komunitas masyarakat agamis-pluralistik yang ada di Indonesia. Ada yang memeluk agama Kristen Protestan, Islam, Katolik, Budha dan Hindu. Hal itu dapat terlihat jelas dari tabel sebagai berikut: Tabel 1 : Banyaknya Umat Menurut Kecamatan Table 1 : Number of Worshiper by District Tahun/Year of Oktober201024
No 1.
Kecamatan/ District Gunungsitoli
Islam
Protestan
Katolik
Hindu
Budha
Konghucu Kepercayaan
1 338
20 224
2 353
1
5
0
0
246
13 718
991
0
0
0
0
Idanoi 2.
Gunungsitoli Selatan
3.
Gunungsitoli Barat
13
7 455
503
4.
Gunungsitoli
12 339
41 325
4 546
5.
Gunungsitoli
15
7 023
264
1
0
0
0
13
303
0
6
0
0
0
0
Alo’oa 6
Gunungsitoli Utara Jumlah Total
2 827
14 113
734
3
0
0
6
16 778
103 858
9 391
18
308
0
12
Sumber : Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Gunungsitoli Source : Demography and Civil Administration Office of Gunungsitoli
Jumlah rumah ibadah pada tahun 2009 adalah sebanyak 443 unit, yaitu mesjid/surau 59 unit, gereja protestan 359 unit, gereja katolik 36 unit, dan vihara 1 24
Badan Pusat Statistik Kabupaten Nias & Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Gunungsitoli: Gunungsitoli Dalam Angka 2010, (No. Publikasi: 12015.10.10), 117.
36
unit, tersebar di seluruh kecamatan. Demikian juga pada tahun 2010, tidak ada perubahan dalam hal jumlah rumah ibadah di Kota Gunungsitoli. Hal tersebut dapat terlihat pada tabel di bawah: Tabel 2 : Banyaknya Rumah Ibadah Menurut Kecamatan Table 2 : Number of Places of Worship by District Tahun/Year of Oktober201025 No
1.
Kecamatan/ District Gunungsitoli
Mesjid
Gereja
Gereja
Pura
Wihara
Jumlah
Protestan
Katolik
7
56
14
-
-
77
1
63
4
-
-
68
-
45
3
-
-
48
Total
Idanoi 2.
Gunungsitoli Selatan
3.
Gunungsitoli Barat
4.
Gunungsitoli
43
94
5
-
1
143
5.
Gunungsitoli
-
59
1
-
-
60
8
42
9
-
-
47
59
359
36
Alo’oa 6
Gunungsitoli Utara Jumlah Total
1
443
Sumber : Kantor Kementerian Agama Kabupaten Nias Source : Religius Ministry Office of Nias Regency
Meskipun masyarakat Gunungsitoli merupakan masyarakat yang agamis pluralistik, namun fakta sosial menunjukkan bahwa tidak pernah ada konflik antar umat beragama, maupun konflik antar etnis yang mewarnai kehidupan sosialnya. Justru realitas sosial yang Nampak secara nyata ialah telah terciptanya harmoni
25
Ibid., 116.
37
sosial antar umat beragama. Berdirinya rumah-rumah ibadah tanpa hambatan atau penolakan merupakan salah satu indikator kuat yang menunjukkan bahwa kebebasan beribadah dan kerukunan antar umat beragama telah terjalin dengan sangat harmonis dan kondusif di Kota Gunungsitoli. Dalam salah satu wawancara langsung dengan Bapak Pdt. Y.S. Harefa, beliau mengatakan bahwa: Secara umum, kondisi kehidupan antar umat beragama di Kota Gunungsitoli sangat bagus. Dalam perjalanan sejarah dapat dikatakan hampir tidak ada konflik antar umat beragama atau kekerasan atas nama agama. Bahkan kondisi ini tidak hanya terlihat di Kota Gunungsitoli, tapi juga di seluruh wilayah di Kepulauan Nias. Hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor kesadaran beragama antar umat serta kuatnya filosofi persaudaraan yang ada dalam masyarakat Nias.26 Demikian juga pernyataan dari Ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) Kabupaten Nias dalam salah satu wawancara langsung dengan penulis, beliau mengatakan: Di Nias, secara khusus di Kota Gunungsitoli, hubungan antar umat beragama sangat kondusif. Ini merupakan salah satu kenyataan sosial yang unik dan patut disyukuri oleh seluruh warga masyarakat Nias. Hal ini sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor penting, antara lain: faktor pertalian darah atau hubungan kekeluargaan (satu keturunan) yang sudah ada sebelumnya di antara masyarakat Nias, dan juga karena tidak adanya pembedaan dalam perayaan hari-hari besar keagamaan, semua agama mendapat kesempatan dan perlakuan yang sama. Hal ini dibuktikan melalui kesediaan untuk menghadiri acara-acara (ibadah) perayaan hari-hari besar keagamaan dari pemeluk agama yang satu terhadap pemeluk agama lainnya. Juga penyampaian pesan-pesan keagamaan secara sehat dan benar, yaitu ajakan untuk berbuat kebaikan dan kasih; tidak bersifat provokatif dan fundamentalis. Hampir tidak ada laporan keluhan tentang arogansi atau fanatisme dari salah satu organisasi agama.27
26
Wawancara dengan Bapak Pdt. Y.S. Harefa, S.Th, Selasa, 7 Februari 2012, Pukul 09.30 Wib bertempat di Kantor Pusat Sinode BNKP di Gunungsitoli. Pada waktu wawancara tersebut, Pdt Y.S. Harefa masih menjabat sebagai Sekretaris Umum Banua Niha Keriso Protestan (BNKP). 27 Wawancara dengan Bapak Jafar Harefa, S.Ag (Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Nias), Kamis, 9 Februari 2012, Pukul 10.00 Wib bertempat di Kantor Departemen Agama Kabupaten Nias.
