BAB III Dasar Teori
BAB III DASAR TEORI
3.1 Analisa Log Analisa log sumuran merupakan salah satu metoda yang sangat penting dan berguna dalam karakterisasi suatu reservoir. Metoda ini sangat membantu dalam penentuan litologi, porositas, saturasi air dan permeabilitas. Selain itu juga dapat digunakan untuk menentukan zona produktif, menentukan jenis fluida dalam reservoir serta untuk perhitungan cadangan hidrokarbon. 3.1.1 Log Gamma Ray Log gamma ray mengukur radioaktivitas alami yang terdapat pada suatu lapisan. Besar kecilnya radioaktivitas yang terukur menunjukkan jumlah kandungan shale pada lapisan. Hal ini dikarenakan unsur-unsur radioaktif alami banyak terdapat pada shale. Semakin besar kandungan shale pada suatu formasi atau batuan, maka akan memberikan nilai pembacaan gamma ray yang semakin tinggi. Batupasir dan batugamping umumnya memiliki radioaktivitas yang rendah, sehingga memberikan pembacaan gamma ray yang rendah. Oleh karena itu log gamma ray ini bisa digunakan untuk menentukan jenis litologi dari suatu lapisan. Selain itu, log gamma ray juga bisa digunakan untuk menentukan zona permeabel dan non permeabel berdasarkan volum shale (Vshale). Secara umum, zona permeabel akan ditunjukkan oleh jumlah Vshale yang lebih sedikit dibandingkan zona non permeabel. Volume shale dapat dihitung menggunakan rumus berikut :
Vsh = (GRlog – GRmin)/(GRma x – GRmi n) max min
…..………………(Persamaan 2.1)
Dimana : Vsh
= Volume shale
GRlog = Nilai gamma ray yang terbaca dari suatu formasi.
14
BAB III Dasar Teori GRmin = Nilai gamma ray minimum. GRmax = Nilai gamma ray maksimum.
Gambar 3.1 Respon gamma ray terhadap beberapa jenis litologi (Asquith dan Krygowski, 2004)
3.1.2 Log Densitas Log densitas merupakan log yang mengukur densitas elektron suatu formasi. Log densitas digunakan untuk menentukan porositas batuan, mengidentifikasi mineral evaporit, zona gas-bearing, densitas hidrokarbon serta mengevaluasi reservoar batupasir lempungan (shaly sand) dan litologi yang kompleks (Schlumberger, 1972 op cit. Asquith dan Krygowski, 2004). Penentuan porositas berdasarkan log densitas dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan berikut (Schlumberger, 1989):
ΦD = (ρm a – ρb ) / (ρm a – ρf ) ma ma
………………….......(Persamaan 2.2)
Dimana : ΦD
= Porositas berdasarkan log densitas. 15
BAB III Dasar Teori ρma
= Densitas matriks ( tabel 3. 1).
ρb
= Densitas bulk dari formasi.
ρf
= Densitas fluida (1.1 untuk salt mud, 1.0 untuk fresh mud, 0.7 untuk gas)
Dalam penelitian ini, perhitungan porositas densitas menggunakan persamaan dari Schlumberger, 1975 untuk batupasir yang lempungan (shaly sand), yaitu :
ΦD corr = ΦD -
⎡ΦNclay * 0,13 * Vsh ⎤ ⎢ ⎥ 0,45 ⎣ ⎦
.........................................(Persamaan 2.3)
Dimana :
ΦD corr
= Porositas densitas setelah dikoreksi terhadap shale.
ΦD
= Porositas densitas sebelum dikoreksi terhadap shale.
ΦNclay
= Porositas neutron dari shale
Vsh
= Volume shale
Lithologi
Densitas Matriks (g/cm3)
Batupasir
2.644
Batugamping
2.710
Dolomit
2.877
Anhydrit
2.960
Salt /garam
2.040
Tabel 3.1. Densitas matriks dari beberapa litologi (Halliburton, 1991 op cit. Asquith dan Krygowski, 2004).
