BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI
2.1.
Tinjauan Pustaka Mechanical alloying adalah salah satu teknik dari metode pelapisan. Para
peneliti terdahulu melakukan proses mechanical alloying dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh komposisi serbuk pelapis dan heat treatment terhadap fase yang terbentuk, struktur mikro, kekerasan, dan ketahanan oksidasi pada permukaan lapisan. Toto dkk (2015), melakukan penelitian dengan menggunakan teknik mechanical alloying untuk mendepositkan lapisan 50Cr-50Al (at%), pada permukaan baja karbon rendah. Sampel yang telah dilapisi kemudian diberi perlakuan termal (heat treatment) pada temperatur yang berbeda yaitu 600, 700, 800, dan 900°C selama 2 jam. Efek heat treatment pada karakteristik struktur lapisan 50Cr-Al dipelajari dengan XRD dan SEM-EDX, dan kekerasan lapisan diukur dengan alat uji kekerasan micro-vickers. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses heat treatment menyebabkan pembentukan fase intermetalik dan proses interdifusi elemen Fe dari substrat dan elemen Cr, Al dari lapisan, bergantung pada proses heat treatment-nya. Akan tetapi pada saat temperatur heat treament dinaikkan ke suhu 900°C, analisis difraksi sinar-X menunjukkan fase Al203 pada lapisan. Kekerasan pada penampang lintang dari lapisan meningkat setelah diberi heat treatment pada suhu 600°C, sedangkan kekerasan lapisan menurun dengan meningkatnya temperatur heat treatment. Didik dkk (2016), mempelajari struktur dan ketahanan oksidasi temperatur tinggi dari lapisan Fe-Al pada baja karbon rendah. Lapisan Fe-Al didepositkan pada permukaan baja karbon rendah menggunakan teknik mechanical alloying. Sampel yang telah dilapisi kemudian diberi perlakuan termal (heat treatment) selama 2 jam dengan tekanan vakum 5 Pa. Pengujian cyclic-oxidation baja karbon rendah, lapisan Fe-Al dengan dan tanpa heat treatment dilakukan pada temperatur 600°C selama 60 jam. Struktur oksida pada sampel dipelajari dengan x-ray diffraction (XRD),
7
scanning electron microscope (SEM) dan energy dispersive x-ray spectroscopy (EDS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lapisan Fe-Al memiliki ketahanan oksidasi yang tinggi dibanding baja tanpa lapisan. Setelah 60 jam terpapar temperatur tinggi sampel yang tanpa dilapisi Fe-Al membentuk lapisan Fe3O4, dan Fe2O3 dengan total ketebalan 75.93 μm. Lapisan Fe-Al tanpa heat treament membentuk lapisan oksida tipis, yang diindikasikan (Fe,Al)2O3. Sementara itu, hasil analisis EDS sampel dengan heat treatment, membentuk dua lapisan Fe-Al dengan konsentrasi elemen yang berbeda. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa deposisi dari lapisan Fe-Al pada baja karbon rendah dapat meningkatkan ketahanan oksidasi baja karbon rendah. Teknik mechanical alloying merupakan salah satu teknik pelapisan yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan oksidasi baja karbon rendah. Selain itu, proses pelapisan dengan teknik mechanical alloying berpengaruh terhadap kekerasan permukaan baja karbon rendah. Parameter yang mempengaruhi hasil pelapisan adalah komposisi lapisan, waktu milling, serta waktu dan tekanan heat treatment. 2.2.Dasar Teori 2.2.1. Baja Baja merupakan paduan logam ferro (Fe) dengan karbon (C), dimana ferro (Fe) sebagai unsur dasar dan karbon (C) sebagai unsur utama paduannya. Kandungan karbon (C) dalam baja adalah kurang dari 1,4% dari komposisi. Selain itu juga mengandung unsur-unsur lain dalam persentase kecil, seperti sulfur (S), fosfor (P), silikon (Si), mangan (Mn), dan sebagainya. Sifat baja karbon dipengaruhi oleh presentase karbon dan struktur mikro. Sedangkan struktur mikro pada baja karbon dipengaruhi oleh heat treatment dan komposisi baja. Karbon dengan campuran unsur lain dalam baja dapat meningkatkan nilai kekerasan, tahan gores, dan tahan temperatur tinggi. Struktur mikro dari baja dan besi dapat dipahami menggunakan diagram kesetimbangan fasa Fe-Fe3-C yang dapat dilihat Gambar. 2.1. Struktur dari baja dapat ditentukan oleh komposisi karbon dan temperatur. Karbon larut di dalam besi
8
berbentuk larutan padat (solid solution) hingga 0,05% berat pada temperatur ruang. Besi dengan atom karbon terlarut hingga jumlah tersebut memiliki alpha ferrite pada temperatur ruang. Pada karbon lebih dari 0,05% akan berbentuk endapan karbon dalam bentuk hard intermetallic stoichiometri compound (Fe3C) yang dikenal sebagai cementite atau carbide. Selain larutan pada alpha-ferrite yang dalam kesetimbangan dapat ditemukan pada temperatur ruang terdapat fasa-fasa penting lainnya,
delta-ferrite
dan
gamma-austenite.
Logam
ferro
(Fe)
bersifat
polymorphism yaitu memiliki struktur kristal yang berbeda pada temperatur yang berbeda. Pada ferro (Fe) murni, seperti alpha-ferrite akan berubah menjadi fasa gamma austenite saat dipanaskan melebihi temperatur 910°C.
Gambar 2.1. Diagram Kesetimbangan Fe-Fe3-C (Pollack, 1988)
9
Pada temperatur mendekati 1400°C gamma austenite akan kembali berubah menjadi delta-ferrite. Alpha dan delta-ferrite dalam hal ini memiliki struktur kristal Body Centered Cubic (BCC) sedangkan gamma-autenite memiliki struktur kristal Face Centered Cubic (FCC). Perubahan struktur mikro yang terjadi pada sistem FeC dapat dibagi menjadi 5, yaitu: 1.
Ferrite atau α-iron Merupakan struktur besi pada temperatur ruang. Struktur ferrite
memiliki sel satuan berbentuk BCC. Ferrite dalam keadaan setimbang dapat ditemukan pada temperatur ruang, yaitu alpha-ferrite sedangkan pada temperatur tinggi yaitu delta-ferrite. Fasa ini memiliki sifat kekuatan dan kekerasan yang baik (Davis, 1998). Fasa ini juga memiliki kekuatan tarik hingga 45000 psi dan temperatur dari pada temperatur di bawah 767°C bersifat ferromagnetik. Pada temperatur ruang kelarutan dengan fasa tunggal alpha-ferrite hanyalah sekitar 0,05%.
