BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Mekanika proses pemotongan logam membutuhkan parameter yang melibatkan kondisi pemotongan dan geometri serta kemampuan pahat potong. Semakin besar kecepatan potong semakin besar pula konsumsi tenaga mesinnya. Penampang serpihan dalam proses pemotongan besarnya tergantung kepada gerak makan (mm/put) atau dalam/tebalnya kedalaman potong (mm). Dalam proses pemesinan, untuk mencapai kondisi pemotongan yang optimal dan stabil sangat perlu diperhatikan adanya kombinasi besaran laju pemotongan, gerak makan, dan kedalaman pemotongan yang sangat erat kaitannya terhadap umur pahat serta kualitas permukaan bahan termesin (Rochim, 1993).
2.1. Proses Pemotongan dengan Bubut Proses pemotongan logam merupakan kegiatan terbesar yang dilakukan pada industri manufaktur, proses ini mampu menghasilkan komponen yang memiliki bentuk yang komplek dengan akurasi geometri dan dimensi tinggi. Prinsip pemotongan logam dapat defenisikan sebagai sebuah aksi dari sebuah alat potong yang dikontakkan dengan sebuah benda kerja untuk membuang permukaan benda kerja tersebut dalam bentuk geram. Meskipun definisinya sederhana akan tetapi proses pemotongan logam adalah sangat komplek (Rochim, 1993).
6 Universitas Sumatera Utara
7
Salah satu proses pemesinan yang digunakan pada pemotongan logam adalah proses bubut. Proses ini bertujuan untuk membuang material dimana benda kerja dicekam menggunakan sebuah chuck atau pencekam dan berputar pada sebuah sumbu, alat potong bergerak arah aksial dan radial terhadap benda kerja sehingga terjadi pemotongan dan menghasilkan permukaan yang konsentris dengan sumbu putar benda kerja. Gambar 2.1 adalah skematis dari sebuah proses bubut dimana n adalah putaran poros utama, f adalah gerak makan, dan a adalah kedalaman potong. Bagian-bagian serta penamaan (nomenclature) dari alat potong yang digunakan pada proses bubut dijelaskan pada Gambar 2.2. Radius pahat potong menghubungkan sisi dengan ujung potong (cutting edge) dan berpengaruh terhadap umur pahat, gaya radial, dan permukaan akhir (Rochim, 1993). .
a n
f
Gambar 2.1. Skematis Proses Bubut
Universitas Sumatera Utara
8
(a) (b) Gambar 2.2. Bagian-Bagian serta Penamaan (nomenclature) (a) Pahat Potong
(b) Tool Holder
Ada tiga parameter utama yang berpengaruh terhadap kondisi pemotongan, peningkatan panas, keausan, dan integritas permukaan benda kerja yang dihasilkan. Ketiga parameter itu adalah laju pemotongan (v), gerak makan (f), dan kedalaman potong (a). Laju pemotongan adalah kecepatan keliling benda kerja dengan satuan (m/min), laju pemakanan adalah perpindahan atau jarak tempuh pahat tiap satu putaran benda kerja dengan satuan (mm/put), kedalaman potong adalah tebal material terbuang pada arah radial dengan satuan (mm) (Rochim, 1993). Menurut Rochim (1993) pada setiap proses pemesinan ada empat elemen dasar yang perlu dipahami, yaitu: a. Laju pemotongan (cutting speed )
: v (m/min)
b. Kecepatan makan (feeding speed)
: v f (mm/min)
c. Waktu pemotongan (cutting time)
: t c (min)
d. Kecepatan penghasilan geram
: Z (cm3/min)
Universitas Sumatera Utara
9
Keempat elemen dasar tersebut diatas dapat diketahui menggunakan rumus yang dapat diturunkan berdasarkan Gambar 2.3:
Pahat Sumber: Taufiq Rochim (1993)
Keterangan gambar: d o = Diameter Awal Benda Kerja (mm) d m = Diameter Akhir Benda Kerja (mm) l t = Panjang Pemesinan (mm)
κ r = Sudut Potong Utama (o) γ o = Sudut Geram (o) h = Tebal Geram Sebelum Terpotong (mm) h c = Tebal Geram (mm) a = Kedalaman Potong (mm) b = Lebar Pemotongan (mm) f = Gerak Makan (mm/put) v f = Laju Pemakanan (mm/min) Gambar 2.3. Proses Bubut
Universitas Sumatera Utara
10
2.2.
