BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Infeksi Saluran Kemih Pada wanita hamil dikenal 2 keadaan infeksi saluran kemih : 1. Infeksi saluran kemih tanpa gejala (Bakteriuria asimptomatik). Dimana terdapat bakteri dalam urine lebih dari 100.000 /ml urine. Urine diambil porsi tengah dengan cara vulva dan meatus urethra eksternus dibersihkan terlebih dahulu dengan bahan antiseptik. Atau jumlah bakteri antara 10.000 sampai dengan 100.000 bila urine diambil dengan cara kateter urethra. Pada urinalisis dapat ditemukan adanya leukosit.
2. Infeksi saluran kemih dengan gejala (simptomatik). Dapat dibagi menjadi : a. Infeksi saluran kemih bagian bawah (sistitis) Dengan gejala dapat berupa disuria, terkadang didapatkan hematuria, nyeri daerah suprasimpisis, terdesak kencing (urgency), stranguria,
tenesmus
dan
nokturia.
Tetapi
jarang
sampai
menyebabkan demam dan menggigil. Pada urinalisis dapat dijumpai leukosit dan eritrosit.
b. Infeksi saluran kemih bagian atas (pielonefritis) Dengan gejala berupa nyeri dan tegang pada daerah sudut “costovertebral” atau daerah pinggang, demam, mual dan muntah.
5 Universitas Sumatera Utara
Dapat juga disertai keluhan seperti pada infeksi saluran kemih bagian bawah seperti disuria, urgensi dan polakisuria, stranguria, tenesmus, nokturia. Pada pemeriksaan darah dapat dijumpai kadar ureum dan kreatinin yang meningkat dan pada pemeriksaan urinalisis ditemukan leukosit. Atau pada pemeriksaan imunologi didapatkan bakteriuria yang diselubungi antibodi.
2.2. Angka Kejadian Infeksi saluran kemih yang asimptomatik dalam kehamilan angka kejadiannya 4-10%, sedang di Indonesia berkisar antara 20-25% dan sekitar 10-20% diantaranya dapat menyebabkan partus prematurus.
2.3. Faktor Resiko Adapun faktor resiko meningkatnya infeksi saluran kemih sebagai berikut: 1. Perubahan morfologi pada kehamilan. Karena asal dari traktus genital dan traktus urinarius adalah sama secara embriologi ditambah lagi letaknya yang sangat berdekatan maka adanya perubahan pada salah satu sistem akan mempengaruhi sistem yang lain.
Pada saat hamil dapat terjadi perubahan pada traktus urinarius berupa: a. Dilatasi pelvis renal dan ureter
6 Universitas Sumatera Utara
Dilatasi ini terjadi terutama setelah kehamilan 20 minggu, lebih sering terjadi pada sebelah kanan 85,7% berbanding sebelah kiri 10%. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena adanya colon sigmoid disebelah kiri dan adanya kecenderungan uterus untuk mengadakan dekstrorotasi dan kecenderungan secara anatomi bahwa ureter kanan rentan terhadap dilatasi. Adanya dilatasi tersebut
kemungkinan
juga
akibat
dari
adanya
hormone
progesteron yang meningkat disamping efek penekanan dari uterus yang membesar karena hamil. b. Vesika urinaria terdesak ke anterior dan superior seiring dengan makin bertambah besarnya uterus, dan cenderung lebih terletak pada rongga abdominal daripada di rongga pelvis. Terjadi juga pelebaran pada daerah basal. Kapasitas penampungan urin akan meningkat tetapi daya pengosongan akan menurun karena terjadi kelemahan dari otot detrusor kandung kemih akibat pengaruh dari progesterone (terjadi kelemahan otot-otot polos sehingga tonus akan berkurang, akibatnya juga akan terjadi pelebaran saluran kemih
secara
keseluruhan
dan
kontraksi akan
berkurang),
mengakibatkan sisa urine sering terjadi sehingga pertumbuhan bakteri mudah terjadi. 2. Sistokel dan Urethrokel 3. Kebiasaan menahan kemih
7 Universitas Sumatera Utara
2.4. Patofisiologi Pada infeksi dan inflamasi dapat menginduksi kontraksi uterus. Banyak mikroorganisme dapat menghasilkan fosfolipid A2 dan C sehingga meningkatkan konsentrasi asam arakidonat secara lokal dan pada gilirannya dapat menyebabkan pelepasan PGF-2 dan PGE-2 sehingga terjadi kontraksi miometrium uterus. Selain itu pada keadaan infeksi terdapat juga produk sekresi dari makrofag / monosit berupa interleukin 1 dan 6, sitokin, tumor nekrosis factor yang akan juga menghasilkan sitokin dan prostaglandin.