2.
Austenite atau γ-iron Merupakan fasa stabil besi pada temperatur antara 910-1400°C.
Struktur austenite memiliki sel satuan berbentuk FCC. Austenite bersifat kuat dan ulet serta mudah dibentuk sehingga sangat cocok untuk proses fabrikasi seperti forging dan rolling. Memiliki kelarutan yang cukup baik pada karbon yaitu 2% dan bersifat paramagnetik.
3.
δ-iron Merupakan fasa stabil besi pada temperatur di atas 1400°C. Sifat yang
dimiliki fasa ini hampir sama dengan ferrit dan sangat sedikit larut dalam karbon namun masih lebih baik dibandingkan dengan ferrite.
4.
Cementite Fasa ini memiliki struktur ortorombik dan mengandung 6,67% karbon.
Jika dibandingkan austenite dan ferrite, fasa cementite memiliki kekerasan yang lebih baik namun cenderung lebih getas pula. 10
5.
Fe-C eutectoid Jika fasa Fe-C eutectoid ini diturunkan temperaturnya maka akan
membentuk fasa ferrite dan fasa Fe3C yang berasal dari austenite pada komposisi eutectoid. Struktur mikro fasa ini berbentuk lametar dan biasa disebut dengan fasa pearlit, dimana fasa ini merupakan fasa yang paling diharapkan pada proses pembuatan baja.
2.2.2. Baja Karbon Baja karbon merupakan salah satu jenis baja paduan yang terdiri dari unsur ferro (Fe) dan karbon (C), dimana besi adalah unsur utama dan karbon sebagai unsur paduan utamanya. Baja karbon memiliki kandungan unsur karbon sampai 1,7%. Kandungan kadar karbon (C) pada baja karbon mempengaruhi sifat-sifat mekaniknya. Baja karbon merupakan paduan multi komponen, selain ferro (Fe) dan karbon (C) juga mengandung unsur-unsur lain seperti: aluminium (Al), silikon (Si), sulfur (S), fosfor (P), cerium (Ce), mangan (Mn) dan unsur kimia lainnya yang dapat mempengaruhi sifat-sifat dari baja tersebut. Fungsi aluminium dan silikon pada baja untuk melindungi dari oksidasi, sedangkan fungsi cerium dan mangan adalah untuk menetralkan efek merusak dari sisa sulfur yang terkandung pada baja. Namun, silikon dan mangan dapat ditambahkan dalam jumlah yang lebih besar dari yang dibutuhkan dengan batas maksimal pada baja karbon. Baja karbon merupakan salah satu paduan baja yang paling banyak digunakan di industri. Baja paduan ini biasanya digunakan tidak hanya di lingkungan oksidasi tetapi juga di lingkungan dengan temperatur tinggi seperti pada sistem di pembangkit listrik. Selain itu, baja paduan ini dapat dijadikan alat yang berguna untuk masalah fabrikasi yang membutuhkan baja karbon. Berdasarkan kadar karbonnya, baja karbon diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu baja karbon rendah dengan kadar karbon kurang dari 0,3%, baja karbon sedang yang mengandung 0,3-0,6% karbon, dan baja karbon tinggi memiliki kandungan karbon di atas 0,6% (Nayar, 2011).
11
a.
Baja Karbon Rendah Baja karbon rendah memiliki kadar karbon kurang dari 0,3%. Produk dari
baja ini biasanya berbentuk pelat hasil pembentukan roll dingin. Kandungan karbon yang rendah dan mikrostrukturnya yang terdiri dari fasa ferit dan perlit menjadikan baja karbon rendah bersifat lunak dan kekuatannya lemah (Phoumiphon, 2015). Namun, baja dengan komposisi karbon yang rendah akan memiliki ketangguhan dan keuletan yang baik. Disamping itu baja karbon rendah mudah diberikan proses permesinan, dan mudah dilas. Pengaplikasian baja karbon rendah secara umum pada komponen body mobil, pipa, dan sistem kontruksi (Callister, 2007). Sifat mekanik baja dapat ditingkatkan melalui proses perlakuan panas, namun untuk baja karbon rendah proses perlakuan panas yang secara mendadak tidak dapat dilakukan. Hal ini disebabkan sifat baja karbon rendah yang kurang responsif terhadap perlakuan panas kejut. Pemanasan pada proses annealing dilakukan pada temperatur di bawah suhu kristalisasi dan kemudian didinginkan perlahan-lahan hingga temperatur ruang. Proses annealing dapat meningkatkan kekerasan dan kekuatan tarik baja karbon (Joo, 2014). Selain itu, proses annealing dapat memperbaiki sifat mekanik baja karbon rendah, seperti ketahanan aus yang baik, kekerasan bertambah, meningkatkan nilai ekonomis dari baja karbon rendah dan lain-lain. Baja karbon rendah merupakan material yang mudah bereaksi dengan lingkungan yang mengandung O2, HCl, dan H2O, baik pada temperatur rendah maupun temperatur tinggi. Padahal baja karbon rendah ini banyak diaplikasikan pada berbagai industri, seperti insinerator (tempat pembakaran) limbah, pembangkit listrik berbasis batubara, sistem pemipaan, dan tabung boiler (Yun, 2013). Oleh karena itu dibutuhkan metode agar ketahanan oksidasi baja karbon rendah menjadi lebih baik.
b.
Baja Karbon Sedang Baja karbon ini memiliki komposisi karbon antara 0,3-0,6%. Baja karbon
sedang memiliki kelebihan sifat mekanik yang lebih kuat dengan tingkat kekerasan yang lebih tinggi dari pada baja karbon rendah. Baja karbon sedang juga memiliki
12
kekuatan tarik dan batas regang yang tinggi, ketangguhan dan keuletan yang lebih rendah dibanding baja karbon rendah sehingga membuatnya tidak mudah untuk dimesin. Kandungan karbon yang cukup besar pada baja ini memungkinkan baja dapat ditingkan sifat mekaniknya dengan memberikan perlakuan panas (heat treatment) yang sesuai. Namun, ketahanan oksidasi baja karbon sedang lebih kecil dibandingkan dengan baja karbon rendah. Hal ini dikarenakan banyaknya kandungan karbon pada baja karbon sedang yang memungkinkan terjadinya karbida lebih banyak dibandingkan baja karbon rendah. Aplikasi baja karbon sedang secara umum pada roda dan rel kereta api, poros engkol (Callister, 2007). c.
