7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1
Kajian Pustaka
2.1.1
Experiential Marketing Experiential Marketing adalah pemasaran berorientasi pada pengalaman
konsumen dalam upaya untuk menarik konsumen untuk menggunakan produk/layanan, dan bahkan memotivasi konsumen untuk melakukan pembelian berulang (Schmitt, 2009). Pengalaman pembelian memuaskan adalah salah satu alasan untuk tetap tertarik pada produk, yang pada gilirannya menyebabkan untuk mengulang pembelian (Oliver, dalam Indriani, Jurnal Studi Manajemen & Organisasi, 2010). 2.1.1.1 Indiktor Experiential Marketing Ada lima yang menjadi indikator pemasaran pengalaman menurut Schmitt, (dalam Indriani, 2010) : 1. Pengalaman Rasa (Sense), bertujuan untuk menyentuh pengalaman sensor melalui panca indera, yaitu penglihatan, suara, sentuhan, rasa dan bau. 2. Pengalaman Perasaan (Feel),
merupakan strategi untuk mempengaruhi
merek kepada konsumen melalui komunikasi (iklan), produk (kemasan dan isi), identitas produk (co-branding), lingkungan, website, orang yang menawarkan produk. 3. Pengalaman pikiran (Think), yang bertujuan untuk mendorong konsumen sehingga tertarik dan berpikir kreatif sehingga dapat mengakibatkan evaluasi ulang dari perusahaan dan merek. 4. Pengalaman tindakan (Act), dalam bentuk pengalaman gaya hidup yang dapat diterapkan dengan menggunakan tren yang sedang berlangsung atau tren mendorong terciptanya budaya baru.
8
5. Pengalaman pertalian (Relate), adalah kombinasi dari empat aspek pemasaran pengalaman rasa, merasa, berpikir, dan bertindak. Berkaitan mengalami daya tarik utama dari keinginan terdalam dari konsumen untuk pembentukan perbaikan diri, status social ekonomi dan citra. Kepuasan konsumen adalah perasaan atau penilaian emosional dari konsumen untuk menggunakan produk atau layanan di mana harapan dan kebutuhan mereka terpenuhi. Kepuasan konsumen dipengaruhi oleh emosi, yang berdampak pada loyalitas dan ulangi pembelian. Oliver menyatakan bahwa pembelian tersebut mengalami memuaskan satu alasan untuk tetap tertarik pada produk, yang akhirnya mengarah untuk mengulang pembelian (Balqiah, 2010). Tahap awal dari Experiential Marketing adalah pada tiga kunci pokok (Rini, 2011: 16) : 1. Pengalaman Pelanggan Pengalaman pelanggan melibatkan panca indera, hati, dan pikiran ini dapat menempatkan pembelian produk atau jasa dalam konteks yang lebih besar dari kehidupan. 2. Konsumsi Analisis pola konsumsi dapat menyebabkan hubungan untuk menciptakan sinergi yang lebih besar. Produk dan jasa dievaluasi sebagai bagian dari keseluruhan pola penggunaan sesuai dengan kehidupan. Yang paling penting, aturan praktis setelah pembelian diukur dengan kepuasan dan loyalitas. 3. Keputusan rasional dan emosional Pengalaman dalam kehidupan yang sering digunakan untuk memenuhi fantasi, perasaan dan menyenangkan. Banyak keputusan yang dibuat oleh impulsif dan tidak rasional. Experience menurut (Robinette dan Brand dalam Kustini, 2010:46, Management Analysis Journal), adalah : experience are private events that accur in response to some stimulation (e.g. as provide by marketing efforts before after purchase). Pengertian dari definisi tersebut adalah bahwa pengalaman merupakan
9
peristiwa pribadi yang terjadi sebagai tanggapan atas beberapa jenis stimulus (misal yang diberikan oleh upaya pemasaran sebelum dan sesudah pembelian). Schmitt dalam Kustini (2007:47) Experiential Marketing merupakan cara untuk membuat pelanggan menciptakan pengalaman melalui panca indera (sense), menciptakan pengalaman afektif (feel), menciptakan pengalaman berpikir secara kreatif (think), menciptakan pengalaman pelanggan yang berhubungan dengan tubuh secara fisik, dengan perilaku dan gaya hidup serta dengan pengalaman-pengalaman sebagai hasil dari interaksi dengan orang lain (act), juga menciptakan pengalaman yang terhubung dengan keadaan sosial, gaya hidup, dan budaya yang dapat direfleksikan merek tersebut yang merupakan pengembangan dari sensations, feelings, cognitions dan actions (relate). Experiential Marketing adalah suatu konsep pemasaran yang bertujuan untuk membentuk pelangganpelanggan yang loyal dengan menyentuh emosi mereka dan memberikan suatu feeling yang positif terhadap produk dan service (Kartajaya dalam Handal, 2010:6). Definisi-definisi di atas dapat dapat disimpulkan bahwa Experiential Marketing merujuk pada pengalaman nyata pelanggan terhadap brand/ product/service untuk meningkatkan penjualan dan brand image/ awareness. 2.1.1.2 Karakteristik Experiential Marketing Pendekatan pemasaran Experiential Marketing merupakan pendekatan yang mencoba menggeser pendekatan pemasaran tradisional, pendekatan tradisional ini menurut (Schmitt dalam Kustini, 2011:47) memiliki empat karakteristik, yaitu : 1. Fokus pada pengalaman pertama Berbeda dengan pemasaran tradisional, Experiential Marketing berfokus pada pengalaman pelanggan. Pengalaman yang terjadi akibat pertemuan, menjalani atau melewati situasi tertentu. Pengalaman memberikan nilai-nilai indrawi, emosional, kognitif, perilaku dan relasional yang menggantikan nilai-nilai fungsional.