Umumnya bakteri yang menyebabkan terjadinya infeksi berasal dari tubuh penderita sendiri. Ada 3 cara terjadinya infeksi yaitu : 1. Melalui aliran darah yang berasal dari usus halus atau organ lain ke bagian saluran kemih. 2. Penyebaran melalui saluran getah bening berasal dari usus besar ke buli-buli atau ke ginjal. 3. Secara asendens yaitu migrasi mikroorganisme melalui saluran kemih yaitu urethra, buli-buli, ureter lalu ke ginjal.
Berdasarkan pengalaman klinis dan percobaan, cara asendens ini adalah cara yang banyak dalam penyebaran infeksi. Sebagai faktor predisposisi adalah urethra wanita yang pendek dan mudahnya terjadi kontaminasi yang berasal dari vagina dan rektum.
8 Universitas Sumatera Utara
Infeksi saluran kemih dalam kehamilan dapat bervariasi mulai dari bakteriuria simptomatik hingga yang menimbulkan keluhan dan gejala sebagai sistitis dan pielonefritis akut.
Bakteriuria asimptomatik adalah adanya 100.000 bakteri atau lebih per milliliter urin dari penderita tanpa keluhan infeksi saluran kemih. Bakteriuria asimptomatik ditemukan pada 4-12 % dari wanita hamil dan angka ini bervariasi tergantung pada suku bangsa, paritas, dan keadaan sosioekonomi penderita. 30% dari bakteriuria asimptomatik tersebut berkembang menjadi bakteriuria yang simptomatik dalam kehamilan yakni berupa sistitis atau pielonefritis akut.
Beberapa penelitian membuktikan adanya
hubungan antara
bakteriuria asimptomatik dengan partus prematurus, pertumbuhan janin terhambat dan preeclampsia. Suatu studi yang bersifat meta-analisa melaporkan bahwa eradikasi bakteriuria tersebut dapat meningkatkan keluaran (outcome) partus prematurus sehingga menganjurkan untuk melakukan skrining terhadap semua wanita hamil guna mendeteksi adanya bakteriuria yang asimptomatik tersebut.
Pengaruh hormone progesterone terhadap tonus dan aktivitas otototot dan obstruksi mekanik oleh pembesaran uterus dalam kehamilan merupakan faktor predisposisi meningkatkan kapasitas buli-buli dan terdapatnya sisa urin setelah berkemih pada ibu hamil. Perubahan pH urin
9 Universitas Sumatera Utara
yang
disebabkan
meningkatnya
ekskresi
bikarbonas
memberikan
kemudahan untuk pertumbuhan bakteri. Glikosuria juga sering terjadi pada kehamilan ini juga merupakan faktor predisposisi berkembangnya bakteri dalam urin.
2.5. Diagnosis Diagnosis dari infeksi saluran kemih dapat diketahui dari adanya keluhan (bagi yang simptomatik) berupa: disuria, polakisuria, terdesak kencing (urgency), stranguria, nokturia dan bila berat dapat dijumpai demam, menggigil, mual, muntah serta nyeri pinggang pada pielonefritis.