Baja Karbon Tinggi Baja karbon tinggi merupakan baja yang mengandung karbon (C) lebih dari
0,6%. Baja ini memiliki mikrostruktur perlit yang terdiri dari ferit dan sementit (Liu, 2016). Karakteristik dari baja karbon tinggi yaitu memiliki sifat tahan panas, kekerasan serta kekuatan tarik yang sangat tinggi akan tetapi memiliki keuletan yang lebih rendah sehingga baja karbon ini lebih getas dibandingkan baja karbon rendah maupun baja karbon sedang. Baja karbon tinggi ini sulit diberi perlakuan panas untuk meningkatkan sifat mekaniknya, hal ini disebabkan baja karbon tinggi memiliki jumlah martensit yang cukup tinggi. Efek yang ditimbulkan dari jumlah martensit yang tinggi adalah tidak optimalnya proses pengerasan pada permukaan baja. Banyaknya jumlah karbon pada kandungan baja karbon tinggi membuat ketahanan oksidasi dari baja ini cukup rendah dibanding baja karbon rendah maupun baja karbon sedang. Baja karbon tinggi pada umumnya diaplikasikan sebagai alat pemotong dan cetakan untuk membentuk dan menajamkan material, seperti pisau, pisau cukur, kikir, dan kawat dengan kekuatan tinggi (Callister, 2007). 2.2.3. Oksidasi Temperatur Tinggi Dalam ilmu kimia oksidasi merupakan proses pelapisan elektron oleh sebuah molekul, atom, atau ion. Oksidasi terjadi pada saat adanya reaksi pelarutan (dissolution) baja menjadi ion pada permukaan baja yang terkontak dengan
13
lingkungan yang mengandung cairan dan oksigen melalui reaksi kimia. Terbentuknya lapisan oksida pada permukaan lapisan dapat mengakibatkan penurunan mutu dan kualitas baja akibat reaksi kimia dengan lingkungannya. Pada temperatur tinggi, sebagian besar logam akan lebih mudah teroksidasi (Young, 2016). Tahap oksidasi dimulai dengan adsorpsi oksigen, reaksi kimia untuk membentuk permukaan oksida, nukleasi oksida, dan pertumbuhan lapisan untuk membentuk proteksi. Persyaratan dari lapisan yang berfungsi sebagai lapisan proteksi adalah homogen, daya lekat tinggi, tidak ada kerusakan makro ataupun mikro baik yang berupa retak atau terkelupas. Ada 3 lapisan oksida yang menjadi lapisan pelindung yaitu Al2O3, SiO2, dan Cr2O3. Lapisan yang terbentuk bisa sangat tipis dan retak atau hilang sehingga tidak memberikan proteksi. Akibat retak mikro maupun makro, oksigen akan masuk melewati retakan dan mengoksidasi logam. Lapisan oksida yang tebal dengan daya lekat tinggi akan melindungi logam dari oksidasi berikutnya. Lapisan dari oksida Al2O3 dikenal sebagai lapisan dengan daya lekat kuat dan protektif terhadap proses oksidasi pada logam (Jones, 1992). Jika suatu unsur dalam senyawa teroksidasi maka unsur yang lain pada senyawa tersebut akan mengalami reduksi, reaksi ini disebut dengan reaksi redoks. Reaksi redoks terjadi melalui transfer elektron. Apabila suatu unsur dalam senyawa kehilangan elektron maka unsur ini akan teroksidasi. Apabila unsur pada senyawa memperoleh elektron maka unsur tersebut akan tereduksi. Jika proses reduksi bertambah cepat maka perubahan skala proses oksidasi pun meningkat (Sun, 2004). Tingkat afinity element bereaksi dengan oksigen pada temperatur tinggi diplot di dalam Ellingham diagram seperti yang ditunjukkan pada Gambar. 2.2. Nilai dari ∆F° untuk reaksi oksida merupakan ukuran afinitas kimia suatu logam terhadap oksigen. Semakin negatif nilai ∆F° suatu logam menunjukkan logam tersebut semakin stabil dalam bentuk oksida. Dari Gambar. 2.2. dapat mengetahui temperatur minimal yang dibutuhkan agar reaksi tersebut dapat terjadi.
14
Gambar 2.2. Ellingham diagram (McGannon, 1964)
2.2.4. Ketahanan Oksidasi Baja Karbon Rendah Salah satu penggunaan baja karbon rendah adalah pada sistem boiler PLTU. PLTU adalah pembangkit yang memanfaatkan energi kinetik dari uap untuk memutarkan turbin generator. Uap dihasilkan dari proses pemanasan air hasil pembakaran batu bara. Dari proses pembakaran batu bara tersebut menghasilkan CO2 + complex combustion product (corrosive gas + molten deposit) yang dapat mengakibatkan baja karbon rendah mengalami degradasi. Hal tersebut berdampak pada penurunan sifat mekanik dan umur masa pakai baja karbon rendah. Selain itu
15
dapat membuat porositas pada baja karbon rendah, kemudian porositas tersebut menyebar menjadi lubang besar dan akhirnya kropos, kemudian baja karbon rendah menjadi rusak dan tidak dapat digunakan kembali (Rujisomnapa, 2010). Contoh efek dari oksidasi pada baja karbon rendah ditunjukkan pada Gambar. 2.3.
(a)
(b)
Gambar 2.3. Hasil SEM pada proses oksidasi baja karbon rendah (a) pada permukaan, (b) pada cross section (Wang, 2014)
Gambar. 2.3.(a) menunjukkan terjadinya pengelupasan pada bagian permukaan baja karbon rendah yang diakibatkan oleh high temperature oxidation, sedangkan Gambar. 2.3.(b) menunjukkan terbentuknya lapisan oksida pada permukaan baja karbon rendah (Wang, 2014) 2.2.5. Upaya Peningkatan Ketahanan Oksidasi Pada temperatur tinggi ketahanan oksidasi dari material baja karbon rendah akan menurun. Hal ini disebabkan karena adanya proses oksidasi akibat interaksi dengan lingkungan. Karena semakin tinggi temperatur lingkungan luar pada baja, maka akan menurunkan ketahanan oksidasi dari baja tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan metode atau cara untuk meningkatkan ketahanan oksidasi dari baja karbon rendah. Pada umumnya, ada dua metode yang digunakan untuk meningkatkan ketahanan oksidasi, dan korosi dari baja dan paduan yaitu alloy enrichment dan pelapisan (Sudiro, 2015).
