BAB II TINJAUAN TEORITIK 2.1 Konsep
Dasar
Manajemen
Berbasis
Sekolah 2.1.1 Manajemen Sekolah
Manajemen dilihat sebagai suatu sistem
yang
setiap
komponennya
menampilkan sesuatu untuk me-menuhi kebutuhan. suatu
Manajemen
proses,
dikaitkan
merupakan
sedangkan
dengan
aspek
manajer organisasi
(orang-struktur-tugas-teknologi) bagai-mana
mengaturnya
dan sehingga
tercapai tujuan sistem. Dalam proses manajemen, Fattah (2001)
dalam
Danang
(2010:3)
mengatakan terlihat fungsi-fungsi pokok yang
ditampilkan
oleh
seorang
manajer/pemim-pin, perencanaan, pemimpin-an, karena
itu,
yaitu: pengorganisasian,
dan
pengawasan.
manajemen
Oleh
diartikan
sebagai
proses
mengorganisasi,
merencana,
memimpin,
dan
mengendalikan upaya organisasi dengan segala aspeknya agar tujuan organisasi terca-pai secara efektif dan efisien. Gaffar
(1989)
dalam
Mulyana
(2009:19)
menge-mukakan
manajemen
pendidikan
bahwa
mengandung
arti sebagai suatu proses kerja sama yang
sistematik,
sistemik,
dan
komprehensif dalam rangka mewujudkan
tujuan
Manajemen diartikan kenaan
pendidikan pendi-dikan
sebagai dengan
sesuatu
nasional. juga
dapat
yang
pengelolaan
ber-
proses
pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, baik tujuan jangka pendek,
menengah,
maupun
tujuan
jangka panjang. Selanjutnya mengatakan pengelolaan
Mulyana
bahwa
(2009:
manajemen
merupakan
20) atau
kom-ponen
integral dan tidak dapat dipisahkan dari
proses pendidikan secara keseluruhan. Alasannya mungkin
tanpa
manajemen
tidak
tujuan
pendidikan
dapat
diwujudkan secara optimal, efektif, dan efisien.Konsep
tersebut
berlaku
di
sekolah yang memerlukan manaje-men yang
efektif
dan
efisien.
Dalam
kerangka inilah tumbuh kesadaran akan pentingnya
manajemen
ber-basis
sekolah, yang memberikan kewenangan penuh kepada sekolah dan guru dalam mengatur pendidikan dan pengajaran, merencanakan, mengawasi, mengatur,
mengorganisasi,
mempertanggungjawabkan, serta
memimpin
sumber-
sumber daya insani serta barang-barang untuk membantu pelaksanaan pembelajaran
yang
sesuai
dengan
tujuan
sekolah. Botha (2007:29) menegaskan bahwa manaje-men berbasis sekolah juga perlu disesuaikan
dengan
kebutuhan
dan
minat peserta didik, guru-guru, serta
kebutuhan masyarakat setempat.Untuk itu, perlu di-pahami fungsi-fungsi pokok manajemen,
yaitu
pelaksanaan,
peren-canaan,
pengawasan,
dan
pembinaan. Dalam praktiknya keempat fungsi
tersebut
merupa-kan
suatu
proses yang berkesinambungan. Hasil penelitian Balitbang Depdiknas (1991) menunjukkan bahwa manajemen sekolah merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi
dikan.
Manajemen
langsung
akan
menentukan
kualitas
pendi-
sekolah
secara
mempengaruhi
efektif
tidaknya
dan kuri-
kulum, berbagai peralatan belajar, waktu mengajar,
dan
proses
pembelajaran
(Dadang, 2010: 18). Untuk itulah upaya peningkatan kualitas pendidikan harus dimulai manajemen
dengan sekolah,
pembenahan di
samping
peningkatan kualitas guru dan pengembangan sumber belajar.
2.1.2 Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Dasar
pemikiran
pemberian
otonomi luas kepa-da daerah diarahkan untuk
mempercepat
kesejahteraan
terwujudnya
masyarakat
melalui
peningkatan pela-yanan, pemberdayaan, dan peranserta masyarakat.Di samping itu
melalui
otonomi
luas,
daerah
diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperha-tikan prinsip demokrasi,
pemerataan,
keadilan,
keisti-mewaan, dan kekhususan, serta potensi dan keaneka-ragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kebijakan implikasi
tersebut terhadap
membawa pengelolaan
pendidikan dan membawa nuansa baru dalam sistem pengelolaan pendidikan. Nuansa
baru
itu
antara
lain
berkembangnya pemikiran untuk melaksanakan
desentralisasi
pendidikan
sejalan
pengelolaan
dengan
otonomi
daerah,
bahkan
kemandirian
sampai
dalam
menu-ju
penyelenggaraan
pendidikan ke tingkat sekolah. Kebijakan desentralisasi pendidikan diharapkan
akan
peningkatan
mendorong
pelayanan
di
bidang
pendidikan kepada masyarakat, yang bermuara
pada
upaya
peningkatan
kualitas pengelolaan pendidikan dalam tataran
yang
paling
bawah,
yaitu
sekolah melalui penerapan Manajemen Berbasis
Sekolah
(MBS)
(Jalal
dan
Supriadi, 2001: 159). Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau dalam terminologi bahasa Inggris lazim disebutSchool Based Management adalah
model
pengelolaan
yang
memberi-kan otonomi atau kemandirian kepada
sekolah
dan
mendorong
keputusaan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan
oleh
pemerintah
pusat,
provinsi, kabupaten, dan kota (Dadang, 2010:10). Ditjen Dikdasmen Depdiknas memilih
nama
Peningkatan (MPMBS)
resmi
Mutu
atau
improvement
manajemen
Berbasis
Sekolah
school-based
quality
untuk
memberikan
tekanan pada peningkatan mutu, lebih dari
sekedar
adanya
kewenangan
sekolah untuk peng-ambilan keputusan. Pada
prinsipnya
MBS
bertujuan
untuk member-dayakan sekolah dalam menetapkan
berbagai
kebijak-an
internal sekolah yang mengarah pada peningkatan mutu dan kinerja sekolah secara keseluruhan (Zainuddin, 2008: 63).
Pendelegasian
pemerintah
kepada
wewenang sekolah
dari dalam
kerangka sentrali-sasi koordinasi untuk meningkatkan kontrol sekolah terhadap proses pendidikan yang dilakukan dan me-nyelaraskan dengan kebutuhan lokal (Nir, 2007:422).
MBS
sebagai
suatu
model
implementasi kebijak-an desentralisasi pendidikan inovatif,
merupakan
yang
suatu konsep
bukan
hanya
dikaji
sebagai wacana baru dalam pengelolaan pendidikan. Dalam hubungannya dengan model MBS, keberadaan Komite Sekolah meru-pakan
bagian
yang
tidak
terpisahkan dari MBS. Di dalam penjelasan Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 51 ayat (1) ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan Manajemen Berbasis Sekolah/Madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini Kepala Sekolah/ Madrasah dan guru dibantu
oleh
Komite
Sekolah/
Madrasah
dalam
mengelola kegiatan pendidikan. Otonomi diberikan agar sekolah dapat leluasa menge-lola sumber daya dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan serta tanggap terhadap kebutuhan masyarakat setempat. Partisipasi masya-rakat dituntut agar lebih memahami pendidikan, membantu, serta mengontrol pengelolaan pendidikan.