16
BAB III Dasar Teori 3.1.3 Log Neutron Log neutron merupakan log porositas yang mengukur jumlah ion hidrogen pada suatu formasi. Pada formasi yang bersih (clean formation) porositas yang terhitung oleh log neutron adalah jumlah pori yang terisi oleh cairan / liquid-filled porosity (ΦN / NPHI / PHIN). Apabila pori yang ada terisi oleh gas, maka neutron porositas yang terhitung akan lebih kecil. Hal ini terjadi karena gas memiliki jumlah ion hidrogen yang lebih sedikit dibandingkan air maupun minyak. Gejala penurunan nilai porositas neutron ini disebut gas effect. Selain gas effect, ada juga shale effect yang dapat mempengaruhi nilai porositas neutron. Shale effect adalah gejala penaikan nilai porositas neutron yang terjadi akibat kandungan shale. Hal ini terjadi karena ion hidrogen pada struktur lempung dan air yang terikat dalam lempung ikut terhitung sebagai ion hidrogen seperti dalam pori. Shale effect ini bisa dikurangi dengan cara mengkoreksi log neutron yang terbaca terhadap jumlah shale yang ada. Ini dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Schlumberger, 1975 op cit. Asquith dan Gibson, 1982):
ΦN corr = ΦN -
⎡ΦNclay * 0,3 * Vsh ⎤ ⎢ ⎥ 0,45 ⎣ ⎦
..........................................(Persamaan 2.4)
Dimana :
ΦN corr
= Porositas neutron terkoreksi terhadap shale.
ΦN
= Porositas neutron sebelum dikoreksi terhadap shale.
ΦNclay
= Porositas neutron dari shale.
Vsh
= Volume shale. Penentuan porositas efektif pada penelitian ini menggunakan kombinasi log
densitas dan neutron. Berikut ini adalah persamaan yang dapat digunakan untuk menghitung porositas efektif (Schlumberger, 1975 op cit. Asquith dan Gibson, 1982) :
ΦN-D =
ΦNcorr 2 + ΦDcorr 2 2
...............................................(Persamaan 2.5) 17
BAB III Dasar Teori 3.1.4 Log Sonik Log sonik merupakan log porositas yang mengukur lamanya waktu (interval transit time / Δt) yang diperlukan gelombang suara kompresional untuk menempuh jarak satu kaki dalam suatu formasi (Schlumberger, 1989). Lamanya waktu tempuh (Δt) ini biasa disajikan dalam satuan microsecond per foot (µsec/ft). Berikut ini adalah persamaan untuk menghitung porositas sonik (Wyllie dkk., 1958 op cit. Asquith dan Krygowski, 2004) :
Φs = ( Δtlog – Δtma ) / (Δtf – Δtma )
………………...(Persamaan 2.6)
Untuk suatu formasi dengan kandungan shale yang besar (shaly), pada perhitungan porositas sonik perlu dilakukan koreksi terhadap shale yang ada. Ini dapat dilakukan dengan persamaan sebagai berikut (Dresser Atlas, 1979 op cit. Asquith dan Krygowski, 2004) :
Φs corr = Φs – Vsh * ( Δtsh – Δtma ) / (Δtf – Δtma )
............Persamaan 2.7
Dimana:
Φs
= Porositas sonik
Φs corr
= Porositas sonik setelah dikoreksi terhadap shale.
Δtma
= Interval transit time matriks (table 3. 2).
Δtlog
= Interval transit time formasi.
Δtsh
= Interval transit time shale.
Δtf
= Interval transit time fluida (fresh mud = 189; salt mud = 185).
18
BAB III Dasar Teori Litologi
Δtma (μsec/ft)
Batupasir
55.5 – 51.0
Batugamping
47.6
Dolomit
43.5
Anhidrit
50
Salt / garam
66.7
Casing (Iron)
57
Tabel 3. 2. Interval transit time untuk berbagai matriks (Schlumberger, 1972 op cit. Asquith dan Krygowski, 2004).