16
a.
Alloy Enrichment Alloy enrichment merupakan pengkayaan suatu logam dengan satu/lebih
dengan tujuan untuk meningkatkan sifat material tersebut, seperti ketahanan oksidasi. Namun, ketika metode alloy enrichment digunakan untuk meningkatkan ketahanan oksidasi dan korosi, metode ini mempengaruhi sifat mekanik dari paduan (Birks, 2006). b.
Pelapisan Metode pelapisan adalah suatu upaya untuk melindungi baja dari proses
oksidasi dengan melapisi bagian permukaannya. Proses pelapisan memiliki beberapa cara, diantaranya pengecatan, penyepuhan, dan lain-lain. Metode pelapisan ini telah banyak diaplikasikan pada beberapa baja yang hasilnya dapat meningkatkan ketahanan oksidasi baja tersebut dari lingkungan luar (Zhang, 2013). Terdapat dua faktor penting dalam penggunaan metode agar menghasilkan sifat-sifat yang diinginkan, yaitu: 1.
material pelapis tahan terhadap cairan kimia dan perubahan temperatur
2.
material pelapis secara mekanik harus terikat kuat dengan material yang akan terlapisi.
2.2.6. Teknik Pelapisan Metode pelapisan (coating) memiliki beberapa teknik untuk meningkatkan ketahanan oksidasi temperatur tinggi dari suatu material, salah satunya adalah pack cementation, thermal spraying, dan mechanical alloying. a.
Pack Cementation Pack cementation adalah teknik pelapis yang sering digunakan untuk
membuat lapisan pada permukaan logam untuk melindungi dari kerusakan yang diakibatkan oksidasi pada temperatur tinggi dan korosi.
17
Gambar 2.4. Ilustrasi proses pelapisan menggunakan teknik pack cementation (Lin, 2014)
Pada dasarnya proses pack cementation adalah mendeposisikan lapisan dengan cara dipanaskan. Substrat yang akan dilapisi dimasukkan ke dalam wadah yang tertutup atau semi tertutup bersama dengan campuran serbuk yang terdiri dari elemen logam yang akan didepositkan, halide activators dan inert filler (biasanya alumina). Substrat ditempatkan di dalam atau di atas timbunan campuran serbuk. Wadah dipanaskan pada temperatur 700°C sampai 1150°C dan ditahan dalam waktu tertentu. Ilustrasi proses pelapisan menggunakan teknik pack cementation ditunjukkan pada Gambar. 2.4. Pada temperatur pelapisan, halide activators bereaksi dengan unsur-unsur logam dalam campuran. Lapisan terbentuk melalui reaksi metal halide vapours pada permukaan substrat dan selanjutnya disebut difusi solid state antara unsur logam dan substrat. (Xiang, 2001). b.
Thermal Spray Thermal spray adalah metode memperbaiki permukaan, dimana partikel
dilelehkan (dipanaskan) lalu disemprotkan dengan kecepatan tinggi ke substrat (Danouni, 2016).
Pada saat partikel cair hasil semprotan mengenai bagian
permukaan substrat, partikel tersebut kemudian mengalami pendinginan yang membentuk struktur berupa (lamellar), dengan demikian akan membentuk lapisan atau endapan hasil semprotan. Ilustrasi proses pelapisan menggunakan teknik thermal spray ditunjukkan pada Gambar. 2.5.
18
Gambar 2.5. Ilustasi proses pelapisan menggunakan teknik thermal spray (Barabas, 2010)
Berdasarkan sumber penghasil panas, proses thermal spray dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:
c.
1.
Pembakaran
2.
Listrik
Mechanical Alloying Mechanical alloying adalah sebuah teknik pelarutan padat untuk mensitesis
fasa tidak seimbang seperti amorf atau senyawa metastabil larutan lewat jenuh. Pelarutan padat dilakukan untuk menambah kekuatan suatu material. Prinsip kerja dari mechanical alloying adalah substrat dengan serbuk dimasukkan bersamaan ke dalam suatu wadah (Romankov, 2008). Proses dari mechanical alloying adalah penggilingan bola dimana suatu campuran serbuk ditempatkan dalam suatu wadah penggilingan dipadu dengan cara dikenai benturan bola-bola berenergi tinggi. Ilustrasi pembentukan lapisan menggunakan teknik mechanical alloying ditunjukkan pada Gambar. 2.6.
Gambar 2.6. Ilustrasi proses pelapisan menggunakan teknik mechanical alloying (Aryanto, 2016)
19
Tujuan dari penggilingan adalah untuk mengurangi ukuran partikel dengan pengadukan dan pemaduan (Lu, 1998) serta pembentukan paduan. Proses yang terjadi pada mechanical alloying adalah terjadinya proses pemecahan dan pengelasan berulang dari campuran partikel serbuk dalam suatu high energy ball mill. Paduan yang terbentuk melalui metode tersebut sangat tergantung pada komponen, dan parameter proses mechanical alloying. Ada empat komponen penting yang digunakan pada proses mechanical alloying, yaitu: serbuk pelapis, bola giling, wadah penggilingan, dan alat penggilingan (Suryarayana, 2004) 1.
Serbuk Pelapis Ukuran serbuk yang digunakan umumnya berkisar antara 1μm – 200
μm (Lu, 1998). Semakin kecil ukuran partikel serbuk yang digunakan, maka pross mechanical alloying akan semakin efektif dan efisien. Berdasarkan sifat mekaniknya, serbuk pelapis yang dapat digunakan dalam proses mechanical alloying adalah campuran antara serbuk ulet, serbuk ulet dengan serbuk getas dan serbuk getas dengan serbuk getas. 2.
Bola Giling Bola giling digunakan sebagai penghancur dan pemadu campuran
serbuk sehingga terbentuk suatu paduan baru. Oleh karena itu, material pembentuk bola giling harus memiliki kekerasan yang sangat tinggi agar tidak terjadi kontaminasi saat terjadi benturan dan gesekan antara serbuk, bola, dan wadah penggilingan. Material yang dapat digunakan untuk melakukan proses tersebut antara lain: baja tahan karat, baja karbon, baja perkakas, dan baja kromium. Ukuran bola yang dapat digunakan dalam proses mechanical alloying bermacam-macam. Pemilihan ukuran bola bergantung pada ukuran serbuk yang akan dipadu. Bola yang digunakan harus memiliki diameter yang lebih besar dibanding dengan diameter serbuknya (Lu, 1998).