Kondisi Pemotongan
2.2.1. Kedalaman Potong Menurut Rochim (1993) kedalaman potong ditentukan oleh nilai minimum dan maksimum yaitu dengan persamaan: Untuk kedalaman potong minimum (a min ) adalah: a min = r c (mm)
.... ........................................................ (2.1)
dan kedalaman potong maksimum (a maks ) adalah: a maks = 0,7× S × sin κ r (mm) ............................................. (2.2) dimana: r c = Radius Ujung (mm) S = Panjang Sisi Pahat (mm)
κ r = sudut potong utama (o) Sudut potong utama (principal cutting edge angle/κ r ) adalah sudut antara mata potong utama pahat dengan kecepatan makan (v f ), besarnya sudut tersebut ditentukan oleh geometri pahat dan cara pemasangan pada mesin bubut. Untuk nilai laju pemakanan (f) dan kedalaman potong (a) yang tetap maka sudut ini akan mempengaruhi lebar pemotongan (b) dan tebal geram sebelum terpotong (h) sebagai berikut: Lebar pemotongan:
b=
a Sin κ r
(mm) ………….………….. (2.3)
Tebal geram sebelum terpotong:
h=
f Sin κ r
(mm) ................................. (2.4)
Universitas Sumatera Utara
11
Dengan demikian penampang geram sebelum terpotong adalah: A = f × a = b × h (mm) .................................................... (2.5) 2.2.2. Laju pemotongan (v) Untuk memperoleh putaran mesin atau kecepatan potong digunakan persamaan sebagai berikut: n=
1000 × v (rpm) ........................................................... (2.6) π×d
dimana: v = laju pemotongan (m/min) d = dimeter benda kerja (mm) n = putaran spindel (rpm) 2.2.3. Gerak Makan (f) Untuk proses penghalusan permukaan, gerak makan (f), ditetapkan sesuai dengan kehalusan permukaan produk yang dikehendaki. Hubungan antara kekasaran permukaan, radius ujung pahat, dan gerak makan secara empiris adalah sebagai berikut (Dawson dan Kurfess, 2004): 0.0321× f Ra= rc
2
(μm) ...................................................... (2.7)
Atau f =
rc × Ra (mm/put) .................................................... (2.8) 0,0321
dimana: f = Gerak Makan (mm/put) R a = Parameter Kekasaran Permukaan (μm)
Universitas Sumatera Utara
12
r c = Radius Ujung Pahat 0,2 (mm) Kecepatan makan: v f = f × n (mm/min) .............................................................. (2.9) Waktu pemotongan: t c =
lt (min) ………………….………………………. (2.10) vf
Kecepatan penghasilan geram: Z = A × v (cm3/min) …………………….……. (2.11) Dimana: A = penampang geram sebelum terpotong A=
f × a (mm2) ............................................................. (2.12)
Maka: Z = v × f × a (cm3/min) ......................................................................... (2.13)
2.3. Metalurgi Sub-Permukaan Metalurgi permukaan adalah suatu kegiatan yang mencakup pemeriksaan terhadap perubahan kekerasan mikro (microhardness alteration), perubahan struktur mikro (microstructure alteration), dan pembentukan lapisan putih (white layer). 2.3.1. Perubahan Struktur Mikro (Microstructure) Struktur mikro adalah konfigurasi distribusi fasa untuk suatu komposisi tertentu. Struktur mikro dari suatu logam dapat berubah oleh karena proses perlakuan panas yang terjadi pada material tersebut. Salah satu contoh perlakuan panas yang dapat dialami oleh sebuah material adalah melalui proses permesinan (machining) (Gandjar Kiswanto, dkk., 2005). Dimana proses perlakuan panas yang terjadi yaitu pada saat kecepatan potong yang tinggi dilanjuti dengan pendinginan udara. Perlakuan panas (heat treatment) dapat digunakan untuk mengatur ukuran butir dan meningkatkan sifat mekanik material (Anderson, 2003). Definisi perlakuan panas
Universitas Sumatera Utara
adalah pengubahan struktur mikro, dengan memberikan pemanasan dan mengatur
13
laju pendinginan sehingga diperoleh struktur mikro yang diinginkan. Yang tidak berubah pada proses perlakuan panas ini adalah komposisi bahan. Contoh proses perlakuan panas adalah full anealling, normalizing, dan tempering. Pada full anealling dan normalizing baja karbon, semakin cepat laju pendinginan, semakin kecil butir yang terjadi (Callister Jr, 2007). Full annealing adalah pemanasan baja ke temperatur 300C diatas garis A3 atau A1 (tergantung pada kandungan karbon), ditahan pada temperatur tersebut untuk mendapatkan fasa secara lambat pada tungku. Hasil untuk baja hypoeutectoid adalah perubahan fasa dari austenit ke perlit lamellar kasar (butir besar) yang lunak, bebas tegangan, dan ferit yang halus. Pada Gambar 2.4 adalah gambar diagram yang menunjukkan perubahan fasa antara ferit dan sementit (Fe-Fe 3 C). Untuk diagram perubahan fasa antara ferit dan sementit
(Fe-Fe 3 C)
terdiri
3
jenis
baja
diantaranya:
baja
hypoeutectoid,
hypereutectoid dan cast iron. Perubahan fasa yang terjadi pada ketiga jenis baja dapat ditunjukkan dengan perubahan struktur mikro yang dimulai dari ferit, perlit dan sementit. Perubahan struktur mikro yang terjadi diakibatkan oleh karena beberapa faktor diantaranya: faktor kadar karbon yang dikandung, dan tingkat laju pendinginan yang diberikan pada ketiga jenis baja tersebut. Tingkat laju pendinginan yang diberikan pada ketiga jenis baja sangat dipengaruhi oleh media pendinginan yang diberikan setelah proses perlakuan panas (heat treatment). Media pendinginan yang diberikan berupa: udara, oli, air, dsb.
