BAB III KH. SAHAL MAHFUDHDAN CORAK PEMIKIRANNYA A. Riwayat Hidup KH MA Sahal Mahfud Untuk memahami pemikiran seorang tokoh secara komprehensip maka juga harus memahami apa saja faktor yang mempengaruhi diri orang tersebut, baik dari internal atau eksternal dirinya. Karena itu penulis dalam bab ini akan menguraikan tentang aktifitas KH MA Sahal Mahfudh, baik posisinya sebagai kiai –yang mempunyai tanggung jawab mendidik santri—maupun sebagai tokoh masyarakat (rijal al-qaryah) yang bertanggung jawab membina (masyarakat di luar pesantren) agar sejalan dengan tujuan syari’at Islam. Pembahasan ini mengharuskan penulis untuk mengetahui secara lebih jauh situasi sosial desa Kajen (tempat tinggal KH MA Sahal Mahfudh) khususnya, serta keberadaan KH. Sahal Mahfudhsendiri. Ini dimaksudkan untuk memberi gambaran secara komprehensif tentang sosok KH MA Sahal Mahfudh. 1. Latar Belakang, Biografi dan Pemikiran KH. Sahal Mahfudh KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh, yang lebih dikenal dengan KH. Sahal MahfudhMahfudh (selanjutnya disebut KH MA Sahal Mahfudh) lahir pada tanggal 17 Desember 1937 di Kajen, Margoyoso, Kabupaten Pati.1 Dia adalah putra ketiga Kiai Mahfudh Salam (w. 1944) dan Hj. Badriyah (1945) dan memiliki jalur nasab KH. Ahmad Mutamakin. Sebagaimana lazimnya putra kiai, saat kecil KH. Sahal MahfudhMahfudh mula-mula dibimbing oleh ayahnya sendiri selama 7 tahun, sebelum ayahnya meninggal. Satu tahun kemudian ibunya juga meninggal.2 Sebagai keturunan kiai, ia bertanggung jawab terhadap 1
Kajen merupakan sebuah desa kecil yang dihuni oleh belasan pesantren. Diantaranya pondok pesantren (PP) Matholi’ul Huda (KH Abdullah Salam telah wafat sekarang diganti ketiga putranya, PP Roudhatul Ulum (KH. Fayumi Munji), PP Salafiyah (KH Faqih Siroj sekarang meninggal diganti oleh putranya), PP APIK (Asrama Pelajar Kauman, KH Dzahwan), PP TPII (Taman Pendidikan Islam Indonesia, KH Muzammil Thahir), PP Manba’ul Huda (KH. Ma’mun Muhtar), PP Permata Al-Hikmah (KH. Ma’mun Muzayyin), PP Kauman (KH Umar Hasyim), PP Malakul Huda (KH MA Sahal Mahfudh, PP Pasarean (KH Nur Hadi), dan lain-lain.(lihat, Sumanto al-Qurtuby, KH. MA. Sahal Mahfudh Era Baru Fiqih Indonesia. Yogyakarta, Cermin. 1999, hlm. 120 2
Sahal Mahfudh, Dokumentasi PP Maslakul Huda.
43
44
perkembangan pesantren ayahnya. Dengan kondisi masyarakat tradisional yang jumud ia mencoba memupuk dirinya dengan belajar ilmu-ilmu agama. Ketika Ia menginjak usia 6 tahun (1943), dia mulai belajar di Madrasah Ibtidaiyah Kajen Pati, lulus 1949. Kemudian dia melanjutkan belajar Tsanawiyah Matholiul Falah juga di Kajen, Pati, lulus 1953. Setelah itu, dia belajar di pesantren Bendo, Kediri, sampai 1957 di bawah asuhan Kiai Muhajir. Selanjutnya dari 1957-1960, dia belajar di Pesantren Sarang, Rembang, di bawah asuhan Kiai Zubair. Dalam pendidikan agama KH. Sahal MahfudhMahfudh banyak dipengaruhi oleh pemikiran Imam Syafi’i, Imam Asy’ari, dan Imam Ghozali, berdasarkan kitab-kitab yang diajarkan guru-gurunya, tetapi tidak ada satupun tokoh yang diidolakan karena tokoh memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Semua madarasah tempat KH. Sahal Mahfudhbelajar hanya memberikan pendidikan agama, dalam pendidikan umum hanya ia memperoleh dari kursus ilmu umum di Kajen yang berlangsung dari 19511953.
3
Meskipun KH. Sahal Mahfudhdibesarkan dan pendidikan yang
ditempuh dari pesantren serta sedikit tambahan kursus ilmu umum, tetapi dia telah berhasil meraih “Prestasi Intelektual” yang jauh dari ukuran pendidikannya. Banyak aktifitas yang telah digeluti, bahkan dia juga banyak memegang jabatan penting dari organisasi sosial keagamaan sampai jabatan akademik yang disandangnya. Pada tahun 1958-1961 KH. Sahal Mahfudhtelah menjadi guru di Pesantren Sarang Rembang, pada 19661970 dia menjadi dosen pada kuliah Takhassus Fiqih di kajen, Pati; pada 1974-1976, dia menjadi dosen di Fakultas Tarbiyah UNCOK, Pati; Pada 1982-1985, dia menjadi dosen di Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, Semarang; mulai 1989, dia menjadi Rektor Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Jepara –sampai sekarang 2004. Mulai 19883
Mujamil Qomar, NU “LIBERAL” ; Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam,( Bandung, Mizan). hlm. 238.
