BAB III BIOREMEDIASI TANAH TERCEMAR LIMBAH MINYAK BERAT MENGGUNAKAN KONSORSIUM BAKTERI DENGAN TEKNIK BIOSLURRY DAN LANDFARMING ABSTRAK Bioremediasi limbah minyak berat telah dilakukan dengan menggunakan konsorsium bakteri dengan teknik bioslurry dan landfarming. Teknik bioslurry dilakukan dengan mencampurkan limbah minyak berat dan air pada perbandingan 4:25, ditambahkan starter konsorsium bakteri (bioaugmentasi) sebanyak 10% (v/v). Parameter yang diamati adalah pertumbuhan bakteri, pH, TPH pada fasa padat dan TPH pada fasa cair setiap 3 hari sekali selama 1 bulan. Teknik landfarming dilakukan dengan mencampurkan limbah minyak berat, tanah liat dan kompos dengan berbagai perbandingan dan menambahkan 10% (v/v) konsorsium bakteri. Setiap minggu selama 4 bulan dilakukan pengamatan kadar air, pH, populasi bakteri, TPH fasa padat dan cair serta produksi gas yang dihasilkan selama proses biodegradasi berlangsung. Komposisi hidrokarbon pada limbah minyak berat sebelum dan sesudah bioremediasi ditetapkan dengan menggunakan peralatan GC-MS. Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan teknik bioslurry, bakteri dapat tumbuh dengan baik mencapai 3.47 x 1010 CFU/mL, pada kondisi pH yang berkisar diantara 7.5 sampai 8.5. Selama 1 bulan pengamatan persentasi TPH turun sampai mencapai 0.11% berada jauh dibawah ambang batas yang ditetapkan oleh Keputusan MenLH no. 128 Tahun 2003 yaitu sebesar 10000 ppm atau 1 %. Sebaliknya dengan teknik landfarming sampai 4 bulan pengamatan, persentase TPH masih cukup tinggi yaitu 5.58%. Hal ini mengindikasikan bahwa proses biodegradasi berjalan lambat sejalan dengan perkembangan bakteri yang tidak tumbuh dengan baik, pH yang tidak optimal serta kadar air yang rendah. Akan tetapi walaupun lambat, proses biodegradasi tetap berlangsung dengan ditunjukkan oleh produksi gas CO 2 dan NH 3 selama pengamatan. Keberlangsungan proses biodegradasi juga didukung oleh data GCMS yang menunjukkan bahwa setelah 4 bulan proses bioremediasi, teridentifikasi senyawa hidrokarbon dari C-6 sampai C-12 yang pada awalnya terdiri dari senyawa hidrokarbon dari C-6 sampai C-35.
57
PENDAHULUAN Teknik bioremediasi dapat dilaksanakan secara in-situ maupun cara ex-situ. Teknik bioremediasi in-situ umumnya diaplikasikan pada lokasi tercemar ringan, lokasi yang tidak dapat dipindahkan, atau karakteristik kontaminan yang volatil. Bioremediasi ex-situ merupakan teknik bioremediasi dengan cara lahan atau air yang terkontaminasi diangkat, kemudian diolah dan diproses pada lahan khusus yang disiapkan untuk proses bioremediasi. Penanganan semacam ini lebih aman terhadap lingkungan karena agen pendegradasi yang dipergunakan adalah mikroba yang dapat terurai secara alami (Budianto 2008). Bioremediasi secara ex-situ dapat dilakukan dengan teknik landfarming dan bioslurry. Landfarming merupakan salah satu kategori jenis bioremediasi ex-situ dimana dapat mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk pembersihan lahan yang terkontaminasi dibandingkan dengan secara fisika, kimia, dan biologi. Teknik landfarming ini membutuhkan penggalian dan penempatan pada tumpukan-tumpukan. Tumpukan-tumpukan itu secara berkala dipindahkan untuk dicampur dan diatur kelembabannya. Pengaturan pH tanah dan penambahan nutrisi dibutuhkan untuk meningkatkan aktivitas biologi (Poon 1996). Menurut Garcia et al. (2005), teknik landfarming merupakan metode yang seringkali dipilih untuk tanah yang terkontaminasi hidrokarbon, karena relatif lebih murah, dan berpotensi tinggi berhasil. Bioremediasi dengan teknik landfarming telah dilakukan untuk mengatasi tanah tercemar limbah minyak berat pada industri minyak PT CPI. Menggunakan mikroba indigen dibutuhkan waktu ± 8 bulan untuk menurunkan TPH sampai sekitar 4%, yang selanjutnya mikroba ini tidak mampu lagi untuk menurunkan TPH sampai 1%, sesuai Keputusan MenLH no. 128 Tahun 2003. Untuk itu dilakukan penelitian yang bertujuan mendapatkan teknik bioremediasi yang efektif dengan modifikasi yang dilakukan untuk mengatasi limbah minyak berat yang semakin lama semakin menumpuk dengan menggunakan konsorsium bakteri yang diperoleh dari limbah minyak berat dan kotoran hewan. Kotoran hewan merupakan bahan aktif, yang banyak mengandung mikroba. Selain kaya akan mikroba perombak, kotoran hewan juga memiliki kandungan
58
nutrisi yang cukup bagi pertumbuhan mikroba. Secara umum, kotoran segar hewan mengandung 70 – 80% air, 0.3 – 0.6% nitrogen, 0.1 – 0.4% fosfor dalam bentuk P 2 O 5 , 0.3 – 1.0% kalium dalam bentuk K2 O (Waksman 1957 dalam Anggraeni 2003). Beberapa spesies bakteri yang terkandung dalam limbah kotoran sapi (Bawono 1988 dalam Srimulyati 2000) antara lain Escherichia coli, Citrobacter freundii, Pseudomonas putrefasciens, Enterobacter cloacae, Proteus morganii,
Salmonella
spp,
Enterobacter
aerogenes,
Flavobacterium,
Pseudomonas fluorescens, dan Providencia alcalifasciens. Menurut Norman (1985), mikroba yang terkandung di dalam sekum, kolon, dan tinja ternak kuda antara lain Entamoeba caprae, Calismatix equi, dan Entamoeba equi. Bahan organik penting dalam meningkatkan produktivitas tanah dan merupakan sumber kehidupan bagi bermacam-macam mikroba. Komposisi kimia kotoran kuda, ditemukan kandungan protein dalam jumlah rendah namun kandungan selulosa dan hemiselulosanya tinggi. Berbeda dengan kotoran sapi yang cenderung memiliki komposisi kandungan hemiselulosa, selulosa, lignin, total protein, dan kadar abu yang seimbang (Waksman 1957 dalam Anggraeni 2003). Teknik bioslurry menggunakan bioreaktor berupa bejana (container) atau reaktor yang digunakan untuk perlakuan terhadap cairan atau bubur (slurry) Slurry bioreaktor tidak hanya digunakan untuk mendegradasi limbah berbentuk fase cairan dan slurry namun juga limbah padat/tanah. Menurut Banerji (1997) fase slurry dapat diperoleh dari limbah padat/tanah yang dicampurkan air sehingga slurry memiliki tingkat kepadatan 10-40%. Slurry ini kemudian disimpan dalam bioreaktor. Dalam bioreaktor slurry akan diberikan nutrisi dalam kondisi lingkungan yang terkontrol agar mikroba dapat melakukan proses degradasi dengan baik. Selain penambahan nutrisi, ke dalam reaktor diberikan suplai udara atau oksigen untuk menjaga agar kondisi aerobik pada bioreaktor tetap terjaga. Selain itu juga dilakukan pengadukan secara mekanik atau pneumatik. Keuntungan proses bioremediasi dengan menggunakan slurry bioreaktor adalah mempercepat proses transfer massa antara fase padat dan cair; kontrol lingkungan seperti nutrisi, pH, dan suhu dapat berlangsung dengan baik; mudah dalam memelihara tingkat penerimaan elektron dalam reaktor; dan berpotensial dalam mencegah kontaminasi oleh mikroba pengganggu.
59
Landfarming dan slurry bioreaktor merupakan salah satu teknologi bioremediasi yang terus dikembangkan hingga saat ini. Metode landfarming maupun slurry bioreaktor dapat mereduksi dampak pencemaran limbah minyak bumi karena bioremediasi merupakan metode alternatif yang aman dimana polutan (hidrokarbon) dapat diuraikan oleh mikroba menjadi bahan yang tidak berbahaya seperti CO 2 dan H 2 O. Baik landfarming maupun slurry bioreaktor memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Untuk itu perlu dikaji metoda mana yang lebih efektif dalam menangani limbah minyak bumi ini. Seberapa efektif bioremediasi dalam merombak hidrokarbon dari limbah minyak bumi pada fase slurry dan fase padat merupakan permasalahan yang perlu diketahui dan dikembangkan.
