7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Kebudayaan Minangkabau Menurut Rapoport (1969) dalam Nuraini (2004) bahwa kebudayaan adalah merupakan suatu kompleks gagasan dan pikiran manusia bersifat tidak teraga. Kebudayaan akan terwujud melalui pandangan hidup, tata nilai, gaya hidup dan aktivitas yang bersifat konkrit. Aktivitas ini secara langsung akan mempengaruhi wadah, yakni lingkungan yang diantaranya adalah ruang-ruang di dalam permukiman. Dengan demikian sebagai wujud fisik, kebudayaan merupakan hasil kompleks gagasan yang tercermin dalam pola aktivitas masyarakatnya. Hal ini seperti apa yang dinyatakan Rapoport (1969) dalam Nuraini (2004) bahwa budaya merupakan faktor utama dalam proses terjadinya bentuk, sedang faktor lain seperti iklim, letak dan kondisi geografis, politik serta ekonomi merupakan faktor kedua. Sementara Koentjaraningrat (1979) dalam Asri (2004) mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan melalui proses belajar. Kebudayaan merupakan pengetahuan manusia yang diyakini akan kebenarannya oleh yang bersangkutan dan yang diselimuti serta menyelimuti perasaan-perasaan dan emosi-emosi manusia serta menjadi sumber bagi sistem penilaian sesuatu yang baik dan buruk, sesuatu yang berharga atau tidak, sesuatu yang bersih atau kotor dan sebagainya. Hal ini terjadi karena kebudayaan tersebut 7
8
diselimuti nilai-nilai moral, dimana sumber dari nilai-nilai moral tersebut adalah pada pandangan hidup dan pada etos atau sistem etika yang dimiliki oleh setiap manusia. Berdasrkan beberapa pengertian dari kebudayaan yang telah dipaparkan diatas, dapat ditarik kesimpulan dari hakekat kebudayaan tersebut yaitu: 1. Kebudayaan tersebut hanya dimiliki oleh masyarakat manusia. 2. Kebudayaan tidak diturunkan secara biologis, melainkan diperoleh melalui proses belajar. 3. Kebudayaan itu didapat, didukung dan diteruskan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Koentjaraningrat (1979), mencoba mendefinisikan wujud dari kebudayaan, dimana wujud dari kebudayaan dapat dibagi dalam 3 bentuk yaitu: 1. Wujud budaya sebagai hasil kumpulan pendapat, gagasan, nilai-nilai, normanorma, peraturan, prinsip. 2. Wujud kebudayaan sebagai hasil kumpulan kegiatan dan kelakuan yang berpola dari manusia dalam masyarakat. 3. Wujud kebudayaan hadir dalam berbagai benda hasil karya manusia yang sering disebut dengan kebudayaan materi. Yang kesemuanya itu merupakan wujud dari rasa, kemampuan berpikir yang menimbulkan ilmu pengetahuan pada manusia serta kehendak untuk hidup sempurna, mulia dan bahagia yang menimbulkan kehidupan beragama dan berkesusilaan.
