BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Penelitian Terdahulu Penelitian pada dasarnya dilakukan dalam rangka melihat fenomena atau masalah yang terjadi dan mencari solusi dalam permasalahan tersebut. Salah satu manfaat dari penelitian adalah mampu menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya yang terkait. Oleh karena itu, penelitian ini juga tidak lepas dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang mana berkaitan dengan pembahasan pada penelitian ini. Penelitian tersebut antara lain: Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No 1
Peneliti/ Tahun/ Judul Ballaert, Bart Van. 2015. The Politics of Policy Formulation within the European Commission (Politik dalam Formulasi Kebijakan di Komisi Eropa)
Ulasan Penelitian/ studi ini berusaha mematahkan teori atau anggapan yang menyatakan bahwa perumusan kebijakan publik yang dilakukan di Eropa oleh sebuah komisi eropa bersifat tertutup dan cenderung menggunakan preferensinya sendiri (komisi eropa), sehingga dianggap kurang bisa melihat ke luar. Dari hasil review beberapa buku yang berkaitan dengan penelitian tersebut maka diperoleh beberapa hasil, antara lain: Telah terjadi perubahan organisasi dalam Komisi Eropa. Perubahan ini dipengaruhi oleh berbagai 18
Relevansi dan Perbedaan Penelitian ini relevan dengan penelitian yang saya tulis karena berfokus pada unsur politik dalam perumusan kebijakan publik. Perbedaan dengan penelitian yang saya tulis adalah penelitian ini merupakan penelitian yang berusaha mematahkan teori menggunakan teori lainnya.
19
2
Salamat, Mohamad Aizi, dkk. 2012. A Framework for Formulating Malaysia’s Public Policy through Citizen eParticipation
3
Lestari, Nanik. 2015. Ananlisis Proses Formulasi Kebijakan Publik (Kasus Penolakan Rancangan Peraturan
latar belakang yang dimiliki oleh pejabat publik di dalamnya. Tidak cukup jika hanya melibatkan intra organisasi. Pada situasi tertentu dibutuhkan hubungan keluar dengan stakeholder yang terkait Unsur demokratis dibutuhkan dalam sebuah perumusan kebijakan publik Penelitian ini berangkat dari keadaan di malaysia yang mana banyak para ahli kebijakan publik namun masih sangat kurang dalam hal partisipasi masyarakat. Penelitian ini juga berusaha melihat efektifitas penggunaan teknologi dalam rangkat meningkatkan partisipasi masyarakat melalui program Citizen E-Participation. Penelitian ini juga memfokuskan pada bagaimana menciptakan formulasi kebijakan publik yang baik melalui partisipasi aktif masyarakat. Salah satu program yang dibuat oleh pemerintah malaysia adalah Citizen EParticipation. Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan terkait faktor-faktor untuk mengembangkan kerangka kerja program e-participation, antara lain: partisipasi, komunikasi, dampak kebijakan bagi masyarakat dan kualitas kebijakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses perumusan kebijakan publik Raperda Kota Surakarta tentang Minuman Keras dengan memaparkan alasan dari para aktor pembuat kebijakan. Sampai pada akhirnya
Relevansi penelitian ini terhadap penelitian yang saya buat adalah kedua penelitian samasama mengkaji tentang formulasi kebijakan publik. Sedangkan yang menjadi perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian yang saya tulis adalah penelitian ini lebih berfokus pada peningkatan partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan publik.
Penelitian tersebut dapat dijadikan dasar awal untuk melakukan penelitian lanjutan. Dalam penelitian yang akan saya lakukan berfokus pada konflik
20
Daerah Kota Surakarta tentang Minuman Beralkohol)
4
Raperda ini ditolak menjadi Perda setelah melalui pembahasan yang sangat panjang atau lebih dari 3 tahun. Penelitian ini berisi tentang bagaimana proses perumusan kebijakan Raperda Miras dari perumusan masalah hingga pengambilan keputusan (ditolak). Selain itu juga dijelaskan mengenai aktoraktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan ini serta berbagai alasannya melakukan penolakan. Dari penelitian tersebut diperoleh 3 hasil, yaitu (1) Formulasi kebijakan yang dilakukan belum melibatkan semua pihak, sehingga menimbulkan penolakan, (2) Alasan penolakan Raperda ini adalah karena substansi dari Raperda yang menimbulkan dinamika serta dasar hukum yang masih lemah, (3) Aktor yang menolak adalah DPRD selaku pihak legislator. Prasetyo, Budi. Penelitian ini mengkaji tentang 2012. Kajian formulasi kebijakan yang Teoretik Karakter partisipasif. Pada penelitian ini Kebijakan Publik digambarkan bagaimana suatu kebijakan publik dalam rangka mengingkatkan partisipasi dalam rangka meningkatkan kualitas kebijakan publik. Penelitian ini dilakukan dalam rangka mengembangkan teori tentang formulasi kebijakan melalui studi literatur. Penlitian ini berisi tentang beberapa pembahasan terkait formulasi kebijakan publik yang berkarakter. Adapaun yang dibahas dalam penelitian ini, antara lain: Dasar dan orientasi kebijakan Penataan Kelembagaan Dampak kebijakan
antar fraksi di DPRD Kota Surakarta dalam kasus penolakan Raperda Miras. Pada penelitian yang dilakukan Nanik disebutkan mengenai aktor-aktor perumus kebijakan yang mana termasuk di dalamnya DPRD Kota Surakarta selaku pihak legislator yang juga menolak Raperda Kota Surakarta tentang Minuman Keras.
Relevansi penelitian ini dengan penelitian yang akan saya tulis adalah penelitian sama-sama mengkaji tentang proses formulasi kebijakan publik. Selain itu adanya interaksi dari para aktor dalam penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk mengetahui peran aktor dalam perumusan kebijakan publik secara lebih mendalam. Sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang saya tulis adalah, penelitian
21
5
Lovinasia, Tiara Felida dan Ridwan, Muhammad. 2010. Formulasi Pembuatan Peraturan Daerah No. 14 Tahun 2011 Tentang Pengawasan Dan Pengendalian Minuman Beralkohol Di Kabupaten Indragiri Hilir
Responsibilitas kebijakan Orientasi aktor dalam perumusan kebijakan Perspektif interaksi dan kepentingan dalam perumusan kebijakan Dari penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa kebijakan berkarakter merupakan salah satu upaya menciptakan perubahan di dalam masyarakat ke arah yang lebih baik. Dan kebijakan berkarakter menempatkan kepentingan masyarakat di atas segalanya Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses perumusan (formulasi) Peraturan Daerah No. 14 Tahun 2011 Tentang Pengawasan Dan Pengendalian Minuman Beralkohol Di Kabupaten Indragiri Hilir. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Adapun yang menjadi fokus penelitian ini adalah tahapan formulasi kebijakan ini dari mulai perumusan masalah sampai pada ditetapkan menjadi sebuah kebijakan yang legal dan tertuang dalam bentuk Perda.
ini berfokus pada pengembangan teori, sedangkan penelitian yang saya tulis lebih berfokus pada praktik perumusan kebijakan publik.
Penelitian ini relevan dengan penelitian yang saya tulis, karena memiliki kajian yang sama yakni terkait perumusan kebijakan tentang pengawasan dan pengendalian Miras di suatu daerah. Perbedaan dengan penelitian yang saya tulis adalah penelitian ini hanya menekankan pada tahapan-tahapan formulasi kebijakan karena memang pada akhirnya kebijakan ini tidak menuai berbagai kontroversi baik dari luar maupun dari dalam pemerintahan. Sedangkan penelitian yang saya tulis lebih berfokus pada konflik yang terjadi dalam perumusan kebijakan publik, karena terjadi hal yang unik yang mana pada akhirnya Raperda Kota Surakarta tentang
22
6
Amiruddin, Suwaib. 2012. Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Menertibkan Peredaran Minuman Keras Di Kota Cilegon Provinsi Banten
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana langkah Pemerintah Daerah Kota Cilegon dalam menertibkan peredaran minuman keras. Selain itu, penelitian ini juga berfokus pada hambata yang dialami petugas dalam rangka melakukan penertiban minuman keras di Kota Cilegon, meskipun telah ada produk hukum yang mengatur tentang penertiban Minuman Keras di Kota Cilegon, yakni Peraturan Daerah No 5 Tahun 2001 Tentang Pelanggaran Kesusilaan, Minuman Keras, Perjudian, Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika Dan Zat Adiktif Lainnya. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi, maupun studi pustaka dari berbagai literatur, buku dan sumbersumber yang terkait.
7
Santoso, Purwo dan Tri Susdinarjanti. 2004. Konflik dalam Perumusan Kebijakan Publik: Potret Persilangan Kepentingan dalam Menata Peradaban
Penelitian ini berupa studi yang dilakukan untuk memotret situasi yang berkembang dalam proses perumusan kebijakan public di Indonesia. Adanya kepentingan yang beragam dari berbagai elemen dalam masyarakat serta kepentingan Negara dipikirkan menjadi basis bagi munculnya konflik dalam perumusan kebijakan public. Dalam kerangka pemetaan konflik, studi ini mengacu pada
Miras ditolak menjadi Perda. Relevansi penelitian ini dengan penelitian yang saya buat adalah samasama membahas tentang kebijakan yang berkaitan dengan pengendalian dan pengawasan minuman keras di suatu daerah. Sehingga menjadi dasar bahwa minuman keras merupakan suatu permasalahan yang harus ditangani oleh pemerintah. Perbedaan dengan penelitian yang saya tulis adalah penelitian ini lebih berfokus pada implementasi kebijakan dengan melihat berbagai hambatan-hambatan dalam pelaksanaan peraturan atau kebijakan ini. Sedangkan untuk penelitian yang saya tulis lebih berfokus pada proses formulasi (perumusan). Relevansi penelitian ini terhadap penelitian yang saya tulis adalah fokus pembahasan pada konflik yang terjadi dalam perumusan kebijakan publik. Perbedaan dengan penelitian yang saya tulis, penelitian ini lebih menekankan pada konflik dalam perumusan kebijakan
23
model pemetaan konflik Paul Wehr, yaitu mengurai konflik dengan menjelaskan bekerjanya elemen – elemen konflik. Studi ini juga membuktikan bahwa dalam perumusan kebijakan publik juga memunculkan konflik antar aktor administratif, seperti eksekutif dan legislatif baik itu di pusat maupun di daerah yang mana telah ditunjukkan dengan berbagai fakta-fakta dan kasus yang telah terjadi di Indoesia. Solusi yang ditawarkan untuk mengatasi masalah tersebut adalah melalui otoritas negara dan partisipasi masyarakat.
publik secara luas baik secara obyek maupun subyeknya. Sedangkan penelitian yang saya tulis lebih berfokus pada konflik dalam perumusan kebijakan secara lebih rinci dan cakupan yang sempit.