Dalam
konsep
MBS
sekolah
dituntut
memiliki tanggung jawab yang tinggi, baik kepada orang tua, masyarakat, maupun pemerintah. MBS sebagai konsep desentralisasi pendidikan yang dilatarbelakangi oleh alasan-alasan tersebut memasukkan paradigma konsep yang jelas dalam menca-
pai tujuannya yaitu kinerja unggul sekolah. Dengan mengadopsi ide dasar Edward B. Fiska dalam Nanang Fattah paradigma konsep strategi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah sebagai berikut:
Gambar 1.1 Paradigma Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) (Fattah, 2000:16-17)
Menurut Wohlstetter dan Mohrmanetal (1994) dalam Zainuddin (2008:57-60), ada empat sumber daya yang harus didesentralisasikan, di mana kese-muanya pada hakikatnya merupakan inti dan isi dari MBS,yaitu power/authority, information, dan reward. Keempatnya merupakan bagian yang tidak bisa dipi-sahkan dan menuntut kehadirannya, adalah sebagai berikut: Pertama, kekuasaan/kewenangan (power/authority) harus didesentralisasikan ke sekolah-sekolah secara langsung, yaitu melalui dewan sekolah. Seti-daknya terdapat tiga bidang penting yaitu budget, personel, dan curriculum. Termasuk dalam kewenang-an ini adalah
menyangkut pengangkatan dan pember-hentian kepala sekolah, guru, dan staf sekolah. Di sini jelas sekali bahwa sekolah memiliki kewenangan yang besar dalam pembiayaan
dengan
cara
menggali
sumber-sumber
pendanaan di lingkungan sekolah. Selain itu, dalam bidang ketenagakerjaan sekolah juga bisa memiliki kewenangan untuk memilih tenaga-tenaga kependidikan yang profesional dan sesuai dengan kebutuhan serta kemampuan sekolah. Sekolah memiliki kewenangan dalam memilih isi dan materi pembelajaran mana yang sesuai
dengan
kondisi
ling-kungan
dengan
tetap
mengikuti materi yang bersifat nasional. Kedua,
pengetahuan
(knowledge)
juga
harus
didesentralisasikan sehingga sumber daya manusia di sekolah mampu memberikan kontribusi yang berarti untuk kemajuan kinerja sekolah. Pengetahuan yang perlu didesentralisasikan meliputi keterampilan terkait dengan pekerjaan secara langsung, keterampilan kelompok, dan pengetahuan keorganisasian.Oleh karena itu, harus ada perencanaan dan pengalokasian agar personel sekolah selalu mendapatkan penataran dan peningkatan pengetahuannya, sehingga tidak menu-tup kemungkinan bagi sekolah untuk bekerjasama dengan pihak swasta. Ketiga, hakikat lain yang harus didesentralisasikan adalah informasi (information). Pada model sentralistik, informasi hanya dimiliki para pimpinan puncak, maka pada model MBS harus didistribusikan kepada seluruh konstituen sekolah bahkan kepada seluruh stakeholders.
Informasi
yang
perlu
disebar-luaskan
antara lain berupa visi, misi, strategi, sasaran dan tujuan sekolah, keuangan dan struktur biaya, isu-isu sekitar sekolah, kinerja sekolah dan para pelang-gannya. Penyebaran
informasi
ini
bisa
secara
vertikal
dan
horizontal, baik dengan cara tatap muka maupun tulisan. Keempat, penghargaan (reward) adalah hal penting lainnya yang harus didesentralisasikan. Peng-hargaan ini bisa
dalam
bentuk
fisik
maupun
non-fisik,
yang
semuanya didasarkan atas prestasi kerja. Peng-hargaan pun harus diberikan kepada setiap pihak yang berhasil menjalankan tugasnya dengan baik. Sementara itu, pihak yang tidak dapat menjalankan tugas dengan baik atau
bahkan
gagal
menjalankan
tugas
juga
perlu
mendapatkan punishment secara wajar. Tanpa adanya punishment kepada yang gagal makna reward
akan
kurang berarti.
Secara berbasis
umum sekolah
manajemen dapat
diartikan
sebagai model manajemen yang
mem-
berikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan men-dorong pengambilan keputusan parsitipatif yang meli-batkan secara
langsung semua warga sekolah
(guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orangtua siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan
mutu
sekolah
ber-
dasarkan kebijakan pendidikan nasional (Tanjung, 2006). Hal ini selaras dengan yang
diutarakan
oleh
Bradshaw
&
Buckner (1994) dalam Botha (2007: 29) bahwa perubahan yang signifikan sesuai dengan tun-tutan sekolah dapat tercapai melalui
distribusi
kekua-saan
dan
melalui sharing pengambilan keputusan yang
mampu
mendorong
pada
individu
dan
perubahan
mengarah
pada
persoalan pendidikan. Atas dasar ini, tata
pemerintahan
peran
penting
sekolah dalam
memiliki memenuhi
tuntutan tersebut. 2.1.3 Alasan
dan
Tujuan
Manajemen
Berbasis
Sekolah
Menurut Manajemen
Suyanto Berbasis
(2004) Sekolah
konsep tidak
mudah dilaksanakan. Bebera-pa kendala yang muncul dan perlu diperhatikan ada-lah: Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di Indonesia yang menggunakan
model Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah
(MPMBS)
muncul
karena bebe-rapa alasan sebagaimana diungkapkan
oleh
Nurkolis
(2003)
antara lain: Pertama, sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi dirinya sehingga sekolah dapat mengoptimalkan
pemanfa-
atan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya. Kedua, sekolah lebih mengetahui kebutuhannya. Ketiga,
keterlibatan
warga
sekolah
dan
masyarakat dalam pengambilan keputusan dapat menciptakan dan demokrasi yang sehat.
Menurut
Bank
beberapa
alasan
Manajemen
Berbasis
Dunia,
terdapat
diterapkannya Sekolah
(MBS)
antara lain alasan ekonomis, politis, profesional,
efisiensi
administrasi,
finansial, prestasi siswa, akun-tabilitas, dan efektivitas sekolah. 1) Pelaksanaan MBS harus didukung dengan peningkatan kualitas guru dan kesadaran masyarakat yang tinggi akan arti dan fungsi sekolah; 2) Mengubah kebiasaan birokrasi yang selama ini bercokol menguasai dunia pendidikan, yang
selalu memperoleh fasilitas dan kemudahan tentu tidak mudah. Namun jika ini tidak diatasi, MBS tidak akan dapat berperan optimal; 3) Diperlukan kesiapan SDM Kepala Sekolah sebagai manajer yang kreatif dan profesional.