9
Masing-masing wujud budaya saling berkaitan dan saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya. Kebudayaaan ideal yang mengatur pola aktivitas manusia akhirnya akan menghasilkan kebudayaan fisik dan demikian juga sebaliknya kebudayaan fisik akan membentuk lingkungan tertentu yang akan mempengaruhi pola aktivitas manusia dan cara berpikirnya (Koentjaraningrat, 1990 dalam Nuraini, 2004). Demikian halnya dengan kebudayaan Minangkabau, ianya berkaitan dengan alam pikiran, adat istiadat, perilaku dan kebiasaan masyarakatnya. Demikian juga dengan ciptaan hasil kebudayaan fisiknya. Hasil kebudayaan fisik Minangkabau
merupakan
perwujudan
perilaku,
pemikiran
masyarakat
Minangkabau. Ada beberapa macam wujud budaya Minangkabau antara lain: 1. Adat istiadat masyarakat Minangkabau. 2. Kekeluargaan dan kekerabatan. 3. Kesastraan. 4. Kebiasaan
dalam membina rumah serta cara permukiman masyarakat
Minangkabau. Wujud budaya berupa sistem kekeluargaan dan kekerabatan, dimana masyarakat Minangkabau menganut sistem kekeluargaan berdasarkan garis keturunan dari ibu (matrilineal). Menurut Ali Akbar Navis (1984) dalam Asri (2004), budaya seperti ini akibat kebiasaan yang terjadi apabila lelaki meninggalkan isterinya dan pergi dalam waktu yang lama (migrasi). Hal ini
10
menyebabkan kaum perempuan dan garis keturunan garis ibu yang mengatur hidup dan menguasai harta perserikatan mereka. Manusia adalah makhluk sosial, sebagai makhluk sosial salah satu cirinya adalah berinteraksi antar sesama. Masyarakat adalah merupakan salah satu contoh bentuk interaksi yang terjadi dalam kehidupan manusia. Menurut Koentjaraningrat (1971), masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi dalam suatu sistem adat istiadat tertentu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Ciri-ciri masyarakat sendiri adalah: 1. Kesatuan antar individu (gabungan dari beberapa individu). 2. Menempati suatu wilayah tertentu. 3. Terdapat sistem yang berlaku dan telah disepakati bersama. 4. Terdapat interaksi antar sesama. Masyarakat Minangkabau sangat menonjol dalam hal asas kegotong royongannya. Hampir semua hal dalam kehidupannya selalu di lakukan dengan bergotong royong, baik dalam usaha agraris, karya seni dan kerajinan, membangunan rumah (rumah adat) dan permukimannya. Hal ini dapat dilihat bagaimana masyarakat Minangkabau yang berada di perantauan, mereka akan menerapkan kebiasaan (budaya) ”saling mengangkat” dalam arti orang yang telah lama tinggal dan secara ekonomi mulai mapan, mereka bersedia menampung dan membiayai keluarga yang datang merantau untuk mencari kehidupan baru yang lebih baik. Atau mereka akan berusaha mengajak keluarga mereka dari kampung halamannya agar dapat mengikuti jejak mereka dalam berbagai usaha dengan
11
bantuan biaya mereka sampai keluarga yang baru datang tersebut dapat hidup mandiri. Kebiasaan saling mengangkat berakar dalam 2 (dua) hal yaitu: 1. Persepsi atau pandangan yang dibentuk oleh adat, khususnya menyangkut persepsi tentang keluarga sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahpisahkan yang para anggotanya mempunyai kewajiban untuk saling membantu, bahkan tidak hanya dalam lingkungan keluarga besar, namun meluas sampai pada ikatan-ikatan sesuku, sekampung halaman, atau sesama orang Minangkabau. 2. Kebiasaan saling mengangkat berakar juga pada sistem matrilineal orangorang Minangkabau. Pada sistem tersebut saudara laki-laki dari ibu (mamak) berkewajiban untuk bertanggaung jawab terhadap nasib dan masa depan anakanak dari saudara perempuannya atau kemenakannya.
2.2 Komunitas Komunitas adalah sekelompok manusia yang saling memiliki keterkaitan fisik dan non fisik, ruang dan non ruang. Kelompok manusia yang bermukim pada suatu tempat atau ruang belumlah merupakan komunitas jika tidak ada keterikatan hubungan diantara mereka yang dapat terjadi secara sosial, budaya maupun ekonomi. Salah satu ciri komunitas adalah adanya kegiatan yang disepakati dan dilakukan secara bersama diantara komunitas tersebut. Menurut Tetuko (2001) dalam Nurmaidah (2006) bahwa komunitas memiliki makna dalam tiga hal yaitu: 1. Suatu kelompok yang mempunyai ruang tertentu.
