21 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN DAN PERUSAHAAN ASURANSI 1.1
Kepailitan
1.1.1 Pengertian Kepailitan Kepailitan berasal dari kata „pailit‟ dari bahasa Belanda ‘Failliet’.Kata Failliet itu sendiri berasal dari bahasa Perancis „Faillite‟, yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran. Jadi, kata „Pailit‟ dalam bahasa Indonesia itu dapat diartikan yaitu adanya suatu keadaan berhenti membayar. Mengenai definisi dari kepailitan itu sebagaimana terjemahan istilah Belanda „Faillisement‟ tidak dapatditemukan dalam peraturan kepailitan (Faillisement Verordenings yang diundangkan dalam Staatsblad Hindia Belanda tahun 1905 Nomor 271 juncto Staatsblad tahun 1906 No.348).1 Peraturan peninggalan Hidia Belanda tersebut dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat Indonesia dalam menyelesaikan masalah utang piutang, sehingga pemerintah memperbaharuinya dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan dan perubahan terakhirnya adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban pembayaran Utang. Pengertian kepailitan di Indonesia mengacu pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, 1
BravikaBungaRamadhani, Penyelesaian Utang Piutang Melaui Kepailitan (Studi kasus pada Putusan Mahkamah Agung RI tentang PT Prudential Life Insurance), Tesis, Program Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang, 2009, h. 46.
22 yaitu dalam Pasal 2 mendefinisikan pailit sebagai debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Dari pengertian pailit tersebut dapat diartikan sebagai adanya ketidakmampuan debitur untuk membayar kepada kreditur atas utang-utangnya yang telah jatuh waktu. Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitur sendiri, maupun pihak ketiga atas suatu permohonan pernyataan pailit ke pengadilan.2 Maksud dari pengajuan permohonan tersebut adalah sebagai suatu bentuk pemenuhan asas “publisitas” dari keadaan debitor yang tidak mampu membayar. Keadaan ini kemudian akan diperkuat dengan suatu putusan pernyataan pailit oleh hakim pengadilan, baik itu yang merupakan putusan yang mengabulkan ataupun mmenolak permohonan kepailitan yang diajukan. 3 Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban pembayaran Utang menyebutkan utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dkemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur, bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapatkan pemenuhannya dari harta kekayaan deitur. Setiawan, dalam bukunya : Ordonansi Kepailitan serta Aplikasi 2 3
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op.Cit, h. 11-12. Ibid.
23 Kini, mengemukakan bahwa utang seharusnya diberi arti luas, baik dalam arti kewajiban membayar sejumlah uang tertentu yang timbul karena adanya perjanjian utang-piutang (dimana debitur telah menerima sejumlah uang tertentu dari krediturnya) maupun kewajiban pembayaran sejumlah uang tertentu yang timbul dari perjanjian atau kontrak lain yang menyebabkan debitor harus membayar sejumlah uang tertentu.4
1.1.2 Para Pihak Yang Terlibat Dalam ProsesKepailitan 1. Pihak pemohon pailit Salah satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah pihak pemohon pailit, yakni pihak yang mengabil insiatif untuk mengajukan permohonan pailit ke pengadilan. Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang dapat menjadi pemohon dalam suatu perkara pailit adalah : 1. Pihak debitur itu sendiri. 2. Salah satu atau lebih dari pihak kreditur. 3. Pihak kejaksaan jika menyangkut dengan kepentingan umum. 4. Pihak Bank Indonesia jika debiturnya adalah suatu bank. 5. Pihak Badan Pengawas Pasar Modal jika debiturnya adalah suatu perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, serta lembaga penyimpanan dan penyelesaian.
4
Adrian Sutedi, 2009, Hukum Kepailitan, Ghalia Indonesia, Bogor, h.34.
24 6. Menteri Keuangan jika debitur perusahaan asuransi, reasuransi, dana pension, atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan umum.
