19
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Zakat 1. Pengertian, Dasar Hukum dan Prinsip Zakat Zakat merupakan salah satu nilai instrumental yang sangat strategis dalam sistem ekonomi
Islam yang mempengaruhi tingkah laku ekonomi seorang
muslim, masyarakat dan pembangunan ekonomi pada umumnya. Yusuf Qardhawi (1999 : 34) mengartikan zakat dalam bukunya yang dibagi menjadi dua yaitu menurut bahasa (lughah) dan menurut syara’ (hukum fikih). a. Menurut bahasa (lughah) adalah suci, bersih, tumbuh, bertambah, berkah, dan terpuji. b. Menurut syara’ (hukum fikih) bermakna pemberian yang wajib diberikan dari harta tertentu, menurut sifat - sifat dan ukuran tertentu kepada golongan tertentu. Kalau dipertautkan antara pengertian bahasa yang sangat mendasar dengan rumusan fikih, maka bermakna jiwa orang yang berzakat itu menjadi bersih dan kekayaannya bersih pula. Sedangkan menurut Mahmudi (2009 : 151) “Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh Muzakki sesuai dengan ketentuan syariah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya”. Menurut Undang-undang No. 38 Tahun 1999 yang terdapat dalam Lembaran Negara Nomor 164 (1999 : Pasal 1 ayat 2) “ Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan usaha yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya”. Dasar hukum diwajibkannya zakat disebutkan dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ ulama. Ayat – ayat Al-Qur’an yang dijadikan landasan diwajibkannya zakat disebutkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia dalam Al Qur’an
20
dan Terjemahannya (1992 : 15,427,307,781) antara lain pada surat Al-Baqarah ayat 43, surat At-Taubah ayat 103, surat Al-An’am ayat 141 dan surat An-Nuur ayat 56, dan masih banyak lagi ayat – ayat lain dalam Al-Qur’an yang menjadi dasar hukum diwajibkannya zakat . Sedangkan
dasar
hukum
yang
bersumber
dari
As-Sunnah,
yang
dikemukakan Departemen Agama Republik Indonesia dalam Al-Qur’an dan Terjemahannya (Ibid : 74) salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhari : dari Ibnu Abbas, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengirim Mu’adz bin Jabal ke Yaman dan bersabda : “Kau akan berada di tengah – tengah umat ahli kitab. Ajaklah mereka mengakui bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan saya adalah Rasul-Nya. Bila mereka menerima, beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka diwajibkan shalat lima kali dalam sehari semalam. Bila mereka menjalankannya, beritahukan pula bahwa mereka diwajibkan mengeluarkan zakat yang dipungut dari orang – orang kaya dan dikembalikan kepada orang – orang miskin. Dan bila mereka menjalankannya, maka kau harus melindungi kekayaan mereka itu, dan takutlah kepada do’a orang – orang yang teraniaya, karena antara do’a orang yang teraniaya dengan Allah tidak terdapat penghalang”. Dari dasar – dasar hukum di atas dapat disimpulkan bahwa hukum zakat adalah wajib bagi setiap orang Islam. Mannan dalam buku Triyuwono dan As’udi (2001 : 31) menjelaskan tentang urgensi dikeluarkannya zakat yang mengacu pada salah satu faktor untuk mengurangi tingkat kemiskinan bahwa : zakat adalah poros keuangan Negara Islami. Zakat meliputi bidang moral, sosial dan ekonomi. Dalam bidang moral zakat mengikis habis ketamakan dan keserakahan si kaya. Dalam bidang sosial, zakat bertindak sebagai alat yang khas yang diberikan Islam untuk menghapus kemiskinan dari masyarakat dengan menyadarkan si kaya akan tanggung jawab sosial yang mereka miliki. Sedangkan zakat dalam bidang ekonomi mencegah pemupukan kekayaan yang mengerikan dalam tangan segelintir orang dan memungkinkan kekayaan untuk disebarkan sebelum sempat menjadi besar dan sangat berbahaya di tangan para pemiliknya.
21
2. Sifat Umum Zakat Yusuf Qardhawi
(1999 : 999) menjelaskan bahwa
“ Pajak dan zakat
mempunyai kemiripan bila ditinjau dari sisi unsur paksaan untuk melunasinya, disetor kepada lembaga khusus dan tidak adanya kontra prestasi secara langsung serta dari sisi tujuannya zakat dan pajak digunakan untuk kesejahteraan masyarakat”. Zakat memiliki sifat – sifat yang tidak sama dengan pajak, Sifat – sifat tersebut dinyatakan secara terperinci oleh Hedeko Sato dalam buku Harahap (2001 : 299) sebagai berikut: a. zakat merupakan salah satu dari hukum Islam yang mencakup syahadat, shalat, zakat, shaum, dan haji. Zakat berhubungan erat dengan rukun Islam lainnya. Misalnya shalat adalah kewajiban badan, zakat kewajiban mengenai harta, b. hasil zakat harus digunakan dan dibayarkan kepada orang – orang tertentu yang disebut dalam Al-Qur'an dalam surat At-Taubah ayat 60 yaitu : fakir, miskin, amil, muallaf, orang yang berhutang, orang yang dibebaskan dari perbudakan, fisabilillah, dan musafir, c. tarif zakat sudah ditetapkan di dalam hadits, sesuai dengan jenis kegiatan ekonomi, d. zakat dikenakan hanya kepada pribadi muslim, walaupun demikian bagi perusahaan yang memiliki badan hukum yang independen dari pemegang saham, perusahaan ini dianggap merupakan subjek wajib zakat, e. utang tidak termasuk di dalam perhitungan harta yang wajib zakat, zakat hanya dikenakan pada aktiva bersih oleh karena harus dikurangkan, f. kekayaan yang wajib zakat harus melebihi batas jumlah tertentu (nisab) yang diatur dalam hadits. Batas merupakan jumlah harta yang diperlukan dan pendapatan yang memberikan kebutuhan dasar dari pemilik dan keluarganya, g. harta yang merupakan subjek zakat adalah harta yang telah melebihi satu tahun (haul). Walaupun demikian, mengangsur zakat tidak dilarang, h. harta yang merupakan subjek zakat adalah harta yang dimiliki dengan sempurna, tidak ada kontrol dari pihak lain, i. harta yang wajib zakat bersifat tumbuh dan berkembang dan bukan untuk kepentingan pribadi, akan tetapi sebagai harta yang dapat memberikan keuntungan, misalnya persediaan.