12
2. Suatu kelompok yang mempunyai sifat sama. 3. Suatu kelompok yang dibatasi oleh identitas budaya yang sama dan dibentuk dengan hubungan sosial yang kental. Menurut Cohen (1989) dalam Sativa (2005) bahwa di dalam sebuah komunitas anggotanya mempunyai sesuatu yang secara bersama membedakan mereka dengan kelompok manusia lainnya. Oleh karena itu perbedaan karakter menjadi penting untuk membedakan komunitas antara satu dengan lainnya. Lebih lanjut batas (boundary) menjadi penting untuk menunjukkan identitas sebuah komunitas. Akan tetapi dalam hal ini batas tidak selalu harus berupa fisik seperti pagar, sungai atau batas wilayah, dapat juga batas tersebut berupa ras, bahasa, religi atau merupakan konsep /makna/simbol yang telah melekat pada komunitas tertentu. 2.3 Peranan Sosial Budaya Terhadap Ruang Permukiman Permukiman merupakan wujud dari ide pikiran manusia dan dirancang semata-mata untuk memudahkan dan mendukung setiap kegiatan atau aktifitas yang akan dilakukannya. Permukiman merupakan gambaran dari hidup secara keseluruhan, sedangkan rumah adalah bagian dalam kehidupan pribadi. Pada bagian lain dinyatakan bahwa rumah adalah gambaran untuk hidup secara keseluruhan, sedangkan permukiman sebagai jaringan pengikat dari rumah tersebut. Oleh karena itu, permukiman merupakan serangkaian hubungan antara benda dengan benda, benda dengan manusia dan manusia dengan manusia. Permukiman sebagai suatu tempat terjadinya interaksi dalam masyarakat, tentunya memiliki karakteristik yang khas dari masing-masing masyarakat yang
13
ada
didalamnya.
Hal
tersebut
sangat
bergantung
pada
faktor-faktor
pendukungnya, baik dari sosio-kultural masyarakat, maupun dari bentuk adaptasi terhadap lingkungan di sekitar permukiman dan sejarah kawasan yang pernah muncul, sebagai awal terbentuknya suatu permukiman. Sistem sosial dan budaya memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan tata ruang permukiman. Keadaan tersebut sebagaimana yang dikemukakan oleh Rapoport (1990) dalam Citrayati dkk (2008), bahwa terbentuknya lingkungan pemukiman dimungkinkan karena adanya proses pembentukan hunian sebagai wadah fungsional yang dilandasi oleh pola aktivitas manusia serta pengaruh setting atau rona lingkungan, baik yang bersifat fisik maupun non fisik (sosial-budaya) yang secara langsung mempengaruhi pola kegiatan dan proses pewadahannya. Sedangkan rona lingkungan akan saling berpengaruh dengan lingkungan fisik yang terbentuk oleh kondisi lokasi, kelompok masyarakat dengan sosial budaya (Rapoport,1969 dalam Ardian http://www.p2kp.org/forumdetil.asp?mid=29827&catid=23&). Masyarakat dalam menempati wilayah permukimannya, tentunya ada beberapa kebutuhan utama yang diharapkan didalamnya. Menurut Sujarto (1977) dalam Citrayati
dkk (2008) ada tiga kebutuhan utama masyarakat di dalam
permukimannya yaitu: 1. Suatu tempat untuk hidup, yang dapat terlindungi dari alam sekitarnya. 2. Tempat untuk melaksanakan kegiatan kerjanya untuk mencari nafkah guna menjamin eksistensi kehidupan. 3. Tempat-tempat yang dapat memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari.