Penelitian yang saya lakukan ini berbeda dengan penelitian-penelitian di atas. Di dalam tabel telah dijelaskan terkait perbedaan-perbedaan antara penelitian saya dengan penelitian-penelitian terdahulu. Penelitian terkait proses perumusan (formulasi) kebijakan masih sangat sedikit. Sebagaimana Subarsono (2005: 23) mengatakan bahwa salah satu analisis kebijakan yang kurang mendapat perhatian selama ini tetapi bersifat krusial adalah perumusan kebijakan atau sering disebut policy formulation. Penelitian ini berbeda dengan penlitian-penelitian terdahulu karena pada dasarnya penelitian ini berfokus pada konflik antar fraksi di DPRD Kota Surakarta dalam kasus penolakan Raperda Kota Surakarta tentang Miras. Sehingga penelitian yang dilakukan menjadi lebih spesifik dan mendalam.
24
2.2
Kebijakan Publik
2.2.1 Definisi Kebijakan Publik Kebijakan publik terdiri dari dua kata yakni kebijakan dan publik. Menurut Perserikatan Bangsa-bangsa (dalam Wahab, 2005: 2) “Kebijakan/ kebijaksanaan diartikan sebagai pedoman untuk bertindak. Pedoman itu boleh jadi amat sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci, bersifat kualitatif atau kuantitatif, publik atau privat”. “Kebijaksanaan dalam maknanya seperti ini mungkin berupa suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu rencana” (United Nations dalam Wahab, 2005: 2). Sedangkan kata publik sendiri mengandung arti dan makna yang luas, yakni segala sesuatu yang bersifat umum atau negara. Definisi kebijakan publik yang paling terkenal dan sederhana dikemukakan oleh Dye (dalam Indiahono, 2009: 17) kebijakan publik adalah “whatever governments choose to do or not to do”. Kebijakan publik adalah apapun kegiatan yang dilakukan atau tidak dilakukan pemerintah baik yang eksplisit maupun implisit. Definisi tersebut mengandung makna yang sangat luas karena segala sesuatu yang menjadi pilihan pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan dapat dikatakan sebagai suatu kebijakan publik. Pendapat Dye juga hanya menekankan pada tindakan pemerintah saja. Hal tersebut bertentangan dengan istilah kebijakan yang dikemukakan oleh Anderson (dalam Indiahono, 2009: 17) bahwa “kebijakan” atau“policy” digunakan untuk menunjuk perilaku dari sejumlah aktor (misalnya seorang
25
pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Sehingga menurut konsep kebijakan yang dikemukakan oleh Anderson tersebut mengandung makna bahwa tidak hanya tindakan pemerintah saja yang dapat dikategorikan sebagai suatu kebijakan publik. Karena pada dasarnya ada aktor-aktor lain di luar pemerintah yang berada dalam suatu kebijakan publik. Sebagaimana pendapat Robert Eyestone (dalam Winarno, 2012: 20) mengatakan bahwa “secara luas” kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai “hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya”. Menurut Dawey (dalam Parsons, 2014: xi) mengatakan bahwa kebijakan publik menitikberatkan pada publik dan problem-problemnya. Sehingga kebijakan publik sendiri merupakan suatu konsep yang mengacu pada kepentingan umum yang mana di dalamnya berfokus pada permasalahan yang terjadi. Dari definisi tersebut menunjukkan bahwa adanya berbagai permasalahan publik yang membutuhkan solusi tertentu. Kebijakan publik sendiri dapat dijadikan sebagai salah satu alat untuk memecahkan masalah. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Anderson (dalam Winarno, 2012: 21) bahwa kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi masalah atau suatu persoalan. Senada dengan Anderson, Carl Fiedrich (dalam Winarno, 2012: 21) memandang bahwa:
26
“kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan peluang-peluang terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menngunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu. “ Menurut Anderson (dalam Winarno, 2012: 23-24) konsep kebijakan publik ini kemudian mempunyai beberapa implikasi, yakni pertama, titik perhatian kita dalam membicarakan kebijakan publik berorientasi pada maksud atau tujuan dan bukan perilaku secara serampangan. Kebijakan publik secara luas dalam sistem politik modern bukan sesuatu yang terjadi begitu saja melainkan direncanakan oleh aktor-aktor yang terlibat di dalam sistem politik. Kedua, kebijakan merupakan arah atau pola tidakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusankeputusan yang tersendiri. Suatu kebijakan mencakup tidak hanya keputusan untuk menetapkan undang-undang mengenai suatu hal, tetapi juga keputusan-keputusan beserta dengan pelaksanaannya. Ketiga, kebijakan adalah apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah dalam mengatur perdagangan, mengendalikan inflasi, atau mempromosikan perumahan rakyat dan bukan apa yang diinginkan oleh pemerintah. Keempat, kebijakan publik mungkin dalam bentuknya bersifat positif atau negatif. Secara positif, kebijakan mungkin mencakup bentuk tindakan pemerintah yang jelas untuk mempengaruhi suatu masalah tertentu. Secara negatif, kebijakan mungkin mencakup suatu keputusan oleh pejabat-pejabat pemerintah, tetapi tidak untuk mengambil tindakan dan tidak untuk melakukan sesuatu mengenai suatu persoalan yang memerlukan keterlibatan pemerintah.
27
Dari beberapa definisi di atas maka kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dipilih oleh pemerintah dan aktor-aktor lainnya yang terlibat untuk dilakukan atau tidak dilakukan dalam rangka memecahkan suatu persoalan publik. Kebijakan publik bukanlah suatu perkara yang mudah karena tidak menutup kemungkinan akan ditemui beberapa hambatan dalam penyusunannya. Selain itu kebijakan publik juga dijadikan sebagai alat pemerintah dalam rangka mencapai tujuan. Oleh karena itu kebijakan publik sendiri dapat menjadi pilihan bagi pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan keputusannya jika memang dirasakan tidak mampu mencapai tujuan. Dari definisi di atas maka Raperda Kota Surakarta tentang Minuman Keras merupakan salah satu bentuk konkrit dari sebuah kebijakan publik. Raperda Miras di Kota Surakarta merupakan salah satu bentuk kebijakan publik di tingkat daerah (lokal).
2.2.2 Proses Kebijakan Publik Carl Friedrich (dalam Winarno, 2012: 21) memandang bahwa: “kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertetu yang memberikan hambatan-hambatan dan peluang-peluang terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu. Adanya kata yang menunjukkan arah tidakan menjelaskan bahwa kebijakan publik merupakan suatu proses atau serangkaian kegiatan tertentu. Hal ini senada dengan Richard Rose (dalam Winarno, 2012: 20) menyarankan
28
bahwa kebijakan hendaknya dipahami sebagai “serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai suatu keputusan tersendiri”. Oleh karena itu sebuah kebijakan publik tidak hanya berfokus mengenai hasil-hasil atau keputusan saja, namun juga memperhatikan kegiatankegiatan atau proses yang dilakukan dari awal hingga tercapai suatu hasil atau keputusan tertentu. Sehingga dalam sebuah kebijakan publik dikenal dengan adanya berbagai tahapan-tahapan tertentu yang harus dilalui sebelum sesuatu dikatakan sebagai kebijakan publik. Penyusunan tahapan-tahapan dalam sebuah proses kebijakan publik pertama kali diperkenalkan oleh Laswell pada tahun 1965. Laswell (dalam Fischer, dkk 2015: 61) mengemukakan tujuh tahap dalam model proses kebijakan, yaitu kecerdasan, promosi, rumusan, seruan, penerapan, penghentian, dan penilaian. Tahapan-tahapan ini telah mendapat berbagai kritikan dikarenakan tahap penghentian yang mendahului tahap penilaian. Namun demikian, model ini telah berhasil dijadikan sebagai kerangka dasar bidang studi kebijakan dan merupakan titik awal dari berbagai tipologi proses kebijakan. Model yang dikemukakan Laswell telah mendorong para tokoh membuat variasi terkait model proses kebijakan. Dalam sebuah buku karya Fischer, dkk (2015: 62) menyatakan bahwa “versi yang dikembangkan oleh Brewer dan deLeon (1983), May dan Wildavsky (1978), Anderson (1975) dan Jenkins (1978) adalah diantara yang paling banyak digunakan. Saat ini, pembedaan antara penyusunan agenda, perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, pelaksanaan dan evaluasi (akhirnya mendorong penghentian) telah
29
menjadi cara umum untuk menggambarkan kronologi proses kebijakan”. Tahapan-tahapan dalam kebijakan publik merupakan proses yang sangat kompleks karena melibatkan berbagai variabel. Menurut Lindblom (dalam Winarno, 2012: 35) tujuan dari dibuatnya pembagian tahapan dalam proses kebijakan publik adalah untuk memudahkan kita di dalam mengkaji kebijakan publik. Meskipun telah muncul berbagai kekecewaan dan kritikan terkait model-model proses kebijakan publik, pendekatan tahapan (stagist) atau siklus tetap menjadi basis untuk analisis proses kebijakan dan analisis di dalam/ dan untuk proses kebijakan. Sehingga dalam menganalisa sebuah kebijakan publik tentu sangat penting bagi kita untuk terlebih dahulu mengkaji setiap tahapan dalam proses kebijakan publik. Menurut Yeremias T. Keban (2004) dalam bukunya “Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik” bahwa tahap-tahap kebijakan merupakan salah satu dari 4 prinsip kebijakan publik. Dunn (dalam Keban, 2004: 62) mengemukakan bahwa “dalam rangka memecahkan masalah ada beberapa tahap penting antara lain, penetapan agenda kebijakan (agenda setting), formulasi kebijakan (policy formulation), adopsi kebijakan (policy adoption), implementasi kebijakan (policy implementation) dan penilaian kebijakan (policy assesment)”. Tahapan kebijakan publik juga dikemukakan oleh Shafritz dan Russell dalam model “policymaking process” yang terdiri dari (1) agenda setting dimana isu-isu kebijakan didentifikasi, (2) keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan kebijakan, (3) implementasi, (4) evaluasi program dan
30
analisis dampak; dan (5) feedback, yaitu memutuskan untuk merevisi atau menghentikan. Proses ini menyerupai suatu siklus (Keban, 2004: 63). Beberapa ahli menggambarkan bahwa kebijakan publik merupakan sebuah siklus kehidupan yang terus berputar, sebagaimana gambar di bawah ini: Gambar 2.1 Siklus Hidup Kebijakan Problem Definisi Problem Evaluasi Identifikasi Respons/ Solusi Alternatif
Implementasi Evaluasi Opsi Seleksi Opsi Kebijakan
Sumber: Parsons (2014: 80) Dari gambar di atas sangat jelas bahwa proses kebijakan merupakan sebuah siklus yang terus berputar. Dimulai dari adanya suatu masalah yang kemudian masalah tersebut didefinisikan atau didentifikasi. Hasil dari identifikasi masalah tersebut adalah pengambilan tanggapan atau solusi alternatif yang kemudian dilakukan penilaian terhadap opsi-opsi atau pilihan yang telah dibuat. Setelah dilakukan pemilihan, opsi yang terpilih kemudian diimplementasikan atau dijalankan untuk kemudian dievaluasi atau dinilai.