2
Pihak Debitur Pailit Pihak debitur pailit adalah pihak yang dapat memohon atau dimohonkan
pailit ke pengadilan berwenang untuk kepentingannya sendiri. Istilah dalam bahasa Inggris disebut juga Voluntary Petition sesuai yang tercantum dalam Undang-Undang Kepailitan yang menandakan bahwa suatu permohonan pernyataan pailit bukan saja untuk kepentingan kreditornya, tetapi dapat pula diajukan untuk kepentingan debitornya sendiri, yang menjadi debitur pailit adalah debitur yang memiliki 2 atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya 1 utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Namun, ketentuan tersebut membuka kemungkinan bagi debitur yang beritikad tidak baik untuk melakukan rekayasa demi kepentingannya. 3
Hakim Niaga Perkara kepailitan diperiksa oleh hakim majelis (tidak boleh oleh hakim
tunggal), baik untuk tingkat pertama maupun untuk tingkat kasasi. Untuk perkara niaga lainnya yang tidak merupakan perkara kepailitan diperbolehkan diperiksa oleh hakim tunggal dengan penetapan Mahkamah Agung, hakim majelis tersebut merupakan hakim-hakim pada Pengadilan Niaga, yakni hakim-hakim Pengadilan Negeri yang diangkat menjadi hakim Pengadilan Niaga berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah Agung. Di samping itu, juga hakim ad hoc yang diangkat dari
25 kalangan para ahli dengan keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. Ketentuan tentang pengunaan hakim ad hoc tersebut tetap dipertahankan dalam Pasal 302 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan dengan keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung dapat diangkat seseorang yang ahli, sebagai hakim ad hoc, baik pada tingkat pertama, kasasi, maupun pada peninjauan kembali. 5
4
Kurator Dalam tahap kepailitan, kurator merupakan pihak yang sangat penting
keberadaannya. Setelah debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan, maka debitur demi hukum tidak berwenang melakukan pengurusan dan atau pengalihan terhadap harta kekayaannya yang sudah menjadi harta pailit sehingga, dalam setiap putusan pailit oleh pengadilan, maka di dalamnya terdapat pengangkatan kurator yang ditunjuk untuk melakukan pengurusan dan pengalian harta pailit di bawah pengawasan hakim pengawas. Dari proposisi ini, maka tampak bahwa kurator sangat menentukan terselesaikannya pemberesan harta pailit. 6 Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban pembayaran Utang menyatakan bahwa dalam putusan pernyataan pailit, harus diangkat kurator dan seorang hakim pengawas yang ditunjuk dari hakim pengadilan. Apabila pihak yang berwenang
5 6
Bravika Bunga Ramadhani, Op,Cit, h. 77. M.Hadi Shubhan, 2008, Hukum Kepailitan, Kencana Prenada Media, Jakarta. h. 108.
26 mengajukan permohonan pailit tidak mengajukan usulan pengangkatan kurator kepada pengadilan maka Balai Harta Peninggalan dapat diangkat selaku kurator. Pasal 70 ayat (2) menyebutkan bahwa yang dimaksud kurator lainnya selain Balai Harta Peninggalan adalah : a. Perorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan atau membereskan harta pailt; b. Telah terdaftar pada kementrian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan. Kurator yang diangkat haruslah idependen dan tidak boleh ada conflict of interest (benturan kepentingan) baik dengan debitur maupun kreditur, dan tidak sedang menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari 3 perkara. Dalam jangka waktu paling lambat 5 hari setelah tanggal putusan pernyataan pailit diterima oleh Kurator wajib mengumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 surat kabar harian yang ditetapkan oleh hakim pengawas mengenai ikhtisar putusan pernyataan pailit yang memuat hal-hal sebagai berikut : c. Nama, alamat, dan pekerjaan debitur; d. Nama hakim pengawas; e. Nama, alamat, dan pekerjaan kurator; f. Nama, alamat, dan pekerjaan anggota panitia kurator sementara, apabila telah ditunjuk dan; g. Tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama kreditor.
27 Dalam melaksanakan tugasnya kurator tidak diharuskan mendapatkan persetujuan dari atau menyampaikan terlebih dahulu kepada debitur atau salah satu organ debitur, meskipun dalam keadaan diluar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan. Kurator juga dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, hanya dalam rangka meningkatkan nilai harta pailit. Kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan tugas pengurusan dan atau pemberasan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit. Sehubungan dengan hal tersebut maka Kurator dapat digugat dan wajib membayar ganti kerugian apabila karena kelalaiannya atau terutama karena kesengajaannya telah menyebabkan harta pailit mengalami kerugian, dan kemanakah gugatan terhadap Kurator tersebut dalam Undang-Undang Kepailitan tidak mengaturnya namun karena Pengadilan Niaga hanya berwenang memeriksa gugatan pailit saja maka gugatan tersebut harus diajukan ke Pengadilan Negeri. 7
5
Hakim Pengawas Untuk mengawasi pelaksanaan pemberesan harta pailit, maka dalam
putusan kepailitan, oleh pengadilan harus diangkat hakim pengawas di samping pengangkatan Kurator. Pengangkatan hakim pengawas pada Pasal 15 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menentukan bahwa, dalam putus pailit harus diangkat seorang hakim pengawas yang ditujuk oleh hakim pengadilan.