45
1990, dia menjadi kolomnis di majalah Aula, sedangkan mulai 1991 sampai sekarang, Ia menjadi kolomnis surat kabar Suara Merdeka. Di samping itu, dia juga Malang melintang dalam berbagai forum ilmiah, baik sebagai panelis, pemrasaran, pembahas utama, fasilitator, maupun pimpinan sidang. Dalam kapasitasnya sebagai intelektual dan tokoh agama KH. Sahal Mahfudhjuga sering berkunjung ke luar negeri dalam rangka studi perbandingan; pada tahun 1983 atas sponsor USAID, dia berkunjung ke Filipina
dan
Korea
Selatan
untuk
keperluan
studi
komparatif
pengembangan masyarakat, dan berkunjung ke Tokyo, Jepang untuk meninjau Pusat Islam. Pada 1984 atas sponsor P3M, dia pergi ke Srilanka dan Malaysia untuk Studi Komparatif Pengembangan Masyarakat. Pada 1987, ia memimpin delegasi NU berkunjung ke Arab Saudi atas sponsor Dar al-Ifta’ Riyadh. Pada tahun 1992, dia melakukan dialog ke Kairo, Mesir atas sponsor BKKBN Pusat. Pada tahun 1997, dia berkunjung ke Malaysia
dan
Thailand
untuk
kepentingan
Badan
Pertimbangan
Pendidikan Nasional (BPPN). Dalam tahun yang sama dia berkunjung ke Mesir dan Beijing.4 KH. Sahal Mahfudhjuga tercatat aktif mengabdi di lingkungan Nahdlotul Ulama. Antara 1967-1975, dia sebagai Katib Syuriah Partai NU Cabang Pati; pada 1968-1975, dia sebagai Ketua II Lembaga Pendidikan Maarif Cabang Pati; pada 1975-1985, dia menjadi wakil Ra’is NU Cabang Pati; pada 1988-1990, dia menjadi Koordinator Karesidenan LP. Ma’arif Cabang Pati. Di Rabithah Ma’ahid Islamiyyah wilayah Jawa Tengah, dia sebagai wakil ketua selama 1977-1978. Pada 1980-1985, dia menjadi Ra’is Syuri’ah NU wilayah Jawa Tengah. Mulai 1984, dia menjadi Ra’is Syuri’ah PBNU. Kemudian Muktamar NU ke-30 di Pesantren Lirboyo, Kediri dia terpilih menjadi Ra’is Aam PBNU. Mulai 1991, dia menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Jawa Tengah (sekarang menjabat
4
Ibid, hlm. 239.
46
di MUI Pusat Jakarta).5 KH. Sahal Mahfudhsudah 10 tahun menjadi Rektor Institut Islam NU di Jepara. 2. Karya dan Aktivitas KH MA Sahal Mahfudh KH. Sahal Mahfudhseorang kiai tradisional yang berfikir modern, ini bisa dilihat di antara sekian banyak karyanya, sebagian tercover di buku Fiqih Sosial. Pada umumnya kiai tradisional hanya pintar membaca kitab tetapi miskin karya ilmiyah, tetapi beda dengan KH MA Sahal Mahfudh, ia dapat dikategorikan sebagai kiai yang produktif dalam menulis. Karena itulah nama KH. Sahal Mahfudhtidak hanya dikenal di pesantren-pesantren tetapi juga di dunia intelektual akademisi. Banyak karya
tulisannya
baik
yang
dipublikasikan
atau
hanya
sekedar
dipersiapkan untuk makalah seminar, di antara lain buku-buku KH MA Sahal Mahfudh: Al Faroidlu Al Ajibah (1959), Intifakhu Al Wadajaini Fi Munadharat Ulamai Al Hajain (1959), Faidhu Al Hijai (1962), Ensiklopedi Ijma'(1985), Pesantren Mencari Makna, Nuansa Fiqih Sosial, dan Kitab Usul Fiqih (berbahasa Arab), selain masih menulis kolom Dialog dengan KH. Sahal Mahfudhdi harian Duta Masyarakat yang isinya menjawab pertanyaan masyarakat. Juga mengisi rubrik tanya jawab persoalan fiqih di suara merdeka. KH. Sahal Mahfudhjuga punya koleksi 1.800-an buku di rumahnya di Kajen. Di samping KH. Sahal Mahfudhadalah pemimpin Pondok Pesantren (Ponpes) Maslakul Huda sejak tahun 1963. Ponpes di Kajen Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, ini didirikan ayahnya, KH Mahfudh Salam,
tahun
1910.
Mahfudhmerupakan
Sebagai
sosok
pemimpin
sederhana
ponpes,
dikenal
sebagai
KH.
Sahal
pendobrak
pemikiran tradisional di kalangan NU yang mayoritas berasal dari kalangan akar rumput. Yaitu dengan mencoba mengaplikasikan konsepkonsep fiqih klasik “kitab kuning” ke dalam realitas sosial kekinian. Sikap
5
Sahal Mahfudh, Kompas, Minggu, 9 juni 2002. hlm.4
47
demokratisnya menonjol dan mendorong kemandiriannya yaitu, dengan memajukan kehidupan masyarakat di sekitar pesantrennya melalui pengembangan pendidikan, ekonomi dan kesehatan. Selain memiliki 500an santri, Ponpes Maslakul Huda juga punya sekolah madrasah ibtidaiyah sampai madrasah aliyah dengan 2.500-an murid, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Arta Huda Abadi yang tujuh tahun lalu berdiri, koperasi, Rumah Sakit (RS) Umum Kelas C RS Islam Pati, memberi kredit tanpa bunga kelompok usaha mikro dengan dana bergulir, mengajar masyarakat membuat "asuransi" kesehatan dengan menabung setiap rumah tangga tiap bulan di kelompoknya.6 B. Beberapa
pemikiran KH. MA Sahal Mahfudh Tentang Dinamika
Kehidupan a. Masalah Krisis Ekologi Bahwa manusia menjadi penguasa atas alam semesta tidak bisa ditawar lagi sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat manusia atas alam semesta menjadi designer yang mengatur dan merekayasa, dengan konstruk berdasarkan keinginan manusian sendiri. Bahkan mau dibawa kemanapun manusia punya kemampuan untuk itu. Penguasaan manusia atas alam semakin nyata.