10
2. Menguji situasi konsumsi Pemasar eksperensial menciptakan sinergi untuk dapat meningkatkan pengalaman konsumsi. Pelanggan tidak hanya mengevaluasi suatu produk sebagai produk yang berdiri sendiri dan juga tidak hanya menganalisis tampilan dan fungsi saja, melainkan pelanggan lebih menginginkan suatu produk yang sesuai dengan situasi dan pengalaman pada saat mengkonsumsi produk tersebut. 3. Mengenali aspek rasional dan emosional sebagai pemicu dari konsumsi Jangan memperlakukan pelanggan hanya sebagai pembuat keputusan yang rasional, pelanggan ingin dihibur, dirangsang, dipengaruhi secara emosional dan ditantang secara kreatif. 4. Metode dan perangkat bersifat elektik Metode dan perangkat untuk mengukur pengalaman seseorang bersifat elektik, yaitu tidak hanya terbatas pada suatu metode saja, melainkan memilih metode dan perangkat yang sesuai tergantung dari objek yang diukur. Jadi bersifat lebih pada kustomisasi untuk setiap situasi dari pada menggunakan suatu standar yang sama. Adapun pergeseran dari pendekatan pemasaran tradisional ke pendekatan Experiential Marketing terjadi karena adanya perkembangan tiga faktor didunia bisnis (Schmitt dalam Rahmawati, 2012:112), yaitu : 1. Teknologi
informasi
yang
dapat
diperoleh
dimana-mana
sehingga
kecanggihan-kecanggihan teknologi akibat revolusi teknologi informasi dapat menciptakan suatu pengalaman dalam diri seseorang dan membaginya dengan orang lain dimanapun ia berada. 2. Keunggulan dari merek, melalui kecanggihan teknologi informasi maka informasi mengenai brand atau merek dapat tersebar luas melalui berbagai media dengan cepat dan global. Dimana brand atau merek memegang kendali, suatu produk dan jasa tidak lagi sekelompok fungsional tetapi lebih berarti sebagai alat pencipta experience bagi konsumen.
11
3. Komunikasi
dan
banyaknya
hiburan
yang
ada
dimana-mana
yang
mengakibatkan semua produk dan jasa saat ini cenderung bermerek dan jumlahnya banyak.
2.1.1.3 Manfaat Experiential Marketing Fokus perhatian utama Experiential Marketing adalah diutamakan pada tanggapan panca indera, pengaruh, cognitive experience, tindakan dan hubungan. Oleh karena itu pemasar badan usaha harus dapat menciptakan experiential brands yang dapat menghubungkan dengan kehidupan yang nyata pelanggan. Experiential Marketing dapat dimanfaatkan secara efektif apabila diterapkan pada situasi tertentu. Schmitt dalam Kustini (2011:47) menunjukkan beberapa manfaat yang dapat diterima dan dirasakan apabila badan usaha menerapkan Experiential Marketing. Manfaat tersebut meliputi : 1. Untuk membangkitkan kembali merek yang sedang merosot. 2. Untuk membedakan satu produk dengan produk pesaing. 3. Untuk menciptakan citra dan identitas sebuah badan usaha. 4. Untuk mempromosikan inovasi. 5. Untuk memperkenalkan percobaan, pembelian dan yang paling penting adalah konsumsi loyal.