Tujuan
penerapan
Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) adalah untuk meningkatkan
kualitas
secara
menyangkut
umum,
pembela-jaran,
pendi-dikan
kualitas
kualitas
kurikulum,
kualitas sumber daya manusia baik guru maupun tenaga kependidikan dan
kualitas
secara
pelayanan
lainnya,
pendidikan
umum (Nurkolis, 2003). Bagi
sumber
daya manusia,
kualitas
bukan
pengetahuan
hanya dan
melainkan
peningkatan meningkatnya
ketrampilannya, mening-katkan
kesejahteraanya pula. 2.1.4 Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah
MBS bentuk
yang
ditawarkan
operasi-onal
sebagai
desentralisasi
pendidikan akan memberikan wawasan
baru
terhadap
sistem
yang
sedang
berjalan selama ini. Hal ini diharapkan dapat
membawa
dampak
terhadap
peningkatan efisiensi dan efektivitas kinerja sekolah, dengan menyediakan layanan pendi-dikan yang komprehensif dan
tanggap
terhadap
kebu-tuhan
masyarakat sekolah setempat. Karena peserta
didik
biasanya
datang
dari
berbagai latar belakang kesukuan dan tingkat
sosial,
sekolah
harus
salah
satu
ditujukan
perhatian pasa
asas
pemerataan, baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun politik. Di sisi lain, sekolah
juga
harus
meningkatkan
efisiensi, parti-sipasi, dan mutu, serta bertanggungjawab
kepada
masyarakat
dan pemerintah. Karakteristik MBS dapat diketahui antara
lain
dapat organisasi mengajar,
dari
bagaimana
mengoptimalkan sekolah, pengelo-laan
sekolah kinerja
proses sumber
belajar daya
manusia, dan pengelolaan sumber daya dan administrasi. Lebih lanjut BPPN dan Bank Dunia (1999), mengutip dari Focus on School: The Future Organisation of Education
Services
for
Student,
Department
of
Education
Australia
(1990), mengemu-kakan ciri-ciri MBS dalam bagan berikut: Tabel 2.1 Ciri-Ciri MBS Organisasi Sekolah
Proses Belajar Mengajar
Sumber Daya Manusia
Sumber Daya dan Administrasi
Menyediakan manajemen organisasi kepemimpinan transformasional dalam mencapai tujuan sekolah
Meningkatkan kualitas belajar siswa
Memberdayakan staf dan menempatkan personel yang dapat melayani keperluan semua siswa
Mengidentifikasi sumber daya yang diperlukan dan mengalokasikan sumber daya tersebut sesuai dengan kebutuhan
Menyusun rencana sekolah dan merumuskan kebijakan untuk sekolahnya sendiri
Mengembangkan kurikulum yang cocok dan tanggap terhadap kebutuhan siswa dan masyarakat sekolah
Memilih staf yang memiliki wawasan MBS
Mengelola dana sekolah
Mengelola kegiatan operasional sekolah
Menyelenggarakan pengajaran yang efektif
Menyediakan kegiatan untuk pengembangan profesi pada semua staf
Menyediakan dukungan administratif
Menjamin adanya komunikasi yang efektif antara sekolah dan masyarakat terkait (school community)
Menyediakan program pengembangan yang diperlukan siswa
Menjamin kesejahteraan staf dan siswa
Mengelola dan memelihara gedung dan sarana lainnya.
Menjamin terpeliharanya sekolah yang bertanggung jawab (akuntabel) kepada masyarakat dan pemerintah.
Program pengembangan yang diperlukan siswa
Menjamin kesejahteraan staf dan siswa
Memelihara gedung dan sarana lainnya.
2.2 Strategi Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan kualitas
strategi
pendidikan
peningkatan melalui
otoritas
pengambilan keputusan dari pemerintah daerah
ke
sekolah.
Dalam
hal
ini
sekolah dipandang sebagai unit dasar pengembangan yang bergantung pada redistribusi keputusan
otoritas di
dalamnya
desentralisasi
pengambilan terkandung
kewenangan
yang
sekolah
untuk
diberikan
kepada
membuat
keputus-an (Nurkolis, 2003).
Boonprasert (2000) dalam Chalermsri & Rosarin (2006) menekankan ada lima
prinsip
Manajemen
yang
perlu
desentralisasi,
Berbasis
Sekolah
di-perhatikan
yaitu;
partisipasi
dan
keter-
libatan, distribusi kewenangan kepada masyarakat, manajemen internal dan checking dan balancing. Untuk
mengimplementasikan
manajemen
berba-sis
sekolah
secara
efektif dan efisien, kepala sekolah perlu memiliki pengetahuan kepemimpinan, perenca-naan, dan pandangan yang luas tentang
sekolah
dan
pendidikan.
Wibawa kepala sekolah harus ditumbuhkembangkan sikap
dengan
kepedulian,
disiplin
kerja,
hubungan
meningkatkan
semangat keteladanan,
manusiawi
sebagai
belajar, dan modal
perwujudan iklim kerja yang kondusif. Lebih lanjut, kepala sekolah dituntut untuk
melakukan
fungsinya
sebagai
manajer sekolah dalam meningkatkan proses
belajar
mengajar,
dengan
melakukan supervisi kelas, membina,
dan
memberikan
saran-saran
positif
kepada guru. Di samping itu, kepala sekolah juga harus melakukan tukar pikiran,
sumbang
saran,
dan
studi
banding antar sekolah untuk menyerap kiat-kiat
kepemim-pinan
dari
kepala
sekolah yang lain. Dalam
rangka
mengimplementasikan
MBS
secara
efektif dan efisien, guru harus berkreasi dalam meningkatkan manajemen kelas. Guru
adalah
teladan
dan
panutan
langsung para peserta didik di kelas. Oleh karena itu, guru perlu siap dengan segala
kewa-jiban,
maupun
baik
persiapan
manajemen isi
materi
pengajaran. Kreativitas dan daya cipta guru untuk mengimplementasikan MBS perlu
terus
menerus
di-dorong
dan
dikembangkan. Botha (2007) dalam penelitiannya tentang parti-sipasi stakeholders dalam manajemen berbasis seko-lah di Afrika
Selatan menjelaskan, partisipasi stakeholder dalam MBS di Afrika Selatan: ”will need to see democracy as the cornerstone merupakan
of
all
prinsip
activities”. fundamental
Ini dari
demokrasi di mana stakeholder terlibat di dalam proses penentuan kebijakan dengan hak untuk tidak setuju dengan lainnya.
Banyak
sekolah
di
Afrika
Selatan, terutama sekolah yang disebut black school, memiliki pemikiran dan pemahaman yang masih tradisional dan terlalu
birokratis
dalam
proses
partisipasi stakeholders dalam MBS. Dari kondisi tersebut disebutkan ada
7
alasan
yang
menyebabkan
terbatasnya partisipasi stake-holders: 1) A lack of accountability: dalam MBS, sekolah mengambil tanggung jawab yang lebih dan menggunakan sumber daya yang ada lebih efisien untuk mencapai tujuan akhir. Kurang-nya akuntabilitas menggambarkan banyak sekolah sejak manajemen mandiri merupakan tipe baru baru bagi sekolah; 2) A lack of financial control and financial management: SBM membutuhkan sekolah untuk mengelola dan menangani keuangan mereka sendiri secara bertanggungjawab. Sebagian besar sekolah tidak memiliki keterampilan esensi tentang perencanaan keuangan;
3) Weak leadership: SBM melibatkan bentuk kepemimpinan yang kuat, terutama bagi kepala sekolah. Sebagian kepala sekolah tidak dapat mengelola sekolah dalam bentuk memotivasi staf dan murid dengan menyediakan lingkung-an yang kondusif bagi proses pembelajaran dan pengajaran; hal ini karena keterbatasan dalam pelatihan, keterampilan kepemimpinan dan atau motivasi; 4) A lack of initiation and innovation: Manajemen berbasis sekolah mengharuskan semua pemangku kepentingan yang terlibatuntuk menunjukkan inisiatif dan untuk menjadi ino-vatif. Kepala sekolah diharapkan akan meng-ikuti dengan perkembangan terbaru dan untuk menjadi agen perubahan di sekolah mereka. Namun, ini terjadi dengan beberapa kepala sekolah, khususnya di sekolah-sekolah sebelumnya yang kurang beruntung.; 5) Economical reasons:Stakeholder dalam manajemen berbasis sekolah harus dapat melaku-kan perjalanan ke sekolah secara teratur. Kebanyakan orang tua, khususnya yang ada di masyarakat pedesaan, tidak memiliki alat transportasi dan terlalu miskin untuk pergi ke sekolah untuk membuat kontribusi yang signifikan terhadap proses manajemen ber-basis sekolah; 6) Conflicts between the school management team and the school governing body: Manajemen berbasis sekolah yang efektif mengharuskan badan-badan iniuntuk berbagi kekuasaan dan tanggung jawab dan bekerja sama. Kerjasama antara berbagai badan yang melayani pemang-ku kepentingan sering tampaknya menjadi masalah di banyak sekolah, menghasilkan nilai stakeholder yang bertentangan yang secara negatif mempengaruhipartisipasi stakeholder.; 7) Illiteracy and a lack of respect among stakeholders: Para pemangku kepentingan perlu memiliki tingkat tertentu kompetensi serta keterampilan literasi tertentu untuk dapat memberikan kontribusi positif bagi proses manaje-men berbasis sekolah. Beberapa orang tua, khususnya yangdi daerah pedesaan, mereka buta huruf untuk berkontribusi dalam peme-rintahan sekolah. Di beberapa sekolah, orang tua buta huruf kurang dihormati.