38
C. Sikap Etnis Nias Terhadap Para Pendatang di Kota Gunungsitoli Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang masyarakatnya sangat plural (majemuk). Kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu horizontal dan vertikal. Dalam perspektif horizontal, kemajemukan bangsa dapat kita lihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, pakaian, makanan, dan budaya. Sementara dalam perspektif vertikal, kemajemukan bangsa dapat kita lihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan, dan tingkat sosial budaya. 28 Kemajemukan merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Seperti diketahui, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, yang mencapai 17.667 pulau besar dan kecil, dengan terdapat 350 kelompok etnis, adat istiadat, dan cara-cara sesuai dengan kondisi lingkungan tertentu.29 Demikian juga seperti telah disebutkan sebelumnya, masyarakat Nias umumnya, dan masyarakat Gunungsitoli khususnya adalah masyarakat plural. Pluralitas itu tidak hanya tercermin dalam hal kemajemukan agama, marga, dialek bahasa, budaya, serta adat-istiadat yang dianut oleh masyarakatnya, tetapi juga dalam hal kemajemukan etnis yang ada di dalamnya. Etnis Nias adalah etnis mayoritas yang ada di dalamnya. Suatu masyarakat disebut sebagai masyarakat majemuk, jika masyarakat tersebut memenuhi satu dari dua definisi berikut ini. Pertama, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri dari komunitas etnik yang berbeda-beda. Komunitas etnik tersebut hidup terpisah-pisah, dan masingmasing memiliki moralitasnya sendiri. Yang kedua, masyarakat majemuk
28 29
Usman Pelly dan Asih Menanti, Teori-Teori Sosial Budaya (Jakarta: Dirjen Depdikbud, 1994), 68. Ibid.,
39
adalah masyarakat yang hidup di dalam satu komunitas yang sama, namun dipisahkan satu sama lain oleh pasar.30 Berdasarkan fakta-fakta sosial seperti telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa Kota Gunungsitoli merupakan salah satu wilayah kependudukan yang cukup representatif untuk menggambarkan pluralitas etnis dibandingkan dengan beberapa wilayah lainnya yang ada di kepulauan Nias. Di Kota Gunungsitoli, berbagai etnis seperti etnis Nias, Cina (Tionghoa), Padang (Melayu), Batak, Aceh, dan Jawa, bertemu, bergaul serta berhubungan dan menjalin kerjasama satu dengan lainnya dalam interaksi-interaksi sosial. Di antara semua etnis yang ada di Kota Gunungsitoli, etnis Nias merupakan etnis mayoritas atau paling banyak jumlah penduduknya. Walaupun banyak teori, dugaan-dugaan atau mitos yang mencoba menjelaskan mengenai asal-usul masyarakat Nias,31 namun sebenarnya masih belum ada kesepakatan yang jelas atau sumber informasi yang paling valid dan lengkap sehubungan dengan hal tersebut. Berdasarkan jumlah penduduk Kota Gunungsitoli yang berjumlah kurang lebih 104.260 jiwa (Sensus Penduduk pada tahun2009), masih belum ada data-data yang valid mengenai jumlah penduduk dari masing-masing etnis yang ada di Kota Gunungsitoli. Demikian juga dalam buku “Gunungsitoli Dalam Angka 2010,yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Nias & Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Gunungsitoli, masih belum dapat ditemukan data-data
30
http://www.averroes.or.id/uncategorized/multikulturalisme-di-dalam-masyarakatmajemuk1.html/20Juni 2012. 31 Tentang asal usul masyarakat Nias masih belum ada kepastian yang jelas atau kesepakatan di antara para antropolog maupun di antara masyarakat Nias itu sendiri. (Band. Johannes Maria Hammerle, AsalUsulMasyarakat Nias Suatu Interpretasi.., 67-77).