2.1.1.4 Strategic Experiential Modules (SEMs) Modul yang dapat digunakan untuk menciptakan berbagai jenis pengalaman. Schmitt dalam Handal (2010:6) Strategic Experiential Modules (SEMs) meliputi : 1. Sense Marketing Tipe experience yang muncul untuk menciptakan pengalaman panca indera melalui mata, telinga, kulit, lidah dan hidung (Schmitt dalam Amir Hamzah, 2007:23). Sense marketing merupakan salah satu cara untuk menyentuh emosi konsumen melalui pengalaman yang dapat diperoleh konsumen lewat panca indera (mata, telinga, lidah, kulit dan hidung) yang mereka miliki melalui
12
produk dan service (Kartajaya dalam Amir Hamzah, 2007:24). Pada saat konsumen datang ke restoran, mata melihat desain layout yang menarik, hidung mencium aroma terapi, telinga mendengar alunan musik, dan kulit merasakan kesejukan AC. Pada dasarnya sense marketing yang diciptakan oleh pelaku usaha dapat berpengaruh positif maupun negatif terhadap loyalitas. Mungkin saja suatu produk dan jasa yang ditawarkan oleh produsen tidak sesuai dengan selera konsumen atau mungkin juga konsumen menjadi sangat loyal, dan akhirnya harga yang ditawarkan oleh produsen tidak menjadi masalah bagi konsumen. 2. Feel Marketing Feel marketing ditujukan terhadap perasaan dan emosi dengan tujuan mempengaruhi pengalaman yang dimulai dari suasana hati yang lembut sampai dengan emosi yang kuat terhadap kesenangan dan kebanggaan (Schmitt dalam Amir Hamzah, 2007:23). Feel adalah suatu perhatianperhatian kecil yang ditunjukkan kepada konsumen dengan tujuan untuk menyentuh emosi konsumen secara luar biasa (Kartajaya, 2004:164). Feel marketing merupakan bagian yang sangat penting dalam strategi Experiential Marketing. Feel dapat dilakukan dengan service dan layanan yang bagus, serta keramahan pelayan. Agar konsumen mendapat feel yang kuat dari suatu produk atau jasa, maka produsen harus mampu memperhitungkan kondisi konsumen dalam arti memperhitungkan mood yang dirasakan konsumen. Kebanyakan konsumen menjadi pelanggan apabila mereka merasa cocok terhadap produk atau jasa yang ditawarkan, untuk itu diperlukan waktu yang tepat yaitu pada waktu konsumen dalam keadaan good mood sehingga produk dan jasa tersebut benar-benar mampu memberikan memorable experience sehingga berdampak positif terhadap loyalitas pelanggan.
13
Pelayanan yang memuaskan sangat diperlukan termasuk didalamnya keramahan dan sopan santun karyawan, pelayanan yang tepat waktu, dan sikap simpatik yang membuat pelanggan untuk melakukan pembelian ulang. 3. Think Marketing Tipe experience yang bertujuan untuk menciptakan kognitif, pemecahan masalah yang mengajak konsumen untuk berfikir kreatif (Schmitt dalam Amir Hamzah, 2007:23). Think marketing adalah suatu cara yang dilakukan oleh perusahaan untuk membawa komoditi menjadi pengalaman (experience) dengan melakukan customization secara terus menerus (Kartajaya, 2004:164). Tujuan dari think marketing adalah untuk mempengaruhi pelanggan agar terlibat dalam pemikiran yang kreatif dan menciptakan kesadaran melalui proses berfikir yang berdampak pada evaluasi ulang terhadap perusahaan, produk dan jasanya. Perusahaan harus cepat tanggap terhadap kebutuhan keluhan konsumen . Perusahaan dituntut untuk dapat berfikir kreatif. Salah satunya dengan mengadakan program yang melibatkan pelanggan. 4. Act Marketing Tipe experience yang bertujuan untuk mempengaruhi perilaku, gaya hidup dan interaksi dengan konsumen (Schmitt dalam Amir Hamzah, 2007:23). Act Marketing adalah suatu cara membentuk persepsi pelanggan terhadap produk dan jasa yang bersangkutan (Kartajaya, 2004:164). Act marketing didesain untuk menciptakan pengalaman konsumen dalam hubungannya dengan physical body, lifestyle dan interaksi dengan orang lain. Act marketing ini memberikan pengaruh positif terhadap loyalitas pelanggan. Ketika act marketing mampu mempengaruhi perilaku dan gaya hidup maka akan berdampak positif terhadap loyalitas karena merasa produk atau jasa tersebut sesuai dengan gaya hidupnya. Sebaliknya ketika konsumen tidak merasa bahwa produk atau jasa tersebut sesuai dengan gaya hidupnya maka akan berdampak negatif terhadap loyalitas pelanggan.
