BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BOARDING SCHOOL DAN PENDIDIKAN KARAKTER
A. Boarding School 1. Definisi Boarding School Boarding school merupakan kata dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata, yaitu boarding berarti berarti asrama dan school berarti sekolah. Boarding school adalah sistem sekolah berasrama, dimana peserta didik dan juga para guru dan pengelola sekolah tinggal di asrama yang berada dalam lingkungan sekolah dalam kurun waktu tertentu.1 Menurut Encyclopedia Wikipedia yang dikutip oleh Maksudin, boarding school adalah lembaga pendidikan dimana para siswanya tidak hanya belajar, tetapi mereka bertempat tinggal dan hidup menyatu di lembaga tersebut. Boarding school mengkombinasikan tempat tinggal para siswa di institusi sekolah yang jauh dari rumah dan keluarga mereka dengan diajarkan agama serta pembelajaran beberapa mata pelajaran.2 Menurut Oxford dictionary, pendidikan kepesantrenan (Boarding School) is school where some or all pupil live during the term. Artinya adalah pesantren adalah lembaga pendidikan yang mana sebagian atau
1
http://bhakti-ardi.blogspot.com/2012/07/boarding-school-dan-peranannya dalam 08.html (8 Juli 2012). Diakses, 20 Oktober 2014 2 Maksudin, “Pendidikan Nilai Boarding School di SMPIT Yogyakarta”, Disertasi UIN Sunan Kalijaga, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 111
25
26
seluruh
siswanya
belajar
dan
tinggal
bersama
selama
kegiatan
pembelajaran.3 Selain itu Pendidikan kepesantrenan (Boarding School) juga didefinisikan: is a school where some or all pupils study and live during the school year with their fellow students and possibly teachers and/or administrators. Artinya adalah “sebuah pesantren adalah sekolah di mana beberapa atau semua muridnya belajar dan hidup selama tahun ajaran dengan sesama siswa, guru, dan administrator.”4 Jadi dapat disimpulkan menurut penulis, bahwaboarding school didefinisikan sebagai suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang menekankan pelajaran agama Islam dan memperhatikan materi-materi dasar keilmuwan yang mendukung dengan mata pelajaran sekolahyang melibatkan peserta didik dan para pendidiknya bisa berinteraksi dalam waktu 24 jam setiap harinya dan didukung asrama sebagai tempat tinggal santri yang bersifat permanen. 2. Tujuan Boarding School Tujuan pendidikan merupakan bagian terpadu dari faktor-faktor pendidikan. Tujuan termasuk kunci keberhasilan pendidikan, disamping faktor-faktor lain yang terkait: pendidik, peserta didik, alat pendidikan dan
3
http://lailafaizah.blogspot.com/2012/07/kolaborasi-pendidikan-formal-dan.html, (8 Juli 2012), Diakses, 20 Oktober 2014 4 Ibid
27
lingkungan pendidikan.5 Dari berbagai konsep yang diterapkan di boarding school, maka tujuan boarding school yaitu:6 a. Menghasilkan generasi yang beraqidah, shalih, berkepribadian matang, mandiri, sehat, disiplin, dan bermanfaat tinggi. b. Menghasilkan generasi berprestasi dalam akademik dan daya saing tinggi. c. Menghasilkan generasi yang memiliki kecakapan dan keahlian dalam menunjang kehidupannya. d. Menghasilkan generasi mandiri, kreatif, inovatif dan jiwa wirausaha. 3. Peran Boarding School Sesungguhnya konsep boarding schoolbukan sesuatu yang baru dalam sistem pendidikan Indonesia. Karena sejak lama konsep boarding school dikenal dengan konsep pondok pesantren. Pondok pesantren ini adalah cikal bakal boarding school di Indonesia. Boarding school memiliki peranan penting, antara lain sebagai lembaga pendidikan, lembaga
