BAB II TRANSAKSI BISNIS DALAM KONTRAK DERIVATIF VALUTA ASING
A. Pengertian Transaksi Derivatif Berakhirnya sistem nilai tukar tetap di dunia (Bretton Woods Agreement) telah memberikan kontribusi kepada perkembangan produk derivatif secara global. Inovasi keuangan yang cepat dari sektor keuangan tersebut mendorong perkembangan derivatif yang semakin bervariasi. Akibat semakin banyaknya varian produk derivatif tersebut membuat regulasi semakin tertinggal. Kesulitan membuat regulasi di bidang derivatif dipengaruhi juga oleh pemahaman terhadap sistem keuangan dan sistem beroperasinya transaksi derivatif yang lebih rumit jika dibandingkan dengan transaksi bisnis biasa (conventional). Berkenaan dengan hal tersebut Feorge Crowford & Bidyut Sen menyatakan, “Some of the problems with derivatives may not be caused by imprudent use of this modern tools themselves, but by using them within a legal and regulatory framework that has not yet adapted to them.” Sebelum membicarakan lebih lanjut tentang aspek hukum dari transaksi derivatif perlu dijelaskan pengertian dan definisi derivatif yang dikutip dari berbagai pendapat para ahli di bidang derivatif. Derivatif merupakan istilah umum (generic term) untuk sejumlah instrumen keuangan yang diambil dari berbagai produk keuangan seperti tingkat suku bunga (interest rates), kurs valuta asing (foreign exchange) dan saham (equity). Dilihat dari jenisnya ada tiga jenis instrumen yang penting dalam derivatif yaitu forward, option dan swap. 104 Meskipun dari sisi perannya, transaksi derivatif berguna untuk pengelolaan risiko (risk management) dan telah lama ditransaksikan di pasar uang. Namun ternyata para ahli di bidang
104
Richard Roberts, Inside International Finance, A Citizen’s Guide to The World’s Financial Markets, Institutions & Key Players, (Orion Business Books, 1999), hal. 47
transaksi derivatif
belum mencapai kesepakatan mengenai apa yang di maksud dengan
“transaksi derivatif” itu sendiri. Untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang derivatif berikut ini diuraikan beberapa pengertian tentang derivatif sebagai berikut 105 : Pertama, Saul S.Cohen menyatakan, “Attempting to define derivatives is very difficult because instruments capable of bearing that level are infinitely protean, they evolve too rapidly to be encompassed under any preexisting regulatory structure.” Menyitir dari kliennya yang menyatakan transaksi derivatif sebagai “Any financial product that is difficult to understand”. Kedua, Francesca Taylor menyatakan, “A derivative instrument is one whose performance is based (or derived), on the behavior of the priceof an underlying asset, (often simply known as the underlying), The underlying itself does not need to be bought or sold A premium may be due”. Ketiga, Alfred Steinherr menyatakan, ”A contract or security whose value is closely related to and to a large extent determined by the value of a related security, commodity, or index”. Keempat, David lynch menyatakan, “A Derivative is an instrument primarily for trading risk. Its current value is ultimately derived from, or varies in accordance with, the value with, the value or underlying goods, instrument, rate or index, or same combination of these”. Kelima, Nicholas G.Apostolou menyatakan “Derivatives are financial instruments whose value is derived from fluctuations in the share of an underlying asset such as a share price, a rate of interest, or a currency exchange rate.” Dari berbagai pendapat ahli tersebut, Dian Ediana Rei dengan bahasa yang lebih sederhana menyebutkan bahwa “Transaksi derivatif adalah suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya bergantung pada atau diturunkan dari suatu aset yang mendasarinya (underlying asset), baik yang diikuti dengan pergerakan dana atau tanpa pergerakan dana/instrument.” 106 Robert W. Kolb and James A. Overdahl menyebutkan : "We define a derivative as a contract that derives most of its value from some underlying asset, reference rate, or index. As our definition implies, a derivative must be based on at least one underlying. An underlying is the asset, reference rate, or index from which a derivative inherits principal source of value. Falling within our definition are several different types of derivatives, including commodity derivatives and financial derivatives". 107 105
Dian Ediana Rae, Transaksi Derivatif Dan Masalah Regulasi Ekonomi Di Indonesia, (Jakarta : Elex Media Komputindo, 2008) hal 106 Ibid., hal x. 107 Robert W. Kolb and James A. Overdahl, Financial Derivatives, edisi ketiga, (New Jersey: John Wily & Sons, Inc., 2003), hal 1.
Jhon C. Hull, menyebutkan : "A derivative can be defined as a financial instrument whose value depends on (or derives from) the values of other, more basic underlying variables. Very often the variables underliying derivatives are the prices of trade assets. A stock option, for example, is a derivative whose value is dependent on the price of a stock. However, derivatives can be depended on almost any variable, from the price of hogs to the amount of snow falling at a certain ski resort." 108 Andrew M. Chiholm, menyebutkan “A derivative is an asset whose value is derived from the value of some other asset, known as the underlying." 109 Joe Duarte MD, menyebutkan "A derivative is a financial instrument that gets its value not from its own intrinsic value but rather from the value from the underlying securities and time." 110 The International Swaps and Derivatives Association (ISDA) memberi definisi sebagai berikut: “Derivatives are bilateral contracts involving the exchange of cash flows and designed to shift risk between parties. When transactions mature, the amount owed by each party determined by the prices of underlying commodities, securities or indices.” Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16/17/PBI/2014 Tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank Dengan Pihak Asing, mendefinisikan transaksi derivatif sebagai suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai tukar dalam bentuk transaksi forward, swap, option valuta asing terhadap rupiah, dan transaksi lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. 111 Lebih lanjut dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa transaksi valuta asing terhadap rupiah adalah transaksi jual beli valuta asing terhadap rupiah dalam bentuk transaksi spot, termasuk transaksi yang dilakukan dengan valuta today (TOD), 108
Jhon C. Hull, Options, Futures and Other Derivatives, ( New Jersey: edisi keenam, Prentice Hall 2006),
hal 1. 109
Andrew M. Chiholm, Derivatives demystified, A Step-by Step Guide to Forwards, Futures, Swaps and Options, (West Sussex, England: John Wiley & Sons Ltd 2004), hal 1. 110 Joe Duarte MD, Futures and Options for Dummies, (New Jersey: Wiley Publishing,Inc, 2006), hal 48. 111 Pasal 1 angka 11 Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16/17/PBI/2014 Tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank Dengan Pihak Asing
valuta tomorrow (TOM), dan transaksi derivatif valuta asing terhadap rupiah yang standar (plain vanilla) dalam bentuk forward, swap, option, dan transaksi lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. 112 Dari berbagai pendapat yang dikemukakan di atas dapat ditarik sebuah benang merah terhadap unsur-unsur dari pengertian transaksi derivatif sebagai berikut : pertama, transaksi derivatif adalah instrument keuangan (financial instrument), kedua, transaksi derivatif merupakan instrumen untuk mengalihkan risiko para pihak, ketiga, nilai transaksi derivatif merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasarinya (underlying transaction) baik komoditi, suku bunga maupun indek, keempat, transaksi derivatif dapat diikuti dengan atau tanpa pergerakan dana, kelima, transaksi derivatif merupakan suatu kontrak dapat berbentuk transaksi forward, swap, option valuta asing terhadap rupiah , keenam, dalam transaksi derivatif dikenakan premi (premiun), ketujuh, derivatif dapat berbentuk komoditi atau valuta asing. Dasar transaksi derivatif yang melibatkan valuta asing (valas) adalah transaksi spot. Oleh karena itu, memahami kontrak valas spot sangat penting dalam memahami transaksi derivatif valas secara keseluruhan, karena diawali dengan transaksi spot kemudian transaksi derivatif valas akan berkembang kepada fase transaksi yang berikutnya dalam bentuk forward, swap maupun option. Adapun yang di maksud dengan spot, forward, swap dan option. adalah sebagai berikut : Pertama, Transaksi “Spot” merupakan transaksi jual atau beli antara valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan dananya dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. Termasuk dalam pengertian transaksi spot adalah transaksi dengan penyerahan valuta
112
Ibid.
pada hari yang sama (today) atau dengan penyerahan 1 (satu) hari kerja setelah tanggal transaksi (tomorrow). 113 Kedua, Transaksi “Forward”
merupakan kontrak antara kedua belah pihak yang
memberikan hak dan kewajiban kepada masing-masing pihak untuk membeli atau menjual suatu underlying assets berupa komoditas, valuta asing, suku bunga indeks pada harga jumlah dan tanggal tertentu di masa yang akan datang sesuai dengan kontrak. 114 Contoh transaksi forward:
“PTA” pada tanggal 1 Maret 2014 menutup kontrak forward purchased sebesar USD 1,000,000 untuk waktu 90 hari dengan spot rate jual Rp10.000,- per 1 USD dan premi 10%. Besarnya premi per USD adalah : (Rp10.000,- X 90 hari X 10%): 360 = Rp 250,Dengan premi sebesar Rp 250,- per 1 USD. Maka forward rate-nya adalah: Rp 10.000,- + Rp 250,- = Rp 10.250,- per 1 USD. Bila pada akhir kontrak nilai tukar USD 1 = Rp 13.000,- maka akan terdapat keuntungan bersih beda kurs sebesar Rp 2.750.000.000,-
((Rp 13.000 – Rp 10.250) X USD 1,000,000).
Ketiga, Transaksi “Swap” merupakan transaksi pertukaran dua valuta melalui pembelian atau penjualan tunai (spot) dengan penjualan atau pembelian kembali secara berjangka yang dilakukan secara simultan dengan bank yang sama dan pada tingkat premi atau diskon dan kurs yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. 115 Swap contract merupakan transaksi setelah adanya kesepakatan dua belah pihak untuk saling menukarkan arus kas (cash flow) di masa yang akan datang atas
113
Ibid. Dian Ediana Rei, Op.Cit., hal 56. 115 Pasal 1 angka 2 Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 15/17/PBI/2013 Tentang Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia 114
kontrak yang dibuat. Dalam transaksi swap yang dilakukan oleh bank berperan sebagai perantara atau sebagai lawan transaksi
yang dibuat berdasarkan transaksi swap
merupakan transaksi di luar bursa (OTC). Bentuk utama swap contract berbasis interestrate swaps dan currency swaps yaitu: Interest Rate Swap pada dasarnya merupakan suatu persetujuan antara dua pihak untuk menukarkan pembayaran bunga untuk suatu periode tertentu atas dasar suatu notional value yang disetujui bersama dan dicirikan sebagai tujuan utamanya oleh konversi pembayaran bunga tetap (fixed rate) ke dalam pembayaran bunga mengambang (floating rate). Contoh : “PT A” meminjam uang Rp 100.000.000,- kepada
“Bank B”
dengan tingkat suku bunga mengambang (misalnya LIBOR + 1) per tahun. Untuk mengantisipasi adanya perubahan tingkat suku bunga di masa yang akan datang, “PT X” melakukan kontrak interest rate swap dengan suku bunga tetap sebesar 7% kepada “Bank B”. Bila suku bunga LIBOR sebesar 7%, maka tingkat suku bunga mengambang menjadi 7% + 1% = 8%, PT X tetap membayar bunga sebesar 7%, dengan demikian terdapat keuntungan sebesar 8% – 7% = 1%. Bila suku bunga LIBOR menjadi 5%, maka tingkat suku bunga mengambang menjadi 5% + 1% = 6%, dengan demikian PT X menderita rugi sebesar 7% – 6% = 1%. Currency Swap pada dasarnya merupakan suatu perjanjian yang memungkinkan perusahaan-perusahaan mengakses pasar modal dengan biaya yang lebih murah dan/atau untuk melakukan lindung nilai. Contoh Currency Swap : “A Corporation” yang berbasis di USA ingin mendapatkan hutang berbunga tetap USD 10,000,000.- dalam pound Inggris untuk perusahaan afiliasinya di London. Tetapi, “A Corporation” tidak dikenal
oleh para investor Inggris. “B Company, Ltd”, yang berdomisili di Inggris, ingin mendanai perusahaan anaknya di New York dengan jumlah pembiayaan yang sama dalam USD. “B Company, Ltd” juga memiliki comparative dis-advantage bagi pemodal AS. “Bank C”, mengakomodasi kedua perusahaan dengan merancang swap USD/pound Inggris.Jika kurs swap adalah USD 1 = 0,55 pound (baik saat insepsi maupun saat jatuh tempo), jangka waktu 5 tahun, dan suku bunga swap 10% dalam pound dan 8% dalam USD. Pada saat insepsi “A Corporation” akan menukarkan USD 10,000,000.- untuk 5,500,000 pound dari “B Company, Ltd”, Pada saat pembayaran bunga,
“A Corporation” akan membayar 550,000 pound kepada “B Company, Ltd”
tiap tahun, sedangkan “B Company, Ltd” akan membayar “A Corporation” USD 800,000.-. Pada saat jatuh tempo yaitu akhir tahun ke-5, tiap perusahaan akan menukarkan kembali prinsipal sebesar USD 10,000,000.- dan 5,500,000.- pound, exposure terhadap risiko nilai tukar yang timbul dari operasi bisnis internasional. Keempat, Transaksi “Option” merupakan suatu kontrak yang memberikan hak (right) dan bukan kewajiban kepada pemiliknya untuk membeli (call option) dan menjual (put option) suatu instrumen atau underlying assets pada tingkat harga tertentu yang ditetapkan dari sekarang (strike price) untuk penyerahan sesuatu di masa yang akan datang (expiration date). 116 Kontrak-kontrak option dapat berbentuk saham, komoditas, instrumen keuangan. Bentuk option contract dapat berupa currency option dan interest rate option. Pembeli mempunyai hak untuk membeli aset dengan harga tertentu sebelum akhir periode option contract. Pembeli membayar premium bagi opsi tersebut namun 116
Dian Ediana Rei, Op.Cit., hal 61.
akan memperoleh keuntungan apabila harga aktiva yang mendasarinya melebihi strike price pada saat jatuh tempo. Penerbit call option berkewajiban untuk menjual suatu aset apabila pemegang call option menggunakan haknya untuk membeli aset tersebut. Penerbit call option akan mengalami kerugian apabila harga suatu aset lebih besar daripada strike price, karena menjual aset dengan harga lebih rendah daripada harga pasarnya. Penjual mempunyai hak untuk menjual suatu aset dengan harga tertentu selama atau pada akhir periode option contract. Penjual akan memperoleh keuntungan bila harga aktiva jatuh di bawah strike price pada expiration date, karena penjual dapat menjual suatu aset dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan harga pasarnya. Posisi penerbit put option berlawanan dengan posisi penjual. Penerbit put option mempunyai kewajiban untuk membeli suatu aset apabila penjual menggunakan haknya untuk menjual suatu aset. Penerbit put option akan mengalami kerugian apabila harga suatu aset lebih rendah daripada strike price-nya, karena penerbit put option harus membeli suatu aset dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan harga pasarnya. Di tahun 1980-an transaksi derivatif berkembang dengan demikian pesat, baik jenis produk maupun pasar yang melibatkan transaksi miliaran dollar Amerika setiap harinya. Pasar terpenting dari futures dan options di Eropa adalah EOE (European Options Exchange), LIFFE (London International Financial Futures Exchange), LTOM (London Traded Options Market) dan MATIF (Marche a Terme des Instruments Financiers). Dalam transaksi derivatif, yang diperdagangkan hanya sebesar selisih (difference) dari kemungkinan fluktuasi harga dengan kata lain jumlah notional (notional amount) tidak diperdagangkan. Misalnya, dalam hal option, pembeli (call option/purchaser) dari option membayar sejumlah premi dan penjual (seller)
berkewajiban menanggung kerugian akibat fluktuasi harga yang meningkat, sebaliknya apabila pergerakan harga menurun, maka si penjual dapat memperoleh keuntungan yang jauh melebihi premi. Transaksi derivatif sebagaimana yang tersebut di atas bergerak cepat dari sisi inovasi keuangan namun dari tertinggal dari sudut pengaturannya. Akibat kelemahan pengaturan menyebabkan munculnya permasalahan yang harus menjadi perhatian para regulators. Permasalahan yang muncul meliputi hal-hal sebagai berikut : pertama, masalah risiko yang terkait dengan produk-produk derivatif; kedua, ketidakpastian hukum sebagai akibat pengaturan yang
tidak jelas atau tidak memadai; ketiga, kurang informasi bagi partisipan pasar dan
regulator (public disclosure); dan keempat, masalah perlindungan terhadap pengguna, khususnya pengguna yang bersifat retail atau unsophisticated (investor protection). 117 Secara konsep, derivatif dapat digunakan untuk empat tujuan yaitu 118 : Pertama, Sebagai pengganti investasi lain, di mana keuntungan dan risiko yang diharapkan dari investasi asal tetap tidak berubah; Kedua, Sebagai lindung nilai atas investasi lain. Tujuan dari lindung nilai adalah untuk menetralkan risiko atas posisi terbuka (asset & liabilities) terhadap harga pasar yang berlawanan dengan posisi terbuka tersebut dengan cara mengalihkan risiko terhadap pihak lain. Dalam hal ini transaksi derivatif dapat menyerupai asuransi yang dapat membebaskan dari kerugian atau ketidakuntungan yang diharapkan karena seuatu kejadian yang tidak pasti dikemudian hari; Ketiga, Sebagai alat spekulatif yang dapat meningkatkan risiko dan sekaligus keuntungan yang besar dengan cara leverage. Spekulasi dilakukan oleh mereka yang dapat mengambil risiko dan berharap memperoleh keuntungan dari naik turunnya harga ; Keempat, Sebagai alat mencari informasi tentang harga suatu komoditi tertentu di kemudian hari (price discovery). Pasar futures, misalnya memberikan kegunaan membantu masyarakat membuat perkiraan yang lebih baik tentang harga di kemudian hari sehingga dapat mengambil keputusan yang lebih bijak untuk konsumsi dan investasi. Sejarah mencatat Indonesia pernah mengalami krisis pada di tahun 2009 sebagai akibat penyebaran produk derivatif yang tidak terkontrol. Perkembangan inovasi derivatif tersebut telah
117
Ibid, hal 37. Ibid, hal 99-100.
118
memfasilitasi bertumbuhnya berbagai bentuk maupun struktur instrumen keuangan termasuk yang memiliki kompleksitas tinggi, terutama instrumen keuangan dalam bentuk structured product 119 yang dijadikan sebagai alat spekulatif yang dapat meningkatkan risiko dan sekaligus keuntungan. Hal ini tentunya bertentangan dengan sifat dasar derivatif sebagai lindung nilai. Sejak dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/26/PBI/2009 Tentang Prinsip Kehati-hatian Dalam Melaksanakan Kegiatan Structured Product bagi Bank Umum. Pengaturan derivatif di Indonesia telah mengalami kemajuan terutama adanya pembatasan penjualan structured product tersebut. Bank hanya dapat melakukan kegiatan structured product setelah memperoleh persetujuan prinsip untuk melakukan kegiatan structured product dan pernyataan efektif untuk penerbitan setiap jenis structured product dari Bank Indonesia. 120 Bank umum devisa hanya dapat melakukan transaksi structured product yang dikaitkan dengan variabel dasar berupa nilai tukar dan/atau suku bunga. 121 Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya peraturan pembatasan kegiatan structured product merupakan sebuah kemajuan dari pengaturan transaksi derivatif di Indonesia, namun sangat disayangkan peraturan tersebut tidak diikuti peraturan lain yang mewajibkan orang atau badan hukum yang memiliki kewajiban mata uang 119
Pasal 1 angka (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/26/PBI/2009 Tentang Prinsip Kehati-hatian Dalam Melaksanakan Kegiatan Structured Product bagi Bank Umum, menyebutkan : Structured Product adalah produk bank yang merupakan penggabungan antara 2 (dua) atau lebih instrumen keuangan berupa instrumen keuangan non derivatif dengan derivatif atau derivatif dengan derivatif dan paling kurang memiliki karakteristik sebagai berikut: a. nilai atau arus kas yang timbul dari produk tersebut dikaitkan dengan satu atau kombinasi variabel dasar seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi dan/atau ekuitas; dan b. pola perubahan atas nilai atau arus kas produk bersifat tidak reguler apabila dibandingkan dengan pola perubahan variabel dasar sebagaimana dimaksud pada huruf a sehingga mengakibatkan perubahan nilai atau arus kas tersebut tidak mencerminkan keseluruhan perubahan pola dari variabel dasar secara linear (asymmetric payoff), yang antara lain ditandai dengan keberadaan: 1. optionality, seperti caps, floors, collars, step up/step down dan/atau call/put features; 2. leverage; 3. barriers, seperti knock in/knock out; dan/atau 4. binary atau digital ranges. Pengertian derivatif dalam pengaturan ini mencakup derivatif melekat (embedded derivatives); selanjutnya dalam penjelasan PBI tersebut disebutkan : Diantara instrumen keuangan yang mengalami perkembangan yang cukup pesat adalah instrumen keuangan yang bersifat terstruktur atau lebih dikenal dengan structured product. Structured product merupakan produk keuangan non-konvensional yang distruktur sedemikian rupa berdasarkan kebutuhan dan objektif dari nasabah atau golongan nasabah tertentu. Dengan demikian, dalam penstrukturannya diperlukan keahlian dari pihak-pihak dari berbagai bidang, baik dari aspek keuangan maupun bidang lainnya seperti bidang hukum dan perpajakan. 120 Ibid, pasal 2. Tetapi saat ini microprudential saat ini menjadi kewenangan OJK 121 Ibid, pasal 4.
asing (valas) melakukan lindung nilai. Berdasarkan data tertanggal 22 Juli 2015 kurs jual tertinggi BI, rupiah melemah hingga Rp. 13.435,- per dollar. 122 Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada triwulan III-2014 total volume transaksi valas di Indonesia tercatat sebesar USD193,62 miliar atau turun tipis 2,5% dibandingkan total volume pada triwulan II-2014 yang tercatat sebesar USD198,63 miliar (Gambar 2). Gambar 2 : Diagram Batang : Perkembangan Volume Total Transaksi Valas Domestik
122
Akses internet terakhir dikunjungi pada tanggal 22 Juli 2015, http://kursdollar.net.
Diagram batang pada gambar 2 menunjukkan transaksi valuta asing (valas) di Indonesia mengalami perkembangan cukup berarti (significant) yaitu USD 193,6 miliar pada kwartal III tahun 2014. Jika dibandingkan dengan transaksi valas pada saat terjadinya krisis ekonomi tahun 2008 total nilai transaksi mencapai Rp.60-70 triliun, artinya terjadi lonjakan 2,8 kali lipat transaksi dalam 6 tahun terakhir. Ternyata dari seluruh transaksi valuta asing tersebut masih memberikan porsi yang sangat kecil terhadap derivatif dengan tujuan lindung nilai untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari data yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia pada gambar 3 berikut ini : Gambar 3 : Diagram Batang :Perkembangan Komposisi Transaksi Derivatif Valas Domestik
Berdasarkan gambar perkembangan komposisi transaksi derivatif valas domestik pada diagram gambar di atas. Transaksi spot masih mendominasi transaksi di pasar valas dengan pangsa sebesar 72% atau USD 139,4 miliar , diikuti oleh transaksi swap (23%) atau USD 44,5 miliar dan forward (5%) atau USD 9,7 miliar (Gambar 3). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kesadaran masyarakat untuk melakukan lindung nilai transaksi derivatif masih belum sesuai yang diharapkan. Hal tersebut setidaknya merupakan data yang mendukung kepada pertanyaan, mengapa kurs rupiah begitu rapuh terhadap mata uang asing khususnya dollar Amerika Serikat ? Bagaimana dengan peraturanperaturan yang sudah ada dan peraturan mana yang harus dievaluasi ? Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu dijawab sehubungan dengan tujuan penelitian tentang lindung nilai sarana hukum menjaga stabilitas perekonomian di Indonesia.
B. Prinsip Kontrak Dalam Transaksi Derivatif Valuta Asing Transaksi bisnis di zaman yang dilengkapi dengan kecanggihan teknologi moderen seperti saat ini,
menuntut bank menggunakan cara-cara sistematis dengan memperhatikan
prinsip kehati-hatian. Transaksi derivatif valuta asing adalah salah satu contoh dari sebuah rekayasa keuangan yang melibatkan teknologi yang melewati batas negara. Meskipun pada tahap implementasi transaksi dan kontrak derivatif menjadi bagian dari produk yang dipasarkan bank. Namun kasus derivatif berulang kali terjadi menjadi perdebatan para ahli hukum. Penyebabnya adalah transaksi derivatif bukan kontrak biasa (unconventional) artinya diperlukan kajian dari sudut pandang yang berbeda. Secara teori, kontrak derivatif sama dengan kontrak biasa yang harus melalui tahap-tahap pra-contract, contract dan post contract, yang membedakan adalah transaksi ini melibatkan kecanggihan teknologi keuangan.
Transaksi derivatif dan kontrak derivatif adalah perbuatan hukum yang berbeda. Untuk itu diperlukan kesepakatan
pengertian yang membedakan antara kegiatan ”transaksi” dan
“kontrak”. Transaksi (bisnis) pada pokoknya merupakan kegiatan yang secara sederhana dapat dirumuskan sebagai aktivitas bisnis yang dibangun, dilaksanakan dan dikembangkan oleh para pelaku bisnis berdasarkan pada kepercayaan atau kejelasan dan kejujuran masing-masing pelaku bisnis, termasuk juga (dan bahkan menjadi faktor yang sangat menentukan) faktor kepastian hukum negara tempat transaksi tersebut dilakukan ataupun yang dipilih oleh para pelaku bisnis tersebut, untuk mengatur transaksi tersebut dalam kontrak-kontrak bisnis yang disepakatinya.” 123 Dengan kata lain transaksi adalah serangkaian kegiatan (pra kontrak) yang disusun untuk membangun sebuah kontrak. Kontrak Menurut Charless L. Knapp dan Nathan M. Crystal yang dikutip dari Salim HS adalah an agreement between two or more persons-not merely a shared belief, but common understanding as to something that is to be done in the future by one or both of them 124, artinya kontrak adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih, tidak hanya memberikan kepercayaan tetapi secara bersama-sama saling pengertian untuk melakukan sesuatu pada masa mendatang oleh seseorang atau keduanya dari mereka. Selanjutnya oleh Salim HS dinyatakan bahwa ada tiga unsur kontrak, yaitu sebagai berikut : pertama, the agreement fact between the parties (adanya kesepakatan tentang fakta antara para pihak). kedua, the agreement as written (kesepakatan dibuat secara tertulis). ketiga, the set of rights and duties created by (1) and (2) (adanya seperangkat hak-hak dan kewajiban-kewajiban di antara orang yang berhak dan berkewajiban untuk membuat kesepakatan dan persetujuan tertulis. 125
123
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, buku kesatu, 2003), hal 256. 124 Ibid. 125 Ibid.