20
3.
Wadah Penggilingan Wadah penggilingan merupakam media yang digunakan untuk
menahan gerakan bola-bola giling dan serbuk ketika proses penggilingan berlangung. Akibat yang ditimbulkan dari proses penahanan gerak bolabola giling dan serbuk tersebut adalah terjadinya benturan antara bola-bola giling, serbuk, dan wadah penggilingan sehingga menyebabkan terjadinya proses penghancuran dan pengelasan dingin campuran serbuk secara berulang dalam proses mechanical alloying. Kekerasan material yang digunakan sebagai wadah penggilingan tidak boleh sama dengan kekerasan material serbuk yang akan digiling, karena dapat mengakibatkan proses penghancuran serbuk tidak akan efektif dan efisien. Jika kedua material yang digunakan berbeda, maka akan terjadi kontaminasi pada material serbuk yang akan digiling. Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya kontaminasi serbuk akibat benturan yang terjadi selama proses penggilingan berlangsung, maka material yang digunakan sebagai wadah penggilingan harus memiliki kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kekerasan material serbuknya. Material yang dapat digunakan sebagai wadah penggilingan antara lain: baja perkakas, baja kromium, dan baja tahan karat (Suryarayana, 2004). Kontaminasi serbuk juga dapat terjadi akibat perbedaan jenis material yang digunakan sebagai wadah penggilingan dan bola penggiling. Untuk menghindari hal ini, menggunakan wadah penggiling dan bola penggiling yang terbuat dari jenis material yang sama (Suryarayana, 2004). 4.
Alat Penggilingan Ada beberapa jenis sistem ball mill yang dapat digunakan untuk
melakukan proses mechanical alloying, antara lain: Tumbler mill, Planetary ball mill, dan shaker mill. Keunggulan sistem shaker mill dibandingkan dengan sistem ball mill yang lain ada adalah sistem ini 30 kali lebih cepat dari jenis tumbler mill, 3-6 kali lebih cepat dari jenis planetary ball mill (Wismogroho, 2014).
21
Mechanical alloying merupakan proses yang kompleks sehingga dibutuhkan sesuatu parameter proses yang mempengaruhi proses pemaduan sehingga mechanical alloying dapat berjalan secara optimal. Parameter proses ini yang akan mempengaruhi fasa produk atau struktur mikro hasil penggilingan. Beberapa parameter penting tersebut ialah (El-Eskandarany, 2001): 1.
tipe penggilingan
2.
media penggilingan
3.
lingkungan penggilingan
4.
temperatur penggilingan
5.
waktu penggilingan
6.
rasio berat serbuk terhadap bola giling
7.
atmosfer penggilingan
8.
material peralatan
Seluruh parameter proses ini tidak seluruhnya berdiri sendiri, masingmasing parameter saling mempengaruhi satu sama lain. Sebagai contoh waktu optimum penggilingan tergantung dari tipe penggilingan, ukuran media grinding, temperatur penggilingan, rasio berat bola dengan serbuk, dan lain-lain. 2.2.7. Material Pelapis Pemilihan jenis material pelapis merupakan faktor yang sangat penting. Karena material pelapis yang akan melindungi substrat dari degradasi lingkungan. Ada beberapa syarat umum yang harus dimiliki oleh material pelapis, seperti material pelapis harus dapat tahan terhadap lingkungan chemical dan perubahan temperatur. Selain itu, material pelapis secara mekanik harus terikat pada substrat. Material yang dapat digunakan sebagai material pelapis adalah aluminium, mangan, besi, dan lain-lain. a.
Aluminium Aluminium adalah suatu unsur kimia dalam tabel periodik dengan lambang
Al dan nomor atom 13. Sifat fisik aluminium relatif lunak, ringan, ulet, dengan warna keperakan ke abu-abu kusam. Foto serbuk aluminium ditunjukkan pada
22
Gambar. 2.7. Aluminium adalah logam non-ferro yang paling banyak digunakan. Beberapa penggunaan aluminium berada pada kendaraan, wadah makanan dan minuman, sistem konstruksi, dan instrumen musik. Aluminium memiliki lapisan protektif oksida Al2O3 (alumina) jika bereaksi dengan udara luar, alumina ini memiliki titik leleh 2040°C (Patnaik, 2002). Sifat-sifat lain yang dimiliki aluminium diantaranya (Callister, 2007): 1.
kepadatan yang relatif rendah yaitu 2,7 g/cm3 dibandingkan dengan baja 7,9 g/cm3
2.
konduktivitas listrik dan panas yang tinggi
3.
aluminium berfungsi sebagai zat reduktor untuk oksida MnO2 dan Cr2O2
4.
mempunyai sifat yang baik untuk proses mekanik, seperti proses penuangan, pomotogan, pembengkokan, dan lain-lain.
Gambar 2.7. Serbuk aluminium
Aluminium terdapat berlimpah dalam kulit bumi yaitu sekitar 7,6 % (Hatch, 1984). Walaupun ketersediaannya berlimpah, harga aluminium tetap tidak murah dikarenakan pengolahannya yang masih sulit. b.
Mangan Mangan adalah unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki lambang
Mn dan nomor atom 25. Mangan memiliki kekerasan yang tinggi, getas, berwarna
23
abu-abu putih dengan melting point pada temperatur 1246°C (Olsen, 2007). Foto Serbuk mangan ditunjukkan pada Gambar. 2.8. Logam ini ditemukan dalam keadaan berpadu dengan material lain, biasanya dengan ferro. Mangan adalah logam yang sangat penting di dalam dunia industri, terutama untuk paduan stainless steels. Pada saat mangan dipadukan dengan aluminium dapat meningkatkan ketahanan korosi (Chen, 2012). Pada saat pembuatan baja menambahkan mangan pada paduan karena (Olsen, 2007) : 1.
Untuk mempengaruhi kekuatan, ketangguhan, dan kekerasan pada element paduan.
2.
Untuk menggabungkan atau menghilangkan dengan belerang.
3.
Untuk mengendalikan morfologi sulfida.
4.
Untuk bertidak sebagai deoxidizer (penghilang oksida).