keilmuwan,
lembaga
pelatihan,
lembaga
pemberdayaan
masyarakat, dan lembaga bimbingan keagamaan.7 Boarding school memiliki peranan penting dan strategis dalam pembentukan akhlak yang paripurna, hal ini bisa dicermati dari latar belakang berdirinya boarding school yang memadukan kurikulum
5
Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju DemokratisasiInstitusi, (Jakarta: Erlangga, 2007),hlm. 3 6 Dokumentasi MDTA BIAS Assalam Kota Tegal 7 M. Dian Nafi’, et al, Praksis Pembelajaran Pesantren, (Yogyakarta: Instite for Training and Developmment (ITD) Amherst, 2007), hlm. 11-20
28
pesantren dengan sekolah umum. Adapun peran boarding school, sebagai berikut:8 a. Mengembangkan lingkungan belajar yang Islami b. Menyelenggarakan program pembelajaran dengan system mutu terpadu dan terintegrasi yang memberikan bekal kecerdasan intelektual, spiritual dan emosional, serta kecakapan hidup (life skill). c. Mengelola lembaga pendidikan dengan sistem manajemen yang efektif, kondusif, kuat, bersih, modern dan memiliki daya saing. d. Mengoptimalkan peran serta orang tua, masyarakat dan pemerintah. 4. Komponen Boarding School Boarding school adalah lembaga pendidikan dimana para siswa tidak hanya belajar, tetapi juga bertempat tinggal dan hidup menyatu di lembaga tersebut. Secara historis, boarding school merujuk pada Britania Klasik. Istilah boarding school di beberapa negara berbeda-beda, Grait Britain (college), Amerika Serikat (private school), Malaysia (kolej) dan sebagainya.9 Elemen atau komponen boarding school terdiri dari fisik dan non fisik. Komponen fisik terdiri dari sarana ibadah, ruang belajar dan asrama. Sedangkan komponen non fisik berupa program aktivitas yang tersusun secara rapih, segala aturan yang telah ditentukan beserta sanksi yang
8
http://bhakti-ardi.blogspot.com. Op. Cit. Maksudin, Op. Cit
9
29
menyertainya serta pendidikan yang berorientasi pada mutu (mutu akademik, guru program pilihan, manajemen, fasilitas dan lain-lain).10 5. Klasifikasi Boarding School Klasifikasi boarding school menurut jenisnya, yaitu:11 a. Menurut system bermukim siswa 1) All boarding school, yaitu seluruh siswa bermukim di sekolah. 2) Boarding day school, yaitu sebagian siswa tinggal di asrama dan sebagian lagi tinggal di sekitar asrama. 3) Day boarding, yaitu mayoritas siswa tidak tinggal di asrama meskipun sebagian ada yang tinggal di asrama. b. Menurut jenis siswa 1) Junior boarding school, yaitu sekolah yang menerima murid dari tingkat SD sampai SMP, namun umumnya tingkat SMP saja. 2) Co-educational school, yaitu sekolah yang menerima siswa laki-laki dan perempuan. 3) Boys school, yaitu sekolah yang menerima siswa laki-laki saja. 4) Pre- professional arts school, yaitu sekolah khusus untuk seniman. 5) Special-Need Boarding School, yaitu sekolah untuk anak-anak yang bermasalah dengan sekolah biasa.
10
Suyadi, “Evolusi Pesantren Dinamika Perubahan Pesantren Hingga Boarding School”, Skripsi Sarjana Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pendidikan Bina Insan, 2012), hlm. 48 11 Ibid
30
c. Menurut system sekolah 1) Military school, yaitu sekolah yang mengikuti aturan militer dan biasanya menggunakan seragam khusus. 2) 5 day boarding school, yaitu sekolah dimana siswa dapat memilih untuk tinggal diasrama atau pulang di akhir pekan.