14
5. Relate Marketing Tipe experience yang digunakan untuk mempengaruhi pelanggan dan menggabungkan seluruh aspek, sense, feel, think, dan act serta menitik beratkan pada penciptaan persepsi positif dimata pelanggan (Schmitt dalam Amir Hamzah, 2007:23). Relate Marketing adalah suatu cara membentuk atau menciptakan komunitas pelanggan dengan komunikasi (Kartajaya, 2004:175). Relate marketing menggabungkan aspek sense, feel, think dan act dengan maksud untuk mengkaitkan
individu
dengan
apa
yang
ada
diluar
dirinya
dan
mengimplementasikan hubungan antara other people dan other social group sehingga mereka bisa merasa bangga dan diterima dikomunitasnya. Relate marketing dapat memberikan pengaruh positif dan negatif terhadap loyalitas pelanggan tetapi ketika relate marketing tidak berhasil mengkaitkan individu dengan apa yang ada diluar dirinya maka konsumen tersebut tidak akan mungkin loyal dan memberikan dampak yang negatif. Perusahaan dapat menciptakan relate antara pelanggannya dengan kontak langsung baik telepon maupun kontak fisik, diterima menjadi salah satu bagian dalam kelompok tersebut atau menjadi member sehingga membuat konsumen menjadi senang atau tidak segan untuk datang kembali. Sebaliknya bila hal tersebut tidak terjadi dalam arti konsumen merasa terabaikan, maka konsumen akan berfikir ulang untuk datang kembali. 2.1.1.5 Experience Providers Schmitt dalam Andreani (2007:4) bahwa pengalaman pelanggan dapat dilakukan melalui experience providers, yaitu: 1. Communications : iklan, public relations, laporan tahunan, brosur, newsletters dan magalogs. 2. Visual/verbal identity : nama merek, logo, signage, kendaraan sebagai transportasi. 3. Product presense : desain produk, packaging, point-of-sale displays.
15
4. Co-branding : event marketing, sponsorships, alliances & partnership (kemitraan), licencing (hak paten), iklan di TV atau bioskop. 5. Environments : retail and public spaces, trade booths, corporate buildings, interior kantor dan pabrik. 6. Web sites and electronic media : situs perusahaan, situs produk dan jasa, CDROMs, automated e-mails, online advertising, intranets. 7. People : salespeople, costumer service representatives, technical support/ repair providers (layanan perbaikan), company spokepersons, CEOs dan eksekutif terkait.
2.1.2 Loyalitas Pelanggan Gramer dan Brown (dalam Utomo 2006: 27) memberikan definisi mengenai Loyalitas konsumen, yaitu derajat sejauh mana seorang konsumen menunjukkan perilaku pembelian berulang dari suatu penyedia jasa, memiliki suatu desposisi atau kecenderungan sikap positif terhadap penyedia jasa, dan hanya mempertimbangkan untuk menggunakan penyedia jasa ini pada saat muncul kebutuhan untuk memakai jasa ini. Dari definisi yang disampaikan Gramer dan Brown, konsumen yang loyal tidak hanya seorang pembeli yang melakukan pembelian berulang, tetapi juga mempertahankan sikap positif terhadap penyedia jasa Loyalitas pelanggan sangat penting artinya bagi perusahaan yang ingin menjaga kelangsungan hidup maupun keberhasilan usahanya. Olson dalam Musanto (2004:128) menyatakan bahwa loyalitas pelanggan merupakan dorongan perilaku untuk melakukan pembelian secara berulang-ulang dan membangun kesetiaan pelanggan terhadap suatu produk/ jasa yang dihasilkan oleh badan usaha tersebut yang lama melalui prosespembelian yang berulang-ulang tersebut. Fournell dalam Margaretha (2004:297) loyalitas merupakan fungsi dari kepuasan pelanggan, rintangan pengalihan, dan keluhan pelanggan. Pelanggan yang puas akan dapat melakukan pembelian ulang pada waktu yang akan datang dan memberitahukan kepada orang lain apa yang dirasakan.
16
Beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa loyalitas pelanggan dapat didefinisikan perilaku membeli pelanggan yang loyal dengan melakukan pembelian berulang produk atau jasa secara teratur dan mereferensikan kepada orang lain. 2.1.2.1 Manfaat Loyalitas Pelanggan Griffin (2009:223) mengemukakan keuntungan-keuntungan yang akan diperoleh perusahaan apabila memiliki pelanggan yang loyal antara lain : 1. Mengurangi biaya pemasaran (karena biaya untuk menarik pelanggan baru lebih mahal). 2. Mengurangi biaya transaksi (seperti biaya negosiasi kontrak, pemrosesan pesanan, dll.). 3. Mengurangi biaya turnover pelanggan (karena pergantian pelanggan yang lebih sedikit). 4. Meningkatkan penjualan silang yang akan memperbesar pangsa pasar perusahaan. 5. Word of mouth yang lebih positif dengan asumsi bahwa pelanggan yang loyal juga berarti yang merasa puas.
2.1.2.2 Faktor Pembentuk Loyalitas Pelanggan Swastha dan Handoko (dalam Joko Riyadi, 2004: 83) menyebutkan lima faktor utama yang mempengaruhi loyalitas konsumen, sebagai berikut : 1. Kualitas Produk, kualitas produk yang baik secara langsung akan mempengaruhi tingkat kepuasan konsumen, dan bila hal tersebut berlangsung secara terus-menerus akan mengakibatkan konsumen yang selalu setia membeli atau menggunakan produk tersebut dan disebut loyalitas konsumen. 2. Kualitas Pelayanan, selain kualitas produk ada hal lain yang mempengaruhi loyalitas konsumen yaitu kualitas pelayanan.