Black’s law dictionary memberikan rumusan contract sebagai an agreement between two or more person which creates an obligation to do or not to do particular thing, artinya kontrak adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Kontrak itu menimbulkan sebuah kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara sebagian. 126 Robert W. Kolb and James A. Overdahl, menyatakan derivatif adalah sebuah kontrak dengan menyebutkan :"We define a derivative as a contract that derives most of its value from some underlying asset, reference rate, or index. As our definition implies, a derivative must be based on at lest one underlying. An underlyindg is the asset, reference rate, or index from which a derivative inherits principal source of value. Falling within our definition are several different types of derivatives, including commodity derivatives and financial derivatives". 127 Andrew M. Chiholm, menyebutkan A derivative is an asset whose value is derived from the value of some other asset, known as the underlying". 128 Joe Duarte MD, menyebutkan "A derivative is a financial instrument that gets its value not from its own intrinsic value but rather from the value from the underlying secruty and time". 129
126
Syahril Sofyan, Op.Cit., hal 96. John Wily & Sons, Inc., Financial Derivatives, (New Jersey : edisi ketiga 2003), hal 1. 128 John Wiley & Sons Ltd, Derivatives demystified, A Step-by Step Guide to Forwards, Futures, Swaps and Options, (England : West Sussex, 2004), hal 1. 129 Joe Duarte MD, Futures and Options for Dummies, (Inc New Jersey : Wiley Publishing, 2006), hal 48. 127
Derivatif adalah suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang merupakan
turunan dari nilai instrumen yang mendasari seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi,
ekuiti dan indek, baik yang diikuti dengan pergerakan atau tanpa pergerakan dana/istrumen. Dengan mempertimbangkan analisis hukum,
maka dapat dikatakan
transaksi derivatif merupakan jenis transaksi sui generis 130 yang merupakan hasil dari perkembangan inovasi keuangan. 131 Sifat sui generalis tersebut disebabkan sifat (nature)
dari transaksi itu sendiri yang berbeda dari jenis-jenis transaksi lainnya sebagai akibat
tingkat kecanggihan transaksi dan potensi risiko yang dapat ditimbulkannya. 132
Di Indonesia ketentuan transaksi derivatif sebagai suatu ‘kontrak” atau “perjanjian”
sebagaimana telah disinggung di muka telah mendapat legitimasi dalam ketentuan formal yaitu Surat Keputusan Bank Indonesia Nomor 28/119/KEP/DIR tanggal 29 Desember 1995. 133 Dalam surat keputusan Bank Indonesia tersebut transaksi derivatif didefenisikan sebagai “suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasari seperti suku bunga , nilai tukar , komoditi, ekuiti dan indeks baik yang diikuti dengan pergerakan atau tanpa pergerakan dana/instrumen.
130
From Wikipedia, the free encyclopedia Sui generis is a Latin phrase, meaning "of its own kind/genus" and hence "unique in its characteristics". 131 Dian Ediana Rae, Op.Cit., hal 210. 132 Ibid. 133 Ibid, hal 54.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa derivatif sebagai sebuah
kontrak bilateral atau perjanjian penukaran pembayaran yang nilainya diturunkan atau berasal dari produk yang menjadi "acuan pokok" atau juga disebut " produk turunan" (“underlying product”) dalam hal yang dijadikan underlying adalah valuta asing maka para
pihak membuat suatu kontrak atau perjanjian yang berisi hak dan kewajiban para pihak untuk saling mempertukarkan mata uang dengan nominal dan jumlah telah ditentukan di
suatu masa yang akan datang dengan mengacu pada produk turunan yang menjadi acuan pokok.
Berbagai penjelasan derivatif sebagai kontrak sebagaimana dikemukakan di atas, dapat
kiranya ditarik unsur-unsur pokok dari apa yang dimaksud dengan transaksi derivatif sebagai kontrak yaitu pertama, transaksi derivatif sebagai suatu kontrak atau perjanjian, kedua, transaksi derivatif merupakan instrumen keuangan (financial instrument); ketiga, transaksi derivatif merupakan instrumen untuk memperdagangkan risiko (trading instrument); 134 keempat, nilai transaksi derivatif merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasari; kelima, transaksi derivatif dapat diikuti dengan atau tanpa pergerakan dana; Istilah “derivatif” merupakan istilah generik yang digunakan untuk sejumlah instrumen keuangan. Dalam sejarahnya para ahli telah menemukan bahwa transaksi derivatif telah terjadi sejak tahun 2.000 SM yang terjadi di pulau Bahrain. Sejenis kontrak dengan elemen penyerahan kemudian (future delivery) ditemukan juga di Mesopotamia 4.000 tahun yang lalu. Di Inggris future contract juga ditemukan pada tahun 1275. Dalam tulisan lain ada yang menyebutkan bahwa pasar komoditas yang diatur (regulated) juga ada di China, Mesir, Arabia dan India pada tahun 1200 SM. Walaupun demikian, pasar future yang berfungsi secara penuh sebagaimana 134
Ibid. hal 44.
dikenal dewasa ini baru terjadi pada pertengahan abad ke-18 ketika pasar future didirikan di Chicago. Sejumlah kontrak perdagangan future yang terjadi dimulai di Board of Trade of the City of Chicago. 135 Perkembangan kontrak future itu kemudian berkembang dengan cepat dan mengalami revolusi. Pengembangan produk derivatif bahkan dianggap oleh seorang penulis Alfred Steinher sebagai revolusi yang pentingnya sebanding dengan revolusi industri. 136 Namun demikian perkembangan produk derivatif yang cepat juga menyebabkan terjadi rentetan kasus yang menggambarkan fenomena permasalahan derivatif valuta asing yang selalu berulang. Sehingga, wajar jika ada pendapat yang mengatakan masalah derivatif merupakan masalah klasik yang tak pernah berakhir. Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan peneliti, bank-bank yang terkena kasus transaksi derivatif telah memutuskan untuk mengurangi transaksi derivatif dan bahkan bankbank dengan kepemilikan asing (selama ini dikenal dengan bank campuran) tertentu telah memutuskan untuk melakukan downsizing asset secara besar-besaran. 137 Kekalahan bank-bank di Pengadilan dalam kasus transaksi derivatif pada tahun 2009 secara logis akan mengurangi minat bank-bank lainnya untuk melakukan transaksi derivatif. Hal ini jelas akan berdampak negatif terhadap kegiatan usaha di Indonesia dan pada gilirannya akan memperburuk kinerja perekonomian nasional. Dilihat dari aspek ekonomi telah semakin jelas pentingnya upaya untuk melakukan perbaikan terhadap pengaturan transaksi derivatif. 138
135
Ibid., hal 3. Alfred Steinherr, Derivatives The Beast Of Finance, (Chichester- New York-Weinheim–BrisbaneSingapore-Toronto : John Wiley & Sons, 1998), hal 9. 137 Hasil wawancara dengan informan pejabat bank umum nasional di Medan tanggal 8 September 2014 (nama pejabat bank dan nama bank ada pada peneliti) 138 Dian Ediana Rae, Op.Cit., hal 12. 136
1. Transaksi Derivatif Valuta Asing Lahir Dari Asas Kebebasan berkontrak (Freedom Of Contract). Transaksi derivatif merupakan suatu kontrak. 139 Sebagai suatu kontrak antara dua belah pihak atau lebih, transaksi derivatif pada dasarnya tunduk kepada prinsip-prinsip umum hukum kontrak (perjanjian), sehingga syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi. Dalam hal ini suatu perjanjian derivatif haruslah dicermati oleh kedua belah pihak dikarenakan tingkat kerumitan yang ditawarkan perjanjian ini. Syarat-syarat perjanjian tersebut adalah kesepakatan para pihak, kecakapan para pihak, adanya hal tertentu yang diperjanjikan serta causa yang halal. Demikian pula dengan aspekaspek lainnya dari hukum perjanjian seperti asas konsensualisme, akibat-akibat tidak dipenuhinya syarat-syarat sahnya perjanjian, wanprestasi (breach of contract) dan sistem terbuka dari hukum perjanjian berlaku untuk kontrak derivatif. Walaupun secara umum dapat dikatakan bahwa transaksi derivatif dimasukkan ke dalam kategori hukum perdata sebagai suatu kontrak/perjanjian, dengan timbulnya berbagai kasus dan kerugian yang besar, kepentingan transaksi derivatif di berbagai belahan dunia telah bergerak ke arah perlindungan terhadap kepentingan publik, baik yang tunduk pada ranah perlindungan konsumen maupun kepentingan sistematik dalam sistem keuangan dan perbankan. 140 Kecanggihan dari transaksi derivatif ini telah mengakibatkan pula kemungkinan terjadinya kesenjangan
informasi
dan
kemampuan
yang
dapat
mengakibatkan
terjadinya
“ketidakseimbangan” para pihak. Transaksi derivatif ini memiliki aspek-aspek hubungan keperdataan antara para pihak dan aspek publik yang terkait dengan perlindungan para pihak dan perlindungan sistemik terhadap sistem keuangan dan perbankan. 141 Akibat kecanggihan transaksi
139
Ibid., hal 45. Ibid., hal 54. 141 Ibid., hal 211. 140
derivatif, maka sampai saat tidak ada pengaturan khusus kontrak derivatif sebagai perjanjian bernama melainkan menggunakan asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas utama dalam hukum perjanjian. Asas kebebasan berkontrak dikenal dan diterima dalam civil law system maupun common law system. Begitu pentingnya asas tersebut dalam hukum perjanjian menyebabkan asas itu tidak pernah hilang atau musnah, sehingga keberadaan asas tersebut selalu dimuat dalam pasal-pasal, aturan dan dokumen hukum secara internasional karena sifatnya yang universal. Asas kebebasan berkontrak merupakan dasar yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan dan menerima kontrak.
142
Asas kebebasan berkontrak ini bersifat universal, artinya
berlaku juga dalam berbagai sistem hukum perjanjian di negara-negara lain dan memiliki ruang lingkup yang sama. 143 Kebebasan berkontrak, hingga kini tetap menjadi asas penting dalam sistem hukum kontrak baik dalam sistem civil law, common law, maupun sistem hukum lainnya Dilihat dari sejarah lahirnya asas kebebasan berkontrak dalam sistem civil law dan common law lahir dan berkembang seiring dengan pertumbuhan aliran filsafat yang menekankan semangat individualisme dan pasar bebas. 144 Latar belakang asas kebebasan berkontrak yang 142
Ahmadi Miru,Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2007), hal 4. Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia,(Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993), hal 47. 144 Lihat Friedrich Kessler, Contract Adhesion-Some Thought about Freedom of Contract, (Colombia Law Review,1943), Vol 43, hal.630., Lihat Arthur Taylor von Mahren dan JamesRussel Gordley, The Civil Law System, (Boston : Little Brown and Company, 1997), hal.788, Perhatikan pula Luis Muniz Arguelles, A Theory on the Will Theory, Freedom of Contract in Historical and Comparative Perspective, (Peueto Rico : Revista Juridica De La Universidad De Peueto Rico), hal 254. Lihat juga Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum (Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya), (Jakarta : Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan Perkumpulan Untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (HUMA), 2002), hal 296 Kebebasan seperti itulah yang dalam ilmu dan ajaran hukum disebut “kebebasan berkontrak”. Ide atau ideologi berikut praktik “kebebasan berkontrak” tersebut itu tak ayal lagi tentu saja memarakkan kehidupan bisnis industrial yang tengah berkembang di dalam suasana ekonomi urban yang diberalistis-kapitalistis di Eropa Barat, di bawah kontrol kaum kelas tengah pada masa itu. “Kebebasan berkontrak” memungkinkan ribuan pelaku ekonomi, baik yang terbilang kaum elite maupun yang tergolong massa pekerja, untuk melepaskan diri dari kontrol kaum feodal yang selama ini menguasai kehidupan komunitas-komunitas pertanian. “Kebebasan berkontrak” memungkinkan massa pekerja yang berasal dari kalangan para hamba dan para ulur di desa-desa meninggalkan tuan-tuannya yang menguasai tanah-tanah pertanian, untuk kemudian mencari kerja dan mengadu nasib ke kota-kota yang tengah diramaikan oleh pembangunan industri dan bisnis-bisnis penunjangnya. Tak pelak lagi, “kebebasan berkontrak” telah memungkinkan 143
lahir dari civil law tradition sebagaimana dinyatakan John Henry Merryman dalam bukunya “The Civil Law Tradition” embrio lahirnya kebebasan kebebasan berkontrak adalah 450 tahun sebelum masehi : The traditional date of its origin is 450 B.C., the supposed date of publication of the XII table in Rome. Twelve tables adalah a statement of the customary and ritual law that had previously developed (and inscribed on twelve bronze tables) 145. Selanjutnya pada zaman romawi yaitu Kaisar Justinianus tertulis dalam Corpus luris Civilis pada tahun 533. 146 Pada zaman ini pengertian kebebasan berkontrak berkembang dari perikatan atau obligation. Kata ‘obligatio’ di dalam Roman terminologi menunjukkan baik hak-hak kreditur (creditor’s right) maupun pada kewajiban-kewajiban debitur (debtor’s right). 147 Fritz Schulz seperti yang dikutip oleh Reinhard Zimmerman menyatakan bahwa the law of obligation yang berasal dari Kaisar Justinianus pada zaman Romawi merupakan ‘a unique achievement in the history of human civilisation’. Bahkan menjadi prestasi unik dalam sejarah peradapan umat manusia. 148 Konsep kebebasan berkontrak berkembang sejalan dengan peradaban dan evolusi berfikir manusia. Pada masa Romawi kuno sudah tampak memasukkan aspek rasonalitas yang sekarang dikenal sebagai economic analysis of law menjadi konsep dasar efisiensi dibidang ekonomi dalam menyelesaikan masalah hukum (law and ecomomic). Dalam hukum yang berlaku pada masa itu, berlaku prinsip bahwa barang siapa yang telah melakukan tindakan terhadap badan atau hak milik orang lain, tidak terlindung dari balas dendam (vengeance) dari korban atau keluarganya. Dalam penerapannya bentuk balas dendam dimaksud dilaksanakan dengan cara para usahawan yang bermodal dan bergerak di bidang-bidang bisnis nonpertanian dengan gampangnya merekrut pekerja-pekerja. 145 Roman Law, Basic Structure and Sources, Albany Law School, Union University, http://www.als.edu/lib/ alsroma.html, hal 1. 146 Reinhard Zimmermann, The Law of Obligations, Roman Fondations of the Civilian Tradition, (Oxford University Press), 1995, hal 1. 147 Johannes Gunawan, Penyunting Sri Rahayu Oktoberina da Niken Savitri, Butir-Butir Pemikiran Dalam Hukum Memperingati 70 Tahun Prof.Dr.B.Arief Sidharta: Kajian Ilmu Hukum Tentang Kebebasan Berkontrak, (Bandung, PT. Refika Aditama), hal 259. 148 Ibid.
yang kejam bahkan kematian. Akhirnya manusia menyadari bahwa rezim tersebut sebagai rezim yang buruk dan tidak beradab (uncivilized). Oleh karena itu pada perkembangannya negara ikut campur dalam menahan pelaku dan berada dibawah pengawasan. Disinilah dimulai pemikiran konpensasi untuk memberikan tebusan kepada korban maupun keluarganya dalam bentuk uang ataupun barang sebagai upaya untuk menghindari upaya balas dendam. Bagi orang Romawi modus penggantian uang dan barang merupakan modus yang cocok dan baik untuk memaksa orang memenuhi sanksi. Keadaan inilah yang menimbulkan hubungan yang mengandung perjanjian atau kontrak. 149 Dari sejarah tersebut memunculkan pemikiran bahwa sifat rasional manusia sebagai homo economicus membawa perhitungan efisiensi yang dapat diterima oleh semua pihak yang bertikai dengan kalkulasi yang dapat diterima dan memenuhi asas keadilan sebagai fairness. Sistem civil law yang membebaskan dirinya dari hukum Romawi yang menetapkan formalisme menerima teori kontrak yang berbasis konsensus melalui maksim pacta sunt servanda. 150 Dalam sistem civil law, persetujuan kehendak (consensus ad idem) dan manifestasi (eksternal) kehendak merupakan suatu hal yang sangat esensial. 151 Kebebasan berkontrak lebih mengarah kepada suatu pernyataan politik hukum (statement of legal policy) yang menunjukkan kebebasan individual untuk mempertukarkan hak mereka. 152 Dari titik pandang bahwa kontrak hasil kehendak bebas para pihak dan kontrak diciptakan atas pertemuan kehendak para pihak, kemudian lahir prinsip konsensualisme. Konsensus menjadi inti (core) dan dasar (basis) konsep hukum kontrak moderen. Prinsip ini pada dasarnya menyatakan gagasan bahwa hal yang esensial dalam kontrak adalah kehendak para pihak. Sebelumnya tidak 149
Ibid, hal 260-261. David E. Ellen, et,al, Asian Contract law, Survey on Current Problems, (Carlton : Melbourne University Press, 1969), hal 104. 151 Ibid, hal 105. 152 Ibid, hal 118. 150
dikenal asas konsensualisme tersebut. 153 Kontrak yang didasarkan pada konsensus (contractus ex consensus) dalam evolusi hukum Romawi berkembang belakangan. Ia mulai dibangun dan dikembangkan pada abad pertama sebelum masehi. Menurut Alan Watson dikenalkannya kontrak berdasar konsensus tersebut merupakan penemuan terbesar dalam hukum Romawi. 154 Kebebasan berkontrak (freedom of contract) di dalam civil law tradition terdiri dari 5 (lima) kebebasan 155 : pertama, kebebasan untuk membuat perjanjian atau tidak membuat perjanjian; kedua, kebebasan untuk memilih dengan pihak mana akan membuat perjanjian; ketiga, kebebasan untuk menentukan isi perjanjian; keempat, kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian; kelima, kebebasan untuk menentukan cara membuat perjanjian Di Perancis, signifikansi dan justifikasi teori konsensualisme tidak menimbulkan perselisihan. Bagi kebanyakan sarjana hukum, prinsip konsensualisme adalah mengikat, setidaktidaknya dalam civil code, ke teori kebebasan kehendak (theorie de I’autonomie de la volonte) sesuai dengan kewajiban kontraktual yang ditarik dari kekuatan mengikatnya yang berasal dari kehendak para pihak. 156 Dengan demikian, teori kehendak atau teori hukum kontrak klasik yang berasal dari prinsip private autonomy. Kemudian bermakna bahwa kehendak para pihaknya yang menentukan hubungan hukum kontrak mereka. Prinsip yang demikian memiliki beberapa konsekuensi sebagai berikut 157 : pertama, hukum yang berlaku bagi mereka tersebut sematamata berkaitan dengan maksud yang sebenarnya dari pihak yang berjanji ; kedua, maksud para
153
Reinhard Zimmermann, The Law of Obligation, Roman Foundation of Rule Civilian Tradition, (Cape Town : juta & Co.Ltd, 1992), hal 559. 154 Alan Watson, Society and Legal Change, (Philadelphia : Temple University Press, 2001), hal.14. 155 Johannes Gunawan, Penggunaan Perjanjian Standard dan Implikasinya Pada Asas Kebebasan Berkontrak, (Majalah Padjadjaran, No. 3-4, 1987), hal 55. 156 Piere Bonassies, Some Comments on the Franch Legal System With Particular References to the Law of Contract: A Study of the Common Care of Legal System , (London : Stevens & Sons, 1968), hal.244. 157 Morton J.Horwitz, The Historical Foundation of Modern Contract Law, (Harvard Law Review, Vol 87, 1974), hal 134.
pihak harus “bertemu” pada saat sebelum dibuat kontrak ; ketiga, hakim tidak memiliki kewenangan untuk mengisi celah dalam suatu kesepakatan dan tidak berdaya menghadapi kemungkinan hal yang tidak terduga ; keempat, pihak yang berjanji bebas mengungkapkan kemauannya. Dalam teori hukum kontrak klasik dijelaskan bahwa kontrak adalah sesuatu yang sakral dan suci sebagai sesuatu produk kebebasan berkontrak alasan bahwa kontrak itu dibuat atas pilihan dan kemauan sendiri dan penyelesaian isi kontrak dilakukan dengan kesepakatan bersama (mutual agreement) 158 Ajaran tersebut didukung perintah suci motzeh sfassecha tismar “engkau harus menepati perkataanmu”, dan dari maksim hukum Romawi kuno, yakni pacta sunt servanda. Konsep pacta sunt servanda ini pada akhirnya menjadi suatu konsep dasar atau basis suci (lowed basis) teori hukum kontrak klasik. Konsep ini dapat dilacak dari perjanjian antara Jehovah dan orang-orang Israel (Yahudi). 159 Kegagalan untuk mematuhi perjanjian itu merupakan dosa dan melanggar kontrak 160 Berbeda dengan civil law system, munculnya kebebasan berkontrak dalam common law system selain disebabkan oleh tempat timbulnya sistem hukum tersebut. Common law system muncul di Inggris pada zaman pemerintahan Raja Henry II (1154 – 1189), seperti yang pernah ditulis oleh Robert Palmer dalam tulisan klasik berjudul Origins Of Common Laws menyebutkan bahwa “It was during Henry II reign (1154-1189) that the common law began. Note that the common law is designated “common” to all of England and administered by a central court, as distinguisthed from the customary law that varied, albeit often only in minor ways, from county to county, lordship to lordship, or manor to manor. Moreover, the common law began as the
158
P.S.Atiyah, An Introduction to the Law of Contract, (Oxford : Clarendon Press, Fifth Edition, 2004),
hal 12. 159
John Edward Murray, Murray on Contracts Charlottesvillie, (The Michie Company, 1990), hal 1. Ibid.
160
result of political occurrences, not from jurisprudential consideration.” 161 Kemudian untuk mengakhiri perang Raja Henry II dan Raja Stephen membuat kontrak pada tahun 1153 yang dinamakan The Treaty Of Winchester yang merupakan tonggak penting dan bersejarah proses kelahiran common law system di Inggris. 162 Prinsip-prinsip kebebasan berkontrak pada common law system terus mengalami perkembangan dan memasuki hukum moderen pada abad delapan belas dan abad sembilan belas. Pada abad sembilan belas, kebebasan berkontrak sangat diagungkan baik oleh para filosuf, ekonom, sarjana hukum, maupun pengadilan. Kebebasan berkontrak sangat mendominasi teori hukum kontrak. Inti permasalahan hukum kontrak lebih tertuju kepada realisasi kebebasan berkontrak. Pengadilan juga lebih mengedepankan kebebasan berkontrak dari pada nilai-nilai keadilan dalam putusan-putusannya. Pengaturan melalui legislasi pun memiliki kecendrungan yang sama. Pada saat itu, kebebasan berkontrak memiliki kecendrungan ke arah kebebasan tanpa batas (unrestricted freedom of contract). 163 Hukum kontrak yang berkembang pada abad sembilan belas telah banyak mendapat pengaruh aliran filsafat yang menekankan individualisme sebagaimana tercermin pula dari pemikiran (politik) ekonomi klasik Adam Smith dan utilitarianisme Jeremy Betham. Mereka memandang bahwa tujuan utama legislasi dan pemikiran sosial harus mampu menciptakan the greatest happiness for the greatest number.
164
Mereka menjadikan kebebasan berkontrak
sebagai paradigma baru dalam hukum kontrak.
161
Johannes Gunawan, Penyunting Sri Rahayu Oktoberina da Niken Savitri, Butir-Butir Pemikiran Dalam Hukum Memperingati 70 Tahun Prof.Dr.B.Arief Sidharta, Kajian Ilmu Hukum Tentang Kebebasan Berkontrak, Op.Cit., hal 263. 162 Ibid. 163 John D. Calamari dan Joseph M. Perilo, Contract, (ST Paul, Minn : West publishing Co, 1977), hal 5., Lihat Juga Roscoe Pound, Liberty of Contract, (Yale Law Journal, Vol 19, 1909), hal 456. 164 George Gluck, Standard Form Contract: The Contract Theory Reconsidered, (International Law and Comparative Quarterly, Vol 28, 1979), hal 72.