B. Pendidikan Karakter 1. Definisi Pendidikan Menurut GBHN 1988 (BP 7 Pusat, 1990: 105) memberikan batasan tentang pendidikan nasional sebagai berikut: pendidikan nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa indonesia dan berdasarkan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas, dan mandiri sehingga mampu membangun dirinya dan
masyarakat
sekelilingnya
serta
dapat
memenuhi
kebutuhan
pembangunan nasional dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.12 Definisi tersebut menggambarkan terbentuknya manusia yang utuh sebagai tujuan pendidikan. Pendidikan memperhatikan kesatuan aspek jasmani dan rohani, aspek diri (individualitas), dan aspek sosial, aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, serta segi serba keterhubungan manusia 12
Umar Tirtarahardja dan La Sula, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998), hlm. 36-37
31
dengan dirinya (kosentris), dengan lingkungan sosial dan alamnya (horizontal), dan dengan Tuhannya (vertikal). 2. Definisi Karakter Makna karakter sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan pada aplikasi nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus, dan berperilaku jelek dikatakan sebagai orang berkarakter jelek. Sebaliknya orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral dinamakan berkarakter mulia.13 Karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Karakter dapat dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, adat istiadat dan estetika. 14 Definisi karakter menurut Pusat Pendidikan Bahasa Depdiknas adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabi’at, temperamen, dan watak. Sementara itu, yang disebut dengan
13
Nurla Isna Aunillah, Panduan Menerapkan Pendidikan Karakter di Sekolah, (Jakarta: Laksana, 2011), hlm. 19-20 14 Muchlas Sam’ani dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 41-42
32
berkarakter ialah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabi’at, dan berwatak.15 Menurut pendapat Tadzkiroatun Musfiroh yang dikutip oleh Nurul Isna Aunillah, bahwa karakter mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivation), dan ketrampilan (skill).16 Menurut Doni Koesoema Albertus yang dikutip oleh Jamal Ma’mur Asmani, karakter diasosiasikan dengan temperamen yang memberinya sebuah definisi yang menekankan unsur psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan. Karakter juga dipahami dari sudut pandang behavioral yang menenkankan unsur stomatopsikis yang dimiliki oleh individu sejak lahir. Disini, karakter dianggap sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari seseorang, yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya pengaruh keluarga pada masa kecil dan bawaan seseorang sejak lahir.17 Sebagai identitas atau jati diri suatu bangsa, karakter merupakan nilai dasar perilaku yang menjadi acuan tata nilai interaksi antar manusia. Secara universal berbagai karakter dirumuskan sebagai nilai hidup bersama berdasarkan atas pilar: kedamaian (peace), menghargai (respect), kerja sama (cooperation), kebebasan (freedom), kebahagiaan (happiness), kejujuran (honesty), kerendahan hati (humility), kasih sayang (love),
15
Nurla Isna Aunillah, Op. Cit., hlm. 19 Ibid 17 Jamal Ma’mur Asmani, Op. Cit., hlm. 30 16
33
tangggung jawab (responsibility), kesederhanaan (simplicity), toleransi (tolerance), dan persatuan (unity).18 Karakter juga dipengaruhi oleh hereditas. Perilaku seorang anak sering kali tidak jauh dari perilaku ayah dan ibunya. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam ikut berperan dalam pembentukan karakter.19 Mengacu pada berbagai pendapat dan definisi karakter di atas penulis menyimpulkan bahwa karakter adalah aspek tingkah laku, watak, perilaku, sifat, kepribadian, dan budi pekerti yang terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang membedakannya dengan orang lain, yang diwujudkan dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. 3. Definisi Pendidikan Karakter Pendidikan karakter adalah sebuah sistem yang menanamkan nilainilai karakter pada peserta didik, yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad, serta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, maupun bangsa, sehingga akan terwujud insan kamil. 20 Menurut David Elkind dan Freddy Sweet, Ph. D. (2004), yang dimaksud dengan pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh guru, yang mampu mempengaruhi peserta didik. Dalam hal 18
Muchlas Sam’ani dan Hariyanto, Loc. Cit. Ibid., hlm. 43 20 Nurla Isna Aunillah, Op.Cit., hlm. 21-22 19
34
ini, guru membantu membentuk watak peserta didik agar senantiasa positif. Oleh karena itu, guru harus memperhatikan caranya berperilaku, berbicara, ataupun menyampaikan materi, bertoleransi serta berbagai hal terkait lainnya. Pendidikan karakter dapat pula dimaknai sebagai upaya yang terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil.21 Pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh guru untuk mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu dalam membentuk watak peserta didik dengan cara memberikan teladan, cara berbicara atau menyampaikan yang baik, toleransi dan berbagai hal yang terkait lainnya. Daniel Goleman
yang terkenal
dengan
bukunya Multiple
Intelligences, dan Emotional Intelligence (1999) yang dikutip oleh Barnawi dan M. Arifin menyebutkan bahwa pendidikan karakter merupakan pendidikan nilai, yang mencakup sembilan nilai dasar yang saling terkait, yaitu responsibility (tanggung jawab), respect (rasa hormat), fairness (keadilan), courage (keberanian), honesty (kejujuran), citizenship (rasa kebangsaan), self-discipline (disiplin diri), caring (peduli), dan perseverance
(ketekunan).