22
Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwasanya antara zakat dan pajak memiliki karakteristik yang berbeda. 3. Batasan – batasan (Nisab) Zakat Zakat dikeluarkan setelah mencapai batas minimal atas kewajiban yang dikeluarkannya zakat. Harta dalam Islam dapat menggolongkan pemiliknya ke dalam golongan orang – orang kaya menurut pengertian zakat, zakat wajib dikeluarkan apabila telah memenuhi dua syarat seperti yang dikemukakan oleh Muhammad (2005 : 160), yaitu: a. harta itu telah sampai kepada batas minimal yang diistilahkan dengan nisab. Batas minimal ini diperkirakan untuk barang – barang komoditi seharga 20 dinar emas, b. pemilik harta tetap memiliki se-nisab ini dalam masa satu tahun penuh, selebihnya dari kebutuhan – kebutuhannya yang asli seperti tempat tinggal, makanan, dan pakaian. April Purwanto (2009 : 14 - 37) batas minimum terhadap barang atau harta yang dimiliki seperti emas dan perak, barang tambang dan harta karun, binatang ternak, produk pertanian, barang komersial dan industri telah tetap pengaturannya. a. Emas dan Perak Bila seseorang memiliki emas sebesar 20 dinar atau perak 200 dirham dan sudah setahun, maka ia telah terkena wajib zakat yakni sebesar 2,5% b. Barang – barang Tambang dan Harta Karun Zakat yang dikeluarkan berkisar antara 2,5 % hingga 20 % c. Binatang Ternak zakatnya dihitung seperti zakat pertanian kalau sudah mencapai nisab (85 gram emas maka wajib dikeluarkan zakatnya 2,5 % s/d 10%). d. Produk Pertanian
23
Besarnya zakat pertanian berkisar antara 5% hingga 10% tergantung dari mudah susahnya, dan biaya yang dikeluarkan selama proses perawatan selama tanam hingga panen. e. Barang – barang Komersial dan Industri Zakat dikenakan adalah 2,5% dari semua barang komersial.
B. Konsep tentang Pengelolaan Zakat Berdasarkan Undang-Undang No. 38 tahun 1999 1. Pengertian Pengelolaan Zakat Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dan keputusan dan keputusan menteri Agama Republik Indonesia Nomor 581 Tahun 1999 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat : a. pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat (Pasal 1 Ayat (1)) b. muzakki adalah orang atau badan yang dimiliki oleh orang muslim yang berkewajiban menunaikan zakat (Pasal 1 Ayat (3)) c. mustahik adalah orang atau badan yang berhak menerima zakat (Pasal 1 Ayat (4)) 2. Azas dan Tujuan Pengelolaan Zakat Agar tujuan sumber dana dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat perlu adanya pengelolaan zakat secara profesional dan bertanggung jawab yang dilakukan oleh masyarakat bersama pemerintah. Dalam hal ini
24
pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan dan pelayanan kepada muzakki, mustahik dan pengelola zakat. Untuk maksud tersebut, maka dalam pengelolaan zakat tersebut harus berdasarkan iman dan taqwa agar dapat mewujudkan keadilan sosial, kemashlahatan keterbukaan dan kepastian hukum sesuai jiwa pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 (Pasal 4). Adapun tujuan pengelolaan zakat paling tidak adalah meliputi hal-hal berikut : a. meningkatkan kesadaran masyarakat dalam penunaian dan dalam pelayanan ibadah zakat sesuai dengan tuntutan agama. b. meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahtraan masyarakat dan keadilan sosial. c. meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat (Pasal 5). 3. Organisasi Pengelolaan Zakat Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang berkedudukan di Ibu kota Negara dibentuk oleh presiden atas usul menteri, sedangkan Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) berkedudukan di Ibu kota Prospinsi, Kabupaten dan Kecamatan dibentuk oleh Gubernur, Bupati/Walikota dan Camat atas usul kepala kantor Departemen Agama setempat. Di setiap kelurahan dan desa dapat dibentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ) oleh BAZ Kecamatan. Demikian pula BAZNAS dan BAZDA yang lain dapat dibentuk UPZ di instansi Pemerintah dan swasta sesuai dengan tingkatannya dan sesuai kebutuhan. Susunan dan tata kerja BAZ dan UPZ diatur lebih lajut dengan keputusan Menteri. Selain oleh BAZ, pengelolaan zakat juga dapat dilakukan oleh Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang didirikan oleh
25
masyarakat dan keberadaannya dikukuhkan oleh pemerintah setelah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. 4. Persayaratan Lembaga Pengelola Zakat Mahmudi (2009 : 12) salah satu syarat pendirian LAZ adalah berbadan hukum yayasan. berdasarkan Undang-undang yayasan, struktur organisasi yayasan terdiri atas tiga unsur yaitu pembina pengurus dan pengawas. Yusuf AlQardhawi (Ibid : 551) menyatakan seorang amil zakat atau pengelola zakat harus memiliki beberapa persyaratan sebagai berikut: 1. beragama Islam. 2. mukallaf. Yaitu orang yang dewasa yang sehat akal pikirannya yang siap menerima tanggu jawab mengurus ummat 3. memiliki sifat amanah atau jujur. 4.
mengerti dan memahami hukum-hukum zakat, akan mengundang kepercayaan dari masyarakat.
5. memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas dengan sebaikbaiknya. 6. kesungguhan amil zakat dalam melaksanakan tugasnya. Di Indonesia, berdasarkan keputusan Menteri Agama R.I. Nomor 581 Tahun 1999, dikemukakan bahwa lembaga zakat harus memiliki persyaratan teknis antara lain adalah : 1. berbadan hukum ; 2. memiliki data muzakki dan mustahik ; 3. memiliki program kerja yang jelas ;
26
4. memiliki pembukuan yang baik ; 5. melampirkan surat pernyataan bersedia diaudit . Persyaratan tersebut tentu mengarah pada profesionalitas dan transparansi dari setiap lembaga pengelola zakat.
C. Konsep Zakat Badan Usaha 1. Pengertian Zakat dan Dasar Hukum Secara fikih perusahaan tidak merupakan objek yang wajib membayar zakat maka yang wajib itu bukan perusahaan tapi pemiliknya. Menurut Hasbi AshShiddiqi dalam buku Sofyan Syafri Harahap (2001 : 301) bahwa “ Pada tahun kedua hijriyah syara’ menentukan jenis harta yang wajib dizakati, diantaranya yaitu emas dan perak, perniagaan, peternakan, tanaman, dan barang – barang temuan (rikaz) atau harta karun”. Dalam konteks zakat badan usaha, maka secara syariah, zakat ini merupakan peng-qiyas-an dari zakat perniagaan. Zakat perusahaan kadarnya dihitung berdasarkan neraca perusahaan yang besarnya 2,5%. Namun dalam kaitan dengan pajak, zakat yang digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak berdasarkan laporan laba/rugi. Dengan demikian, akan terjadi kesamaan antara pendapatan yang diperoleh melalui kegiatan usaha perusahaan seperti itu dan penghasilan para pedagang yang diharuskan mengeluarkan zakat perdagangannya ketika mereka menjual hasil perdagangannya. 2. Standar Akuntansi Zakat Badan Usaha Dari pandangan secara makro maka tujuan akuntansi syariah dikemukakan oleh Triyuwono (2001 : 27) adalah:
27
a. merupakan dasar dalam perhitungan zakat, b. memberikan dasar dalam pembagian keuntungan, distribusi kesejahteraan dan pengungkapan terhadap kejadian dan nilai – nilai, c. untuk meyakinkan bahwa usaha yang dilakukan perusahaan bersifat Islami dan hasil (laba) yang diperoleh tidak merugikan masyarakat.
Oleh sebab itu maka Harahap (2001 : 322) mengemukakan standar akuntansi terhadap zakat yang terpenting adalah sebagai berikut: a. penilaian current exchange value (nilai tukar sekarang) atau harga pasar. Kebanyakan para ahli fikih mendukung bahwa harta perusahaan pada saat menghitung zakat harus dinilai berdasarkan harga pasar, b. aturan satu tahun. Untuk mengukur nilai aktiva, kalender bulan harus dipakai kecuali untuk zakat pertanian. Aktiva harus diberlakukan lebih dari satu tahun, c. aturan mengenai independensi. Peraturan ini berkaitan dengan standar di atas. Zakat yang dihitung tergantung pada kekayaan akhir tahun. Piutang pendapatan yang bukan pendapatan tahun ini dan pendapatan yang dipindahkan ke depan tidak termasuk, d. standar realisasi. Kenaikan jumlah diakui pada tahun yang bersangkutan apakah transaksi selesai atau belum. Piutang (transaksi kecil) harus dimasukkan dalam perhitungan zakat, e. yang dikenakan zakat, nisab harus dihitung menurut hadits dimana tidak ditagih zakat dari orang yang tidak cukup kekayaannya senisab, f. net total (gross) memerlukan net income. Setelah satu tahun penuh, biaya, hutang, dan penggunaan keluarga harus dikurang dari income yang akan dikenakan zakat, g. kekayaan aktiva, apakah di Negara Islam atau bukan, jika pemiliknya adalah Islam, maka harus dimasukkan dalam perhitungan kekayaannya yang akan dikenakan zakat dan dihitung nisab. Triyuwono ( 2001 : 81 ) menjelaskan bahwa yang termasuk dalam aktiva yang dikenai kewajiban zakat (selain aktiva tetap) adalah kas dan setara kas, piutang, aktiva yang diperoleh untuk diperdagangkan dan aktiva pembiayaan. a. Kas dan Setara Kas Kas terdiri dari saldo kas (cash on hand) dan rekening giro, sedangkan setara kas (cash equivalent) adalah investasi yang sifatnya sangat liquid, berjangka pendek dan yang dengan cepat dapat dijadikan kas dalam jumlah tertentu tanpa menghadapi resiko perubahan yang signifikan.