31
Siklus seperti ini akan terus berputar dan berulang seiring dengan berjalannya waktu. Selain model siklus, para ahli juga mengembangkan model linear proses kebijakan publik. James E. Anderson, David W. Braddy, dan Charles Bullock (1978) (dalam Nugroho, 2014: 112-113) mengembangkan model “Policy Process as Linear Stages (Proses Kebijakan sebagai Tahapantahapan Linier) yang lebih maju”. Model ini dimulai dengan problem yang memunculkan perhatian serius terhadap pejabat publik. Tahap pertama ini adalah “tahap agenda kebijakan”. Tahap kedua adalah “tahap perumusan kebijakan”, suatu perkembangan berhubungan dan pelaksanaan tindakan yang dapat diterima ke arah masalah. Tahap ketiga adalah “adopsi kebijakan”, mengembangkan dukungan bagi kebijakan yang dapat dilegitimasi atau diautorisasi. Tahap keempat adalah “implementasi kebijakan”, aplikasi kebijakan oleh mekanisme administrasi pemerintah untuk menghadapi masalah. Tahap terakhir adalah “evaluasi kebijakan” untuk menentukan apakah kebijakan efektif atau tidak; dan mengapa efektif dan mengapa tidak. Pendapat Anderson. dkk tersebut kemudian diperkuat dan dikembangkan oleh Thomas R. Dye dengan menambah satu tahapan yakni tahap identifikasi masalah kebijakan sebelum tahap agenda kebijakan.
32
Gambar 2.2 Model proses kebijakan Thomas R. Dye
Identifikasi masalah kebijakan
Penetapan Agenda
Perumusan kebijakan
Legitimasi kebijakan
Impleme ntasi kebijakan
evaluasi kebijakan
Sumber: Nugroho (2014: 113) Dari berbagai model yang telah dikemukakan para ahli sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa setidaknya ada tiga proses inti dalam sebuah kebijakan yang saling berkaitan satu sama lain. Ketiga proses tersebut antara lain, proses formulasi kebijakan, proses implementasi kebijakan dan proses tampilan kebijakan. Selain itu, proses-proses tersebut juga akan berpengaruh dan dipengaruhi terhadap lingkungan. Hal ini sebagaimana model proses kebijakan sebagai sebuah pendekatan rantai nilai. Gambar 2.3 Proses Kebijakan: Pendekatan Rantai Nilai FORMULASI KEBIJAKAN
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
LINGKUNGAN Sumber: Nugroho (2014: 120)
TAMPILAN KEBIJAKAN
33
2.3
Formulasi Kebijakan Publik
2.3.1 Pentingnya Formulasi Kebijakan Publik Salah satu tahapan dalam proses kebijakan publik adalah formulasi kebijakan atau lebih dikenal dengan perumusan kebijakan. Praktik yang buruk administrasi publik dalam membuat rumusan kebijakan pernah dikemukakan oleh Guy B. Peter yang mana merupakan salah seorang pakar administrasi publik. Peter (dalam Nugroho, 2014: 140) menyatakan bahwa berbagai rumusan kebijakan dilakukan dengan lemah, analogi dan intuisi. Pernyataan Peter tersebut kemudian diperkuat dengan pengalaman Riant Nugroho yang ditulis dalam bukunya “Kebijakan Publik di Negara-negara Berkembang” yang menyatakan bahwa, “Berdasarkan pada pengalaman saya dalam pembelajaran dan prktik kebijakan publik selama dua belas tahun terakhir di negara asal saya dan bebeapa negara di Asia Tenggara; saya mengetahui bahwa kritik Peter sebenarnya benar dan terjadi; tetapi belum pernah terealisasi sampai praktik mengarahkan bangsa ke krisis yang parah”. Secara lebih lanjut dia juga mengemukakan bahwa perumusan kebijakan adalah fase utama proses kebijakan publik. Membuat
atau
merumuskan
suatu
kebijaksanaan,
apalagi
kebijaksanaan negara, bukanlah suatu proses yang sederhana dan mudah. Hal ini disebabkan karena terdapat banyak faktor atau kekuatan-kekuatan yang berpengaruh terhadap proses pembuatan kebijaksanaan negara tersebut. Suatu kebijaksanaan negara dibuat bukan untuk kepentingan politis (misalnya guna mempertahankan status quo pembuat keputusan) tetapi
34
justru untuk meningkatkan kesejahteraan hidup anggota masyarakat secara keseluruhan (Islamy, 2009: 77). Hal tersebut sebagaimana dituturkan oleh Charles Lindblom (dalam Wahab, 2005: 16), bahwa pembuatan kebijaksanaan negara (Public Policymaking) itu pada hakikatnya merupakan, “an extremely complex, analytical and political process to which there is no beginning or end, end the boundaries of which are most uncertain. somehow a...complex set of forces that we call policy-making all taken together, produces effects called policies” (merupakan proses politik yang amat kompleks dan analitis di mana tidak mengenal saat dimulai dan diakhirinya, dan batas-batas dari proses itu sesungguhnya yang paling tidak pasti. Serangkaian kekuatankekuatan yang agak kompleks yang kita sebut sebagai pembuatan kebijaksanaan negara itulah yang kemudian membuahkan hasil yang disebut kebijaksanaan).
Dari dua paragraf paparan sebelumnya terkait formulasi (perumusan) kebijakan publik dapat disimpulkan bahwa perumusan kebijakan publik merupakan salah satu tahapan dalam proses kebijakan publik yang tidak sederhana, rumit dan kompleks. Sehingga dibutuhkan suatu perhatian khusus dalam melakukan kajian terkait formulasi (perumusan) kebijakan publik. Selain merupakan proses yang rumit dan kompleks, formulasi kebijakan publik juga merupakan salah satu tahapan awal dalam sebuah proses kebijakan publik. Sebagaimana tahapan kebijakan publik yang dikemukakan Ripley yang mana menempatkan formulasi kebijakan sebagai awal dari proses kebijakan publik.