Yang tampak
dengan dihasilkannya perkembangan diberbagai bidang, seperti ekonomi dan Iptek. Di sisi lain, logika, analitik dan rasionalisme telah menjadikan manusia lupa akan existensi dirinya sebagai mahluk. Akal dianggap segala-galanya (raja diraja), sementara alam dianggap menjadi bagian lain dari manusia yang siap di ekploitasi terus-menerus tanpa batas. Sesuai dengan kepentingan manusia.7 Akibat ekploitasi alam yang semena-mena, kondisi alam menjadi tidak seimbang lagi. Dari itu banyak sekali dampak negatif yang
6 7
Ibid. hlm. 4
Sumanto Al Qurtuby, KH. MA Sahal Mahfudh Era Baru Fiqih Indonesia, (Jogjakarta; Cermin 1999) hlm 94
48
ditimbulkan, mulai bencana alam sampai bencana sosial. Contoh kecilnya banyak terjadi polusi dan banjir disana-sini. Bagi KH. MA Sahal, krisi ekologi ini ditimbulkan karena salah persepsi manusia terhadap alam atau apa yang oleh Fritjof Capra disebut “Krisis Persepsi”8 manusia menganggap alam layaknya “prostitute”. Tubuhnya dieksploitasi dan setelah itu dicampakkan. Perbuatan apapun yang
diambil
tidak
memperhitungkan
resikonya
terhadap
moral
masyarakat. Semuanya didasarkan atas hitungan untung dan rugi ekonomi.9 Persepsi yang salah akan selalu berdampak pada tindakan yang salah pula. Kiranya demikian yang ingin dikatakan KH. Sahal Mahfudhselaras dengan Firtcrof Capra dalam kaitan ini. Semua krisi berawal dari moral karenanya pendidikan yang ditawarkan, dalam kaitan ini khusus adalah pendidikan Islam. Bias menjadikan mnusia yang shaleh dan akram b. Masalah Pendidikan Integralistik Pendidikan dalam rumusan KH. Ma Sahal adalah usaha sadar yang membentuk watak dan perilaku secara sistematis terencana dan terarah.10 Definisi ini akan berbeda sama sekali dengan rumusan pendidikan “Pendidikan Modern” aat sekarang yang memandang pendidikan dari sudut kepentingan instrumental, yakni sekedar menjawab tuntutan pasar bebas (free market). Dengan kata lain “pendidiakan instrumental“ adalah sebuah pendidikan yang menyiapkan tenaga-tenaga pabrik, yang siap bekerja untuk juragan. Pendidikan yang dimaksud diibaratkan hanya menyiapkan “kapsul”, sudah siap pakai, ada mereknya dan dibungkus rapi. Ia tinggal menerapkan ke dalam sistem yang sudah jelas bentuknya.
8
Fritjof Capra, Titik Balik Peradapan, (Yogyakarta, Yayasan Bentang Budaya, 1997),
9
Sahal Mahfudh, Pendekatan Dakwah untuk Kaum dhuafa, Mimbar Ulama, hlm43
10
Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta, pustaka Pelajar, 1994) hlm 257
hlm xx
49
Pandangan taktis ekonomis semacam itu, hampir-hampir aspek sosial menjadi terlupakan. Pola pikir yang berorientasi kebahagiaan tidak lagi menjadi tuntutan pokok dari pendidikan, dan lambat tapi pasti telah bergeser menjadi nilai kebendaan semata. Yang paling mendasar kita menemukan perubahan dalam watak. Mental dan karakteristik bangsa yang tengah membangun ini. Secara praktis ia tercermin pada bergesernya orientasi dasar prilaku masyarakat. Bangsa Idonesia yang semula dikenal masyarakat yang memegang teguh prinsip hidup gotong-royong, secara perlahan-lahan tapi pasti mengganti prinsip itu dengan individualisme. Jika semula kita lebih mempercayai unsur-unsur kerohanian
sebagai sesuatu yag harus dipenuhi
untuk
mencapai kebahagiaan, kita beralih pada sesuatu yang bersifat kebendaan.11 Bagi KH. Sahal Pendidikan tidak hanya sekedar pemenuhan kebendaan ataupun pemenuhan tuntutan trend pasar bebas, meskipun pemenuhan kebutuhan pragmatis sebenarnya juga penting. Pendidikan harus bernuansa pada terciptanya manusia yang sholeh dan akram12 Sholeh berarti manusia yang secara potensial mampu berperan aktif, terampil dan berguna dalam kehidupan sesama mahluk. Sedangkan akram, merupakan pencapaian kelebihan dalam relevansinya dengan makhlik terhadap khaliq. Lebih dari itu kata akram juga mencakup etika pergaulan dengan masyarakat dalam segala aspek kehidupan.13 Pandangan KH MA Sahal Mahfud ini didasarkan pada hadits shohih yang diriwayatkan Imam Baihaqi dan Imam at-Thabrani,