Interval transit time suatu formasi akan bertambah seiring dengan keberadaan hidrokarbon. Jika efek hidrokarbon ini tidak dikoreksi terlebih dahulu, porositas sonik yang terhitung akan menjadi lebih besar. Koreksi efek hidrokarbon dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan berikut (Hilchie, 1978 op cit. Asquit dan Krygowski, 2004) :
Φ = Φsonic * 0.7 (gas) Φ = Φsonic * 0.9 (minyak)
…………….........………….(Persamaan 2.8)
3.1.5 Log Resistivitas Log resistivitas adalah log yang mengukur resistivitas suatu formasi. Resistivitas formasi dapat diukur menggunakan induksi maupun elektroda seperti laterolog, mikrolog dan mikrolaterolog. Kegunaan log resistivitas adalah untuk membedakan zona hidrokarbon dan air (hydrocarbon-water bearing), menentukan zona yang permeabel dan menentukan porositas resistivitas. Matriks dan butiran dalam batuan dianggap sebagai insulator atau non konduktif (buruk dalam mengalirkan arus listrik), sehingga kemampuan suatu batuan untuk mengalirkan listrik sangat berhubungan dengan jumlah air (konduktif) dalam pori. Semakin banyak jumlah air yang terdapat dalam pori maka semakin kecil resistivitas
19
BAB III Dasar Teori yang terhitung. Sebaliknya, semakin banyak jumlah hidrokarbon yang terdapat dalam pori maka semakin besar resistivitas yang terhitung. Hal ini dikarenakan hidrokarbon merupakan insulator atau non konduktif seperti halnya matriks dan butiran. Dengan mengetahui resistivitas air formasi (Rw), porositas (Φ), dan faktor tortuositas (a), saturasi / kejenuhan air (Sw) dapat diketahui dengan menggunakan rumus Archie sebagai berikut : Sw = (F x Rw / Rt) 1/n
...................................................(Persamaan 2.9)
Dimana : Sw = Saturasi air Rw = Resistivitas air formasi Rt
= Resistivitas formasi (true resistivity)
n
= Eksponen kejenuhan ( 1,8 - 2,5)
F
= Faktor formasi = a / Φ
a
= Faktor tortuosity (1,0)
m
= Faktor sementasi (2,0)
m
Nilai Rw bisa ditentukan menggunakan beberapa metode, seperti : • Pickett Plot • Rwa (apparent water resistivity) • Log SP (Spontaneous Potential) • Tes air formasi (formation water test)
Dalam penelitian ini, hanya metode Rwa dan Pickett plot saja yang dapat dilakukan. Ini dikarenakan untuk log SP dan tes air formasi (formation water test) tidak tersedia.
20
BAB III Dasar Teori 3.1.6 Plot M-N dan MID (mineral identification) Plot M-N dan MID bisa digunakan untuk mengetahui jenis litologi dan mineral dari suatu formasi. Untuk membuat plot M-N dan MID ini diperlukan data-data dari log sonik, neutron dan densitas. Berikut ini adalah rumus (Schlumberger, 1989) yang dapat digunakan untuk menghitung nilai M dan N :
M = ((∆tf - ∆t) / (ρb – ρf)) 0.01 N = ((ФNf - ФN) / (ρb – ρf))
...….(Persamaan 2.10)
Dimana :
Δtlog
= Interval transit time formasi
Δtf
= Interval transit time fluida (fresh mud = 189; salt mud = 185)
ρb
= Densitas bulk dari formasi.
ρf
= Densitas fluida (1.1 untuk salt mud, 1.0 untuk fresh mud, 0.7 untuk gas)
ФNf
= Porositas neutron dari fluida (1,0).
ФN
= Porositas neutron dari formasi.
Sedangkan untuk membuat plot MID, digunakan persamaan (Schlumberger, 1989) sebagai berikut :
ρmaa = (ρb - Ф*ρf)/(1- Ф) Δtmaa = (Δtlog- Ф*Δtf)/(1- Ф)
........................................(Persamaan 2.11)
Dimana :
ρmaa Δtmaa
= Apparent densitas. = Apparent transit time matriks.
21
BAB III Dasar Teori
Gambar 3.2 Identifikasi litologi menggunakan plot M-N. (Schlumberger, 1989)
Gambar 3.3 Identifikasi mineral berdasarkan plot MID (Schlumberger, 1986).