35
Gambar 2.4 Tahapan Kebijakan Publik- Ripley
Agenda Setting: Persepsi Masalah Publik Pendefinisian Masalah Mobilisasi dukungan untuk masuknya isu/ masalah publik menjadi agenda pemerintah
Formulasi dan Legitimasi Tujuan dan Program Informasi dan Analisis Pembangunan alternatifalternatif Advokasi dan pembangunan koalisi kompromi, negosiasi dan keputusan
Agenda Pemerintah
Proses Formulasi Kebijakan
Statement Kebijakan
Implementasi Kebijakan
Tindakan Kebijakan
Evaluasi terhadap implementasi kinerja dan dampak kebijakan
Kinerja dan Dampak Kebijakan
Keputusan tentang masa depan Kebijakan
Sumber: Indiahono, 2009
36
Menurut Anderson (dalam Winarno, 2014: 96) perumusan kebijakan menyangkut upaya menjawab pertanyaan bagaimana berbagai alternatif disepakati untuk masalah-masalah yang dikembangkan dan siapa yang berpartisipasi. Sehingga perlu adanya perumusan kebijakan publik yang baik oleh para perumus kebijakan. Formulasi kebijakan publik yang baik adalah uraian atas kematangan pembaca realitas sekaligus alternatif solusi yang fisibel terhadap realitas tersebut (Putra, 2003: 50). Pentingnya formulasi kebijakan publik juga dikemukakan oleh Anderson (dalam Purwanto, 2005) “bahwa perumusan kebijakan menyangkut upaya menjawab pertanyaan bagaimana berbagai alternatif disepakati untuk masalahmasalah yang dikembangkan dan siapa yang berpartisipasi. Ini merupakan proses yang secara spesifik ditujukan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan khusus. Sedangkan pembentukan kebijakan lebih merujuk pada aspek-aspek seperti bagaimana masalah-masalah publik menjadi perhatian para pembuat kebijakan, bagaimana proposal kebijakan dirumuskan untuk masalah-masalah khusus, dan bagaimana proposal tersebut dipilih di antara berbagai alternatif yang saling berkompetisi. Pembuatan kebijakan merupakan keseluruhan tahap dalam kebijakan publik yang berupa rangkaian keputusan”. Pada tahap formulasi kebijakan, para analis mengidentifikasikan kemungkinan kebijakan yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah. Untuk itu diperlukan suatu prosedur yang disebut “forecasting” dimana konsekwensi
dari
masing-masing
kemungkinan
kebijakan
dapat
diungkapkan. Adopsi kebijakan merupakan tahap berikutnya, dimana ditentukan pilihan kebijakan melalui dukungan para administrator dan legislatif. Tahap ini ditentukan setelah melalui suatu proses rekomendasi (Keban, 2004: 62). Senada dengan pendapat tersebut Amitai Etzioni (1968) (dalam Wahab, 2005: 17), menjelaskan bahwa
37
“melalui proses pembuatan keputusanlah komitmen-komitmen masyarakat yang acapkali masih kabur dan abstrak, sebagaimana nampak dalam nilai-nilai dan tujuan-tujuan masyarakat, diterjemahkan oleh para aktor (politik) ke dalam komitmen-komitmen yang lebih spesifik menjadi tindakan-tindakan dan tujuan-tujuan yang konkrit”. Perumusan kebijakan di sebuah negara dipengaruhi oleh sistem kebijaksanaan negara tersebut. Menurut Prof. Bintoro Tjokroamidjojo, MA,. dalam papernya menjelaskan bahwa sistem kebijakasanaan nasional kita terdiri dari (1) infrastruktur politik yang terdiri dari partai politik (PPP dan PDI), Golongan Karya (Golkar), kelompok-kelompok kepentingan (interest groups), media massa dan warganegara; dan (2) suprastruktur politik; sesuai dengan UUD’ 45 terdiri dari MPR, Presiden, DPR, MA, DPA dan BAPEKA. Usulan-usulan kebijaksanaan negara bisa saja datang dari infrastruktur politik maupun supra struktur politik atau kedua-duanya. Dan kedua komponen ini secara bersama-sama merumuskan kebijaksanaan negara (Islamy, 2009: 97) Dari uraian di atas membuktikan bahwa begitu pentingnya sebuah formulasi kebijakan publik dalam tahapan proses kebijakan publik. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa formulasi kebijakan publik merupakan tahapan paling awal dalam sebuah kebijakan publik. Sehingga menjadikan formulasi publik sebagai pondasi awal suatu kebijakan publik. Selain itu proses formulasi kebijakan sendiri bukanlah sesuatu yang sederhana dan mudah karena dipengaruhi oleh berbagai faktor. Oleh karena itu menjadi penting bagi kita untuk mengkaji lebih dalam tentang formulasi
38
kebijakan, termasuk tahapan-tahapan dalam formulasi kebijakan publik yang mana akan diuraikan pada pembahasan selanjutnya. 2.3.2 Tahapan Formulasi Kebijakan Publik Ada empat tahapan dalam formulasi kebijakan publik sebagaimana dikemukakan Winarno (2014: 123-126), antara lain: 1. Tahap pertama : Perumusan Masalah (Defining Problem) Mengenali dan merumuskan masalah merupakan langkah yang paling
fudamental
dalam
perumusan
kebijakan.
Untuk
dapat
merumuskan kebijakan dengan baik, maka masalah-masalah publik harus dikenali dan didefinisikan dengan baik pula. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk memecahkan masalah yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, seberapa besar kontribusi yang diberikan oleh kebijakan publik dalam menyelesaikan masalah-masalah dalam masyarakat menjadi pertanyaan yang menarik dalam evaluasi kebijakan publik. Namun demikian, apakah pemecahan masalah tersebut memuaskan atau tidak bergantung pada ketepatan masalah-masalah publik tersebut dirumuskan. 2. Tahap kedua : Agenda Kebijakan Tidak semua masalah publik akan masuk ke dalam agenda kebijakan. Masalah-masalah tersebut saling berkompetisi antara satu dengan yang lain. Hanya masalah-masalah tertentu yang pada akhirnya akan masuk ke dalam agenda kebijakan. Suatu masalah untuk masuk ke dalam kebijakan publik harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti
39
misalnya apakah masalah tersebut mempunyai dampak yang besar bagi masyarakat dan membutuhkan penanganan yang harus segera dilakukan? Masalah publik yang telah masuk ke dalam agenda kebijakan akan dibahas oleh para perumus kebijakan. Masalah-masalah tersebut dibahas berdasarkan tingkat urgensinya untuk segera diselesaikan. 3. Tahap ketiga : Pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah Setelah masalah-masalah publik didefinisikan dengan baik dan para perumus kebijakan sepakat untuk memasukkan masalah tersebut ke dalam agenda kebijakan, maka langkah selanjutnya adalah membuat pemecahan masalah. Di sini para perumus kebijakan akan berhadapan dengan alternatif-alternatif pilihan kebijakan yang dapat diambil untuk memecahkan masalah tersebut. 4. Tahap keempat : Tahap penetapan kebijakan Setelah salah satu dari sekian alternatif
kebijakan diputuskan
diambil sebagai cara untuk memecahkan masalah kebijakan, maka tahap paling akhir dalam pembentukan kebijakan adalah menetapkan kebijakan yang dipilih tersebut sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Alternatif kebijakan yang diambil pada dasarnya merupakan kompromi dari berbagai kelompok kepentingan yang terlibat dalam pembentukan kebijakan tersebut. Penetapan kebijakan dapat berbentuk berupa undang-undang, yurisprudensi, keputusan presiden, keputusan-keputusan menteri dan lain sebagainya.
40
Selain tahapan yang dikemukakan di atas, Irfan Islamy (2009: 78-102) dalam bukunya yang berjudul Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara menguraikan
terntang tahapan/
langkah-langkah perumusan
kebijaksanaan negara. Adapun langkah-langkah tersebut, antara lain: 1. Perumusan Masalah Kebijaksanaan Negara Charles O. Jones (dalam Islamy, 2009: 78) pernah mengatakan, “Events in society are intrepreted in different ways by different people at different times. Many problems may result from the same event”. (Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat diartikan secara berbeda-beda oleh orang-orang yang berbeda pada waktu yang berbeda pula. Banyak masalah-masalah yang timbul dari suatu peristiwa yang sama). Jones dalam buku yang sama juga menyatakan bahwa, “the fact is that one person’s problem may be another person’s profit. Problem result
from
events
effecting
people
differently”.
(Kenyataan
menunjukkan bahwa sesuatu masalah bagi seseorang dapat menjadi keuntungan bagi orang lain. Masalah-masalah yang timbul karena adanya peristiwa-peristiwa dapat berpengaruh pada orang-orang secara berbeda-beda). Uraian di atas merupakan gambaran mengenai definisi masalah dalam konteks secara umum. Sehingga untuk merumuskan masalah kebijaksanaan negara perlu juga diketahui apa yang disebut masalah dalam konteks kebijakan negara. James. E Anderson dengan mengutip pendapat David G. Smith (dalam Islamy, 2009: 79) menyatakan,
41
“For policy purpose, a problem can be formally defined as condition or situation that produces needs or dissatisfactions on the part of people for which relief or redress is shought. This may be done by those directly affected or by others acting on their behalf” (Untuk kepentingan kebijaksanaan, suatu masalah dapat diartikan secara formal sebagai kondisi atau situasi yang menghasilkan kebutuhan-kebutuhan atau ketidakpuasan-ketidakpuasan pada rakyat untuk mana perlu dicari cara-cara penanggulangannya. Hal ini dilakukan oleh mereka yang secara langsung terkena akibat oleh masalah itu atau oleh orang lain yang punya tanggung jawab untuk itu) Selanjutnya Jones (dalam Islamy, 2009: 79) menyatakan bahwa “masalah-masalah yang tersebut menjadi sebuah kebutuhan-kebutuhan manusia yang harus diatasi atau dipecahkan”. Usaha untuk mengerti dengan benar sifat dari masalah kebijaksanaan negara itu akan sangat membantu
di
kebijaksanaannya.
dalam
menentukan
Sehingga
kesalahan
sifat di
proses dalam
perumusan melihat
dan
mengidentifikasikan masalah akan berakibat salahnya perumusan masalahnya. Dan ini akan berakibat panjang pada fase-fase berikutnya. Kalau dipandang dari sudut pembuat keputusan, sebagaimana diuraikan sebelumnya, ia harus mampu mengidentifikasikan dan merumuskan masalah atau mendefinisikan masalah, karena hal itu adalah merupakan kegiatan yang sangat penting dalam proses pembuatan keputusan. Oleh karena itu, perumusan masalah merupakan sebuah tugas yang tidak mudah bagi pembuat kebijakan. Dan keberhasilan atau kegagalan dalam melakukan perumusan masalah ini akan berpengaruh pada proses pembuatan kebijakan selanjutnya.
42
2. Penyusunan Agenda Pemerintah Setelah dilakukan perumusan masalah kebijakan maka akan muncul banyak sekali masalah-masalah. Namun demikian, tidak semua masalah tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah dan menjadi sebuah kebijakan publik. Cobb dan Elder dalam Islamy (2009: 85) mengartikan agenda pemerintah sebagai “that set of items explicitly up for the active and serious consideration of authoritative decision makers” (Serangkaian hal-hal yang secara tegas membutuhkan pertimbangan-pertimbangan yang aktif dan serius dari pembuat keputusan yang sah/ otoritatif). Sebelumnya telah dijelaskan bahwa tidak semua masalah dapat masuk dalam agenda pemerintah. Anderson (dalam Islamy, 2009: 86-87) menyebutkan beberapa faktor yang dapat menyebabkan masalah publik masuk ke dalam agenda pemerintah antara lain: a) Bila terdapat ancaman terhadap keseimbangan antar kelompok (groups equilibrium), maka kelompok-kelompok tersebut akan mengadakan reaksi dan menuntut tindakan pemerintah untuk mengambil prakarsa guna mengatasi ketidakseimbangan tersebut. b) Kepemimpinan politik dapat pula menjadi suatu faktor yang penting dalam penyusunan agenda pemerintah. c) Timbulnya krisis atau peristiwa yang luar biasa dapat pula menyebabkan masalah tersebut masuk ke dalam agenda pemerintah. d) Adanya gerakan-gerakan protes termasuk tindakan kekerasan.
43
e) Masalah khusus atau isu-isu politis yang timbul di masyarakat yang menarik perhatian media komunikasi (massa). 3. Perumusan Usulan Kebijaksanaan Negara Perumusan usulan kebijaksanaan adalah kegiatan menyusun dan mengembangkan serangkaian tindakan yang perlu untuk memcahkan masalah.