Kebebasan asas kebebasan berkontrak tersebut tidak dapat dilepaskan dari pengaruh berbagai aliran filsafat politik dan ekonomi liberal yang berkembang pada abad kesembilan belas. Dalam bidang ekonomi berkembang aliran laissez faire yang dipelopori Adam Smith yang menekankan prinsip non-intervensi oleh pemerintah terhadap kegiatan ekonomi dan bekerjanya pasar. Filsafat utilitarian Jeremy Bentham yang menekankan adanya ideologi free choice juga memiliki pengaruh yang besar bagi pertumbuhan asas kebebasan berkontrak tersebut. Baik pemikiran Adam Smith maupun Bentham didasarkan filsafat individualisme. Kedua pemikiran tersebut tidak dapat dilepaskan dari pengaruh filsafat etika Immanuel Kant. Semua filsafat yang menekankan pada aspek kebebasan individu yang dikembangkan para filosuf Barat di atas jika dilacak lebih jauh lagi, berakar kepada filsafat hukum alam (natural law) berkembang pada abad pencerahan (enlightenment atau aufklarung). 165 Dalam peradigma baru ini, dalam kontrak timbul dua aspek: pertama, kebebasan (sebanyak mungkin) untuk mengadakan suatu kontrak. kedua, kontrak tersebut harus diperlakukan sakral oleh pengadilan, karena para pihak secara bebas dan tidak ada pembatasan dalam mengadakan kontrak tersebut. Dengan demikian, kebebasan berkontrak dan kesucian (sanctity) kontrak menjadi dasar keseluruhan hukum kontrak yang berkembang saat itu. 166 Premis sentral teori hukum kontrak klasik pada abad kesembilanbelas tersebut adalah kebebasan berkontrak. Kebebasan otonomi individu to be able to make bargains as they saw fit (dengan sedikit mungkin intervensi dari negara) betul-betul menempatkan pembentukan kontrak ex nihilo pada kehendak mereka. Menurut pandangan teori klasik kontrak ini, para pihak yang membuat kontrak ini adalah equal, para pihak juga memiliki kemampuan menentukan fair bargain di antara mereka. Pandangan ini selaras dengan bahwa kontrak merupakan produk yang 165
Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia Dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama), (Jakarta : FH UII Press, 2013), hal 100. 166 Ibid,hal 102., Perhatikan juga P.S. Atiyah, An Introduction to the Law of Contract, Op.Cit., hal 4.
dibuat para pihak (dengan kebebasan untuk menentukan) dan juga sesuai semangat pasar bebas dan persaingan bebas. Konsep utama pemikiran hukum kontrak pada kesembilan belas itu adalah dihubungkannya otonomi kehendak yang luas dengan ide kebebasan berkontrak yang tidak terbatas. 167 Dalam sistem common law dikenal dua konsep dasar tentang ide kebebasan berkontrak, yaitu : pertama, kontrak didasarkan pada persetujuan timbal balik (contracts were based on mutual agreement/meeting of mind/consensus adidem); kedua, pembuatan sebuah kontrak adalah hasil dari pilihan bebas yang tidak dicampuri oleh kontrol external seperti campur tangan pemerintah maupun badan legislatif (the creation of a contract was the result of a free choice unhampered by external control such as government or legislative interference). 168 Sebagaimana dikatakan Peter Gillis, perkembangan hukum kontrak di dalam sistem common law dipengaruhi filsafat laissez faire, Oleh karena itu, hakim juga memiliki kecenderungan untuk mengimplementasikan kebebasan berkontrak yang menekankan pada kehendak bebas para pihak. Bahkan pengadilan telah memperluas doktrin itu hingga mencapai tingkat yang paling tinggi. Di Inggris, dalam perkara Printing and Numerical Registering Co v. Simpson (1875), L.R. 19 Eq, 465, hakim Sir George Jesel M.R. mengemukakan pernyataan eksrtrim : “It must not be forgotten that you are not to extend arbitrarily those rules which sat that a given contract is void as being against public policy, because if there is one thing which more than another public policy requires it is that men of full age and competent understanding shall have the utmost liberty of contracting, and that their contract when entered into freely and voluntarily shall be held sacred and shall be enforced by court of
167
K.M.Sharma, From Sanctity to Fairness: An Uneasy Transition in The Law of Contract, (New York Law School Journal of International Law&Comparative Law, Vol 18, 1999). Hal 18. 168 Johannes Gunawan, Butir-Butir Pemikiran Dalam Hukum Memperingati 70 Tahun Prof.Dr.B.Arief Sidharta,SH. : Kajian Ilmu Hukum Tentang Kebebasan Berkontrak, Op.Cit., hal 265.
justice. Therefore, you have this paramount public policy to consider – that you are not lightly to interfere with this freedom of contract.” 169 Di Amerika Serikat, putusan pengadilan yang dianggap mendukung kebebasan berkontrak yang maksimum adalah putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam kasus Lochner v. New York, 198 US 45 (1905). Duduk perkaranya sebagai berikut : Joseph seorang pemilik pabrik roti dihukum pengadilan karena melanggar Section 110 New York 1897 Labor law. Section 110 menentukan pembatasan jam kerja perusahaan biskuit dan roti, yakni tidak lebih sepuluh jam per hari atau enam puluh per minggu. Lochner dihukum setelah seorang buruhnya bekerja dari 60 jam per minggu. The New York Court of Appeal menyetujui putusan tersebut. Mahkamah Agung menyatakan bahwa hukum tersebut merupakan pembatasan yang tidak konstitusional terhadap kebebasan berkontrak baik bagi perusahaan roti maupun buruhnya. Kebebasan berkontrak menurut pengadilan merupakan suatu kebebasan yang dilindungi amandemen keempat konstitusi dari tindakan negara (bagian). Selanjutnya pangadilan menyatakan 170 : “It seems to us that the real object and purpose were simply to regulate the hours of labor between the master and his employee (all bring men, sui generis), in a private business, not dangerous in any degree to morals, or in any real and substantial degree to the health of the employess. Under such circumstances the freedom of master and employee to contract with each other in relation of their employment (cannot) be prohibited or interfered with, without violating the Federal Constitution.” Dalam pandangan hakim, hukum perburuhan yang mengintervensi hak dan kewajiban kontraktual antara majikan dan buruh tidak sah. Peraturan perundang-undangan tidak boleh
169
Richard A.Epstein, Contracts Small and Contract Large: Contract Law through the Lens of Laissez Faire, F.H.Buckley,ed, The Fall and Rise Freedom of Contract, (Durham : Duke University Press), hal 58. 170 Howard O.Hunter, Modern Contract Law, (Boston : Warren Gorham & Lamon,Inc, 1987), hal 25., Lihat juga Kyle T.Murray, Looking for Lochner in All the Wrong Paces, The Lowa Suprame Court and Substantive Due Process, (Lowa Law Review, Vol 84, 1999), hal 1145-1149.
mengintervensi kebebasan berkontrak antara buruh dan majikan karena hal bertentangan dengan Konstitusi Federal. 171 Seseorang tidak boleh berlaku bodoh. Seseorang diperbolehkan oleh hukum untuk berlaku bodoh apabila dikehendakinya. Seseorang mungkin saja berjudi di bursa atau meja perjudian, atau menghabiskan uangnya untuk suatu pesta pora. Seseorang mungkin saja bodoh untuk melakukan hal tersebut, tetapi tetap saja hukum tidak dapat mencegah orang itu untuk berlaku bodoh. Para pihak tetap terikat untuk melaksanakan kontrak sesuai dengan isi kontrak. Dalam bidang ekonomi berkembang aliran laissez faire yang dipelopori Adam Smith yang menekankan prinsip non intervensi oleh pemerintah terhadap kegiatan ekonomi dan bekerjanya pasar. Filsafat utilitarian Jeremy Bentham yang menekankan adanya ideologi free choice juga memiliki pengaruh yang besar bagi pertumbuhan asas kebebasan berkontrak tersebut. 172 Pada abad sembilan belas tersebut, teori hukum kontrak sangat dipengaruhi konsep yang diderivasi filsafat, paham politik, dan ekonomi liberal. 173 Prinsip ekonomi laissez faire yang menjadi inti pemikiran ekonomi abad sembilan belas. menuntut bahwa para pihak yang membuat kontrak memiliki kebebasan penuh dalam hubungan kontraktual, dengan seminim mungkin intervensi dari negara. 174 Mengingat timbul dan berkembangnya asas kebebasan berkontrak sangat dipengaruhi ideologi individualisme dan liberalisme di Eropa pada abad kesembilan belas, maka untuk
171
Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia Dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama) Op.Cit., hal 121. 172 Dikaitkan dengan kontrak, kebebasan tersebut bermakna bahwa tidak ada seorangpun yang terikat kepada suatu kontrak jika tidak ada pilihan bebas untuk melakukan sesuatu. Lihat P.S.Atiyah, An Introduction to the Law of Contract, Op.Cit., hal 8. 173 George Gluck, Standard Form Contract: The Contract Theory Reconsidered, (International and Comparative law Quarterly, Vol 28, 1979), hal 72. 174 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta : Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pasca Sarjana, 2003), hal 46.
memahami kebebasan berkontrak secara filosofis harus dilihat dan dipahami dalam konteks individualisme yang berkembang saat itu. 175 Individualisme sebagai suatu mekanisme sosial dikaitkan dengan bagaimana cara negara mengontrol warganegaranya. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan suatu negara untuk melakukan kontrol sosial kepada warga negaranya tersebut, yakni: pertama, dikaitkan dengan individualisme (individualism), free choice, ekonomi pasar bebas (free market economies); kedua, didasarkan pada administrasi. 176 Kebebasan Adam Smith dikenal luas sebagai pelopor atau bapak politik ekonomi terletak pada teorinya mengenai pasar bebas. Pasar bebas begitu menarik dan menjadi pilihan masyarakat ekonomi moderen, bahkan pemikiran dan pengaturan hukum terpengaruh pula olehnya. Ketertarikan masyarakat modern terhadap pemikiran Adam Smith tersebut terletak pada hakikat pasar bebas itu dan dasar pemikiran yang ada dibaliknya. Secara otologis dan moral, pasar bebas merupakan perwujudan kebebasan kodrati dan keadilan suatu merupakan perwujudan hukum kodrat alam dalam bidang ekonomi. 177 Berdasarkan keadaan di atas, timbul peradigma baru yang menekankan adanya persaingan bebas dan prinsip non intervensi dari pemerintah dalam kegiatan ekonomi. Smith menolak campur tangan negara terhadap kehidupan pribadi, khususnya dalam bidang ekonomi. Campur tangan negara tanpa alasan yang sah bagi Adam Smith merupakan tindakan yang tidak adil, karena merupakan pelanggaran terhadap hak individu. Bagi Adam Smith, setiap manusia 175
Ibid. Ibid, hal 47. 177 Pemikiran ekonomi Adam Smith yang ditulis dalam buku The Wealth of Nations sesungguhnya tidak diderivasi dari data empiris, tetapi didasarkan kepada prinsip-prinsip hukum alam. Lihat P.S.Atiyah, The Rise and fall of Freedom of Contract, (Oxford: Clarendon Press), hal 295. Pemikiran ekonomi Adam Smith memang mendapat pengaruh kuat filsafat hukum alam, khususnya kaum Stoa, Grotius dan Pufendorf. Lihat Sony Keraf, Pasar Bebas , Keadilan, dan Peran Pemerintah: Telaah atas Etika Politik Ekonomi Adam Smith, (Yogyakarta : Kanisius, 1996), hal 23. Dijadikannya paham hukum alam tersebut sebagai landasan ontologism pemikiran Adam Smith dapat dimaklumi, karena pada saat itu Eropa sedang berada pada abad renaissance dan pencerahan yang mengagungkan pemikiran hukum alam Yunani kuno. 176
memiliki hak atas kebebasan yang diperolehnya sebagai manusia dan tidak seorangpun dibenarkan untuk merampasnya, kecuali dengan alasan yang sah, misalnya untuk menegakkan keadilan. Pandangan Adam Smith di atas jelas mengikuti pendirian tokoh mazhab hukum alam Grotius yang menyatakan bahwa kebebasan berkontrak merupakan suatu hak alamiah atau kodrati (natural rights). 178 Adam Smith memang menolak campur tangan pemerintah baik dalam kehidupan pribadi setiap orang maupun dalam kegiatan ekonomi, tetapi tidak berarti penolakan tersebut dianggap sebagai dogma mutlak. Adam Smith justeru memberikan tempat yang sangat sentral bagi peran pemerintah untuk menegakkan keadilan. Jadi, Adam Smith
tidak menolak mutlak campur
tangan pemerintah, tetapi dikurangi seminimal mungkin, Pemerintah hanya di perkenankan untuk ikut campur tangan secara minimal. Khususnya dengan alasan demi tegaknya keadilan. Campur tangan yang berlebihan yang bersifat distorsif dianggap sebagai pelanggaran atas keadilan. 179 Berdasarkan doktrin ekonomi liberal (laissez faire) tersebut di atas, muncul dua macam kebebasan yakni kebebasan berkontrak dan kebebasan dalam perdagangan (freedom of trade). 180 Berkembangnya asas kebebasan berkontrak juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh pemikiran filsafat utilitarian Jeremy Bentham. Bahkan menurut P.S. Atiyah, tidak diragukan lagi bahwa paham utilitarian Jeremy Bentham ini erat sekali kaitannya dengan pemikiran politik ekonomi klasik yang dipelopori Adam Smith. Bahkan keduanya saling melengkapi dalam mendukung aliran pemikiran kebebasan yang individualistik. 181 Kedua aliran pemikiran itu memiliki banyak persamaan. Meraka percaya terhadap indivualisme sebagai sebuah nilai dan mekanisme sosial. 178
Roscoe Found, Liberty of Contract, (Yale Law Journal, Vol 19, 1909), hal 455. Sony Keraf, Loc.Cit. 180 bd El Wahab Ahmed El Hassan, Freedom of Contract, Doctrine of Frustration and Sanctity of Contract in Sudan Law, (Arab Law Quarterly, Vol 1 Part 1, 1985), hal 52. 181 Ibid. 179
Mereka yakin terhadap kebebasan berkontrak sebagai suatu asas umum. Mereka menerima starting point bahwa manusia pada umumnya mengetahui kepentingan mereka sendiri yang terbaik. 182 Menurut Bentham, secara umum tidak seorangpun dapat mengetahui tentang apa yang baik untuk kepentingan dirinya, kecuali dirinya sendiri. Pembatasan terhadap kebebebasan berkontrak adalah pembatasan terhadap kebebasan itu sendiri. Semua pembatas terhadap kebebasan adalah jahat dan memerlukan pembenaran untuk dapat melakukannya. Bentham juga menolak adanya campur tangan negara terhadap hal di mana pemerintah sendiri tidak memahaminya. Sebagaimana halnya para ekonomi klasik, Bentham juga mengkritik mania regulasi (mania for regulation) yang banyak mengontrol buruh dalam bentuk Settlement Laws, Apprenticienship Law, wage fixing, dan lain-lain. 183 Ajaran laissez faire bagi Elaine A. Welle adalah mitos. Tidak ada pasar yang eksis tanpa aturan hukum. Menurut Cass Sunstein, pasar bukan merupakan produk alam, sebaliknya, pasar secara hukum merupakan suatu instrumen yang diciptakan manusia dengan tujuan untuk menghasilkan sistem tatanan sosial yang sukses. Pasar merupakan suatu bentuk khusus intervensi pemerintah . Tanpa hukum harta kekayaan (the law of property) tidak akan ada harta kekayaan pribadi. Tanpa hukum kontrak tidak akan ada kebebasan berkontrak. 184 Menurut Sir Henry Maine pada abad sembilan belas itu terjadi kemajuan sejarah peradaban manusia, terjadi liberalisasi dari perikatan yang didasarkan pada status dan kemudian
182
Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Op.Cit.,hal 67. P.S.Atiyah, The Rise and Fall of Freedom of Contract, Op.Cit., hal 324. 184 Elaine A.Welle, Freedom of Contract and Securities Laws: Opting Out of Securities Regulation by Private Agreement, (Washington : Lee law Review, Vol 56, 1999), hal 575. 183
berubah dengan menjadikan basis kontrak atau free bargain. Dengan perkataan lain, institusi hukum kontrak dijadikan motif kekuatan revolusi borjuis. 185 Kekuasaan dan kebebasan untuk membuat perjanjian kekuatan untuk mematahkan berbagai pembatasan dari suatu aturan yang didasarkan pada status. Dengan kekuasaan yang demikian itu memungkinkan seorang individu untuk memenuhi kesejahteraan ekonominya, untuk mengikuti kemauannya, mengurangi pembatasan-pembatasan artificial social barrier yang dibebankan oleh kebiasaan. Konsep hukum kontrak seperti itu menjadi suatu alat dari kebebasan individual dalam pemikiran ekonomi yang berkembang dalam industrialisasi yang bergerak dengan cepat di Inggris dan Amerika Serikat. 186 Doktrin liberalis-individualisme yang berkembang pada abad sembilan belas berpengaruh langsung atas kebebasan berkontrak yang berimbas kepada lahirnya paradigma baru hukum kontrak timbul dari dua dalil di bawah ini 187 : pertama, setiap perjanjian kontraktual yang diadakan adalah sah (geoorloofd); dan kedua, setiap perjanjian kontraktual yang diadakan secara bebas adalah adil dan memerlukan sanksi undang-undang. Gagasan utama kebebasan berkontrak berkaitan dengan penekanan akan persetujuan dan maksud atau kehendak para pihak. Selain itu, gagasan kebebasan berkontrak juga berkaitan dengan pandangan bahwa kontrak adalah hasil dari pilihan bebas (free choice). Dengan gagasan utama ini, kemudian dianut paham bahwa tidak seorang pun terikat kepada kontrak sepanjang tidak dilakukan atas dasar adanya pilihan bebas untuk melakukan sesuatu. 188 Doktrin mendasar yang melekat pada kebebasan berkontrak adalah bahwa kontrak itu dilahirkan ex nihilo, yakni
185
M.E. Tigar, M.R. Levy, Law and the Rise of Capitalism, Patricia Smith,ed., The Nature and Process of Law, (Oxford : Oxford University Press, 1993), hal 332. 186 Howard O.Hunter, Loc.Cit. 187 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Op.Cit., hal 81. 188 Ibid., hal 84.
kontrak sebagai perwujudan kebebasan kehendak (free will) para pihak yang membuat kontrak (contractors). Kebebasan berkontrak dengan penekanan kehendak individu memandang pembuat kontrak sebagai suatu tindakan yang tergolong sebagai legislative capacity, dan juga pelaksanaan kontrak oleh negara semata-mata sebagai implementasi hukum perdata yang ditetapkan para pihak. Dengan persepsi kontrak yang demikian itu, membawa kontrak bergeser kapada paradigma bagi hubungan kontraktual dari partially executed kepada the executory contract. Konsekuensi penting lainnya dari bergesernya persepsi kontrak adalah terjadinya suatu transformasi fungsi hukum kontrak yang begitu dalam yang diterima oleh pengadilan. Dalam hal ini Atiyah menyatakan 189 : “The primary function of the law came to be seen as purely facultative, and the function of the Cour was merely to resolve a dispute by working out the implication of what the parties had already chosen to do. The idea that the Court had an independence role to play as a forum for adjusment of rights, or the settlement of disputes, was plainly incosistent with this new approach. The Result was to mark off contract law more clearly from (say) the law of torts-where the function of the law, and is agent the Court, was seen more clearly to be that of resolving a conflict, or adjusting mutual claims. The law of contract became like the law of wills, a device for enabling private individuals to make their own orrangement, and to summon the state to their aid to see those arrangement were adhered to.” Paradigma kebebasan berkontrak dengan penekanan kehendak bebas individu menyebabkan mulai dielaborasi konsep perbuatan hukum (acte juridique, rechtsgeschaft, juristic act) dalam kontrak. Kontrak dipersepsikan tidak hanya sebagai sebuah kesepakatan, tetapi juga sebagai sebuah perbuatan hukum. Kontrak sebagai suatu perbuatan hukum diciptakan oleh hubungan interdependen yang mutualistik yang menyatakan kehendak para pihak yang secara langsung menciptakan akibat hukum bagi keuntungan salah satu pihak atau kedua belah pihak.
189
P.S.Atiyah, The Rise and Fall of Freedom of Contract, Op.Cit., hal 408.
Hubungan yang menyatakan kesepakatan para pihak itu harus interdependen, tanpa ada hubungan interdependen itu, maka tidak ada kontrak. 190 Kehendak para pihak inilah yang menjadi dasar kontrak. Doktrin otonomi kehendak menekankan kebebasan individu untuk membuat kontrak tidak bernama (onbenoemde, innominat contracten). Sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum (I’ordere public order), para pihak bebas membuat kontrak yang mereka inginkan. 191 Prinsip otonomi kehendak merupakan suatu prinsip hukum (juristic principle) yang berkaitan dengan kehendak bebas individu sebagai suatu alat untuk mempertukarkan hak hukum mereka. 192 Teori otonomi kehendak merupakan suatu permasalahan hukum, dan tidak semata-mata sebagai suatu permasalahan politik sebagaimana yang terjadi didalam sistem common law melalui kebebasan berkontrak. Doktrin tersebut menentukan bahwa sumber kewajiban hukum mensyaratkan adanya suatu perbuatan hukum, dan dalam bidang kontrak. 193 Doktrin yang mendasarkan kontrak yang mendasarkan pada kesepakatan bersama memang menjadi standar menyeluruh pada abad sembilan belas. 194 Berdasarkan konsep di atas, Treitel mendefinisikan kontrak sebagai kesepakatan (agreement) yang memiliki kekuatan hukum. Chesire dan Filfoot juga menyatakan hakikat kontrak adalah kesepakatan. 195 Dengan adanya konsensus para pihak, maka konsensus itu menimbulkan kekuatan mengikat kontrak sebagaimana layaknya undang-undang. 196 Sebagaimana dikatakan Pater Gillis, perkembangan hukum kontrak di dalam sistem common law sangat dipengaruhi filsafat laissez faire, maka 190
Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Op.Cit., hal 89-90. John Henry Merryman dan David S. Clark, Comparative Law: Western European and Latin America Legal System, Cases an Material, (Virginia : Michie Company, 1978), hal 891. 192 David E.Ellen, et.al., eds., Asian Contract Law: A Survey on Current Problem, (Carlton : Melbourne University Press, 1969), hal 118. 193 Ibid., hal 105. 194 A.W.B.Simpson, Innovation in Nineteenth Century Contract Law, (The Law Quarterly Review, Vol 91, 1975), hal 266. 195 J.G. Starke,et.al,eds., Cheshire and Fifoot’s Law of Contract, (Sydney : Butterworth, 1992), hal 47. 196 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Op.Cit., hal 101. 191
hakim juga memiliki kecenderungan untuk mengimplementasikan kebebasan berkontrak yang menekankan pada kehendak bebas para pihak. 197 Kehendak bebas para pihak yang menjadi inti hukum kontrak pada abad sembilan belas telah diformulasikan. Kondisi sosial ekonomi, dan hukum yang berkembang saat itu memungkinkan kebebasan berkontrak atau pelaku pelaksanaan kontraktual yang dibuat secara bebas, 198 pandangan ini sesuai dengan pengaruh individualisme dan pengaruh ajaran teori politik liberal ke dalam hukum. 199 Di sini terlihat bahwa teori hukum kontrak klasik yang merupakan refleksi hukum terhadap teori ekonomi laissez faire, telah mengesampingkan atau bahkan memusuhi doktrin iktikad baik. Dalam pandangan teori klasik, sesuai dengan konsep otonomi kehendak dan kesucian kontrak, para pihak tetap terikat pada isi kontrak, sekalipun isi kontrak tidak patut. 200 Beberapa teoritisi, seperti Grant Gilmore dan Brian Coote mendesak atau menuntut arus utama hukum kontrak yang secara radikal sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi abad dua puluh dan mendesak menggantikannya dengan ideologi yang lebih sesuai dengan kondisi dan praktik terakhir. 201 Pesan yang hendak disampaikan Grand Gilmore yang memproklamasikan kontrak telah mati, ekonomi klasik dan struktur hukumnya telah gagal. Dia mengatakan pula bahwa hubungan antara masyarakat dan pemerintah telah berubah secara fundamental. 202 Ada transformasi masyarakat ke arah kesejahteraan sosial (social welfare). 203
197
Peter Gillies, Business Law, (Sydney : The Federation Press, 1993), hal 117. K.M. Sherma, From Sanctity to Fairness: An Easy Transition in The Law of Contract, (New York School Journal of International Law and Comparative Law), Vol 48, hal 105. 199 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Op.Cit., hal 110. 200 A.F.Mason, Contract, Good Faith and Equitable Standard in Fair Dealing, (The law Quarterly Review, Vol 116, 2000), hal 70. 201 K.M. Sherma, From Sanctity to Fairness: An Easy Transition in The Law of Contract, Op.Cit., hal 116. 202 Timoty J.Muris, In Defense of the Old Order, F.H. buckley, ed, The Fall and Rise of Freedom of Contract, (Durham: Duke University Press, 1999), hal 93. 203 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Op.Cit., hal 111. 198
Dengan demikian, sekarang diperlukan struktur teori baru. Perkembangan ini mencakup berbagai perspektif (misalnya legal realism, dimensi agama, analisis hukum dan ekonomi, dan studi kritis tentang hukum) menimbulkan divergensi yang banyak sekali dari teori atau doktrin yang ada, dan fokusnya tertuju pada hubungan antara hukum kontrak dan masyarakat pada tataran mendasar, yakni ideologi hukum kontrak sebagai sarana kontrol sosial. 204 Di Amerika Serikat, putusan U.S. Supreme Court dalam perkara Lochner v. New York (1905) telah membawa adanya serangan yang progresif terhadap kebebasan berkontrak. Serangan yang progresif terhadap kebebasan berkontrak secara gradual berkembang tidak hanya berkaitan dengan sistem kontrak yang ada, tetapi lebih mendasar lagi adalah tantangan bagi adanya fairness dan fair dealing dalam struktur ekonomi. 205 Kritik baik terhadap laissez faire maupun teori kontrak klasik adalah benar berkaitan bahwa memang di dunia ini tidak ditemukan model yang sederhana. Kritik terhadap laissez faire biasanya dikaitkan dengan model ekonomi yang diasumsikan para filosuf tidaklah eksis, yakni adanya kompetensi yang sebenarnya dimana price equal marginal cost, a vast number of sellers are present, and in formation is costless. Timothy J. Muris menyetujui Richard a. Epstein bahwa pandangan laissez faire Aaron Director, dengan its presumption in favor market, menentukan pemahaman yang lebih baik dari peranan teori klasik ekonomi daripada asumsi model yang abstrak. 206 Keberhasilan program perencanaan ekonomi pasca perang dunia I yang berhasil memecahkan permasalahan pengangguran, kemiskinan, perumahan, harga, dan perdagangan yang diakibatkan adanya depresi besar dianggap sebagai titik awal kematian laissez faire,
204
K.M. Sherma., Loc.Cit. Morton J. Horwitz, The Transformation of America Law 1870-1960 The Crisis of Legal Ortodoxy, (New York : Oxford University Press, 1992), hal 34. 206 Timothy J.Muris, In Defense of the Old Order, Op.Cit., hal 94. 205
Pengaturan bagi kewajiban penetapan upah minimum, perlindungan buruh wanita, dan anak, kontrol yang ketat terhadap kontrak-kontrak asuransi, regulasi kegiatan perdagangan, perbankan, tarif perdagangan, dan lain-lain yang terjadi mulai pertiga awal abad dua puluh secara jelas mengindikasikan adanya kemunduran bagi kebebasan perdagangan dan kebebasan berkontrak melalui berbagai kebijakan (policy) pemerintah. 207 Jadi, keberatan terhadap kebebasan berkontrak dan otonomi kehendak dengan pendekatan subjektifnya sebenarnya telah muncul pada akhir abad sembilan belas sendiri. Lahir pendekatan yang bersifat objektif. Pada akhirnya pendekatan subjektif tergeser oleh pendekatan objektif. 208 Objektivisme memberikan jalan bagi mereka yang mendukung intervensi dan regulasi yang ditanamkan secara mendalam ke dalam hukum yang ada, dan dunia otonomi kehendak individualistik ditinggalkan. Teori objektif ini mendukung kepada mereka yang menempatkan dasar kontrak yang diletakkan pada orang yang berjanji dijustifikasi oleh kepercayaan atas suatu janji. Hal ini sangat dibutuhkan dalam masyarakat dan perdagangan. Suatu tes yang objektif dipercaya dapat melindungi “the fundamental principle of the security of business transaction”. 209 Pada 1993, Hakim Fisher J dalam perkara McLaren v. Waikato Reguional Council, (1993) 1 NZLR 710, mengemukakan secara garis besar prinsip interpretasi kontrak. Dalam perkara ini dinyatakan bahwa suatu interpretasi dokumen kontrak harus dibangun secara menyeluruh agar diketahui dengan jelas makna sesungguhnya beberapa klausul yang ada dalam kontrak, Pengadilan tidak boleh mempertimbangkan hal-hal yang mendahului perbuatan atau hubungan sebelumnya, kecuali untuk menentukan fakta apakah yang ada dalam the natural
207
Luis Muniz Arguelles,”A Theory on the Will Theory, Freedom of Contract in Historical and Comparative Perspective, Op.Cit., hal 263. 208 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Op.Cit., hal 115. 209 K.M.Sherma, From Sanctity to Fairness: An Easy Transition in The Law of Contract, Loc.Cit.
contemplation para pihak. Pendekatan subjektif yang mempertimbangkan maksud dan pengertian dari para pihak sebelum, selama berlangsungnya, dan setelah berakhirnya kontrak tidak relevan. Jika dokumen kontrak tidak jelas, maka latar belakang faktual yang diketahui para pihak melalui janji-janji dari kontrak, termasuk suatu penilaian yang objektif, merupakan hal yang relevan. Pengadilan dapat memperhatikan komunikasi para pihak pada masa pra kontrak, bukan ditunjukan untuk mengetahui secara jelas maksud mereka, tetapi untuk mengetahui secara jelas tujuan bersama ketika kontrak dilaksanakan. Hakim Fisher membuat jelas bahwa pengadilan tidak tertarik meneliti pada maksud subjektif para pihak. Pengadilan lebih tertarik untuk menemukan makna dari isi kontrak yang tampak dari konteks umum mereka. Cara lain untuk mengikuti pendekatan ini adalah The question to be answered always is “what is the meaning of what the parties have said ?” not “what did the parties mean to say?”… it being a presumption juris et de jure … that the parties intended to say that which they have said.” 210 Alasan (reason) pendekatan yang kompleks ini sangat sederhana. Alasannya diletakkan pada prinsip bahasa dan komunikasi. Manusia merupakan makhluk yang independen yang memiliki pola pemikiran yang independen. Seseorang tidak dapat membaca pikiran orang lain. Manusia memiliki bahasa, bahasa merupakan cara yang digunakan untuk menyatakan pikiran seseorang secara menyeluruh kepada orang lain. Pikiran seseorang dapat dikomunikasikan kepada orang lain jika diterjemahkan ke dalam kata-kata, kemudian dari kata-kata itu diterjemahkan ulang ke dalam pikiran. 211 Jika kontrak ditekankan pada konsep consensus ad idem, diterjemahkan sebagai pertemuan pikiran atau nalar (meeting of minds), maka salah satu pihak harus paham dan setuju dengan pikiran pihak lainnya. Untuk mendapat pemahaman apa yang dipikirkan para pihak itu 210
Sybrand van Schalkwyk, Subsequent Conduct and Aid to Interpretation, (Canterbury Law Review, Vol 7, 2000), hal 543. 211 Ibid, hal 544.