17
3. Emosional, emosional di sini lebih diartikan sebagai keyakinan penjual itu sendiri agar lebih maju dalam usahanya. Keyakinan tersebut nantinya akan mendatangkan ide-ide yang dapat meningkatkan usahanya. 4. Harga, sudah pasti orang menginginkan barang yang bagus dengan harga yang lebih murah atau bersaing. Jadi harga di sini lebih diartikan sebagai akibat,atau dengan kata lain harga yang tinggi adalah akibat dari kualitas produk tersebut yang bagus, atau harga yang tinggi sebagi akibat dari kualitas pelayanan yang bagus. 5. Biaya, orang berpikir bahwa perusahaan yang berani mengeluarkan biaya yang banyak dalam sebuah promosi atau produksi pasti produk yang akan dihasilkan akan bagus dan berkualitas, sehingga konsumen lebih loyal terhadap produk tersebut.
2.1.2.3 Indikator Loyalitas Pelanggan Menurut Griffin dalam Tjiptono (2009:116), indikator loyalitas pelanggan banyak dikaitkan dengan perilaku (behavior) daripada dengan sikap. Pelanggan yang loyal adalah : 1. Melakukan pembelian ulang (makes regular repeat purchases). 2. Membeli produk lain dari produsen yang sama (purchase across product and service line). 3. Merekomendasikan kepada orang lain (refers other). 4. Menunjukkan kekebalan dari daya tarik produk sejenis dari pesaing (demonstrates an immunity to the full of the competition).
2.1.2.4 Jenis-jenis Loyalitas Pelanggan Tipe-tipe loyalitas pelanggan menurut Dick dan Basu dalam Tjiptono (2009:110) diantaranya adalah : 1. No Loyalty Bila sikap dan perilaku pembelian ulang pelanggan sama-sama lemah, maka loyalitas tidak terbentuk. Ada dua penyebabnya, yang pertama sikap yang
18
lemah (mendekati netral) dapat terjadi bila suatu produk atau jasa baru diperkenalkan
atau
perusahaan
tidak
mampu
mengkomunikasikan
keunggulan unit produknya. Penyebab kedua berkaitan dengan dinamika pasar, dimana merek-merek yang berkompetisi dipersepsikan serupa atau sama. 2. Sparious Loyalty Bila sikap yang relatif lemah disertai pola pembelian ulang yang kuat, maka yang terjadi adalah sparious loyalty. Situasi semacam ini ditandai dengan pengaruh faktor non sikap terhadap perilaku, misalnya faktor situasional. Situasi ini dapat dikatakan pula inertia, dimana konsumen sulit membedakan berbagai merek dalam kategori produk dengan tingkat keterlibatan rendah, sehingga pembelian ulang dilakukan atas dasar pertimbangan situasional, seperti familiarity (penempatan produk yang strategis pada rak pajangan atau lokasi di persimpangan jalan yang ramai. 3. Latent Loyalty Situasi latent loyalty tercermin bila sikap yang kuat disertai pola pembelian ulang yang lemah. Situasi yang menjadi perhatian besar para pemasar ini disebabkan pengaruh faktor-faktor non sikap yang sama kuat atau bahkan cenderung lebih kuat daripada faktor sikap dalam menentukan pembelian ulang. Contohnya, seseorang yang bersikap positif terhadap restoran tertentu, namun tetap saja mencari variasi karena pertimbangan harga atau preferensi terhadap berbagai variasi makanan 4. Loyalty Situasi ini merupakan situasi ideal yang paling diharapkan para pemasar, dimana konsumen bersikap positif terhadap produk atau produsen (penyedia jasa) dan disertai pola pembelian ulang yang konsisten.