40
kuantitatif mengenai komposisi (jumlah) dari masing-masing etnis yang ada di Kota Gunungsitoli. Namun secara umum dalam komposisi kependudukan di Kota Gunungsitoli secara keseluruhan, etnis Nias merupakan etnis yang terbesar jumlah penduduknya. Dan itulah sebabnya juga bahwa bahasa Nias merupakan salah satu bahasa yang paling umum atau paling sering digunakan dalam komunikasi verbal setiap harinya, selain bahasa Indonesia ataupun bahasa dari etnis-etnis lainnya. Meskipun demikian, hubungan sosial atau pergaulan antar etnis di Kota Gunungsitoli terjalin begitu harmonis. Keharmonisan sosial adalah suatu kondisi atau keadaan yang nyaman, aman, teratur, saling solider, damai, dan penuh dengan rasa persahabatan serta persaudaraan meskipun diperhadapkan pada berbagai perbedaan.32 Harmoni sosial antar etnis di Kota Gunungsitoli terjalin dengan sangat baik seperti halnya harmoni sosial antar umat beragama. Harmoni sosial yang tercipta ini tidak hanya berlangsung sebelum bencana gempa bumi di Nias yang terjadi pada tanggal 28 Maret 2005.33 Tetapi juga tetap berlangsung pasca peristiwa gempa bumi tersebut. Hal ini sesuai dengan penuturan yang disampaikan oleh Bapak Sorayana Zebua, bahwa harmoni sosial di Nias secara khusus di Kota Gunungsitoli pasca gempa bumi tetap terjaga dan terpelihara dengan baik, bahkan rasa persaudaraan dan rasa kebersamaan terjalin lebih erat dari sebelumnya; hal ini menurutnya mungkin disebabkan karena perasaan senasib dan sependeritaan yang dialami dan dirasakan oleh seluruh
32
Suranto Aw., Komunikasi Sosial Budaya (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), 68. Salah satu bencana gempa bumi terbesar di Indonesia bahkan dunia (kurang lebih 8,7 skala Richter) melanda seluruh Pulau Nias pada tanggal 28 Maret 2005. Hal ini menunjukkan bahwa Nias merupakan salah satu daerah yang rawan bencana. (lihat tulisan Tuhony Telaumbanua: “Upaya Menata Sosial-Budaya Masyarakat Nias Pasca Bencana”, di dalam Pramudianto (editor), Nias Rescuing And Empowering Authority (Tangerang: Cirao Credentia Center, 2005), 79. 33
41
masyarakat Nias akibat bencana gempa bumi tersebut. Ungkapan senada juga disampaikan oleh Bapak Pdt Y.S. Harefa, bahwa peristiwa gempa bumi di Nias tidak meruntuhkan, mengacaukan atau merusak harmoni sosial
yang sudah
tercipta dan terjalin sebelumnya di Nias dan khususnya Kota Gunungsitoli. Menurut mereka, hal ini terjadi oleh karena masyarakat Nias, dan khususnya masyarakat Gunungsitoli telah diikat dan dipersatukan oleh beberapa kearifan lokal yang telah dijelaskan di atas. Dari salah satu hasil wawancara langsung dengan Bapak Tapak Wong,34 ia menceritakan bahwa orangtuanya dan keluarga besar mereka telah tinggal di Kota Gunungsitoli selama puluhan tahun. Ia bercerita bahwa ayahnya berasal dari Kanton, Cina. Awalnya, orang tuanya tinggal di Teluk Dalam, Kabupaten Nias Selatan sekarang, pada tahun 1928. Setelah 9 tahun tinggal di sana, lalu orang tuanya pindah ke Gunungsitoli. Dari dulu orangtuanya bekerja sebagai pedagang seperti halnya sebagian besar etnis Cina lainnya yang ada di Kota Gunungsitoli. Mereka sungguh-sungguh merasakan bahwa diri mereka telah diterima sebagai keluarga dan warga yang sah yang tak terpisahkan dari masyarakat Nias umumnya dan masyarakat Gunungsitoli khususnya, bahkan telah mendirikan rumah sendiri sebagai tempat kediamannya dan seluruh anggota keluarganya di Kota Gunungsitoli. Ia mengakui bahwa masyarakat Nias merupakan komunitas sosial yang sangat terbuka untuk bersahabat dengan semua orang dari berbagai latar belakang budaya dan agama yang berbeda.