Gambar 2.8. Serbuk mangan (Tritrust, 2015)
Diagram fase ekuilibrium Mn-Fe ditunjukkan pada Gambar 2.9 serta aktivitas Mn dan Fe dalam paduan cair ditunjukkan pada Gambar 2.10 Kurva liquidus (fase larutan cair) memiliki batas minimum 1234°C dengan 12,7% Fe. Pada kandungan mangan tinggi, garis liquidus dan solidus (stabil atau padat) hampir bertepatan. Mangan dan besi tidak ditemukan untuk membentuk senyawa 24
intermetalik yang stabil. Reaksi peritrik pada keduanya dan mengkarakterisasi proses solidifikasi dimana cairan dan δ (bcc) bereaksi membentuk γ (fcc). Fasa γ membentuk solid soltions secara continuous. Pada suhu akhir suhu transformasi γ → β dinaikkan dengan penambahan Fe, mencapai maksimum 1155°C. β-Mn terurai menjadi γ-Mn dan α-Mn pada 700°C. Kelarutan mangan dalam α-Fe dan γ-Fe terbatas.
Liquid (δMn)BCC
(δFe)BCC
(γMn,Fe)FCC (βMn)CUB
(αFe)BCC
(αMn)CBCC
Gambar 2.9 Diagram fase ekuilibrium Mn-Fe (Olsen, 2007)
Gambar 2.10 Aktivitas Mn-Fe dalam paduan cair (Olsen, 2007)
25
c.
Ferro Ferro adalah unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki lambang Fe
dan nomor atom 26. Ferro adalah logam yang berasal dari bijih besi dan jarang ditemukan dalam keadaan unsur bebas. Ferro banyak digunakan untuk kehidupan manusia sehari-hari dan juga mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Ferro berwujud padat, mengkilap, dan berwarna keabu-abuan.Selain itu, unsur logam ini memiliki daya penghantar listrik dan panas yang baik. Serbuk ferro ditunjukkan pada Gambar. 2.11.
Gambar 2.11. Serbuk ferro
Penambahan unsur besi dalam material pelapis biasanya digunakan sebagai pengikat antara material pelapis dengan material yang dilapis (Canakci, 2014). Karena pada umumnya material yang dilapisi memiliki komposisi besi. Sehingga harapannya dengan menggunakan unsur ferrum dapat memberikan interface yang baik. 2.2.8. Heat Treatment Heat treatment adalah suatu proses mengubah sifat mekanis logam dengan cara mengubah struktur mikro melalui proses pemanasan dan pengaturan kecepatan pendinginan dengan atau mengubah komposisi kimia. Tujuan proses heat treatment adalah untuk menghasilkan sifat-sifat logam yang diinginkan. Perubahan sifat setelah heat treatment dapat mencakup keseluruhan bagian logam atau sebagian
26
logam (Mizhar, 2011). Heat treatment biasanya menggunakan pemanasan dan pendinginan hingga suhu ekstrim, untuk mencapai hasil yang diinginkan seperti meningkatkan atau menurunkan kekerasan pada baja. Heat treatment yang umumnya digunakan yaitu normalisasi, hardenening, tempering, dan lain-lain (Choudhury, 1999). Secara umum proses heat treatment adalah: 1.
memanaskan logam/paduannya sampai suhu tertentu (heating temperature)
2.
mempertahankan pada suhu pemanasan tersebut dalam waktu tertentu (holding time)
3.
mendinginkan dengan media pendinginan dan laju tertentu.
Pada metode pelapisan heat treatment ini dapat meningkatkan efisiensi dalam proses deposisi lapisan pada substrat (Mousavi, 2015). Sehingga daya ikat antara pelapis dengan substrat menjadi lebih kuat. Selain itu, pengaruh heat treatment pada lapisan dapat membuat lapisan yang terbentuk menjadi lebih seragam, padat, dan homogen. a.
Annealing Proses annealing yaitu proses pemanasan material sampai temperatur
austenit lalu ditahan beberapa waktu kemudian pendinginannya dilakukan secara perlahan-lahan di dalam tungku (Anrinal, 2013). Keuntungan yang didapat dari proses annealing adalah: 1.
menghilangkan tegangan sisa
2.
memperbaiki mampu mesin dan mampu bentuk
3.
menghilangkan terjadinya retak panas
4.
menurunkan ketidak homogenan struktur material
5.
memperhalus ukuran butir
Proses annealing ini terdiri dari beberapa tipe yang diterapkan untuk mencapai sifat-sifat tertentu, diantaranya full annealing, spheroized annealing, dan isothermal annealing.
27
b.
Hardening Hardening adalah proses perlakuan panas yang diterapkan untuk
menghasilkan benda yang memiliki kekerasan yang baik, dan tahan aus yang tinggi. Perlakuan ini terdiri dari memanaskan baja sampai temperatur pengerasan (austenit) dan menahannya pada temperatur tersebut dalam waktu tertentu, kemudian didinginkan dengan laju pendinginan yang sangat tinggi agar diperoleh kekerasan yang diinginkan. Alasan memanaskan dan menahannya pada temperatur austenit adalah untuk melarutkan sementit dalam austenit yang kemudian dilanjutkan dengan proses quench (Anrinal, 2013). c.
Tempering Proses memanaskan kembali baja yang telah dikeraskan disebut proses
temper. Dengan proses ini, keuletan dapat ditingkatkan namun kekerasan dan kekuatan material akan menurun. Pada sebagian besar baja struktur, proses tempering dimaksudkan untuk memperoleh kombinasi antara kekuatan, keuletan dan ketangguhan yang tinggi. Dengan demikian, proses tempering setelah proses pengerasan akan menjadi baja lebih bermanfaat karena adanya struktur yang lebih stabil (Anrinal, 2013). 2.2.9. Instrumen Analitik a.
X-Ray Diffraction Tahapan kerja x-ray diffraction (XRD) terdiri dari 4 tahap, yaitu: produksi,
difraksi, dan interpretasi. Untuk dapat melakukan fungsinya, XRD dilengkapi oleh komponen-komponen
penting
seperti:
tabung
sinar-X,
monochromator,
detector¸dan lain-lain yang ditunjukkan pada Gambar 2.12. Pada tahap produksi, elektron yang dihasilkan ketika filamen (katoda) dipanaskan akan dipercepat akibat perbedaan tegangan antara katoda dan logam target (anoda) sehingga terjadi tumbukan dengan anoda. Tumbukan antara elektron yang dipercepat tersebut dengan anoda akan menghasilkan radiasi sinar-X yang akan keluar dari tabung sinar-X dan berinteraksi dengan struktur kristal material yang diuji.