14
Dalam pembentukan permukiman atau rumah kekerabatan dapat menjadi faktor penentu, karena sangat terkait dengan sebuah bentuk ikatan sosial, aturanaturan yang bernuansa budaya dan religi dan juga adanya kegiatan yang bersifat ekonomi (Lowi dalam Mulyati, 1995). Hubungan antara kekerabatan dalam aspek sosial-kultural dan permukiman sebagai perwujudan fisiknya, secara umum dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Kelompok kekerabatan mempengaruhi lokasi dan tata lahan/rumah sesuai dengan prinsip yang dianut. 2. Peran sosial antara kekerabatan mempengaruhi terbentuknya ruang-ruang yang menjadi sarana interaksi antara kerabat. Perubahan budaya berpengaruh terhadap rumah dan lingkungannya. Bentuk perubahan tidak berlangsung secara spontan dan menyeluruh, tetapi tergantung kepada elemen rumah dan lingkungannya dalam sistem budaya. Hal ini mengakibatkan ada elemen-elemen yang tidak berubah dan ada elemen yang berubah mengikuti perkembangan zaman (Rapoport, 1983 dalam Nuraini, 2004). Selanjutnya Rapoport (1969) dalam Nuraini (2004), mengemukakan bahwa sesuai dengan kondisinya masyarakat tidak pernah diam, tetapi akan selalu berubah dan berkembang. Sesuatu yang dihasilkan manusia terbentuk karena latar belakang sosial budaya atau kondisi sosial manusianya. Tradisi perubahan yang terjadi selama ini karena masyarakat tertarik pada kesinambungan dan keotentikan sehingga manusia cenderung mengabaikan perubahan dan ambiguitas. Sementara itu, adanya proses kesinambungan dan perubahan adalah untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan baru dan kepentingan lama. Pada
15
hakikatnya, kebudayaan merupakan reaksi umum terhadap perubahan kondisi kehidupan manusia dalam suatu proses pembaharuan terus menerus terhadap tradisi yang memungkinkan kondisi kehidupan manusia menjadi lebih baik (Papageorgiu, 1971 dalam Nuraini, 2004). Permukiman merupakan suatu kawasan yang berfungsi sebagai tempat tinggal, tempat melakukan kegiatan yang menopang kehidupan penghuninya dan merupakan wadah hidup bersama dalam menjalani suatu proses bermukim. Dalam menjalani proses tersebut, tentunya terjadi hubungan antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan alam sekitar dan demikian juga hubungan antara manusia dengan sang pencipta-Nya. Karena itu, permukiman merupakan cermin dari pengaruh aspek sosial budaya masyarakatnya, faktor sejarah kepenghunian, konsep lokasi, etika dan religius pemukimnya (Nuryanti dalam Mulyati, 1995). Permukiman selain merupakan kebutuhan dasar manusia juga mempunyai fungsi yang strategis dalam perannya sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya dan peningkatan kualitas generasi yang akan datang serta mengaktualisasikan jati diri. Perwujudan kesejahteraan rakyat dapat ditandai dengan meningkatnya kualitas kehidupan yang layak dan bermartabat melalui pemenuhan kebutuhan papannya. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Koentjaraningrat dalam Mulyati (1995), permukiman memiliki bentuk yang khas sesuai dengan kekuatan non fisik yang tumbuh dalam masyarakatnya, diantaranya berupa sistem sosial budaya, pemerintahan, tingkat pendidikan serta teknologi yang akan memberikan kontribusi fisik pada lingkungannya.