34
Wawancara dengan Bapak Tapak Wong, Selasa, 7 Februari 2012, Pukul 20.30 Wib, bertempat di Vihara Kota Gunungsitoli. Ia adalah Ketua Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Kota Gunungsitoli, sekaligus salah seorang tokoh masyarakat etnis Cina di Nias yang cukup fasih berbahasa Nias dan banyak mengetahui tentang kebudayaan Nias; bekerja sebagai wiraswasta (pedagang) di pusat Kota Gunungsitoli.
42
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa harmoni sosial yang telah tercipta di Kota Gunungsitoli selama puluhan bahkan mungkin ratusan tahun tersebut tidak terlepas dari filsafat hidup yang dianut, dihidupi dan diberlakukan dalam kehidupan sosial masyarakat Nias. Ia mengatakan bahwa konsep “banua” dan “fatalifusöta” adalah salah satu kearifan lokal yang sangat tinggi maknanya dalam masyarakat Nias, dan merupakan salah satu daya rekat sosial yang sangat ampuh untuk menciptakan, menjalin serta memelihara harmoni sosial antar etnis dan antar agama di Kota Gunungsitoli. Ia menjelaskan bahwa untuk diterima sebagai bagian dari masyarakat Nias khususnya sebagai warga Kota Gunungsitoli, mereka sebagai etnis Cina tidak pernah dipaksa atau harus melepaskan identitas sosial mereka sebagai warga etnis Cina, bahkan mereka diberi kebebasan untuk memelihara adat-istiadat dan kebudayaan mereka sendiri. Tentu saja mereka juga melakukan hal ini selama tidak bertentangan atau mengganggu ketertiban, keamanan dan kenyamanan masyarakat banyak. Menurutnya, kearifan lokal tersebut melampaui batas-batas dan sekat-sekat perbedaan yang ada, baik perbedaan marga, etnis, agama, kelas sosial-ekonomi, dan sebagainya. Sikap etnis Nias yang sangat terbuka dan mau menerima para pendatang atau etnis-etnis lain sebagai sahabat dan saudara, telah menciptakan suasana yang damai dan rukun di tengah-tengah masyarakat Gunungsitoli yang sangat pluralis. Demikian juga penuturan Bapak Harlen Tanjung,35 yang mengatakan bahwa selama mereka berdomisili di Kota Gunungsitoli tidak pernah ada paksaan atau keharusan dari etnis Nias sebagai penduduk asli atau kelompok mayoritas terhadap 35
Wawancara dengan Bapak Harlen Tanjung (Ama Fany Tanjung), Kamis, 9 Februari 2012 , Pukul 19.00 Wib. Beliau adalah salah seorang PNS di Pemko Gunungsitoli, sekaligus salah seorang masyarakat Gunungsitoli dari etnis Padang .