METODOLOGI PENELITIAN Bahan dan Alat Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah tanah tercemar limbah minyak berat
yang diperoleh dari industri perminyakan, konsorsium
mikroba yang berasal dari limbah minyak berat dan kotoran hewan (sapi dan kuda) yang diambil dari Fakultas Peternakan IPB, urea, SP36, glukosa, NaOH, CaCO 3 teknis, air laut, marine agar, nutrient broth, heksana, Na 2 SO 4 , silika gel, dan akuades. Peralatan yang digunakan meliputi rotary evaporator, seperangkat alat Soxhlet, oven, sentrifus, autoclave, inkubator, cawan petri, mikropipet, tabung ulir, erlemeyer 500 mL, spektrofotometer, GC-MS dan peralatan gelas lainnya. Prosedur Analisis Pengembangan Konsorsium Bakteri Pengembangan konsorsium bakteri menggunakan kotoran sapi dan kuda (segar) dilakukan dalam media kaya dan media minimal. Sebanyak 400 g contoh kotoran sapi dan kuda dilarutkan dalam 4 L air laut dalam ember dan ke dalamnya ditambahkan 200 g gula, 20 g urea, 2 g SP36. Contoh disimpan di laboratorium pada temperatur ruang (25-27 oC) dan diaerasi selama 1 minggu. Setiap hari
60
dilakukan pengukuran pH contoh, bila pH terlalu asam atau terlalu basa ditambahkan H 2 SO 4 6 N atau NaOH 6 N sampai pH normal. Konsorsium segar ini dimasukkan kedalam media minimal yang terdiri dari air laut sebanyak 4 liter dan ditambahkan dengan solar 5 % (v/v), 8 g urea, 0.8 g SP36 dan diaerasi selama 3 minggu. Setiap hari diamati pH dan setiap minggu diamati TPC. Konsorsium bakteri dari kotoran sapi dan kuda (stater) ini digunakan pada proses bioremediasi dengan teknik bioslurry dan landfarming. Bioremediasi dengan teknik bioslurry Bioremediasi dengan teknik bioslurry dilakukan dengan mencampurkan limbah minyak berat dan air dengan perbandingan 4 : 25 pada bioreaktor yang bervolume 50 liter. Sebanyak 10% konsorsium bakteri dan 0.04% surfaktan LAS dimasukkan ke dalam reaktor dan dilakukan pengadukan (K5). Hal yang sama juga dilakukan untuk kontrol (D5), tanpa penambahan konsorsium bakteri. Aerasi diberikan dengan menggunakan aerator. Bahan lain yang turut dicampurkan pada bioslurry tersebut yaitu urea dan SP 36. Setiap 3 hari selama 1 bulan dilakukan penyamplingan dan dianalisa jumlah koloni (TPC), pH, TPH fasa padat dan TPH fasa cair. Bioremediasi dengan teknik landfarming Konsorsium bakteri yang telah digunakan dalam mendegradasi limbah minyak berat dengan teknik bioslurry diuji juga kemampuannya dengan menggunakan teknik landfarming. Landfarming yang dilakukan adalah dengan sistem tertutup menggunakan wadah plastik tertutup. Pengerjaan dilakukan secara duplo dan waktu pengambilan sampel dilakukan sekali seminggu selama 4 bulan pengamatan. Perlakuan penelitian dengan teknik landfarming bertujuan untuk mendapat media pencampur yang efisien dengan komposisi yang terdapat pada Tabel 3.1.
61
Tabel 3.1 Komposisi bioremediasi dengan teknik landfarming Komposisi (kg) LMB Tanah Liat Kompos K 10 0 0 A 10 0 0 B 5 0 5 C 5 5 0 D 5 2.5 2.5 Keterangan: K = Kontrol LMB = Limbah Minyak Berat A = LMB Kode
Keterangan Tanpa penambahan bakteri Dengan penambahan bakteri Dengan penambahan bakteri Dengan penambahan bakteri Dengan penambahan bakteri B = LMB + Kompos C = LMB + Tanah liat D = LMB + Kompos +Tanah liat
Tanah liat yang digunakan adalah tanah yang tidak tercemar limbah minyak berat yang berasal dari sekitar ladang minyak Duri PT CPI. Sedangkan kompos yang digunakan adalah kompos yang memiliki komposisi: pupuk kandang, kotoran cacing, tanah humus, jerami, sekam, dan fermentasi EM4. Aerasi dilakukan dengan menggunakan aerator. Sampling tanah (padatan) dan udara dilakukan setiap minggu. Terhadap sampel tanah di analisa pH, kadar air, TPC, TPH, dan komposisi senyawa hidrokarbon. Sedangkan sampel udara dilakukan analisa kandungan CO 2 dan NH 3 . Pencuplikan Gas Peralatan pencuplikan disiapkan, tabung impinger diisi dengan larutan penjerapnya masing-masing sebanyak 10 mL. Laju alirnya ditentukan dengan alat flow meter sebesar 0.2 L/menit. Pencuplikan dilakukan selama 1 jam, dan setelah itu larutan penjerap yang telah berisi gas dimasukkan ke dalam botol film, lalu impinger dibilas dengan akuades. Pencuplikan gas seperti ditunjukkan pada Gambar 3.1.
62
Gambar 3.1 Pencuplikan gas CO 2 dan NH 3 selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming Analisis Gas CO 2 (Eaton et al. 2005) Sampel yang berupa larutan penjerap
berisi gas dimasukkan ke dalam
erlenmeyer dan ditambahkan indikator PP, kemudian dititrasi dengan HCl 0.025 N yang telah distandardisasi terlebih dahulu. Larutan penjerap CO 2 diambil sebanyak 10 mL dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer, kemudian ditambahkan indikator PP dan dititrasi dengan HCl 0.025 N. Larutan penjerap CO 2 yaitu larutan Na 2 CO 3 0,0245% (b/v) digunakan sebagai blanko.
Keterangan:
A = mL HCl yang terpakai (blanko) B = mL HCl yang terpakai (sampel) V = Volume dalam liter [Laju alir x t (menit)] = mg sampel yang didapat
Analisis Gas NH 3 (Lodge 1989) Gas NH 3
ditentukan dengan
mereaksikan gas NH 3
metode
indofenol,
prinsipnya
ialah
dengan senyawa fenol dan alkalin sitrat yang akan
memproduksi senyawa kompleks biru indofenol yang akan diukur serapannya dengan spektrofotometer pada λ 635.5 nm. Deret standar dibuat dengan memasukkan
0.05, 0.1, 0.2, 0.3, 0.4, 0.8, dan 1. 2 mL larutan induk standar
63
dengan konsentrasi 2 mg/L ke dalam labu takar 25 mL. Larutan penjerap NH 3 (H 2 SO 4 0.1N) ditambahkan sebanyak 5 mL, natrium fenolat sebanyak 1 mL, larutan nitroprussida sebanyak 1 mL dan larutan pengoksidasi sebanyak 2.5 mL kemudian ditera dengan akuades. Sampel dimasukkan ke dalam labu takar 25 mL dan diperlakukan sama seperti standar. Larutan standar dan sampel dibiarkan selama 1 jam dan dibaca nilai serapannya pada λ 635.5 nm dengan peralatan spektrofotometer UV. Nilai NH 3 dihitung dengan rumus:
Keterangan V = Volume dalam liter [laju alir x t (menit)] = µg sampel yang didapat dari kurva kalibrasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Bioremediasi dengan Teknik Bioslurry Aplikasi biodegradasi limbah minyak berat menggunakan metode bioslurry dilakukan selama 1 (satu) bulan. Selama dalam jangka waktu 1 bulan setiap 3 hari sekali dilakukan penyamplingan dan diamati : pH, pertumbuhan bakteri, dan TPH (baik padat maupun cair).
Penambahan LMB 5 % (b/v) pada K5 dan D5
didasarkan pada penelitian yang dilakukan Wulandari (2010). Penggunaan Konsorsium mikroba kotoran sapi dan kuda pada penambahan LMB 5 % (b/v) lebih baik dibandingkan dengan dengan 10%. Persen degradasi TPH pada penambahan LMB 5% lebih tinggi dibandingkan dengan LMB 10%. Hal ini karena toksisitas yang rendah pada LMB 5 %. Eris (2006) juga menyatakan bahwa penambahan limbah minyak diesel yang optimum pada teknik bioslurry didapat pada kandungan 9.09%, karena limbah minyak diesel mengandung minyak bumi fraksi ringan. Bioremediasi dengan teknik bioslurry dilakukan dengan mencampurkan limbah minyak berat dan air dengan perbandingan 4 : 25. Banerji (1997) menyatakan bahwa fase slurry dapat diperoleh dari limbah padat/tanah yang dicampurkan air sehingga slurry memiliki tingkat kepadatan 10-40%. Degradasi hidrokarbon pada persen padatan kurang dari 10% dan lebih dari 40% mengalami penurunan, hal ini disebabkan karena pada persen padatan kurang dari 10% tidak
64
dapat dikatakan sebagai fase slurry namun berupa fase cair sedangkan persen padatan lebih dari 40% sifatnya cenderung kental sehingga sulit untuk dilakukan agitasi menggunakan shaker akibatnya kandungan oksigen pada keadaan ini sangat rendah. Berikut ini merupakan aplikasi bioslurry setelah pencampuran limbah minyak berat dengan air.
K5
D5
minyak
Gambar 3.2 Proses bioremediasi dengan teknik bioslurry dari limbah minyak berat pada hari ke-3 Keterangan : K5 = Bioslurry tanpa penambahan konsorsium bakteri (kontrol) D5 = Bioslurry dengan penambahan konsorsium bakteri
Bioslurry yang telah ditambahkan konsorsium menampakkan butiranbutiran minyak pada permukaan slurry sedangkan pada kontrol tidak terlihat sama sekali minyak yang keluar dari limbah minyak berat (Gambar 3.2). Keluarnya minyak dari limbah minyak berat merupakan kontribusi dari bakteri yang telah dicampurkan sebelumnya. Bakteri menghasilkan biosurfaktan yang dapat membuat minyak bumi fraksi berat yang terdapat dalam limbah terdispersi ke dalam air, hal ini akan mempermudah kerja bakteri untuk mendegradasi senyawa hidrokarbon yang terdapat dalam minyak bumi fraksi berat tersebut. Penambahan surfaktan mempercepat limbah minyak berat untuk terdispersi ke dalam air. Rosenberg dan Ron (1996) mengemukakan bahwa biodegradasi hidrokarbon minyak bumi terjadi bila mikroba menempel di permukaan butiranbutiran minyak karena enzim oksigenase dibutuhkan untuk memecah rantai karbon sifatnya terikat pada membran sel.
65
Pertumbuhan Bakteri Bakteri merupakan faktor penting dalam proses biodegradasi, baik itu bakteri indigen maupun bakteri yang telah dikembangkan sendiri. Konsorsium bakteri yang berasal dari starter (bakteri yang dikembangkan sendiri) dan bakteri indigen yang terdapat dalam limbah minyak berat sangat berperan dalam proses biodegradasi. Pertumbuhan konsorsium bakteri lebih tinggi dibandingkan dengan
Populai Bakteri (log CFU/mL)
kontrol sebagaimana yang terlihat pada Gambar 3.3.
12 10 8 6 K5
4
D5
2 0 0
3
6
9 12 15 18 21 24 27 30 Waktu (hari)
Gambar 3.3 Pertumbuhan populasi bakteri selama proses bioremediasi dengan teknik bioslurry. Pada Gambar 3.3 populasi bakteri per ml menunjukkan peningkatan pertumbuhan bakteri. Peningkatan jumlah sel ini merupakan indikasi bahwa bakteri tumbuh dengan mengkonsumsi sumber karbon dari hidrokarbon. Sedangkan adanya peningkatan jumlah sel bakteri pada kontrol dikarenakan adanya bakteri yang dapat hidup namun tidak secara efektif menggunakan hidrokarbon sebagai sumber makanannya. Pengontrolan pH Selama proses aplikasi bioslurry berlangsung, dilakukan pengontrolan pH untuk
mempertahankan
kondisi
optimum
bakteri
dalam
mendegradasi
hidrokarbon. Bakteri dapat optimum mendegradasi senyawa hidrokarbon pada pH 6-8. Jika pH pada bioslurry bernilai di bawah 6 maka ditambahkan NaOH sehingga pH naik menjadi 7 atau 8. Pada bioslurry dengan menggunakan
66
konsorsium bakteri,
pH menunjukkan nilai yang relatif stabil yaitu sekitar 8.