harus digunakan bahasa untuk menyampaikan pikiran mereka. 212 Oleh karena para pihak menggunakan bahasa untuk menyatakan pikiran dan oleh karena tidak ada cara lain untuk mengetahui pikiran mereka, bahasa yang digunakan harus mewakili pikiran mereka. Berdasarkan alasan di atas, pengadilan tidak tertarik untuk mengetahui maksud sebenarnya (actual intention) para pihak. 213 Pendekatan objektif diterima dalam sistem civil law dan common law. Walaupun kedua sistem hukum itu menerima pendekatan objektif terhadap kontrak, tetapi keduanya memilki perbedaan dalam basis yang digunakan. Basis common law adalah bargain. Basis civil law adalah persesuaian kehendak. Bahkan jika para sarjana hukum common law berbicara tes objektif, mereka, biasanya mengacu kepada metode pembuktian dari bargain dan bukti yang dimungkinkan untuk pembuktian maksud yang sesungguhnya dari pihak tertentu terhadap bargain tersebut. Di lain pihak, para sarjana civil law akan mengacu kepada adanya pernyataan kehendak sebagai perbuatan hukum sebagai basis kontrak dalam keadaan tertentu yang gagal menghubungkan dengan kehendak yang sebenarnya. 214 Menurut perkembangannya kebebasan berkontrak terikat pada batas-batas. Kebebasan berkontrak dikenal dengan freedom of contract tidak jarang diungkapkan dengan liberty of contract yang dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai : 215 “The ability at will, to make or abstain from making , a binding obligation enforced by the sactions at the law. The right to contract about one’s affairs, including the right to make contract of employment, and obtain the best terms one can as the result of private bargaining”. It includes the corresponding right to accept a contract proposed. There is, however, no absolute freedom of contract. The government may regulate or forbid any contract reasonably calculated to affect injuriously public interest. It means freedom from arbitrary or unreasonable restraint, not immunity from reasonable regulation to safeguard public interest; or the right to make contracts with competent persons on a 212
Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Op.Cit., hal 121. Ibid. 214 David E. Ellen, Op.Cit., hal 106. 215 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (A bridged Sixth Edition), hal 458. 213
plane of relative parity or freedom of choice and within the limits allowed or not forbidden by law”. Menurut Johannes Gunawan,
kalimat “There is, however, no absolute freedom of
contract” menunjukkan bahwa kebebasan yang tanpa batas (absolute) sebenarnya tidak dikenal di dalam pembuatan suatu perjanjian atau kontrak, melainkan justru didalam kebebasan tersebut terkandung batas-batas (limits) yang tidak boleh dilampaui dalam pembuatan kontrak. Selain itu Ridwan Khairandy mencatat beberapa hal yang menyebabkan makin berkurangnya asas kebebasan berkontrak, yakni : pertama, makin berpengaruhnya ajaran iktikad baik di mana iktikad baik tidak hanya ada pada saat perjanjian dilaksanakan juga telah harus ada pada saat perjanjian dibuat; dan kedua, makin berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan dalam kontrak. Bersamaan dengan dikembangkannya asas konsensual, dikembangkan pula asas iktikad baik (bona fides). 216 Kontrak (konsensual) tersebut harus didasarkan pada iktikad baik. 217 Dalam hubungannya dengan pelaksanaan hukum modern, pengalaman juga menunjukkan terjadi pelemahan teori kehendak, dan digunakannya kembali keadilan kumutatif. Terjadi sejumlah perkembangan di mana pengadilan dapat mencampuri dan merubah isi kontrak atas dasar kepatutan (iktikad baik). Sayangnya hukum kontrak positif kita yang ada sekarang tidak mengatur bahwa setiap perjanjian wajib didahului dengan iktikad yang baik (good-faith), baik dalam fase pra-kontraktual maupun dalam fase kontraktual. Pengaturan bahwa setiap kontrak wajib didahului dengan iktikad baik (good faith) dalam hukum kontrak di Indonesia ternyata masih berada di tataran moral dan belum sampai ke ranah hukum positif. Akibatnya tentu saja diperlukan peran yang lebih besar dari para hakim selaku pelaksana hukum secara empiris dalam fase pos-kontraktual untuk mengali nilai-nilai keadilan dalam hukum yang hidup dalam 216
Peter de Cruz, A Modern Approach Comparative Law, (Deventer : Kluwer, 1993), hal 173. Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Op.Cit., hal 94.
217
masyarakat dan menerapkannya dalam setiap kasus misrepresentasi yang dihadapinya. 218 KUHPerdata hanya mengakui adanya hak dan kewajiban yang lahir dari hubungan kontraktual yang sudah terbentuk. Dalam pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata ditegaskan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dibandingkan dengan di negara-negara dengan sistem hukum civil law seperti Belanda, Perancis dan Jerman sudah diakui bahwa itikad baik sudah harus ada pada tahap perundingan sebelum lahirnya kesepakatan, sehingga akibat hukum dari janji-janji pra kontrak diakui pula dan jika dilanggar menimbulkan akibat hukum. 219 Selain kedua hal di atas (iktikad baik dan penyalahgunaan keadaan), Setiawan mencatat dua hal lagi yang dapat membatasi kebebasan berkontrak. Makin banyaknya perjanjian yang dibuat dalam bentuk baku yang disodorkan pihak kreditor atas dasar take it or leave it. Di sini tidak ada kesempatan bagi debitor untuk turut serta menentukan isi perjanjian. Juga makin berkembang peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi turut membatasi kebebasan berkontrak. 220 Secara partikal kontrak baku ini sangat praktis dan ekonomis bagi para pelaku bisnis karena dapat disiapkan dalam waktu singkat bila kapan saja harus menghadapi kastemernya dalam berkontrak tentang suatu objek tertentu karena faktor efisiensi serta kecepatan pelayanan bagi kastemer masing-masing, akan tetapi patut pula dicermati dan diwaspadai bahwa dengan penanda-tanganan akta atau surat perjanjian yang termasuk kontrak baku ini ternyata telah menempatkan kedudukan sang kastemer dalam posisi yang lemah dan tidak seimbang dengan pelaku bisnis itu sendiri, padahal dari sudut ekonomi pelaku bisnis itu berada dalam posisi sebagai pihak yang kuat dan yang menurut ajaran atau teori fiducia maupun filosofi bangsa kita tidak patut diperlakukan sewenangwenang, karena hukum kontrak menentukan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak dan perjanjian itu harus dilaksanaakan dengan iktikad baik. 221
218
Syahril Sofyan, Op.Cit., hal 115. Bayu Seto Hardjowahono et al., Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Hukum Kontrak, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan HAM RI 2013, hal 22 220 Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia Dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama) Op.Cit., hal 89. 221 Syahril Sofyan, Loc.Cit. 219
Dari sudut pembuatannya saja terlihat bahwa kontrak baku ini disediakan dan disiapkan oleh pihak yang secara ekonomis lebih kuat atau lebih mapan guna mengikat kastemernya sebagaimana yang telah diuraikan di atas dan lazimnya berisi hak-hak dari pihak yang lebih kuat dan selebihnya hanya berisi kewajiban-kewajiban pihak yang lemah atau kastemer yang bersangkutan, oleh karena itu boleh dikata bahwa kontrak baku ini jauh dari posisi seimbang dari para pihaknya. 222 Dari segi asas hukum perjanjian, yaitu asas kebebasan berkontrak, kontrak baku adalah bentuk yang memang paling efisien dan mudah serta murah dalam mempersiapkannya karena tidak memerlukan waktu yang panjang dan bertele-tele dalam merancang kontrak itu sekaligus tidak perlu mengakomodasi kepentingan hukum kedua belah pihak yang ada kalanya memakan waktu lama dan panjang dalam mencari datanya dalam fase negosiasi pra-kontraktual. Khusus terhadap kontrak antara offeror dengan calon nasabah yang memiliki posisi tawar yang seimbang (arm’s length) dengan offeror, akan memerlukan waktu lama pula untuk mencapai kesamaan persepsi terhadap rancangan kontrak yang akan ditandatangani para pihak dalam fase prakontraktual pasca representasi maupun pasca negosiasi. 223 Apalagi kalau dikaitkan dengan persiapan merancang draft kontrak itu sendiri yang akan memakan waktu yang relatif lama dan yang dikuatirkan pula oleh pemilik barang atau penyedia jasa bahwa calon nasabah yang bersangkutan akan berubah pikiran pula karena lamanya waktu mempersiapkan draft kontrak dimaksud. 224 Dengan kata lain yang relatif lama dan yang dikuatirkan pula oleh pemilik barang atau penyedia jasa bahwa calon nasabah yang bersangkutan akan berubah pikiran pula karena lamanya waktu mempersiapkan draft kontrak dimaksud. 225 Bagi pelaku usaha tindakan yang cepat dalam menjalankan keputusan bisnis adalah hal yang sangat penting. Pembuatan konsep kontrak yang relatif lama dikuatirkan pula oleh pemilik
222
Ibid, hal 118. Ibid. 224 Ibid, hal 117. 225 Ibid, hal 116. 223
barang atau penyedia jasa bahwa calon kastemer yang bersangkutan akan berubah pikiran pula karena lamanya waktu mempersiapkan draft kontrak dimaksud. 226 Dalam hukum Indonesia pasal 1338 ayat (1) junto pasal 1320 KUHPerdata mengakui asas kebebasan berkontrak dengan menyatakan, bahwa semua perjanjian yang dimuat secara sah mengikat para pihak sebagai undang-undang. Sedangkan syarat sahnya harus memenuhi unsurunsur, kesepakatan mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Dengan asas kebebasan berkontrak orang dapat menciptakan jenis kontrak baru yang sebelumnya tidak dikenal di dalam perjanjian bernama dan isinya menyimpang dari kontrak bernama yang diatur oleh undang-undang, yakni Buku III KUHPerdata. Kontrak tersebut dikenal sebagai kontrak tidak bernama. Berkaitan dengan hal diatas Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan kebebasan berkontrak di Indonesia meliputi 227 : pertama, kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian; kedua, kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian; ketiga, kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang dibuat; keempat, kebebasan untuk menentukan objek perjanjian; kelima, Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian; keenam, kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undangundang yang bersifat opsional (annvullend, optional). Ahmadi Miru mengemukakan bahwa asas kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan pada seseorang untuk membuat aturan tertentu dalam suatu kontrak, yaitu 228 : pertama, bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak, kedua, bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian, ketiga, bebas menentukan isi klausul perjanjian, keempat, bebas menentukan bentuk perjanjian, kelima, kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
226
Loc.Cit. Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hal 47. 228 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak , (Jakarta : PT Raja Grafindo, 2007), hal 4. 227
Sebagai bentuk transaksi bisnis yang didukung perangkat teknologi moderen kontrak derivatif lahir dari perjanjian tidak bernama menganut asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). 229 Pengaruh dan tuntutan zaman akibat perkembangan teknologi informasi dan pasar uang yang menganut rezim pasar bebas dan berlaku hukum pasar zero sum game. 230 Mencermati perkembangan transaksi derivatif pasca kasus derivatif tahun 2008 dan 2009. Maka kebebasan berkontrak yang dijadikan dasar hukum transaksi derivatif adalah kebebasan yang perlu untuk dibuat pembatasan. Pembatasan tersebut selain lahir dari iktikad baik, pelarangan penyalahgunaan keadaan juga yang terpenting adalah perlunya intervensi pemerintah dalam bentuk perundang-undangan, terutama ketika perbuatan hukum dalam perjanjian tersebut menyentuh kepada kepentingan publik seperti transaksi derivatif yang dapat mengganggu perekonomian nasional di Indonesia. Dengan demikian maka kontrak derivatif yang merupakan bagian dari transaksi bisnis moderen dapat didukung dengan aturan main jelas. Sejalan dengan hal tersebut, pemikiran tentang pembentukan Undang-Undang hukum kontrak nasional sudah pernah dikeluarkan Kementerian Hukum dan HAM RI tahun 2013 namun kajian akademik tersebut masih membahas tentang hukum kontrak yang masih umum dan perlu dipertajam. 231
229
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum (Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya), (Jakarta : Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan Perkumpulan Untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (HUMA), 2002), hal 292, Dalam ilmu sosiologi hukum kebebasan berkontrak digambarkan sebagai “Terbebaskan dari pasungan tradisi yang selama ini mengusung para warga di dalam status-status dan polapola interaksional antar-status yang secara normatif bersifat baku, kini dalam organisasi kehidupan yang baru itu para warga menjadi berkebebasan untuk mengikatkan diri secara kontraktual ke dalam berbagai hubungan, atau juga untuk mengakhiri ikatan-ikatan itu.” 230 Akses internet terakhir dikunjungi tanggal 16 Nopember 2014, http://www.businessdictionary.com /definition/zero-sum-game.html#ixzz3JFe9uN4t, Zero Sum Game didefenisikan sebagai : In decision theory, situation where one or more participants' gain (loss) equals the loss (gain) of other participants. Thus, a gain (loss) for one must result in a loss (gain) for one or more others. Also called constant sum game. Or In game theory and economic theory, a zero-sum game is a mathematical representation of a situation in which a participant's gain (or loss) of utility is exactly balanced by the losses (or gains) of the utility of the other participant(s). 231 Dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Hukum Kontrak, yang dibuat Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI tahun 2013, disebutkan “Hukum kontrak merupakan bidang hukum yang sangat penting bagi Indonesia di era globalisasi terutama dalam mendukung kegiatan di sektor perdagangan dan transaksi-transaksi bisnis internasional. Melihat urgensi dari pembaharuan hukum kontrak Indonesia ini, maka BPHN mengambil inisiatif untuk memulai upaya pengembangan hukum nasional pada tataran
2. Kontrak Derivatif Valuta Asing Tidak Diatur Dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata Hukum kontrak mengatur pembentukan dan pelaksanaan kontrak. Kontrak merupakan kesepakatan tertulis yang memuat janji-janji berupa ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang dibuat oleh dan di antara para pihak. Supaya suatu kontrak dapat eksis harus terdapat suatu tawaran dan penerimaan. Sebagai tambahan, janji-janji yang saling dipertukarkan harus bernilai atau memiliki pertimbangan keuntungan, atau menjadi suatu keuntungan bagi tiap pihak sebagai hasil dari kesepakatan (deal). Apabila salah satu pihak tak mengikuti janji atau kesanggupannya, maka kontrak itu sudah ”cedera” (breached). Seringkali, alasan kontrak derivatif dilanggar karena kondisi ekonomi yang berkenaan dengan kontrak sudah berubah dan kontrak itu sudah tak lagi menguntungkan. Kontrak diatur oleh statutory law (kebiasaan) dan private law (hukum perdata). Dalam tradisi civil law, suatu perikatan dapat terbit dari perbuatan hukum yang merupakan manifestasi dari kehendak satu pihak saya (unilateral juridical act), atau perbuatan hukum yang merupakan manifestasi dari pertukaran kehendak yang dinyatakan dan disepakati oleh para pihak (exchange of wills) dan menjadikannya sebagai bilateral juridical act. 232
ini dengan menyusun sebuah Naskah Akademik Rancangan Undang-undang (RUU) Hukum Kontrak. Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-undang Hukum Kontrak dilaksanakan oleh sebuah Tim yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor: PHN.17.HN 01.03 Tahun 2012 tentang Pembentukan Tim Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-undang Tahun 2012. 232 Lihat Bayu Seto Hardjowahono et al., Op.Cit., hal 19, Secara tradisional, tradisi civil law memahami pembedaan ke dalam bilateral atau unilateral contracts. Berdasarkan pemikiran ini, sebuah kontrak dianggap Unilateral apabila satu atau beberapa pihak mengikatkan diri pada satu atau beberapa pihak lain, tanpa ada kewajiban yang terbit pada pihak lain itu. Sedangkan kontrak Bilateral adalah kontrak di mana masing-masing pihak mengikatkan diri untuk mentransfer atau melakukan sesuatu yang dianggap setara dengan apa yang ditransfer atau dilakukan baginya (oleh pihak yang lain). Jadi pembedaan unilateral dan bilateral diletakkan pada ada tidaknya kewajiban yang bersifat resiprokal pada saat pelaksanaan kontrak. Bandingkan dengan Konsep yang disimpulkan oleh Tim dalam halaman yang sama dikutip dari Chapter 4, Topic 1, Par. 71 Restatement (Second) of Contracts, Amerika Serikat. American Law Institute, Restatement (Second) of Contracts, 1981: Menjelaskan dalam tradisi Common Law, konsep Unilateral dan Bilateral bertitik tolak dari kontrak sebagai manifestasi dari adanya satu kehendak (unilateral) atau dua kehendak (bilateral) ketika pembentukan kontrak. Apabila pembentukan kontrak diawali dengan adanya penawaran dari pihak offeror yang berjanji untuk melakukan (atau tidak melakukan) suatu tindakan tertentu bila pihak yang lain (offeree) bersedia untuk melakukan (atau tidak melakukan) tindakan tertentu lain, sedangkan pihak yang lain itu (offeree) samasekali tidak terikat untuk membuat janji apapun (option contracts), maka kontrak adalah unilateral. Suatu kontrak baru dipahami sebagai bilateral apabila, baik pihak offeror maupun pihak offeree saling mengikatkan diri untuk melakukan (atau tidak melakukan) sesuatu untuk kepentingan pihak
Kebiasaaan lazimnya menghendaki bahwa kontrak harus dibuat tertulis, kalau tidak menjadi tidak sah. Hukum perdata mengizinkan (membolehkan) kontrak lisan, bagaimanapun, selalu dengan tegas mengikuti istilah-istilah atau syarat-syarat persetujuan di antara para pihak dan merupakan hal yang lebih sulit untuk dilaksanakan. 233 “Contract law governs the creation and enforcement of contracts. Contracts are promises made between parties. In order for a contract to be enforceable, there must be an offer by one party and acceptance by the other party. In addition, the promises that are exchanged must be worth valuable consideration, or be of benefit to each party as a result of the exchange. When one party does not follow through with their promise, then the contract is “breached” oftentimes, the reason a contract is breached is because the economic conditions surrounding the contract have changed and the contract is no longer a benefit. Contracts are regulated by both statutory law and private law. Statutory law usually requires that contract be put in writing, otherwise the contract is invalid. Private law allows oral contracts; however, it strictly follows the terms of the agreement between the parties and is more difficult to enforce.” 234 Kontrak derivatif dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian khusus (sui generis) dan tidak bisa dimasukkan kepada salah satu jenis perjanjian khusus atau bernama sebagaimana diatur dalam KUHPerdata maupun perjanjian yang telah ada dalam praktik perbankan dewasa ini. 235 Sehingga kontrak derivatif dimasukkan dalam kontrak tidak bernama dan lebih mengedepankan asas kebebasan berkontrak. Ternyata asas kebebasan berkontrak yang dijadikan dasar kontrak derivatif mengacu kepada standar yang dibuat ISDA (International Swaps and Derivative Association). Bank sudah merasa benar dan membuat kontrak secara tertulis dan menganggap nasabah telah menyetujui isi perjanjian dibuktikan dengan tandatangan dan cap ibu jari yang
yang lain secara resiprokal. Tidaklah terlalu mengherankan bahwa dalam tradisi common law ini untuk terbentuknya sebuah kontrak bilateral (simple contracts) dituntut adanya syarat consideration. Di dalam sistem hukum Amerika Serikat, consideration diartikan sebagai “kewajiban adanya pertukaran” (requirement of exchange) yang berupa pelaksanaan janji atau janji-balik yang dibuat salah satu pihak sebagai pertimbangan yang “setara” (bargained for) terhadap janji yang dibuat pihak yang lain. Suatu tindakan atau janjibalik dianggap “setara” apabila ia diminta oleh pihak pemberi janji (promisor) sebagai imbalan atas janji yang diberikannya, dan diberikan oleh pihak penerima janji (promisee) sebagai imbalan atas janji promisor itu 233 Syahril Sofyan, Op.Cit., hal 35. 234 Akses internet terakhir dikunjungi tanggal 17 Nopember 2014 http://www.pickalawyer.com/ Contract.htm 235 Dian Ediana Rae, Op.Cit., hal 213.
dibubuhkan pada akte perjanjian. Sementara dari sisi nasabah menganggap penandatanganan kontrak adalah syarat formal bagi nasabah yang akan berhubungan dengan bank sehingga wajib dipenuhi meskipun tidak mengetahui isi perjanjian tersebut.
Hal ini menjelaskan bahwa
transaksi derivatif valuta asing harus dipahami lebih mendalam sebagai transaksi yang memiliki kepribadian yang khas, memiliki karakter transaksi yang bersifat spesifik dalam berbagai jenis mata uang, menjangkau lintas wilayah dan lintas negara. Selain itu perlu dipikirkan bahwa keabsahan dari perjanjian-perjanjian derivatif yang digantungkan pada sesuatu yang ada di masa depan (future contracts). Sebagai transaksi lintas batas negara (cross border). Kontrak derivatif valuta asing adalah jenis-jenis transaksi yang berisiko tinggi, canggih dan bersifat global dan melibatkan berbagai yurisdiksi hukum yang berbeda. Dengan pertimbangan tersebut diperlukan campur tangan negara dalam membuat aturan yang dapat menjawab kecanggihan sistem keuangan di dunia. Industri perbankan Indonesia sudah tentu terpengaruh oleh proses “globalisasi” dan “multinasionalisasi” tersebut, misalnya bank-bank dapat melakukan transaksi valuta asing di pasar uang internasional dan ada beberapa bank nasional sudah membuka cabang di luar negeri. 236 Selain itu dengan adanya liberalisasi perbankan di berbagai negara termasuk Indonesia dan kemajuan teknologi komputer dan informasi telah membuat industri perbankan beroperasi melewati lintas batas negara atau disebut juga dengan internasionalisasi perbankan.237 Pertumbuhan perekonomian yang pesat tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sistem keuangan yang semakin moderen. Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan 236
Yunus husein, Rahasia Bank (Privasi versus kepentingan umum), (Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia Program Pasca Sarjana. 2003), hal 96. 237 Ibid., hal 95. Lihat juga J.J. Norton, et.al., (ed), International Banking Regulation and Supervision; Change and Transformation in the 1990, (London: Graham & Trotman/Martinus Nijhoff, 1994), hal. 263. Internasionalisasi perbankan mengandung dua elemen, yaitu bank ikut dalam proses “globalisasi” dan proses “multinasionalisasi”. Proses “globalisasi” menunjuk pada “single global financial market” karena pasar uang domestik menjadi terintegrasi dan saling tergantung satu sama lain. Sementara proses “multinasionalisasi” diartikan sebagai proses ekspansi perbankan melewati batas negara.
pesatnya kemajuan dibidang teknologi informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang semakin kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar-lembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan. Sektor keuangan memainkan peranan krusial dalam sistem perekonomian melalui pertumbuhan ekonomi, akumulasi kapital, dan inovasi teknologi. 238 Transaksi derivatif adalah hasil dari inovasi keuangan dan globalisasi sistem keuangan yang perlu diawasi karena melibatkan kecanggihan transaksi dan menggunakan teknologi. Oleh karena itu dapat dimaklumi transaksi derivatif ini menimbulkan kekhawatiran dari pihak otoritas pengawas dan regulator industri keuangan. Pengembangan produk derivatif dianggap memberikan paradigma baru sebagai suatu revolusi yang pentingnya sebanding dengan revolusi industri. 239 Pentingnya mengawasi dan mengatur transaksi derivatif sejalan dengan banyaknya kasus transaksi derivatif yang mengakibatkan kerugian. Pernyataan tersebut sebenarnya kurang tepat dan belum sempurna mengingat transaksi derivatif dalam banyak hal justru dapat membantu menurunkan risiko usaha seperti lindung nilai. 240 Bentuk-bentuk kontrak future dan option yang digunakan untuk lindungi nilai berbagai risiko harga (price risks). 241 Pokok persoalan pada kontrak derivatif selama ini adalah bank menawarkan transaksi derivatif kepada nasabah bukan
238
Lihat R. Levine, “Financial Development and Economic Growth (Views and Agenda,” dalam Journal of Economic Literature, Vol. 35, 1997), hal. 688-726.376 Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012. 239 Alfred Steinherr, Loc.Cit. 240 Dian Ediana Rae, Op.Cit., hal 6. 241 Ibid, hal 48.
untuk tujuan lindung nilai melainkan untuk tujuan trading/spekulatif dengan maksud untuk meningkatkan pendapatan diluar usaha tradisional seperti pemberian kredit. 242 Berdasarkan pemaparan di atas diperlukan keterlibatan pemerintah untuk memberikan aturan yang lebih tegas terhadap transaksi yang diwajibkan dan yang dilarang. Keterlibatan pemerintah dapat dilakukan dengan usulan dan pembentukan aturan undang-undang beserta aturan terkait lainnya yang berguna untuk memberikan aturan dan parameter yang jelas kepada bank dan nasabah sehingga kebebasan berkontrak sebagai perjanjian tidak bernama dalam transaksi derivatif bukan menjadi aturan tanpa batas. Untuk mewujudkan tujuan-tujuan kontraktual perlu dikembangkan norma-norma hukum dalam bentuk sekumpulan asas dan aturan hukum yang umumnya dipahami sebagai hukum kontrak atau hukum perjanjian (law of contracts) yang diharapkan dapat meningkatkan kepastian (certainty), keadilan (fairness), dan prediktabilitas (predictability) dan pada saat yang bersamaan menjadi alat bagi para pihak untuk mengelola risiko (risk management tool). 243 Dengan kata lain sifat-sifat dasar hukum kontrak derivatif
itu juga harus pula mampu mengakomodasi kepentingan-kepentingan bersama
(common interests) dan kesejahteraan bersama (common good). Di titik inilah orang mulai mempersoalkan peran dan fungsi negara dalam penegakan hukum kontrak.244 Aturan hukum memaksa diartikan secara luas dan mencakup peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa maupun prinsip-prinsip umum tentang ketertiban umum (public order). 245 Kenyataan
242
Dalam banyak kasus yang berkaitan dengan transaksi derivatif valuta asing bukan pada tujuan utama yaitu hedging (lindung nilai). Kegiatan trading perbankan pada saat ini telah menjadi suatu kenyataan yang antara lain diakibatkan oleh tuntutan persaingan usaha antara bank maupun antar-bank dengan lembaga-lembaga keuangan lain. Sebagaimana akan terlihat dari pembahasan disertai ini selanjutnya, penetapan modal bank berdasarkan risiko (risk base capital charge) tidak cukup memadai untuk melindungi bank terhadap kemungkinan exposure risiko. Sementara itu, kegiatan-kegiatan yang bukan tradisional menjadi semakin meningkat diantaranya masuk dalam pasar valuta asing. 243 Bayu Seto Hardjowahono, Op.Cit., hal 2. 244 Ibid. 245 Ibid., hal 13, Mengutip UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts (UPICC), official comment Article 1.4, butir 2,. Dalam konteks kontrak internasional, UPICC menetapkan prinsip bahwa aturan
inilah yang menerbitkan kebutuhan bagi para pihak untuk memperoleh perlindungan hukum terhadap harapan-harapan sah yang ingin dicapai melalui transaksi-transaksi yang dibuatnya (the protection of the legitimate expectations of the parties), khususnya dalam
mengantisipasi
terjadinya risiko-risiko yang dapat menghambat upaya tersebut. 246 Dengan demikian kontrak derivatif memerlukan reformasi selain mengacu kepada standar ISDA. Perlu dipikirkan konsep kontrak derivatif tidak hanya dapat hanya berlangsung di dalam domain kepentingan individual para pihak saja.