11
Sahal Mahfudh, Pesantren Mencari Makna ( Jakarta, Pustaka Ciganjur, 1999) hlm.42
12
Sahal Mahfudh, Nuansa, Op.cit., hlm.295
13
Ibid, hlm. 286
50
Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan bersih (fitrah), kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.14 Dari hadis ini KH. Sahal Mahfudh berpendapat bahwa pendidikan, tidak sekedar meningkatkan kualitas hidup fisik seseorang –sebagaimana falsafah pendidikan modern—tetapi, lebih dari itu, pendidikan merupakan media pembentuk watak dan perilaku manusia.15 Sholeh dan akrom ini kemudian diharapkan menjadi landasan setiap tindakan manusia. Memberikan taraf keseimbangan dalam menjalankan hidupnya, dalam konteks vertikal (beribadah pada Allah) ataupun secara horizontal (kepada sesamanya dan lingkungan). Hendaknya selalu dicari jalan tengah untuk mencapai kemaslahatan bersama. Dengan berprinsip Aswaja sebagai manhajul fiqr (metode berfikir) c. Maslahah Ammah Dalam mengambil keputusan hukum dan fatwa, KH. Sahal Mahfudhtidak hanya menggunakan pendekatan tekstual saja, tetapi beliau juga menekankan maslahah. Bahkan pertimbangan maslahah inilah yang beliau jadikan pertimbangan terdepan dalam proses pengambilan keputusan. Gagasan ini juga, dalam muktamar NU di Cipasung dikukuhkan bahwa maslahah dijadikan pendekatan dalam pengambilan keputusan dalam masail diniyyah. Bagi KH MA Sahal Mahfudh, maslahah yang dimaksud adalah maslahat ammah yang sebenarnya belum mempunyai konsep yang baku dan konkret. Maka dari sinilah tidak jarang orang yang mengatasnamakan perbuatannya atas dasar maslahat ammah, tetapi justru bertentangan dengan maslahat ammah itu sendiri. Oleh karena itu KH. Sahal Mahfudhmenyarankan agar para ulama mengembangkan wawasan keagamaan Islam dan wawasan sosial di kalangan masyarakat muslim agar
14
Sahal Mahfudh, Pendidikan Islam Dalam Era Industrialisasi, Makalah disampaikan pada Kuliah Umum INISNu. Jepara, 21 Oktober 1995, hlm 1 15
Sumanto Al Qurtubi, Op., Cit, hlm. 103.
51
mampu menentukan ukuran-ukuran maslahat yang baku, baik yang berhubungan dengan masalah diniyyah maupun masalah dunyawiyah yang tidak menyimpang dari kaidah umum yang lima (al-kulliyah al-khams) sebagaimana yang diungkapkan oleh Syatibi.16 d. Masalah zakat dan Pengentasan Kemiskinan Zakat menurut KH. Sahal Mahfudhmerupakan salah satu masalah yang amat mendasar dalam agama Islam. Bahkan zakat merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima. Sehingga orang yang mengingkari status hukum wajibnya dapat di hukumi kafir. Lain halnya apabila meninggalkannya semata-mata hanya merasa enggan dan rugi ----menurut KH MA Sahal Mahfudh– sementara dalam lubuk hatinya yang paling dalam masih tertanam iktikad atau kepercayaan bahwa zakat adalah salah satu kewajiban bagi semua umat Islam – meskipun tidak membuatnya keluar dari Islam, tetapi sikap ini sangat tercela dan tidak dibenarkan, dan kelak pelakunya akan disiksa dengan azab yang pedih, sebagaimana yang disebutkan dalam Alquran, surat AtTaubah; 53, demikian KH. Sahal Mahfudhmemberikan komentarnya tentang wajibnya zakat.17 Dalam prakteknya KH. Sahal Mahfudhmenganggap zakat dalam pelaksanaannya saat ini belum maksimal. Dalam hal ini harus dikembangkan, ditata kembali dan perlu mendapatkan bimbingan, baik dari segi syari’ah dan perkembangan zaman. Hal tersebut dimaksudkan agar zakat tidak hanya berdimensi ta’abbudi saja, tetapi juga mampu berdaya guna dalam rangka mengentaskan orang-orang yang tidak mampu, lemah ekonomi. Selanjutnya ia berpendapat: “……Penataan itu menyangkut aspek-aspek penadataan, pengumpulan, penyimpanan, pembangian dan aspek yang menyangkut kwalitas manusianya. Lebih dari itu aspek yang 16 17
Ibid., hlm. 243.