Dari Gambar 3.4 yang disajikan terlihat bahwa bakteri pendegradasi hidrokarbon pada aplikasi biodegradasi senyawa hidrokarbon dengan penambahan konsorsium bakteri (D5) bekerja pada kondisi basa yaitu pada pH sekitar 7.5 sampai 8.5.
9 8 7
pH
6 5 4 K5
3
D5
2 1 0 0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
Waktu (hari)
Gambar 3.4 Perubahan pH selama proses bioremediasi dengan teknik bioslurry
Penurunan TPH Jumlah hidrokarbon yang ada pada cairan dan padatan dari slurry tersebut dapat dilihat dari nilai TPH yang diukur pada jangka waktu tertentu dari aplikasi bioslurry. Nilai TPH pada padatan dapat menunjukkan kecepatan degradasi hidrokarbon pada limbah minyak berat. Pada Gambar 3.6, terlihat bahwa sampel D5 mengalami penurunan sebanyak 99.46 % selama 1 bulan yaitu dari TPH sebesar
207139.87 ppm atau 20.71% menjadi 1108.55 ppm atau 0.11% dan
kontrol (K5) sendiri mempunyai nilai TPH yang relatif stabil sampai hari ke 21. Dengan waktu inkubasi yang semakin meningkat, nilai TPH pada kontrol menunjukkan penurunan sampai pada nilai 60792.23 ppm atau 6.08%. Nilai TPH pada hari ke 28 pada D5 yang disajikan mempunyai nilai 1108.55 ppm atau 0.11 % yang berarti jauh dibawah ambang batas yang ditetapkan pada Keputusan MenLH no. 128 Tahun 2003 yaitu sebesar 10000 ppm
67
atau 1 %. Untuk TPH pada fasa cair berada pada kisaran nilai yang kecil (kurang dari 2100 ppm), hal ini diduga senyawa hidrokarbon yang berasal dari limbah minyak berat tersebut langsung terdegradasi ketika senyawa hidrokarbon tersebut lepas dari limbah minyak berat ke fasa cair. Hasil penelitian Eris (2006) pada skala laboratorium dengan menggunakan slurry bioreaktor 500 ml menunjukkan bahwa hidrokarbon pada limbah minyak diesel dapat terdegradasi secara optimal hingga sebesar 85.29% pada kombinasi perlakuan 9.09% tingkat cemaran dalam tanah dan 32.62% padatan. Perlakuan optimal dari hasil penelitian skala laboratorium yang dikembangkan pada skala 16 liter diperoleh hasil bahwa dengan penambahan konsorsium bakteri Pseudomodas pseudomallei dan Enterobacter agglomerans serta kotoran hewan, hidrokarbon dalam limbah minyak diesel mampu terdegradasi hingga 91.6% (dari 13964 ppm menjadi 1167 ppm) selama 20 hari.
TPH Fasa Cair (ppm)
2400 2100
K5
1800
D5
1500 1200 900 600 300 0 0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
Waktu (hari)
Gambar 3.5 Perubahan nilai TPH fasa cair selama proses bioremediasi dengan teknik bioslurry
68
25
TPH Fasa Padat (%)
K5
20
D5
15 10 5 0 0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
Waktu (hari)
. Gambar 3.6 Penurunan TPH fasa padat selama proses bioremediasi dengan teknik bioslurry
Bioremediasi dengan Teknik Landfarming Perubahan pH Nilai pH mempengaruhi kemampuan bakteri dalam menjaga kelangsungan aktivitas-aktivitas seluler, transpor membran sel, dan kesetimbangan reaksi yang dikatalis enzim-enzimnya. Berdasarkan pengukuran pH yang dilakukan setiap minggu, pH yang terukur berkisar antara 4 sampai 7 (Gambar 3.7). pH 8 7 6 5 4 3 2 1 0 0
2
4
6 8 10 Waktu (minggu)
12
14
16
Gambar 3.7 Perubahan pH selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming pada perlakuan LMB (o), LMB + Kompos (■), LMB + Tanah liat (▲), LMB + Kompos + Tanah liat (●), dan Kontrol (♦)
69
Menurut Cookson (1995) pH yang optimum bagi pertumbuhan bakteri adalah 7 dan memiliki rentang pH antara 4 sampai 10 sedangkan untuk oksidasi nitrogen berkisar antara 6 sampai 8. Degradasi hidrokarbon lebih cepat bila dilakukan pada kondisi pH di atas 7 dibandingkan dengan pH di bawah 5. Dengan demikian, apabila dalam larutan media terkandung bahan organik dengan konsentrasi tinggi sehingga menurunkan alkalinitas larutan, maka ke dalam larutan tersebut perlu ditambahkan CaCO 3 atau basa lainnya sampai pH larutan kembali normal. Kecenderungan penurunan pH teramati pada setiap sampel dengan nilai penurunan yang hampir sama. Penurunan tersebut menunjukkan bahwa akumulasi asam-asam organik sebagai hasil akhir metabolisme meningkat seiring dengan bertambahnya waktu inkubasi. Nilai pH yang tinggi kemungkinan disebabkan oleh pelepasan amonia dari substrat atau efek kation yang tersisa setelah metabolisme asam-asam organik. Perubahan Kadar Air Kelembaban sangat penting untuk hidup, tumbuh dan aktivitas metabolik mikroba. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan setiap minggu, kadar air yang terukur berkisar antara 10.10–32.67% seperti yang tertera pada Gambar 3.8 dan
Kadar Air (%)
Lampiran 3.2. 40 35 30 25 20 15 10 5 0 0
2
4
6 8 10 Waktu (minggu)
12
14
16
Gambar 3.8 Perubahan kadar air selama proses bioremediasi teknik landfarming pada perlakuan LMB (o), LMB + Kompos (■), LMB + Tanah liat (▲), LMB + Kompos + Tanah liat (●), dan Kontrol (♦)
70
Nilai yang bervariasi ini diakibatkan karena perbedaan perlakuan pada tiap sampel. Setiap minggunya dilakukan penambahan air pada sampel secara teratur. Menurut Fletcher (1992) selama bioremediasi, jika kandungan air terlalu tinggi akan berakibat sulitnya oksigen untuk masuk kedalam tanah sedangkan tanpa air mikroba tidak dapat hidup dalam limbah minyak. Menurut Dibble dan Bartha (1979) kadar air yang dibutuhkan bakteri untuk metabolisme dalam mendegradasi hidrokarbon berkisar antara 30–90%. Perubahan Suhu Suatu proses degradasi, temperatur akan berpengaruh terhadap sifat fisik dan kimia komponen-komponen minyak, kecepatan degradasi oleh mikroba, dan komposisi komunitas mikroba. Berdasarkan pengukuran suhu yang dilakukan setiap minggu, suhu yang terukur berkisar antara 27–51°C (Gambar 3.9).
SuhuoC 60 50 40 30 20 10 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
Waktu(minggu) Gambar 3.9 Perubahan suhu selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming pada perlakuan LMB (o), LMB + Kompos (■), LMB + Tanah liat (▲), LMB + Kompos + Tanah liat (●), dan Kontrol (♦) Menurut Leahly dan Colwell (1990) temperatur yang optimal untuk degradasi hidrokarbon adalah 30–40°C. Pada penelitian ini didapatkan suhu yang berfluktuasi (Gambar 3.9 dan Lampiran 3.3), karena pada proses biodegradasi terjadi pemutusan rantai hidrokarbon yang akan menghasilkan energi sehingga
71
suhu menjadi naik, kemudian suhu kembali turun ke suhu ruang jika proses biodegradasi terhenti atau berjalan sangat lambat. Pada temperatur rendah, viskositas minyak akan meningkat mengakibatkan
volatilitas alkana rantai
pendek yang bersifat toksik menurun dan kelarutannya di air akan meningkat sehingga proses biodegradasi akan terhambat. Efek penghambatan tersebut juga disebabkan oleh penurunan aktivitas enzim mikrobial.
Perubahan TPH TPH merupakan parameter penting yang menunjukkan keberhasilan proses biodegradasi hidrokarbon minyak bumi. Pengukuran dilakukan setiap 2 minggu sekali selama 4 bulan pengamatan. Pada perlakuan
penambahan konsorsium
bakteri terhadap limbah minyak berat (LMB), nilai TPH awal yang terukur adalah sebesar 15.32% dan diakhir pengukuran sebesar 12.61%. Untuk perlakuan tanpa penambahan konsorsium bakteri (kontrol), persen TPH awal yang terukur adalah sebesar 15.84% dan diakhir pengukuran sebesar 13.43%. Perlakuan limbah minyak berat dengan pencampuran kompos dan penambahan konsorsium bakteri dapat menurunkan nilai TPH dari 11.96% menjadi 5.58%. Adanya penambahan kompos dapat meningkatkan proses biodegradasi. Sedangkan untuk perlakuan limbah minyak berat yang dicampur dengan tanah liat dan penambahan konsorsium bakteri memiliki nilai TPH awal sebesar 8.73% dan diakhir pengukuran sebesar 5.78%. Perlakuan limbah minyak berat dengan pencampuran tanah liat dan penambahan konsorsium bakteri menghasilkan persen TPH awal yang terukur sebesar 6.52% dan diakhir pengukuran 4.87%. Hasil pengukuran TPH secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 3.10 dan Lampiran 3.4.