3. International Swaps and Derivative Association (ISDA) Mengamati berbagai perkembangan pengaturan transaksi derivatif di berbagai negara, tampaknya tidak terdapat suatu pola pengaturan yang umum. Walaupun transaksi derivatif merupakan suatu transaksi yang bersifat global, dalam pengaturannya masih tunduk kepada pengaturan hukum domestik dengan penambahan berbagai standar yang ditetapkan oleh organisasi internasional seperti The International Swaps and Derivative Association (ISDA) 247. International Swaps and Derivatives Association (ISDA) dimaksudkan dalam rangka memudahkan para pelaku transaksi derivatif telah mengeluarkan dokumentasi yang digunakan sebagai “guideline” di mana para pihak bebas untuk memilih tunduk kepada ISDA atau tidak. 248
hukum memaksa yang harus dipatuhi para pihak adalah aturan hukum memaksa yang berlaku di negara yang sistem hukumnya seharusnya berlaku karena ditunjuk oleh aturan aturan HPI. 246 Ibid. 247 www.isda.org. ISDA sejak tahun 1985 telah bekerja membuat pasar derivatif yang aman dan efisien dibidang keuangan dan pasar derivatif. ISDA memiliki anggota lebih dari 800 anggota institusi dari 64 negara. Anggota-anggota mencakup pasar over the counter (OTC) derivatif yang luas termasuk korporasi, manajer investasi, badan pemerintah dan supranasional, perusahaan asuransi,perusahaan energi dan komoditas, bank Internasional maupun regional. Selain dari anggota pasar komponen penting dari infrastuktur pasar derivatif juga menjadi anggota seperti bursa, lembaga penyelesaian transaksi dan penyimpanan dan juga firma hukum, firma akuntansi dan penyedia jasa lainnya. 248 Dian Ediana Rae, Op.Cit., hal 74.
The International Swaps and Derivatives Association (ISDA) baru-baru ini mengeluarkan Model Undang-Undang Netting 2006, yang merupakan model law yang akan memastikan berlakunya close-out netting bilateral maupun multi-branch, dan juga berlakunya pledge dan title transfer dalam pengaturan agunan (collateral arrangements). Model law ini merupakan model bermanfaat dan sumber yang penting untuk yurisdiksi yang ingin merancang dan menerapkan reformasi legislatif. 249 Persoalan lain dari pengaturan transaksi derivatif adalah sifat lintas batas (cross border) dari transaksi derivatif yang tersebar dalam aturan yang dibuat oleh organisasi internasional seperti : 250 Pertama, Bank for International Settlement (BIS); Kedua, Group of Thirty (G30); Ketiga, International Swaps and Derivatives Association (ISDA); Keempat, International Organization of Securities Commissions (IOS-CO). Ketentuan mengenai transaksi derivatif yang dikeluarkan oleh berbagai negara dewasa ini pada umumnya mengacu kepada ketentuan internasional tersebut di atas dan cenderung dalam bentuk pedoman (guidelines). Secara nasional, sektor keuangan diatur dengan berbagai produk hukum seperti undang-undang, peraturan pemerintah, surat keputusan. Dalam beberapa tahun terakhir, kemampuan organisasi/asosiasi yang menerapkan selfregulation tersebut mulai dipertanyakan. Sebahagian karena semakin banyaknya bukti bahwa beberapa pelanggar hukum paling berat merupakan bagian dari asosiasi tersebut yang menunjukkan sedikit keinginan untuk tunduk kepada aturannya sendiri. Apa yang sebelumnya
249
Ibid, hal 185. Ibid, hal 161.
250
dipandang sebagai masalah privat dari self-regulation kini menjadi masalah yang melibatkan kepentingan publik, dan sebagai konsekuensinya keterlibatan negara dianggap perlu. 251 Dalam praktek transaksi derivatif yang menggunakan standar kontrak yang dibuat ISDA mengalami permasalahan di Indonesia. Dalam kasus Sengketa antara PT.Bangun Karya Pratama Lestari dengan Nine AM Ltd, dimana duduk perkaranya sebagai berikut 252 : PT.Bangun Karya Pratama Lestari adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan badan hukum Negara Republik Indonesia selaku penggugat dan Nine AM Ltd adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum yang berlaku di Negara bagian Texas, Amerika Serikat adalah tergugat. Kedua belah pihak mengadakan perjanjian pinjam meminjam (loan agreement), tanggal 23 april 2010 dimana penggugat selaku debitur mendapat pinjaman sebesar USD 4,422,000.- untuk membeli 6 (enam) truk Caterpillar. Bahwa dalam pasal 18 perjanjian tersebut (loan agreement) menentukan “Perjanjian ini diatur oleh dan ditafsirkan menurut hukum yang berlaku di Republik Indonesia. Mengenai perjanjian ini dan segala akibatnya, debitur memilih domisili hukum tetap di Kantor Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Sekalipun perjanjian tunduk kepada hukum di Indonesia tetapi dibuat dalam bahasa Inggris. Menurut penggugat perjanjian tersebut dalam bentuk standar kontrak dimana debitur selaku penggugat tinggal menandatangani saja. Dalam gugatannya debitur melalui kuasa hukumnya menyatakan bahwa perjanjian dibuat tidak menggunakan bahasa Indonesia melainkan dalam bahasa Inggris, maka berdasarkan pasal 31 ayat (1) UU No. 24 tahun 2009 perjanjian tersebut batal demi hukum atau setidak-tidaknya tidak memiliki kekuatan mengikat (null & avoid; nietig). Dalam hal ini suatu perjanjian derivatif haruslah
251
GeorgeP.Gilian, Regulating the Financial Services Sector, (The Hague-London-Boston: Kluwer Law International, 1999), hal 3. 252 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No.451/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar. tanggal 20 juni 2013, Dalam kasus Sengketa antara PT.Bangun Karya Pratama Lestari melawan Nine AM Ltd.
dicermati oleh kedua belah pihak dikarenakan tingkat kerumitan yang ditawarkan perjanjian ini amatlah tinggi. 253 . Debitur selaku penggugat memberikan alasan berpedoman pada syarat sahnya perjanjian pada pasal 1320 KUHPerdata salah satunya adalah suatu sebab yang halal serta pasal 1335 KUHPerdata “Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum”. Serta pasal 1337 KUHPerdata yang isinya “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh Undang-Undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Tergugat Nine AM Ltd menolak gugatan penggugat dengan menyatakan bahwa pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan berisi “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga Negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, Lembaga swasta Indonesia atau perseorangan Warga Negara Indonesia”.Tergugat menyebutkan bahwa dalam pasal 40 UU No.24/2009 dinyatakan “Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan bahasa Indonesia, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 26 sampai dengan pasal 39 diatur dalam Peraturan Presiden.” Dalam Putusannya Pengadilan Jakarta Barat memenangkan penggugat dengan pertimbangan bahasa Indonesia w a j i b digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan Negara, Instansi Pemerintah Republik Indonesia, Lembaga Swasta Indonesia atau perorangan Warga Negara Indonesia. Pengadilan negeri Jakarta Barat menyebutkan Peraturan Presiden sebagai Peraturan Pelaksanaan UU No.24 tahun 2009 yang dimaksud tergugat tidak melumpuhkan kata “wajib” yang disebutkan dalam pasal 31 ayat (1) UU No. 24 tahun 2009 karena Peraturan Presiden mempunyai kedudukan yang lebih rendah dari Undang-Undang. Tidak dibuatnya perjanjian tersebut dalam Bahasa Indonesia merupakan perjanjian terlarang(Vide pasal 1335 KUHPerdata 253
Anggryane N. Solang, Op.Cit., hal 18.
jo. Pasal 1337 KUHPerdata). Dengan tidak terpenuhi syarat esensialia dari syarat sahnya suatu perjanjian sehingga Pengadilan memutuskan perjanjian (loan agreement) tertanggal 23 april 2010 yang ditandatangani oleh Penggugat dan Tergugat adalah batal demi hukum. Dalam jawaban yang diberikan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia pada tanggal 28 desember 2009 kepada 11 (sebelas) Associates Pengacara perihal klarifikasi atas implikasi dan pelaksanaan UU No.24 tahun 2009 disebutkan penandatanganan perjanjian privat komersial (private commercial agreement) dalam bahasa Inggris tanpa disertai versi bahasa Indonesia tidak melanggar pernyaratan kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang tersebut. Alasannya, dimaksud dengan “lembaga swasta” disini adalah bukan lembaga publik (terkait dengan pemerintah). Dengan demikian, perjanjian yang dibuat dalam versi bahasa Inggris tersebut tetap sah atau tidak batal demi hukum atau tidak dapat dibatalkan, karena pelaksanaan pasal 31 Undang-Undang tersebut menunggu sampai dikeluarkannya Peraturan Presiden sebagaimana ditentukan dalam pasal 40 Undang-Undang No.24 tahun 2009. Terkait asas kebebasan berkontrak maka para pihak pada dasarnya secara formal bebas menyatakan apakah bahasa yang digunakan dalam kontrak adalah bahasa Indonesia atau bahasa Inggris atau keduanya. Jika Peraturan Presiden tentang penggunaan bahasa Indonesia (sebagai implementing regulation) ditetapkan dan diundangkan maka para pihak secara formal terikat ketentuan dalam Peraturan Presiden tersebut yakni selain menggunakan bahasa Inggris juga diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia. Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran terhadap kata, frasa, atau kalimat dalam perjanjian maka para pihak bebas memilih bahasa mana yang dipilih untuk mengartikan kata, frasa, atau kalimat yang menimbulkan penafsiran dimaksud. 254
254
Ibid.
Hal tersebut telah banyak mengakibatkan adanya “kesenjangan” antara kebutuhan spesifik perusahaan dengan kebutuhan pengaturan secara umum. 255 Secara umum pasar derivatif merupakan pasar antar negara dimana transaksi-transaksi sering terjadi antara para pihak yang terletak di yurisdiksi yang berbeda. Dokumen ISDA yang pada dasarnya terdiri dari perjanjian induk ISDA dan data pendukung lainnya merupakan dokumen standar pasar global untuk transaksi derivatif. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris sebagai bahasa utama dalam perdagangan internasional dan transaksi keuangan. Para pihak yang masuk dalam transaksi dengan pihak lain berdasarkan perjanjian ISDA diwajibkan mendokumentasikan bahasa Indonesia dapat menghentikan anggota-anggota Indonesia dalam pasar over the counter (OTC ) derivatif global. 256 Menterjemahkan dokumen hukum, khususnya dokumen transaksi keuangan seperti ISDA kedalam bahasa Indonesia bukan merupakan hal yang mudah. ISDA dan anggota-anggotanya menyadari bahwa menghasilkan suatu terjemahan dokumen ISDA dengan kwalitas yang baik akan memakan waktu dan tenaga. Waktu adalah sangat penting untuk masuk kedalam setiap transaksi derivatif karena harga yang berlaku adalah nilai pasar yang berlaku pada saat itu. Sehingga apabila diwajibkan untuk menyepakati terjemahan bahasa Indonesia pada saat yang sama dengan bahasa Inggris, hal ini akan membuat para pihak secara praktis tidak mungkin melakukan transaksi. Demikian juga sebaliknya pihak asing yang akan bertransaksi yang harus mengurus infrastuktur dalam bahasa Indonesia dapat memutuskan untuk tidak bertransaksi dengan pihak Indonesia sama sekali. Saat ini banyak transaksi valuta lewat pesan SWIFT yang 255
Dian Ediana Rae, Op.Cit., hal 135. Lihat surat yang diajukan pengurus The International Swaps and Derivatives Association, Keith Noyes selaku Regional Director, Asia Pasific dan Jacqueline ML Low selaku Senior Counsel Asia kepada Menteri Koodinator bidang Kesejahteraan Rakyat, Menteri Keuangan, Menteri Badan Usaha Milik Negara, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kepala Deputi 5 Bidang Koordinasi Kebudayaan, pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. 256
merupakan konfirmasi elektronik, sebagai perkembangan aturan derivatif global yang mewajibkan konfirmasi secara elektronik yang menghemat biaya dan efisien. Dodd-Frank Act Amerika Serikat dan European Market Infrastructure Regulation Uni Eropah mewajibkan konfirmasi untuk sesegera mungkin dipertukarkan dan disetujui. Menjadi permasalahan baik SWIFT maupun platform konfirmasi elektronik global lainnya tidak menerima bahasa Indonesia. 257 Dalam pengamatan peneliti tanggapan tersebut di atas lebih banyak dititikberatkan kepada kepentingan bisnis dan kurang perhatian terhadap sistem pengamanan mikro dan makro keuangan. 258 Khusus untuk transaksi derivatif valuta asing di bank sudah selayaknya bank memberikan dan menyediakan terjemahan bahasa Indonesia. Masalah ini akan menjadi masalah penting dalam upaya membangun suatu sistem enforced self-regulation yang dapat dipercaya (credible). 259
C. Transaksi Derivatif Valuta Asing Dalam Perspektif Economic Analysis Of Law Pendekatan ilmu ekonomi terhadap hukum bukanlah hal baru. Hal tersebut dapat dijumpai dalam karya para penganut utilitarianisme misalnya Cesare Bonesara (1764) and Jeremy Bentham (1789); karya ekonomi politik Adam Smith (1776) and Karl Marx (1861); serta aliran American Institutionalist School yang dikaitkan dengan karya John R. Commons (1929). 260 Pada intinya studi economic analysis of law atau law and economics maupun economics of law adalah sebuah bidang studi yang mempelajari penerapan metode-metode ilmu ekonomi untuk mengatasi problematika hukum yang muncul dalam kehidupan masyarakat 257
Ibid. Dian Ediana Rae, Op.Cit., hal 136. 259 Ibid, hal 138. 260 Cento Veljanovski, The Economics of Law, Ed. 2, (London: The Institute of Economic Affairs, 2006), 258
hal. 27.
sehari-hari. 261 Teori ekonomi yang dapat digunakan misalnya teori harga (price theory) dan metode statistika yang diaplikasikan untuk menguji pembentukan, struktur, proses dan pengaruh dari suatu institusi hukum. 262 . Dengan kata lain
mempergunakan economics analysis of law adalah menggunakan
prinsip-prinsip ekonomi untuk menganalisa permasalahan hukum. 263 Ekonomi menyediakan teori-teori ilmiah untuk memprediksi efek dari sanksi hukum terhadap perilaku manusia. Bagi ekonom, sanksi terlihat seperti suatu harga. Ekonomi memiliki teori matematika yang tepat (price theory dan game theory) dan metode empiris (statistik dan ekonometri) untuk menganalisis efek harga dalam berperilaku. 264 Ekonomi juga menyediakan standar normatif dalam mengevaluasi hukum dan kebijakan (law and policy). Hukum bukanlah sekedar argumenargumen teknis, melainkan merupakan suatu instrumen penting untuk mencapai tujuan-tujuan sosial. Demi mengetahui efek suatu hukum terhadap tujuan tersebut, hakim dan pembuat hukum lainnya harus memiliki metode untuk mengevaluasi efek hukum terhadap nilai-nilai sosial. Ekonomi memprediksi efek dari suatu kebijakan dengan efisiensi. Efisiensi selalu relevan terhadap pembuatan kebijakan karena akan selalu lebih baik jika kebijakan bisa dibuat dan dilaksanakan dengan biaya rendah daripada dengan biaya tinggi. 265 Ada tiga karakteristik yang membedakan analisis ekonomi dari analisis lainnya. Pertama, analisis ekonomi menekankan kepada penggunaan model, dan Uji statistik dan empiris terhadap suatu teori dimana pendekatan lain tidak menggunakan cara tersebut. Kedua, dalam menggambarkan perilaku analisis ekonomi memberikan penekanan yang lebih besar dari pada pendekatan lainnya dalam melihat bahwa setiap orang selalu bersikap rasional yang beraksi dengan pertimbangan atas konsekuensi sari setiap pilihan yang 261
Model adalah pernyataan formal teori. Biasanya berbentuk pernyataan matematik tentang hubungan yang diandaikan sebelumnya atau dua atau lebih variabel. Karl E. Case dan Ray C. Fair, Prinsip-Prinsip Ekonomi Mikro [Principles of Economics], Ed. 5, diterjemahkan oleh Benyamin Molan, (Jakarta: Prenhallindo, 2002), hal 9. 262 Cento Veljanovski, Op.Cit.,hal. 24. 263 Darminto Hartono, Economic Anaysis of Law Atas putusan PKPU Tetap, (Jakarta : Universitas Indonesia Fakultas Hukum Lembaga Study Hukum dan Ekonomi, 2009), hal 5. 264 Robert Cooter dan Thomas Ulen, Law and Economics, Ed. 3, (New York: Addison Wesley Longman, 2000), hal 3. 265 Ibid, hal 3-4.
diambil. Ketiga, dalam evaluasi normatif, analisis ekonomi membuat ukuran-ukuran yang tegas dari pertimbangan kesejahteraan sosial, dimana pendekatan lain sering meninggalkan ketidakjelasan standar dari kebaikan sosial (social good). 266 Sementara itu, Posner mendefenisikan efisiensi sebagai kondisi dimana sumber daya dialokasikan dimana nilainya (value) dimaksimalkan. Dalam analisis ekonomi, efisiensi dalam hal ini difokuskan kepada kriteria etis dalam rangka pembuatan keputusan-keputusan sosial (social decision making) yang menyangkut pengaturan kesejahteraan masyarakat. 267 Analisis ekonomi adalah menentukan pilihan dalam kondisi kelangkaan (scarcity). Dalam kelangkaan ekonomi diasumsikan bahwa individu atau masyarakat akan atau harus berusaha untuk memaksimalkan apa yang mereka ingin capai dengan melakukan sesuatu sebaik mungkin dalam keterbatasan sumber dalam hubungannya dengan positive analysis dari hukum. Analisis akan bertanya bila kebijakan (hukum) tersebut dilaksanakan, prediksi apa yang dapat kita buat yang mempunyai akibat ekonomi. Orang akan memberikan reaksi terhadap insentif atau disinsentif dari kebijakan (hukum) tersebut. Normative analysis yang secara konvensional diartikan sebagai welfare economics cenderung akan bertanya apakah kebijakan (hukum) yang diusulkan atau perubahan hukum yang dilakukan akan berpengaruh terhadap cara orang untuk mencapai apa yang diinginkannya? Dalam hubungan ini dua konsep efisiensi yang menjadi penting yaitu pareto efficiency (Vilfredo Federico Damaso Pareto nama seorang ahli ekonomi Italia abad yang lalu) dan Kaldor Hicks Efficiency (Nicholas Kaldor dan John Hicks nama dua orang ahli ekonomi inggris). 268 Menurut Vilfredo Federico Damaso Pareto, jika seandainya sumber daya dialokasikan membuat paling tidak satu pihak merasa diuntungkan dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan
266
Steven Shavell, Foundation of Economic Analysis of Law, (Cambridge: Harvard University Press, 2004),
hal 4. 267
Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, Op.cit., hal 13. Ibid, hal 18.
268
maka kondisi ini disebut “Pareto Superiority” atau Efisiensi Pareto. Jika seandainya suatu kebijakan atau perubahan hukum membuat setidak-tidaknya satu pihak merasa untung dan tidak ada satupun pihak yang merasa dirugikan maka kondisi inilah yang disebut Superioritas Pareto. Dikenal juga kondisi “Pareto Optimality” yang merupakan suatu kondisi dimana sumber daya didistribusikan dengan cara tertentu yang membuat paling tidak satu pihak yang merasa dirugikan. Dengan kata lain, dalam suatu kebijakan atau perubahan hukum yang membuat paling tidak salah satu pihak merasa dirugikan maka memenuhi kriteria optimalitas pareto. 269 Sedangkan Nicholas Kaldor dan John Hicks memberikan tanggapan atas efisiensi yang disampaikan oleh Pareto tersebut. Menurut mereka berdua dalam teorinya “Kaldor-Hicks Efficiency” menyatakan bahwa apakah dengan perubahan tersebut maka mereka yang merasa diuntungkan dapat menyediakan kompensasi yang seimbang kepada mereka yang merasa dirugikan akibat kebijakan atau perubahan hukum tersebut. 270 Metode Kaldor-Hicks biasanya digunakan sebagai tes terhadap efisiensi pareto, bukan ditujukan sebagai suatu standar efisiensi sendiri. Mereka digunakan untuk menentukan apakah suatu kegiatan ekonomi bergerak ke arah efisiensi pareto. Setiap perubahan biasanya membuat beberapa orang merasa lebih baik sementara membuat orang lain lebih buruk, jadi tes ini menanyakan apa yang akan terjadi jika para pemenang memberikan kompensasi kepada yang kalah dan besarnya keuntungan yang diperoleh adalah lebih besar dari ganti rugi yang dibayarkan.
269
Jeffrey L. Harrison, Law and Economics in a Nutshell, (St. Paul, Minn: West Publishing, 1995), hal. 32. Ibid.
270
1. Pareto Efisiensi (Cost And Benefit Analysis) Disadari bahwa modernisasi dan perkembangan yang cepat dari sektor keuangan telah mengakibatkan sulitnya pemahaman terhadap sistem keuangan dan beroperasinya sistem keuangan, dan oleh karena itu mengakibatkan kesulitan dalam menetapkan pola pengaturan yang tepat. Untuk melakukan analisis secara akurat terhadap sistem keuangan yang berlaku secara domestik saja dibutuhkan pekerjaan yang luar biasa. Hal tersebut disebabkan antara lain karena belum jelasnya arah dan praktik pengaturan sektor keuangan, termasuk terdapatnya berbagai otoritas pengawas dengan kewenangan pengaturan dan pengawasan yang berbeda yang satu dengan yang lain dapat saja terjadi tumpang tindih. Kondisi seperti di atas sebenarnya merupakan hal yang mengherankan mengingat peranan sektor keuangan yang demikian besar dan menentukan dalam pertumbuhan ekonomi nasional, sehingga sektor ekonomi ini memiliki arti sosial, politik dan ekonomi yang tidak bisa diabaikan. Gejolak di sektor keuangan nasional tak dapat lagi dibantah telah menimbulan gejolak sosial politik yang sangat meresahkan. 271 Pengaturan suatu sistem keuangan pada hakikatnya harus dapat menjawab dua pertanyaan fundamental, pertama, sejauh mana pengaturan harus dilakukan, dan kedua, model pengaturan apa yang harus ditetapkan. Jawaban terhadap pertanyaan tersebut bukanlah sesuatu yang sederhana. Dilihat dari sistem hukum yang berlaku, khususnya apabila dilihat dari perbedaan isi hukum (substansi), pengaturan transaksi derivatif dapat dikategorikan sebagai bentuk pengaturan campuran antara hukum publik dan hukum perdata. Walaupun pada dasarnya transaksi derivatif merupakan suatu kontrak, tampaknya aspek hukum publik semakin mengemuka dalam sistem
271
Krisis keuangan yang dialami Indonesia semenjak tahun 1997, tidak dapat dibantah lagi merupakan faktor utama yang menyebabkan kejatuhan Pemerintah Soeharto dan terjadinya berbagai kerusuhan yang mengikutinya. Krisis keuangan yang berkepanjangan yang terjadi sampai saat ini antara lain juga yang mengakibatkan instabilitas dari pemerintah Indonesia. George P.Gilian, Op.Cit., hal 3.
keuangan dan perbankan sebagai akibat mengemukanya aspek perlindungan konsumen (investor protection), aspek kepentingan efisiensi pasar, dan aspek untuk memelihara keamanan dan kesehatan individual perusahaan dan sistem keuangan. Ketiga, hal tersebut sejalan dengan tujuan kebijakan regulasi dari pasar keuangan yaitu efisiensi fungsional (functional efficiency), perlindungan konsumen (investor protection), dan keamanan dan kesehatan (safety and soundness). 272 Sehubungan dengan itu, diperlukan peraturan yang mampu memecahkan permasalahan perbankan. Tujuannya adalah untuk menciptakan bank yang dapat mendukung sistem moneter yang aman dan efisien, sumber kredit yang stabil dan dapat dipercayai, sekaligus mencegah pengambilan risiko berlebihan, mencegah terjadinya pasar keuangan yang tidak stabil. 273 Untuk mencapai efsiensi pasar tersebut maka penulis dalam disertasi ini mengambil teori pendekatan Law and Economics merupakan metode gagasan dari ekonom (non hukum) yang melihat adanya potensi memanfaatkan instrumen hukum demi tercapainya hasil optimal dalam menerapkan kebijakan publik khususnya dalam bidang ekonomi. Intinya ajaran law and economics bertujuan menawarkan teori-teori ekonomi dan menerapkan pendekatannya rasional untuk memberikan sumbangan pikiran atas dua permasalahan dasar mengenai aturan-aturan hukum. Secara filosofis menarik untuk membuat suatu catatan tentang peranan hukum secara umum atau regulasi secara khusus dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Mengingat sifatnya yang lebih abstrak dan filosofis , teori welfare economic, menarik untuk dikemukakan. Teori ini merupakan bagian dari teori ekonomi mikro yang mempelajari bagaimana sekian banyak individu dan perusahaan berinteraksi satu dengan yang lainnya untuk menghasilkan kesejahteraan individu. Dalam konteks teori ini masalah-masalah kebijakan yang besar dapat 272
Dian Ediana Rae, Op.Cit., hal 111. Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank: Suatu Gagasan Tentang Pendirian Lembaga Penjaminan Simpanan di Indonesia, (Jakarta : Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pasca Sarjana, 2002), hal 8. 273
dikemukakan. Sebagai contoh, apakah terdapat konflik inheren antara efisiensi dan keadilan (fairness)? Seberapa besar pasar yang tidak diatur akan menyejahterakan individu ? Kapan dan bagaimana seharusnya pemerintah ikut campur dalam pasar. 274 Pada dasarnya analisis ekonomi terhadap hukum memberikan pengaruh dan dua konsep mendasar yaitu bersifat positive atau descriptive, berkenaan dengan pertanyaan apa pengaruh aturan-aturan hukum terhadap tingkah laku orang yang bersangkutan (the identification of the effects of a legal rule); dan analisis yang bersifat normative, berkenaan dengan pertanyaan apakah pengaruh dari aturan-aturan hukum sesuai dengan keinginan masyarakat (the social desirability of a legal rule). Pendekatan yang dipakai Law and Economics terhadap dua permasalahan dasar tersebut, adalah pendekatan yang biasa dipakai dalam analisis ekonomi secara umum, yakni menjelaskan tingkah laku, baik manusia secara perorangan maupun perusahaan-perusahaan, yang berwawasan ke depan (forward looking) dan rasional, serta mengadopsi kerangka kesejahteraan ekonomi untuk menguji keinginan masyarakat. 275 Economic analysis of law sudah lama dipergunakan orang, tetapi pada perkembangannya Ronald Coase yang kemudian menghidupkan dan memperkenalkan ajarannya yaitu Teorema Coase (Coase Theorem) 276 Mitchell Polinsky memberikan contoh sederhana mengenai Teorema Coase ini dengan menggunakan kasus yang dihadapi suatu pabrik ketika melepaskan asap ke udara sehingga menyebabkan polusi. 277 Polusi itu menyebabkan pakaian yang dijemur 5 (lima) keluarga yang memiliki rumah di dekat pabrik tersebut. Kerusakan yang dialami masing-masing
274
Robert Cooter dan Thomas Ulen, Law and Economic, Glenview, (Illinois-London-England, Scott: Foresman and Company, 1988), hal 43-44. 275 Steven Shavell, Foundation of Economic Analysis of Law, (Cambridge: Harvard University Press, 2004), hal. 1-3. 276 Harrison, Jeffrey L. Law and Economics in a Nutshell. (St. Paul, Minn: West Publishing, 1995), hal 56. 277 Mitchell A. Polinsky, Introduction to Law and Economics, Ed. 2, (Boston: Little Brown & Company, 1989), hal 11-14.
baju adalah seharga $75, yang berarti kerusakan totalnya adalah 5 x $75 = $375. Solusi atas kerusakan baju tersebut ada dua yaitu: 1.