Universitas Sumatera Utara
14
Sumber: R.E.Smallman dan R.J. Bishop (2000)
Gambar 2.4. Diagram Near Equilibrium Ferrite-Cementid (Fe-Fe 3 C) Struktur mikro Ferit ialah suatu komposisi logam yang mempunyai batas maksimum kelarutan Carbon 0,025% C pada temperatur 7230 C, struktur kristalnya BCC (Body Center Cubic) dan pada temperatur kamar mempunyai batas kelarutan karbon 0,008% C. Austenit ialah suatu larutan padat yang mempunyai batas maksimum kelarutan Carbon 2% C pada temperatur 11300 C, struktur kristalnya FCC (Face Center Cubic). Sementit ialah suatu senyawa yang terdiri dari unsur Fe dan C
Universitas Sumatera Utara
15
dengan perbandingan tertentu (mempunyai rumus empiris) dan struktur kristalnya Orthohombic. Lediburit ialah campuran Eutectik antara besi gamma dengan sementit yang dibentuk pada temperatur 11300 C dengan kandungan karbon 4,3% C. Bainit adalah agrerat dari ferit dan sementit (Fe 3 C) terbentuk pada kecepatan pendinginan sedang dimana pada kondisi ini karbon sulit berdifusi kedalam fasa austenit. Kata pelunakan (annealing) saja jika digunakan pada paduan besi (Fe) menunjukkan proses full anneal. Jika digunakan pada paduan non besi kata pelunakan (annealing) menyatakan perlakuan panas yang dirancang untuk melunakkan struktur hasil pengerjaan dingin dengan rekristalisasi dan atau kemudian pertumbuhan butir. Pada Gambar 2.5 menunjukkan diagram TTT untuk jenis baja hypoeutectoid, dimana garis ordinat menunjukkan temperatur sedangkan garis absis menunjukkan waktu. Melalui diagram TTT ini, dapat diketahui kapan transformasi austenit dimulai serta waktu yang dibutuhkan untuk membentuk austenit sempurna. Untuk mencapai martensit, kecepatan turunnya suhu dapat relatif dipercepat dengan menggunakkan media pendingin air. Seiring dengan turunnya suhu, pembentukan mendekati seratus persen martensit. Terbentuknya struktur mikro bainit dengan kecepatan suhu yang relatif lambat yaitu dengan menggunakan media pendinginan udara. Dimana media pendinginan udara diberikan secara alam, sehingga lamanya untuk dingin membutuhkan waktu yang lambat.
Universitas Sumatera Utara
16
Sumber: R.E.Smallman dan R.J. Bishop (2000)
Gambar 2.5. Diagram TTT Untuk Baja Hypoeutectoid 2.3.2. Perubahan Kekerasan Mikro (Microhardness) Pengertian pengerasan ialah perlakuan panas terhadap baja dengan sasaran meningkatkan kekerasan alami baja. Perlakuan panas menuntut pemanasan benda kerja menuju suhu pengerasan dan pendinginan secara cepat dengan kecepatan pendinginan kritis. Faktor penting yang dapat mempengaruhi proses hardening terhadap kekerasan baja yaitu oksidasi oksigen udara. Selain berpengaruh terhadap besi, oksigen udara berpengaruh terhadap karbon yang terikat sebagai sementit atau yang larut dalam austenit. Oleh karena itu pada benda kerja dapat berbentuk lapisan oksidasi selama proses hardening. Pencegahan kontak dengan udara selama pemanasan atau
Universitas Sumatera Utara
17
hardening dapat dilakukan dengan jalan menambah temperatur yang tinggi karena bahan yang terdapat dalam baja akan bertambah kuat terhadap oksigen. Jadi, semakin tinggi temperatur, semakin mudah untuk melindungi besi terhadap oksidasi. Bila bentuk benda tidak teratur, benda harus dipanaskan perlahan-lahan agar tidak mengalami distorsi atau retak. Makin besar potongan benda, makin lama waktu yang diperlukan untuk memperoleh hasil pemanasan yang merata. Pada perlakuan panas ini, panas merambat dari luar kedalam dengan kecepatan tertentu. Bila pemanasan terlalu cepat, bagian luar akan jauh lebih panas dari bagian dalam sehingga dapat diperoleh struktur yang merata. Benda dengan ukuran yang lebih besar pada umumnya menghasilkan permukaan yang kurang keras meskipun kondisi perlakuan panas tetap sama. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya panas yang merambat di permukaan. Oleh karena itu kekerasan dibagian dalam akan lebih rendah daripada bagian luar. Melalui perlakuan panas yang tepat, tegangan dalam dapat dihilangkan, besar butir diperbesar atau diperkecil, ketangguhan ditingkatkan atau permukaan yang keras disekeliling inti yang ulet. Karena memerlukan waktu yang lama dan mahal, dalam beberapa kasus full annealing diganti dengan normalizing. Pada normalizing, pendinginan dilakukan di udara (laju pendinginan lebih cepat dibandingkan ditungku) dan menghasilkan struktur perlit yang halus. Baja di normalizing untuk mendapatkan kekerasan dan kekuatan yang lebih besar dibanding jika dengan full annealing.