Implementasi
MBS
akan
berlangsung secara efektif dan efesien apabila
didukung
manusia
oleh
yang
sumber
profesional
mengoperasikan
daya untuk
sekolah.Dana
yang
cukup agar sekolah mampu menggaji staf sesuai dengan fungsinya, sarana prasa-rana
yang
memadai
mendukung
proses
untuk
belajar-mengajar,
serta dukungan masyarakat yang tinggi. Kondisi sekolah di Indonesia pada saat krisis sekarang ini sangat bervariasi dilihat
dari
sekolah,
dan
Kualifikasi sekolah sekolah
segi
kuali-tas,
partisipasi
sekolah
yang yang
sedang-kan
masyarakat.
bervariasi
sangat
maju
sangat
lokasi
lokasi dari
sampai
ketinggalan,
sekolah
bervariasi
dari sekolah yang ter-letak di perkotaan sampai sekolah yang letaknya di daerah terpencil.
Demikian
pula
partisipasi
orang tua, dari tingkat partisipasi tinggi sampai kurang atau bahkan tidak ada
partisipasi. Atas dasar tersebut maka BPPN dan Bank Dunia (1999) melakukan penge-lompokan kemampuan
sekolah
berdasarkan
manaje-men,
pelaksanaan
MBS,
pentahapan
dan
perangkat
pelaksanaan MBS. Tabel 2.2 Kelompok Sekolah dalam MBS Kemampuan
Kepala sekolah
Partisipasi
Pendapatan
Anggaran
Sekolah
dan guru
masyarakat
daerah dan
sekolah
orang tua 1) Sekolah dengan kemampuan manajemen tinggi
2) Sekolah dengan kemampuan manajemen sedang
Kepala sekolah
Partisipasi
Pendapatan
Anggaran
dan guru
masyarakat
daerah dan
sekolah di
berkompetensi
tinggi
orang tua
luar
tinggi
(termasuk
tinggi
anggar-an
(termasuk
dukungan
pemerin-
kepemimpinan)
dana)
tah besar.
Kepala sekolah
Partisipasi
Pendapatan
Anggaran
dan guru
masyarakat
daerah dan
sekolah di
berkompetensi
sedang
orang tua
luar
sedang
(termasuk
sedang
anggar-an
(termasuk
dukungan
pemerin-
kepemimpinan)
dana)
tah sedang.
3) Sekolah dengan kemampu -an manajemen rendah
Kepala sekolah
Partisipasi
Pendapatan
Anggaran
dan guru
masyarakat
daerah dan
sekolah di
berkompetensi
rendah
orang tua
luar
rendah
anggar-an
rendah
(termasuk
(termasuk
dukungan
pemerin-
kepemimpinan)
dana)
tah rendah.
Sumber: Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001:163)
Dalam
kaitannya
pentahapan
dengan
implemen-tasi
MBS
ini,
secara garis besar, Fattah (2000) dalam Mulyasa (2009:62) membaginya menjadi tiga tahapan yaitu sosialisasi, piloting, dan diseminasi. Tahap sosialisasi merupakan tahap penting
mengingat
luasnya
wilayah
nusantara terutama daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh media infor-masi, baik
cetak
bahkan
maupun
men-jadi
elektronik.
lebih
sulit,
Ini
karena
masyarakat Indonesia pada umumnya tidak
mudah
menerima
Banyak
perubahan,
maupun
organisasional
pengetahuan Dengan
dan
begitu
beradaptasi
perubahan.
baik
personal
memerlukan
keterampilan
baru.
masyarakat
dapat
lebih
baik
dengan
lingkungan yang baru. Dalam mengefektifkan
pencapaian
tujuan
perubahan,
diperlukan keje-lasan tujuan dan cara
yang
tepat,
baik
menyangkut
aspek
proses maupun pengembangan. Tahap piloting merupakan tahap uji coba agar penerapan konsep manajemen berbasis resiko.
sekolah
tidak
Efektivitas
mengandung
model
uji
coba
memer-lukan persyaratan dasar yaitu akseptabilitas,
akunta-bilitas,
reflikabilitas
dan
Akseptabilitas
sustainabilitas. artinya
adanya
penerimaan dari para tenaga kependidikan,
khususnya guru dan kepala
Sekolah
sebagai
pelaksana
dan
penanggungjawab pendidikan di Sekolah.
Akuntabilitas
artinya
bahwa
program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
harus
dapat
jawabkan,
baik
operasional
maupun
Reflikabilitas men
Berbasis
diujicobakan
artinya
dipertanggungsecara
pendanaannya. model
Sekolah dapat
konsep Manaje-
(MBS)
direflikasi
yang di
sekolah lain. Sementara sustainabilitas
artinya program tersebut dapat dijaga kesinambung-annya setelah dilakukan uji coba dilaksanakan. Sebagaimana dikemukakan di atas, sekolah memerlukan pedoman-pedoman sebagai
pendukung
untuk
menjamin
terlaksananya pengelolaan MBS yang mengakomodasi kepentingan otonomi sekolah,
kebi-jakan
pemerintah,
dan
partisipasi masyarakat. Imple-mentasi MBS
memerlukan
seperangkat
peraturan dan pedoman umum yang dapat dipakai sebagai pedoman dalam perencanaan, monitoring, dan evaluasi, serta laporan pelaksanaan. Perangkat implementasi ini perlu diperkenalkan sejak awal, melalui pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan sejak pelaksanaan jangka pendek. Rencana sekolah merupakan salah satu
perang-kat
pengelolaan
MBS.
terpenting Rencana
dalam sekolah
merupakan perencanaan sekolah untuk
jangka waktu tertentu, yang disusun oleh sekolah sendiri bersama dengan dewan sekolah. Adapun yang dikandung rencana tersebut adalah visi dan misi sekolah, tujuan sekolah, dan prioritasprioritas
yang
akan
dicapai,
serta
strategi untuk mencapainya. Keberhasilan
implementasi
manajemen
berbasis
bergantung
pada
kemauan
politik
penanggungjawab
sekolah
sangat
kemampuan pemerintah
dan
sebagai
pendidikan.