72
TPH (%)
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
Waktu (minggu)
Gambar 3.10 Perubahan nilai TPH selama Proses bioremediasi pada perlakuan LMB (o), LMB + Kompos (■), LMB + Tanah liat (▲), LMB + Kompos + Tanah liat (●), dan Kontrol (♦) TPH yang terukur pada semua perlakuan menunjukkan grafik turun naik. Penurunan nilai TPH karena dalam proses biodegradasi menghasilkan senyawa hidrokarbon rantai pendek yang bersifat volatil, sedangkan peningkatan nilai TPH diduga terjadi karena adanya insersi O 2 dan H 2 O kedalam senyawa organik sehingga dihasilkan senyawa organik yang memiliki berat molekul yang lebih tinggi. Fluktuasi nilai TPH disebabkan oleh kerja mikroba yang berbeda-beda. Biodegradasi minyak bumi oleh mikroba bisa terjadi di bawah kondisi aerobik maupun anaerobik, dan aktivitas degradasi tersebut merupakan reaksi yang umum terjadi di alam. Kondisi lingkungan yang berbeda akan mempengaruhi perbedaan aktivitas mikroba dalam mendegradasi senyawa polutan. Terdapat perbedaan antara hasil perlakuan dengan penambahan bakteri dan kontrol, hal ini dapat ditunjukkan dengan slope yang dihasilkan pada persamaan regresi (Tabel 3.2). Walaupun perbedaan tidak terlalu signifikan, tapi terbukti pada hasil akhir TPH pada penambahan konsorsium bakteri lebih kecil dibandingkan dengan tanpa penambahan konsorsium bakteri. Hal ini terjadi pada semua perlakuan, slope yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 3.2 berikut ini.
73
Tabel 3.2 Persamaan regresi penurunan TPH dari berbagai perlakuan dengan teknik landfarming Perlakuan Kontrol
Persamaan Regresi y= -0.124x + 15.21
Slope -0.124
LMB
y= -0.162x + 15.68
-0.162
LMB + Kompos
y= -0.277x + 9.748
-0.277
LMB + Tanah liat
y= -0.143x + 7.897
-0.143
LMB + Tanah liat + Kompos
y= -0.179x + 6.773
-0.179
Dari slope yang dihasilkan, perlakuan campuran LMB dan kompos memiliki kemiringan garis yang lebih curam dibandingkan dengan perlakuan lainnya, hal ini mengindikasikan perubahan TPH diawal dan diakhir cukup besar sehingga persen degradasi yang dihasilkan cukup tinggi. Besarnya persen degradasi yang dihasilkan dari perlakuan campuran limbah minyak berat dengan penambahan kompos yaitu sebesar 53.35%, disebabkan kerja bakteri yang lebih baik. Pada perlakuan menggunakan campuran kompos, kompos dapat dijadikan sebagai media yang baik untuk pertumbuhan bakteri karena terdapat nutrien yang bisa digunakan sebagai bahan makanan oleh bakteri. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa perlakuan dengan penambahan kompos paling baik dalam menyimpan kadar air (Gambar 3.10). Menurut Daubaras dan Chakrabarty (1992) menyatakan bahwa perubahan kondisi lingkungan juga akan mempengaruhi aktivitas mikroba di dalamnya. Aktivitas tersebut meningkat karena adanya ekspresi gen-gen tertentu untuk memproduksi enzim-enzim yang sesuai. Dengan demikian, pada degradasi minyak , di mana 90% komponennya tersusun atas hidrokarbon, maka enzim yang banyak berperan adalah enzim-enzim oksigenase. Terdapat 2 macam enzim oksigenase yaitu
monooksigenase dan
dioksigenase. Enzim monooksigenase banyak berperan dalam degradasi hidrokarbon alifatik sementara enzim dioksigenase pada hidrokarbon siklik. Keduanya berfungsi pada tahap awal degradasi, yaitu pada saat insersi molekul oksigen ke dalam struktur hidrokarbon. Pada n-alkana insersi molekul oksigen ke
74
dalam struktur hidrokarbon terjadi pada gugus metil terminal maupun subterminal. n-alkana dioksigenasi menjadi alkohol kemudian menjadi asam karboksilat, yang selanjutnya akan dilakukan pemisahan dua unit karbon secara berkesinambungan dan dikenal dengan sekuen beta oksidasi (Cookson 1995) seperti yang reaksi yang dijelaskan oleh Hurtig dan Wagner (1992) (Gambar 3.11 dan Gambar 3.12). CH3(CH2)nCH3 alkana 1/2 O2
CH3(CH2)nCH OH 2 alkohol primer H2 CH3(CH2)nCHO aldehid 1/2 O2
CH3(CH2)nCOOH asam lemak
reaksi
β -oksidasi
CH3COOH asam asetat
CO2 + energi
Gambar 3.11 Degradasi hidrokarbon alkana melalui oksidasi Terminal (Hurtig dan Wagner 1992) R-CH2-CH2-CH3 alkana
OH
O2 +2H+ -H2 O
R-CH2-CH-CH3 alkohol sekunder -2H+
O R-CH2-O-C-CH3 asetil ester
O2 +2H+ -H2 O
O R-CH2-C-CH3 metil keton
+H2 O
R-CH2-OH + alkohol primer
CH3-COOH asam asetat
β -oksidasi
-2H+
R-CHO aldehid
-H2 O -2H+
CO2 + energi
R-COOH asam karboksilat
Gambar 3.12 Degradasi hidrokarbon alkana melalui oksidasi Subterminal (Hurtig dan Wagner 1992)
75
Mekanisme
degradasi hidrokarbon
alkana
melalui oksidasi terminal
akan mengalami tahapan perubahan berturut-turut menjadi alkohol primer, aldehid, dan asam lemak. Pada tahapan terakhir asam lemak melalui reaksi βoksidasi diubah menjadi asam asetat (asam lemak dengan dua atom karbon) yang akan didegradasi lebih lanjut di dalam sel menghasilkan karbon dioksida dan energi. Oksidasi alkana subterminal akan mengalami tahapan perubahan berturutturut menjadi alkohol sekunder, metilketon, asetilester, alkohol primer, aldehid dan asam lemak atau asam karboksilat. Asam lemak ini melalui reaksi β-oksidasi akan didegradasi menghasilkan karbon dioksida dan energi (Atlas and Bartha, 1998). Rantai panjang dari asam lemak akan dikonversi oleh acyl coenzyme A membentuk asetil-CoA dan rantai pendek asam lemak yang telah berkurang dua unit gugus karbonnya sebagai CO 2 melalui siklus tricarboxylic acid (TCA) secara berulang-ulang (Atlas dan Bartha 1998; Bailey dan Ollis 1988). Proses degradasi senyawa aromatik yang terdapat pada minyak bumi fraksi berat sangat ditentukan oleh tipe, jumlah dan posisi gugus yang tersubtitusi pada cincin aromatik tersebut. Gugus yang biasanya tersubtitusi pada cincin aromatik seperti benzen adalah :-OH, -CH 3 , -COOH, -CH 2 OH, -NH 2 , dan -SO 3 H. Pada proses degradasi senyawa aromatik akan dihasilkan senyawa antara, yang jenisnya tergantung dari senyawa asal yang didegradasi. Namun secara
umum
senyawa
antara
yang
terbentuk
dapat
demikian,
dikelompokan
menjadi tiga yaitu : katekol, asam protokatekuat , dan asam gentisat. Beberapa reaksi degradasi senyawa aromatik dengan satu, dua dan tiga berurutan
cincin, secara
benzen, naftalen, dan fenantren akan menghasilkan senyawa antara
berupa katekol (Alexander 1977). Mekanisme benzen, naftalen, dan fenantren menjadi senyawa antara katekol dapat dilihat pada Gambar 3.13, 3.14 dan 3.15.
H2O2 benzena
H C OH C OH H
3,5 sikloheksadiena 1,2 diol
OH OH
katekol
Gambar 3.13 Degradasi benzen menjadi katekol melalui reaksi hidroksilasi aromatik (Alexander 1977) A
76
OH OH naftalena
1,2-Dihidroksinaftalena
OH
COOH OH
OH asam salisilat
Katekol
Gambar 3.14 Degradasi senyawa aromatik dua cincin (naftalen) menjadi katekol (Alexander 1977)
OH
OH
OH
COOH
Fe nantrena
1- Hidroksi-2-as am naftoat
COOH
OH OH
Ka te kol
1,2-Dihidroksinaftalena
OH as am salisila t
Gambar 3.15 Degradasi senyawa aromatik 3 cincin (fenantren) menjadi katekol (Alexander 1977)
Katekol dikatabolisme melalui pemecahan cincin, yang menyebabkan cincin aromatik pecah. Pemecahan cincin dapat terjadi melalui dua jalur, yaitu : jalur pemecahan orto dimana cincin aromatik terbagi diantara dua atom karbon yang menghasilkan kelompok hidroksil, jalur kedua adalah jalur pemecahan meta dimana cincin benzena diputus diantara atom karbon terhidroksilasi dan atom karbon yang berdekatan atau pembukaan cincin benzena terjadi pada posisi meta.
77
Gambar 3.16 Jalur pemecahan orto untuk katabolisme katekol.
Gambar 3.16 Jalur pemecahan orto untuk katabolisme katekol (Doelle 1994)
Gambar 3.17 Jalur pemecahan meta untuk katabolisme katekol (Doelle 1994)
78
Masing-masing
reaksi
pemecahan
cincin
dikatalisis
oleh
enzim
dioksigenase. Jalur metabolik selanjutnya sangat berbeda tapi keduanya menuju ke intermediat sklus TCA (asetat dan suksinat) atau ke subsrat yang dapat dengan mudah dikonversi menjadi intermediat siklus TCA (piruvat dan asetaldehid). Jalur pemecahan orto (juga disebut jalur ketoadipat) ditunjukkan pada Gambar 3.16 dan jalur pemecahan meta ditunjukkan pada Gambar 3.17. Higgins et al. (1984) dalam Pritchard et al. (1993) menyatakan bahwa berbagai spesies bakteri yang mengoksidasi hidrokarbon rantai pendek (metana, etana, propana, butana, etilen, propilen, dan asetilen) tidak mengoksidasi alkana rantai panjang. Kondisi tersebut terutama berlaku pada kelompok bakteri metanotrop. Degradasi hidrokarbon rantai pendek lainnya bisa terlaksana melalui proses kometabolisme. Cookson (1995) memberikan contoh mikroba yang mampu melakukan kometabolisme hidrokarbon rantai pendek yaitu Pseudomonas methanic. Pseudomonas methanic menggunakan metan sebagai substrat primer, di samping itu juga mengoksidasi substrat-substrat sekunder seperti etana, propana, dan butana menjadi alkohol, aldehid, dan asam. Senyawa-senyawa nitrogen juga mengalami perubahan selama proses pengayaan. Menurut Chayabutra dan Ju (2000), senyawa nitrogen yang berasal dari sisa-sisa protein dan asam amino dalam kotoran hewan dan pupuk yang ditambahkan, juga mengalami perubahan. Di mana reaksi berlangsung secara anaerobik, ion amoniak akan dimanfaatkan oleh populasi anaerobik, namun bila jumlah ion-ion amoniak tersebut terlalu banyak maka akan menghambat asam organik, produksi asam lemak dan metanogenesis. Walaupun variasi populasi mikroba dalam kotoran hewan relatif tinggi, banyak diantara mikroba tersebut yang mati selama proses dekomposisi berlangsung yang kemudian akan digantikan oleh mikroba lain yang lebih sesuai dengan komposisi kimia yang ada pada lingkungan tersebut (Waksman 1957). Perubahan Senyawa Hidrokarbon Berdasarkan data kromatogram hasil GC-MS dapat dilihat perubahan senyawa hidrokarbon dari luas area yang terukur. Penentuan senyawa hidrokarbon berdasarkan data yang terdapat pada library menggunakan CAS Number. Hasil
79
identifikasi sampel senyawa dari library dipilih yang memiliki kemiripan lebih dari 90. Perubahan senyawa hidrokarbon pada keseluruhan sampel dapat dilihat pada Lampiran 3.8.