16
2.4 Permukiman Etnis Minangkabau di Tempat Asal Menyangkut
rumah
sebagai
tempat
bernaung
bagi
masyarakat
Minangkabau, pengaruh budaya dan adat istiadat sebagai perwujudannya memberikan kontribusi terhadap pola pembagian dan pembentukan ruang, baik ruang dalam maupun ruang luar. Rumah gadang adalah rumah tradisional yang merupakan hasil kebudayaan dari suku Minangkabau. Keberadaan rumah adat dalam hal ini rumah gadang adalah perkembangan lebih lanjut dari rumah biasa menjadi rumah khas seperti rumah raja, rumah ibadat dan sebagainya. Perkembangan langsung itu sebagai akibat dari pada kepandaian (keahlian) membuat rumah biasa ke rumah khas (Djauhari Suminta,1975 dalam Asri, 2004). Rumah Gadang bukan hanya merupakan suatu bangunan besar, panjang dan tinggi menjulang, tetapi adalah sebuah bangunan rumah adat yang bagian luar dan dalamnya mengandung arti dan makna tersendiri yang secara keseluruhan merupakan cerminan dari sistem kekerabatan matrilineal yang dianut oleh masyarakat Minangkabau itu sendiri. Pada ruang luar rumah gadang dalam hal ini halaman, ada satu elemen pengikat yakni rangkiang dan pandam kuburan. Rangkiang berfungsi sebagai menyimpan hasil panen padi. Adanya rangkiang ini memberikan identitas bagi pemilik rumah gadang. Ada beraneka ragam bentuk dan ukuran rangkiang. Masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda, seperti rangkiang untuk menyimpan padi yang dipergunakan sehari-hari, rangkiang guna menyimpan padi untuk perhelatan dan rangkiang yang berguna menyimpan padi untuk dijual.
17
Sementara pandam kuburan di ruang luar rumah gadang merupakan pernyataan klaim atas tanah yang mereka miliki. Selain rangkiang dan pandam kuburan, pada bagian luar rumah gadang ada juga yang disebut ruang komunal yakni ruang yang keberadaannya diantara jarak rumah yang saling berhadapan atau halaman depan. Dari pengelompokan rumah gadang yang saling berhadapan, jarak antara bangunanlah yang menciptakan ruang komunal. Bila dilihat dari fungsinya ruang komunal berfungsi sebagai ruang berinteraksi sosial dari masing-masing penghuni rumah gadang tersebut. Ruang ini juga dimanfaatkan sebagai ruang tempat bermain anak, menjemur padi, bahkan berjualan makanan kecil. Ruang ini juga menjadi sarana penghubung dari suatu tempat ke tempat lain dan juga menjadi ruang peralihan dari ruang publik yaitu jalan menjadi ruang semi publik yakni halaman. Disamping itu ruang komunal ini juga menjadi penyerap air hujan karena ditanam beraneka jenis tanaman. Ruang komunal selalu digunakan sebagai aktivitas secara bersama-sama pada saat-saat tertentu sehingga terciptanya suatu wadah komunikasi antara masyarakat yang ada disana. Jadi dapat dikatakan ruang komunal merupakan ruang yang bersangkutan dengan wilayah tertentu yang ditandai oleh pemilikan dan pemakaian secara bersama-sama (Mutia, http://www.fab.utm.my/download/confrenceseminar/ ICCI/ 12006S5PP23.pdf). Dengan demikian bangunan sebuah rumah (tempat tinggal) merupakan sebuah fenomena budaya yang bentuk dan organisasi ruangnya sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya dari etnis tertentu sebagai pemiliknya. Di masyarakat
18
pola ruang publik adalah ekspresi dari nilai-nilai budaya. Sementara ruang publik memegang peranan penting sebagai bentuk dari sifat-sifat nilai budaya. Dinamika ruang publik akan menggambarkan perubahan nilai-nilai budaya di masyarakat (Rapoport, 1969 dalam Nuraini, 2004)
2.5
Tipologi Ruang Terbuka/Luar Menurut klassifikasi Rob Krier (1979) dalam Adhi (2002), bahwa ruang
terbuka/luar adalah semua tipe ruang yang berada diantara bangunan dan termasuk halaman. Ruang-ruang ini seperti geometri diikat oleh bermacammacam ketinggian dan fasade bangunan. Ruang luar bersifat lebih terbuka tidak terhalang untuk pergerakan di udara terbuka dengan berbagai sifat ruangan, dari publik, semi-publik hingga privat. Lain halnya pendapat Slamet Wirasonjaya (1998) dalam Adhi (2002) yang mengatakan bahwa ruang luar/terbuka kota tradisional Indonesia tidak dapat didefenisikan jenisnya secara jelas. Sementara dalam satu kajian ruang terbuka Zahnd (1999) menerangkan bahwa: 1. Secara prinsip, ruang kota yang terbuka dibutuhkan serta digunakan dalam setiap kota di dunia ini, walaupun pendekatan terhadapnya dapat berbeda. 2. Kebanyakan konsep ruang terbuka di Asia (tidak seluruhnya) dilihat sebagai pendekatan pasif (ruang sebagai tujuan pembentukan massa). 3. Kebanyakan konsep ruang terbuka di Asia (tidak seluruhnya) dilihat sebagai pendekatan pasif (ruang sebagai tujuan pembentukan massa). 4. Dalam sikap pasif, kualitasnya dilihat dari segi sosial yang disusun secara organis.