Jika
pendidikan
nilai
berhasil
menginternalisasikan kesembilan nilai dasar tersebut dalam diri peserta
21
Muchlas Sam’ani dan Hariyanto, Op. Cit., hlm 46
35
didik, maka dalam pandangan Daniel Goleman akan terbentuk seorang pribadi yang berkarakter, pribadi yang berwatak.22 Hakikat pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri yang bertujuan membina kepribadian generasi muda.23 Pendidikan karakter berpijak pada karakter manusia yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) agama, yang disebut juga sebagai the golden rule. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak pada nilai-nilai karakter dasar manusia. Selanjutnya, dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau tinggi (yang bersifat tidak absolut, relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri. Pendidikan karakter telah menjadi sebuah pergerakan pendidikan yang mendukung pengembangan sosial, pengembangan emosional, dan pengembangan etik para siswa. Merupakan suatu upaya proaktif yang dilakukan baik oleh sekolah maupun pemerintah untuk membantu siswa mengembangkan inti pokok dari nilai-nilai etik dan nilai-nilai kinerja, seperti kepedulian, kejujuran, kerajinan, fairness, keuletan dan ketabahan (Fortitude), tanggung jawab, menghargai diri sendiri dan orang lain.24
22
Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai-Karakter, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 79-80 23 Jamal Ma’mur Asmani, Op. Cit., hlm. 32-33 24 Muchlas Sam’ani dan Hariyanto, Op. Cit., hlm. 43
36
4. Indikator Keberhasilan Pendidikan Karakter Indikator keberhasilan program pendidikan karakter di sekolah dapat diketahui dari berbagai perilaku sehari-hari yang tampak dalam setiap aktivitas, sebagai berikut:25 a. Kesadaran b. Kejujuran c. Keikhlasan d. Kesederhanaan e. Kemandirian f. Kepedulian g. Kebebasan dalam bertindak h. Kecermatan/ketelitian i. Komitmen Apa yang diungkapkan di atas harus menjadi milik seluruh warga sekolah. Untuk kepentingan tersebut, guru, kepala sekolah, pengawas bahkan komite sekolah harus memberi contoh dan menjadi suri tauladan dalam mempraktikkan indikator-indikator pendidikan karakter dalam perilaku sehari-hari. Dengan demikian, akan tercipta iklim yang kondusif bagi pembentukan karakter peserta didik , dan seluruh warga sekolah. Sehingga pendidikan karakter tidak hanya dijadikan ajang pembelajaran,
25
E. Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, , (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), hlm. 12
37
tetapi menjadi tanggung jawab semua warga sekolah untuk membina dan mengembangkannya.26 5. Tujuan Pendidikan Karakter Pendidikan karakter yang dibangun dalam pendidikan mengacu pada pasal 3 UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak
serta
peradaban
bangsa
yang bermartabat
dalam
rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.27 Pendidikan karakter pada tingkatan institusi, mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan, keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikan oleh semua warga sekolah dan masyarakat sekitar. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut dimata masyarakat luas. Pendidikan karakter dalam seting sekolah memiliki tujuan sebagai berikut:28
26
Ibid Novan Ardy Wiyani, Membumikan Pendidikan Karakter di SD, (Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2013), hlm. 69 28 Dharma Kesuma, Cepi Triatna, Johana Permana, Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 9-11 27
38
a. Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian atau kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai yang dikembangkan. b. Mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilainilai yang dikembangkan oleh sekolah.Tujuan ini memiliki makna bahwa pendidikan karakter memiliki sasaran untuk meluruskan berbagai perilaku anak yang negatif menjadi positif. c. Membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama. Tujuan ini memiliki makna bahwa proses pendidikan karakter di sekolah harus dihubungkan dengan proses pendidikan di keluarga. 6. Tahapan Pengembangan Karakter Pengembangan
karakter
dalam
sistem
pendidikan
adalah