Gambar 3.18 Kromatogram GC-MS dari limbah minyak berat pada awal perlakuan Kromatogram GCMS pada awal perlakuan (Gambar 3.18) memperlihatkan banyaknya senyawa hidrokarbon yang terkandung dalam limbah minyak berat, baik senyawa hidrokarbon alifatik maupun aromatik. Menurut Lestari (2003), minyak bumi mengandung ratusan komponen yang bervariasi bergantung daerah asalnya: alifatik, alisiklik, aromatic dan senyawa non hidrokarbon seperti naftenat, fenol, tiol dan senyawa sulfur. Suardana (2002) menyatakan bahwa fraksi minyak berat Duri mengandung senyawa aromatik, paraffin, naftenik, dan aspaltena serta senyawa non aromatik seperti Senyawa N, S dan O. Pada pengukuran awal teridentifikasi senyawa hirdrokarbon dari C-6 sampai C-35. Pada semua sampel proses biodegradasinya cukup beragam (Komatogram pada Lampiran 3.5). Kromatogram GCMS pada diakhir perlakuan pada penambahan kompos (Gambar 3.19) memperlihatkan banyaknya senyawa hidrokarbon yang hilang dengan berkurangnya peak yang dihasilkan. Adanya penambahan kompos akan mempercepat proses biodegradasi.
80
Gambar 3.19 Kromatogram GCMS dari limbah minyak berat + kompos pada akhir perlakuan Setelah pengukuran pada minggu ke-16 atau akhir banyak senyawa yang hilang. Pada data kromatogram Lampiran 34 dapat dilihat penurunan kelimpahan atau abundance. Hal ini menunjukkan terjadinya proses degradasi senyawa hidrokarbon. Pada degradasi n-alkana insersi molekul oksigen ke dalam struktur hidrokarbon terjadi pada gugus metil terminal maupun subterminal. n-alkana dioksigenasi menjadi alkohol kemudian menjadi asam karboksilat, yang selanjutnya akan dilakukan pemisahan dua unit karbon secara berkesinambungan dan dikenal dengan sekuen beta oksidasi (Cookson 1995). Rantai panjang dari asam lemak akan dikonversi oleh acyl coenzyme A membentuk asetil-CoA dan rantai pendek asam lemak yang telah berkurang dua unit gugus karbonnya sebagai CO 2 melalui siklus tricarboxylic acid (TCA) secara berulang-ulang (Atlas dan Bartha 1998; Bailey dan Ollis 1988). Perubahan senyawa hidrokarbon pada perlakuan penambahan konsorsium terhadap limbah minyak berat (LMB) saja hampir sama dengan perlakuan campuran LMB dengan tanah liat, begitu juga dengan perlakuan campuran LMB dengan kompos mirip dengan perlakuan campuran LMB dengan tanah liat dan kompos. Dari semua sampel yang paling rendah mengalami perubahan yaitu perlakuan LMB tanpa campuran. Hal ini dapat dilihat dari hasil akhir pengukuran. Pada Lampiran 3.8 masih terdapat hidrokarbon rantai panjang, contohnya dokosana (C-22) dengan luas puncak 0.25%.
81
Pengukuran pada minggu akhir banyak senyawa yang hilang. Walaupun pada perlakuan LMB tanpa campuran
dan pada perlakuan campuran LMB
dengan tanah liat terjadi perubahan luas area, tetapi tidak terlalu signifikan. Sedangkan pada perlakuan campuran LMB dengan kompos
dan perlakuan
campuran LMB dengan tanah liat dan kompos terjadi perubahan luas area yang signifikan (Lampiran 3.8). Hilangnya senyawa-senyawa pada akhir pengukuran dapat dilihat pada Tabel 3.2. Tabel 3.3 Senyawa yang hilang pada akhir pengukuran selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming LMB tetrahydro 2-5 dimetil furan oktametil Siklotetra siloksan pentatriacontana metil heksadekanoat
LMB + Kompos tetrahydro 2-5 dimetil furan oktametil siklotetra siloksan tetradekana pentadekana heksadekana heptadekana oktadekana pentatriakontana nonadekana metil heksadekanoat Eikosana heneikosana dokosana
LMB + Tanah Liat tetrahydro 2-5 dimetil furan dekametil siklopentasiloksan tetradekana pentadekana heksadekana pentatriacontana dokosana 1-nonadekana
LMB + Kompos + Tanah Liat dodekametil sikloheksasiloksan tetradekana pentadekana heksadekana heptadekana oktadekana pentatriakontana nonadekana metil heksadekanoat eikosana heneikosana dokosana
Hilangnya senyawa tersebut karena terjadi proses degradasi.
Pada
perlakuan penambahan konsorsium bakteri terhadap limbah minyak berat dan penambahan konsorsium bakteri terhadap pencampuran LMB dan kompos tidak terlalu banyak senyawa yang hilang. Pada perlakuan
perlakuan penambahan
konsorsium bakteri terhadap LMB saja hanya 4 senyawa yang hilang dan 8 senyawa pada perlakuan LMB + Tanah liat. Pada perlakuan LMB + kompos yang merupakan penurunan TPH paling baik ditemukan banyak senyawa yang hilang (13 senyawa), hal ini disebabkan bakteri bekerja lebih baik dan bakteri yang ada dalam kompos juga ikut mendegradasi hidrokarbon. Senyawa-senyawa yang masih terdapat pada akhir pengukuran dapat dikatakan sebagai hidrokarbon yang sulit didegradasi oleh bakteri. Sebagai contoh pada perlakuan LMB + kompos
82
senyawa hidrokarbon aromatik yaitu dodekametil sikloheksasiloksan dengan luas puncak 0.20%, pada perlakuan penambahan konsorsium bakteri terhadap LMB saja dengan contoh senyawa yang sama masih memiliki luas puncak yang cukup besar yaitu 1.61% (Tabel 3.3). Tabel 3.4 Perubahan luas puncak (%) senyawa yang terdeteksi dengan GCMS di awal dan di akhir pengukuran pada perlakuan campuan LMB dengan kompos Area (%) Senyawa hidrokarbon Tetrahidro 2-5 dimetil furan Toluene Heksametil siklotrisiloksana Oktametil siklotetrasiloksana Dekametil siklopentasiloksana Dodekana Dodekametil sikloheksasiloksana Tetradekana Pentadekana Heksadekana Heptadekana Oktadekana Pentatriakontana Nonadekana Metil heksadekanoat Eikosana Heneikosana Dokosana
Diakhir
C ke-n
Waktu retensi
C-6 C-7 C-6 C-8 C-10 C-12 C-12 C-14 C-15 C-16 C-17 C-18 C-35 C-19 C-16 C-20 C-21 C-22
7.585 8.716 9.453 12.565 15.165 16.455 17.781 19.438 20.721 21.964 23.138 24.249 24.459 25.324 25.764 26.325 27.493 28.217
LMB awal
LMB Akhir
0.39 td td 0.15 0.33 td 0.82 0.57 1.11 1.28 1.49 0.43 0.18 1.8 0.32 1.66 1.83 0.56
td td 0.62 td 0.25 0.08 1.61 0.04 0.32 0.26 0.15 0.34 td 0.62 td 0.49 0.59 0.25
LMB + Kompos akhir td 0.20 1.77 td 0.18 0.8 td td td td td td td td td td td td
perlakuan (minggu ke-16) pada campuran LMB dan kompos
didapatkan 4 senyawa hidrokarbon dengan luas puncak berkisar antara 0.18% 1.77%. Analisa Gas Selama Proses Biodegradasi Produksi Gas CO 2 Pembentukan gas CO 2 disebabkan terjadinya proses aerobik di dalam biodegradasi limbah tanah yang tercemar minyak bumi ini. Proses ini terutama dilakukan oleh bakteri aerob. Menurut Atlas dan Bartha (1987) dalam proses biodegradasi rantai alkana dioksidasi membentuk alkohol, aldehida dan asam
83
lemak, setelah terbentuk asam lemak proses katabolisme terjadi secara β oksidasi. Rantai panjang dari asam lemak dikonversi oleh asil koenzim A yang merupakan enzim membentuk asetil koenzim A dan rantai pendek asam lemak yang telah berkurang dua unit gugus karbonnya yang berlangsung secara berulang-ulang. Asetil koenzim A diubah menjadi CO 2 melalui siklus tricarboxylic acid.
4500 4000
CO2 (mg/m3)
3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
K
A
B
C
D
Perlakuan Gambar 3.20 Produksi gas CO 2 selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming pada perlakuan LMB (A), LMB + Kompos (B), LMB + Tanah liat (C), LMB + Kompos + Tanah liat (D), dan Kontrol (K) . Berdasarkan penelitian Eris (2006), terbentuknya gas CO 2 ini merupakan akibat adanya aktivitas bakteri dalam mendegradasi hidrokarbon. Gambar 3.20 menunjukkan hasil produksi gas CO 2 dari minggu ke-0 sampai dengan minggu ke-16. Dari hasil pengamatan, dapat dilihat pada Gambar 3.20 terjadi peningkatan dan penurunan produksi gas CO 2 dari setiap minggunya. Pada kontrol dan perlakuan LMB tanpa campuran didapat kadar CO 2 tidak begitu tinggi. Secara umum dari setiap perlakuakn, tiga minggu pertama produksi gas CO 2 mengalami peningkatan, tetapi mulai menurun pada minggu ke-4, kemudian meningkat lagi pada minggu ke-6 sampai minggu ke-9, dan minggu selanjutnya kembali mengalami fluktuasi.