43
mereka untuk meninggalkan identitas sosial mereka sebagai warga etnis Padang. Tidak pernah ada hukum-hukum adat norma-norma budaya dalam masyarakat Nias dan masyarakat Gunungsitoli khususnya, yang mengharuskan etnis pendatang atau etnis minoritas (yang jumlahnya sedikit) untuk berganti identitas menjadi etnis Nias sebagai etnis mayoritas (yang jumlahnya paling banyak) sebagai syarat utama untuk diterima sebagai warga Kota Gunungsitoli yang sah. Secara umum, harmoni sosial antar etnis yang telah tercipta dan terjaga dengan baik di Kota Gunungsitoli dapat dilihat secara langsung dalam pergaulan setiap harinya dalam bidang sosial-budaya, keagamaan, ekonomi, pendidikan, dan pemerintahan. Tidak ada keengganan untuk bergaul, bersahabat, dan bekerjasama dengan orang lain yang berbeda agama, etnis, atau marga, sebab setiap orang memegang teguh keyakinan agamanya masing-masing tanpa bisa dipengaruhi oleh orang lain yang berbeda keyakinan dengannya. Hal ini sangat didukung oleh sikap toleransi yang tinggi di antara umat beragama di Kota Gunungsitoli, secara khusus dalam pelaksanaan-pelaksanaan ibadah dan kegiatan perayaan hari-hari besar keagamaan. Demikian juga tidak pernah ada masalah dalam hal pembangunan rumah-rumah ibadah. Dalam kegiatan-kegiatan sosial dan budaya, seperti upacara (pesta) perkawinan dan acara duka (peristiwa kematian), tetap saling mengundang dan saling menghadiri, tanpa melihat perbedaan latar belakang agama, etnis, marga, dan sebagainya. Bahkan tidak jarang terjadi perkawinan antar etnis dan antar umat beragama yang saling berbeda keyakinannya satu sama lain. Namun, hal ini tidak pernah menjadi faktor penyebab konflik atau kekacauan sosial dalam masyarakat
44
Nias umumnya dan masyarakat Gunungsitoli khususnya, selama hal tersebut telah disepakati bersama oleh keluarga besar dari kedua belah pihak mempelai. Dalam bidang ekonomi juga dapat terlihat jelas interaksi-interaksi sosial antar etnis di Kota Gunungsitoli. Aktivitas pasar seperti transaksi jual dan distribusi barang berjalan lancar. Etnis Cina (Tionghoa) dan etnis Padang sebagian besar merupakan distributor barang atau pemilik toko-toko besar di pusat pasar. Mereka menjalin hubungan yang harmonis dengan para pedagang besar dan kecil yang tersebar di berbagai kecamatan yang ada di Kota Gunungsitoli, bahkan kepada para pedagang besar dan kecil yang berasal dari kecamatan-kecamatan di luar Kota Gunungsitoli. Dalam bidang pemerintahan, banyak Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari etnis lain yang bukan etnis Nias yang menduduki jabatan-jabatan strategis. Demikian juga komposisi keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Gunungsitoli yang terdiri dari berbagai etnis dan agama yang berbeda.36 Secara sosiologis, masyarakat Gunungsitoli ini hidup secara bersama-sama sebagai sebuah komunitas sosial yang saling menerima, menghargai dan membaur satu sama lain dalam kegiatan-kegiatan keagamaan dan kegiatan-kegiatan sosial. Seperti pada perayaan hari-hari besar keagamaan, masyarakat Nias yang berbeda agama satu sama lainnya ini saling menghormati dalam pelaksanaan kegiatankegiatan peribadatannya. Tidak ada keengganan untuk menghadiri kegiatankegiatan keagamaan satu sama lainnya meskipun hal tersebut diselenggarakan di tempat-tempat ibadah seperti: Gereja, Mesjid, dan sebagainya.
36
Informasi ini didapatkan dari beberapa informan kunci yang diwawancarai langsung oleh penulis pada bulan Februari 2012.
45
Bahkan sampai sekarang masih ada kebiasaan saling berkunjung ke rumah antar pemeluk agama sebagai pengikat tali silaturahmi pada perayaan hari-hari besar keagamaan, seperti Natal dan Tahun Baru atau Hari Raya Idul Fitri, dan sebagainya. Juga dalam upacara-upacara adat seperti pesta perkawinan dan upacara penguburan orang mati, tetap terjalin kepedulian dan persaudaraan yang indah, baik dalam peristiwa suka maupun duka. Dalam kegiatan-kegiatan sosial dan budaya, seperti upacara (pesta) perkawinan dan acara duka (peristiwa kematian), tetap saling mengundang dan saling menghadiri, tanpa melihat perbedaan latar belakang agama, etnis, marga, dan sebagainya.37 Bahkan tidak jarang terjadi perkawinan antar etnis dan antar umat beragama yang saling berbeda keyakinannya satu sama lain. Namun, hal ini tidak pernah menjadi faktor penyebab konflik atau kekacauan sosial dalam masyarakat Nias umumnya dan masyarakat Gunungsitoli khususnya, selama hal itu telah disepakati bersama oleh keluarga besar dari kedua belah pihak mempelai. Secara historis, hampir
tidak ada konflik horizontal antar etnis yang
bersifat destruktif yang pernah terjadi di dalam masyarakat Gunungsitoli. Tidak ada aksi teror atau kekerasan atas nama etnis seperti yang sering terjadi di beberapa daerah lain di Indonesia. Secara kasat mata di dalam kehidupan nyata sehari-hari, prasangka-prasangka primordial, kebencian, dan fanatisme yang picik bernuansa etnis hampir tidak pernah mewarnai kehidupan sosial masyarakat Gunungsitoli.
37
Wawancara dengan Bapak Sorayana Zebua (Ama Cipta Zebua), Minggu, 5 Februari 2012, Pukul
19.00..,
46