Dengan memasang penyaring (filter) pada cerobong pabrik seharga $150, atau
2.
Dengan memberikan 5 unit alat pengering listrik kepada masing-masing keluarga seharga
masing-masing $50, dengan total biaya $250. Jika kondisinya seperti ini maka pilihan yang paling tepat dan rasional adalah membeli filter dan memasangnya di cerobong seharga $150. Jika dibandingkan dengan membeli pengering seharga $250, maka membeli filter lebih murah $100. Pertanyaan yang muncul adalah keluaran manakah yang paling efisien jika hak udara bersih diberikan kepada keluarga tersebut atau hak mengotori udara diberikan kepada pabrik. Jika keluarga memiliki hak atas udara bersih yang kita sebut dengan first rule. Maka pabrik memiliki 3 pilihan yaitu: Pertama, Membayar ganti rugi baju yang rusak kepada tetangga sebesar $375, Kedua, Membeli 5 unit alat pengering listrik kepada masing-masing keluarga seharga masingmasing $50, dengan total biaya $250, atau Ketiga, Memasang penyaring (filter) pada cerobong pabrik seharga $150. Tidak ada pilihan termurah selain memasang filter yang hanya seharga $150 dari pada membayar ganti rugi dan membeli pengering listrik. Bagaimana jika pabrik memiliki hak untuk mengotori udara? Kondisi ini dapat kita sebut second rule. Maka penghuni rumah memiliki 3 pilihan yaitu: Pertama, Menderita kerugian karena rusaknya baju seharga total $375, Kedua, Membeli 5 unit alat pengering listrik kepada masing-masing keluarga seharga masingmasing $50, dengan total biaya $250, atau
Ketiga, Memasang penyaring (filter) pada cerobong pabrik seharga $150. Pilihan yang paling efisien bagi keluarga ini adalah dengan pergi ke toko dan membeli filter dan memasangnya
di
cerobong
asap.
Dengan
demikian,
solusi
paling
efisien
adalah
memasang filter pada cerobong asap terlepas dari menentukan siapa yang memiliki hak. Pada gambaran tersebut, Polinsky mengasumsikan kalau antara pihak pabrik dan keluarga dapat menyelesaikan masalah ini tanpa adanya biaya transaksi. Inilah yang dinamakan transaksi berbiaya nol (zero transaction cost). Biaya transaksi adalah segala komponen biaya yang dikeluarkan oleh para pihak dalam melaksanakan suatu transaksi misalnya biaya memperoleh informasi ilmiah tentang asap pabrik, biaya melakukan pertemuan dan bernegosiasi, biaya merumuskan kesepakatan dan perjanjian serta biaya-biaya lain yang terkait. Jika keluarga dan pabrik mengeluarkan uang dalam mencari solusi serta dilakukannya negosiasi yang dilanjutkan dengan melaksanakan kesepakatan yang dicapai, maka transaksi yang terjadi ‘bukan’ lagi transaksi berbiaya nol. . Mankiw menyatakan bahwa perilaku suatu perekonomian merefleksikan perilaku masing-masing individu yang menyusunnya, maka kita dapat mempelajari ekonomi dengan 4 (empat) prinsip ekonomi. 278 Berikut ini adalah prinsip-prinsip tersebut : Pertama, Orang menghadapi Tradeoff. “There is no such thing as free lunch.” Untuk mendapatkan sesuatu yang dinginkan, biasanya harus mengorbankan sesuatu yang lain yang sama-sama berharga. Membuat keputusan menghadapkan kita pada pertukaran (trade off), merelakan sesuatu untuk suatu tujuan. Kedua, Biaya adalah apa yang anda korbankan untuk mendapatkan sesuatu.
278
N. Gregory Mankiw, Pengantar Ekonomi Mikro [Principles of Economics], Ed. 3, diterjemahkan oleh Chriswan Sungkono, (Jakarta: Salemba Empat, 2009), hal 5.
Karena semua orang menghadapi tradeoff maka untuk setiap keputusan yang akan diambil maka setiap orang akan membandingkan antara biaya dan manfaat dari setiap tindakan yang diambil. Biaya di sini lebih sering dikenal dengan biaya opportunitas (opportunity cost) yang artinya segala macam yang Anda harus korbankan untuk mendapatkan sesuatu. Dalam melakukan analisis, pisau yang kita gunakan nantinya adalah cost benefit analysis (CBA). Ketiga, Orang rasional berpikir pada batas-batas. Ketika merencanakan sesuatu maka orang pada umumnya akan memikirkan besarnya keuntungan marginal dan biaya marginal. Ekonom menggunakan istilah perubahan marginal (marginal changes) yang secara sederhana dapat diartikan adalah manusia mempertimbangkan apakah akan menambah satu unit lagi dari apa yang sudah didapatkan dengan harapan memperoleh benefit. Keempat, Orang tanggap terhadap insentif. Karena manusia dalam mengambil suatu keputusan berdasarkan cost-benefit analysis, jika terjadi perubahan cost dan benefit maka keputusan juga akan berubah. Biaya dan keuntungan disini tidak selalu bermakna uang. Cost and benefit analysis memberikan gambaran rasional tentang pengaturan derivatif terhadap keinginan stabilitas melalui regulasi pemerintah atau mereka yang menyatakan bahwa pasar harus dibiarkan tanpa batas untuk mencapai efisiensi ekonomi. Mengingat sifat transaksi derivatif dalam studi kasus pengaturan transaksi derivatif merupakan studi kasus yang menarik dalam pengaturan perbankan. Sifat transaksi derivatif memungkinkan bank untuk melakukan kegiatan yang bersifat spekulatif dan berisiko. Untuk jenis-jenis transaksi derivatif tertentu, kerugian bahkan bisa menjadi tidak terbatas. Sebagai suatu lembaga yang melakukan kegiatan usahanya dengan dana masyarakat, tentu kegiatan seperti transaksi derivatif tersebut perlu diatur
secara benar. Disadari bahwa pasar yang terlalu banyak diatur (over-regulated) akan mengakibatkan pasar menjadi tidak efisien. Oleh karena itu, pembuat aturan/hukum (lawmakers) dihadapkan pada tugas untuk berjalan diantara garis tipis antara kekurangannya peraturan (under-regulation) dan kelebihan aturan (over-regulation). Roberto Mangabeira Unger dalam tataran filosofis menyatakan “…, is the commitment to shape a free political and economic under by combining rights of choice with rules designed to ensure the effective enjoyment of this right.” 279
2. Analisis Ekonomi Menjadi Pendekatan Hukum Transaksi Derivatif Valuta Asing Berdasarkan pengalaman perbandingan suku bunga pinjaman rupiah (IDR atau Indonesian Rupiah) relatif lebih mahal dibandingkan valuta asing. Hasil survei perbankan yang dilakukan oleh Bank Indonesia kuartal II tahun 2014 kepada 42 bank umum yang berkantor pusat di Jakarta. Ke-42 bank ini mempunyai pangsa kredit sekitar 80% dari nilai total kredit bank umum secara nasional. Suku bunga kredit rupiah sekitar 14%, sedangkan suku bunga bunga kredit dalam bentuk valuta asing (valas) terutama dollar amerika (USD) berkisar rata-rata 6%. Bila dibandingkan, terdapat selisisih sekitar 8% di mana pinjaman rupiah lebih mahal. Tetapi dengan mengambil pinjaman valas, menyebabkan nasabah menghadapi risiko perubahan kurs (forex risk), yaitu kerugian yang timbul akibat perubahan nilai mata uang asing terhadap rupiah. Bila terjadi depresiasi misalnya, utang debitor (dalam konversi rupiah) akan bertambah sebesar nilai depresiasi tersebut. Contoh : kita memberikan pinjaman USD 1,000,000.- (satu juta) pada tanggal 2 Januari 2014. Kurs saat itu adalah Rp.9.733,- perdollar. Dengan demikian, kredit kita sama dengan Rp 9.733.000.000,- Katakanlah pada tanggal 31Desember 2014 depresiasi di
279
Roberto Mangabeira unger, What Should Legal Analysis Become ?, (London, New York: Verso, 1996),
hal 26.
mana kurs USD/IDR menjadi Rp.12.303,- Dengan terjadinya depresiasi tersebut, utang debitor (dalam konversi rupiah) sekarang berubah menjadi Rp.12.303.000.000,Peneliti mengunakan tataran filosofis bahwa semua orang atau perusahaan komersial mengunakan uang sebagai bahan baku yang harus dibayarkan. Oleh karena itu, orang atau perusahaan dimaksud harus mendapatkan laba yang cukup untuk memenuhi pembayaran. Perusahaan harus mendapatkan laba yang cukup untuk membayar suku bunga pinjaman, biaya akibat selisih kurs valas dan biaya lainnya. Perusahaan yang tidak menghasilkan laba tidak akan bertahan setidaknya dalam bentuk dan kepemilikan yang sama. 280 Oleh karena itu, analisis ekonomi yang digunakan adalah berdasarkan asumsi-asumsi angka dalam proforma laporan keuangan rugi laba (profit and loss) yang dapat memberikan peta yang jelas dan nyata terhadap kondisi mikro yang diharapkan sebagai dasar pertimbangan menentukan kebijakan yang bersifat makro maupun dasar bagi regulator untuk mengeluarkan aturan kewajiban lindung nilai kepada perorangan maupun perusahaan yang memiliki kewajiban mata uang asing tetapi berpendapatan rupiah.
a.
Skenario Pertama Perusahaan Menggunakan Hedging Bila seluruh penghasilan bisnis adalah dalam rupiah sedangkan pinjaman dalam valuta
asing, debitor sebenarnya berada dalam kondisi yang dilematis. Di satu pihak menikmati suku bunga pinjaman yang relatif rendah tetapi di pihak lain menghadapi risiko valas yang tidak ada akhirnya (selama debitor masih mengambil pinjaman valuta asing tersebut). Risiko tersebut sebenarnya dapat diatasi dengan melakukan transaksi berjangka (forward transaction) dengan bank. Yang dimaksud dengan transaksi berjangka adalah jual beli valuta asing di mana penyerahannya baru dilakukan beberapa waktu yang akan datang (sesuai 280
Ciaran Walsh, Key Managemet Ratios, (Jakarta: Esensi Erlangga Group, 2012), hal 6.
perjanjian) dengan kurs yang ditentukan pada saat transaksi dilakukan (saat ini). Dalam bahasa yang lebih sederhana, kita mengadakan transaksi sekarang (misalnya membeli USD) tetapi baru menerima USD tersebut nanti (katakanlah tiga bulan yang akan datang) tetapi kurs pembelian tersebut ditentukan sekarang (dengan perhitungan tertentu), Karena kurs transaksi telah ditentukan pada saat kontrak dibuat, maka yang berlaku adalah kurs kontrak tersebut, bukan kurs pada saat jatuh tempo. Tindakan pencegahan melalui transaksi berjangka dengan maksud untuk menutup risiko forex yang dinamakan hedging. Tujuan utama dari tindakan hedging adalah untuk menutup risiko kerugian akibat perubahan kurs, bukan untuk mengambil keuntungan dari selisih kurs. Dengan menutup kontrak forward seperti yang diuraikan di atas, belum tentu nasabah akan memperoleh keuntungan, tetapi dengan menutup kontrak ini nasabah memperoleh kepastian kurs atas transaksi valuta asing yang dilakukan. Apabila nasabah memiliki hutang, nasabah tersebut akan memperoleh kepastian jumlah hutang pada saat kontrak jatuh tempo. Untuk menghitung kurs yang dipakai dalam transaksi berjangka dipergunakan rumus sebagai berikut : FORWARD RATE = SPOT RATE + PREMIUM Forward Rate adalah kurs mata uang yang dipakai dalam kontrak berjangka. Spot Rate adalah kurs mata uang yang berlaku saat ini (pada saat kontrak dibuat). Premium adalah sejumlah nilai yang ditambahkan ke Spot Rate untuk memperoleh kurs forward. Premium merupakan selisih antara bunga deposito rupiah dengan bunga deposito USD. Misalnya bunga deposito rupiah adalah 9% p.a. dan bunga USD adalah 2% p.a. maka premium adalah 7% pertahun (9% - 2%). Nilai premium dapat dihitung dengan rumus : PREMIUM = SPOT RATE x SELISIH BUNGA x HARI 360
Contoh : Kurs USD saat ini (Spot Rate) adalah Rp 10.000. Premium untuk transaksi berjangka satu tahun (360 hari) adalah 6% pertahun. Maka nilai nilai kurs forward adalah : Spot Rate
= Rp.10.000
Premium
= Rp.10.000 x 7% x 360 = 700 360
Kurs forward = Rp.10.000,- + 700 = Rp.10.700,Skenario I (Hedging) : “PTA” adalah seorang importir pada tanggal 2 Januari 2014 mendapatkan kredit impor dari “bank B” sebesar USD 700,000.- dengan suku bunga kredit 6 % (enam persen) pertahun. Dengan alasan keamanan pembayaran kewajiban utangnya, “PT A” mengadakan hedging yaitu kontrak forward dengan bank “B” untuk membeli USD 700,000.sesuai tanggal jatuh tempo utang pada 31 Desember 2014. Bank menentukan bahwa kurs forward untuk transaksi tersebut adalah Rp.10.700,- per 1 USD, sehingga total nilai forward Rp. 7.490.000.000,-. Adapun angka tersebut berasal dari : FORWARD RATE = SPOT RATE + PREMIUM Rp. 7.490.000.000,- = (Rp.10.000,- + Rp.700,-) X USD 700,000.-. Dengan demikian “PT A” wajib menyediakan dana Rp.7.490.000.000,- pada tanggal forward jatuh tempo pada 31 Desember 2014.Ternyata pada tanggal 31 Desember 2014 terjadi depresiasi sehingga kurs menjadi Rp 13.000,-/per 1 USD. Maka “PT A” diuntungkan Rp.2.300,-/ 1 USD atau diuntungkan Rp.1.610.000.000,- atau (Rp.2.300 X USD 700,000.-). Perhitungan untuk menentukan perusahaan mana yang paling efisien akibat dari penggunaan fasilitas hedging dan non hedging dapat dilihat dari perhitungan proforma neraca rugi laba yang akan digambarkan pada tabel dibawah ini :
Gambar 4 : Tabel perhitungan laba rugi perusahaan yang menggunakan fasilitas hedging No
“ PT A “ Perhitungan Laba/Rugi Tahun 31 Desember 2014
Proforma 1 2 3 4 5 6 7 8
Dalam Jutaan (Rupiah)
Penjualan Bersih Harga Pokok Penjualan/COGS Laba Kotor Biaya Operasional Laba Operasional Biaya Bunga Bank Biaya Hedging Laba Bersih
Persentase (%)
10.000 - 7.000 3.000 - 1.000 2.000 - 420 - 490 1.090
100 % - 70 % 30 % - 10 % 20 % -4,2 % - 4,9 % 10,9 %
Sumber : Pengolahan data asumsi berdasarkan standar proforma bank
Keterangan : “ PT A” = Perseroan Terbatas A Pada Skenario I tersebut menggambarkan perhitungan rasional dengan menggunakan pareto cost efisiensi, dimana dengan menggunakan fasilitas hedging Perseroan Terbatas “PTA” mendapat keuntungan sebesar Rp.1.090.000.000,- atau 10,9 % meskipun terjadi depresiasi rupiah sebesar 30 % dari sebelumnya Rp.10.000,-/1USD menjadi Rp.13.000,-/1 USD.
Gambar 5 : Kurva Penerimaan dan Biaya ”PT A” (Skenario Hedging)
Keterangan : TR = Total Revenue TC 1 = Total Cost Skenario 1 FC = Fixed Cost Pada gambar kurva skenario I Garis TR berada di atas garis TC1 mencerminkan perusahaan masih memperoleh keuntungan akibat lindung nilai.
b. Skenario Kedua Perusahaan Tidak Menggunakan Hedging (Non Hedging) Skenario II (Non Hedging) : Pada skenario ini perusahaan (“PT C”) yang berpendapatan rupiah tidak mengamankan atau hedging atas utang yang diperoleh dari “bank B” sebesar USD 700,000.- dengan bunga kredit 6% (enam persen) pertahun yang akan jatuh tempo pada tanggal 31 Desember 2014. “PT C” memprediksikan rupiah akan stabil terhadap dollar Amerika Serikat (USD) pada kurs Rp10.000,-/1 USD, atas alasan tersebut “PT C” lebih memilih membeli dollar
on the spot pada saat utang jatuh tempo. Namun prediksi “PT C” tidak tepat karena terjadi depresiasi terhadap rupiah dari Rp.10.000,- per dollar menjadi Rp. 13.000,- per dollar. Akibatnya “PT C” mengalami kerugian atas kurs sebesar Rp. 2.100.000.000,- atau (Rp.13.000,- X USD 700,000.-). Dengan demikian neraca rugi laba yang akan terjadi pada tabel dibawah ini : Gambar 6 : Tabel perhitungan laba rugi perusahaan non hedging No
Proforma 1 2 3 4 5 6 7 8
“ PT C “ Perhitungan Laba/Rugi Tahun 31 Desember 2014 Dalam Jutaan (Rupiah)
Penjualan Bersih Harga Pokok Penjualan Laba Kotor Biaya Operasional Laba Operasional Biaya Bunga Bank Biaya Selisish Kurs Laba Bersih
10.000 - 7.000 3.000 - 1.000 2.000 - 420 - 2.100 - 520
Persentase (%) 100 % - 70 % 30 % - 10 % 20 % - 4,2 % - 20,1 % - 5,2 %
Sumber : Pengolahan data asumsi berdasarkan standar proforma bank
Keterangan : “PT C” = Perseroan Terbatas C Pada Skenario II perusahaan mengalami kerugian sebesar -5,2 % akibat perusahaan tidak menggunakan hedging untuk utangnya akibat depresiasi rupiah rupiah sebesar 30 % yaitu dari Rp. 10.000,- menjadi Rp.13.000,-/1 USD.
Gambar 7 : Kurva Penerimaan dan Biaya ”PT C” (Skenario Non Hedging)
Keterangan : TR = Total Revenue TC 2 = Total Cost Skenario 2 FC = Fixed Cost Pada gambar kurva skenario II Garis TR berada di bawah garis TC2 mencerminkan perusahaan mengalami kerugian akibat tidak melakukan lindung nilai terhadap hutang USD yang akan jatuh tempo. Untuk memperbandingkan perhitungan efisiensi “PT A” dan “PT C”. Maka dalam analisis lebih lanjut diperbandingan perhitungan tingkat efisiensi melalui tabel perbandingan analisis struktur biaya atas skenario I (hedging) dan skenario II (non hedging). Perbandingan dari tabel di bawah menunjukkan perbedaan hasil akhir antara sebuah perusahaan yang diwakili yang menghasilkan laba karena faktor hedging yaitu PT “A” dan sebuah perusahaan yang merugi
karena non hedging yaitu PT “C”. Dari perbandingan tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa perusahaan yang melakukan hedging akan lebih baik daripada perusahaan yang non hedging.
Tabel di bawah ini adalah tabel perbandingan tingkat efisiensi perusahaan yang
menggunakan hedging dapat dilihat pada kolom “C” (TC 1) dan non hedging pada kolom “B” (TC 2) sebagai berikut : Gambar 8 : Tabel perbandingan analisis struktur biaya Analisis Struktur Biaya A TR TC TVC FC
Keterangan : A, B, C, D TR TC TVC FC TC 1 TC 2
Perbandingan Rupiah (jutaan) B C (TC 2) (TC 1) - 520 1.090 3.520 1.910 2.520 910 1.000 1.000
Efisiensi (jutaan) D TC 2 – TC 1 1.610 1.610 1.610 0
= Kolom = Total Revenue (total laba) = Total Cost (Total biaya) = Total Variabel Cost (Biaya Variabel) = Fixed Cost (Biaya Tetap) = “PT A” merupakan perusahaan Hedging = “PT C” merupakan perusahaan Non Hedging
Tabel perbandingan analisis struktur biaya di atas menunjukkan terjadi efisiensi perhitungan penerimaan dan biaya antara PT “A” dan PT “C” sebesar Rp. 1.610.000.000,- (satu miliar enam ratus sepuluh juta rupiah) atau sebesar 16,1 % (enam belas koma satu persen). Analis struktur biaya dimaksud dapat diterjemahkan dalam kurva penerimaan dan biaya di bawah ini :
Gambar 9 : Kurva Penerimaan dan Biaya Untuk Perbandingan Skenario Perusahaan yang melakukan Hedging dan Non Hedging
Dalam analisis mikro ekonomi perusahaan yang masih feasible dalam arti penghasilannya (revenue) ditulis dengan simbol TR. Penggabungan kedua biaya yang umumnya selalu konstan atau fixed cost dan biaya yang berubah-rubah akibatkan selisih kurs atau variabel cost disebut sebagai total cost ditulis dengan symbol TC. Apabila perusahaan memiliki garis penerimaan ”TR”di atas garis ”TC” artinya perusahaan masih memperoleh keuntungan atau laba, sebaliknya garis TR di bawah garis TC artinya perusahaan mengalami kerugian.
Gambar 6 : Kurva
Penerimaan dan Biaya di atas menunjukkan tingkat efisiensi sebesar 16,1 % dari hasil perbandingan antara skenario I yaitu perusahaan yang melakukan hedging yang diwakili dengan garis TR di atas garis TC 1 dalam keadaan demikian PT A menikmati laba (profit). Sedangkan
perusahaan yang non hedging yang diwakili dengan garis TR berada dibawah garis TC 2 menunjukkan perusahaan mengalami kerugian akibat gejolak mata uang.
3. Lindung Nilai (Hedging) Dalam Transaksi Derivatif Valuta Asing Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat kenaikan hutang perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah sebesar Rp163,24 kenaikan utang luar negeri di tahun 2013 terjadi akibat selisih kurs. Angka itu merupakan 41,43% dari peningkatan utang luar negeri Indonesia dari Rp1.981 triliun (2012) menjadi Rp2.375 triliun (2013). Pemerintah seharusnya tidak perlu menanggung risiko akibat fluktuasi nilai tukar apabila implementasi lindung nilai dilaksanakan.281 Lindung nilai adalah upaya melindungi posisi pasar terhadap pergerakan harga yang tidak menguntungkan di masa yang akan datang dan berbagai cara untuk mengurangi exposure terhadap risiko, dan kemungkinan kerugian. 282 PBI Nomor 16/18/PBI/2014 tentang Perubahan Atas PBI Nomor 15/8/PBI/ 2013 tentang Transaksi Lindung Nilai Kepada Bank, mengatur bahwa Transaksi lindung nilai yang terdiri dari transaksi lindung nilai beli dan/atau transaksi lindung nilai jual wajib didukung dokumen underlying transaksi dan/atau dokumen pendukung sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap rupiah antara bank dengan pihak domestik. Jangka waktu transaksi lindung nilai paling lama sama dengan jangka waktu transaksi yang mendasari tercantum di dalam dokumen underlying transaction. 283 Tujuan dari pengaturan tersebut tentunya untuk menghindari hedging 281
Akses Internet, yang dikunjungi terakhir 18 Nopember 2014, http://www.iaiglobal.or.id/v02/ berita/detail.php?catid=&id=741 , Hedging, antara Butuh dan Takut. 282 Dian Ediana Rae, Op.Cit., hal xi. 283 Lihat, http://ilmuperbankan.blogspot.com/2010/02/berdasarkan-kata-kalimat-dari-huruf-u.html, Under lying transaction adalah sesuatu yang menjadi dasar dari suatu transaksi atau dokumen/surat berharga. Umpamanya wesel eksport, underlying transaction-nya adalah penjualan barang oleh eksportir yang di buktikan dengan adanya dokumen pengapalan, weighting list, sertificate of origin
menjadi tindakan spekulatif. Berdasarkan Surat Keputusan Bank Indonesia Nomor 28/119/KEP/DIR Tanggal 29 Desember 1995 Tentang Transaksi Derivatif dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 28/15/UD Tanggal 8 Februari 1996, underlying transaction yang diperkenankan adalah tingkat suku bunga dan kurs valuta asing Bentuk lindung nilai bisa berbentuk kontrak forward, future dan option yang digunakan untuk lindungi nilai berbagai risiko harga (price risks). 284 Forward foreign exchange contracts adalah contoh dari hedging yaitu suatu perjanjian di antara bank dengan pihak lain untuk mempertukarkan satu jenis mata uang dengan jenis mata uang lainnya pada waktu tertentu di masa yang akan datang. Tingkat kurs, tanggal penyerahan (delivery date), dan jumlah yang dipertukarkan ditetapkan pada saat perjanjian. 285 Perbedaan mendasar dari forward dan future adalah bahwa dalam hal forward merupakan suatu kontrak bilateral antara dua pihak. Tidak ada pihak lain yang terlibat. Oleh karena itu, kedua belah pihak saling memiliki risiko kredit (credit risk) apabila salah satu pihak gagal memenuhi kewajibannya. Dalam hal future pihak lawan (counterparty) pada setiap kontrak biasanya divisi kliring (clearing division) bursa atau clearing house independent atau clearing house memotong risiko kredit dua pihak terhadap satu dan lainnya.Untuk melindungi dirinya, clearing house mewajibkan setiap pihak dalam kontrak untuk menyerahkan margin deposit. 286 Berbeda dari persepsi yang berkembang dalam masyarakat yang menganggap melakukan transaksi derivatif sebagai tindakan spekulatif. Dalam praktik dunia usaha dewasa ini justru tindakan tidak menggunakan derivatif untuk melindungi risiko dapat dikatakan merupakan
284
Dian Ediana Rae, Op.Cit., hal 48. Ibid., hal 57. 286 Julian Walmsley, New Financial Instruments, (New York: Chichester, Weinheim, Brisbane, Singapore, Toronto, John Wiley & Sons,Inc, 1998), hal 13. 285
tindakan spekulasi. 287 Secara eksplisit mengatur kegiatan transaksi derivatif, transaksi yang dilakukan oleh bank dengan nasabahnya over-the-counter (OTC) masih belum memiliki kejelasan hukum. Bank menggunakan transaksi derivatif sebagai salah satu instrumen dalam pengelolaan risiko, dan trading yang merupakan salah satu sumber fee base income bank. 288 Manfaat dari transaksi derivatif dalam pengelolaan risiko usaha ini dianggap sangat penting, bahkan George Crawford menyatakan bahwa perusahaan memiliki kewajiban fidusia (fiduciary duty) 289 Gambaran negatif terhadap transaksi derivatif valuta asing dikarenakan munculnya banyak kasus yang merugikan nasabah bank adalah kurang tepat mengingat transaksi derivatif ini dalam banyak hal justru dapat membantu menurunkan risiko usaha seperti dalam hal lindung nilai. Sebenarnya, kebanyakan kasus derivatif terjadi justru karena kelemahan-kelemahan yang terjadi pada proses operasionalisasinya sendiri seperti lemahnya pengawasan intern perusahaan (internal control), kurangnya perhatian manajemen, terlalu banyak leverage, pertimbangan bisnis yang buruk, atau memang karena timbulnya risiko yang normal dalam dunia bisnis serta kurang memadainya perangkat hukum yang mengatur transaksi derivatif. 290 Dalam Praktiknya, para pelaku pasar derivatif pada dasarnya selalu memiliki tujuan untuk lindung nilai atau spekulatif sehingga transaksi derivatif tidak hanya mengurangi risiko
287
Ibid., hal viii. Ibid., hal 192. 289 Lihat Deborah A DeMott, Fiduciary Obligations, Agency and Parnership-Duties in Ongoing Business Relationships, America Casebook Series, (St. Paul, Minn: West Publishing Co, 1991), hal 2-57, Fiduciary Duty adalah suatu konsep hukum dimana seseorang memiliki kewajiban untuk setia terhadap kepentingan pihak lain dan bertindak untuk mengedepankan kepentingan pihak lain tersebut diatas kepentingan pribadi. Dalam konteks perusahaan, direksi yang memimpin perusahaan memiliki fiduciary duty terhadap perusahaan. Fiduciary duty tersebut dapat berlaku sangat berbeda dengan norma hukum kontrak. Pertanggungjawaban pelanggaran fiduciary duty tidak tergantung semata-mata kepada perjanjian diantara “the fiduciary” dan “the beneficiary” akan tetapi merupakan hasil dari hubungan itu sendiri. 290 Dian Ediana Rae, Op.Cit., hal 6. 288
melainkan juga dapat meningkatkan risiko. 291 Hal ini telah menimbulkan pertanyaan tentang seberapa besar manfaat dan kerugian dalam melakukan transaksi derivatif tersebut. Secara makro instrumen derivatif dapat digunakan sebagai satu alternatif untuk menghadapi ketidakpastian sebagai akibat tidak adanya mekanisme pengelolaan risiko fluktuasi nilai komoditi dan nilai tukar rupiah terhadap mata uang. Lindung nilai
adalah cara untuk memproteksi terhadap
kemungkinan terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan juga dapat mengurangi kemungkinan kebangkrutan. Untuk jenis transaksi derivatif tertentu bahkan sangat bermanfaat dan merupakan suatu kebutuhan dalam praktik, yaitu bagi para pihak yang akan melakukan transaksi derivatif untuk kepentingan lindung nilai, sehingga pihak tersebut dapat terhindar misalnya dari risiko fluktuasi mata uang atau fluktuasi tingkat suku bunga. 292
D. Permasalahan Transaksi Derivatif Valuta Asing Di Indonesia 1. Transaksi Derivatif Berunsur Spekulatif Di setiap Negara, fungsi bank merupakan “jantung” dari pasar uang. 293 Indonesia telah mengalami krisis kepercayaan terhadap perbankan. Kondisi perbankan di Indonesia telah mengalami masalah-masalah yang menuju suatu kehancuran akibat krisis ekonomi yang terjadi sejak semester kedua tahun 1997. 294 Bersamaan dengan itu, sistem perbankan yang rapuh
291
Dari sudut pandang filosofi kontrak derivatif dengan tujuan lindung nilai (hedging) adalah untuk menghindari risiko akibat gejolak kurs mata uang. Tidak ada yang salah jika di awal kontrak para pihak mengerti hak dan kewajiban masing-masing. Sebab, tujuan awal transaksi derivatif adalah untuk lindung nilai (hedging) aset perusahaan di masa yang akan datang, dan bukan untuk untung-untungan. Seperti halnya jual-beli saham, jika nasabah melihat transaksi derivatif secara subjektif alias mencari keuntungan dengan cara spekulatif, tentu transaksi ini sudah mengarah ke judi. 292 Dian Ediana Rae, Op.Cit., hal 207. 293 Gilian G.Garcia (I) Protecting Bank Deposit, IMF, (Economic Issue No. 9, 1997), hal 1. 294 The World Bank, Indonesia in Crisis A Macroeconomic Update, (Washington DC, 1998), hal 14.