Sahal Mahfudh, Dialog dengan K.H. MA Sahal Mahfudz; Telaah Fikih Sosial, Semarang, Yayasan Karyawan Suara Merdeka, 1997, hlm. 39
52
berkaitan dengan syari’ah tak bisa kita lupakan. Ini berarti kita memerlukan organisasi yang kuat dan rapi.”18 Karena itulah KH. Sahal Mahfudhmenawarkan pemikiran tentang penanganan zakat, yang meliputi hal-hal: aspek syari’ah, aspek manjemen. Zakat
dalam
aspek
syari’ah,
menurutnya
belum
banyak
memberikan pendapat baru terutama mengenai benda yang wajib dizakati, nisab dan haul dan mustahiq. Untuk menjawab berbagai masalah yang bekenaan dengan zakat KH. Sahal Mahfudhmencoba mengakomodasikan dan menkomparasikan berbagai pendapat masalah zakat dalam madzhab empat yang dianggap masih relevan. Jadi KH. Sahal Mahfudhmasih tetap memegang teguh pendapat para ulama dengan sedikit perubahan yang disesuaikan dengan kondisi sosial negara Indonesia. Ia berkata: “……..ketentuan-ketentuan barang yang wajib dizakati tersebut, menurut hemat saya relevan dan masih bisa diterapkan dalam situasi dan kondisi negara kita.” KH. Sahal Mahfudhmelihat bahwa, meskipun telah telah terjadi kesepakatan dikalangan ulama tentang status hukumnya, namun dalam menentukan barang apa saja yang wajib dikenakan zakat, terjadi perbedaan yang semuanya karena perbedaan dalam memandang nash-nash yang ada. Sedangkan pengumpulan, penyimpanan zakat menurut KH MA Sahal Mahfudh–mengutip pendapat Imam Syafi’i---- harus dalam bentuk barang yang dizakati. Dalam arti untuk zakat hasil bumi maka yang harus diberikan muzaki dan diterima/ dikumpulkan oleh pengumpul zakat tidak bisa diganti dengan uang, misalnya, mesti senilai barang yang dizakati. Namun dalam barang dagangan zakat harus berupa uang. Pedagang konveksi misalnya tidak boleh mengeluarkan zakat dalam bentuk barangbarang konveksi. Dalam hal pembagian (penyerahan) zakat kepada mustahiq sama saja, haruslah dalam barang yang dizakati. Zakat hasil 18
Sahal Mahfudh, “Pengelolaan Zakat secara Profesional”, makalah yang disampaikan pada Seminar dan Loka karya Zakat oleh P3M, di PKBI Jakarta, tanggal 2 Desember 1986.
53
bumi harus dibagi berupa hasil bumi, zakat hewan harus dalam bentuk hewan ternak dan begitu seterusnya. Ditinjau dari kepraktisannya, hal ini tidak praktis. Sebab sekarang ini barang sebesar apapun bisa dilipat dan dimasukkan dalam kantong, sebab bisa diwujudkan menjadi lembaran-lembaran uang. Bahkan sekarang uang pun bisa diringkas lagi menjadi cheque.” Hukum zakat dalam ketentuan fiqh masyarakat yang belaku di Indonesia ini, menurut KH MA Sahal Mahfudh, secara tektual tampak belum bisa mengimbangi pekembangan ekonomi disektor pruduksi dan jasa yang memperluas bidang dan jenis pekerjaan. Sekarang ini secara kuantitatis perputaraan lebih besar berada di sektor mono agraria, seperti perniagaan dan jasa profesi. Berbagai bentuk perniagaan dan perjasaan muncul demikian pesatnya sesuai dengan makin beragamnya kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Semua itu menuntut adanya rumusan fiqh yang jelas yang pada gilirannya zakat memungkinkan tumbuhnya mobilisasi dana ekonomi dikalangan kaum muslim dan sekaligus merupakan sarana pemerataan keadilan sosial. hal tersebut dilakukan agar zakat secara mandiri mampu menjadi wahana rehabilitasi terhadap kerawanan ekonomi masyarakat serta berangsur-angsur mengurangi kemiskinan. 19 Kemudian dalam hal aspek menejerial, KH. Sahal Mahfudhbanyak memberikan pendapat. Hal yang disingung antara lain: pendataan, pengumpulan, penyimpanan, pembagian dan kualitas personal pengelola. Secara umum bahwa muzakki, mustahiq zakatnya, hendaknya didata dengan cermat dan teliti sehingga zakat benar-benar tepat dan efektif. Pengelola zakat secara profesional memerlukan tenaga yang terampil, menguasai masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, penuh dedikasi, jujur dan amanah. Lebih-lebih bila pengelola zakat tidak jujur dan amanah. Kemungkinan yang akan terjadi adalah zakat tidak akan
19
Sahal Mahfudh. Fungsi Zakat dan .., op.cit..