Yang
termasuk
mengidentifikasikan
ke
alternatif;
dalam
kegiatan
mendefinisikan
dan
ini
adalah,
merumuskan
alternatif; menilai masing-masing alternatif yang tersedia; dan memilih alternatif yang ‘memuaskan’ atau paling mungkin untuk dilaksanakan”. 4. Pengesahan Kebijaksanaan Negara Proses pembuatan kebijaksanaan tidak dapat dipisahkan dengan proses pengesahan kebijaksanaan. Kedua-duanya mempunyai hubungan yang sangat erat sekali, sehingga tidak mungkin dipisahkan. Sebagai suatu proses kolektif, pembuat keputusan/ kebijaksanaan akan berusaha sekuat tenaga untuk memenangkan mayoritas dalam forum pengesahan usulan kebijakan, sehingga pejabat atau badan pemberi pengesahan setuju untuk mengadopsi usulan kebijaksanaan tersebut menjadi kebijaksanaan
yang
sah.
Setiap
kebijaksanaan
yang
telah
di
sahkanberarti telah siap untuk dilaksanakan. Di sisi lain, Nugroho (2014: 143) mengemukakan enam proses yang paling didorong dalam perumusan kebijakan publik, yaitu: (1) identifikasi isu kebijakan, (2) agenda kebijakan, (3) proposal kebijakan, (4) alternatif kebijakan, (5) keputusan kebijakan, dan (6) legitimasi kebijakan. Nugroho
44
dalam bukunya juga menjelaskan bagaimana praktik perumusan kebijakan publik di negara-negara berkembang. Pembuat keputusan di negara-negara berkembang sering ragu-ragu untuk membuat keputusan karena penolakan publik. Oleh karena itu, tekanan politik adalah pendekatan yang paling efektif dalam proses pembuatan keputusan. Ketika terjadi penolakan publik terjadi, maka ada 3 pilihan yang dapat dilakukan oleh para elit. Pertama, adalah
menghentikan
proses
kebijakan.
Kedua,
mengubah
atau
memodifikasi kebijakan; kemudian mempromosikannya ke berbagai media massa untuk mengakomodasi komunikasi antara masyarakat dan pembuat kebijakan. Ketiga, memaksakan kebijakan secara otoriter (Nugroho, 2014: 198-199). Gambar dari model perumusan kebijakan Nugroho: Gambar 2.5 Model Proses Pembuatan Kebijakan Penerimaan Kebijakan
Proposan Kebijakan
Marketing Kebijakan
Keputusan Kebijakan
Dipaksa Secara otoriter Penolakan Kebijakan
Dihentikan atau ditunda Mengubah, memodifikasi
Re-marketing kebijakan
Sumber: Nugroho (2014: 200)
45
2.4
Analisis Formulasi Kebijakan Publik Dalam arti yang luas, analisis kebijaksanaan adalah suatu bentuk riset terapan yang dilakukan untuk memperoleh pengertian tentang masalahmasalah sosioteknis yang lebih dalam dan untuk menghasilkan pemecahanpemecahan penyelidikan
yang
lebih
untuk
baik.
Analisis
mendapatkan
cara
kebijaksanaan bertindak
mengadakan
yang
mungkin,
menghasilkan informasi dan menyusun fakta-fakta keuntungan dan akibatakibat lain yang akan mengikuti penerimaan dan pelaksanaannya, untuk membantu pengambil kebijaksanaan memilih tindakan yang paling menguntungkan (Moekijat, 1995: 5). Menurut Lasswell (dalam Dunn, 2003: 1) analisis kebijakan adalah aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan. Winarno (2014: 34) juga mengatakan bahwa dalam analisis kebijakan, kita dapat menganalisis pembentukan, substansi dan dampak dari kebijakan-kebijakan tertentu. Selanjutnya Dye (dalam Winarno, 2014: 34) mengatakan bahwa ada tiga hal pokok yang perlu diperhatikan dalam analisis kebijakan publik, yakni pertama, fokus utamanya adalah mengenai penjelasan kebijakan bukan mengenai anjuran kebijakan yang “pantas”. Kedua, sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi dari kebijakan-kebijakan publik diselidiki dengan teliti dan dengan menggunakan metodologi ilmiah. Ketiga, analisis dilakukan dalam rangka mengembangkan teori-teori umum yang dapat diandalkan tentang kebijakan-kebijakan publik dan pembentukannya, sehingga dapat diterapkan terhadap lembaga-lembaga dan bidang bidang
46
kebijakan yang berbeda. Dengan demikian, analisis kebijakan dapat bersifat ilmiah dan relevan bagi masalah-masalah politik dan sosial sekarang ini. Mengacu pada pendapat Lasswell sebelumnya mengenai definisi analisis
kebijakan,
bahwa
analisis
kebijakan
merupakan
aktivitas
menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses kebijakan. Adanya kata ‘tentang dan dalam proses kebijakan’ menunjukkan bahwa analisis kebijakan juga dapat dilakukan dalam salah satu tahap dalam proses kebijakan, termasuk pada tahap perumusan (formulasi) kebijakan. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan Winarno (2014: 35) bahwa, pada tataran tertentu analisis kebijakan publik sangat berguna dalam merumuskan maupun mengimplementasikan kebijakan publik. Teori-teori dalam analisis kebijakan publik pada akhirnya dapat digunakan untuk mengembangkan kebijakan publik yang baik di masa yang akan datang. Hayes (dalam Dunn, 2003: 224) juga menambahkan bahwa, masalah yang rumit menuntut analis untuk mengambil bagian aktif dalam mendefinisikan hakekat dari masalah itu sendiri. Menurut Moekijat (1995:5-6), analisis kebijaksanaan mengadakan penyelidikan
untuk
mendapatkan
cara
bertindak
yang
mungkin,
menghasilkan informasi dan menyusun fakta-fakta keuntungan dari akibatakibat lain yang akan mengikuti penerimaan dan pelaksanaannya, untuk membantu pengambil kebijaksanaan memilih tindakan yang paling menguntungkan. Selain itu beliau juga menambahkan bahwa tujuan analisis demikian adalah untukmembantu para pengambil kebijaksanaan publik
47
memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi. Secara lebih jelas analisis kebijakan juga dipaparkan oleh E. S. Quade (1975), mantan kepala departemen matematika di perusahaan Rand. Analisis kebijakan adalah: “Suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberi landasan dari para pembuat kebijakan dalam membuat keputusan... Dalam analisis kebijakan, kata analisis digunakan dalam pengertian yang paling umum; termasuk penggunaan intuisi dan pengungkapan pendapat dan mencakup tidak hanya pengujian kebijakan dengan memilah-milahkannya ke dalam sejumlah komponen-komponen tetapi juga perancangan dan sintesis alternatif-alternatif baru. Kegiatan-kegiatan yang tercakup dapat direntangkan mulai penelitian untuk menjelaskan atau memberikan pandangan-pandangan terhadap isu-isu atau masalah-masalah yang terantisipasi sampai mengevaluasi suatu program yang lengkap. Beberapa analisis kebijakan bersifat informal, meliputi tidak lebih dari proses berfikir yang keras dan cermat, sementara lainnya memerlukan pengumpulan data yang ekstensif dan perhitungan yang teliti dengan menggunakan proses matematis yang canggih”. (Dunn, 2003: 95-96) Dari paparan panjang yang telah dijelaskan sebelumnya terkait analisis kebijakan, maka dapat disimpulkan bahwa analisis merupakan suatu tahapan dan proses yang mengacu pada pemilihan alternatif atau teori yang paling tepat digunakan untuk melakukan pemecahan masalah. Selain itu, analisis kebijakan sendiri juga dapat digunakan untuk menganalisis proses kebijakan publik tak terkecuali pada tahapan/ proses formulasi atau perumusan kebijakan publik yang mana merupakan salah satu tahap dalam proses kebijakan yang sangat penting dan fundamental sehingga dibutuhkan suatu analisis tersendiri. Pada dasarnya telah banyak pakar dan ahli yang menjelaskan tentang tahapan formulasi (perumusan) kebijakan publik. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu analisis atau pemilihan teori manakah yang relevan
48
digunakan untuk memecahkan permasalahan dalam penelitian ini. Hal ini karena tidak semua teori dapat sesuai dengan permasalahan yang ada serta proses formulasi kebijakan merupakan salah satu proses dalam kebijakan publik yang sangat penting. Sebelumnya telah dijelaskan tahapan-tahapan dalam formulasi kebijakan menurut pakar, antara lain:
1. Winarno ((2014: 123-126), mengemukakan tahapan dalam formulasi kebijakan yang meliputi, perumusan Masalah (Defining Problem), agenda Kebijakan, pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah, dan tahap penetapan kebijakan. 2. Islamy (2009: 78-102), mengatakan bahwa tahapan formulasi kebijakan publik, antara lain perumusan masalah Kebijaksanaan Negara, penyusunan agenda pemerintah, perumusan usulan Kebijaksanaan Negara, dan pengesahan Kebijaksanaan Negara. 3. Nugroho (2014: 143), enam proses yang paling didorong dalam perumusan kebijakan publik, antara lain identifikasi isu kebijakan, agenda kebijakan, proposal kebijakan, alternatif kebijakan, keputusan kebijakan dan legitimasi kebijakan. Dari ketiga model tahapan yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa adanya kesamaan antara model Winarno dan Islamy yang lebih mudah dan cakupannya luas. Sedangkan model yang dikemukakan oleh Nugroho terlihat lebih panjang dan rumit. Permasalahan Raperda Miras yang diangkat dalam penelitian ini merupakan salah satu masalah yang luas
49
dan kompleks. Sehingga sangat cocok jika dianalisis melalui model tahapan formulasi kebijakan yang dikemukakan oleh Winarno. Teori formulasi yang dikemukakan oleh Budi Winarno dan digunakan pada penelitian ini tidak diterapkan sebagaimana teori ini diterapkan pada kasus-kasus pada umumnya. Pada penelitian ini peneliti berusaha menyederhanakan teori formulasi dari Budi Winarno dalam menganalisis proses perumusan Raperda Kota Surakarta tentang Minuman Keras. Proses formulasi Raperda Kota Surakarta tentang Minuman Keras pada penelitian ini tidak akan dianalisis secara mendetail dari mulai perumusan masalah yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Penelitian ini hanya berusaha menganalisis bagaimana proses formulasi kebijakan Raperda Kota Surakarta tentang Minuman Keras yang terjadi di tataran legislatif yaitu terkait pembahasan draft Raperda Kota Surakarta tentang Minuman Keras yang dilakukan oleh DPRD Kota Surakarta dan berfokus pada konflik antar fraksi di DPRD Kota Surakarta. Penerapan teori formulasi kebijakan publik pada umumnya menjadi sebuah pengecualian ketika diterapkan pada penelitian ini. Hal tersebut karena sifat Raperda Kota Surakarta tentang Minuman Keras yang berupa Raperda insiatif dari pemerintah kota Surakarta. Sehingga pembahasan yang dilakukan lebih banyak terjadi di tingkat legislatif. Oleh karena itu, penelitian ini melihat proses formulasi kebijakan Raperda Kota Surakarta tentang Minuman Keras yang terjadi di DPRD berupa pembahasan draft
50
Raperda Kota Surakarta tentang Minuman Keras dengan menggunakan teori formulasi kebijakan publik dari Budi Winarno.