22
BAB III Dasar Teori
3.2 Sekuen Stratigrafi Berdasarkan Posamentier, 1988, sekuen stratigrafi dapat berarti sebuah studi tentang hubungan antar batuan secara kronostratigrafi yang mengalami perulangan (siklus), yang dibatasi oleh permukaan erosi, lapisan non-pengendapan (non deposition), maupun oleh keselarasan. Sebuah sekuen pengendapan yang lengkap memiliki sebuah siklus stratigrafi yang terdiri dari tiga buah pola penumpukan (stacking patterns), yang menunjukkan adanya siklus regresi dan transgresi (Posamentier dan Vail, 1988 op cit. Posamentier dan Allen, 1999 ). Stacking patterns ini didefinisikan sebagai system tracts, yang terdiri dari : Lowstand system tracts, Transgressive system tract, dan Highstand s`ystem tracts (Posamentier dan Vail, 1988). 3.2.1 Lowstand System Tracts (LST) Lowstand system tracts (gambar 3.4) adalah satuan sistem pengendapan yang terjadi selama penurunan permukaan air laut (sea level fall) atau pada saat permukaan air laut naik dengan perlahan. Ini termasuk semua yang diendapkan pada saat akhir turunnya permukaan air laut sampai saat kenaikan muka air laut (sea level rise) melebihi suplai sedimen (Posamentier dan Allen, 1999). Posamentier dan Allen, 1999 membagi LST menjadi LST Awal (Early) dan Akhir (Late). LST Awal berkembang selama periode turunnya muka air laut, disebut juga sebagai falling stage systems tract (Nummedal dan Plint, 1998 op cit. Posamentier dan Allen, 1999) atau forced regressive wedge systems tract (Hunt dan Tucker, 1992 op cit. Posamentier dan Allen, 1999). LST Akhir berkembang pada saat muka air laut mulai naik dengan perlahan, ditandai oleh berubahnya forced regression menjadi normal regression sehingga terbentuk pengendapan agradasional, yang terjadi karena adanya keseimbangan antara ruang yang tersedia (accommodation space) dan suplai sedimen (sediment supply).
23
BAB III Dasar Teori
Gambar 3.4 Lowstand system tracts (Kendall, 2003) 3.2.2 Transgressive System Tracts (TST) Transgressive system tracts (gambar 3.5) terbentuk pada saat kecepatan kenaikan muka air laut melebihi suplai sedimen. Ini termasuk semua endapan yang terbentuk pada saat muka air laut naik (sea level rise) sampai kepada saat terjadinya maximum flooding surface (Posamentier dan Allen, 1999). TST dicirikan oleh pola endapan retrogradasional, yang terjadi akibat ruang yang tersedia (accommodation space) lebih besar daripada suplai sedimen. TST dibatasi oleh permukaan transgresif (trangressive surface) di bagian bawahnya dan oleh maximum flooding surface di bagian atasnya. Pola log gamma ray TST adalah bentuk lonceng (bell shape), dengan suksesi vertikal menghalus dan menipis ke atas (fining & thinning upward).
Gambar 3.5 Transgressive system tracts (Kendall, 2003)
24
BAB III Dasar Teori 3.2.3. Highstand System Tracts (HST) Highstand system tracts (gambar 3.6) terbentuk selama fase regresif pada saat suplai sedimen melebihi kecepatan penurunan muka air laut (Posamentier dan Allen, 1999). Ini mengakibatkan ruang yang tersedia (accommodation space) lebih kecil dibandingkan jumlah suplai sedimen, sehingga membentuk pola pengendapan progradasional. HST dibatasi oleh maximum flooding surface di bawahnya, serta batas sekuen (sekuen boundary) diatasnya (Posamentier dan Vail, 1988). HST dicirikan oleh pola log gamma ray bentuk corong (funnel shape), dengan suksesi vertikal mengkasar dan menebal ke atas (coarsening & thickening upward).
Gambar 3.6 Highstand system tracts (Kendall, 2003)
25
BAB III Dasar Teori
Gambar 3.7 Respon gamma ray terhadap berbagai ukuran butir. (Emery 1996 op cit. Kendall, 2003)
26