keterkaitan antara komponen-komponen karakter yang mengandung nilainilai perilaku. Hal ini dapat dilakukan secara bertahap dan saling berhubungan antara pengetahuan nilai-nilai perilaku dengan sikap atau emosi yang kuat untuk melaksanakannya, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara, serta dunia internasional. Karakter dikembangkan melalui tiga tahapan, yaitu: tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting), dan pembiasaan (habit). Karakter tidak terbatas pada pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai dengan
39
pengetahuannya, jika tidak terlatih (menjadi kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut. Dengan demikian diperlukan tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu:29 a. Moral knowing (pengetahuan tentang moral) Dimensi-dimensi yang termasuk dalam moral knowing yang akan mengisi ranah kognitif adalah kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan
tentang
nilai-nilai
moral
(knowing
moralvalues),
penentuan sudut pandang (perspective taking), logika moral (moral reasoning), keberanian mengambil sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge). b. Moral feeling (penguatan emositentang moral) Moral feeling merupakan penguatan aspek emosi peserta didik untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh peserta didik, yaitu kesadaran akan jati diri (conscience), percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control), kerendahan hati (humility). c. Moral action(perbuatan bermoral) Moral action merupakan perbuatan atau tindakan moral yang merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik
29
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/12/26/opini-pengawas-sekolah/ Desember 2010), Diakses, 30 Juni 2014
(26
40
(act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit). 7. Strategi Mengembangkan Pendidikan Karakter Strategi yang dapat dilakukan pendidik untuk mengembangkan pendidikan karakter, menurut Heritage Foundation dalam Tadkiroatun Musfiroh (2008) adalah sebagai berikut:30 a. Menerapkan metode belajar yang melibatkan partisipasi aktif murid, yaitu metode yang dapat meningkatkan motivasi murid karena seluruh dimensi manusia terlibat secara aktif dengan diberikan materi pelajaran yang konkret, bermakna serta relavan dalam konteks kehidupannya (student active learning, contextual learning, inquiry based learning, integrated learning). b. Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif (conductive learning community) sehingga anak dapat belajar dengan efektif di dalam suasana yang memberikan rasa aman, penghargaan, tanpa ancaman, dan memberikan semangat. c. Memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, dan acting the good. d. Metode pengajaran yang memperlihatkan keunikan masing-masing anak, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan juga 9 aspek kecerdasan manusia. 30
Tuhana Taufiq Andrianto, Mengembangkan Karakter Sukses Anak di Era Cyber, (Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2011), hlm. 119-120
41
e. Seluruh
pendekatan
di
atas
menerapkan
prinsip-prinsip
Developmentally Appropriate Practices. f. Membangun hubungan yang supportive dan penuh perhatian di kelas dan seluruh sekolah. Yang pertama dan terpenting adalah bahwa lingkungan sekolah harus berkarakteristik aman, serta saling percaya, hormat, dan perhatian pada kesejahteraan lainnya. g. Model (contoh) perilaku positif. Bagian terpenting dari penetapan lingkungan yang supportivedan penuh perhatian di kelas adalah teladan perilaku penuh perhatian dan penuh penghargaan dari guru dalam interaksinya dengan siswa. h. Menciptakan peluang bagi siswa untuk menjadi aktif dan penuh makna, termasuk dalam kehidupan di kelas dan sekolah. Sekolah harus menjadi lingkungan yang lebih demokratis sekaligus tempat bagi siswa untuk membuat keputusan dan tindakannya, serta untuk merefleksi atas hasil tindakannya. i. Mengajarkan ketrampilan sosial dan emosional secara esensial. Bagian terpenting dari peningkatan perkembangan positif siswa termasuk pengajaran
langsung
ketrampilan
sosial-emosional,
seperti
mendengarkan ketika orang lain bicara, mengenali dan mengelola emosi, menghargai perbedaan, dan menyelesaikan konflik melalui cara lemah lembut yang menghargai kebutuhan (kepentingan masingmasing).