28
b. Piutang Piutang adalah klaim tehadap pihak lain atas penyerahan barang atau jasa dalam rangka kegiatan usaha perusahaan. Piutang di sini adalah piutang netto setelah dikurangi provisi untuk piutang ragu – ragu. c. Aktiva yang diperoleh untuk diperdagangkan (seperti persediaan, surat berharga, real estate dan lain - lain). Aktiva yang diperoleh untuk diperdagangkan harus diukur pada nilai ekivalen tunainya pada saat zakat sampai haul dan nisab-nya. d. Aktiva Pembiayaan (seperti mudharabah, musyarakah, salam, istishna’ dan lain - lain). Aktiva Pembiayaan haruslah merupakan aktiva bersih (netto) dari semua provisi untuk semua nilai atau non-collectibility-nya. Dana – dana yang digunakan untuk mendapatkan aktiva tetap yang berhubungan dengan aktiva pembiayaan harus dikurangkan. Mengenai masalah pengklarifikasian aktiva tersebut, Gambling dan Karim dalam Buku Muhammad (2005 : 164) menyatakan bahwa “ Pengklarifikasian aktiva menjadi aktiva lancar (current asset) dan aktiva tetap (non-current asset) mempunyai arti yang berbeda dalam pandangan syariah Islam. Dari kacamata syariah
tentunya
pengklarifikasian
aktiva
tersebut
digunakan
untuk
mengidentifikasi aktiva yang terkena zakat (zakatable assets)”. 3. Nisab dan Perhitungan Zakat Badan Usaha Dalam menentukan kapan sebuah perusahaan dapat dikenakan zakat dari hasil usahanya harus memenuhi syarat – syarat yang telah diatur dalam fikih. Sementara itu para ahli fikih menyatakan perhitungan zakat perusahaan masih menemui kesulitan karena adanya perbedaan format perhitungan serta elemen laporan keuangan yang berbeda dengan format baku saat ini dengan menurut fikih. Perbedaan itu misalnya dalam menghitung laba, menghitung biaya, aktiva tetap, dan sebagainya. Oleh sebab itu, maka Muhammad (2005 : 164) mencoba untuk memberikan penjelasan dalam hal pengukuran zakat ini yaitu “ Untuk kepentingan zakat, pengukuran yang lebih relevan digunakan adalah net cost
29
accounting atau net realizable value atau Continuously Contemporary Accounting (CoCoA) dan tidak menggunakan historical cost accounting”. Dalam perbankan syariah, telah diatur suatu standar untuk pembuatan laporan keuangannya yang berbeda dengan perbankan konvensional pada umumnya. Dengan dikeluarkannya PSAK No. 59 yang walaupun diakui belum sepenuhnya murni bersifat syariah karena merupakan penggabungan dari PSAK yang ada. Prinsip – prinsip akuntansi yang berlaku umum serta standar lain yang diadopsi dari luar negeri, maka ada beberapa jenis laporan keuangan harus disajikan oleh sebuah lembaga keuangan syariah yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia dalam PSAK No. 59 tentang Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Bank Syariah (2009 : Paragraf 68): a. komponen laporan keuangan mencerminkan kegiatan komersial: (1) laporan posisi keuangan (2) laporan laba rugi (3) laporan arus kas (4) laporan perubahan ekuitas, b. komponen laporan keuangan mencerminkan kegiatan sosial : (1) laporan sumber dan penggunaan dana zakat ; dan (2) laporan sumber dan penggunaan dana kebajikan c. komponen laporan keuangan lainnya yang mencerminkan kegiatan dan tanggung jawab khusus entitas syariah tersebut Lebih jauh lagi Ikatan Akuntan Indonesia dalam PSAK No. 59 tentang Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Bank Syariah (Ibid : Paragraf 41) menyebutkan bahwa: Untuk mencapai tujuannya, laporan keuangan disusun atas dasar akrual. Dengan dasar ini, pengaruh transaksi dan peristiwa lain diakui pada saat kejadian (dan bukan pada saat kas atau setara kas diterima atau dibayar) dan diungkapkan dalam catatan akuntansi serta dilaporkan dalam laporan keuangan pada periode yang bersangkutan. laporan keuangan yang disusun atas dasar akrual memberikan informasi kepada pemakai tidak hanya transaksi masa lalu yang melibatkan penerimaan dan pembayaran kas, tetapi
30
juga kewajiban pembayaran kas di masa depan serta sumber daya yang merepresentasikan kas yang diterima di masa depan. Oleh karena itu, laporan keuangan menyediakan jenis informasi transaksi masa lalu dan peristiwa lainnya yang paling berguna dalam pengambilan keputusan. Kemudian Ikatan Akuntan Indonesia masih dalam buku yang sama PSAK No. 59 tentang Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Bank Syariah (Ibid : Paragraf 42) menyatakan ”penghitungan pendapatan untuk tujuan bagi hasil usaha menggunakan dasar kas”. Walaupun sebenarnya untuk paragraf 42 dalam PSAK 59 masih dalam proses perdebatan yang panjang, karena sebagian dari praktisi bank syariah menilai tidak sesuai diterapkan dalam lembaga perbankan yang berbasis syariah. Hamidi (2003 : 224) berpendapat bahwa “ Bank syariah akan mengalami kerugian apabila ia dipaksa untuk mengikuti PSAK 59, khususnya harus mencatat pengakuan pendapatan laporan keuangan dengan dasar accrual, dikarenakan akan sulit dilakukan pencatatan untuk pembiayaan mudharabah dan musyarakah mengingat pendapatan yang diperoleh tidak dapat dipastikan besarnya”. Konsekuensi dari keadaan ini adalah bank syariah akan menanggung pajak yang sudah harus dibayarkan, sementara sebenarnya penerimaan tersebut belum pasti menjadi milik bank. Pengaruh yang paling besar kepada pembayaran zakat adalah bahwa apabila zakat telah dikeluarkan, tetapi ternyata di akhir periode pendapatan yang belum nyata itu tidak dapat diperoleh sehingga berakibat tidak sesuainya pengeluaran zakat dengan laba yang diperoleh. Walaupun demikian, PSAK No. 59 ini tetap diberlakukan dengan tetap mempertimbangkan keadaan. Dari beberapa penjelasan dan teori – teori yang ada di atas, baik itu tentang konsep zakat badan usaha maupun tata cara perhitungan zakat perusahaan, maka
31
penulis mencoba untuk memberikan sebuah contoh laporan keuangan sebuah perusahaan sebagai dasar dalam perhitungan zakat perusahaan.