Untuk mendeteksi bakteriuria diperlukan pemeriksaan bakteriologik yang secara konvensional dilakukan dengan metode biakan dan ditemukannya jumlah kuman >l00,000 colony forming unit /ml urine. Metode biakan ini tidak selalu dapat dilakukan laboratorium sederhana, karena
tidak
semua
laboratorium
mempunyai
kemampuan
untuk
pembiakan itu, yang biayanya cukup tinggi dan membutuhkan waktu yang lama. Yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan mikroskopik pewarnaan secara Gram, dengan ditemukannya kuman batang Gram - negatif. Namun cara ini membutuhkan keahlian khusus. Selain itu dapat dilakukan dengan hitung jumlah lekosit dalam urin untuk membantu diagnosis bakteriuria yang infektif. Bahan pemeriksaan adalah urine arus-tengah pagi hari, urine diambil sebelum subyek minum sesuatu untuk menghindarkan efek pengenceran.
10 Universitas Sumatera Utara
2.5.1. Pemeriksaan bakteriologis. 1. Pemeriksaan mikroskopis langsung dilakukan terhadap sediaan hapus yang dibuat dari sampel urine yang tidak disentrifugasi, dipulas dengan pewarnaan Gram dan dihitung jumlah kuman yang tampak per lapangan pandangan besar (LPB) serta dicatat ada atau tidaknya lekosit. Pewarnaan Gram adalah metode pemeriksaan penyaring yang cepat dan sering dilakukan dengan hasil sensitivitas 90% dan spesifisitas 80%. Bilamana pada pemeriksaan mikroskopik urine dari subyek wanita didapatkan banyak sel epitel skuamosa dengan flora normal vagina maka sampel urine tersebut menggambarkan adanya kontaminasi.
2. Biakan kuman cara konvensional untuk hitung koloni dilakukan secara kuantitatif. Untuk biakan ini, 0,00l ml urin yang tidak di sentrifugasi diambil dengan memakai sengkelit baku (1/1000) atau dengan cara pengenceran urin terlebih dahulu dengan buffered water dan kemudian ditanamkan pada lempeng agar darah domba dan MacConkey. Urine pada lempeng agar tersebut disebar merata dengan spatel gelas dan lempeng agar itu kemudian diinkubasikan pada suhu 370C selama 1820 jam. Koloni-koloni yang tumbuh dihitung dan dicatat. Identifikasi koloni-koloni kuman dilakukan menurut metode baku yang berlaku. Interpretasi hitung koloni bakteri(9-10): jika pada lempeng agar darah didapatkan jumlah koloni bakteri <10, kemungkinan besar ini karena suatu kontaminasi dan identifikasi bakteri tidak dilakukan. Dalam hal ini
11 Universitas Sumatera Utara
sediaan pulasan Gram urin harus memberikan hasil kuman Gram negatif. Jika terdapat bakteri pada sediaan Gram maka lempeng agar diinkubasi kembali untuk semalam karena mungkin bakteri tumbuh lambat. Jumlah koloni pada lempeng agar di antara 10-100 juga tidak dianggap suatu bakteriuri, melainkan mungkin karena pengambilan dan penanganan sampel yang tidak betul. Hitung koloni kuman yang menghasilkan jumlah kuman pada lempeng agar >100 dianggap bermakna sebagai bakteriuria dan organisme yang tumbuh akan diidentifikasi
Biakan kuman dapat juga dilakukan dengan cara Filter Paper Dilution system dari Novel(11). Caranya dengan menggunakan 3 lapis filter yang dibawahnya adalah agar untuk pembiakan kuman. Cara ini dapat untuk mendeteksi kuman Gram positif dan Gram negatif dengan hasil yang memuaskan. Untuk kuman Gram negatif hasilnya dibandingkan dengan kultur konvensional, ternyata sensitivitasnya 98,2% dan spesifisitasnya
87,4%.
Sedangkan
untuk
kuman
Gram
positif
sensitivitasnya 91,2% dan spesifisitasnya 99,2%.
