BAB III KESIMPULAN
Penelitian ini menggunakan teori kekuasaan Lord Acton dan teori teokrasi St.Agustinus dengan pendekatan sosiologi sastra. Teori sosiologi sastra yang digunakan sebagai acuan dasar adalah teori Alan Swingewood. Dalam teorinya, Swingewood menyatakan bahwa suatu karya sastra tidak dapat lepas dari realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Masih dalam teorinya, ia membagi penelitian sosiologi sastra kedalam tiga perspektif, yaitu; (1) penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial atau cermin zaman yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra itu diciptakan, (2) penelitian yang memandang sastra sebagai cermin situasi sosial penulis atau pengarangnya, dan (3) penelitian yang memandang sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan kedudukan sosial budaya. Ketiga pandangan atau perspektif tersebut dapat diaplikasikan
sekaligus,
ataupun
dipilih
salah
satunya.
Penelitian
ini
menggunakan perspektif ketiga sebagai acuannya, yaitu bahwa karya sastra memang seringkali tampak terikat dengan momen khusus dalam sejarah masyarakat. Pandangan Swingewood mengenai penelitian yang memandang sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan kedudukan sosial budaya, berhasil dibuktikan dalam penelitian ini. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya sejumlah permasalahan novel Notre-Dame de Paris yang berisi tentang kekuasaan agama
91
Abad Pertengahan yang secara fakta memang pernah terjadi. Beberapa contoh permasalahan dalam cerita novel Notre-Dame de Paris yang juga terjadi dalam peristiwa sejarah Abad Pertengahan, lumrahnya hukuman mati yang dialami Esmeralda, kesenjangan sosial antara rohaniawan dan rakyat biasa, dan lain sebagainya. Kondisi Abad Pertengahan yang syarat akan kekuasaan agama, dijadikan tema cerita dalam novel Notre-Dame de Paris. Dalam novel tersebut, dideskripsikan bagaimana para penguasa pada zaman Abad Pertengahan memiliki kekuasaan yang tidak terbatas. Seorang penguasa dapat bertindak sewenangwenang dengan segala kuasanya, hingga melakukan berbagai penyimpangan. Hal tersebut sesuai dengan momen sejarah Eropa Abad Pertengahan yang kerap disebut dengan abad kegelapan, yaitu ketika rezim gereja berkuasa dan agama dijadikan alat kuasa oleh para penguasa untuk bertindak sewenang-wenang. Penelitian penyimpangan kekuasaan agama dari kacamata sosiologi sastra ini, juga menggunakan dua teori pendukung lainnya dalam menganalisis permasalahan yang ditemukan. Teori yang digunakan adalah teori kekuasaan Lord Acton dan teori teokrasi St.Agustinus. Pandangan Lord Acton mengenai kekuasaan, menyatakan bahwa manusia yang memiliki kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, dan manusia yang mempunyai kekuasaan tidak terbatas pasti akan menyalahgunakannya. Hampir semua orang-orang besar adalah orang-orang yang jahat. Dalil teori tersebut sangat jelas mengenai konsep kekuasaan yang disalahgunakan. Kekuasaan tersebut disalahgunakan oleh orangorang besar yang dianggap baik yang bersembunyi dibalik gelar kebesarannya. Teori kekuasaan Lord Acton digunakan sebagai dasar penelitian mengenai
92
pengaruh kekuasaan absolut yang dilakukan oleh para penguasa atau pejabat yang berkuasa dalam novel Notre-Dame de Paris. Contoh permasalahan dalam cerita novel Notre-Dame de Paris mengenai penggunaan kekuasaan absolut terdapat dalam kasus hukum antara Hakim Florian Barbadienne dan Quasimodo. Sebagai seorang hakim, Florian Barbadienne adalah seorang Hakim tuli yang memiliki kekuasaan absolut dan tidak terbatas dalam menjatuhkan hukuman, karena keputusan seorang hakim tidak dapat dibantah oleh siapapun. Ia tidak dapat berlaku profesional dalam suatu peradilan, karena ia tidak dapat mendengar dan tidak mau mengetahui keobjektifitasan suatu perkara. Selain itu, dalam Notre-Dame de Paris penyalahgunaan kekuasaan juga dilakukan oleh pemimpin agama, yaitu penyimpangan yang dilakukan oleh tokoh pendeta yang mengaku alim, Claude Frollo. Sebagai seorang Wakil Uskup, Claude Frollo tidak mencerminkan bagaimana perilaku seorang pemimpin agama yang semestinya. Ia melakukan berbagai penyimpangan yang sangat keji, seperti praktek ilmu hitam, percobaan pembunuhan, hingga melakukan tindakan asusila. Permasalahan mengenai penyimpangan yang dilakukan pemimpin agama tersebut diteliti dengan menggunakan teori teokrasi St. Agustinus. Dalam teori teokrasi, Agustinus menyebutkan bahwa pada zaman Abad Pertengahan terdapat sebuah pemikiran mengenai kepemilikan dan penafsiran kekuasaan. Pemikiran tersebut menyatakan bahwa asal atau sumber mengenai kekuasaan adalah dari Tuhan. Segala sesuatu yang ada di dunia, termasuk negara adanya atas kehendak Tuhan. Segala-galanya harus tunduk terhadap perintah Tuhan, jika terdapat perintahperintah Tuhan yang kurang jelas, yang boleh menafsirkan hanyalah pemimpin-
93
pemimpin gereja, khususnya Paus. Dengan pemikiran tersebut, para pemimpin agama memiliki kontrol kekuasaan yang absolut dan tidak terbantahkan. Dapat disimpulkan berdasarkan pembahasan kedua teori diatas, teori kekuasaan Lord Acton dan teokrasi St.Agustinus, bahwa sesungguhnya intinya sama, yaitu adanya tindakan penyimpangan yang dilakukan oleh para penguasa atau para pemimpin pada masa Abad Pertengahan disebabkan oleh faktor praktek penggunaan kekuasaan yang tidak terbatas dan bersifat absolut. Diketahui pula bahwa novel Notre-Dame de Paris berisi kritik maupun pesan yang ditujukan kepada penguasa. Kritik tersebut memuat isu-isu mengenai ketidakadilan hukum dan sosial, kemunafikan seorang pemimpin agama yang bersembunyi dibalik stereotip kesalehan, hingga sindiran parodi olok-olokan yang ditujukan
kepada
Paus.