54
sampai kepada mustahiq dan mungkin pula hanya dipakai untuk kepentingan pribadi. Dilihat dari fungsinya, zakat menurut KH MA Sahal Mahfudh, disamping berfungsi utama sebagai sarana untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah (li al taqarrub) dengan kata lain kesalehan individu, juga memiliki fungsi sosial yang amat besar, yaitu sebagai salah satu cara mempersempit jurang perbedaan pendapatan dalam masyarakat, sehingga tidak terjadi kesenjangan atau kecemburuan sosial, yang pada ahirnya akan menganggu keharmonisan dalam bermasyarakat. 20 e. Masalah Hubungan Agama dan Negara. Bagi KH MA Sahal Mahfudh, politik adalah realitas historis atau sunnatullah yang tak bisa terelakkan. Dia mengatakan: “Manusia dalam proses hidupnya memang tidak bisa lepas dari pengaruh watak politis. Karena memang telah menjadi sunnatullah, bahwa setiap kelompok manusia tentu ada yang dikuasai dan yang menguasai, ada yang diperintah dan ada yang memerintah dan ada yang mempengaruhi dan ada yang dipengaruhi”21 Dari pendapat tersebut, terlihat bahwa KH. Sahal Mahfudhmelihat bahwa politik (negara) dikaitkan dengan aspek ketuhanan, yakni dengan sunnatullah (agama). Dalam pandangan KH. Sahal Mahfudhbahwa negara dan agama tidak dapat terpisahkan antara satu dengan yang lain. Kedua hal itu adalah entitas yang tak dapat terpisahkan. Namun bukan berarti bahwa negara beserta semua yang berkaitan dengan negara harus berlabelkan simbolsimbol agama. Dan juga bukan negara yang sekuler, di mana agama benarbenar dipisahkan dari urusan negara. Menurut KH MA Sahal Mahfudh, hubungan antara agama dan negara harus mengacu pada pola hubungan mutualisme. Keduanya saling
20
KH. Sahal Mahfudh, Dialog dengan K.H. MA Sahal Mahfudz; .., op.cit., hlm. 40
21
Sahal Mahfudh, “Orpolisasi NU dan NU-isasi Orpol, Makalah, t.th. t.d.hlm 2
55
membutuhkan dalam rangka mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat (sa’adat al-daraini). Pemimpin menurut KH. Sahal Mahfudhada dua macam, yaitu pemimpin struktural dan pemimpin kultural. pemimpin struktural adalah mereka yang menjalankan pemerintahan menurut hirarki formal struktural, atau sering disebut dengan istilah umara’. Sedangkan pemimpin kultural adalah mereka yang sering disebut ulama’.22 Kedua pemimpin ini harus berjalan beriringan agar benar-benar dapat mewujudkan negara yang makmur dan sejahtera. (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur) C. Fiqih Sosial KH. MA Sahal Mahfudh konsep dasar dan Ruang Lingkup 1. Konsep Dasar Globalisasi dan komputerisasi yang serba canggih dan modern ini, cepat atau lambat akan mempengaruhi sikap dan pola perilaku masyarakat, termasuk bagaimana mereka menyikapi segala persoalan kehidupan baik yang bersentuhan dengan ideologi, hukum, ekonomi dan bahkan terhadap agama. Dari sinilah peradaban mengalami perubahan dan perkembangan dari masa ke masa. Saat itulah, hukum Islam (fiqih) akan dihadapkan pada dua pilihan. Pertama fiqih akan diberlakukan secara absolut, kaku dan mutlak tanpa kenal kompromi terhadap permasalahan-permasalahan yang timbul, sehingga akhirnya fiqih akan mulai ditinggalkan oleh masyarakat. Hal itu dikarenakan fiqih belum dirasakan sebagai pemberi solusi atas persoalan yang sedang terjadi, dengan kata lain, fiqih kemudian menjadi sebuah aturan hukum yang “melangit” dan tidak membumi. Kedua, fiqih diberlakukan secara dinamis sekaligus mampu merespon permasalahan yang terjadi dalam masyarakat sesuai dengan dinamika yang berlangsung. Pendapat kedua inilah yang diikuti oleh KH MA Sahal Mahfudh.
22
Sumanto, Op. Cit., hlm. 88-89.
56
Menurut KH MA Sahal Mahfudh, bagaimanapun juga, sampai saat ini fiqih adalah pilihan satu-satunya, dari pada harus mengungkung masyarakat dalam lingkaran klasisfikasi halal dan haram, dosa dan pahala dan akhirnya adalah pilihan surga atau neraka. Sementara persoalan hidup yang menegasikannya semakin mengasingkan masyarakat dari ajaranajaran yang terus-menerus kita ulang untuk kemudian terus-menerus dilibas persoalan yang semakin berkembang dari waktu ke waktu23 Untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut menururut KH. Sahal Mahfudhdibutuhkan sosok ulama sebagaimana disyaratkan Imam Ghazali, lebih lanjut ia mengatakan; Dalam kerangka straregis ini, dibutuhkan peran ulama yang sebagaimana dipersyaratkan Imam Ghazali, harus juga memenuhi persyaratan faqih fi masahalih al-khalq, memahami dengan baik segi-segi kemaslahatan masyarakat. Persyaratan ini disandingkan dengan pemahaman yang baik dalam ilmu-ilmu agama, akan meletakkan seorang ulama dalam kedudukan pemberi inspirasi dan motivasi, pemberi pengaruh bagi terciptanya kehidupan yang seimbang dari sisi material maupun spiritual melalui motivasi keagamaan dan sosial yang bersinggungan langsung dengan problem nyata masyarakatnya.24 Secara singkat, pemikiran KH. Sahal Mahfudhjika dipahami dari tulisan, karangan, fatwa dan pendapat-pendapatnya, dapat dikategorikan ke dalam pemikiran social histories approach, yakni seorang yang merespon persoalan-persoalan waqi’iyyah yang aktual dan berupaya menjawab
persoalan-persoalan
meninggalkan keotentikan
dalam
masyarakat
dengan
tanpa
teks-teks klasik (kitab kuning) dan nilai
historisnya, tetapi juga mempetimbangkan dinamika yang terjadi dalam masyarakat yang sangat dinamis.25 Pemikiran KH. Sahal Mahfudhjuga digolongkan oleh Mujamil Qomar pada tipe pemikiran yang eklektik,
23
Sahal Mahfusdh, Re-orientasi Pemahaman Fiqih, Menyikapi Pergeseran Perilaku Masyarakat. Makalah yang disampaikan dalam Diskusi Dosen Institut Hasyim Asy’ari, Jombang, tanggal 27 Desember 1994, hlm. 3-5. 24
Ibid., hlm 5
25
Lihat Sumantho Alqurtuby, Op. Cit., hlm. 83.