2.5.2. Pemeriksaan lekosit dalam urine. Sepuluh ml sampel urin
yang telah dikocok merata dan
disentrifugasi dengan kecepatan 1500 - 2000 rpm selama 5 menit. Cairan yang
terdapat
di
atas
tabung
pemusing
dibuang,
ditinggalkan
endapannya. Satu tetes dari endapan diletakkan di atas kaca objek,
12 Universitas Sumatera Utara
kemudian ditutup dengan kaca penutup. Pertama kali dilihat di bawah mikroskop dengan lapangan pandang kecil (LPK), kemudian dengan lapangan pandang besar (LPB). Penilaian dilakukan dengan melihat beberapa kali dalam beberapa Lapangan Pandang Besar (LPB). Laporan didasarkan pada sedikitnya 3 LPB yang dianggap dapat mewakili sediaan. Piuria terjadi bila dijumpai lebih dari 5 lekosit / LPB(12,13).
2.5.3. Tehnik pemeriksaan lain. Teknik pemeriksaan baru dengan teknik penyaring cepat yaitu Uricult dipslide paddle (Orion Diagnostica, Helsinki, Finland), Cult- Dip Plus (Merck, Gemany), Uristat test ( Shields Diagnostics Ltd, Scotland) dan Bioluminescence assay. Walaupun dengan cepat dapat mendiagnosis bakteriuria, namum masih ada kekurangan dan tidak memenuhi tes penyaring yang baik. Tes lain yaitu Uriscreen (Diatech Diagnostics Ltd, Kiryat Weizmann, Ness Ziona, Israel), dengan enzymatic rapid screening test ini dalam beberapa menit hasilnya dapat dibaca. Hasilnya dibandingkan dengan biakan positif. Ternyata Uriscreen mempunyai sensitivitas 100% dan spesifisitas 81%, Cara ini baik untuk screening sampel dalam jumlah yang besar(4).
2.6. Pengobatan Pengobatan
bakteriuria
asimtomatik
pada
kehamilan
perlu
diberikan, sebab menurut penelitian Elder dkk(4) , dengan memberikan pengobatan ASB pada kehamilan dapat menurunkan insiden bakteriuria
13 Universitas Sumatera Utara
dari 86% menjadi 11%. Komplikasi pielonefritis akuta dapat berkurang hingga 80% setelah diberikan pengobatan pada ASB. Juga dapat menurunkan angka lahir berat badan rendah.
Penelitian yang membandingkan pengobatan dengan sulfonamida, cephalosporin, dan nitrofurantoin dengan spectrum luas antibiotika penisilin menunjukkan bahwa obat-obatan tersebut sama-sama efektif dalam eradikasi bakteriuria. Pengobatan dengan ampisilin perlu hati-hati karena penyebab utama bakteriuria adalah E.coli yang resistensinya mencapai 30% di Amerika(4).
Tabel 1: Antibiotika yang dipakai untuk ASB dan sistitis pada kehamilan (4) Pengobatan 3-7 hari: nitrofurantoin
100 mg / 4 x sehari
sulfisoxazole
500 mg / 4 x sehari
cephalexin
250-500 mg / 4 x sehari
Pengobatan tunggal: nitrofurantoin
200mg / kali/hari
amoxillin
3 gram / kali/hari
cephalexin
2 gram / kali/hari
sulfisoxazole
2 gram / kali/hari
14 Universitas Sumatera Utara
Pencegahan: macrodantin 100 mg
Pengobatan dengan dosis tunggal dapat mendukung pengobatan ASB dan menghemat biaya pengobatan. Dalam pemilihan obat perlu diperhatikan efek samping dari obat-obat tersebut. Misalnya penisilin dan sefalosporin dapat menyebabkan reaksi anafilaktik, sulfonamida dapat menyebabkan fetal hyperbilirubinemia, nitrofurantoin dapat menyebabkan defisiensi glucose-6-phosphate dehydrogenase, trimethoprim adalah kontraindikasi relatif untuk kehamilan trimester pertama dan dapat bersifat teratogenik.