menyebabkan gejolak nilai tukar berubah menjadi krisis utang swasta dan krisis perbankan, 295 pada giliran selanjutnya muncul banyak perkara transaksi derivatif valuta asing. Sengketa derivatif valuta asing bukan menjadi kasus yang baru. Kasusnya selalu berulang dan nasabah bank yang merugi besar karena melakukan transaksi derivatif bersifat spekulatif datang dari berbagai kalangan. Bahkan, eksekutif bank sendiri turut menjadi “korban”. Benarkah masalahnya hanya di perbankan ? 296Jika melihat kembali ke belakang, skandal derivatif pernah merasuk di era 1980-an. Kasus-kasus yang mencuat antara lain perkara perdata PT Indokarya Nissan Motors melawan Marubeni Corporation (1984), dan perkara perdata PT Starlight Prime Thermoplas melawan Bank of America National Trust & Saving Association (1985). Kasus yang paling kontroversial terjadi pada 1982. Kala itu tiga orang yang berdomisili di Singapura menggugat The (Standard) Chartered Bank sekarang Standard Chartered Bank. Ketiganya adalah Lim Poh Hock alias Lim A Soen, Eddy Rachman dan Ngo Pit Cheong. Kasus ini sempat mencoreng citra peradilan Indonesia dan membuat dunia perbankan goncang. Pasalnya, putusan perkara itu hingga inkracht pada intinya menyatakan, tidak memenuhi kewajiban pelaporan penerimaan kredit luar negeri mengakibatkan persetujuan kredit menurut hukum menjadi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum pula. Penafsiran transaksi derivatif sebagai transaksi kredit juga terjadi dalam kasus-kasus yang masuk ke pengadilan di Indonesia. Judex facti dalam pertimbangan putusan dalam kasus PT Bank Niaga vs. PT SDM, misalnya, menyatakan bahwa dalam kasus ini telah terjadi “perjanjian kredit” dan bukan “transaksi derivatif”. Oleh karena perjanjian kredit, maka harus ada kucuran dana/cash flow dari Bank Niaga sebagai kreditur. Bank Niaga dengan PT SDM telah melakukan transaksi yang dituangkan dalam cross currency interest rate swap agreement dan 295
Bank Indonesia, laporan tahunan 1997/1998, (Jakarta: Bank Indonesia), hal 1. Akses Internet, yang dikunjungi terakhir 18 Nopember 2014, http://indonesian-banking.blogspot.com/ 2009/02/ korban-korban-malpraktik-derivatif 296
foreign exchange facility agreement atas perjanjian di atas, pihak Bank Niaga menyediakan plafon USD100.000.000,-. Demikian pula halnya dalam perkara Nugra Santana, penggugat menyebutkan fasilitas transaksi derivatif seperti itu sebagai fasilitas pinjaman. 297 Dalam kasus lainnya, PT Suryamas Duta Makmur Tbk. (PT SDM), suatu perusahaan yang bergerak dibidang jasa perumahan termasuk sarana lapangan golf (antara lain proyek Rancamaya di Ciawi Bogor dan Bumi Manggala di Cibubur). PT Suryamas Duta Makmur Tbk. telah mengadakan transaksi dalam bentuk cross currency interest rate swap agreement dan foreign exchange facility agreement. Untuk transaksi ini Bank Niaga menyediakan plafon USD100.000.000,- PT SDM mengajukan permintaan fasilitas transaksi jual-beli valuta asing sebesar USD50.000.000,- sesuai dengan surat instruksi yang ditandatangani oleh Kenneth Lian, presiden direktur dan Daniel Imanto, direktur. Surat instruksi tersebut/transaksi derivatif tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan penandatanganan “foreign exchange confirmation” yang pada intinya menyatakan bahwa pada tanggal 20 Juli 1998 PT SDM akan membayar USD50.000.000,- kepada Bank Niaga dan akan menerima Rp.129.833.500.000,- Surat konfirmasi telah ditandatangani oleh kedua belah pihak. Dalam kasus ini, PT SDM mengajukan “perbuatan melawan hukum” dan meminta ganti rugi akibat kehilangan keuntungan karena tidak dicairkannya fasilitas “pinjaman”sebesar USD50.000.000., oleh Bank Niaga. Yang menjadi persoalan hukum utama dalam kasus ini adalah apakah fasilitas cross currency interest rate swap agreement dan foreign exchange facility agreement tersebut dinyatakan sebagai “perjanjian fasilitas
kredit”
sebagaimana
dikemukakan
oleh
PT
Bank
Niaga.
Dalam
rangka
mempertimbangkan apakah transaksi tersebut merupakan transaksi kredit atau transaksi derivatif, Majelis Hakim Mahkamah Agung mempertimbangkan eksistensi dari transaksi derivatif dalam praktik dan sistem hukum Indonesia. Dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Agung 297
Dian Ediana Rae, Op.Cit., hal 208.
mengemukakan putusan Peninjauan Kembali No. 02/PK/N/1999 (Perkara Peradilan Niaga) yang dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa keberadaan transaksi derivatif telah diakui, karena Bank Indonesia sebagai otoritas keuangan dan moneter telah mengatur dengan perangkat hukum, walaupun dalam tingkat regulasi, karena transaksi derivatif harus diatur dengan undangundang. Dalam era globalisasi, transaksi derivatif telah dipraktikkan di banyak negara. 298 Krisis 1997/1998 membawa dampak yang sama terhadap kontrak-kontrak derivatif. Kala itu banyak nasabah menggugat bank. Di antaranya perkara PT Suryamas Duta Makmur melawan PT Bank Niaga Tbk (sekarang CIMB Niaga), perkara PT Dharmala Agrifood melawan Bank Niaga, PT ING Indonesia Bank dan International Finance Corporation. Lalu perkara perdata PT Nugra Santana melawan PT Bank Credit Lyonnais Indonesia. Sejumlah pengusaha dan perusahaan yang menjadi nasabah bank-bank besar juga mengalami kerugian akibat melakukan transaksi derivatif bersifat spekulatif dengan banknya. Sebagian kasus menjadi ranah hukum diantaranya PT Berkah Sawit Sumatera, PT Mestika Inti Sawit Jaya, PT Permata Hijau Sawit, PT Nubika Jaya, PT Berlian Eka Sakti Tangguh, PT Bumi Asri, PT Darma Kalimantan, PT Teluk Luas, PT Fresh On Time, dan PT Toba Surimi Industries. Sejumlah perusahaan BUMN, seperti PT Aneka Tambang Tbk., PT Elnusa Tbk., PT Perusahaan Gas Negara Tbk., PT Danareksa Sekuritas, dan PT Timah Tbk., disinyalir juga berpotensi menangguk kerugian besar akibat melakukan transaksi derivatif bersifat spekulatif dengan perbankan. 299 Dalam kasus PT Permata Hijau Sawit, perusahaan mengaku terjebak tawaran transaksi derivatif valuta asing dari bank. Dalam kasus tersebut perusahaan mengungkapkan perusahaannya diharuskan membayar US$10,000,000.- jika ingin mengakhiri kontrak derivatif dengan bank asing itu.
298
Ibid., hal 199. Akses internet yang dikunjungi terakhir pada tanggal 2 oktober 2014 dikumpukan dari berbagai sumber.
299
Tidak hanya nasabah bank, bankirnya sendiri pun menjadi “korban” transaksi derivatif bersifat spekulatif. Mundurnya Alfin Tolib dari jabatan pentingnya sebagai head of treasury Bank Danamon pada 16 Januari 2009 disebut-sebut tak lepas dari masalah transaksi derivatif bersifat spekulatif yang membelit Bank Danamon. Alfin dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas masalah ini. 300 Belum lama ini, Gottfried Tampubolon, direktur treasury Bank CIMB Niaga Tbk., juga resmi mengundurkan diri dari jabatannya. Bersama Gottfried, Henk G. Mulder, wakil direktur utama Bank CIMB Niaga, juga ikut mengundurkan diri. Keputusan mundur itu disampaikan pada 29 Januari 2009 dengan alasan profesional dan pertimbangan karier. Padahal, keduanya baru tiga bulan menjabat, sejak 1 November 2008. Siaran pers yang diterbitkan Bank Danamon pada 21 Januari 2009. Presiden direktur Danamon Sebastian Paredes dalam siaran pers mengumumkan bahwa Danamon membukukan penurunan keuntungan 29% (persen) hingga menjadi tinggal 1,5 triliun rupiah pada 2008 sebagai akibat transaksi foreign exchange forward (kontrak berjangka valuta asing) Bank Danamon. Nasabah tidak memenuhi kewajibannya, akibatnya, bank milik Temasek Holdings Pte (Singapura) dan Deutsche Bank AG (Jerman) itu, mau tak mau, harus menganggarkan dana pencadangan hingga Rp 800 miliar demi mengantisipasi kalau tagihan derivatif itu macet. Padahal, kalau tidak dipotong dana provisi sebesar itu, laba Bank Danamon seharusnya mencapai Rp2,3 triliun. 301 Data Bank Indonesia menyebutkan kerugian transaksi derivatif kurun waktu tahun 2008 2009 yang dialami perbankan mencapai 5,4 triliun rupiah. Kerugian terbesar ditanggung oleh bank-bank asing yang nilainya lebih dari separoh dari nilai total kerugian. Sisanya dipikul oleh
300
Ibid. Ibid.
301
bank swasta nasional devisa sebesar 1,5 triliun rupiah, dan bank campuran sebesar 850 miliar. Ada pun kerugian yang ditanggung oleh bank pemerintah 255 miliar rupiah. 302 Namun benarkah kontrak derivatif tidak seimbang? Untuk yang satu ini, coba perhatikan PBI Nomor 7/31/PBI/2005 tentang Transaksi Derivatif. Dalam Pasal 8 (1) PBI itu ditegaskan kerugian bank paling banyak 10 % (persen) dari modal bank secara kumulatif dalam tahun berjalan. Lalu bagaimana dengan kerugian nasabah? Tidak disebut-sebut sama sekali dalam PBI itu. Secara logika awam, ketentuan ini menegaskan bahwa risiko kerugian bank sudah terukur, sementara kerugian nasabah tidak bisa tidak terukur. Inilah yang menjadi masalah. PBI Nomor 11/14/PBI/2009 tanggal 17 April 2009. Isinya mengubah sebagian pasal dalam PBI Nomor 10, yakni Pasal 13, 14 dan penjelasan Pasal 12. Pasal 13 PBI Nomor 11 menjelaskan setiap transaksi valas terhadap rupiah yang dilakukan sebelum terbitnya PBI Nomor 10, dapat diteruskan sampai jatuh waktu kontrak. PBI ini juga memungkinkan para pihak untuk menyelesaikan transaksi tanpa pergerakan dana pokok. Caranya melalui, pertama, percepatan penyelesaian (early termination) atau penghentian (unwind) transaksi valas terhadap rupiah; kedua, penyelesaian transaksi melalui restrukturisasi kontrak transaksi valas terhadap rupiah; ketiga, penyelesaian transaksi dengan menggunakan dana pinjaman dari bank. Yang paling penting dalam ketentuan itu adalah restrukturisasi harus berdasarkan kesepakatan tertulis dengan menggunakan mata uang rupiah. Ternyata kasus transaksi derivatif valuta asing juga menjadi masalah serius di luar negeri. Dalam kasus Salomon Forex, Inc. v. Tauber, Lazio N, 303 Standard Forex, Inc., 304 kasus Morgan
302
Ibid. Note Salomon Forex, Inc,v.Tauber-The Sophisticated Trader and Foreign Currency Derivatif Under the Commodity Exchange Act, (The North Carolina Journal of International Law and Commercial Regulation, Volume 19, Summer 1994), number 3. 304 Thomas A. Tormey, A Derivatives Dilemma: The Treasury Amendment Controversy and the Regulatory Status of Foreign Currency Options, 65 Fordham L. Rev. 2313 (1997) article 10. 303
Stanley vs Mr.Puglisi. 305 Persoalan kesenjangan antara hukum yang berlaku dengan jenis-jenis transaksi baru sebenarnya dihadapi oleh banyak negara di dunia, tapi dalam praktiknya terdapat perbedaan response regulasi maupun sikap opini pengadilan di dalam menangani perkaraperkara yang terkait dengan transaksi tersebut. Dalam penanganan kasus-kasus yang terjadi di Amerika Serikat atau Inggris, terlihat bahwa kemampuan para hakim dalam memutus perkara dalam transaksi derivatif memberikan porsi yang besar terhadap perlindungan konsumen awam (unsophisticated) . Oleh karenanya, kecakapan para hakim Indonesia dalam berbagai persoalan teknis transaksi bisnis akan menentukan kemantapan sistem hukum Indonesia dalam era globalisasi dan liberalisasi ekonomi. 306 Secara konsep, derivatif dapat digunakan untuk tiga tujuan yaitu : Pertama, Sebagai pengganti investasi lain, di mana keuntungan dan risiko yang diharapkan dari investasi asal tetap tidak berubah; Kedua, Sebagai lindung nilai atas investasi lain. Tujuan dari hedging adalah untuk menetralkan risiko atas posisi terbuka (assets & liabilities) terhadap harga pasar yang berlawanan dengan posisi terbuka tersebut dengan cara mengalihkan risiko terhadap pihak lain. Dalam hal ini transaksi derivatif dapat menyerupai asuransi yang dapat membebaskan dari kerugian atau ketidak untungan yang diharapkan karena suatu kejadian yang tidak pasti dikemudian hari; Ketiga, Sebagai alat spekulatif yang dapat meningkatkan risiko dan sekaligus keuntungan yang besar dengan cara leverage. 307 Perdebatan yang hangat di masyarakat dan Pengawas/regulator tentang apa, bagaimana dan manfaat dari transaksi derivatif menjadi argumen yang menarik dilihat dari sisi akademis. 305
Dian Ediana Rei, hal 166-167, dikutip dari Patrick Hann, From a Legal Point of View: Derivative Liability, The Quarterly Journal of Global Issue, (Vol.4, No.4, 4 March 2000), hal. 52-53. 306 Dian Ediana Rae, Op.Cit., hal 202-203. 307 Dictionary of Finance and Invesment Terms, (Baron’s, 1995)., Dalam kaitannya dengan investasi leverage didefenisikan sebagai: enhancing return of value without increasing investment. Buying Securities on margin is an example of leveraged with borrow money and external leverage may be possible if leveraged security is convertible bond, common stock rights, warrants and option contracts provide leverage, not revolving borrowings but offering the prospect of high return for little or no investment.
Laporan dari berbagai media yang memberitakan berbagai kerugian dari transaksi derivatif bahkan telah mengakibatkan gambaran yang negatif dari transaksi derivatif bahkan telah menimbulkan apa yang disebut sebagai “derivatiphobia”. Sebenarnya, derivatif merupakan salah satu inovasi produk yang sangat penting. Produk derivatif telah memungkinkan perluasan kegiatan usaha, peningkatan efisiensi, dan penurunan biaya terhadap menajemen risiko dalam bisnis, yang pada gilirannya telah membuka kegiatan-kegiatan baru dari yang sebelumnya dianggap berisiko tanpa adanya transaksi derivatif. 308 Manfaat dari transaksi derivatif dalam pengelolaan risiko usaha ini dianggap sangat penting, bahkan George Crawford menyatakan bahwa perusahaan memiliki kewajiban fidusia (fiduciary duty) untuk menggunakan intrumen derivatif dalam menutup risiko usaha. 309. Berbeda dari persepsi yang berkembang dalam masyarakat yang menganggap melakukan transaksi derivatif sebagai tindakan spekulatif. Dalam praktik dunia usaha dewasa ini justru tindakan tidak menggunakan derivatif sebagai lindung nilai untuk mengelola risiko dapat dikatakan merupakan tindakan spekulasi. Lindung nilai sebagai tindakan untuk mengelola risiko merupakan tindakan preventif terhadap kemungkinan terjadinya fluktuasi mata uang. Bagi individu dan perusahaan lindung nilai memberikan kepastian harga kurs valas yang dapat diperoleh atau pun dijual pada suatu waktu di kemudian hari. Selain itu yang menjadi sangat penting adalah lindung nilai dalam perspektif makro ekonomi bermanfaat untuk menciptakan stabilitas ekonomi.
2. Globalisasi Sistem Nilai Tukar Memunculkan Rekayasa Keuangan Secara teknis yang dimaksud sebagai rekayasa keuangan (financial engineering) adalah derivatif. Derivatif sangat berguna untuk alat lindung nilai. Ketika derivatif menjadi sebagai alat
308
Alfred Stainherr, Op.Cit., hal 9. Dian Ediana Rae, Op.Cit., hal vii.
309
lindung nilai, maka derivatif disebut sebagai financial engeneering. Dengan lindung nilai berarti adanya jaminan nilai kekayaan, dengan kata lain kekayaan yang diperoleh bersifat pasti. 310 Forward merupakan salah satu derivatif. Forward tidak memiliki bursa, transaksi antara pihak yang berkepentingan bersifat informal sesuai kepentingan biasanya lewat lembaga keuangan bank. Forward mengikat kedua belah
pihak untuk melakukan kewajiban yaitu
menjual (posisi short) atau membeli (posisi long). Pada umumnya forward dilakukan terkait dengan nilai tukar (kurs) misalnya eksportir dan importir selaku economic agent. Rekayasa keuangan (financial engineering) muncul sejalan dengan terjadinya perubahan sistem nilai tukar di dunia.Liberalisasi dan globalisasi yang melanda dunia dewasa ini telah merubah perekonomian diberbagai negara menjadi semakin terbuka. Arus keluar masuk barang, jasa dan modal menjadi semakin mudah menembus batas-batas teritorial suatu negara. Konsep borderless menjadi menguat dalam konteks perekonomian dunia seiring dengan keterbukaan perekonomian domestik terhadap penetrasi dari luar negeri. Dalam konteks ini, integrasi perekonomian suatu negara kedalam perekonomian global menjadi bukan menjadi pilihan, dimana mau atau tidak mau suatu negara memiliki keharusan untuk masuk dalam pasar bebas. Sebagai konsekuensinya, setiap negara akan memiliki ketergantungan satu dengan yang lainnya baik menyangkut aspek perdagangan barang dan jasa secara internasional dan integrasi pasar keuangan di berbagai negara. 311 Pergerakan nilai tukar yang berfluktuasi di pasar uang tersebut akan sangat ditentukan oleh sistem nilai tukar yang dianut oleh masing-masing negara. Sistem nilai tukar mata uang yang bersifat fixed exchange rate, cenderung akan mengakibatkan stabilitas nilai tukar mata uang
310
Akses internet terakhir dikunjungi tanggal 15 Desember 2014, http://saidkelana.wordpress.com, financial engineering. 311 Andrew B Abel and Ben S.Bernanke, Macroeconomic, (New York : Fifth Edition, Pearson Addison Wesley, 2004), hal 468.
karena adanya dukungan (supporting) dari otoritas moneter dalam bentuk intervensi di pasar uang. Sedangkan sistem nilai tukar mata uang yang menganut floating exchange rate akan cenderung mengakibatkan pergerakan nilai tukar mata uang yang bersifat volatil. Pada jenis nilai tukar mata uang yang bersifat volatil ini, membawa konsekuensi pada kondisi ketidakpastian yang akan dihadapi oleh economic agent. Ketidakpastian tersebut merupakan teka-teki yang patut dicermati oleh semua fihak dalam menjaga stabilitas makroekonomi. 312 Sejarah membuktikan sistem nilai tukar yang terjadi di dunia maupun yang terjadi di Indonesia telah mengembangkan berbagai kreativitas produk keuangan sesuai zamannya. Ada baiknya peneliti mengangkat beberapa momentum yang membawa perubahan sistem nilai tukar baik yang terjadi di dunia maupun di Indonesia.
a.