Tabel 2.1 Contoh Neraca Badan Usaha Syariah PT. BANK ABC Neraca Per 31 Desember 2006 Aktiva Jumlah Kas dan setara kas Rp 409.108.784,00 Piutang bersih 856.468.432,00 Pembiayaan mudharabah 40.000.000,00 Pembiayaan musyarakah 60.000.000,00 Istishna' 40.000.000,00 Real estate yang diperdagangkan 22.661.318,00 Surat berharga yang diperdagangkan 329.084.458,00 Persediaan 21.628.260,00 Investasi yang diperdagangkan 81.000.000,00 Investasi yang tidak diperdagangkan 68.865.984,00 Total Aktiva Lancar 1.928.817.236,00 Aktiva/Bangunan yang disewakan 165.984.062,00 Aktiva tetap yang dipakai 21.519.160,00 Total Aktiva tetap 187.503.222,00 Total Aktiva Rp 2.116.320.458,00
Passiva Utang lancar Wesel bayar Utang lain-lain
Rp
Cadangan untuk resiko investasi Utang jangka panjang Total utang Modal investasi terbatas Penyertaan minoritas Penyertaan Modal: Kenaikan modal Cadangan Laba ditahan Laba bersih tahun berjalan Total modal Rp Total Passiva Rp
Jumlah 42.261.454,00 99.122.188,00 106.370.108,00
18.888.596,00 200.000.000,00 466.642.346,00 1.369.009.432,00 40.000.000,00
208.000.000,00 6.668.680,00 20.000.000,00
6.000.000,00 240.668.680,00 2.116.320.458,00
Sumber : diolah oleh penulis Informasi tambahan: a. penyertaan modal termasuk penyertaan modal dari pemerintah, penyertaan lembaga atau organisasi non-profit dan sumbangan sebesar Rp. 6.000.000,-, b. nilai setara kas untuk asset yang diperdagangkan adalah:
32
Tabel 2.2 Nilai Setara Kas untuk Asset yang Diperdagangkan Penilaian berdasarkan Nilai Kas dan pada laporan keuangan Setara Kas Surat berharga Rp 329.084.458,00 Rp 361.084.458,00 Rp Persediaan 21.628.260,00 31.628.260,00 Bangunan/Properti 22.661.318,00 32.661.318,00 Investasi lainnya 81.000.000,00 90.000.000,00 Total Rp 454.374.036,00 Rp 515.374.036,00 Rp Akun
Selisih 32.000.000,00 10.000.000,00 10.000.000,00 9.000.000,00 61.000.000,00
Sumber : diolah oleh penulis Dari contoh laporan keuangan di atas, Harahap (2001 : 307) menyebutkan beberapa metode dalam menghitung zakat perniagaan khususnya untuk perusahaan yang dikemukakan oleh beberapa tokoh seperti T.E. Gambling dan R.A Karim, Yusuf Qardhawi, Bazis DKI, Syarikat Takaful Malaysia Sdn. Berhad dan Bank Muamalat Indonesia. a. Menurut T.E. Gambling dan R.A. Karim Zakat perdagangan dikenakan pada nilai bersih kekayaan, yaitu: (modal + laba bersih) x 2,5% atau atas modal kerja atau laba bersih. b. Menurut Yusuf Qardhawi Seseorang yang memiliki kekayaan perdagangan yang sudah satu tahun dan se-nisab pada akhir tahun itu, maka wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 2,5% dihitung dari modal dan keuntungan (zakat dikenakan dari pangkal dan pertumbuhannya), bukan dari keuntungannya saja. Sedangkan untuk aktiva tetap maka tidak diwajibkan atas zakat kecuali jika aktiva tetap itu menghasilkan keuntungan atau pendapatan, maka zakat atas aktiva tetap besarnya 10% dari hasil bersih setelah dikurangi biaya – biaya yang dikeluarkan. Tetapi hasil bersih tidak mungkin untuk diketahui, maka zakat dikenakan atas seluruh hasil sebesar 5%. c. Bazis DKI Bazis DKI menghitung zakat dari aktiva lancar sesuai dengan neraca tahunan, yaitu uang yang ada di Kas dan Bank, surat – surat berharga, persediaan, dikurangi dengan kewajiban yang harus dibayar dengan ketentuan nisab 98 gram emas murni dan tarif zakat 2,5%. Dalam perhitungan ini aktiva tetap dan utang jangka panjang tidak diperhitungkan. d. Menurut Syarikat Takaful Malaysia Sdn. Berhad Zakat dihitung sebesar 2,5% dari keuntungan sebelum pajak. e. Menurut Bank Muamalat Indonesia
33
Zakat perusahaan dihitung 2,5% dari laba perseroan sebelum pajak. (laba dihitung menurut prinsip akuntansi) yang berlaku (PSAK). f. Menurut BPRS Al-Washliyah Zakat perusahaan dihitung 2,5% dari keuntungan bagi hasil nasabah setiap bulannya, Jadi tidak dapat diperhitungkan satu persatu. Dan tidak dapat ditentukan besarnya zakat yang diperoleh dari laba usahanya, dikarenakan zakat dihitung dari keuntungan bagi hasil dari setiap nasabah yang bersipat sukarela. Dari beberapa konsep perhitungan yang dikemukakan di atas, maka penulis mencoba melakukan perhitungan zakat berdasarkan contoh yang ada. a. Menurut T.E. Gambling dan R.A. Karim Berdasarkan contoh di atas maka kewajiban zakat adalah sebagai berikut: (modal + cadangan – aktiva tetap) + Laba Bersih x 2,5% = (Rp 234.668.680 - Rp 21.519.160) + Rp. 6.000.000 x 2,5% = (Rp. 213.149.520 + Rp. 6.000.000) x 2,5% = Rp. 219.149.520 x 2,5% = Rp. 5.478.738 maka zakat yang dikeluarkan sebesar Rp. 5.478.738. Keterangan : modal = total modal – laba bersih tahun berjalan. b. Menurut Yusuf Qardhawi Berdasarkan contoh diatas maka perhitungan zakat perusahaan adalah sebagai berikut: 1) (modal + laba bersih) x 2,5% (Rp. 234.668.680 +Rp. 6.000.000) x 2,5% = Rp. 6.016.717
34
2) Keuntungan dari aktiva tetap yang disewakan yaitu sebesar Rp. 165.984.062 dan keuntungan bersih diasumsikan sebesar Rp. 14.500.000 tarif zakat 10%, maka zakat yang wajib dibayar adalah Rp. 14.500.000 x 10% = Rp 1.450.000,-. c. Bazis DKI Berdasarkan contoh diatas maka zakat dapat dihitung sebagai berikut: (aktiva lancar - utang lancar) x 2,5% = (Rp. 1.859.951.252 - Rp 266.642.346) x 2,5% = Rp. 1.593.308.906 x 2,5% = Rp 39.832.722,65 Keterangan :
aktiva lancar = total aktiva lancar – investasi yang tidak diperdagangkan utang lancar = total utang – utang jangka panjang.