19
Dari fungsinya, ruang terbuka/luar dapat tergolong menjadi: 1. Ruang terbuka/luar tingkat lingkungan yakni ruang luar/terbuka dengan skala pelayanan lingkungan. 2. Ruang terbuka/luar tingkat wilayah yakni ruang luar/terbuka dengan skala pelayanan blok (wilayah). 3. Ruang terbuka/luar tingkat kota yakni ruang luar/terbuka yang melayani kegiatan skala kota. Untuk kampung kota ruang terbuka lebih berfungsi pada tingkat skala lingkungan atau lokal. Tipologi bangunan hunian pada kampung kota juga sempit, memanjang dan ada yang bertingkat, serta kadang-kadang bagian depan dari bangunan dipergunakan untuk tempat berdagang atau tempat kerja. Para penghuni kampung kota lebih senang diluar rumah karena kekurangan ruang gerak, juga kebutuhan sinar matahari, serta berinteraksi dengan penghuni lainnya. Ruang terbuka yang membentuk suatu perkampungan yang terjadi secara spontan disepanjang jalan, maka ruang disekitarnya menyebar tak terbatas dapat dikatakan sebagai ruang negatif. Meskipun tidak direncanakan, ruang semacam itu dapat berkembang terus menerus tak terbatas sesuai dengan meningkatnya kebutuhan dan keinginan manusia. Sedangkan kelompok-kelompok bangunan yang dikelilingi oleh ruang-ruang seolah-olah menjadi background. Ruang luar pada kampung kota selalu difungsikan bermacam-macam kegiatan antara lain ruang sosial ataupun untuk kegiatan sehari-hari seperti menjemur pakaian dan juga sebagai tempat anak-anak bermain.
20
Konsep ruang dalam lingkungan permukiman, berkaitan erat dengan manusia dengan seperangkat pikiran dan perilakunya, yang bertindak sebagai subjek yang memanfaatkan ruang-ruang yang ada dalam hubungan kepentingan kehidupannya. Dalam hal ini, gagasan pola aktivitas suatu masyarakat yang merupakan inti dari sebuah kebudayaan, menjadi faktor utama dalam proses terjadinya bentuk rumah dan lingkungan suatu hunian (Rapoport, 1969 dalam Burhan dkk, 2008). Dari bentuknya ruang terbuka/luar dapat dibedakan dalam 2 (dua) bentuk dasar yaitu bidang dan koridor. Karakteristik geometri dan bentukan spasialnya adalah sama, keduanya dibedakan dari dimensi dan dinding-dinding yang mengikatnya, serta pola fungsinya dan sirkulasi yang menjadi identitas. Terbentuknya ruang luar pada permukiman yang tidak terencana adalah dengan tidak melalui bentukan atau rancangan terlebih dahulu, melainkan terbentuk karena adanya blok-blok bangunan. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Harmen van de Wal dalam Zahnd (1999), bahwa kecenderungan ruang luar di Indonesia hanya dilihat sebagai sesuatu yang kosong dan tidak dibentuk. Kebanyakan ruang luar yang ada sebagai akibat pembentukan massa. Ruang luar adalah sebuah wadah untuk menampung aktivitas tertentu dari warga atau masyarakat suatu lingkungan. Dia juga merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari aktivitas kehidupan manusia baik secara emosional maupun secara psikologis.