Kalau
kemauan politik pemerintah suda hada, pelaksanaannya sangat bergantung pada bagai-mana
kesiapan
pelaksana
dan
perumus kebijakan dapat memperkecil kelemahan yang mungkin muncul dan mengeksplorasi
manfaat
semaksimal
mungkin. 2.3 Kesiapan
Menurut Slameto (2003) kesiapan adalah keselu-ruhan kondisi seseorang
yang membuatnya siap untuk memberi respon/jawaban di dalam cara tertentu ter-hadap suatu
situasi.
saat
Penyesuaian
pada
berpengaruh
atau
akan
kecenderungan
untuk
memberikan
respon. Sedangkan menurut Hamalik (2003)
kesiapan
kapasitas dalam
yang
adalah
ada
hubungan
pada
keadaan diri
dengan
siswa tujuan
pengajaran tertentu. Soemanto1998 menyatakan, ada orang
yang
sebagai
kesiapan
seseorang Seorang
mengartikan
untuk ahli
memberikan
atau berbuat
readiness kesedia-an sesuatu.
bernama
Cronbach
pengertian
readiness
sebagai segenap sifat atau kekuatan yang membuat seseorang dapat bereaksi dengan cara tertentu Dari pendapat-pendapat diatas dapat disimpul-kan bahwa kesiapan adalah kondisi seseorang yang merasa dirinya telah mampu untuk menghadapi se-gala sesuatu yang akan terjadi padanya.
2.3.1 Kesiapan Kepala Sekolah Kepala
sekolah
merupakan
motor
penggerak,
penentu arah kebijakan sekolah, yang akan menentukan bagaimana tujuan sekolah dan pendidikan pada umumnya direalisasikan. Kepala sekolah merupakan salah satu kompo-nen pendidikan yang paling berperan dalam mening-katkan kualitas pendidikan. Jika dilihat dari Pasal 12 ayat 1 PP 28 tahun 1990, secara garis besar dapat dirangkum bahwa,
kepala
sekolah
bertanggungjawab
atas
pengelolaan dan peningkatan mutu pelayanan sekolah, mengelola
kegiatan
pemberdayaan
tenaga
sekolah,
pembinaan
kependidikan,
dan
dan
pendaya-
gunaan, pemeliharaan dan optimalisasi sumber daya sekolah yang meliputi sarana dan prasarana secara optimal. Kepala sekolah harus memiliki berbagai potensi yang dapat dikembangkan secara optimal. Setiap kepala sekolah harus memiliki perhatian yang cukup tinggi terhadap peningkatan kualitas pendidikan di Sekolah. Perhatian tersebut harus ditunjukkan dalam keamanan dan
kemampuan
untuk
mengembangkan
diri
dan
sekolahnya secara optimal. Mulyasa (2003) menyatakan bahwa kepala sekolah merupakan komponen pendidikan. Seperti yang diungkapkan juga oleh Supardi (1998)dalam Mulyasa (2003), bahwa erat hubungannya antara kepala seko-lah dengan berbagai aspek kehidupan sekolah seperti halnya disiplin
sekolah,
iklim,
budaya
perilaku nakal peserta didik.
dan
menurun-nya
Selanjutnya apa yang diungkapkan di atas menjadi lebih penting dan sejalan dengan kompleksnya tuntutan tugas kepala sekolah, maka kepala sekolah harus memiliki kesiapan-kesiapan untuk memperbaiki mutu pendidikan yaitu melalui manajemen berbasis sekolah. Kepala sekolah adalah seorang tenaga fungsio-nal guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu sekolah di mana diselenggarakan proses belajar meng-ajar, atau tempat di mana terjadi interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang menerima pelajaran (Wahjosumijo, 2002). Kesiapan kepala seko-lah dapat diartikan sebagai keadaan atau kondisi kepala sekolah yang
merasa
siap
untuk
memberikan
perlakuan-
perlakuan khusus atas adanya suatu pem-baharuan dalam pendidikan. Mengacu
kepada
aspek
kepemimpinan
dan
manajemen sekolah, maka salah satu kompetensi yang harus ada bagi kepala sekolah adalah keterampilan yang berkaitan dengan tuntutan tugas dan pekerjaan manajer. Hersey et al (Wahjosumidjo, 2003:99) menya-takan “dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas mana-jerial, paling tidak diperlukan tiga bidang keteram-pilan, yaitu: technical, human dan conceptual. Ketiga keterampilan manajerial tersebut berbeda-beda sesuai dengan tingkat kedudukan manajer dalam organisasi”. Sementara itu, Nurkholis (2003:132) menyata-kan “strategi penerapan manajemen berbasis sekolah akan berhasil jika kepemimpinan sekolah kuat, se-hingga mampu menggerakkan dan mendayagunakan setiap
sumber daya sekolah secara efektif.Kepala sekolah harus menjadi
sumber
inspirasi
atas
pemba-ngunan
dan
pengembangan sekolah secara umum. Kepala sekolah dalam MBS berperan sebagai designer, motivator, dan fasilitator”. Selaras dengan PP 28 tahun 1990 Kesiapan Kepala Sekolah
dalam
pelaksanaan
Manajemen
Berba-sis
Sekolah (MBS) menurut Depdiknas (2005), dapat dilihat dari 5 aspek, yaitu: Pertama, bagaimana kepala sekolah mampu mengelola dan meningkatkan mutu pelayanan sekolah, melalui pengembangan dan pengelolaan program peningkatan mutu sekolah. Kedua, kepa-la sekolah diharapkan mampu mengelola kegiatan sekolah, yaitu mendorong pencapaian prestasi siswa, pengembangan potensi dan kreativitas siswa dan berbagai fasilitas untuk mendukung kegiatan sekolah. Ketiga, mampu untuk menyu-sun dan mengimplementasikan program sekolah. Penyusunan program kerja sekolah dilakukan ber-sama dengan stakeholders sekolah dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Kepala sekolah harus mampu mengelola sumber daya yang ada (personalia) agar dapat bekerja lebih optimal. Keempat, kepala sekolah harus mampu mengelola dan memberdayakan sumber daya manusia secara proposional dan terarah untuk mencapai peningkatan kinerja tenaga kependidikan. Pada aspek yang terakhir atau kelima ini diharapkan kepala sekolah agar mampu mengelola seluruh potensi sumber daya yang ada di sekolah secara optimal. Bagaimana kepala sekolah mengembangkan program-program yang mengarah pada pening-katan profesionalisme.
Menurut Mulyasa (2003) bahwa kesiapan kepala sekolah
dalam
pelaksanaan
Manajemen
Berbasis
Sekolah (MBS) meliputi menyusun program sekolah, organisasi personal, memberdayakan tenaga kependi-
dikan dan mendayagunakan sumberdaya sekolah secara optimal. Berdasarkan pendapat di atas, dapatlah disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kesiapan kepala sekolah dalam penelitian ini adalah kondisi kepala sekolah
yang
merasa
dirinya
telah
mampu
untuk
menghadapi segala sesuatu yang akan terjadi dalam penerapan manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Selain itu mengimplementasikan manajemen berbasis seko-lah diperlukan kepala sekolah yang profesional.