57
responsif, integralisrik dan divergen.26 KH. Sahal Mahfudhdalam fatwanya sering mengedepankan aspek maslahah. Terlebih lagi jika permasalahan tersebut mengalami jalan buntu di dalam menggunakan konsep fiqh yang baku dan kaku . Dengan demikian Sahal terkenal sebagai seorang kiai yang dinamis, modern, sekaligus seorang yang tradisional, klasik dan karismatik. Maka wajar bila KH. Sahal Mahfudhmenjadi bagian dari “proyek” Neo-modernisme Islam Indonesia.27 Maksudnya adalah, pemikiran KH. Sahal Mahfudhberusaha memadukan antara otentitas teks dengan realitas sosial yang dinamik dan antara wahyu yang transenden dengan konteks yang profan, pemikirannya pun disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat pada masa sekarang Dan jika dipahami, semua aktifitas sosial dan intelektualitas Sahal Mahfudz tidak bisa lepas dari koridor fiqih. Artinya, apa yang dilakukanya mempunyai landasan normatif yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Perjumpaan dialektik antara agama dan kenyataan memang suatu hal yang tidak dapat dihindari. Maka, penghindaran perjumpaan dengan realitas sosial akan membuat agama stagnan dan kehilangan relevansi kemanusiaannya. Karenanya KH. Sahal Mahfudhmemakai “ jalan lain” dan harus merombak “doktrin” dan “tradisi” yang selama ini melekat dalam tubuh NU. Atau dalam bahasa fiqihnya diperlukan tajdid (pembaharuan). Telah menjadi diktum bahwa tajdid mempunyai wilayah yang sangat terbatas. Artinya, kualitas tajdid mesti dinilai dari konteks historisitas dan lokalitasnya. Bagi KH sahal, fiqih itu sudah semestinya bersifat sosial, karena ia merupakan hasil konstruksi fuqaha atas realitas sosial yang bertumpu pada
26
Untuk lebih jelasnya, paparan tentang tipologi pemikiran cendekiawan NU, baca selengkapnya di Mujamil Qomar, NU Liberal, Op. Cit. hlm. 248-262. 27
Ibid, hlm. x
58
sumer-sumber hukum. Oleh karena fiqih itu produk ijtihad, dengan sendirinya berdimensi sosial.28 Dalam proses pengambilan hukum oleh beliau (KH Sahal) mendasarkan tipologi pemikiran hukumnya pada dua pemikiran yaitu: a. Metode tekstualis(madzab qauli) b. Metode kontekstualis/metodologis (madzab Manhaji). Dari kedua tipologi pemikiran tersebut dalam oprasional praksisnya, KH. Sahal Mahfudh selalu mempertimbangkan medan dakwahnya. Artinya ketika masyarakat yang diberi dakwah adalah masyarakat kebanyakan (masyarakat awam). Beliau menggunakan tipologi pemikiran yang pertama. Karena dianggap lebih oprasional dan bisa memahamkan dari audien yang
diajak bicara. Contoh, fatwa yang
diberikan KH. Sahal Mahfudh yang ditulis diharian umum suara merdeka. Sementara untuk tipologi pemikiran yang kedua beliau gunakan dalam konteks masyarakat ilmiah seperti (forum batsul masail). Sebelum mempraksiskannya dalam dunia riel. Sebenarnya pemikiran KH. Sahal Mahfudh sangat dipengaruhi oleh dua kubu pemikiran yaitu antara Syafi’i dan Syathibi (Yang berhaluan Maliki). a. tradisi pemikiran Syafi’i bayak diwarisi oleh warga NU. Yang kemudian sampai sekarang masih menjadi aikon bagi pemikiran hukum ulama’-ulama’ Nu itu sendiri. Tidak terkecuali KH. Sahal Mahfudh. Pemikiran ini menempatkan kemutlakan wahyu (Al-Qur’an), sehingga rasionalitas sosial harus tunduk padanya secara menyeluruh. Al quran dalam rumusan syafi’i, telah meliputi segala sesuatu. Sedangkan sunnah dalam hal ini berposisi sebagai “pelaksana teks Al quran oleh nabi sebagaimana yang dikehendaki Allah”. Tidak ada jalan lain untuk mengetahui salah dan benar tanpa teks al quran dan sunnah. Tidak ada
28
Ibid, hlm162
59
hak untuk memutuskan sesuatu itu halal atau haram tanpa petunjuk nyata dari Al quran dan sunnah. Rasionalitas manusia (Ra’yu) diterima dan mendapatkan tempat di usul asal mengalir dari sumber “keagamaan”, yakni al quran, sunnah atau Ijma’. Ijtihad dilakukan dengan persyaratan “bagi orang yang mengetahui dalil-dalilnya dari al quran, sunnah dan ijma’ yang dioperasionalkan dengan qiyas. Qiyas sendiri artinya menganalogikan dengan apa yang sudah ada dalam al quran, sunnah dan ijma’. Dalam logika usul Syafi’i semua itu tetap berjalan karena al quran itu sudah lengkap. Metodologi pemikiran seperti ini oleh Ulama yang konsen dengan hermeneutika dirasakan sebagai kendala ketika berhadapan dengan realitas sosial yang ada. Untuk mewujudkan idealitas fiqih sebagai perangkat hermeneutika itulah, NU mau tidak mau harus “merangkul” metodologi di luar syafi’i. b. Pemikian Syathibi munculnya pemikiran Syathibi dalam percaturan wacana fiqih Indonesia kontemporer, dapat dikatakan sebagai fenomena yang menarik jika dilihat dari paralelisme watak sosial politik
yang
melatarbelakanginya,
menyangkut