28
Gambar 2.12. Skema cara kerja XRD (Wu, 2017)
Pada tahap difraksi, radiasi sinar-X yang telah dihasilkan oleh tabung sinarX akan berinteraksi dengan struktur kristal material yang diuji. Material yang akan dianalisis struktur kristalnya harus berada dalam fasa padat karena dalam kondisi tersebut kedudukan atomnya-atomnya berada dalam susunan yang sangat teratur sehingga membentuk bidang-bidang kristal. Ketika suatu berkas sinar-X diarahkan pada bidang kristal tersebut maka akan timbul pola-pola difraksi ketika sinar-X melewati celah-celah kecil di antara bidang-bidang kristal tersebut. Gambar. 2.13. menunjukkan difraksi yang terjadi. Pola-pola difraksi tersebut sebenarnya menyerupai pola gelap dan terang. Pola gelap terbentuk ketika terjadi interferensi destruktif, sedangkan pola terang terbentuk ketika terjadi interferensi konstruktif dari pantulan gelombang-gelombang sinar-X yang saling bertemu. Interferensi konstruktif tersebut terjadi sesuai dengan Hukum Bragg berikut ini: nλ = 2 d sin θ dimana
...................................
(2.1)
:
n
= urutan difraksi (1,2,3,...)
λ
= panjang gelombang sinar-X
d
= jarak antar bidang kristal
θ
= sudut difraksi
29
Gambar. 2.13. Difraksi sinar-X (Shyung, 2014)
Interferensi konstruktif radiasi sinar-X hasil difraksi struktur kristal material yang diuji selanjutnya akan dideteksi oleh detektor. Agar detektor dapat mendeteksi interferensi konstruktif radiasi sinar-X hasil difraksi struktur kristal material yang diuji dengan tepat, maka posisinya harus berada tepat pada arah sudut pantul radiasi sinar-X tersebut. Gambar. Sekian merupakan ilustrasi deteksi dan interpretasi sinarX Interpretasi konstruktif radiasi sinar-X yang telah dideteksi oleh detektor selanjutnya akan diperkuat gelombangnya dengan menggunakan amplifier. Lalu interferensi konstruktif radiasi sinar-X tersebut akan terbaca secara spektroskopi sebagai puncak-puncak grafik yang ditampilkan oleh layar komputer. Dengan menganalisis puncak-puncak grafik tersebut struktur kristal suatu material dapat diketahui. Karakterisasi menggunakan XRD bertujuan untuk menentukan sistem kristal. Metode difraksi sinar-X dapat menerangkan parameter kisi, jenis struktur, susunan atom yang berbeda pada kristal, adanya ketidaksempurnaan pada kristal, orientasi, butir-butir, dan ukuran butir (Smallman, 1999). b.
Scanning Electron Microcope – Energy Dispersive X-ray Scanning electron microscope (SEM) adalah salah satu jenis mikroskop
elektron yang menggunakan berkas elektron untuk menggambarkan bentuk permukaan dari sampel yang dianalisis. SEM memiliki resolusi yang lebih tinggi daripada optical microscope (OM). Hal ini disebabkan panjang gelombang de
30
Broglie yang memiliki elektron lebih pendek daripada gelombang OM. Karena semakin kecil panjang gelombang yang digunakan maka semakin tinggi resolusi mikroskop. SEM memiliki resolusi yang lebih tinggi daripada OM. Resolusi yang mampu dihasilkan OM hanya 200 nm, sedangkan resolusi yang dapat dihasilkan SEM mencapai 0.1 – 0.2 nm. Prinsip kerja dari SEM adalah dengan menggambarkan permukaan benda atau material dengan berkas elektron yang dipantulkan dengan energi tinggi. Permukaan material yang disinari atau terkena berkas elektron akan memantulkan kembali berkas elektron atau dinamakan berkas elektron sekunder ke segala arah. Tetapi dari semua berkas elektron yang dipantulkan terdapat satu berkas elektron berintensitas tertinggi yang dipantulkan oleh sampel yang akan dianalisis. Pengamatan sampel dilakukan dengan menembakkan berkas elektron yang berintensitas tertinggi ke permukaan sampel, kemudian scan keseluruh permukaan material pengamatan. Karena luasnya daerah pengamatan, dapat dibatasi lokasi yang akan diamati dengan melakukan zoom-in atau zoom-out. Dengan memanfaatkan berkas pantulan dari benda tersebut maka informasi dapat diketahui dengan menggunakan program pengolahan citra yang terdapat di dalam komputer. Prinsip kerja dari SEM ditunjukkan pada Gambar. 2.14.
Gambar 2.14. Prinsip kerja SEM (Schweitzer, 2014)
31
Prinsip kerja yang ditunjukkan pada Gambar. 2.14 adalah sebuah pistol elektron memproduksi sinar elektron dan dipercepat dengan anoda. Lensa magnetik memfokuskan elektron menuju ke sampel. Sinar elektron yang terfokus memindai (scan) keseluruhan sampel dengan diarahkan oleh koil pemindai. Ketika elektron mengenai sampel maka sampel akan mengeluarkan elektron baru yang akan diterima oleh detektor dan dikirim ke monitor (CRT). Ada beberapa sinyal yang penting yang dihasilkan oleh SEM. Dari pantulan inelastis didapatkan sinyal elektron sekunder dan karakteristik sinar X, sedangkan dari pantulan elastis didapatkan sinyal backscattered electron. Perbedaan gambar dari sinyal elektron sekunder dengan backscattered adalah sebagai berikut: elektron sekunder menghasilkan topografi dari benda yang dianalisa, permukaan yang tinggi berwarna lebih cerah dari permukaan rendah. Sedangkan backscattered elektron memberikan perbedaan berat molekul dari atom – atom yang menyusun permukaan, atom dengan berat molekul tinggi akan berwarna lebih cerah daripada atom dengan berat molekul rendah. Untuk mengetahui komposisi kimia pada permukaan sampel, sebagian besar alat SEM dilengkapi dengan kemampuan energy dispersive x-ray (EDX). EDX dihasilkan dari sinar-X, yaitu dengan menembakkan sinar-X pada posisi yang ingin diketahui komposisinya. Setelah ditembakkan pada posisi yang diinginkan maka akan muncul puncak – puncak tertentu yang mewakili suatu unsur yang terkandung. Dengan EDX juga bisa membuat elemental mapping (pemetaan elemen) dengan memberikan warna berbeda – beda dari masing – masing elemen di permukaan sampel. EDX bisa digunakan untuk menganalisa secara kuantitatif dari persentase masing – masing elemen. SEM-EDX dapat memberikan informasi tentang topografi, morfologi, komposisi dari sampel yang dianalisis (Girao, 2017). Topografi adalah kemampuan untuk menganalisa permukaan dan teksture. Morfologi adalah kemampuan untuk menganalisa bentuk dan ukuran dari benda sampel. Komposisi adalah kemampuan menganalisa komposisi dari permukaan benda secara kuantitatif dan kualitatif.