2.3.2 Kesiapan Guru Menurut Taufiq (2005) kesiapan guru merupa-kan tingkah laku yang saling berkaitan dalam
suatu
situasi
tertentu
yang dilaku-kan
untuk
mendapatkan
kemajuan perubahan dan perkembangan siswa yang menjadi tujuannya sebelumnya. Arikunto (2005) menyatakan, kesiapan guru dalam pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), bahwa guru
idaman
memiliki
persyaratan
seperti
yang
dirumuskan dalam Proyek Pengembangan Pendidikan Guru (P3G), yaitu: Menguasai materi pelajaran, memahami teori pendidikan, mampu mengelola kelas, menguasai stra-tegi pembelajaran, memahami teori interaksi bela-jar mengajar, mampu memilih dan menggunakan alatalat pembelajaran, mampu melaksanakan penilaian, mampu melaksanakan bimbingan kon-seling, mampu melaksanakan administrasi kelas dan mampu melaksanakan penelitian sederhana.
Menurut Depdiknas (2005) peranserta guru dalam pelaksanaan diharapkan
Manajemen mampu
Berbasis
Sekolah
(MBS)
meningkatkan
kualitas
belajar
siswa, menyelenggarakan pembelajaran yang efektif dan menyediakan program pengembangan yang diperlukan siswa serta berperanserta dalam memo-tivasi siswa. Kompetensi guru menjadi hal yang penting dalam menentukan keberhasilan MBS (Permendiknas No. 16 Tahun 2007). Johnson (1980) menyatakan diperlukan persyaratan yang merupakan unsur-unsur kompetensi yang saling mendukung dan terpadu yang dilandasi oleh kompetensi penguasaan bahan, kemampuan profesional, penguasaan proses, kemampuan menyesuaikan diri terhadap situasi dan suasana pengajaran, dan didasari oleh sikap, nilai, dan pribadi yang mantap. Dalam pola pembelajaran MBS, peran dan tugas guru tidak hanya menyampaikan atau memindahkan ilmu pengetahuan kepada anak didik saja, akan tetapi lebih dari itu guru harus mampu melaksanakannya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1996) menyatakan bahwa kinerja guru merupakan peranan dan tugas guru itu sendiri. Peranan yang dimaksud adalah: 1) Guru sebagai inisiator, organisator, dan dinamisator dalam proses pendidikan, 2) Guru sebagai fasilitator yang memungkinkan terciptanya kondisi yang baik bagi siswa untuk belajar, 3) Guru seba-gai narasumber dan motivator bagi siswa, 4) Guru sebagai pengajar bertanggungjawab atas mutu hasil belajar siswa, 5) Guru mempunyai martabat dan citra untuk ditiru, dipercaya, dan diteladani di lingkungan sekolah dan masyarakat.
Sedangkan tugas yang dimaksud adalah: 1) Tugas profesional, yang terdiri dari tugas mendidik, mengajar, dan melatih untuk mengembang-kan dan membentuk kepribadian, kecerdasan, dan keterampilan siswa secara optimal. Disini guru bertugas sebagai pengubah dan pembentuk ma-nusia seutuhnya. 2) Tugas manusiawi, yang terdiri dari tugas membina siswa dalam rangka mening-katkan martabat dan citranya agar dapat menem-patkan dirinya secara keseluruhan kemanusiaan-nya bagi kepentingan dan cita-citanya. 3) Tugas kemasyarakatan, yang terdiri dari tugas membimbing siswa menjadi warga negara yang baik sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Di sini guru bertugas sebagai pencipta masa depan dan penggerak kemajuan.
Bagi murid, guru ideal itu guru yang mampu memberi motivasi belajar, sumber keteladanan, ramah dan penuh kasih sayang, penyabar, menguasai bahan ajar, mampu mengajar dengan “bagus”. Orang tua berharap agar guru itu menjadi mitra pendidik bagi anak-anaknya, menjadi “orang tua” di sekolah sehing-ga dapat melengkapi, menambah, dan memperbaiki pola pendidikan di rumah. Pemerintah berharap agar guru bisa menjadi unsur penunjang kebijakan dan program pemerintah di bidang pendidikan. Dari sudut pandang masyarakat luas, guru diharapkan menjadi “wakil” masyarakat di dunia pendidikan, dan “wakil” lembaga pendidikan di dalam masyarakat. Seperti kita maklumi, masyarakat itu bersifat normatif bagi dunia pendidikan, dan guru adalah pelestari nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyakatnya (Joni, 1984). Sosok guru semacam itu secara “ilmiah” dike-mas dalam berbagai istilah. Ringkasnya, seorang guru yang profesional
harus
memiliki
kompetensi
akademik
(intelektual),
kompetensi
pribadi,
kompetensi
sosial,
bahkan kompetensi moral-spiritual. Kompetensi akademik diwujudkan oleh pengetahuan dan kemampuan guru dalam bidang ilmu pengetahuan yang digeluti-nya, mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi se-cara proaktif, dan kemampuannya dalam mengem-bangkan ilmu
tersebut
setidak-tidaknya
di
dalam
kelas.
Kompetensi akademik juga perlu ditunjukkan oleh guru dalam
bentuk
pendidikan
pengetahuan
dan
teoritis-filosofis
pengajaran,
misalnya
tentang
Wawas-an
Kependidikan Guru, serta menerapkan teori dan filsafat itu dalam perilakunya di depan kelas. Penge-tahuan teoritis-filosofis
ini
bisa
dipakai
untuk
mem-
pertanggungjawabkan secara akademik segala peri-laku mengajarnya di dalam kelas. Kompetensi pribadi sekurang-kurangnya berhubungan dengan sosoknya sebagai pribadi yang utuhmatang secara fisik dan mental serta emosional. Seba-gai insan yang sudah utuh-matang, dia mempunyai motivasi tertinggi yang dalam bahasa Abraham Maslow disebut motivasi aktualisasi diri, bukan motivasi rendahan yang melatarbelakangi tugas keguruannya hanya sekadar untuk mencari makan (Lihat Dimyati dan Mudjiono, 1999). Dia harus mampu menjadi “guru tanda seru” (“Inilah guru yang baik!”), dan bukan “guru tanda tanya” (“Inikah guru?”, “Guru apa ini?”). Untuk mencapai tingkatan itu guru, menurut Kock (1981), haruslah terus-menerus mau belajar, sehingga “tingkat persiapan harus lebih tinggi dari-pada tingkat mengajar”. Atau, dalam bahasa Drost (2002), guru harus
selalu melakukan on-going formation, membentuk dirinya sendiri untuk makin bermutu dan bermutu. “Menjadi manusia pembelajar”, kata Harefa (2000), dan belajar itu tidak mesti di sekolah atau di kampus. Kompetensi
sosial
diwujudkan
dalam
bentuk
kemampuannya dalam berinteraksi dan berkomuni-kasi secara terbuka dan ikhlas dengan siswa dan rekan-rekan guru
serta
masyarakat pendapat
orang
tua
tempat
yang
siswa
mereka
menyatakan
dan
tinggal. bahwa
dengan
warga
Memang ada
ada
sifat-sifat
tertentu pada guru yang sulit atau bahkan tidak bisa diubah karena sifat-sifat itu sudah dibawa sejak lahir, apalagi banyak guru yang menjadi guru bukan karena “panggilan” melainkan karena terpaksa. Lalu muncul cap dan label seperti sukar bergaul, judes, kaku, dsb. Kesiapan guru dalam pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dapat dilihat dalam dua hal yaitu material dan mental. Kesiapan material adalah kesiapan guru dalam proses belajar mengajar baik dari segi teori maupun peralatan-peralatan yang mendu-kung dalam praktik di sekolah. Sedangkan kesiapan mental merupakan kesiapan psikologis seorang guru untuk bertindak dan memberikan respon terhadap segala sesuatu yang terjadi. Menurut Sardiman (Taufiq, 2001) menyatakan bahwa kesiapan guru dapat dilihat dalam hal melaksanakan proses pembelajaran yang aktif, melaksana-kan proses
pembelajaran
yang
kreatif
dan
dalam
melaksanakan proses pembelajaran yang efektif dan menyenangkan.