84
Penurunan produksi gas CO 2 menunjukkan bahwa proses aerobik mengalami penurunan. Pada perlakuan kontrol, terlihat bahwa setiap minggu terjadi fluktuasi dari produksi CO 2 , hampir sama dengan yang terjadi pada perlakuan dengan penambahan konsorsium bakteri terhadap limbah minyak minyak berat tanpa pencampur. Penelitian Ramos et al. (2009) menerangkan bahwa adanya produksi gas pada tanah tercemar hidrokarbon yang mengandung PAH, tidak mengalami peningkatan secara signifikan. Perlakuan penambahan konsorsium bakteri terhadap limbah minyak berat yang dicampur dengan kompos menghasilkan gas CO 2 yang cukup tinggi, hal ini dimungkinkan karena adanya penambahan kompos. Adanya kompos ini dapat menjadi faktor yang sangat mendukung untuk berlangsungnya proses degradasi oleh bakteri, karena pada kompos terdapat nutrien yang dapat dijadikan bahan makanan bagi mikroba. Selain nutrien, pada kompos juga terdapat bakteri yang dapat menambah populasi mikroba di dalamnya. Gas CO 2 yang dihasilkan dari perlakuan campuran limbah minyak berat dengan tanah liat tidak begitu tinggi, Hal ini dimungkinkan karena tanah liat tingkat porositasnya lebih kecil daripada kompos, sehingga penyebaran nutrien tidak dapat secara mudah terjadi. Perlakuan campuran limbah minyak berat dengan tanah liat dan kompos tidak terlalu berbeda dengan perlakuan campuran limbah minyak berat dengan tanah liat. Nilai rata-rata gas CO 2 yang dihasilkan tidak jauh berbeda untuk kedua perlakuan. Dari keseluruhan data yang didapatkan, produksi gas CO 2 yang paling tinggi terdapat pada perlakuan penambahan konsorsium bakteri terhadap campuran limbah minyak berat dan kompos yaitu sebesar 4156.3 mg/m3. Baptista et al. (2005) menerangkan bahwa adanya produksi CO 2 merupakan penunjuk dari adanya tingkat respirasi pada mikroba, yang diproduksi selama proses bioremediasi. Kao dan Wang (2000) juga mengungkapkan demikian, dan menerangkan bahwa gas CO 2 merupakan hasil dari semua proses bioremediasi intrinsik. Tingginya produksi gas yang dihasilkan bisa menjadi petunjuk proses bahwa proses bioremediasi intrinsik ini berlangsung. Peningkatan kelarutan CO 2 pada air dalam tanah menunjukkan adanya proses biodegradasi. Degradasi pada
85
hidrokarbon berhubungan dengan respirasi dari mikroba dan hasilnya ditunjukkan dengan terbentuknya gas CO 2 ini. Produksi Gas NH 3 Gas NH 3 dihasilkan dari adanya proses degradasi hidrokarbon yang mengandung gugus N, karena seperti yang diketahui bahwa minyak bumi tidak hanya mengandung unsur karbon dan hidrogen, tetapi juga mengandung unsur nitrogen sekitar 0.11–1.70%. Terdeteksinya gas NH 3 ini menunjukkan bahwa terjadi proses anaerobik pada proses biodegradasi tersebut. Penelitian ini sebenarnya berjalan secara aerobik, akan tetapi gas-gas yang dihasilkan melalui proses anaerobik, seperti H 2 S dan NH 3 ikut terdeteksi, dan hal ini menunjukkan terjadinya juga proses anaerobik. Diperlukan adanya inlet oksigen yang lebih banyak untuk menjaga agar proses aerobik tetap berlangsung, karena oksigen juga merupakan salah satu faktor yang mendukung proses biodegradasi ini. Gas NH 3 yang dihasilkan mengalami fluktuasi dan secara umum grafik yang dihasilkan berbentuk sinusoidal seperti halnya pada produksi gas CO 2 . Pada kontrol, gas yang dihasilkan cukup tinggi dilihat dari kumulatifnya, yaitu sebesar 1.9404 mg/m3. Produksi gas yang cukup tinggi dapat menandakan bahwa pada limbah minyak berat yang didegradasi mengandung jumlah N yang cukup tinggi. Gambar 3.9 menunjukkan grafik dari produksi gas yang dihasilkan untuk gas NH 3 ini. Gas yang dihasilkan pada perlakuan penambahan konsorsium bakteri pada limbah minyak berat tanpa pencampuran lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol yaitu sebesar 2.5658 mg/m3. Sama seperti pada kontrol, kemungkinan kandungan nitrogen pada limbah minyak berat cukup tinggi, kemudian juga ditambah adanya aktivitas dari bakteri, yang menjadikan keluaran gas NH 3 pada perlakuan penambahan konsorsium bakteri pada limbah minyak berat tanpa pencampuran menjadi lebih tinggi. Grafiknya disajikan pada Gambar 3.21.
86
3
NH3 (mg/m3)
2,5 2 1,5 1 0,5 0
K
A
B
C
D
Perlakuan Gambar 3.21 Produksi gas NH 3 selama Proses bioremediasi pada perlakuan LMB (A), LMB + Kompos (B), LMB + Tanah liat (C), LMB + Kompos + Tanah liat (D), dan Kontrol (K) . Kumulatif gas NH 3
yang dihasilkan pada perlakuan penambahan
konsorsium bakteri terhadap campuran limbah minyak berat dan kompos lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya yaitu dengan rerata sebesar 1426.8 μg/m3. Hal ini dapat dijelaskan karena adanya penambahan kompos, aerasi berjalan dengan baik sehingga biodegradasi terjadi secara aerobik, ditunjukkan dengan tingginya gas CO 2 yang dihasilkan (Gambar 3.20), sehingga gas NH 3 yang dihasilkan menjadi lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Grafik seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.21. Produksi kumulatif gas NH 3 pada perlakuan pencampuran limbah minyak berat dengan kompos dan tanah liat adalah sebesar 1.7764 mg/m3, lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan campuran limbah minyak berat dan kompos. Begitu juga dengan gas NH 3 yang dihasilkan pada perlakuan pencampuran limbah minyak berat dengan tanah liat, lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan limbah minyak berat tanpa campuran yaitu sebesar 2.5824 mg/m3. Hal ini disebabkan karena aerasi tidak sempurna, sehingga biodegradasi berjalan secara anaerobik menyebabkan gas NH 3 yang dihasilkan lebih tinggi.
87
SIMPULAN Dari hasil penelitian yang dilakukan pada teknik bioslurry, bakteri dapat tumbuh dengan baik dengan populasi mencapai 3.47 x 1010, pada kondisi pH yang berkisar diantara 7.5 sampai 8.5. Selama 1 bulan pengamatan persentasi TPH turun sampai mencapai 0.11%
berada jauh dibawah ambang batas yang
ditetapkan oleh Keputusan MenLH no. 128 Tahun 2003 yaitu sebesar 10000 ppm atau 1 %. Teknik bioslurry lebih efektif dibandingkan dengan teknik landfarming. Menggunakan teknik landfarming pada 4 bulan pengamatan didapat persentase TPH yang masih cukup tinggi yaitu 5.58%, hal ini mengindikasikan bahwa proses biodegradasi berjalan lambat sejalan dengan perkembangan bakteri yang tidak tumbuh dengan baik, didukung juga dengan kadar pH yang tidak optimal serta kadar air yang rendah. Akan tetapi walaupun lambat, proses biodegradasi tetap berlangsung dengan adanya gas CO 2 dan NH 3 yang dihasilkan selama pengamatan. Keberlangsungan proses biodegradasi juga didukung oleh data GCMS yang menunjukkan bahwa setelah 4 bulan proses bioremediasi, teridentifikasi senyawa hidrokarbon dari C-6 sampai C-12 yang pada awalnya terdiri dari senyawa hidrokarbon dari C-6 sampai C-35.
DAFTAR PUSTAKA Alexander M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. John Willey and Sons. New York Angraeni D.2002. Isolasi dan Karakterisasi Mikroba Pendegradasi Diesel dari Kotoran Hewan. [Skripsi]. Fateta IPB. Atlas MR, Bartha R. 1987. Transport and Transformation of Petroleum Biological Processes. Washington DC: United States Enviromental Protection Agency. Atlas MR, Bartha R. 1998. Microbial Ecology: Fundamentals And Applications. 4th edition. Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc. Baptista JS, Cammarota MC, Dias D. 2005. Production of CO 2 in crude oil bioremediation in clay soil. Braz Arch Biol Technol 48:249-255. Bailey JE, Ollis DF. 1988. Dasar-Dasar Rekayasa Biokimia. (terjemahan). PAU IPB.