2.7. Komplikasi 2.7.1. Sistitis Komplikasi bakteriuria pada kehamilan berupa sistitis, yang berkisar antara 0,35-1,3%(4). Laporan mengenai sistitis pada kehamilan sangat kurang. Lokalisasi infeksi bakterial pada sistitis adalah tractus urinarius bagian bawah. Belum jelas kapan sistitis dapat berlanjut dengan meningkatnya lahir prematur, lahir berat badan rendah atau pielonefritis. Diagnosis pada penderita sistitis dapat ditegakkan dengan adanya keluhan disuria, hematuria, sering miksi atau merasa tidak enak pada daerah suprapubik. Sistitis sering berulang timbul pada kehamilan namun tanpa adanya gejala infeksi. Pemeriksan urine sering positif dengan piuria
15 Universitas Sumatera Utara
dan bakteriuria. Yang terbaik adalah biakan urine, sebab 10% sampai 15% piuria pada kehamilan terjadi tanpa gejala infeksi.
Pengobatan sistitis sama dengan pengobatan ASB. (Lihat Tabel 1) Umumnya pengobatan selama 5-7 hari. Pengobatan dengan jangka pendek lebih diminati, misalnya 1, 3 atau 4 hari, karena lebih murah, dan efek samping juga dapat berkurang dari pada pemberian antibiotika jangka panjang. Biakan urine perlu dilakukan berulang secara teratur pada kehamilan sebab diperkirakan 18% dari penderita dengan sistitis akuta didapatkan biakan urine positif pada akhir kehamilan.
2.7.2. Pielonefritis akut Pada kehamilan terdapat sebanyak 1-2 % pielonefritis akut. Insiden pada populasi bervariasi dan tergantung pada prevalensi ASB dalam komunitas dan penderita secara rutin diberi pengobatan pada ASB. Wanita dengan riwayat pielonefritis, malformasi saluran kemih atau batu ginjal meningkatkan risiko terjadinya pielonefritis. Penelitian prospective pada 656 wanita dengan pielonefritis, di antaranya 73% terjadi pada antepartum, 8% pada intrapartum dan 19% terjadi pada postpartum. .Pada antepartum 9% terjadi pada trimester pertama, 46 % terdapat pada trimester kedua dan 45% terdapat pada trimester ketiga. Menurut Harris (4) dengan pemeriksaan penyaring rutin dan pengobatan pada ASB dapat menekan pielonefrits dari 4% menjadi 0,8%.
16 Universitas Sumatera Utara
Gejala dan tanda klinis pada pielonefritis akut, temasuk demam, menggigil, sakit, mual dan muntah, sepsis, insufisiensi pernafasan dan gejala yang konsisten dengan sistitis. Diagnosis perlu dikonfirmasikan dengan biakan urine. Biakan urine setelah pengobatan dengan antibiotika, hasilnya menjadi negatif. Ditemukannya 1, 2 bakteri per lapangan pandang besar pada urine dari kateterisasi, 20 bakteri dari penampungan urine atau 100,000 cfu /ml dari biakan urine adalah bermakna.
Komplikasi pielonefritis pada kehamilan terutama disebabkan endotoksin yang menyebabkan kerusakan jaringan. Seringkali secara bersamaan terjadi kerusakan pada beberapa organ. Sejumlah 10-15% pielonefritis pada kehamilan dengan bakteriemia, manifestasi ke septic shock(4). Kehamilan dengan sepsis dan demam tinggi menyebabkan cardiac output turun.
Insufisiensi pernafasan terdapat 2-8% pada pielonefritis pada kehamilan, hal ini disebabkan oleh karena. toksin dari bakteri dapat mengubah permeabilitas membrane alveoli-kapiler dan menyebabkan edema paru. Gejala klinis berupa sesak nafas, nafas cepat, kekurangan oksigen, edema paru atau respiratory distress syndrome, denyut nadi meningkat 110x /menit atau lebih, suhu badan meningkat lebih dari 39 oC, nafas cepat lebih 28x /menit.