19
2.1.2.5 Tahap-tahap Pertumbuhan Loyalitas Pelanggan Griffin (2009:35) ada tujuh tahap pertumbuhan seseorang menjadi yang loyal, yaitu : 1. Seseorang yang mempunyai kemungkinan pembeli (Suspect) Setiap orang mempunyai kemungkinan untuk membeli produk atau jasa yang dihasilkan. 2. Seseorang mempunyai potensi untuk menjadi pelanggan (Prospect) Seseorang yang telah mempunyai kebutuhan akan barang dan mempunyai kebutuhan untuk membeli dari perusahaan dan telah ada seseorang yang merekomendasikan tentang perusahaan, membaca tentang perusahaan, prospect mungkin tahu siapa perusahaan, dan apa yang perusahaan jual tapi masih belum membeli dari perusahaan. 3. Seseorang yang mempunyai potensi yang tidak jadi menjadi pelanggan (Disqualifed) Prospect
yang telah cukup perusahaan pelajari dan mereka tidak
membutuhkan atau tidak mempunyai kemampuan untuk membeli produk perusahaan. 4. Pelanggan baru (First Time Customer) Mereka yang baru pertama kali membeli dari perusahaan. Mereka mungkin pelanggan perusahaan tapi masih menjadi pelanggan pesaing perusahaan. 5. Pelanggan yang melakukan pembelian berulang (Repeat Customer) Mereka yang pertama kali membeli dari perusahaan dua kali atau lebih, mereka mungkin telah membeli produk yang sama atau membeli dua produk yang berbeda dalam dua kali atau lebih kesempatan. 6. Mitra (Client) Seorang klien membeli semua yang perusahaan jual mungkin dapat ia gunakan. Orang ini membeli secara regular. Perusahaan harus terus berusaha menciptakan hubungan yang akan membuat dia tidak tertarik pada pesaing.
20
7. Pelanggan yang memajukan (Advocate) Seperti mitra, seorang advocate membeli semua yang perusahaan jual yang mungkin dapat dia gunakan dan beli secara regular. Tambahannya seorang advocate akan berusaha menjadi orang lain untuk membeli dari perusahaan. Seorang advocate berbicara dengan perusahaan, melakukan pemasaran untuk perusahaan dan membawa pelanggan kepada perusahaan. 2.1.2.6 Tingkatan Loyalitas Aaker dalam Margaretha (2004:297) berpendapat bahwa loyalitas sebagai suatu perilaku yang diharapkan atas suatu produk atau layanan yang antara lain meliputi kemugkinan pembelian lebih lanjut atau perubahan perjanjian layanan, atau sebaliknya seberapa besar kemugkinan pelanggan beralih kepada merek lain atau penyedia layanan lain. Lebih lanjut menyatakan bahwa terdapat lima tingkat loyalitas pelanggan, yaitu : 1. Pembeli harga Pembeli sama sekali tidak tertarik pada produk yang bersangkutan, produk apapun yang ditawarkan dianggap memadai, sehingga produk yang ada memainkan peran yang kecil dalam suatu keputusan pembelian. 2. Konsumen yang loyal dengan biaya peralihan Mereka adalah konsumen yang puas, tapi mereka memikul biaya peralihan (switching cost) dan risiko bila beralih ke produk lain. Untuk dapat meraih konsumen tipe ini, perusahaan harus menawarkan manfaat lebih untuk kompensasi dengan menawarkan garansi. 3. Pembeli kebiasaan Pembeli yang puas atau tidak puas terhadap suatu produk meskipun tidak puas, pembeli cenderung tidak berganti produk jika pergantian produk tersebut ternyata membutuhkan usaha. Biasanya pembeli tipe ini sulit untuk dirangkul karena tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk memperhitungkan berbagai alternatif produk.
21
4. Pembeli apresiasi Konsumen yang sungguh-sungguh menyukai produk tersebut, preferensi mereka didasari serangkaian pengalaman atau kesan dengan kualitas tinggi yang pernah dialaminya. Hanya saja, rasa suka ini bisa merupakan perasaan umum yang tidak bisa diidentifikasikan dengan cermat karena pemasar belum dapat mengkategorikan secara lebih spesifik konsumen loyalitas terhadap produk. 5. Konsumen yang setia Konsumen pada tipe ini merupakan konsumen yang setia dan yang bangga terhadap produk yang dipilihnya. Produk ini sangat penting bagi konsumen baik dari segi fungsi maupun dari ekpresi gaya hidup mereka. Rasa percaya diri mereka termanifestasikan pada tindakan merekomendasikan produk ke konsumen lain. pada tipe ini cenderung setia dan tidak berpindah ke produk lain. 2.2
Hubungan Experiential Marketing Dengan Loyalitas Konsumen Loyalitas pelanggan merupakan dorongan perilaku untuk melakukan
pembelian secara berulang-ulang dan membangun kesetiaan pelanggan terhadap suatu produk/ jasa yang dihasilkan oleh badan usaha tersebut membutuhkan waktu yang lama melalui proses pembelian yang berulang-ulang tersebut. Schmitt dalam Kustini (2007:47) experiential marketing merupakan cara untuk membuat pelanggan menciptakan pengalaman melalui panca indera (sense), menciptakan pengalaman afektif (feel), menciptakan pengalaman berpikir secara kreatif (think), menciptakan pengalaman pelanggan yang berhubungan dengan tubuh secara fisik, dengan perilaku dan gaya hidup serta dengan pengalamanpengalaman sebagai hasil dari interaksi dengan orang lain (act). Band dalam Musanto (2004:125) menujukkan loyalitas pelanggan atas kepuasan yang diharapkan merupakan suatu tingkatan dimana kebutuhan, keinginan dan harapan dari pelanggan yang terpenuhi yang akan mengakibatkan terjadinya pembelian ulang atau kesetiaan yang berlanjut.