Evolusi Nilai Tukar Uang Di Dunia Kebutuhan akan nilai tukar timbul karena mata uang suatu negara biasanya tidak diterima
sebagai media atau alat tukar di negara lain. Hubungan perdagangan internasional menimbulkan adanya permintaan dan penawaran terhadap beberapa mata uang. Hal ini kemudian menyebabkan perkembangan pada bursa pertukaran mata uang asing, sehingga di perlukan pengatur untuk berjuta-juta transaksi permintaan dan penawaran yang terjadi setiap hari, yang menuju pada penentu nilai tukar mata uang asing. Sejarah pertukaran/perdagangan mata uang dapat dikatakan setua uang itu sendiri dan baru mendapat perhatian yang serius oleh banyak
312
Imam Mukhlis,(Artikel) Analisis Volatilitas Nilai Tukar Mata Uang Rupiah Terhadap Dolar, (Malang: Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang), hal 175.
negara pada dekade terakhir ini 313. Menurut Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus bahwa katagori sistem nilai tukar (kurs) tersebut dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam 314: Pertama, Cara kerja standar emas yaitu suatu sistem kurs dengan menggunakan standar emas. Sistem ini memberikan kurs tukar valuta asing yang tetap untuk setiap Negara dan relatif mudah dipahami. Kedua, Sistem kurs valuta asing yang mengambang “terkendali” yaitu sistem dimana terdapat beberapa mata uang yang mengambang bebas bersama – sama mata uang yang dikaitkan dengan dollar (mengambang bersama-sama dengan dollar). Mata uang suatu Negara dibiarkan mengambang bersama-sama dengan dollar secara bebas di pasaran. Tetapi pemerintah suatu Negara akan melakukan intervensi jika pasar dalam keadaan kacau atau kurs sedang dianggap terlalu jauh dari yang diperkirakan sebagai kurs yang tepat. Ketiga, Kurs valuta asing yang mengambang “penuh” yaitu kurs yang sepenuhnya di tentukan oleh kekuatan pasar (penawaran dan permintaan). Sejarah pertukaran dan perdagangan mata uang dapat dikatakan setua uang itu sendiri dan baru mendapat perhatian yang serius oleh banyak negara pada dekade terakhir ini. Sistem cara kerja emas sudah dimulai pada zaman pra-moderen pengakuan terhadap mata uang masih dipisahkan antara mata uang yang dipergunakan untuk transaksi lokal dan mata uang yang digunakan untuk transaksi internasional. Pada zaman itu yang menjadi dasar bagi sistem moneter internasional adalah mata uang logam yang terbuat dari emas dan perak. Bahan dasar pembuatan uang kala itu adalah logam mulia. Sehingga adanya pengakuan universal jika suatu negara mengurangi kadar kandungan logam mulia dalam koinnya, sama artinya dengan merendahkan
313
Akses internet terakhir dikunjungi tanggal 30 Desember 2014 http://bisnis-onlineinternet.blogspot.com/2008/05/trading-forex.htm, Sejarah Forex. 314 Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus, Ekonomi, Edisi kedua belas jilid 2, (Jakarta: Erlangga, 1992), hal. 622 – 628.
nilai mata uangnya dan mengurangi ketertarikan serta kepercayaan terhadap mata uang tersebut. 315 Pada abad ke 16 dan 17 adalah zaman runtuhnya sistem pemisahan antara uang lokal dan uang internasional. Pada masa ini tambang logam mulia ditemukan di Amerika, telah membawa dampak
ekspansi perdagangan internasional. Aliran logam mulia yang besar telah
mengakibatkan mata uang lokal kurang berfungsi. Negara tidak lagi memiliki kemampuan untuk mempengaruhi mata uang lokal karena telah terintegrasi dengan sistem moneter internasional. Kemudian pada abad ke-18 dan 19, terjadi revolusi financial (financial revolution) ketika pemerintah mulai menciptakan uang kertas serta munculnya bank modern dan instrumen kredit privat dan publik. Akan tetapi sistem baru ini kemudian memunculkan masalah lain, yakni ketika negara memproduksi uang secara berlebihan dan menyebabkan inflasi, keseluruhan sistem internasional akan turut terganggu. Akhirnya, uang yang dapat dicetak oleh negara dipatok oleh kepemilikan negara terhadap emas serta nilai tukar yang digantungkan terhadap emas. Era ini disebut era standar emas klasik. Masa ini didominasi oleh Britania Raya, Bank of England secara tidak langsung juga mengatur kebijakan moneter dunia yang saat itu merupakan hegemon dunia. Keadaan ini bertahan sampai periode perang dunia pertama dimana negara-negara mulai melepaskan diri dari pengaruh nilai tukar tetap untuk memobilisasi uang untuk kebutuhan pendanaan perang. 316 Setelah periode perang dunia kedua berakhir negara-negara eropah trauma terhadap akibat perang dan mulai mengalihkan perhatian kepada dua prioritas dalam ekonomi, pertama, yakni mencapai pertumbuhan ekonomi dan full employment dan yang kedua, membentuk tatanan ekonomi yang stabil untuk mencegah depresi. Konferensi Bretton Woods yang dilaksanakan 315
Robert Gilpin, International Money Matters” dalam The Political Economy of International Relations, (New Jersey: Princeton University Press, 1987), hal 120. 316 Ibid., hal 122-128.
pada 1944 mengusung visi untuk menjamin kebebasan negara mencapai kepentingan ekonomi nasional namun tetap dalam kerangka tatanan moneter yang didasarkan pada sistem nilai tukar tetap guna mencegah terjadinya depresi seperti pada tahun 1930. IMF pun diciptakan guna mengatur jalannya moneter internasional dan memberikan bantuan terhadap negara yang mengalami kesulitan dalam neraca pembayarannya. Menurut John Ruggie sistem ini berusaha untuk menghindari subordinasi aktivitas ekonomi domestik yang dulu terjadi pada era standar emas serta menghindari pergolakan di sistem moneter internasional akibat otonomi politik domestik. Dalam masa ini, negara memiliki peran yang lebih besar dalam ekonomi domestik, tapi tetap tunduk pada aturan internasional yang telah disepakati. Sistem ini juga menempatkan Amerika sebagai sentralnya sebagai pengatur stabilitas harga emas yang dipatok $35 per ons. 317 Pengaruh emas sebagai dasar penentuan nilai tukar berlanjut pada masa Bretton woods tahun 1944. Memasuki zaman modern perubahan sistem nilai tukar tersebut tidak terlepas dari perjalanan sejarah penentuan sistem nilai tukar di dunia yang dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kejadian penting di dunia yang mempengaruhi fungsi uang berevolusi dan diperdagangkan secara luas melewati batas-batas negara. Ketiga moment dimaksud adalah 318: pertama, Bretton Woods tahun 1944, kedua, Smithsonian Agreement tahun 1971, Ketiga, Plaza Accord tahun 1985.
a.1. Rezim Bretton Woods Setelah perang dunia selesai. Masyarakat dunia mulai menginginkan suatu stabilitas ekonomi yang lebih baik. Sehingga Pada tanggal 22 Juli 1944, atas prakarsa dari Amerika 317
Ibid., hal 131-132. Hendri Joni, Andy Nahil Gultom, Celah-Celah Profit di Forex Market, (Jakarta: PT.Elex Media Komputindo), hal 29. 318
Serikat, diadakan suatu konferensi moneter internasional yang dikenal dengan : “The Bretton Woods Conference“. Atas prakarsa beberapa pakar-pakar ekonomi seperti John Maynard Keynesh, Harry Dexter White bersama 44 perwakilan dari negara-negara lainnya berkumpul di Amerika Serikat, tepatnya di News Hampshire; Bretton Woods 319 untuk membahas beberapa halhal penting terkait perekonomian global pasca perang dunia kedua. 320 Pada pertemuan tersebut usulan yang diajukan oleh delegasi Amerika Serikat disebut White Plan menyusun rencana-rencana dasar yang disetujui antara lain diciptakan suatu sistem pertukaran mata uang tetap yang disebut dengan “Fixed Exchange Rate System“, yang mempunyai beberapa persamaan dengan standar emas, dimana memuat ketentuan : Pertama, Tiap negara menetapkan nilai tukarnya terhadap mata uang Amerika; Kedua, Amerika menetapkan nilai dollar Amerika terhadap emas (USD 35/ounce); Ketiga, Amerika akan menjual emas dengan harga tetap kepada pemegang resmi dari mata uang dollar Amerika; Keempat, Perubahan nilai tukar mata uang terhadap dollar Amerika tidak boleh melebihi 1%, bila terpaksa bisa sampai max 10%. Sejak saat itu negara-negara di dunia serta Amerika mulai tumbuh dengan pesat. Kemudian dua tahun setelah konferensi tersebut, didirikan lembaga moneter internasional & Bank Dunia yang kita kenal saat ini dengan IMF (International Monetary Fund) dan Word Bank, dengan maksud untuk mengawasi sistem tersebut. Yang patut diberi catatan pada perjanjian Bretton Woods adalah persepsi dunia terhadap dollar Amerika telah menjadikan mata uang negara adidaya
319
Akses internet www.google.com. dikunjungi terakhir tanggal 15 Oktober 2014, Sejarah Sistem Nilai Tukar Dunia, Bretton Woods adalah kota kecil di Negara Bagian New Hampshire, Amerika Serikat, di dekat White Mountain National Forrest. Pada 1 Juli–22 Juli 1944 di kota ini, di Hotel Mount Washington diselenggarakan sebuah konferensi yang dihadiri oleh 730 delegasi dari 44 negara. Konferensi ini menghasilkan kesepakatan tentang aturan, institusi, dan prosedur sistem moneter internasional. 320 http://bisnis-online-internet.blogspot.com/2008/05/trading-forex.htm, Sejarah Forex.Loc.Cit.
tersebut sebagai world reserve currencies artinya dollar Amerika dijadikan sebagai cadangan devisa suatu negara yang cukup popular hingga saat ini. 321
a.2. Rezim Smithsonian Agreement Pada tanggal 15 Agustus 1971 Perjanjian Bretton Woods berakhir dan digantikan oleh Perjanjian Smithsonian atas prakarsa presiden Amerika Serikat pada waktu itu Richard Nixon. Sistem mata uang tetap yang didasarkan pada nilai emas yang sudah ditetapkan pada perjanjian Bretton Woods sebelumnya, telah berakhir dan digantikan dengan Smithsonian Agreement
322
di
mana nilai mata uang ditetapkan berdasarkan nilai riil dari mata uang negara yang bersangkutan. Berbeda dengan perjanjian Bretton Woods di mana mata uang di back-up oleh emas, maka pada perjanjian Smithsonian Agreement mata uang benar-benar dibiarkan mengambang tanpa ada back-up dari emas. Sejak Smithsonia Agreement mulai dari tahun 1973, nilai riil mata uang dollar Amerika atas dasar permintaan dan penawaran di pasar secara murni. Yang perlu diberi catatan adalah sejak berakhirnya perjanjian Bretton Woods dan digantikannya dengan perjanjian Smithsonian, maka dimulailah sebuah babak awal era perekonomian baru, khususnya di dunia perdagangan mata uang. Dengan berakhirnya sistem tukar tetap (Bretton Woods Agreement) telah memberikan kontribusi utama kepada perkembangan produk forward lainnya yaitu forward atas valuta asing. 323
321
Hendri Joni, Andy Nahil Gultom, Op.Cit., hal 29. internet terakhir dikunjungi pada tanggal 15 November 2014, http://id.wikipedia.org/wiki/ Institusi_Smithsonian, Institusi Smithsonian. Dinamakan Smithsonian Agreement karena perjanjian ini ditandatangani di Smithsonian Institution adalah suatu lembaga pendidikan dan riset, berikut kompleks museum terkaitnya, yang didirikan pada tahun1846 dan dikelola serta dibiayai oleh pemerintah Amerika Serikat dari donasi, kontribusi, dan keuntungan dari toko dan majalahnya – yang juga diberi nama Smithsonian. Smitsonian memiliki 19 museum dan galleri, 9 pusat riset serta kebun binatang yang berlokasi di Washington, D.C., Arizona, Maryland, New York City, Virginia, Panama dan tempat-tempat lain. 323 Hendri Joni, Andy Nahil Gultom, Op.Cit., hal 30 322Akses
a.3. Rezim Plaza Accord Perdagangan mata uang pada masa-masa setelah Bretton Woods, Smithsonian Agreement berjalan tanpa adanya regulasi/peraturan yang baku. Maka pada tanggal 22 September 1985, Menteri Keuangan & Gubernur Bank Sentral dari beberapa negara-negara maju seperti Prancis, Jepang, Inggris & Amerika Serikat berkumpul di New York, tepatnya di Plaza Hotel. 324 Adapun pertemuan ini ditujukan untuk membahas hal-hal yang perlu untuk mengoptimalisasikan perdagangan mata uang asing. 325 Kesepakatan antara pemerintah-pemerintah Perancis, Jerman Barat, Jepang, Amerika Serikat, dan Britania Raya; yang menyetujui untuk dilakukannya depresiasi atas dollar AS terhadap Yen Jepang dan Mark Jerman, melalui intervensi di pasar-pasar mata uang. Kelima pemerintah menandatangani kesepakatan tersebut. 326 Perjanjian ini didesain untuk mengontrol pergerakan mata uang dollar Amerika dan apresiasinya terhadap mata uang (antidolar) lainnya. Yang perlu diberi catatan kecil dari Plaza Accord ini; Adanya peran dari sentral bank masingmasing negara dalam pergerakan mata uang sebagai “regulator”. 327 Dari evolusi dimulai
rezim Bretton woods yang menganut nilai tukar tetap (fixed
exchange rate) dan diubah ke sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rate) 328 telah menyebabkan gelombang besar dalam sejarah fluktuasi transaksi valuta asing menjadikan ketidakpastian seluruh transaksi internasional. 329 Alasan ini memunculkan rekayasa keuangan (financial engeenering) untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut.
324
Ibid Akses Internet terakhir dikunjungi tanggal 21 Juli 2014, http://www.main-saham.com/tag/plaza-accord, Sejarah Forex. 326 Akses internet terakhir dikunjungi pada tanggal 15 November 2014, http://id.wikipedia.org/wiki/ Perjanjian Plaza, Perjanjian Plaza. 327 Ibid. 328 Hendri Joni, Andy Nahil Gultom, Loc.cit. 329 Merton H. Miller, Merton Miller on Derivative, (New York-Chichester-Weinheim-Brisbane-SingaporeToronto: John Wiley &Son,Inc., 1997), hal 4. 325
b. Perkembangan Sistem Nilai Tukar di Indonesia Kurs (exchange rate) adalah pertukaran antara dua mata uang yang berbeda, yaitu merupakan perbandingan nilai atau harga antara kedua mata uang tersebut. Perbandingan nilai inilah sering disebut dengan kurs (exchange rate). 330 Nilai tukar biasanya berubah-ubah, perubahan kurs dapat berupa depresiasi dan apresiasi. Kurs atau nilai tukar merupakan sebuah kunci bagi suatu negara untuk bertransaksi dengan dunia luar. Sistem pembayaran yang dilakukan baik di dalam negeri maupun luar negeri mau tidak mau harus terikat dengan nilai tukar atau kurs. 331 Sistem nilai tukar adalah sistem yang digunakan untuk pembentukan harga mata uang rupiah terhadap mata uang asing. 332 Secara garis besar sistem nilai tukar dapat dibagi menjadi dua sistem, yaitu: 333 Pertama, Sistem nilai tukar tetap (fixed exchanged rate), sistem dimana nilai tukar mata uang domestik ditetapkan pada tingkat tertentu terhadap nilai mata uang asing; Kedua, Sistem nilai tukar mengambang (floating exchanged rate), sistem dimana nilai tukar mata uang domestik diambangan terhadap nilai mata uang asing, atau sesuai dengan pergerakan pasar dimana terjadinya kurs mata uang berdasarkan pada permintaan dan penawaran mata uang asing. Kedua sistem tersebut di atas diimplementasikan dengan berbagai variasi, yaitu: 334 Pertama, Sistem nilai tukar tetap permanen (Permanently Fixed Exchange Rate); Kedua, Sistem nilai tukar mengambang murni (Absolutely Floating Exchange Rate); Ketiga, Sistem nilai tukar tetap terbatas (Fixed Permanently Exchange Rate); Keempat, Sistem nilai tukar tetap yang dapat disesuaikan (Adjustable FixedExchange Rate); 330
Akses internet terakhir dikunjungi 24 Mei 2014, http://strugglemoment.wordpress.com. Kurs-diIndonesia-Mekanisme-dan-Dampaknya. 331 Akses internet terakhir dikunjungi tanggal 9 juni 2014, http://economicwatcher.blogspot.com /2012/06/, kurs-tetap-kurs-mengambang-bebas-kurs.html Kurs Tetap, Kurs Mengambang Bebas, Kurs Mengambang Terkendali dan Penerapannya Di Indonesia 332 Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No.24 Tahun 1999 tentang Lalulintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar 333 Lianah, Sistem Moneter Internasional Modul 9, (Universitas Mercu Buana, 2008) 334 Ibid.
Kelima, Sistem nilai tukar merayap (Crawling Peg System); Keenam, Sistem nilai tukar mengambang terkendali (Managed Floating Exchange Rate). Di Indonesia penetapan sistem nilai tukar dilakukan dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia. Bank Indonesia mengkaji Sistem Nilai Tukar yang diajukan
kepada
Pemerintah secara cermat dan hati-hati. Sistem Nilai Tukar tersebut antara lain dapat berupa : 335 Pertama, Sistem Nilai Tukar tetap (Fixed Exchanged Rate); atau Kedua, Sistem Nilai Tukar mengambang (Floating Exchanged Rate);; atau Ketiga,Sistem Nilai Tukar mengambang terkendali (Managed FloatingExchanged Rate).
b.1. Kurs Tetap (Fixed Exchange Rate) Sistem nilai tukar tetap ( fixed exchange rate ) dimana lembaga otoritas moneter menetapkan tingkat nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang negara lain pada tingkat tertentu, tanpa memperhatikan penawaran ataupun permintaan terhadap valuta asing yang terjadi. Mulai tahun 1970 sampai dengan tahun 1978 Indonesia menerapkan sistem nilai tukar tetap. Selama 8 (delapan) tahun diterapkannya sistem tersebut telah terjadi 3 (tiga) kali devaluasi mata uang rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Devaluasi dilakukan karena nilai mata uang rupiah yang ditetapkan tidak lagi sesuai dengan nilai rielnya. Berdasarkan UU No. 32/1964 nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat (USD) ditetapkan dengan kurs. Rezim nilai tukar tetap pernah berlaku di Indonesia. Berdasarkan UU No.32 tahun 1964 ditetapkan bahwa nilai tukar Indonesia sebesar Rp. 250,-/US Dollar. Sedangkan nilai tukar Indonesia terhadap negara lainnya ditetapkan berdasarkan nilai tukar dollar terhadap negara tersebut sesuai dengan yang berlaku di pasar valuta asing Jakarta dan internasional. Dalam
335
Nilai Tukar
Penjelasan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 24 tahun 1999 tantang Lalu Lintas Devisa dan Sistem
periode penetapan kurs tetap tersebut, Indonesia juga menetapakan peraturan sistim kontrol devisa yang ketat. Dalam sistim ini, tidak ada pembatasan kepemilikan, penjualan, maupun pembelian valas namun para eksportir wajib menjual devisanya kepada bank sentral. Sebagai dampak dari penetapan kurs tetap tersebut maka Bank Indonesia harus mampu memenuhi kebutuhan pasar valas bagi bank komersial maupun masyarakat. Dalam perjalanannya, Indonesia juga sempat mendevaluasi kurs tetapnya sebagai dampak dari overvaluated dan jika di biarkan akan mengancam aktivitas ekspor-impor. Pada tanggal 17 april 1970 Indonesia merubah kurs tetapnya dari posisi semula sebesar Rp. 250,-/US Dollar menjadi Rp 378,-/US Dollar. Devaluasi yang kedua dilaksanakan pada tanggal 23 agustus 1971 menjadi Rp 415,-/US Dollar dan yang ketiga pada tanggal 15 november 1978 dengan nilai tukar sebesar Rp 625,-/US Dollar. 336 Terdapat sisi positif dan sisi negatif dalam sistem nilai tukar tetap ( fixed exchange rate ). 337 Dari sisi keunggulannya, kegiatan spekulasi di pasar uang menjadi semakin sempit, pemerintah dapat melakukan intervensi secara aktif mengatur nilai tukar sehingga tetap stabil, pemerintah memegang peranan penuh dalam pengawasan transaksi devisa, adanya kepastian nilai tukar menyebabkan pemerintah maupun pengusaha dapat melakukan perencanaan bisnis (business plan) secara lebih baik. Kelemahan dalam sistem ini adalah cadangan devisa harus besar untuk menyerap kelebihan dan kekurangan di pasar valas, kurang fleksibel terhadap perubahan global, penetapan kurs yang terlalu rendah atau terlalu tinggi akan mempengaruhi pasar ekspor. 338
336
Zulkarnain Sitompul et al., (Tim Analisis dan Evaluasi), Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang UndangUndang Lalulintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Undang-Undang No. 24 Tahun 1999), (Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2011), hal 12. 337 Akses internet terakhir dikunjungi tanggal 5 Mei 2014, http://rhobettanjung.blogspot.com, Valuta Asing. 338 Ibid.
b.2. Kurs Mengambang Terkendali (Managed Floating Exchange Rate) Penetapan kurs ini tidak sepenuhnya terjadi dari aktivitas pasar valuta. Dalam pasar ini masih ada campur tangan pemerintah melalui alat ekonomi moneter dan fiskal yang ada. Jadi dalam pasar valuta ini tidak murni berasal dari penawaran dan permintaan uang. Kebijakan nilai tukar terkendali pada november 1978 diharapkan dapat mewujudkan tercapainya nilai tukar rupiah yang realistis. Dengan sifat “mengambang” dapat dicapai suatu nilai yang wajar berdasarkan permintaan dan penawaran di pasar valuta, dan dengan sifat “terkendali” diharapkan fluktuasinya dapat diatur (orderly manner) sehingga unsur spekulasi yang dapat menghambat ekspor dan kestabilan moneter serta merangsang impor yang berlebihan dapat dihindari. Namun demikian, perkembangan nilai tukar rupiah tersebut sampai akhir tahun 1982/1983 belum mencerminkan nilai yang sesungguhnya (over-valued) sehingga menurunkan daya saing komoditi ekspor Indonesia. 339 Terdapat sisi positif dan sisi negatif dalam sistem kurs mengambang terkendali. 340 Dari sisi keunggulannya, kemampuan menjaga stabilitas moneter dengan lebih baik dan neraca pembayaran suatu negara lebih stabil, aktifitas permintan dan penawaran dalam pasar valuta berdasarkan kurs indikasi akan mampu menstabilkan nilai tukar dengan lebih baik sesuai dengan kondisi ekonomi yang terjadi, devisa yang diperlukan tidak sebesar pada nilai tukar tetap, mampu memadukan sistem tetap dan mengambang. Kelemahan dalam sistem ini adalah devisa harus selalu tersedia dan siap digunakan sewaktu-waktu, persaingan yang ketat antara pemerintah dan spekualan dalam memprediksi dan menetapkan kurs, tidak selamanya mampu
339
Zulkarnain Sitompul et al., (Tim Analisis dan Evaluasi), Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang UndangUndang Lalulintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Undang-Undang No. 24 Tahun 1999),Op.Cit., hal 14. 340 http://rhobettanjung.blogspot.com, Valuta Asing, Loc.Cit.
mengatasi neraca pembayaran, selisih kurs yang terjadi dalam pasar valuta akan mengurangi devisa karena memakai devisa untuk menutupi selisihnya. 341 Sistem nilai tukar mengambang terkendali di Indonesia ditetapkan bersamaan dengan kebijakan devaluasi rupiah pada tahun 1978 sebesar 33 %. Pada sistem ini nilai tukar rupiah diambangkan terhadap sekeranjang mata uang (basket currencies) negara-negara mitra dagang utama Indonesia. Dengan sistem tersebut, Bank Indonesia menetapkan kurs indikasi dan membiarkan kurs bergerak di pasar dengan spread tertentu. Untuk menjaga kestabilan nilai tukar Rupiah, maka Bank Indonesia melakukan intervensi bila kurs bergejolak melebihi batas atas atau batas bawah (spread). Pada saat sistem nilai tukar mengambang terkendali diterapkan di Indonesia, nilai tukar rupiah dari tahun ke tahunnya terus mengalami depresiasi terhadap US Dollar. Nilai tukar rupiah berubah-ubah antara Rp 644/US Dollar sampai Rp 2.383/US Dollar. Dengan perkataan lain, nilai tukar rupiah terhadap US Dollar cenderung tidak pasti.
b.3. Kurs Mengambang Bebas (Free Floating Rate) Sistim nilai tukar mengambang bebas ini akan menyerahkan nilai kurs kepada pasar untuk mencapai kondisi equilibrium yang sesuai dengan kondisi internal dan eksternal yaitu hukum permintaan dan penawaran di pasar aktif valuta. Campur tangan pemerintah menjadi kecil
yaitu melalui alat moneter dan fiskal yang ada. Kebijakan kurs mengambang bebas
diberlakukan pada tanggal 14 agustus 1997, Bank Indonesia memutuskan untuk menghapus rentang intervensi sehingga nilai tukar Rupiah dibiarkan mengikuti mekanisme pasar dan berlaku sampai sekarang. Kebijakan ini diambil dalam rangka mengamankan cadangan devisa yang terus berkurang. 341
Ibid.
Dengan pelepasan batas-batas kurs intervensi, pemerintah meninggalkan sistem tukar rupiah yang mengambang terkendali menjadi sistem nilai tukar mengambang murni sehingga nilai tukar kurs rupiah ditentukan sepenuhnya oleh kekuatan pasar. Ini merupakan peristiwa langka dan luar biasa sepanjang sejarah nilai tukar rupiah. Meskipun pada bulan-bulan berikutnya rupiah menguat kembali tetapi sampai saat ini rupiah tetap mempunyai kecenderungan melemah. Kelebihan sistem nilai tukar mengambang bebas antara lain adalah sebagai berikut: 342 Pertama, Terjadi koreksi otomatis terhadap keseimbangan neraca pembayaran nasional, sehingga seringkali disebut stabilisator otomatis. Otoritas moneter suatu negara membiarkan kurs mata uangnya berfluktuasi secara bebas menuju tingkat keseimbangannya di pasar valuta asing. Dalam hal ini ketidakseimbangan neraca pembayaran secara otomatis terkoreksi tanpa memerlukan kebijakan ekonomi pemerintah secara khusus; Kedua, Cadangan valuta asing suatu negara relatif utuh, dalam arti tidak digunakan untuk melakukan intervensi pasar valuta asing demi stabilisasi kurs. Nilai tukar mata uang nasional secara otomatis disesuaikan dengan tingkat nilai tukar di pasar valuta asing; Ketiga, Relatif lebih memiliki daya lindung terhadap fluktuasi perekonomian dunia. Negara yang menerapkan sistem ini tidak akan terikat secara langsung terhadap suatu kemungkinan munculnya gejolak inflasi dunia yang tinggi. Hal ini juga merupakan suatu perlindungan yang lebih luas dari goncangan dan fluktuasi ekonomi dunia; Keempat, Pemerintah memiliki kebebasan ekonomi yang lebih besar dalam menentukan kebijaksanaan ekonomi di dalam negerinya. Artinya, pemerintah dapat secara bebas memilih berapapun tingkat permintaan domestik yang dikehendaki dan dengan mudah membiarkan pergerakan nilai tukar menyelesaikan berbagai permasalahan yang terdapat pada neraca pembayarannya; Kelima, Kondisi asimetris dan ketidakadilan dapat dihindarkan. 342
Zulkarnain Sitompul et al., (Tim Analisis dan Evaluasi), Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang UndangUndang Lalulintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Undang-Undang No. 24 Tahun 1999),Op.Cit., hal 16-17.
Sistem nilai tukar bebas memiliki beberapa kekurangannya yaitu antara lain : Pertama, Pembuat keputusan, dalam hal ini bank sentral dan pemerintah, tidak lagi dibebani kekuatiran terhadap berkurangnya cadangan devisa untuk mempertahankan nilai tukar. Dengan demikian dapat menyebabkan diterapkannya kebijakan fiskal dan moneter yang terlalu ekspansif, yang dapat mengakibatkan perekonomian negara tersebut masuk dalam perangkap inflasi. Dengan kata
lain
sistem
nilai
tukar
mengambang
bebas
dapat
menyebabkan
timbulnya
kekurangdisiplinan pemerintah dalam menetapkan kebijaksanaan ekonominya; Kedua, Munculnya spekulasi perusak stabilitas dan gangguan terhadap pasar uang. Spekulasi perusak stabilitas ini cenderung memperbesar gejolak nilai tukar uang dalam jangka panjang daripada yang seharusnya terjadi sebagai akibat dari gangguan ekonomi yang tidak terduga. Hal ini akan membawa ketidakpastian pada bidang perdagangan dan investasi, khususnya dalam segala hal yang berkaitan dengan pembayaran luar negeri; Ketiga, Timbulnya kebijakan-kebijakan ekonomi yang tidak terkoordinasi dengan baik. Masing-masing negara akan lebih berpeluang untuk menerapkan kebijaksanaan ekonomi sepihak yang menguntungkan dirinya sendiri, tanpa menghiraukan dampak negatif kebijakan tersebut terhadap negara lainnya; Keempat, Timbulnya ilusi tentang otonomi yang lebih besar. Para pembuat kebijakan ekonomi tidak dapat mengabaikan pengaruh pelaksanaan kebijakan ekonomi terhadap kondisi nilai tukar valuta asing, dan sebaliknya. Suatu depresiasi yang meningkatkan harga barang-barang impor akan mendorong kenaikkan upah tenaga kerja. Hal ini akan meningkatkan harga jual komoditi, sehingga merangsang inflasi, yang selanjutnya menyebabkan tuntutan kenaikkan upah yang lebih tinggi lagi. oleh karena itu, pada akhirnya sistem nilai tukar mengambang bebas dapat mempercepat reaksi harga terhadap kenaikkan penawaran uang (sistem ini tidak benar-benar memperkuat pengendalian terhadap tingkat penawaran uang riil). Konsekuensi yang muncul
dengan diterapkannya sistem nilai tukar mengambang bebas adalah pemerintah tidak perlu mendevaluasi mata uangnya karena sudah diserahkan kepada mekanisme pasar yang berlaku, cadangan devisa tidak perlu besar, jumlah uang beredar cenderung mudah dikendalikan.