7
Sutan Remy, Op.Cit, h. 223.
28 Tugas hakim pengawas adalah mengawasi pengurusan dan atau pemberesan harta pailit yang dilakukan oleh kurator. Selain itu, hakim pengawas dapat memberikan pendapatnya kepada pengadilan niaga sebelum pengadilan memutuskan sesuatu yang menyangkut dengan pengurusan dan atau pemberesan harta pailit dan wajib didengarkan oleh pengadilan. Hakim pengawas berwenang untuk mendengarkan keterangan para saksi atau memerintahkan penyelidikan oleh para ahli untuk memperoleh kejelasan tentang segala hal mengenai kepalitan serta, pemanggilan saksi di atas namakan hakim pengawas. Terhadap semua penetapan hakim pengawas, dalam waktu 5 hari setelah penetapan tersebut dibuat, dapat diajukan permohonan banding.
6
Panitia Kreditur Panitia kreditur adalah pihak yang mewakili pihak kreditur, sehingga
panitia kreditur tentu akan memperjuangkan segala kepentingan hukum dari pihak kreditur. Ada 2 macam panitia kreditur yang diperkenankan oleh Undang-Undang Kepailitan yaitu : 1. Panitia kreditur sementara (yang ditunjuk dalam putusan pernyataan pailit; 2. Panitia kreditur tetap, yakni panitia yang dibentuk oleh hakim pengawas apabila dalam putusan pailit tidak diangkat panitia kreditur sementara. Atas permintaan kreditur konkuren dan berdasarkan putusan kreditur konkuren dengan suara terbanyak biasa (simple majority), hakim pengawas
29 berwenang menggantikan panitia kreditur sementara dengan panitia kreditur tetap, atau membentuk panitia kreditur tetap jika tidak diangkat panitia kreditur sementara. Dalam hal ini, hakim pengawas wajib menawarkan kepada para kreditur untuk membentuk suatu panitia kreditur tersebut. 8 Panitia Kreditor setiap waktu berhak meminta diperlihatkan semua buku, dokumen, dan surat mengenai kepailitan dan Kurator wajib memberikan kepada Panitia Kreditor semua keterangan yang diminta apabila diperlukan, Kurator dapat mengadakan rapat dengan Panitia Kreditor, untuk meminta nasihat. Sebelum mengajukan gugatan atau meneruskan perkara yang sedang berlangsung, ataupun menyanggah gugatan yang diajukan atau yang sedang berlangsung, Kurator wajib meminta pendapat Panitia Kreditor. Namun ketentuan tersebut tidak berlaku terhadap sengketa tentang pencocokan piutang, tentang meneruskan atau tidak meneruskan perusahaan dalam pailit, dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, 38, 39, 59 ayat (3), 106, 107, 184 ayat (3), dan 186 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban pembayaran Utang, tentang cara pemberesan dan penjualan harta pailit, dan tentang waktu maupun jumlah pembagian yang harus dilakukan. Pendapat Panitia Kreditor sebagaimana dimaksud pada Pasal 83 ayat (1) UUPKPU tersebut tidak diperlukan, apabila Kurator telah memanggil Panitia Kreditor untuk mengadakan rapat guna memberikan pendapat, namun dalam jangka waktu 7 hari setelah pemanggilan, Panitia Kreditor tidak memberikan pendapat tersebut.
8
39.
Munir Fuady, 2005, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya, Bandung, h.
30 Kurator tidak terikat oleh pendapat Panitia Kreditor. Dalam hal Kurator tidak menyetujui pendapat Panitia Kreditor maka Kurator dalam waktu 3 hari wajib memberitahukan hal itu kepada Panitia Kreditor apabila Panitia Kreditor tidak menyetujui pendapat Kurator, Panitia Kreditor dalam waktu 3 hari setelah pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat meminta penetapan Hakim Pengawas. Dalam hal Panitia Kreditor meminta penetapan Hakim Pengawas maka Kurator wajib menangguhkan pelaksanaan perbuatan yang direncanakan selama 3 hari.