42
j. Melibatkan siswa dalam wacana moral. Isu moral adalah esensi pendidikan anak untuk menjadi potensial, moral manusia. k. Membuat tugas pembelajaran yang penuh makna dan relavan untuk siswa. l. Tidak ada anak ynag terabaikan. Tolak ukur yang sesungguhnya dari kesuksesan sekolah termasuk pendidikan “semua” siswa untuk mewujudkan seluruh potensi mereka dengan membantu mereka mengembangkan bakat khusus dan kemampuan mereka, dan dengan membangkitkan pertumbuhan intelektual, etika, dan emosi mereka. 8. Prinsip Mengembangkan Karakter Menurut T. Lickona, E. Schaps dan C. Lewis (2003), pengembangan karakter sukses melalui pendidikan karakter agar dapat berhasil harus didasarkan pada sebelas prinsip, yaitu sebagai berikut:31 a. Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter. b. Mengidentifikasikan karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan dan perilaku. c. Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif, dan efektif untuk membangun karakter. d. Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian. e. Memberi kesempatan kepada siswa untuk menunjukan perilaku yang baik.
31
Ibid., hlm. 118
43
f. Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai semua siswa, membangun karakter mereka, dan membantu mereka untuk sukses. g. Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri pada para siswa. h. Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai dasar yang sama. i. Adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter. j. Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter. k. Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan siswa. 9. Penanaman Nilai Karakter di Sekolah yang Efektif Pijakan utama yang harus dijadikan sebagai landasan dalam menerapkan pendidikan karakter ialah nilai moral universal yang dapat digali dari agama. Dengan ungkapan lain, dalam upaya menerapkan pendidikan karakter, guru harus berusaha menumbuhkan nilai-nilai tersebut melalui spirit keteladanan yang nyata, bukan sekedar pengajaran dan wacana.32 Sekolah
bertanggung
jawab
menanamkan
pengetahuan-
pengetahuan baru yang reformatif dan transformatif dalam membangun
32
Nurla Isna Aunillah, Op. Cit., hlm. 22-23
44
bangsa yang maju dan berkualitas. Sekolah juga bertanggung jawab mentransformasikan nilai-nilai luhur pada siswa. Dengan demikian, peran sekolah sangat besar dalam menentukan arah dan orientasi bangsa ke depan. Di sekolah, anak mengalami perubahan dan tingkah laku. Proses perubahan tingkah laku dalam diri anak sesuai dengan nilai-nilai sosial dan kebudayaan tertuang dalam kurikulum. Kurikulum pendidikan yang dilaksanakan oleh guru salah satunya berfungsi membentuk tingkah laku menuju kepribadian yang dewasa secara optimal. Di sekolah berlangsung proses transformasi nilai-nilai luhur melalui pendidikan karakter. Pendidikan karakter merupakan kata kunci dari proses transformasi nilai-nilai luhur di sekolah. Guru melakukan transformasi nilai-nilai luhur kepada semua anak didik untuk menjadi bagian dari masyarakat yang berbudaya. Fungsi transformasi nilai-nilai luhur yang dilaksanakan oleh sekolah mencakup lima dimensi, antara lain:33 1. Pendidikan tidak hanya mencakup pengetahuan dan ketrampilan semata, tetapi juga sikap, nilai, dan kepekaan pribadi. 2. Peran seleksi sosial (mencakup tidak hanya pemberian sertifikat, tetapi juga melakukan seleksi terhadap peluang kerja. 3. Fungsi indoktrinasi. 4. Fungsi pemeliharaan anak.