17 Universitas Sumatera Utara
Disfungsi ginjal terdapat pada 25% kehamilan. Disfungsi ini dapat dilihat dari creatinine clearence kurang dari 80 ml /menit, setelah beberapa hari dapat normal kembali.
Anemia, ditemukan pada 25-66% kehamilan dengan pielonefritis. Anemia hemolitik timbul karena lipopolisakharida kuman yang dapat merusak membran sel darah merah.
Pielonefritis antepartum pada kehamilan perlu diberi antibiotika yang mempunyai khasiat terhadap bakteri yang menyebabkan infeksi saluran kemih. Pemberian antibiotika yang dapat diterima untuk pengobatan pielonefritis seperti terlihat pada Tabel 2(4),
Tabel 2. Antimikroba
yang
digunakan
untuk
pengobatan
pielonefritis pada kehamilan(4)
ampisilin 2 g IV /6jam + gentamycin 3-4mg/Kg/hari IV dibagi 3 x sehari cefazolin 1 g IV tiap 8 jam ceftriaxone 1- 2 g IV atau IM tiap 24 jam mezlocillin 1- 3g IV tiap 6 jam piperacillin 4 g IV tiap 8 jam
18 Universitas Sumatera Utara
Kombinasi ampisilin dengan aminoglikosida sudah digunakan sebagai pengobatan yang umum diberikan pada kehamilan dengan pielonephrits.
Penggunaan
gentamisin
pada
kehamilan
sering
dipertanyakan karena toksisitasnya. Seperti nefrotoksik dan ototoksik, namun tidak ditemukan nefropathy pada wanita hamil dan janinnya. Khususnya pada neonatal dan infants setelah pengobatan dengan gentamisin. dapat mengakibatkan gangguan ginjal(4). Pengobatan dengan mezlocillin dan piperacillin, dapat menurunkan demam dalam waktu 96 jam. Pengobatan dengan cefazolin dan ceftriaxon menurunkan febris, dalam
1
dan
1-3
hari.
Resistensi
terhadap
generasi
pertama
cephalosporin mencapai 12%. Penderita yang gagal dengan cefazolin dapat diobati dengan penambahan aminoglikosida. Kehamilan dengan pielonefritis perlu dirawat di rumah sakit untuk observasi dan deteksi komplikasi pielonefritis, termasuk insufisiensi ginjal, insufisiensi pernafasan dan sepsis, gejalanya seperti demam tinggi, dehidrasi dan muntah-muntah. Pemeriksaan laboratorium yang penting adalah hitung jumlah sel darah, serum elektrolit, kreatinin dan biakan urine. Angel(4) membandingkan pengobatan cephalexin oral dengan cephalothin IV pada penderita nonbakteriemia, ternyata antibiotika oral aman dan efektif diberikan pada kehamilan. Respon klinis dengan pengobatan antibiotika adalah cepat. Bila setelah 72 jam gagal atau tidak ada respon klinis perlu dilakukan renal sonografi untuk memeriksa adanya obstruksi karena nephrolithiasis. Pengobatan intravena diteruskan sampai setelah 1 - 2 hari tidak demam. Umumnya pengobatan dengan antibiotika
19 Universitas Sumatera Utara
diberikan selama 2 minggu. Biakan urine dan antibiotika profilaksis perlu diberikan
pada
wanita
hamil
dengan
riwayat
pielonefritis
untuk
menurunkan risiko infeksi rekuren.
2.8. Kerangka Konsep
Variabel Bebas Ibu hamil dan Ibu yang tidak hamil
Variabel Confounding Umur Paritas Usia Kehamilan Pendidikan
Variabel Tergantung Bakteriuria sebagai penyebab terjadinya Infeksi Saluran kemih
20 Universitas Sumatera Utara