1.1.3 Syarat-Syarat Kepailitan Agar debitur dapat dinyatakan pailit, maka seorang debitur harus memenuhi syarat-syarat, sebagai berikut :9 a. Terdapat keadaan berhenti membayar, yakni bila seorang debitur sudah tidak mampu atau tidak mau membayar utang-utangnya; b. Harus terdapat lebih dari seorang kreditur, dan salah satu diantaranya memiliki piutang yang sudah dapat ditagih atau sudah jatuh waktu. Namun yang menjadi persoalan adalah tidak adanya ukuran yang pasti mengenai
“keadaan
berhenti
membayar”
baik
dalam
undang-undang,
yurisprudensi, maupun pendapat para sarjana. 10
9
Zainal Asikin, 1994, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Cet.II, PT. Grafindo Persada, Jakarta, h. 30. 10 Ibid.
31 Mengenai syarat paling sedikit harus ada dua kreditor memungkinkan seorang debitor dinyatakan pailit apabila debitor memiliki paling sedikit dua kreditor, mengenai syarat ini dikenal sebagai concursus creditorium. Syarat kedua kepailitan adalah debitur tidak membayar sedikitnya satu utangnya. Apabila syarat adanya 2 kreditur atau lebih telah terpenuhi, syarat berikutnya adalah debitur tersebut tidak membayar sedikitnya satu utangnya. Pengertian tidak membayar disini adalah tidak atau belum membayar lunas seluruh utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, baik utang pokok beserta bungannya. Utang adalah kewajiban yang timbul dari perikatan. Paham ini, seperti dikatakan Asser bahwa arti utang secara etimologis berasal dari kata gotisch skulanatau sollen yang diartikan harus dikerjakan menurut hukum. Pada perkembangannya, kata utang digunakan untuk menunjukkan kewajiban yang timbul dari perikatan baik dari perjanjian ataupun Undang-Undang. Namun, dikaji dari perspektif normatif sebagaimana bunyi ketentuan pasal 1 angka 6 UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontijen oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.11 Syarat selanjutnya adalah utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Adapun yang dimaksud dengan utang yang telah jatuh waktu dan dapat 11
Lilik Mulyadi, 2010, Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Teori dan Praktik, PT. Alumni, Bandung, h. 86-87.
32 ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu baik yang timbul karena perjanjian, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter atau arbritase. Penentuan jatuh waktu adalah mudah, sekedar melihat pengaturan perjanjian atau penetapan pihak berwenang sebagaimana dijelaskan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bahwa cukup dengan lewatnya waktu yang ditentukan pada saat debitur tidak membayar utangnya. 12
2.4
Perusahaan Asuransi
2.4.1 Jenis Usaha Perasuransian Dalam Pasal 1 angka (4) UU Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian dibagi berbagai jenis perusahaan asuransi seperti Perusahaan Asuransi
Kerugian,
Perusahaan
Asuransi
Jiwa,
Perusahaan Reasuransi,
Perusahaan Pialang Reasuransi, Perusahaan Agen Asuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dan perusahaan Konsultas Akturia. Namun tidak memberi definisi yang jelas mengenai perusahaan asuransi. Kententuan Pasal 2 UndangUndang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian menyebutkan bahwa: (a) Usaha asuransi adalah usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melauli pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap
12
Ibid, h. 92.
33 kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang. (b) Usaha
penunjang
usaha
asuransi,
yang
menyelenggarakan
jasa
keperantaraan, penilaian kerugian asuransi, dan jasa akturia. Dalam pasal 3 huruf (a) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransia menyatakan bahwa Usaha asuransi dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu: 1. Usaha asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa tidak pasti. 2. Usaha asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan. 3. Usaha reasuransi yang memberikan jasa dalam asuransi utang terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi Jiwa. Dalam pasal 3 huruf (b) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, usaha penunjang usaha asuransi dikelompokkan menajdi 5 yakni Usaha Pialang Asuransi, Usaha Pialang Reasuransi, Usaha Penilaian Kerugian Asuransi, Usaha Konsultan Aktuaria, Usaha Agen Asuransi. Berdasarkan apa yang dijabarkan dalam Pasal 3 di atas, dapat dilihat bahwa kegiatan usaha di bidang perasuransian dibedakan antara usaha utama di bidang
34 asuransi dan usaha penunjang di bidang asuransi. Untuk itu, persyaratan untuk menjalankan kegiatan ini pun mempunyai syarat tersendiri. 13 Selain pengelompokkan menurut jenis usahanya, usaha asuransi dapat pula dibagi berdasarkan sifat dan penyelenggaraan usahanya menjadi 2 kelompok, yaitu: a. Usaha asuransi sosial dalam rangka penyelenggaraan Program Asuransi Sosial yang bersifat wajib (compulsary) berdasarkan undang-undang dan memberikan perlindungan dasar untuk kepentingan masyarakat. b. Usaha asuransi komersial dalam rangka penyelenggaraan Program Asuransi Kerugian dan Asuransi Jiwa yang bersifat kesepakatan (voluntary) berdasarkan kontrak asuransi dengan tujuan memperoleh keuntungan (motif ekonomi).