2.5
Konflik
2.5.2 Definisi Konflik dan Resolusi Konflik Menurut Hendricks (2004: 1) konflik adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Konflik melekat erat dalam jalinan kehidupan. Umat manusia selalu berjuang dengan konflik. Perang yang telah terjadi pada abad-abad yang lampau menyisakan pengaruh, dan dalam dunia bisnis sulit dibayangkan suatu hari tanpa konflik dan stres. Sementara itu, Daniel Webster (dalam Pickering, 2001: 1) mendefinisikan konflik sebagai, (1) persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain; (2) keadaan atau perilaku yang bertentangan (misalnya: pertentangan pendapat, kepentingan, atau pertentangan antar individu); (3) perselisihan akibat kebutuhan, dorongan, keinginan atau tuntutan yang bertentangan; (4) perseteruan. Konflik sendiri terbagi menjadi beberapa jenis. Stoner dan Freeman (1989) dalam sebuah artikel karya Eny Purwanti yang berjudul Dinamika Konflik Dalam Formulasi Kebijakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2009-2014 Di Kabupaten Magetan, membagi konflik menjadi 6 (enam) macam, yaitu: Konflik dalam diri individu (conflict within the individual), Konflik antar-individu (conflict among individuals), Konflik antara individu dan kelompok (conflict among individuals and groups), Konflik antar kelompok dalam organisasi yang
51
sama (conflict among groups in the same organization), Konflik antar organisasi (conflict among organizations), Konflik antar individu dalam organisasi
yang berbeda (conflict among
individuals
in
different
organizations). Sementara itu secara lebih rinci, konflik menurut Adam Ibrahim Andrawijaya (1986)
adalah
bentuk
organisasi baik antara seseorang seseorang
dengan
kelompok,
pertikaian
yangterjadi
dalam
dengan orang yang lain, antara
antara
kelompok
dengan
kelompok,
maupun antara kelompok dengan organisasi atau mungkin pula antara perseorangan
dengan organisasi secara menyeluruh. Dia juga membagi
konflik menjadi tiga bentuk, antara lain:
1. Konflik dalam kelompok, terjadi antara dua atau lebih anggota kelompok
yang mencakup kelompok dalam arti umum atau satu
kesatuan unit organisasi. 2. Konflik antar organisasi, banyak sekali terjadi tergantung pada lingkungan sekitar. Dapat dipengaruhi politik, ekonomi dan social budaya mempengaruhi kehidupan organisasi atau perbedaan fasilitas antara pegawai yang setingkat dibeberapa instansi. 3. Konflik antar kelompok, terjadi antar kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, yang sering terjadi dalam organisasi. Selain bentuk-bentuk konflik, konflik sendiri terjadi melalui beberapa tahapan. Hendricks (2004: 6) menjelaskan bahwa ada tiga tahapan terjadinya
52
konflik. Diagram di bawah ini menggambarkan tiga tahapan konflik yang berbeda: Gambar 2.6 Tiga Tahapan Konflik Tahap satu (Peristiwa Sehari-hari) Tahap dua (Tantangan) Tahap tiga (Pertentangan) Sumber: Hendricks (2004: 7) Konflik tahap satu terjadi terus-menerus dan biasanya memerlukan sedikit perhatian. Selanjutnya konflik tahap dua ditandai dengan sikap kalah-menang. Sedangkan konflik tahap tiga bertujuan mengubah keinginan untuk menang menjadi keinginan untuk mencederai. Konflik pada tahap satu tidak begitu mengancam dan paling mudah untuk dikelola. Bila konflik mengalami esklasi ke tahap dua dan tiga, konflik menjadi lebih sulit untuk dikelola, dan potensinya meningkat menjadi berbahaya. Konflik bergerak antartahapan, tapi tidak selalu mengikuti pola-pola linier. Identifikasi jenis dan tahapan konflik sangat penting dilakukan untuk mencari solusi penanganan konflik. Dengan mengetahui jenis dan tahapan konflik maka akan memudahkan dalam melakukan manajemen konflik. Menurut Hendricks (2004: 8) bahwa konflik dan intensitas konflik menentukan strategi yang akan anda gunakan untuk meredamnya. Selain itu tiga tahap konflik membutuhkan strategi manajemen yang berbeda.
53
Resolusi konflik atau juga dikenal dengan manajemen konflik merupakan cara-cara yang digunakan untuk menyelesaikan konflik. Menurut Pickering (2001: 40-46) mengatakan ada 5 macam gaya manajemen konflik. Berikut adalah gambar diagram dan penjelasan terkait 5 gaya manajemen konflik, Gambar 2.7 Gaya Manajemen Konflik Tinggi
Peduli Orang Lain
Mengikuti Kemauan Orang lain
Kolaborasi
Kompromi
Menghindari
Mendominasi
Tinggi Rendah
Mementingkan Diri Sendiri
Sumber: Pickering (2001: 40)
Dari gambar di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Kolaborasi (kerja sama) Gaya menangani konflik sama-sama menang. Gaya ini erat kaitannya dengan metode memecahkan persoalan dan paling efektif untuk persoalan yang kompleks. Gaya ini tepat digunakan bila orang dan
54
masalah jelas terpisah satu dari yang lain, dan biasanya tidak efektif bila pihak yang bertikai memang ingin berkonflik. 2. Mengikuti kemauan orang lain Gaya ini menilai orang lain lebih tinggi dan memberikan nilai rendah pada diri sendiri barangkali mencerminkan rasa rendah diri orang tersebut. Gaya ini berusaha menyembunyikan sejauh mungkin perbedaan yang ada antara pihak-pihak terlibat dan mencari titik-titik persamaan. 3.
Mendominasi Gaya ini menekankan kepentingan diri sendiri. Gaya mendominasi bisa efektif bila ada perbedaan besar dalam tingkay pengetahuan yang dimiliki.
4. Menghindari Gaya ini tidak memberikan nilai yang tinggi pada dirinya atau orang lain. Aspek negatif dari gaya ini adalah melemparkan masalah pada orang lain atau mengesampingkan masalah. 5. Kompromi Gaya ini digambarkan terletak di tengah-tengah diagram. Gaya ini berorientasi jalan tengah, karena setiap orang punya sesuatu untuk ditawarkan dan sesuatu untuk diterima. Gaya kompromi paling efektif bila persoalan yang dihadapi kompleks atau bila kekuasaan berimbang.
2.5.2 Konflik dalam Proses Formulasi Kebijakan Publik Telah dijelaskan sebelumnya bahwa konflik merupakan sesuatu yang pasti terjadi dan tidak dapat dihindari. Salah satu hal yang tidak lepas dari
55
konflik adalah dalam proses formulasi (perumusan) kebijakan publik. Hal ini sebagaimana dikemukakan Wahab (2005: 36) bahwa isu kebijakan (policy issues) lazimnya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan itu sendiri. Konflik yang terjadi dalam sebuah proses perumusan kebijakan publik berkaitan erat dengan aktor-aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan tersebut. Menurut Winarno (2014: 126) aktor-aktor atau pemeran serta dalam proses pembentukan kebijakan dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yakni para pemeran serta resmi dan para pemeran serta tidak resmi. Yang termasuk pemeran serta resmi adalah agen-agen pemerintah (birokrasi), presiden (eksekutif), legislatif dan yudikatif. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok pemeran serta tidak resmi meliputi, kelompok-kelompok kepentingan, partai politik, dan warga negara individu. Membahas konflik dalam sebuah proses perumusan kebijakan publik maka tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai yang mempengaruhi. Menurut Anderson (dalam Winarno, 2014: 137), salah satu nilai yang berpengaruh dalam pembuatan keputusan adalah nilai politik. Pembuat keputusan mungkin menilai alternatif kebijakan berdasarkan pada kepentingan partai politiknya. Keputusan yang dibuat didasarkan pada keuntungan politik sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan partai politik dan kelompokkelompok kepentingan. Dalam model sistem yang dikemukakan Easton juga
56
menempatkan sistem politik sebagai hal yang penting dalam perumusan kebijakan. Gambar 2.8
PERMINTAAN
SISTEM DUKUNGAN
KEPUTUSAN
POLITIK
OUTPUT
INPUT
Model sistem dari Easton
Sumber: Nugroho (2014: 161)
Dari penjelasan di atas maka jelas bahwa konflik dalam perumusan kebijakan publik pasti akan terjadi di antara para aktor-aktor perumus kebijakan. Selain itu, nilai politik yang ada merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya konflik. Sehingga untuk menyelesaikan konflik tersebut diperlukan suatu resolusi dan manajemen konflik. Sebagaimana yang dikemukakan Dye (dalam Nugroho, 2014: 143) bahwa proses pembuatan kebijakan kadang-kadang menjadi proses manajemen konflik di antara ide-ide yang bertentangan, kebutuhan, dan kepentingan beberapa pihak. Rumusan dasar keputusan kebijakan adalah tentang kompromi.