32
c.
Automatic Microhardness Tester Kekerasan adalah salah satu sifat mekanik dari suatu material. Kekerasan
suatu material merupakan ketahanan suatu permukaan material terhadap deformasi plastis akibat penekanan. Sebuah indentor yang keras ditekankan dengan gaya tertentu ke permukaan logam uji. Deformasi yang terjadi karena adanya perubahan secara elastis dan plastis pada permukaan benda kerja. Pada suatu benda pasti memiliki tingkat kekerasan, karena kekerasan merupakan salah satu sifat mekanik yang pasti dimiliki oleh suatu material. Kekerasan merupakan kemampuan suatu material untuk menahan indentasi atau goresan (Callister, 2001). Dari uraian singkat di atas maka kekerasan suatu material dapat didefinisikan sebagai ketahanan material tersebut terhadap gaya penekanan dari material lain yang lebih keras. Penekanan tersebut dapat berupa metode penggoresan (scratching), metode elastis/pantulan, dan metode indentasi dari material keras terhadap suatu permukaan benda uji (Nugraheni, 2010). Metode ini dilakukan dengan penekanan benda uji dengan menggunakan indentor dengan gaya tekan dan waktu indentasi yang ditentukan. Gambar. 2.15. menunjukkan skema alat penguji kekerasan permukaan secara universal dengan metode indentasi. Prinsip kerja dari metode ini adalah menentukan jejak dari indentasi yang dihasilkan. Nilai kekerasan dari suatu bahan dilihat dari kedalaman jejak yang ditinggalkan. Jejak yang ditinggalkan menandakan bahwa logam tersebut telah terdeformasi plastis.
33
Gambar 2.15. Alat uji kekerasan universal dengan metode indentasi permukaan (Kuhn, 2000) Indentor bisa digunakan pada semua jenis kekerasan. Prinsip dari metode vickers sebenarnya sama seperti metode uji kekerasan lainnya, yaitu untuk mengetahui kemampuan dari suatu material untuk menahan deformasi plastis.
Gambar 2.16. Skematik prinsip indentasi dengan metode vickers (Kuhn, 2000)
34
Metode vickers menggunakan indentor intan piramida dengan sudut 136º yang ditunjukkan pada gambar di atas. Prinsip pengujiannya yaitu seperti metode Brinell, perbedaan yang mencolok hanya pada indentor dan hasil injakan. Metode vickers menghasilkan injakan berbentuk bujur sangkar berdiagonal. Nilai kekerasan ini diinterpretasikan atau diperkirakan berdasarkan ukuran injakan sisa pada benda uji. Bekas injakan diukur berdasarkan panjang rata-rata kedua diagonalnya agar dapat dihitung hasil dari nilai kekerasannya.
Gambar 2.17. Tipe-tipe lekukan piramid intan (a) lekukan yang sempurna, (b) lekukan bantal jarum, (c) lekukan berbentuk tong (Dieter, 1988) Bekas injakan yang benar pada proses pengujian kekerasan ditunjukkan pada Gambar. 2.17 (a) berbentuk persegi. Bekas ijakan diukur dengan panjang rata-rata kedua diagonalnya agar dapat dihitung hasil dari nilai kekerasannya. Lekukan bantal jarum tipe (b) adalah akibat terjadinya penurunan logam di sekitar permukaan piramida yang datar. Keadaan demikian terjadi pada logam-logam yang dilunakkan dan mengakibatkan pengukuran panjang diagonal yang berlebihan. Lekukan berbentuk tong tipe (c) akibat penimbunan ke atas logam-logam di sekitar permukaan penekan terdapat pada logam-logam yang mengalami proses pengerjaan dingin. Panjang diagonalnya diukur dengan skala pada mikroskop pengukur. Nilai kekersan suatu material diukur menggunakan persamaan standar ASTM E384-84 yaitu seperti yang ditunjukkan pada persamaan (2.2).
𝐻𝑉 =
1854,4 𝑃 2
𝑑 +𝑑 ( 1 2 2)
(
𝑘𝑔
𝑚𝑚2
)
........................................... (2.2)
35
kg
dengan: HV = hardness of Vickers (mm2 ) P = beban yang diberikan
(kgf)
d1 = panjang diagonal 1
(mm)
d2 = panjang diagonal 2
(mm)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan uji kekerasan dengan metode indentasi :
d.
1.
Alat uji kekerasan harus dikalibrasi terlebih dahulu.
2.
Indentor harus bersih dan terposisi dengan baik.
3.
Permukaan spesimen harus bersih dan rata.
4.
Arah penekan indentor harus tegak lurus.
5.
Jarak antar penekanan tidak boleh berdekatan.
6.
Tidak boleh melakukan penekanan pada ujung spesimen.
7.
Posisi spesimen uji harus tepat, tidak mudah bergeser atau berputar.
Muffle Furnace Pengujian laju oksidasi adalah pengujian yang dilakukan dengan cara
memaparkan material di dalam tungku pemanas dengan temperatur dan waktu yang ditentukan. Pada umumnya alat yang digunakan untuk pengujian ini adalah muffle furnace. Rumus laju oksidasi adalah: Laju oksidasi =
𝑚1 −𝑚0 𝐴
.................... (2.3)
dimana: m0 = massa sebelum pengujian oksidasi (g) m1 = massa setelah pengujian oksidasi (g) A = luas penampang (mm2)
36
Muffle furnace adalah tungku yang digunakan untuk memanaskan sampel sampai temperatur yang diinginkan menggunakan elemen pemanas. Kemudian mendapatkan pemanasan yang seragam, dan terjaga dari benda asing. Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui ketahanan suatu material pada lingkungan bertemperatur tinggi. Karena pada umumnya, semakin tinggi temperatur lingkungan maka material akan semakin mudah teroksidasi yang menghasilkan suatu lapisan oksida pada permukaan material. Semakin tebal lapisan oksida yang terbentuk mengindikasikan bahwa metalit element terdegradasi lebih cepat.
37