22
Schmitt menunjukkan beberapa manfaat yang dapat diterima dan dirasakan apabila badan usaha menerapkan experiential marketing meliputi membangkitkan kembali merek yang sedang merosot, membedakan satu produk dengan produk pesaing, menciptakan citra dan identitas sebuah badan usaha, mempromosikan inovasi dan untuk memperkenalkan percobaan, pembelian dan yang paling penting adalah loyalitas. Dengan demikian experiential marketing memiliki hubungan dalam menciptakan loyalitas konsumen.
2.3
Penelitian Terdahulu Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No. 1.
Nama Peneliti Yulira Putri (2013)
Hasil
Judul Penelitian Pengaruh Experiential Hubungan Marketing Loyalitas Pada Experiential Padang
amtara
Terhadap experiental marketing Konsumen dengan loyalitas konsumen Samsung Shop
menunjukan bahwa 5,5 % loyalitas konsumen untuk berbelanja
ke
Samsung
Experiential Shop Padang di
pengaruhi
experiential
oleh
marketing
seperti think, feel, sense, act dan relate sisanya 94,5 % dipengaruhi oleh faktor lain,
yaitu
yang loyalitas marketing
faktor-faktor mempengaruhi
lainnya
seperti
mix
ritel
(merchendice atau barang
23
dagang,
price,
location,
custumer service, selling, store
layout,
design,
promosi),
perilaku
konsumen
(pribadi,
psikologi, sosial, budaya), exsternal
environment
(politik, teknologi,
ekonomi, budaya)
dan
kepuasan konsumen. 2.
Januar (2013)
dan
Diah Analisa
pengaruh Experiential
marketing
experiential marketing seperti sense experience, terhadap loyalitas feel experience, think konsumen
melalui
kepuasan
sebagai
intervening variabel di tator
cafe
town square
surabaya
experience,
dan
experience
berpengaruh
signifikan
relate
terhadap
kepuasan konsumen dan loyalitas konsumen tator cafe surabaya town square, sedangkan act experience tidak
berpengaruh
signifikan
terhadap
kepuasan konsumen dan loyalitas konsumen tator cafe surabaya town square, adapun
hasil
menunjukkan
lain bahwa
kepuasan konsumen tator cafe surabaya town square berpengaruh terhadap
signifikan loyalitas
24
konsumen
tator
cafe
surabaya town square 3.
Titik
dan
kholid Pengaruh
(2014)
Ekuitas Penelitian
Merek
menunjukkan
Loyalitas
Terhadap bahwa variablekesadaran Nasabah merek (X1), asosiasi merek
Tabungan
Simpedes
Pada
Bank
Rakyat
Indonesia
Unit
Purwosari
Kabupaten
(X2), persepsi kualitas (X3) dan
loyalitas
(X4)secara
nasabah simultan
berpengaruh
Pasuruan
secara
signifikan
terhadap
loyalitas nasabah (Y). Dan dari hasil uji t diketahui bahwa
secara
parsial,
variabel kesadaran merek (X1), dan loyalitas merek (X4) mempunyai pengaruh signifikan loyalitas
terhadap nasabah
Sedangkan
(Y).
variabel
asosiasi merek (X2) dan persepsi kualitas (X3) tidak berpengaruh
signifikan
terhadap loyalitas nasabah (Y) 4.
Surliyadin (2013)
Penerapan
pemasaran Hasil
penelitian
pengalaman menunjukan Ekuitas Merek berbasis
pengaruh
berbasis dan dalam
menciptakan
kepercayaan pelanggan pada J.Co Donut & Coffee
pemasaran
pengalaman dan
ekuitas
merek secara bersamaan untuk
kepercayaan
25
pelanggan adalah 62,3% dan
sisanya
dipengaruhi lain.
37,7%
oleh
Dengan
demikian
diverifikatif signifikan
faktor
pengaruh merek
ke
kepercayaan pelanggan. 5.
Risky
Nurhayati Pengaruh
(2011)
Produk
Kualitas Secara dan
Terhadap
parsial
produk
Harga berpengaruh dengan harga Loyalitas terhadap loyalitas
Pelanggan (Studi pada Mahasiswa Universitas
pelanggan
handphone
merek nokia.
Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta Jurusan Administrasi angkatan
Ilmu Bisnis 2009
Pengguna Handphone Merek Nokia). 6.
Nadia
Hanum Price, Service Quality, Di
Amiruddin (2013)
antara
kualitas
and Customer Loyalty : pelayanan dan harga, faktor A Case of Air Asia hargalah yang
mempengaruhi
loyalitas
konsumen dari Air Asia, bila harga yang ditetapkan rendah, maka konsumen akan
semakin
loyal,
sedangkan
kualitas
pelayanan
mempunyai
pengaruh dari harga pada loyalitas
26
7.