Universitas Sumatera Utara
18
Tempering pada baja dilakukan dengan memanaskannya pada temperatur sedikit 7230 C. Perlakuan panas ini umumnya dilakukan setelah proses celup cepat (quenching). Tujuan dari tempering adalah untuk mendapatkan baja yang lebih tangguh (tough) dan juga liat (ductile) tanpa banyak mengurangi kekuatan (strength). Perlakuan panas dengan pendinginan cepat mengakibatkan terbentuknya martensit, martensit hasil pendinginan cepat akan meningkatkan kekerasan yang lebih baik, untuk mendapat martensite 100% dibutuhkan pendinginan lebih besar dari pendinginan kritis austenit (Smallman dan Bishop, 2000). Apabila austenit didinginkan dengan cepat akan terbentuk martensit, martensit mempunyai struktur non kubik dan karena karbon terperangkat dalam kisi, tidak mudah menjadi slip. Oleh karena itu martensit bersifat keras, kuat dan rapuh (Smallman dan Bishop, 2000). Pengujian kekerasan dimaksudkan untuk mendapatkan data perubahan kekerasan dari bahan akibat adanya pemesinan. Pengujian dilakukan dengan mesin uji keras (Vickers Hardness Testing Machine) dengan cara melakukan penekanan pada sampel menggunakan penekan berbentuk piramida intan yang dasarnya bujur sangkar. Besarnya sudut puncak identor piramida intan 1360. Besarnya angka kekerasan dihitung berdasarkan persamaan: HVN = 1854,4 × P/d2 (kg/mm2) ……………………………… (2.13) Dimana: HVN : Angka Kekerasan Vickers (Hardness Vickers Number ) P
: Beban yang digunakan (kg)
d
: Diagonal Identasi (mm)
Universitas Sumatera Utara
19
2.3.3. Pembentukan Lapisan Putih (White Layer) Pembentukan lapisan putih (white layer) terbentuk oleh karena hasil dari pemanasan yang sangat tinggi (suhu kisaran austentik) kemudian disertai oleh
deformasi
yang
kuat
(cacat
kisi),
dan
diikuti
dengan
langsung
pendinginan, biasanya untuk suhu kamar. Dalam area lapisan putih ini, bahan ini biasanya dianggap sebagai martensit nanokristalin. Pembentukan lapisan putih menghasilkan kekerasan yang sangat tinggi juga (diatas 1000 HV) dan kerapuhan yang sangat tinggi juga (Pacyna et. al., 2005) Pada Gambar 2.6 dijelaskan bahwa lapisan putih mudah dapat terbentuk dan tetap stabil di permukaan yang terbuat dari baja hypoeutectoid. Hal ini jarang dibentuk pada baja dengan bantuan normalisasi dan stress anil, sehingga memiliki struktur perlit (Pacyna et. al., 2005). Hasil dari kerentanan tinggi roll seperti memakai perekat yang dihasilkan dari pembentukan materi yang mencuat ke permukaan. Lapisan putih namun mungkin masih hadir di bawah lapisan tersebut. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.7. Namun, sementit hypereutectoid di hypereutectoid cor baja dan tambahan, diubah ledeburite dalam karbon yang tinggi paduan baja cor sangat rendah kerentanan terhadap lapisan putih pembentukan dan stabilisasi pada permukaan roll. Ini dapat dianggap sebagai hasil dari koefisien gesekan lebih rendah antara bahan digulung dan bahan-bahan
roll
sebagai
serta
kerentanan
mereka
terhadap
permukaan
Universitas Sumatera Utara
20
yang pakai. Namun, lapisan putih yang terbentuk pada permukaan ini bahan masih dapat diamati. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.8.
Sumber: Pacyna et.al (2005)
Gambar 2.6. Lapisan Putih yang Etsa Pada Permukaan Baja Hardened dan Tempering dengan Nital 2%
Sumber: Pacyna et.al (2005)
Universitas Sumatera Utara
21
Gambar 2.7. Lapisan Putih yang Etsa Pada Permukaan Baja Normalized dengan Nital 2%
Sumber: Pacyna et.al (2005)
Gambar 2.8. Lapisan Putih yang Etsa pada Permukaan Baja Cor Adamite dengan berubah menjadi Ledeburite dengan Nital 2% Untuk membatasi munculnya pembentukan lapisan putih maka dapat dilakukan dengan
cara
mendistribusi
secara
merata
presipitat
dari
sekunder
sementit. Dimana ketika endapan dari sementit sekunder secara seragam terdistribusi dipaduan
mikro,
atau
ketika
hanya
presipitat
dari
ditransformasikan
ledeburit hadir dalam matriks paduan, maka lapisan putih dapat dengan mudah berbentuk dalam daerah bebas dari konstituen struktural yang ditentukan (B. Zhang, 1997). Untuk menghindari konsekuensi dari pembentukan lapisan putih pada permukaan (seperti untuk nukleasi retak misalnya), perlu untuk keseragaman dalam
Universitas Sumatera Utara
22
hal mendistribusikan presipitat dari sementit sekunder pada materi struktur. Baja cor hypereutectoid berpotensi sangat menarik dari hal ini distribusi yang seragam dapat membubarkan presipitat dari sekunder sementit dalam struktur mereka dapat dicapai dengan penerapan sesuai pengubah selama pengecoran atau dengan perlakuan panas yang sesuai, seperti perlakuan panas yang dijelaskan (Smallman dan Bishop, 2000).
2.4.