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan kesiapan guru adalah kesiapan yang dibutuhkan oleh seorang guru sebagai pelaksanan kegiatan pembela-jaran dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
2.3.3 Kesiapan Masyarakat Secara umum dipahami bahwa sesuai Undangundang yang berlaku, pendidikan bukan hanya men-jadi tanggung
jawab
pemerintah
tanggung
jawab
masyarakat.
tetapi
juga
Artinya
menjadi
pemerintah
berkewajiban menyediakan pendidikan untuk masyarakat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebaliknya
masyarakat
sebagai
warga
bangsa
juga
berkewajiban ikut serta membangun pendidikan. Peran masyarakat
yang
sebelumnya
“bertanggung
jawab”
berubah menjadi “berpartisipasi” terhadap pendidikan, dan selanjutnya menjadi tidak peduli. Semua sumber daya pendidikan ditanggung pemerin-tah, dan peran serta masyarakat apalagi bertanggung jawab terhadap pendidikan menjadi sangat berkurang. Bahwa
pentingnya
masyarakat
berpartisipasi
dalam pendidikan dinyatakan dalam Undang-undang tentang Sistem pendidikan Nasional No.20 tahun 2003. Dalam pasal 8 dan 9 ditegaskan mengenai hak dan kewajiban masyarakat dalam membangun pendi-dikan yaitu: bahwa, “masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan” (pasal 8), dan bahwa “masyarakat berkewajiban
memberikan
du-kungan
sumber
daya
dalam penyelenggaraan pendi-dikan” (pasal 9). Mengenai
peranserta masyarakat dalam pendidikan dalam UU Sisdiknas diatur dalam bab tersendiri, yaitu Bab XV. Pada pasal 54 ayat (1) disebutkan bahwa ”peranserta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelom-pok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha
dan
orga-nisasi
kemasyarakatan
dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan”.
Sementara
pada
ayat
(2)
disebutkan
“masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan”. Berdasarkan keputusan Mendiknas nomor (2002) menyatakan bahwa peran serta masyarakat dapat dilihat dari adanya hal-hal seperti: (1) dukungan masyarakat, (2)
keterlibatan
masyarakat,
(3)
dan
ke-mitraan
masyarakat. Kondisi pentingan
keterlibatan
memungkinkan
pihak-pihak lahirnya
yang
berke-
keputusan-kepu-
tusan yang lebih baik dalam pengelolaan sekolah. MBS pun diharapkan dapat meningkatkan mutu komuni-kasi di antara berbagai pihak yang berkepentingan, yang meliputi dinas pendidikan setempat, kepala sekolah, guru-guru, orang tua, anggota masyarakat setempat, dan anak didik. Partisipasi masyarakat dapat dilihat dari berba-gai aspek, yaitu: a) peran serta orang tua, yang meli-puti: dukungan, kontribusi, peduli, dan rasa kebang-gaan orang tua terhadap sekolah anaknya; b) peran serta komite/dewan sekolah, yang meliputi: pemben-tukan, pengembangan,
dan
pemahaman
akan
fungsi
komite/dewan sekolah; c) peranserta masyarakat, yang
meliputi: bantuan terhadap program yang dilak-sanakan sekolah dan penggunaan lulusan. Penyelenggaraan pendidikan merupakan tanggung jawab
bersama
antara
pemerintah,
orangtua,
dan
masyarakat. Ketiganya, sesuai dengan fungsi dan peran masing-masing, harus berupaya seoptimal mungkin ke arah terselenggaranya program pendidik-an bermutu. Dalam perkembangannya, dukungan dan peranserta masyarakat dalam menunjang program pembelajaran di sekolah masih beragam, umumnya dukungan masih bersifat fisik, namun ada juga kelom-pok masyarakat yang sudah membantu proses pem-belajaran. Di sisi lain, masih ada sekolah yang kurang mampu dan mau mendekati
masyarakat
pendidikan,
dalam
guna
bidang
mem-bantu
fisik
program
mau-pun
bidang
pembelajaran. Namun demikian beberapa fakta peran serta masyarakat adalah sebagai berikut: 1) Sebagian program
masyarakat pendidikan
masih
menganggap
merupakan
tanggung
bahwa jawab
sekolah dan pemerintah saja; 2) Saat ini, umumnya peran serta masyarakat masih terbatas pada pengumpulan dana dan dukungan fisik untuk
pembangunan
sekolah
saja.
Sebagian
masyarakat dan juga sekolah, belum menyadari pentingnya potensi, peran serta, hak dan kewajiban dalam peningkatan mutu pembelajaran; 3) Sebagian sekolah sudah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya
peningkatan mutu pembelajaran di sekolah. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan peranserta masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat dalam memberikan sumbangan terhadap pelaksanaan Manajemen berbasis Sekolah (MBS).
2.3.4 Kesiapan Komite Sekolah Dalam
paradigma
lama,
hubungan
keluarga,
sekolah, dan masyarakat dipandang sebagai institusi yang terpisah-pisah. Pihak keluarga dan masyarakat dipandang tabu untuk ikut campur tangan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Apalagi sampai masuk ke wilayah kewenangan profesional para guru. Dewasa ini, paradigma lama ini dalam batas-batas tertentu telah ditinggalkan. Keluarga memiliki hak untuk mengetahui tentang apa saja yang diajarkan oleh guru di sekolah. Orangtua siswa memiliki hak untuk mengetahui dengan metode apa anak-anaknya diajar oleh guru-guru mereka.