21
Dalam tekstur figure/ground, Zahnd (1999), mengutarakan bahwa ada 4 (empat) elemen ruang, yang keseluruhannya bersifat abstrak atau kosong (spasial) yaitu: 1. Elemen sistem tertutup yang linier, ruang yang bersifat linier, tetapi tertutup
Gambar 2.1: Ruang sistem tertutup yang linier Sumber: Zahnd (1999), Perancangan Kota Secara Terpadu
2. Elemen tertutup yang memusat, jumlahnya sedikit karena memiliki pola ruang yang berkesan terfokus dan tertutup. Ruang ini di kota dapat diamati pada skala besar misalnya pusat kota maupun beberapa kawasan (kampung).
Gambar 2.2: Ruang sistem tertutup yang sentral Sumber: Zahnd (1999), Perancangan Kota Secara Terpadu 3.Sistem terbuka yang sentral, dimana ruang bersifat terbuka namun masih tampak
terfokus misalnya taman kota.
22
Gambar 2.3: Ruang sistem terbuka yang sentral Sumber: Zahnd (1999), Perancangan Kota Secara Terpadu
3. Elemen sistem terbuka yang linier merupakan pola ruang yang berkesan terbuka dan linier misalnya kawasan sungai dan lain-lain.
Gambar 2.4 Ruang sistem terbuka yang linier Sumber: Zahnd (1999), Perancangan Kota Secara Terpadu
Selanjutnya, elemen-elemen tersebut pada dasarnya didefinisikan sebagai statis dan dinamis, keduanya mempunyai perbedaan spasial terletak pada arah dan gerakan di dalam lingkungan. Adapun yang bersifat statis ada yang berbentuk bidang dan linier/jalan/gang yang dalam pergerakannya diperuntukkan bagi warga setempat. Sedangkan yang bersifat dinamis adalah bidang linier/jalan/gang didalam pergerakannya berkaitan antara bentuk dan fungsi (misalnya tempat lalu lintas orang, dimana siapa saja boleh mengadakan pergerakan di tempat tersebut). 2.5.1 Tipologi Ruang Statis Karakter ruang terbuka yang bersifat statis di dalam kota hanya dianggap sebagai tempat estetik perkotaan (secara khusus di Eropah). Karena itu, karakter tempat tersebut hanya digolongkan kepada geometrinya saja tanpa memperhatikan
23
fungsinya di dalam kota. Rob Krier berusaha menggolongkan semua tempat tersebut sesuai bentuknya dengan pemakaian elemen geometri dasar saja, yaitu lingkaran, segi tiga, bujur sangkar serta kombinasinya (Zahnd, 1999). 2.5.2 Tipologi Ruang Dinamis Ruang dinamis mempunyai kaitan tersendiri antara bentuk dan fungsinya, sehingga Spiro Kostof mengatakan bahwa ruang dinamis yang disebut jalan sekaligus adalah selemen dan institusi perkotaan (Zahnd, 1999). Bentuknya bisa juga sangat berbeda sesuai lokasi dan fungsi di dalam kota, sebab itu sering diberikan padanya nama yang sesuai keadaannya. 2.6 Pola Ruang Luar Pola ruang luar di lingkungan kota adalah sebagian dari pola ruang luar kota itu sendiri. Pada dasarnya dalam sejarah perkotaan terdapat dua aliran yang berbeda dan dua tradisi yang berbeda pula, yaitu tradisi yang berfokus pada geometri atau yang bersifat teknis dan teoritis dimana kota-kota yang dibangun secara demikian disebut kota terencana. Sedangkan tradisi yang berfokus pada organik atau yang bersifat tradisional dan praktis (populer), kota-kota yang dibangun secara demikian disebut kota tumbuh (Spiro Kostof, 1991 dalam Zahnd, 1999).