problem
akut
hubungan agama-negara. Dengan mengambil kembali konsep konsep kunci
seluruh
hukum
dalam
Islam,
Mashalih
al
ammah
(memperhatikan kepentingan umum), syathibi berusaha meluaskan teori kaku dari ushul fiqih dengan merumuskan Maqasid al-syari’ah (tujuan syari’at). Dalam rumusannya. Maqasid al-syari’ah dirinci dalam tiga varian yang disebut al-kulliyat al-syariah yaitu : dharuriyat, hajjiyat, tahsiniyat. Di dalam dharuriyat ditunjukkan tujuan syari’ah adalah menjaga lima hal (dharuriyah al-khams) yakni; al-din (agama), al-nafs (jiwa), al-nasl (keturunan), al-mal (harta benda) dan al-akl (akal pikiran).29medan perjuangan yang maha luas terletak pada hajjiyat dan tahsiniyat dalam rangka merealisasikan dan mengelaborasikan 29
15 dan 2
Abu Ishaq al-syatibi, al-Muwaqat fi ushul al-fiqh, I&II (Beurut; dar al Fikr, 1969), hlm
60
dharuriyat al khams itu. rumusan syatibi inilah yang menolong verifikasi mana yang ushul dan mana yang furu’ yang diagendakan fiqih baru di kalangan NU kontemporer. Dari kedua pemikiran yang mempengaruhi dan dua tipologi pemikiran yang dihasilkan terlihat seakan KH. Sahal Mahfudhplin-plan dalam menjalankan pemikiranya. Mengingat bahwa beliau termasuk dalam proyek pembaharuan fiqih yang setidaknya memenuhi beberapa hal : 1. Selalu diupayakan interpretasi ulang dalam mengkaji teks-teks fiqih untuk mencari konteksnya yang baru. 2. Makna bermadzab berubah dari bermadzab secara tekstulis (madzab qauli) ke bermadzab secara metodologis (madzab manhaji). 3. Verifikasi mendasar mana ajaran pokok(Ushul) dan mana yang cabang (furu’). 4. Fiqih dihadirkan sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif negara. 5. Pengenalan metodologi pemikiran filosofis terutama dalam masalah budaya dan sosial. Hal seperti itu juga pernah dilakukan oleh Imam Syaf’i yang terkenal dengan qaul qodim (pendapat lama) dan qaul jadidnya (pendapat baru). Karena sekali lagi bahwa segala sesuatunya dilaksanakan atas dasar kemaslahatan bersama (Maslahah Ammah). Dengan berpedoman, jangan tinggalkan semua yang lama ambil yang baru yang lebih baik. Upaya ini dilakukan KH. Sahal Mahfudh dengan berprinsip Aswaja sebagai manhajul Fikr (Metodologi berpikir). 2. Ruang Lingkup Munculnya negara-bangsa (nation-state) merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan dalam pergulatan komunitas masyarakat dunia. Karenanya banyak memunculkan realitas baru seperti Keluarga Berencana, Bank, dan sebagainya, tapi juga hal ini sekaligus menepis teori-teori negara Islam secara utuh. Dan mau tidak mau harus ada
61
penyelarasan dengan ideologi yang dianut oleh negara (Indonesia), seperti halnya munculnya ideologi pancasila. Konsep hubungan agama dan negara kadang menempatkan negara sebagai kuasa penuh untuk menundukkan segala sesuatunya tanpa terkecuali. Sementara secara “teoritik”, negaralah yang seharusnya berada dibawah kontrol agama. Sehingga tidak jarang hubungan antara keduanya seperti terpolakan dalam Agama Vis a Vis Negara. Dan akan melahirkan sejarah yang sangat defensif, seperti peristiwa DI/TII, munculnya teror bom disana-sini, dan lain sebagainya. Hal demikian sangat bertentangan dengan keinginan manusia yaitu mencapai
kemaslahatan.
Kemaslahatan
yang
dimaksud
adalah
kesejahteraan manusia lahir dan batin dunia akhirat. bahwa “keselamatan” diri sebagai individu, dan keselamatan umat. Tidak bisa lepas dari dua bidang garapan yaitu, dunia dan akherat. Bukan kebahagian dunia semata ataupun akherat semata yang dicari. Melainkan keduanya saling mempengaruhi.30 Baik kebahgian dunia maupun akheratnya (sa’dad ad daraini). Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Qashas, ayat 77
! 8 6
"# 75
! $ ! % "& '
!! "+" #0 !+ ' , *!1!2
!()" * +, $ &- !. !/& 3" 4!.
" !/ & ' $ !1+,
Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan/kebahagiaan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan dimuka bumi.31 al-Qashas. 77) Dari ayat diatas tampak bahwa tujuan syariat Islam adalah terciptanya kebahagiaan manusia di dunia dan akherat (sa’dad al darain). Untuk memperoleh kebahagiaan itu manusia harus melakukan dua hal
30
Sahal Mahfudh, Nuansa, Op. Cit., hlm 5
31
Q.S. Al-Qashas/28;77
62
yaitu berbuat baik (Ihsan) dan larangan berbuat destruktif seperti merusak alam. Beberapa komponen fiqih, merupakan teknis operasional dari tujuan prinsip syari’at Islam (maqasid al-syari’ah). Memelihara dalam arti yang luas yaitu : Memelihara keutuhan keimanan (hifdz al-din), kelangsungan hidup (hifdz al-nafs), kelestarian hidup (hifdz al-nazl, harta benda (hifdz al-mal), kecerdasan akal (hifdz al-aql), martabat. 32
32
Alie yafie, Op. Cit. hlm111