Konsep Pemesinan Terkini
2.4.1. Pemesinan Laju Tinggi Meningkatnya permintaan untuk menambah produktivitas dengan biaya produksi rendah, menuntut untuk dilakukannya pemesinan yang cepat maka dilakukan pemesinan dengan cara meningkatkan kecepatan pemesinan. Teknologi pemesinan laju tinggi (high speed machining) merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas. Dengan kecepatan potong yang tinggi, maka volume pelepasan material dari material induk akan meningkat sehingga akan diperoleh penghematan waktu pemesinan yang cukup berarti. Di samping itu pemesinan laju tinggi mampu menghasilkan produk yang halus permukaannya serta ukuran yang lebih presisi. Defenisi tentang proses pemesinan laju tinggi (high speed machining) yang dikemukakan oleh para ahli dan masing-masing terdapat perbedaan namun sebagian besar menyatakan bahwa kecepatan potong merupakan variabel penentu terhadap pendefenisian tersebut seperti yang dikemukakan oleh Schey (2000), beliau menyatakan bahwa proses pemesinan laju tinggi adalah proses pemesinan dengan
Universitas Sumatera Utara
23
kecepatan potong sebesar 5-10 kali lebih besar dari pada proses konvensional Schulz (1999), dan Schulz et. al (1992) mengatakan bahwa proses pemesinan laju tinggi ditentukan berdasarkan jenis bahan yang digunakan seperti yang terlihat pada Gambar 2.9.
Sumber: Schultz dan Moriwaki (1992)
Gambar 2.9. Kecepatan Potong Pada Proses Pemesinan Laju Tinggi 2.4.2. Pemesinan Keras Proses pemesinan keras sama dengan bubut biasa, tetapi pada proses pemesinan keras pemotongan dilakukan terhadap benda kerja dengan kekerasan lebih besar dari 50 HRC. Prinsip kerja proses bubut biasa pada dasarnya diterapkan pada proses bubut keras. Bagaimanapun terdapat perbedaan karakteristik sebagai akibat tingginya kekerasan material yang akan dipotong. Material yang keras memiliki sifat abrasif, dan nilai kekerasan atau modulus young ratio yang tinggi. Akibat dari semua itu maka pada proses bubut keras dibutuhkan alat potong yang jauh lebih keras dan tahan terhadap abrasif dibanding proses bubut biasa. Proses bubut keras dapat dilakukan
Universitas Sumatera Utara
24
terhadap berbagai macam jenis logam seperti: baja paduan (steel alloy), baja untuk bantalan (bearing steel), hot and coldwork tool steel, high speed steel, die steel, dan baja tuang yang dikeraskan (Baggio, 1996). Proses bubut keras dapat menjadi solusi untuk mengurangi waktu produksi melalui pengurangan jumlah proses (tahapan), pengaturan peralatan dan waktu untuk inspeksi karena proses bubut keras dapat dilakukan pada mesin bubut yang sama dimana proses bubut konvensional dilakukan, peralatan yang sama dapat digunakan dan tanpa membutuhkan tambahan sebuah mesin gerinda. Bagaimanapun mesin untuk bubut keras memiliki kebutuhan spasi ruangan yang lebih kecil dibandingkan mesin gerinda. Dibutuhkan investasi yang lebih kecil untuk sebuah mesin bubut CNC dibandingkan sebuah mesin gerinda presisi. Keuntungan yang sangat signifikan dari pahat potong bermata tunggal (single point cutting tool) sebagaimana yang digunakan pada proses bubut dapat digunakan untuk pekerjaan dengan kontur permukaan yang rumit, tidak demikian halnya dengan proses gerinda. Pertimbangan bagi dunia industri untuk menggunakan proses bubut keras adalah rasio antara biaya peralatan khususnya pahat potong yang digunakan terhadap umur dari pahat tersebut harus rendah (Harrison, 2004). Intan diketahui sebagai material yang paling keras akan tetapi tidak cocok digunakan untuk pemesinan logam ferro karena intan mengandung banyak unsur karbon yang dapat dengan mudah mengalami difusi kedalam besi dan bagaimanapun intan sangat mahal dan memiliki umur pendek untuk pemesinan tehadap besi. Material yang khusus digunakan untuk proses bubut keras adalah CBN (Cubic Boron Nitride), keramik, dan cermet (Dawson,
Universitas Sumatera Utara
25