88
Banerji SK. 1997. Bioreactor for Soil and Sediment Remediation dalam Bajpai RK dan Zappi ME (Eds). Bioremediation of Surface and Subsurface Contamination. New York. The New York Academy of Sciences. Budianto H. 2008. Perbaikan Lahan Terkontaminasi Minyak Bumi Secara Bioremediasi. Jakarta: Indonesia Environment Consultant. Chayabutra C, Ju LK. 2000. Degradation of n-Hexadecane and Its Intermediates by Pseudomonas aeruginosa under Microaerobic and Anaerobic Denitrifying Condotion. Aplied and Environmental Microbiology. Feb 2000. P.493-498 Citroreksoko P. 1996. Pengantar Bioremediasi Prosiding Pelatihan dan Lokakarya Peranan Bioremediasi dalam Pengelolaan Lingkungan. Cibinong 24-28 Juni 1996. LIPI-BPPT-HSF. Cookson JT. 1995. Bioremediation Engineering : Design and Application. USA : McGraw-Hill Companies, Inc. Daubaras D, Chakrabarty AM. 1992. The Environment, Microbes and Bioremediation: Microbial Activities Modulated by the Environment. J Biodegradation 3: 125-135. Kluwer Academic Publisher. Netherland. Dibble JT, Bartha R. 1979. Effect of Environmental Parameters on The Biodegradation of Oil Sludge. Applied Environ. Microbiol. 37:729-739. Doelle HW. 1994. Microbial Process Development. World Scientific. Hongkong. pp. 170 – 175. Eaton AD, Aesceri LS, Rice EW, Greenberg AE. 2005. Standar Methods For the Examination of Water and Wastewater. Washington DC: American Public Health Association. Eris FR. 2006. Pengembangan Teknik Bioremediasi dengan Slurry Bioreaktor untuk Tanah Tercemar Minyak Diesel. Pascasarjana IPB Fletcher RD. 1991. Practical Consideration During Bioremediation. dalam Wise DL, Trantolo DJ. 1992. Remediation of Hazardous Waste Contaminated Soils. Marcel Dekker, Inc. New York. Hong Kong Garcia C, Marin JA, Hernandez T. 2005. Bioremediation of oil refinery sludge by landfarming in semiarid conditions: Influence on soil microbial activity. Environ Res 98:185–195. Higgins IJ, Gilbert PD. 1978. The Biodegradation of Hydrocarbons. The Oil Industry and Microbial Ecosystem. Proceedings of the Meeting Organized
89
by the Institute of Petroleum and Held at the University of Warwick England. Hyden and Son Limited, London. Hurtig RM, Wagner F. 1992. Microbial Degradation of Aliphatic Hydrocarbons and its Environmental Importance. Dalam R.K. Finn, P. Prave, M. Schlingmann, W. Crueger, K. Esser, R. Thauer dan F. Wagner (Eds.). Biotechnology Focus 3 Fundamentals Applications Information. Hanser Publisher. Barcelona. Hal. 318 – 327. Kao CM, Wang CC. 2000. Control of BTEX migration by intrinsic bioremediation at a gasoline spill site. Wat Res 34 (13):3413-3423. Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2003. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2003 tentang Tatacara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi Limbah Minyak Bumi secara Biologis. Jakarta: Departemen Lingkungan Hidup. Leahly JG, Colwell RR. 1990. Microbial Degradation of Hydrocarbon in The Environment. Microbiological Reviews. 54 (3): 305-315. Lodge JP. 1989. Methods of Air Sampling and Analysis. New York: Lewis. Poon CP. 1996. Completion Report : Landfarming Technology For On-Site Bioremediation Of Hydrocarbon-Contaminated Soils : Laboratory And Field-Scale Evaluation. University of Rhode Island : Water Resources Centre. Lestari Y. 2003. Bioremediasi Lahan terkontaminasi Senyawa Hidrokarbon. Prosiding Seminar Bioremediasi dan Rehabilitasi Lahan Sekitar Perminyakan dan Pertambangan. Forum Bioremediasi IPB. Pritchard PH, Muller JQ, Lantz SE, Santavy DL. 1993. The Potential Importance of Biodiversity in Environmental Biotechnology Application: Bioremediation of PAH-Contaminated Soil and Sediments. Paper in Alsopp, D., R.R. Colwell dan D.C. Hawksworth (editor). 1993. Microbial Diversity and Ecosystem Function, CAB International in Association With UNEP, UK. Ramos SM, Bernal DA, Molina JA, Cleemput OW, Dendooven L. 2009. Emission of nitrous oxide from hydrocarbon contaminated soil amended with waste water sludge and earthworms. Appl Soil Ecol 4:69-76.
90
Rosenberg E, Ron EZ. 1998. Bioremediation of Petroleum Contamination. dalam Crawford, R.L. and D.L. Crawford (ed.). Bioremediation Principles and Application. Cambridge University Press. Cambridge. Saputra H. 2006. Penerapan biofilter untuk penghilangan NH 3 dan H 2 S dengan menggunakan bakteri Nitrosomonas sp dan Thiobacillus sp. di pabrik lateks pekat [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Saenz DR, Segura PBZ, Barajas CG, Pena EIG. 2009. H 2 S and volatile fatty acids elimination by biofiltration: Clean-up process for biogas potential use. J Hazardous Materials 163:1272–1281. Suardana P, Mulyono M, Setyo S, Supardi D, Santoso E. 2002. Pengaruh Surfaktan Alkilbenzena sulfonat linear dalam Mempercepat Bioremediasi Limbah Minyak Bumi. Simposium Nasional-IATMI, Jakarta. Takeshita T, Higuchi S, Hanashima M. 2008. Investigation of hydrogen sulfide generation and degradation properties using experimental landfill leachate. J Biol Sci 8:73-79. Wulandari EN. 2010. Pengujian Konsorsium Mikroba dari Kotoran Sapi dan Kuda pada Proses Biodegradasi Limbah Minyak Berat (LMB). FMIPA IPB.
91
Lampiran 3.1 Nilai pH selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming
Minggu Kontrol LMB LMB + keKompos 0 5 5 6 1 5 5 6 2 4 4 6 3 4 4 6.5 4 4 4 6 5 4 4 6 6 4 4 6.5 7 4 4 7 8 4 4 5.5 9 6 6 6.5 10 6 6 7 11 7 6 6 12 6 6 7 13 6 6 7 14 5.5 5.5 6.5 15 5.5 5.5 6.5 16 5.5 5.5 6.5 Keterangan: LMB = Limbah Minyak Berat
LMB + Tanah liat 5 5 4.75 4.5 5 4.5 5 4 4 6 6 6 6 6 6 6 6
LMB + Kompos + Tanah liat 5 5 5 5 5 5 5 5 5 6 6 6 6 6 5.5 5.5 5.5
92
Lampiran 3.2 Nilai kadar air selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming Minggu ke0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Kontrol
LMB
LMB + LMB + Kompos Tanah liat 10.41 11.40 32.76 13.07 16.53 17.45 33.98 11.05 12.64 11.23 30.51 11.42 19.99 11.01 29.07 10.35 15.42 13.27 32.67 12.63 12.88 18.22 31.56 11.36 10.72 15.92 25.33 11.05 12.26 18.02 26.48 10.30 15.42 19.19 22.97 14.61 18.85 18.24 20.31 17.47 17.54 18.27 21.26 14.24 14.69 11.42 20.92 13.17 10.28 11.84 27.44 19.84 13.43 10.10 27.17 19.41 18.46 18.05 32.18 12.75 19.88 17.16 31.18 11.24 18.77 19.38 26.29 12.16 Keterangan: LMB = Limbah Minyak Berat
LMB + Kompos + Tanah liat 20.00 18.19 15.50 17.66 22.86 18.43 14.96 14.64 17.27 14.37 19.44 22.35 22.00 17.02 13.33 10.20 18.25
93
Lampiran 3.3 Nilai suhu (oC) selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming Minggu ke0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Kontrol 42 42 31.5 37 31.5 30 39 38 49.5 45 45.5 38 40.5 45.5 38.5 31.5 28
LMB 41.75 41.75 31.75 36.5 31.75 29.5 38.5 37.5 49.5 47.5 43.75 38 41 45.75 38.75 31.5 27.75
LMB + Kompos 33.75 33.75 31.5 28.75 30 27.5 39 47.75 43.5 40.5 35 35.5 32.25 39.5 34.75 34.5 32
LMB + Tanah Liat 36.5 36.5 32 35.5 31.75 30.5 31.25 37.75 51.25 45.25 38.5 44.25 36.25 41 40.5 33.25 29.5
LMB + Kompos + Tanah Liat 32.75 32.75 31 28.75 30.5 28.75 35.25 41.75 45.25 38 35.5 36 33.5 38.25 36 31.5 30.75
94
Lampiran 3.4 Nilai TPH selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming Minggu ke-
Kontrol
0 1 2 3 4 6 8 10 12 14 16
15.84 16.72 13.47 14.20 13.87 11.91 15.26 14.69 16.55 13.02 13.43
LMB
LMB + Kompos
LMB + Tanah Liat
15.32 13.31 15.14 15.25 15.25 13.16 14.60 14.12 15.16 13.70 12.62
11.96 8.43 9.59 8.77 7.96 6.79 7.53 9.04 6.59 6.22 5.58
8.73 7.28 7.47 6.59 6.60 4.65 5.21 7.46 5.48 4.01 5.78
LMB + Kompos + Tanah Liat 6.52 7.94 7.61 7.84 6.45 5.55 5.54 6.38 4.43 5.93 4.87
Lampiran 3.5 Persen degradasi selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming Minggu ke0 1 2 3 4 6 8 10 12 14 16
Kontrol
LMB
0.00 0.00 14.96 10.39 12.46 24.82 3.70 7.31 0.00 17.80 15.23
0.00 13.07 1.12 0.45 0.43 14.09 4.66 7.79 1.02 10.55 17.60
LMB + Kompos 0.00 29.55 19.80 26.65 33.49 43.26 37.05 24.42 44.87 48.00 53.35
LMB + Tanah Liat 0.00 16.66 14.39 24.55 24.46 46.69 40.33 14.59 37.17 54.06 33.81
LMB + Kompos + Tanah Liat 0.00 0.00 0.00 0.00 1.01 14.81 14.99 2.09 32.08 9.05 25.26
95
Lampiran 3.6 Data kromatogram GCMS dari berbagai perlakuan pada awal dan akhir pengukuran
Data kromatogram perlakuan penambahan konsorsium bakteri terhadap LMB tanpa pencampur pada minggu ke- 0
Data kromatogram perlakuan penambahan konsorsium bakteri terhadap LMB tanpa pencampur pada minggu ke-16