d. Menurut Syarikat Takaful Malaysia Sdn. Berhad Laba bersih tahun berjalan dalam laporan keuangan di atas adalah Rp. 6,000,000,- maka diasumsikan bahwa laba perusahaan sebelum dikurangi pajak adalah sebesar Rp. 9.671.000 .perhitungan zakatnya adalah sebagai berikut: Rp. 9.671.000 x 2,5% = Rp. 241.775. e. Menurut Bank Muamalat Indonesia Berdasarkan contoh di atas maka zakat dihitung sebagai berikut: Rp. 9.671.000 x 2,5% = Rp. 241.775. f. Menurut BPRS Al-Washliyah
35
Tidak berdasarkan contoh dikarenakan perhitungan zakatnya dihitung berdasarkan keuntungan bagi hasil nasabah dikalikan 2,5 % yang bersipat sukarela. Misalnya : Rp 150.000 x 2.5 % = 3.750 Penilaian dan pengukuran akun – akun laporan keuangan syariah sangat berkaitan erat dengan metode pengukuran zakat. Adapun metode pengukuran zakat Harahap (2001 : 315) ada 2 yaitu metode aktiva bersih dan metode dana yang diinvestasikan bersih. a. Metode Aktiva Bersih (Net Asset) 1) subjek zakat terdiri dari kas dan setara kas, piutang bersih (total piutang dikurangi piutang ragu - ragu), aktiva yang diperdagangkan seperti persediaan, surat berharga, real estate dan lain – lain dan pembiayaan mudharabah, musyarakah, salam, dan istishna’), aktiva tetap bukan merupakan subjek zakat, 2) aktiva yang dimaksudkan untuk diperdagangkan kembali diukur pada nilai kas ekivalen dari aktiva tersebut pada saat kewajiban zakat dibayarkan. b. Metode Dana yang Diinvestasikan Bersih (Net Invested Funds) Metode Net Invested Funds sebagai dasar dalam menghitung zakat perusahaan telah diterapkan oleh sistem perhitungan zakat di Arab Saudi. Pos – pos yang terdapat dalam dasar perhitungan zakat perusahaan dengan metode Net Invested Funds adalah sebagai berikut: 1) Modal disetor (paid up capital) atau tambahan modal yaitu modal pemilik dan setiap tambahan/kenaikan modal selama satu tahun, 2) Cadangan yang tidak dikurangkan dari aktiva, 3) Laba ditahan termasuk laba ditahan yang digunakan sebagai cadangan, 4) Laba bersih yang belum dibagikan. Dikurangi : 1) Aktiva tetap bersih, 2) Investasi yang tidak digunakan dalam perdagangan, misalnya gedung yang disewakan, 3) Kerugian yang terjadi selama satu tahun.
36
Mufraini (2006 : 128) Formula perhitungan zakat dengan metode net asset adalah: zakat = [ (kas dan setara kas + piutang bersih + pembiayaan + aktiva yang diperdagangkan) - (utang lancar + modal investasi tak terbatas + Dasar penilaian dalam menghitung penyertaan minoritas +zakat: penyertaan dari pemerintah + endowment + lembaga social + organisasi non provit penyertaan lembaga sosial, Tabel enwoodment dan lembaga non 2.3 profit ) ] x 2,5 %
Tabel 2.3 Metode Aktiva Bersih
Metode Aktiva Bersih
Dasar Penilaian
Aktiva : Kas dan Setara Kas Nilai Kas atau setara kas Piutang Bersih Nilai Kas atau setara kas Pembiayaan Mudharabah Nilai Kas atau setara kas Pembiayaan Musyarakah Nilai Kas atau setara kas Salam Istishna’ Nilai Kas atau setara kas Aktiva yang diperdagangkan : Nilai Kas atau setara kas Persediaan Nilai Kas atau setara kas Surat Berharga Nilai Kas atau setara kas Real Estate Nilai Kas atau setara kas Utang : Utang lancer Nilai Buku Wesel Bayar Nilai Buku Utang Lain – lain Nilai Buku Modal Investasi Tak Terbatas Nilai Buku Penyertaan dari pemerintah, penyertaan lembaga Nilai Buku Penyertaan Minoritas Nilai Buku Sumber : Sofyan Syafri Harahap, 2001 Formula perhitungan zakat dengan menggunakan metode net invested funds adalah sebagai berikut: zakat = [ (tambahan modal + cadangan + cadangan yang tidak dikurangkan dari aktiva + laba ditahan + laba bersih + utang jangka Dasar penilaian dalam- menghitung zakat panjang (aktiva tetap + : investasi yang tidak diperdagangkan + kerugian)] x 2,5 % Tabel 2.4
37
Tabel 2.4 Metode Dana yang Diinvestasikan Bersih Metode Net Invested Funds Aktiva yang diperdagangkan : Gedung yang disewakan Lain – lain Aktiva tetap Bersih Cadangan yang tidak dikurangkan dari aktiva Utang Lancar dan Wesel Bayar Modal pemilik : Tambahan Modal Cadangan Laba Ditahan Laba Bersih Sumber : Sofyan Syafri Harahap, 2001
Dasar Penilaian
Nilai Buku Nilai Buku Nilai Buku Nilai Buku Nilai Buku Nilai Buku Nilai Buku Nilai Buku
Dari contoh sebelumnya maka perhitungan zakat menurut kedua metode tersebut di atas adalah: Tabel 2.5 Perhitungan Zakat dengan Metode Aktiva Bersih (Net Asset) Aktiva Subjek Zakat Kas dan setara kas Piutang bersih Pembiayaan Mudharabah Pembiayaan Musyarakah Istishna' Persediaan Surat berharga Real estate yang diperdagangkan Investasi lainnya yang diperdagangkan Total Dikurangi: Utang Utang lancar Wesel bayar Utang lainnya Penyertaan pemerintah dan organisasi non profit/sosial, dll Penyertaan minoritas Modal investasi tak terbatas Total Dasar perhitungan zakat Zakat periode berjalan = 258.188.070X2,5%