57
2.5.3 Proses Politik dalam Formulasi Kebijakan Publik Sebelumnya telah dijelaskan mengenai proses formulasi kebijakan publik, konflik yang terjadi di dalamnya serta nilai politik yang turut mempengaruhi perumusan kebijakan publik. Nilai politik sendiri sangat erat kaitannya dengan proses pembuatan kebijakan publik, terutama di negaranegara berkembang, termasuk Indonesia. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Riant Nugroho (2014: 187), bahwa: “Saya mengalami lebih dari 10 tahun berhadapan dengan proses pembuatan kebijakan Indonesia dan saya menemukan bahwa pembuat kebijakan kadang-kadang sangat suka dengan agenda kebijakan bukan hanya dengan penetapan agenda yang diciptakan oleh media, tetapi juga semua pemain politik, seperti: pemerintah dan parlemen yang mewakili negara, kelompok tekanan (sebagian besar perluasan dari kelompok kepentingan, politik, ekonomi, budaya dan agama).....” Dari pernyataan tersebut maka dapat menjadi gambaran bahwa tidak hanya penetapan agenda yang menarik dalam sebuah perumusan kebijakan publik, namun juga pemain politik di dalamnya. Selain itu, Riant Nugroho (2014: 197) juga menegaskan tentang kuatnya pengaruh politik dalam sebuah perumusan kebijakan publik dengan pernyataan sebagai berikut: “Di negara berkembang biasanya ada 3 masalah dalam proses keputusan kebijakan. Model pertamaadalah ketika pemerintah berasal dari partai politik tertentu dan partai oposisi mendominasi parlemen. Dalam model ini, kebijakan yang dipromosikan oleh eksekutif cenderung ditolak oleh parlemen. Hal ini membuat proses kebijakan menjadi deadlock. Model kedua adalah ketikaeksekutif dan parlemen didominasi oleh partai politik yang sama. Oposisi cenderung keras kepala melawan proposal kebijakan apapun. Mereka akan menolak kepuusan kebijakan apapun yang diambil. Model ketiga adalah ketika otoritas yang ada di-legitimasi oleh publik. Ketiga kesulitan tersebut menyebabkan masalah yang sama: penolakan kebijakan.”
58
Poltik dalam sebuah perumusan kebijakan publik juga diperhitungkan sebagai salah satu kapasitas seseorang dalam membuat sebuah keputusan. Hal ini menurut Riant Nugroho disebut sebagai “Tiga Lensa Pengetahuan dan Bukti”, yang mana terdiri dari tiga dimensi penilaian: poliyik, profesional dan ilmiah. Pengetahuan akan politik menjadi hal yang paling utama dimiliki oleh seorang perumusan kebijakan. Hal tersebut sebagaimana digambarkan Riant Nugroho, sebagai berikut: Gambar 2.9 Tiga Lensa Pengetahuan dan Bukti PENILAIAN
Pengetahuan Politik
Pengetahuan Implementasi Praktis
Pengetahuan Ilmiah
PRAKTIK
PENELITIAN
Sumber: Nugroho (2014: 202) Dari gambar di atas maka sangat jelas bahwa pengetahuan politik memegang peranan penting dalam sebuah perumusan kebijakan publik jika dibandingkan dengan pengetahuan ilmiah dan implementasi. Hal ini dikarenakan pengetahuan politik akan mampu mengembangkan strategi atau
59
taktik, menentukan prioritas, mengusahakan persuasi dan advokasi, mengomunikasikan pesan pokok dan putaran ideologi, membangun koalisi dukungan, menegosiasikan perdagangan dan kompromi. Oleh karena itu dalam perumusan kebijakan publik muncul berbagai bentuk proses politik, seperti negosiasi, lobi, kompromi dan bergaining. Secara lebih jelas, proses politik tersebut adalah sebagai berikut:
1. Lobi Pengertian lobi menurut AB Susanto dalam (Nazhifah, dkk, 2013: 4) adalah : “Melobi pada dasarnya merupakan usaha yang dilaksanakan untuk mempengaruhi pihak-pihak yang menjadi sasaran agar terbentuk sudut pandang positif terhadap topik pelobi, dengan demikian diharapkan memberikan dampak positif bagi pencapaian tujuan .... Kegiatan melobi bisa jadi sama pentingnya dengan pengembangan kompetensi profesional” Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Melobi ialah melakukan pendekatan secara tidak resmi, sedangkan pelobian adalah bentuk partisipasi politik yang mencakup usaha individu atau kelompok untuk menghubungi para pejabat pemerintah atau pimpinan politik dengan tujuan mempengaruhi keputusan atau masalah yang dapat menguntungkan sejumlah orang.” Dari dua definisi lobi di atas maka dapat disimpulkan bahwa lobi merupakan salah satu proses politik yang berupa bentuk komunikasi tidak resmi dalam rangka mencapai tujuan tertentu. 2. Negosiasi Selain Lobi, salah satu proses politik dalam perumusan (formulasi) kebijakan publik adalah Negosiasi. Negosiasi menurut Suyud Margono
60
adalah “Proses konsensus yang digunakan para pihak untuk memperoleh kesepakatan di antara mereka.” Selain itu, menurut H. Priyatna Abdurrasyid (dalam Nazhifah, dkk, 2013: 6) negosiasi adalah “Suatu cara di mana individu berkomunikasi satu sama lain mengatur hubungan mereka dalam bisnis dan kehidupan sehari-harinya” atau “Proses yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan kita ketika ada pihak lain yang menguasai apa yang kita inginkan”. Selain itu negosiasi juga dapat dimaknai sebagai suatu cara yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, pihak-pihak yang mengalami perbedaan kepentingan untuk kemudian mempertemukan penawaran dan permintaan dari masih-masing pihak dalam rangka mencapai suatu kesepakatan bersama. Dalam negosiasi tidak akan pernah tercapai kesepakatan kalau sejak awal masing-masing atau salah satu pihak tidak memiliki niat untuk mencapai kesepakatan. Kesepakatan harus dibangun dari keinginan atau niat dari kedua belah pihak, sehingga kita tidak bertepuk sebelah tangan. Dalam Negosiasi sendiri juga dikenal berbagai pendekatan atau orientasi, antara lain: a. Berorientasi pada bargaining, merupakan sebuah bentuk negosiasi yang menggunakan pendekatan yang digunakan oleh para komunikator yang kompetitif.
61
b. Orientasi kalah-kalah, yang dalam prosesnya pihak-pihak yang bernegosiasi mengabaikan kemungkinan menjadi pemenang sehingga dalam pendekatan ini pihak-pihak yang bernegosiasi jadi pecundang. c. Negosiasi dalam bentuk kompromi, yakni pengambilan pilihan yang didasari oleh pertimbangan dari pada berada dalam posisi “kalah menang” atau “mengandung risiko kalah menang” maka jalan tengah yang dipilih adalah kompromi. d. Negosiasi yang berorientasi menang-menang yang disebut juga pendekatan kolaboratif. Asumsinya, pemecahan dapat dicapai dan memuaskan kebutuhan semua pihak yang terlibat didalamnya. Kuncinya terletak pada bagaimana menemukan solusi “menangmenang” yang membuat masing-masing pihak tidak merasa dirugikan. Dari dua bentuk proses politik yang telah dijelaskan di atas, maka pada dasarnya proses lobi dan negosiasi merupakan hal yang sama, yakni samasama sebagai bentuk aktivitas komunikasi antara dua pihak atau lebih yang mengalami perbendaan pendapat, kepentingan, maupun tujuan dalam rangka mencapai suatu kesepakatan bersama. Perbedaan antara lobi dan negosiasi mungkin dapat dilihat dari bentuknya saja. Lobi lebih mengarah pada suatu aktivitas nonformal atau tidak resmi, sedangkan negosiasi dapat dikatakan sebagai sebuah aktivitas yang resmi atau formal. Negosiasi sendiri terdiri dari berbagai pendekatan, yang mana diantaranya adalah kompromi dan bargaining. Sehingga kompromi dan
62
bargaining sendiri tidak dapat dipisahkan sebagai bentuk proses politik yang penting.
2.6
Definisi Minuman Keras Menurut BPOM RI (2014) minuman beralkohol atau yang sering disebut dengan minuman keras adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol (C2H5OH) yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi. Dari definisi ini terlihat jelas bahwa jenis alkohol yang diizinkan dalam minuman beralkohol adalah Etanol. Etanol dapat dikonsumsi karena diperoleh atau diproses dari bahan hasil pertanian melalui fermentasi gula menjadi etanol yang merupakan salah satu reaksi organik. Sedangkan berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian No.71/MInd/ PER/7/2012 tentang Pengendalian dan Pengawasan Industri Minuman Beralkohol, batas maksimum etanol yang diizinkan adalah 55%. Berdasarkan Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik Indonesia
Nomor: 86/Men.Kes/ Per/ IV/ 77 tentang Minuman Keras, setidaknya ada 3 golongan minuman keras jika dilihat dari kadar alkoholnya, yaitu: a.
Minuman keras golongan A dalah minuman keras dengan kadar etanol (C2HsOH) 10% (satu persen) sampai dengan 5% (lima persen).
63
b.
Minuman keras golongan B adalah minuman keras dengan kadar etanol (C2H5OH) lebih dari 5% (lima persen) sampai dengan 20% (duapuluh persen).
c.