1999). CBN adalah material yang paling keras selain intan, dan sangat cocok digunakan pada proses bubut keras. Insert CBN mulai meningkat popularitasnya setelah General Electric menemukan kombinasi CBN dengan serbuk titanium nitride sehingga dapat meningkatkan umur pahat menjadi lima kali (Baggio, 1996). 2.4.3. Pemesinan Kering Pada umumnya pemesinan untuk mempabrikasi komponen-komponen mesin dilakukan dengan metode pemesinan basah (wet machining) (Sreejith dan Ngoi, 2000). Pada metode ini sejumlah cairan pemotongan dialirkan ke kawasan pemotong selama proses pemesinan dengan tujuan menurunkan suhu pemotongan dan melumasi bagian-bagian pemesinan sehingga diharapkan permukaan pemesinan memiliki suatu integritas permukaan (surface integrity) yang baik. Fenomena kegagalan pahat dan penggunaan cairan pemotongan merupakan salah satu masalah yang telah banyak dikaji dan mendapat perhatian dalam kaitannya yang sangat berpengaruh terhadap kekasaran permukaan hasil pengerjaan, ketelitian geometri produk dan mekanisme keausan pahat serta umur pahat (Ginting, A, 2003). Sreejith dan Ngoi (2000) melaporkan bahwa umumnya cairan pemotongan bekas disimpan dalam kontainer dan kemudian ditimbun di tanah. Selain itu, masih banyak praktek yang membuang cairan pemotongan bekas langsung ke alam bebas. Hal ini jelas akan merusak lingkungan dan undang-undang lingkungan hidup yang berlaku. Menurut Seco (2004), badan administrasi keamanan dan kesehatan telah merekomendasikan batas unsur-unsur berbahaya pada cairan pemotongan untuk
Universitas Sumatera Utara
26
pemesinan
yaitu
0,5÷5,0 mg/m3 dan MWFSAC (Metalworking fluid Standard
Advisory Committee) merekomendasikan sebesar 0.5 mg/m3 (Canter, 2003). Oleh karena itu pemesinan laju tinggi perlu diperhatikan dengan menggunakan pemesinan kering. Pemesinan kering diakui mampu mengatasi masalah pada dampak yang telah diuraikan di atas. Pilihan alternatif dari pemesinan basah adalah pemesinan kering, karena selain tidak ada cairan pemotongan bekas dalam jumlah besar yang akan mencemari lingkungan juga tidak ada kabut partikel cairan pemotongan yang akan membahayakan operator dan juga serpihan pemotongan tidak terkontaminasi oleh residu cairan pemotongan. Pemesinan kering mempunyai beberapa masalah yang antara lain, gesekan antara permukaan benda kerja dan pahat potong, kecepatan keluar serpihan, serta temperatur potong yang tinggi dan hal tersebut semuanya terkait dengan parameter pemesinan. Secara umum industri pemesinan pemotongan logam melakukan pemesinan kering adalah untuk menghindari pengaruh buruk akibat cairan pemotongan yang dihasilkan oleh pemesinan basah. Argumen ini secara khusus didukung oleh penelitian yang telah dilakukan (Streejith dan Ngoi, 2000), secara kuantitatif menyangkut pengaruh buruk pemesinan basah dengan anggapan pada pemesinan kering tidak akan dihasilkan pencemaran lingkungan kerja dan ini berarti tidak menghasilkan kabut partikel cairan pemotongan. Dari pertimbangan hal di atas pakar pemesinan mencoba mencari solusi dengan suatu metode pemotongan alternatif dan mereka merumuskan bahwa pemesinan kering (dry machining) yang
Universitas Sumatera Utara
27
dari sudut pandang ekologi disebut dengan pemesinan hijau (green machining) merupakan jalan keluar dari masalah tersebut. Melalui pemesinan kering diharapkan disamping aman bagi lingkungan, juga bisa mereduksi ongkos produksi.
2.5. Pahat Potong Prinsip dasar pemesinan adalah kemampuan ketangguhan (toughness) pahat terhadap benda kerja termesin. Banyak perkembangan pada bahan pahat guna meningkatkan kemampumesinan dimana geometri dan bahan pahat merupakan hal yang perlu dipertimbangkan. Syarat bahan pahat yang harus dipenuhi mencakup: 1. Kekerasan terutama pengerasan karena panas, dengan tujuan untuk menjaga suhu pemotongan dan
mencegah perubahan bentuk plastik (Plastic
Deformation). 2. Ketangguhan/keuletannya harus dapat menahan beban kejut sewaktu pemesinan. 3. Rendah sifat adhesi terhadap benda kerja untuk mencegah BUE (Built Up Edge). 4. Rendah penyerapan (solubility) pahat terhadap unsur benda kerja untuk mencegah aus pahat (Schey, 2000). 5. Tahan aus untuk mendapatkan umur pahat yang panjang. 6. Kemampuan kesetimbangan secara kimia terhadap pengaruh benda kerja (Kalpakjian, 1995).
Universitas Sumatera Utara
28
Pada bidang manufaktur dikenal jenis pahat yang tersedia adalah Baja Karbon, HSS, Paduan Kobalt Cor, Karbida, Keramik, CBN (Cubic Boron Nitride) dan Intan. Agar dapat menetapkan jenis pahat yang tepat, maka perlu pertimbangan pemilihan berdasarkan pada sifat-sifat pahat yang berhubungan dengan kekerasan, ketahanan aus, kekuatan dan ketangguhan. Kekerasan, ketahanan aus, kekuatan dan ketangguhan dari jenis pahat dapat dibandingkan dengan melihat seperti yang tertera pada Gambar 2.10 dan 2.11 serta Tabel 2.1. Dimana kekerasan dan ketahanan aus pahat terhadap kekuatan dan dan ketangguhan dapat dibandingkan dengan suhu pemanasan dan nilai kekerasan. 100