Amir Hoortamani, Studying
Impact
of Harga
mempunyai
Azarnoosh
Ansari Price Satisfaction on pengaruh yang sangat kuat Mohtaram Loyalty : a Case of pada loyalitas konsumen,
dan
Akbari (2013)
Study
in
Electric
Generating
Plant
bahkan menjadi salah satu faktor terpentingnya.
Snowa 8.
Muhammad Khalilur
Exploring
Factors Strategi
Rahman Infliencing
dan Md. Abdul Jalil Loyalty (2014)
harga
sangat
Customer berpengaruh pada loyalitas : An di industri hypermarket, hal
Empericial Study on Malaysian
ini sejalan pula dengan kualitas
Hypermarket
pelayanan
dan
kualitas produk yang dijual
Perspective
berpengaruh
kuat
dan
positif terhadap loyalitas 9.
Ren-Fang (2015)
Chao The
Impact
of Experiential
Marketing
berpengaruh
Terhadap
Experimental Marketing
on Loyalitas Pelanggan yang Customer Loyalty for
dimediasi
Fitness Clubs: Using Brand
Image
Satisfaction
oleh
Brand
Image dan Kepuasan
and
as
the
Mediating Variables 10.
Cristiane Vasconcelos Aronne,
The
Impact
of Experiential
Marketing
Experiential Marketing berpengaruh Maria on the Customer’s Loyalitas
Terhadap
Celeste Reis Lobo Perception of a de
nasabah
berdasarkan esensi merek
Vasconcelos Brand’s Essence
(2009)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penyusun skripsi yang berjudul “Pengaruh Experiential Marketing Terhadap Loyalitas Pelanggan Warung Nasi Ibu Imas”, penelitian ini adalah hasil sendiri (originalitas), tidak
27
mengadopsi, menjiplak, atau mencontek dari hasil penelitian terdahulu. Dengan kata lain, skripsi yang penulis buat adalah hasil pemikiran. 2.4
Kerangka Pemikiran dan Paradigma Penelitian Tidak seperti dalam pemasaran tradisional bahwa perusahaan dapat
mendapatkan keunggulan bersaing bila mampu memuaskan pelanggan melalui pelayanan yang bermutu. Warung nasi Ibu Imas secara langsung telah menerapkan konsep experiential marketing, dengan memberikan kesan bagi para pelanggannya, dengan panca indera (sense) yang dirasakannya baik menu makanan maupun suasana, menciptakan pengalaman afektif (feel) yang dirasakan oleh pelanggan, menciptakan pengalaman berpikir secara kreatif (think) seperti pengalaman yang dirasakan selama melakukan kunjungan. Hal ini dilakukan perusahaan untuk bersaing dengan menciptakan pengalaman yang memuaskan, dan perusahaan harus memadukan elemen dasar experiential marketing untuk mendeteksi proses pembelian oleh konsumen. Pengalaman pelanggan bersifat pribadi dan menyiratkan keterlibatan pelanggan pada tingkat yang berbeda dalam aspek rasional, emosional, sensorik, fisik, dan spiritualnya. Pengalaman pelanggan setelah melakukan kunjungan ke warung nasi Ibu Imas merupakan respon internal dan subjektif dari para pelanggan setelah melakukan kontak langsung atau tidak langsung dengan menu makanan dan suasana warung nasi tersebut. Kontak langsung umumnya dimulai oleh pelanggan dan terjadi dalam proses pembelian, atau dalam proses sedang menikmati layanan. Dengan demikian hal tersebut menjadi kesan bagi konsumen untuk menjadi loyal pada Warung nasi Ibu Imas.
28
Kerangka penelitian dan paradigm penelitian dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Experiential marketing
Loyalitas pelanggan Gambar 2.2 Paradigma Penelitian
(X)
(Y)
Experiential Marketing
Loyalitas
-
Panca Indera (Sense)
-
Perasaan (Feel)
-
Berpikir (Think)
-
Tindakan (Act)
-
Hubungan (Releated)
-
Melakukan
Pembelian
Secara
Teratur -
Tidak Terpengaruh Oleh Produk Lain
-
Merekomendasikan Produk/Jasa Ke Orang Lain
-
Pandangan
Positif
Terhadap
Produk/Jasa
2.5
Hipotesis Penelitian ini menggunakan konsep Schmitt untuk mengukur experiential
marketing modules yang terdiri dari sense (panca indera), feel (perasaan), think (berfikir), act (tindakan), dan relate (hubungan). Hipotesis dalam penelitian ini ditetapkan sebagai berikut : Ho :
experiential marketing tidak memberikan pengaruh terhadap loyalitas pelanggan
Ha :
experiential marketing berpengaruh terhadap loyalitas pelanggan