2.4.2 Bentuk Usaha Perasuransian Badan usaha dibagi menjadi 2 yaitu badan usaha yang berbadan hukum dan badan usaha yang tidak berbadan hukum. Ciri-ciri badan usaha yang berbadan hukum adalah yang menjadi subjek hukum dalam badan hukum itu sendiri dan tanggung jawabnya yang terbatas, dimana para pengurus badan hukum tersebut hanya bertanggung jawab sebatas pada saham yang dimilikinya saja. badan usaha yang tidak berbadan hukum yang menjadi subjek hukumnya adalah pengusaha tersebut dan tanggung jawabnya meliputi harta pribadi para pengurusnya.
13
Sentosa Sembiring, 2004,Hukum Asuransi, Nuansa Aulia, Bandung, h. 155.
35 Berdasarkan kententuan Pasal 7 UU Usaha Perasuransian menyebutkan bahwa 1. Usaha perasuransian hanya dapat dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk : a. Perusahaan Perseroan (PERSERO); b. Koperasi; c. Usaha Bersama (Mutual). 2. Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), usaha konsultan akturia dan usaha agen asuransi dapat dilakukan oleh perusahaan perorangan. 3. Ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama (Mutual) diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Merujuk kepada ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian di atas, tampak bahwa untuk menjalankan kegiatan usaha perasuransian hal pertama yang harus diperhatikan adalah bentuk badan hukumya yang akan menjadi identitas usaha perasuransian yang akan dijalankan. Hal tersebut dianggap penting, sebab untuk mendirikan badan usaha berbadan hukum mempunyai persyaratan tertentu yang harus dipenuhi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang badan usaha yang dimaksud. 14 Apabila badan hukum yang menjalankan usaha perasuransian itu berbentuk Perseroan Terbatas dan atau Perusahaan Perseroan (Persero), maka
14
Ibid, h. 156.
36 pendiriannya harus mengikuti ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Apabila badan hukum itu berbentuk Koperasi, maka untuk memperoleh status badan hukum itu Koperasi pendiriannya harus mengikuti
ketetuan
Undang-Undang
Nomor
25
Tahun
1992
tentang
Perkoperasian. Sedangkan,badan usaha bersama hingga saat ini belum ada ketentuan yang mengatur secara khusus, sehingga untuk sementara ketentuan usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama (Mutual) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2.4.3 Izin Usaha Perasuransian Mengenai perizinan usaha perasuransian, sesuai Pasal 9 ayat (1) UndangUndang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian disebutkan bahwa setiap pihak yang melakukan usaha perasuransian wajib mendapat izin usaha dari Menteri, kecuali bagi perusahaan yang menyelenggarakan program asuransi sosial. Pengertian Menteri yang dimaksud disini, sesuai ketentuan Pasal 1 butir 14 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. Ketentuan Pasal 9 ayat (2) menyebutkan bahwa untuk mendapatkan ijin usaha harus dipenuhi persyaratan mengenai: c. Anggaran Dasar d. Susunan organisasi e. Permodalan f. Kepemilikan
37 g. Keahlian di bidang perasuransian h. Kelayakan rencana kerja i.
Hal-hal lain yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan usaha perasuransian secara sehat. Keahlian dibidang perasuransian yang dimaksud dalam ketentuan ini
mencakup antara lain keahlian dibidang aktuaria, underwriting, manajemen risiko, penilai kerugian asuransi, dan sebagainya sesuai dengan kegiatan usaha perasuransian yang dijalankan. Dalam hal terdapat kepemilikan pihak asing, maka untuk memperoleh izin usaha wajib dipenuhi persyaratan dalam ayat (2) serta ketentuan mengenai batas kepemilikan dan kepengurusan pihak asing (pasal 9 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian). Dalam pengertian „batas kepemilikan dan kepengurusan pihak asing‟ termasuk pula pengertian tentang proses Indonesianisasi.