Dalam
keluarga
dan
paradigma
sekolah
tran-sisional,
sudah
mulai
hubungan
terjalin,
tetapi
masyarakat belum melakukan kontaks dengan sekolah. Dalam paradigma baru hubungan ke-luarga, sekolah, dan masyarakat harus terjalin secara sinergis untuk meningkatkan mutu layanan pendidik-an, termasuk untuk
meningkatkan
mutu
hasil
belajar
siswa
di
sekolah. Sekolah adalah sebuah pranata sosial yang bersistem, terdiri atas komponen-komponen yang saling terkait dan pengaruh mempengaruhi. Komponen uta-ma sekolah adalah siswa, pendidik dan tenaga kepen-
didikan lainnya, kurikulum, serta fasilitas pendidikan. Selain itu, pemangku kepentingan (stakeholder) juga mempunyai
pengaruh
yang
besar
terhadap
proses
penyelenggaraan dan peningkatan mutu pendidikan. Dalam hal ini orangtua dan masyarakat merupakan pemangku kepentingan yang harus dapat bekerja sama secara sinergis dengan sekolah. Proses penyelenggaraan pendidikan kini menggunakan pola manajemen yang dikenal dengan manajemen berbasis sekolah (MBS), yang dalam aspek teknis edukatif dikenal dengan manajemen peningkat-an mutu berbasis sekolah (MPMBS). Untuk itu, maka orangtua siswa, khususnya yang tergabung dalam Komite Sekolah juga
harus
memahami
pola
manaje-men
sekolah
tersebut. Dalam kegiatan Managing Basic Education (MBE), orangtua
siswa
membentuk
di
setiap
Paguyuban
kelas
Kelas,
di
yang
suatu
sekolah
beranggotakan
orangtua siswa dengan tugas membantu guru kelas dalam
merancang
dan
melaksanakan
pembelajaran
dengan konsep PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan). Ini merupakan satu bentuk keterlibatan
keluarga
dan
masyarakat
dalam
penyelenggaraan pendidikan. Oleh karena itu, Komite Sekolah perlu memahami wawasan kependidikan tersebut (Dirjen MPDM, 2006). Maksud dibentuknya komite sekolah adalah agar ada
suatu
organisasi
masyarakat
sekolah
yang
mempunyai komitmen dan loyalitas serta peduli terhadap peningkatan kualitas sekolah. Komite sekolah
yang dibentuk dapat dikembangkan secara khas dan berakar dari budaya, demografis, ekologis, nilai kesepakatan,
serta
kepercayaan
yang
dibangun
sesuai
dengan potensi masyarakat setempat (Haryadi, dkk., 2006). Oleh karena itu, komite sekolah yang dibangun, harus
merupakan
pengembang
kekayaan
filosofis
masyarakat secara kolektif. Artinya, komite sekolah mengembangkan
konsep
yang
berorientasi
kepada
pengguna (client model), berbagi kewenangan (power sharing and advocacy model), dan kemitraan (partnership model) yang difokuskan pada peningkatan mutu pelayanan pendidikan di sekolah. Tujuan
dibentuknya
komite
sekolah,
sebagai
organisasi masyarakat sekolah, adalah (Haryadi, dkk., 2006:3): 1) mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan; 2) meningkatkan tanggung-jawab dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan; dan 3) menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan.
Berdasarkan
Keputusan
Menteri
Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, peran dan fungsi dari komite sekolah adalah sebagai berikut: Komite
Sekolah
berperansebagaipemberi
per-
timbangan (advisory agency) dalam penentuan dan
pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan, di samping itu menjadi pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan. Fungsi kontrol merupakan peran dari komite sekolah dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendi-dikan di satuan pendidikan. Peran terakhir dari komite sekolah sebagai mediator antara pemerintah (mediating agency) dengan masyarakat di satuan pendidikan. Untuk menjalankan peran yang telah disebut-kan di muka, komite sekolah memiliki fungsi sebagai berikut: 1) Mendorong
tumbuhnya
perhatian
dan
komitmen
masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu; 2) Melakukan
kerjasama
dengan
masyarakat
(Per-
orangan/organisasi/dunia usaha dan dunia Indus-tri (DUDI)
dan
pemerintah
berkenaan
dengan
penyelengaraan pendidikan bermutu; 3) Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat; 4) Memberikan
masukan,
pertimbangan,
dan
reko-
mendasi kepada satuan pendidikan mengenai:
(a)
Kebijakan dan program pendidikan; (b) Rencana Anggaran Pendidikan dan Belanja Sekolah (RAPBS); (c)
Kriteria kinerja satuan pendidikan; (d) Kriteria
tenaga kependidikan; (e) Kriteria fasilitas pendidik-an; (f) Hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan;
5) mendorong orang tua siswa dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung peningkatan
mutu
pendidikan
dan
pemerataan
pendidikan; 6) menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelengaraan pendidikan di satuan pendidikan; dan 7) melakukan
evaluasi
dan
pengawasan
terhadap
kebijakan, program; 8) penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan. Komite sekolah turut melakukan penjajakan ide dan gagasan terkait berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat, yang kemudian memberikan
masukan,
pertimbangan,
dan
rekomendasi
kepada satuan pendidikan terkait. Membangun partisipasi orangtua dan masyarakat dalam pendidikan guna mendukung
peningkatan
mutu
dan
pemerataan
pendidikan merupakan syarat mutlak yang harus dilakukan diikuti dengan menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidik-an disatuan pendidikan. Fungsi evaluasi dan penga-wasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan meru-pakan langkah akhir dari seluruh rangkaian proses ini.
2.4 Kerangka Pikir dan Model Penelitian Dewasa ini banyak upaya peningkatan mutu pendidikan terus dilakukan oleh berbagai pihak. Upaya-
upaya
tersebut
dilandasi
suatu
kesadaran
beta-pa
pentingnya peranan pendidikan dalam pengem-bangan sumber daya manusia dan pengembangan watak bangsa untuk kemajuan masyarakat dan bangsa. Harkat dan martabat suatu bangsa sangat di-tentukan oleh kualitas pendidikannya. peningkatan
Dalam
mutu
pembangunan
di
konteks
pendidikan bidang
bangsa
Indonesia,
me-rupakan
pendidikan
sasaran
nasional
dan
merupakan bagian integral dari upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia secara me-nyeluruh. Seiring dengan era otonomi dengan asas desentralisasi, peningkatan kualitas pendidikan menuntut partisipasi
dan
pemberdayaan
seluruh
komponen
pendidikan dan penerapan konsep pendidikan sebagai suatu sistem. Pendekatan peningkatan mutu pendidikan yang sesuai dengan paradigma dan gagasan tersebut di atas adalah konsep School Based Management atau manajemen berbasis sekolah. Penerapannya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang merupakan sebuah inovasi pendidikan untuk mencapai
pendidikan
meningkatkan
mutu
yang
lebih
pendidikan
sempurna di
dalam
Indonesia
memerlukan elemen-elemen pendukung seperti kepala sekolah,
guru,
masyarakat,
dan
komite
sekolah
(Mulyasa, 2003). Keempat elemen tersebut perlu memiliki kesiapan khusus dalam menerapkan Manaje-men Berbasis Sekolah (MBS).
Kepala Sekolah
Mengelola & Meningkatkan mutu pelayanan sekolah Mengelola program supervisi untukpeningkatan mutu sekolah Mengelola program kewirausahaan
Guru
Pengambangan kurikulum Pelaksanaan kegiatan pembelajaran
P
h d
Masyarakat
Partisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan Memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan
Manajemen BerbasisSe kolah
Peningkatan Kualitas Pendidikan
Komite Sekolah
Pertimbangan dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan Memberikan sumbangan pemikiran, dana, dan tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan Melakukan kontrol terhadap transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dankeluaran pendidikan Merupakan penghubung antara sekolah dengan masyarakat dan pemerintah
Gambar 2.1 Peran serta Kepala sekolah, guru, masyarakat dan komite sekolah dalam pencapaian peningkatan kualitas pendidikan melalui MBS (Mulyasa, 2003)
Dari skema di atas terlihat bahwa untuk mencapai pendidikan yang berkualitas dibutuhkan manajemen berbasis sekolah, yang memerlukan beberapa syarat utama dimana peranserta kepala sekolah, guru, masyarakat, dan komite sekolah menjadi sentral. Dari masing-masing peran stakeholder tersebut dibutuhkan kualifikasi dan syarat yang harus dipenuhi