96
Data kromatogram perlakuan campuran LMB dengan kompos pada minggu ke-16
Data kromatogram perlakuan campuran LMB dengan tanah liat pada minggu ke-16
Data kromatogram perlakuan campuran LMB dengan tanah liat dan kompos pada minggu ke-16
97
Lampiran 3.7 Senyawa hidrokarbon yang terdeteksi pada awal pengukuran Senyawa hidrokarbon yang terdeteksi di minggu ke-0
Senyawa hidrokarbon Tetrahydro 2-5 dimetil furan Oktametil siklotetra siloksan Dekametil siklopentasiloksan Dodekametil sikloheksasiloksan Tetradekana Pentadekana Heksadekana Heptadekana Oktadekana Pentatriakontana Nonadekana Metil heksadekanoat Eikosana Heneikosana Dokosana 1-nonadekana
Waktu retensi 7.585 12.565 15.170 17.781 19.400 20.721 21.964 23.138 24.249 24.459 25.324 25.764 26.325 27.300 28.217 30.812
Area 0.39 0.15 0.33 0.82 0.57 1.11 1.28 1.49 0.43 0.18 1.80 0.32 1.66 1.83 0.56 1.39
98
Lampiran 3.8 Senyawa hidrokarbon yang terdeteksi di akhir pengukuran pada berbagai perlakuan Senyawa hidrokarbon yang terdeteksi di minggu ke-16 pada perlakuan LMB tanpa pencampur
Senyawa hidrokarbon heksametil siklotrisiloksan dekametil siklopentasiloksan dodekana dodekametil sikloheksasiloksan tetradekana pentadekana heksadekana heptadekana oktadekana nonadekana eikosana heneikosana dokosana trikosana 1-nonadekana
Waktu retensi 9.446 15.165 16.455
Area(%) 0.62 0.25 0.08
17.776 19.401 20.717 21.828 23.128 24.255 25.255 26.331 27.295 28.223 29.104 29.261
1.61 0.04 0.32 0.26 0.15 0.34 0.62 0.49 0.59 0.25 0.42 0.30
Senyawa hidrokarbon yang terdeteksi di minggu ke-16 pada perlakuan campuran LMB dengan kompos
Senyawa hidrokarbon toluene heksametil siklotrisiloksan dekametil siklopentasiloksan dodekametil sikloheksasiloksan
Waktu retensi 8.709 9.453
Area(%) 0.20 1.77
15.377
0.18
17.966
0.20
99
Senyawa hidrokarbon yang terdeteksi di minggu ke-16 pada perlakuan campuran LMB dengan tanah liat
Senyawa hidrokarbon heksametil siklotrisiloksan oktametil siklotetrasiloksan benzethiazole dodekametil sikloheksasiloksan heptadekana oktadekana nonadekana metil heksadekanoat eikosana heneikosana oktadecenoic acid, metil ester 1-oktadekana 2-etilheksiltrans-4metoksinamat
Waktu Area(%) retensi 9.460 1.08 12.579 0.18 17.470 0.10 17.973 23.341 24.457 25.516 25.763 26.528 27.493
0.66 0.10 0.06 0.07 0.14 0.22 0.70
27.519 28.468
0.54 1.30
29.616
0.12
Senyawa hidrokarbon yang terdeteksi di minggu ke-16 pada perlakuan campuran LMB dengan tanah liat dan kompos
Senyawa hidrokarbon tetrahydro 2-5 dimetil furan toluene benzene, 1,3 dimetil oktametil siklotetrasiloksan dekametil siklopentasiloksan
Waktu retensi 7.599 8.715 10.781 12.568 15.378
Area(%) 0.19 0.07 0.42 0.19 0.11
100
Lampiran 3.9 Perubahan area senyawa yang terdeteksi dengan GCMS selama proses bioremediasi Perubahan area pada perlakuan LMB tanpa pencampur Senyawa hidrokarbon tetrahidro 2-5 dimetil furan toluene heksametil siklotrisiloksan oktametil siklotetra siloksan dekametil siklopentasiloksan dodekana benzethiazole dodekametil sikloheksasiloksan tetradekana pentadekana heksadekana heptadekana oktadekana pentatriacontana nonadekana metil heksadekanoat eikosana heneikosana metal oktadekanoat dokosana 1-oktadekana 1-nonadekana heksakosana
C ke-n C-6 C-7 C-6 C-8 C-10 C-12 C-7 C-12 C-14 C-15 C-16 C-17 C-18 C-35 C-19 C-16 C-20 C-21 C-19 C-22 C-18 C-19 C-26
Waktu retensi 7.585 8.716 9.453 12.565 15.165 16.455 17.47 17.781 19.4 20.721 21.964 23.138 24.249 24.459 25.324 25.764 26.325 27.493 27.519 28.217 28.468 30.812 32.029
Area minggu ke0 16 0.39 td td td td 0.62 0.15 td 0.33 0.25 td 0.08 td td 0.82 1.61 0.57 0.04 1.11 0.32 1.28 0.26 1.49 0.15 0.43 0.34 0.18 td 1.8 0.62 0.32 td 1.66 0.49 1.83 0.59 td td 0.56 0.25 td td 1.39 0.30 td td
101
Perubahan area pada perlakuan campuran LMB dengan kompos Senyawa hidrokarbon tetrahidro 2-5 dimetil furan toluene heksametil siklotrisiloksan oktametil siklotetra siloksan dekametil siklopentasiloksan dodekana benzethiazole dodekametil sikloheksasiloksan tetradekana pentadekana heksadekana heptadekana oktadekana pentatriakontana nonadekana metil heksadekanoat eikosana heneicosana metal oktadekanoat Dokosana 1-oktadekana 1-nonadekana Heksakosana Keterangan : td = tidak terdeteksi
C ke-n C-6 C-7 C-6 C-8 C-10 C-12 C-7 C-12 C-14 C-15 C-16 C-17 C-18 C-35 C-19 C-16 C-20 C-21 C-19 C-22 C-18 C-19 C-26
Waktu retensi 7.585 8.716 9.453 12.565 15.165 16.455 17.47 17.781 19.4 20.721 21.964 23.138 24.249 24.459 25.324 25.764 26.325 27.493 27.519 28.217 28.468 30.812 32.029
Area minggu ke0 16 td 0.39 td 0.20 td 1.77 td 0.15 0.33 0.18 td td td td 0.82 0.20 0.57 td 1.11 td 1.28 td 1.49 td 0.43 td 0.18 td 1.8 td 0.32 td 1.66 td 1.83 td td td 0.56 td td td 1.39 td td td
102
Perubahan area pada perlakuan campuran LMB dengan tanah liat Senyawa hidrokarbon tetrahidro 2-5 dimetil furan toluene heksametil siklotrisiloksan oktametil siklotetra siloksan dekametil siklopentasiloksan dodekana benzethiazole dodekametil sikloheksasiloksan tetradekana pentadekana heksadekana heptadekana oktadekana Pentatriacontana nonadekana metil heksadekanoat eikosana heneikosana metal oktadekanoat dokosana 1-oktadekana oktil metoksisinamat 1-nonadekana heksakosana Keterangan : td = tidak terdeteksi
C ke-n C-6 C-7 C-6 C-8 C-10 C-12 C-7 C-12 C-14 C-15 C-16 C-17 C-18 C-35 C-19 C-16 C-20 C-21 C-19 C-22 C-18 C-18 C-19 C-26
Waktu retensi 7.585 8.716 9.453 12.565 15.165 16.455 17.47 17.781 19.4 20.721 21.964 23.138 24.249 24.459 25.324 25.764 26.325 27.493 27.519 28.217 28.468 29.616 30.812 32.029
Area minggu ke0 16 0.39 td td td td 1.08 0.15 0.18 td 0.33 td td Td 0.10 0.82 0.66 td 0.57 td 1.11 td 1.28 1.49 0.10 0.43 0.06 0.18 td 1.8 0.07 0.32 0.14 1.66 0.22 1.83 0.70 td 0.54 0.56 td td 1.30 td 0.12 1.39 td td Td
103
Perubahan area pada perlakuan campuran LMB dengan tanah liat dan kompos Senyawa hidrokarbon tetrahydro 2-5 dimetil furan heptana toluene 1,3 dimetil benzene oktametil siklotetra siloksan dekametil siklopentasiloksan dodekana dodekametil sikloheksasiloksan tetradekana pentadekana heksadekana heptadekana oktadekana pentatriakontane nonadekana metil heksadekanoat eikosana heneikosana metal oktadekanoat dokosana 1-oktadekana 1-nonadekana heksakosana Keterangan : td = tidak terdeteksi
C ke-n C-6 C-7 C-7 C-8 C-8 C-10 C-12 C-12 C-14 C-15 C-16 C-17 C-18 C-35 C-19 C-16 C-20 C-21 C-19 C-22 C-18 C-19 C-26
Waktu retensi 7.585 7.373 8.716 10.781 12.565 15.165 16.455 17.781 19.4 20.721 21.964 23.138 24.249 24.459 25.324 25.764 26.325 27.493 27.519 28.217 28.468 30.812 32.029
Area minggu ke0 16 0.39 0.19 td 0.13 td 0.07 td 0.42 0.15 0.19 0.33 0.11 td td td 0.82 td 0.57 td 1.11 td 1.28 td 1.49 td 0.43 td 0.18 td 1.8 td 0.32 td 1.66 td 1.83 td td td 0.56 td td td 1.39 tTd td
104
Lampiran 3.10 Konsentrasi gas CO 2 (mg/m3) selama proses bioremediasi dengan landfarming Konsentrasi CO 2 (mg/m3) Kode
Minggu Ke0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
K
Ttd
184.1
229.5
228.9
18.7
340.3
86.4
124.4
59.5
225.0
161.7
177.0
28.9
220.5
254.0
140.5
92.6
A
14.5
152.5
147.6
214.3
290.8
195.5
153.3
157.8
161.3
212.0
121.5
165.1
140.1
103.1
175.1
107.7
62.5
B
297.4
339.8
208.5
102.2
169.3
259.0
348.0
276.7
391.9
317.9
367.2
306.3
98.6
173.2
239.0
129.9
131.4
C
85.0
252.2
321.4
30.7
360.9
158.7
175.5
169.6
129.7
102.8
153.4
129.3
135.6
115.9
103.8
70.4
324.9
D
366.9
336.3
313.3
Ttd
210.1
250.8
245.5
315.0
164.4
253.6
225.4
161.6
136.7
225.1
223.5
49.2
184.6
.
Keterangan: ttd = tidak terdeteksi K = kontrol A = LMB B = LMB + kompos C = LMB + tanah liat D = LMB + kompos + tanah liat
105
Lampiran 3.11 Konsentrasi Gas NH 3 (μg/m3) selama proses bioremediasi dengan landfarming Konsentrasi NH 3 (µg/m3) Kode
Minggu Ke0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
K
240.1
247.0
46.1
99.1
97.4
46.6
35.5
197.6
170.3
201.7
91.9
221.5
153.7
ttd
ttd
14.3
77.6
A
178.7
206.5
47.9
66.2
31.4
126.0
46.3
265.1
187.9
168.1
211.3
120.1
319.4
159.9
160.9
270.1
79.5
B
Ttd
136.2
59.7
60.3
25.8
98.9
42.7
124.6
121.3
85.5
221.5
81.1
87.7
79.9
78.7
102.6
20.3
C
79.5
362.5
81.8
237.6
58.1
292.9
17.1
144.8
230.0
88.7
152.6
65.3
187.1
80.3
200.9
141.5
161.7
D
98.9
258.0
130.4
58.9
39.7
167.4
26.2
115.7
95.0
95.0
170.4
92.9
100.5
141.7
45.9
68.5
71.3
Keterangan: ttd = tidak terdeteksi K = kontrol A = LMB B = LMB + kompos C = LMB + tanah liat D = LMB + kompos + tanah liat