Sumber : diolah oleh penulis
Rp 409.108.784,00 856.468.432,00 40.000.000,00 60.000.000,00 40.000.000,00 31.628.260,00 361.084.458,00 32.661.318,00 90.000.000,00
Rp
1.920.951.252,00
42.261.454,00 99.122.188,00 106.370.108,00 6.000.000,00 40.000.000,00 1.369.009.432,00 1.662.763.182,00 258.188.070,00 6.454.701,75
38
Tabel 2.6 Perhitungan Zakat dengan Metode Dana yang Diinvestasikan Bersih (Net InvestedFunds) Total modal (dikurangi penyertaan pemerintah dan sumbangan) Ditambah: Selisih nilai aktiva yang diperdagangkan dalam neraca dan nilai setara kas Utang jangka panjang Cadangan untuk resiko investasi Total Dikurangi: Aktiva yang disewakan Investasi bukan untuk diperdagangkan Aktiva tetap Total Dasar perhitungan zakat Zakat periode berjalan= 258,188,070.00X2,5%
Rp 234.668.680,00
Rp
61.000.000,00 200.000.000,00 18.888.596,00 514.557.276,00 165.984.062,00 68.865.984,00 21.519.160,00 256.369.206,00 258.188.070,00 6.454.701,75
Sumber : diolah oleh penulis
Baik dengan metode aktiva bersih maupun dengan metode dana yang diinvestasikan bersih, menghasilkan jumlah akhir zakat periode berjalan yang sama yaitu sebesar Rp. 6.454.701,75.
D. Konsep Pajak Penghasilan 1. Pengertian Pajak Penghasilan Kata pajak penghasilan memiliki dua pengertian, yaitu pengertian pajak dan pengertian penghasilan. Waluyo (2006 : 2) mendefinisikan pajak yaitu: ........Pajak sebagai iuran kepada warga Negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh wajib pajak, membayarnya menurut peraturan – peraturan, dengan tidak mendapatkan prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran – pengeluaran umum berhubungan dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
39
Lain halnya dengan definisi pajak yang dikemukakan oleh Prof. Sumitro yang dikutip oleh Waluyo (Ibid : 3) bahwa “ Pajak merupakan iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang – undang yang dapat dipaksakan dengan tiada mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditujukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum“. Sedangkan penghasilan menurut Judisseno (2002 : 76) adalah “ Jumlah uang yang diterima atas usaha yang dilakukan orang perorangan, badan, dan bentuk usaha lainnya yang dapat digunakan untuk aktivitas ekonomi seperti mengkonsumsi, dan/atau menimbun serta menambah kekayaan”. Hal di atas juga senada dengan definisi pajak penghasilan menurut Undang – undang pajak penghasilan Nomor 36 (2008 : Pasal 4 ayat 1) yaitu “ Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak tersebut”. Jika dipandang dari sudut akuntansi sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku di Indonesia yaitu menurut Ikatan Akuntan Indonesia dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 46 (2009 : Paragraf 7) “pajak penghasilan adalah pajak yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan pajak ini dikenakan atas penghasilan kena pajak perusahaan”.
2. Subjek Pajak Penghasilan Menurut Undang – undang perpajakan Nomor 36 (2008 : Pasal 2 ayat 1) tentang Pajak Penghasilan “Orang pribadi yang menjadi subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada diindonesia ataupun diluar Indonesia”. Selanjutnya
40
Judisseno (2002 : 79) memberikan penjelasan tentang kewajiban pajak orang pribadi, badan, warisan dimulai dan berakhir pada : a.
b. c.
orang pribadi dilahirkan, berada atau berniat bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama – lamanya, badan didirikan atau berkedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi berkedudukan di Indonesia, timbulnya warisan dan berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagikan.
Menurut Waluyo (2006 : 61) ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam rangka memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif, yaitu: a.
b. c.
d.
orang pribadi bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada diindonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada diindonesia dan mempunyai nia untuk bertempat tinggal di Indonesia bagi badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. bagi orang yang tidak bertempat tinggal diIndonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang didirikan dan tidak bertempat kedudukan diindonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usahan diIndonesia, kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap diindonesia. bagi orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau berada diindonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan diindonesia yang dapat memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau kegiatan usaha tetap diindonesia, kewajiban pajak sunjektifnya dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut memperoleh penghasilan dari Indonesia dan berakhir pada saat tidak lagi menerima penghasilan tersebut.