95
300
500
700
Ceram
ics
90
Car 85
70
bida
65
ls ea St
65
45
d ee Sp
70
50
gh Hi
75
55
40 35
HRC
80
ls tea lS oo nT rbo Ca
Kekerasa (HRA)
60
Cas t Allo ys
30 25 20
60 55 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Temperatur (oF)
Sumber: Kalpakjian (1995)
Gambar 2.10. Kekerasan Panas dan Ketahanan Aus Pahat Terhadap Kekuatan dan Ketangguhan
Universitas Sumatera Utara
Kekerasan (HRA)
Kekerasan Panas dan Ketahanan Aus
29
Intan, CBN Aluminium Oksida (HIP)
Aluminium Oksida + 30%, Titanium Karbida
Silikon Nitride Carmet Karbida bersalut Karbida HSS
Kekuatan dan Ketangguhan
Sumber: Kalpakjian (1995)
Gambar 2.11. Tingkat Kekerasan dan Ketahanan Aus Pahat Terhadap Temperatur Tabel 2.1. Perbandingan Sifat Pahat Laju Temperatur Pemotongan kekerasan Bahan pahat (m/menit) panas (0C ) Kekerasan (HRA) Baja Karbon 10 300 60 25-65 650 83-86 HSS Paduan Kobalt Cor 50-200 925 82-84 Karbida 1200 90-95 ÷ 650 Keramik 330-650 > 2000 91-95 500-800 1300 100-110 CBN Intan 300-1500 > 650 115-125 Sumber: Rochim (1993), dan Kalpakjian (1995)
Sesuai dengan topik yang dipilih maka pada penelitian ini jenis pahat difokuskan pada CBN (Cubic Boron Nitride) untuk proses pemesinan keras dengan laju potong yang tinggi. CBN termasuk jenis keramik, yang diperkenalkan oleh GE (Schey, 2000). Dibuat dengan penekanan panas (HIP, 60 kbar, 1500oC) sehingga
Universitas Sumatera Utara
30
serbuk graphit putih Nitride Boron dengan struktur atom heksagonal berubah menjadi struktur kubik. Pahat sisipan CBN dapat dibuat dengan menyinter serbuk BN tanpa atau dengan material pengikut Al 2 O 3 TiN atau Co. Hard hardness CBN ini sangat tinggi, CBN ini dapat digunakan untuk pemesinan berbagai jenis baja dalam keadaan dikeraskan (hardeneed steel), besi tuang, HSS maupun karbida semen. Afinitas terhadap baja sangat kecil dan tahan terhadap perubahan reaksi kimiawi sampai dengan temperatur pemotongan 1300o C (laju potong yang tinggi). 2.5.1. Umur Pahat Umur pahat sangat tergantung pada keausan yang dialaminya. Semakin besar keausan yang dialami pahat maka kondisi pahat akan semakin kritis. Jika pahat tersebut masih tetap digunakan maka pertumbuhan keausan akan semakin cepat dan pada suatu saat ujung pahat akan rusak sama sekali sehingga tidak layak lagi untuk digunakan, artinya pahat telah sampai pada tahapan umur maksimal penggunaannya. Keausan yang terjadi dapat menimbulkan peningkatan gaya pemotongan sehingga akan berdampak pada kerusakan pahat yang lebih fatal, kerusakan mesin perkakas, dan kerusakan pada benda kerja, oleh karena itu perlu ditetapkan batas harga keausan yang dianggap sebagai batas kritis dimana pahat tidak boleh digunakan lagi. Pengaruh kondisi pemotongan terhadap umur pahat telah dinyatakan berdasarkan pengembangan formula Taylor sesuai persamaan berikut ini: v × Tc × n = C × f × p × a × q ..................................... (2.14)
Universitas Sumatera Utara
31
Dimana: v = Laju pemotongan (mm/min) Tc = Umur pahat (min) C = Konstanta. f = Gerak Makan (mm/rev). a = Kedalaman potong (mm) p = Pangkat untuk tebal pemakanan. q = Pangkat untuk kedalaman potong 2.5.2. Suhu Pemotongan dan Aus Pahat Hampir seluruh energi pemotongan diubah menjadi panas melalui proses gesekan, yaitu antara serpihan dengan pahat, dan antara pahat dengan benda kerja. Panas ini sebagian besar terbawa oleh serpihan, sebagian merambat melalui pahat dan sisanya mengalir melalui benda kerja seperti yang terlihat pada Gambar 2.12.
uncoated
(a.) Pahat tidak berlapis
coated
(b.) Pahat berlapis
Sumber: Wijngaard (2004)
Gambar 2.12. Perbandingan Panas yang diserap Pahat
Universitas Sumatera Utara
32
Karena tekanan yang besar akibat gaya pemotongan serta suhu yang tinggi maka permukaan aktif pahat akan mengalami aus. Aus tersebut makin lama makin membesar yang selain memperlemah pahat juga akan memperbesar gaya pemotongan sehingga dapat menimbulkan kerusakan dan mempengaruhi kualitas permukaan benda kerja termesin (Rochim, 1993).
2.6. Bahan Teknik Pembagian dari pada bahan teknik dapat dilihat pada Gambar 2.13. Bahan logam ferro adalah suatu logam yang memiliki dasar paduan besi (ferrous), sedangkan unsur lain hanyalah sebagai unsur tambahan untuk mendapatkan sifat bahan sesuai dengan aplikasi dalam penggunaannya. Bahan logam non ferro adalah bahan yang memiliki unsur logam tetapi tidak ada unsur besi (ferrous).