Minuman keras golongan C adalah minuman keras dengan kadar etanol (C2HsOH) lebih dari 20%
(duapuluh
persen) sampai
dengan 55% (limapuluh lima persen). Meskipun minuman beralkohol dapat dikonsumsi pada situasi-situasi tertentu, penyalahgunaan miras dan penggunaan miras yang berlebihan tentunya akan berdampak negatif. Pada saat ini mayoritas pemakai minuman keras adalah remaja. Hal tersebut sebagaimana yang dikatakan Waluya dalam sebuah artikel karya Agung, eJournal Sosiatri (2015: 61) bahwa, “Pada saat sekarang banyak remaja yang mengatakan bahwa dengan minum-minuman keras kepercayaan diri mereka bertambah dari yang pemalu menjadi pemberani, mereka beranggapan bahwa semua masalah dapat teratasi dengan minum minuman keras, minuman keras dapat memperbanyak teman. Mengkonsumsi minuman keras adalah salah satu bentuk perilaku yang dianggap menyimpangan. Perilaku menyimpang yang terjadi di kalangan remaja tidak akan begitu saja muncul apabila tidak ada faktor penarik atau faktor pendorong. Faktor penarik berada di luar diri seseorang, sedangkan faktor pendorong berasal dari dalam diri ataau keluarga yang memungkinkan seseorang untuk melakukan penyimpangan tersebut”. Senada
dengan
faktor-faktor
yang
mengakibatkan
perilaku
menyimpang dalam hal penyalahgunaan minuman keras di kalangan remaja dalam jurnal yang sama, Musni Umar mengatakan, “terdapat sejumlah alasan pengguna miras cenderung meningkat yakni, pertama, alasan bersifat sepele untuk menghangatkan badan. Kedua, pelarian dari masalah yang dihadapi. Ketiga, terpengaruh dari lingkungan pergaulan. Keempat, menyontoh orang lain. Kelima, menjaga relasiatau pergaulan dengan teman atau lingkungan.
64
"Faktor-faktor tersebut menyebabkan miras terus bertambah yang meminumnya”. Pengguna minuman keras tentunya tidak hanya berdampak buruk bagi dirinya sendiri. Pengguna minuman keras biasanya akan mengalami perubahan perilaku yang mengarah pada tindakan-tindakan kriminal dan sudah
tentu
membahayakan
orang
lain
dan
lingkungan.Menurut
Dirjosisworo (1984: 111), mengkonsumsi minuman beralkohol yang berlebihan sangat besar pengaruhnya terhadap sikap dan tindakan pelaku yang mengarah kepada deviasi, seperti kebut-kebutan di jalan raya yang dapat mengganggu lalu lintas, membuat keributan dan kekacauan,dan mengganggu
ketenangan
masyarakat
lainnya.
Agung
(2015)
juga
menambahkan dalam penelitian yang dilakukannya tentang Perilaku Sosial Pengguna Minuman Keras Di Kelurahan Sungai Dama Kota Samarinda yang menghasilkan beberapa hal terkait berbagai bentuk perilaku pengguna minuman keras, antara lain: 1) Pencurian Berdasarkan hasil penelitian bahwa salah satu perilaku anti sosial yang
dilakukan oleh pengguna minuman keras adalah melakukan
pencirian. Pencurian ini tidakdiharapkan kehadirannyadalamkehidupan masyarakat dan
tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
Mereka mencuri karena dilandasi oleh beberapa alasan yaitu adanya perasaan yang membosankan dan jenuh tanpa adanya aktivitas yang berarti, hanya sekedar untuk iseng/mencari kesenangan, dan tidak adanya uang.
65
2) Free sex Seks bebas ini terjadi karena seseorang tidak mampu lagi untuk menahan hasrat seksual yang dimilikinya, dan dilandasi oleh perasaan sukasama suka dari masing-masing pasangan. 3) Pemalakan Pemalakan sendiri merupakan salah satu bentuk perilaku yang dianggap menyimpang yang tidak sesuai dengan norma-norma sosial yang keberadaannya tidak bisa diterima dalam kehidupan masyarakat, karena perilaku ini dapat merugikan bagi orang lain baik nyawa maupun materi. 4) Tawuran/ Perkelahian Saat ini tawuran merupakan salah satu bentuk perilaku menyimpang yang sudah tidak bisa di toleran lagi karena kerap menimbulkan kerugian bagi orang lain, bahkan juga bisa berakibat pada hilangnya nyawa seseorang. Dampak di atas hanya sebagian kecil dari dampak yang diakibatkan dari penyalahgunaan minuman keras. Selain dampak di atas masih banyak lagi dampak-dampak negatif lain yang berkaitan dengan kesehatan, mental serta kejiwaan pemakainya. Sehingga permasalahan tentang minuman keras telah menjadi perhatian khusus bagi semua pihak baik dalam sekala lokal maupun nasional. Minuman keras di Indonesia sangatlah beragam dan mempunyai kadar alkohol yang berbeda-beda. Di Indonesia dikenal dengan minuman keras
66
dalam negeri dan minuman keras yang berasal dari luar negeri (impor). Minuman beralkohol yang berasal dari produksi dalam negeri hanya dapat diproduksi oleh pelaku usaha yang telah memiliki izin usaha industri yang diterbitkan oleh Menteri Perindustrian sedangkan minuman beralkohol impor hanya dapat diimpor oleh pelaku usaha yang telah memiliki perizinan impor yang diterbitkan oleh Menteri Perdagangan (BPOM RI, 2014). Minuman keras yang berasal dari dalam negeri biasanya berupa miras tradisional, seperti ciu, cukrik, tuak, lapen, ballo, arak bali, dll. Sedangkan miras yang berasal dari luar negeri (impor) yang mana biasa kita kenal, seperti bir, wisky, vodka, brendy, dll. Sebagaimana diuraikan di atas mengenai kebijakan publik dan minuman keras dari mulai jenis sampai dampak yang ditimbulkannya menunjukkan begitu pentingnya minuman keras untuk dipandang sebagai sebuah permasalahan publik yang harus diperhatikan oleh pemerintah untuk segera dicari solusinya melalui sebuah kebijakan publik. Hal ini dikarenakan dampak penyalahgunaan minuman keras yang sangat kompleks dan merugikan berbagai pihak.
2.7
Raperda Kota Surakarta tentang Minuman Keras Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kota Surakarta tentang Minuman Keras diajukan diajukan atas inisiatif Pemerintah Kota Surakarta. Raperda Kota Surakarta tentang Minuman Keras telah diajukan kepada DPRD Kota Surakarta selaku legislatif melalui draft “Rancangan Peraturan
67
Daerah Kota Surakarta Tentang Pelarangan, Pengawasan dan Pegendalian, Peredaran dan Penjualan Minuman Keras pada tahun 2010. Hal ini dimaksudkan untuk mengatur peredaran minuman keras di Surakarta yang semakin mengkhawatirkan. Bahaya akan minuman keras juga menjadi dasar diajukannya Raperda ini, karena mengingat berbagai potensi yang dimiliki kota Surakarta baik berupa sumber daya manusia, wisata maupun budaya. Draft tersebut berisi tentang pokok-pokok peraturan yang terdiri dari 16 bab dan 51 pasal. Adapun isinya antara lain, Ketentuan Umum, Asas dan Tujuan, Klasifikasi, Jenis dan Standart Mutu, Peredaran, Label dan Penjualan Minuman Keras, Perizinan, Tempat Penyimpanan, Larangan, Pengawasan dan Pelaporan, Penertiban, Peran serta Masyarakat, Retribusi, Sanksi Administratif, Ketentuan Pidana, Ketentuan penyidikan, Ketentuan peralihan dan Ketentuan Penutup (Draft Raperda Kota Surakarta tentang Minuman Keras). Setelah melalui pembahasan yang panjang sekitar 3 tahun lebih di DPRD Kota Surakarta. Pada akhirnya melalui Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surakarta Nomor 5 Tahun 2014 tentang Penolakan Rancangan Peraturan Daerah tentang Minuman Beralkohohol, maka Raperda ini batal untuk menjadi Perda atas dasar mayoritas suara fraksi di DPRD Kota Surakarta.
68
2.8
Kerangka Berfikir Untuk memudahkan penulisan penelitian ini maka dibuatlah sebuah kerangka berfikir. Kerangka berfikir merupakan suatu gambaran yang menjelaskan tentang proses atau tahapan dalam suatu penelitian. Sehingga kerangka berfikir mampu menjelaskan jalannya penelitian ini dan secara tidak langsung mampu memberikan gambaran awal tentang prediksi atau hasil yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka yang telah dijelaskan sebelumnya, maka penelitian ini diawali dari berbagai permasalahan terkait minuman keras, baik berupa bahaya dan peredarannya khususnya di Kota Surakarta. Atas dasar tersebut maka Pemerintah Kota Surakarta mengambil inisiatif untuk mengajukan draft Rancangan Peraturan Daerah Kota Surakarta tentang Minuman Keras kepada DPRD Kota Surakarta selaku pihak legislatif untuk melakukan pembahasan. Di legislatif tersebut tentunya terjadi proses formulasi (perumusan) kebijakan yang meliputi beberapa proses, diantaranya perumusan masalah, agenda kebijakan, tahap penetapan kebijakan dan pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah. Proses tersebut melibatkan aktor-aktor terkait, diantaranya adalah fraksifraksi partai politik. Pembahasan Raperda yang cukup lama tentunya akan menghasilkan berbagai dinamika, termasuk konflik antar aktor yang mana dalam hal ini adalah fraksi-fraksi di DPRD Kota Surakarta. Dalam rangka meminimalisir terjadinya konflik antar fraksi maka dilakukanlah proses-proses politik.
69
Setelah dilakukan berbagai proses politik di dalam perumusan Raperda ini, maka konflik yang terjadi tentunya membutuhkan suatu resolusi atau manajemen konflik. Sampai pada akhirnya terjadi penolakan Raperda tersebut untuk menjadi Perda melalui Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surakarta Nomor 5 Tahun 2014 tentang Penolakan Rancangan Peraturan Daerah tentang Minuman Beralkohohol.
70
Gambar 2. 10 Kerangka Berfikir Permasalahan Minuman Keras di Kota Surakarta
Pengajuan Draft Raperda Miras atas Inisiatif Pemerintah Kota Surakarta (Eksekutif) kepada DPRD Kota Surakarta (Legislatif)
Dinamika dalam perumusan Kebijakan 1. Konflik antar fraksi di DPRD Kota Surakarta 2. Bentuk konflik yang terjadi 3. Sebab-sebab terjadinya konflik 4. Proses politik dalam meminimalisir konflik
Pembahasan Draft Raperda Kota Surakarta tentang Miras oleh DPRD Kota Surakarta (Legislatif), meliputi: 1. Perumusan Masalah 2. Agenda Kebijakan 3. Pemilihan
alternatif
kebijakan
untuk
memecahkan masalah 4. Penetapan Kebijakan
Resolusi Konflik berupa Penolakan Raperda melalui Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surakarta Nomor 5 Tahun 2014 tentang Penolakan Rancangan Peraturan Daerah tentang Minuman Beralkohohol