33
Novan Ardy Wiyani, Op. Cit., hlm. 97-98
45
5. Aktivitas kemasyarakatan. Menurut educationsquare.blogspot.com (dalam Kompas, 3 Oktober 2011) yang dikutip oleh Barnawi dan M. Arifin, ada empat model untuk mengimplementasikan pendidikan karakter di sekolah. Pertama, model otonomi, yaitu dengan menempatkan pendidikan karakter sebagai mata pelajaran tersendiri. Kedua, model integrasi dengan menyatukan nilai-nilai dan karakter-karakter yang akan dibentuk dalam setiap mata pelajaran. Ketiga, model ektrakurikuler melalui sebuah kegiatan tambahan yang berorientasi pembinaan karakter siswa. Keempat, model kolaborasi dengan menggabungkan tiga model tersebut dalam seluruh kegiatan sekolah.34 Pendidikan karakter melibatkan siswa secara aktif dalam semua kegiatan keseharian di sekolah. Dalam kaitan ini, kepala sekolah, pendidik, dan tenaga kependidikan diharapkan
mampu menerapkan prinsip Tut
Wuri Handayani dalam setiap perilaku yang ditunjukan peserta didik. Prinsip ini juga menyatakan bahwa proses pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa senang dan tidak indoktrinatif. Dalam pendidikan karaker, proses pembelajaran di kelas tidak terlepas dari berbagai kegiatan lain di luar kelas atau bahkan di luar sekolah. Di dalam kelas, guru dapat mengawali dengan perkenalan terhadap nilai-nilai yang akan dikembangkan selama pembelajaran berlangsung. Lalu, guru menuntun peserta didik agar terlibat secara aktif di sepanjang proses pembelajaran. Hal ini dilakukan tanpa mesti mengatakan 34
Barnawi dan M. Arifin, Strategi dan Kebijakan Pembelajaran Pendidikan Karakter, (Jogjakarta: Ar-ruz Media, 2013), hlm. 67-68
46
bahwa peserta didik harus aktif, tetapi guru merencanakan kegiatan belajar yang mendorong peserta didik aktif. Misalnya,dengan mengondisikan siswa merumuskan dan mengajukan pertanyaan. Pembentukan budaya sekolah berbasis pendidikan karakter dapat dilakukan melalui keteladanan, kegiatan spontan saat guru mengetahui perilaku siswa yang kurang baik, cerita/kisah teladan, pengondisian, dan kegiatan rutin. Dalam pelaksanaanya diperlukan sarana yang memadai. Keterlibatan warga sekolah, terutama siswa dan guru dalam perawatan, pemanfaatan, pemeliharaan sarana dan prasarana pembelajaran serta lingkungan sekolah sangat diperlukan dalam rangka membangun atau membentuk karakter mereka. Berikut ini enam elemen budaya sekolah yang baik, yang diadaptasi dari pendapat Lickona. Yaitu:35 1. Pimpinan sekolah memiliki kepemimpinan moral dan akademik. 2. Disiplin ditegakkan di sekolah secara menyeluruh. 3. Warga sekolah memiliki rasa persaudaraan. 4. Organisasi
siswa
menerapkan
kepemimpinan
demokratis
dan
menumbuhkan rasa tanggung jawab bagi para siswa untuk menjadikan sekolah mereka menjadi sekolah yang terbaik. 5. Hubungan semua warga sekolah bersifat saling menghargai, adil dan bergotong-royong. 6. Sekolah
meningkatkan
perhatian
terhadap
moralitas
dengan
menggunakan waktu tertentu untuk mengatasi masalah-masalah moral.
35
Novan Ardy Wiyani, Op. Cit., hlm.101-102