Dalam
menyampaikan
kritiknya,
pengarang
memposisikan dirinya sebagai wakil khalayak umum atau objek penderita suatu ketidakadilan. Kritik yang disampaikan pengarang tersebut juga dimaksudkan sebagai bentuk protes atau aspirasi ketidaksetujuannya terhadap nilai-nilai yang dianggap tidak benar dalam masyarakat. Gaya bahasa sindiran sarkasme merupakan teknik yang digunakan pengarang dalam menyampaikan kritiknya. Sarkasme adalah gaya bahasa sindiran langsung yang kasar dan kadang menyakitkan hati. Melalui gaya bahasa yang digunakan ini, pengarang dapat menekankan pesan atau maksud yang ingin disampaikan kepada pembaca. Selain menggunakan sindiran sarkasme, pengarang juga menggunakan teknik reflektif-kontradiktif ketika menyampaikan pesan yang ingin disampaikan. Teknik tersebut diaplikasikan melalui pendeskripsian sifat dan karakter beberapa 94
tokoh novel Notre-dame de Paris dengan sejumlah permasalahannya. Teknik reflektif-kontradiktif merupakan sebuah cara yang digunakan pengarang dalam mengkritik fakta sosial yang terjadi pada masa Abad Pertengahan. Reflektif dalam kaca mata sosiologi sastra adalah pencerminan, sedangkan kontradiktif adalah pertentangan. Fakta sosial yang terjadi pada Abad Pertengahan oleh pengarang tidak
dicerminkan
secara
langsung,
akan
tetapi
disampaikan
melalui
pendeskripsian yang bersifat pertentangan. Pengarang menggunakan teknik reflektif-kontradiktif
dalam
menyampaikan
pesan
cerita
dengan
cara
merepresentasikan kedalam sifat dan karakter sejumlah tokoh. Tokoh yang memiliki bentuk visual dan stereotip baik, direfleksikan secara kontradiktif dengan penggambaran perilakunya. Hal tersebut seperti penggambaran tokoh Claude Frollo dan Quasimodo. Claude Frollo adalah seorang Wakil Uskup yang secara umum memiliki bentuk visual dan stereotip yang baik, akan tetapi dalam novel Notre-Dame de Paris, Claude Frollo digambarkan sebagai Wakil Uskup munafik yang melakukan sejumlah penyimpangan. Sedangkan Quasimodo adalah tokoh yang secara visual dideskripsikan sebagai orang yang memiliki kecacatan tubuh yang sangat buruk, tetapi dalam novel Notre-Dame de Paris, Quasimodo digambarkan sebagai orang yang baik hati. Penjabaran mengenai beberapa teknik yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa kekuatan novel Notre-Dame de Paris terletak pada permainan gaya bahasa yang digunakan pengarang. Pesan dan kritik pengarang berhasil disampaikan dengan baik melalui gaya bahasa yang digunakan. Akan tetapi, yang perlu diingat bahwa meskipun novel Notre-Dame de Paris merupakan novel yang
95
berisi tentang keadaan sosial Abad Pertengahan, tetap saja novel ini hanyalah sebuah karya fiktif yang penuh dengan imajinasi pengarang. Hal tersebut terlihat dari tokoh Quasimodo yang diciptakan pengarang sebagai manusia buruk rupa dengan bentuk visual menyerupai Cyclops, makhluk bertubuh besar dan bermata satu dalam salah satu dongeng mitologi Yunani. Karakter manusia yang digambarkan seperti Cyclops tentu tidak ada dalam kehidupan nyata.
96