Sumber: Kalpakjian (1995)
Gambar 2.13. Diagram Pembagian Material Teknik
Universitas Sumatera Utara
33
2.6.1. Sifat dan Karakteristik Logam Logam mempunyai beberapa sifat antara lain: sifat mekanis, sifat fisika, sifat kimia dan sifat pengerjaan. Sifat mekanis adalah kemampuan suatu logam untuk menahan beban yang diberikan pada logam tersebut. Pembebanan yang diberikan dapat berupa pembebanan statis (besar dan arahnya tetap), ataupun pembebanan dinamis (besar dan arahnya berubah). Yang termasuk sifat mekanis pada logam, antara lain: kekuatan bahan (strength), kekerasan elastisitas, kekakuan, plastisitas, kelelahan bahan, sifat fisika, sifat kimia, dan sifat pengerjaan. Kekuatan (strength) adalah kemampuan material untuk menahan tegangan tanpa kerusakan. Beberapa material seperti: baja struktur, besi tempa, alumunium, dan tembaga mempunyai kekuatan tarik dan tekan yang hampir sama. Sementara itu, kekuatan gesernya kirakira dua pertiga kekuatan tariknya. Ukuran kekuatan bahan adalah tegangan maksimumnya, atau gaya terbesar persatuan luas yang dapat ditahan bahan tanpa patah. Untuk mengetahui kekuatan suatu material dapat dilakukan dengan pengujian tarik, tekan, atau geser. Kekerasan (hardness) adalah ketahanan suatu bahan untuk menahan pembebanan yang dapat berupa goresan atau penekanan. Kekerasan merupakan kemampuan suatu material untuk menahan takik atau kikisan. Untuk mengetahui kekerasan suatu material digunakan uji Brinell. Kekakuan adalah ukuran kemampuan suatu bahan untuk menahan perubahan bentuk atau deformasi setelah diberi beban. Kelelahan bahan adalah kemampuan suatu bahan untuk menerima beban yang berganti-ganti dengan tegangan maksimum diberikan pada setiap pembebanan.
Universitas Sumatera Utara
34
Elastisitas adalah kemampuan suatu bahan untuk kembali ke bentuk semula setelah menerima beban yang mengakibatkan perubahan bentuk. Elastisitas merupakan kemampuan suatu material untuk kembali ke ukuran semula setelah gaya dari luar dilepas. Elastisitas ini penting pada semua struktur yang mengalami beban yang berubah-ubah terlebih pada alat-alat dan mesin-mesin presisi. Plastisitas adalah kemampuan suatu bahan padat untuk mengalami perubahan bentuk tetap tanpa ada kerusakan. Sifat fisika adalah karakteristik suatu bahan ketika mengalami peristiwa fisika seperti adanya pengaruh panas atau listrik. Yang termasuk sifat-sifat fisika adalah sebagai berikut: titik lebur, kepadatan, daya hantar panas, dan daya hantar listrik. Sifat kimia adalah kemampuan suatu logam dalam mengalami peristiwa korosi. Korosi adalah terjadinya reaksi kimia antara suatu bahan dengan lingkungannya. Secara garis besar ada dua macam korosi, yaitu: korosi karena efek galvanis dan korosi karena reaksi kimia langsung.
2.7. Pemilihan Bahan Baja didefenisikan sebagai paduan antara besi (Fe) dan karbon, dengan kandungan karbon tidak lebih dari 1,7%. Baja karbon yang memiliki satu atau lebih unsur paduan disebut baja paduan (alloy steel) unsur paduan utama adalah: Chromium (Cr), Nikel (Ni), Vanadium (V), Molibdenum (Mo), dan Tungsten (W), unsur-unsur paduan ini berpengaruh terhadap sifat mekanik baja (Alamsyah,1993). Kekerasan adalah salah satu sifat mekanik baja yang dapat dirubah melalui perlakuan panas (heat treatment), tapi tidak semua jenis baja dapat dirubah kekerasannya
Universitas Sumatera Utara
35
melalui perlakuan panas. Kelompok material baja yang dapat dirubah kekerasannya melalui perlakuan panas adalah kelompok baja perkakas (tool material). Pada penelitian ini dipergunakan material AISI 4140 berbentuk billet (round bar). Material ini dipilih karena material ini sangat aplikatif dan material ini sangat kuat dan tangguh untuk komponen mesin seperti: gear, crankshafts, connecting rods dan gear shafts serta aplikasi lainnya (www.matweb.com, 2010). Landing gear pada pesawat terbang adalah komponen peralatan pada pesawat terbang yang terbuat dari baja perkakas. Kekerasan komponen ini basanya berkisar antara 50 s/d 55 HRC. AISI 4140 memiliki kemampuan mesin, stabilitas dimensi saat mengalami perlakuan panas (heat treatment), dengan kekerasan permukaan yang tinggi. Pada proses perlakuan panas temperatur adalah variabel utama yang sangat berpengaruh terhadap perubahan sifat mekanik bahan. Untuk komposisi bahan baja paduan AISI 4140 dapat dilihat pada Tabel 2.2 dan sifat mekanikal dapat dilihat pada Tabel 2.3. Tabel 2.2. Komposisi Kimia AISI 4140 Unsur C Fe Mn P S Si Cr Mo
Komposisi Kimia (%) 0,38-0,43 96,78-97,77 0,75-1,00 0,035 (maks) 0,04 (maks) 0,15-0,30 0,80-1,10 0,15-0,25
Sumber: http//www. matweb.com (2010)
Universitas Sumatera Utara
36
Tabel 2.3. Sifat Mekanik AISI 4140 Sifat Rasio Poisson Modulus Elastis (GPa) Kekuatan Tarik Maksimum (MPa) Kekuatan Luluh (MPa) Elongasi (%) Area Reduksi (%) Kekerasan (HRC) Kekuatan Impak (J)
Nilai 0,29 205 1965 1735 11 42,0 52 15
Sumber: http//www.matweb.com (2010)
Universitas Sumatera Utara