3. Objek Pajak Penghasilan dan Penghasilan Kena Pajak Menurut Undang – undang Perpajakan Nomor 36 (2008 : Pasal 4 ayat 1) tentang Pajak Penghasilan “yang menjadi objek pajak penghasilan yaitu setiap
41
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun“. Menurut Waluyo (2006 : 67), penghasilan yang menjadi objek pajak dapat digolongkan menjadi: 1. penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notarim aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya. 2. penghasilan dari usaha dan kegiatan . 3. penghasilan dari modal yang berupa harta gerak maupun harta tak gerak seperti bunga, deviden, royalti, sewa dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha. 4. penghasilan lain – lain seperti pembebasan hutang dan hadiah Perhitungan penghasilan kena pajak dari suatu badan usaha dihitung berdasarkan laba bersih yang belum dikurangkan pajak maupun zakat. Lapisan penghasilan kena pajak yang diatur dalam Undang – undang Perpajakan untuk wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yaitu: Penerapan tarif pajak atas penghasilan berdasarkan Undang-undang pajak penghasilan Nomor 36 Tahun 2008 perhitungan pajak terhutang untuk wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 25%. Untuk keperluan penerapan tarif pajak penghasilan, jumlah penghasilan kena pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh. Misalnya diketahui penghasilan kena pajak sebesar Rp 7.576.350,00. Untuk keperluan penerapan tarif pajak penghasilan, penghasilan kena pajak tersebut dibulatkan ke bawah menjadi Rp 7.575.000,00
4. Hubungan antara Zakat Badan Usaha dengan Pajak Penghasilan
42
Hubungan yang paling mendasar antara Undang – undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan dan Undang – undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yaitu laba bersih tahun berjalan dari suatu usaha dapat dikurangkan dengan zakat yang dibayarkan oleh muzakki sehingga penghasilan kena pajak dapat berkurang. Dalam Undang – undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan Undang – undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, terdapat kaitan yang cukup erat. Dengan adanya UU tersebut umat Islam baik sebagai pribadi maupun sebagai pemilik badan usaha, dapat memperhitungkan zakat yang telah dibayarkan untuk dikurangkan atas penghasilannya dalam menentukan besarnya pajak penghasilan. Peraturan dalam kedua Undang – undang tersebut tercatat dalam Lembaran Negara Nomor 127 (2000 : Pasal 14 ayat 3) dinyatakan “ Zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku“. Berkaitan dengan UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan di atas, terdapat hal – hal yang dijadikan pedoman yaitu: 1. zakat yang dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak adalah hanya zakat atas penghasilan, dan sepanjang berkenaan dengan penghasilan yang menjadi objek pajak, 2. dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi muslim dan wajib pajak badan yang dimiliki muslim,
43
3. pembayaran zakat yang dapat diakui sebagai pengurang penghasilan kena pajak adalah kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah, 4. zakat yang diterima oleh Badan Amil Zakat, Lembaga Amil Zakat dan mustahik tidak termasuk objek pajak.
E. Tinjauan Peneliti Terdahulu Penelitian mengenai analisis Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, perhitungan pajak penghasilan sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Tabel 2.7 Tinjauan Peneliti Terdahulu No 1.
Nama Peneliti
Judul Penelitian
Hasil Penelitian
Ancas
Pelaksanaan
Sulchantifa
Pengelolaan menurut dihadapi dalam pelaksananaan
Pribadi, SH
Undang-undang 38
Tahun
Masih banyaknya kendala yang
No. pengelolaan zakat, diantaranya 1999 kurangnya pemahaman zakat
Tentang Pengelolaan pada masyarakat Zakat (Studi di BAZ Kota Semarang) 2.
Romy Maurung
C. Analisis
Perhitungan perhitungan zakat yang telah
Zakat Badan Usaha dilakukan oleh manajemen PT. Syariah
Dan Bank
Muamalat
Indonesia,
44
Hubungannya Dengan Tbk. Pajak pada
Cabang
Medan
telah
penghasilan sesuai dengan aturan yang ada, Pt.
Bank baik itu secara konsep UU
Muamalat Indonesia, Pajak Penghasilan dan UU No tbk. Cabang Medan
38
Tahun
1999
tentang
Pengelolaan Zakat serta standar akuntansi
keuangan
yang
berlaku di Indonesia 3.
Qurratul
‘Aini Pengelolaan
Wara Hastuti
Zakat menunjukan
Untuk Pengembangan pengelolaan Usaha Kecil
implentasi zakat
hukum
Islam
dilaksanakan
pada
menurut telah propinsi
NTB berdasarkan UU Nomor 38 Tahun 1999.
F. Kerangka Konseptual Adapun alur pelaksanaan penelitian yang akan penulis lakukan mengenai permasalahan yang akan dibahas adalah pemaparan mengenai adanya beberapa pendapat fikih dalam Islam yang berbeda-beda dalam menyikapi permasalahan kewajiban pengeluaran zakat bagi suatu badan usaha hingga peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam bentuk peraturan perundang-undangan baik yang berhubungan dengan perpajakan maupun tentang pengelolaan zakat itu sendiri. Untuk lebih jelasnya maka penulis dapat
45
menguraikan alur yang digambarkan dalam sebuah kerangka konseptual sebagai berikut: Konsep Fikih Islam Dalam Masalah Zakat
Konsep Pengelolaan Zakat Format Baku dalam Islam
Bahasa Fikih Kontemporer
Undang-undang No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat
Metode Syarikat Tafakul Malaysia Sdn. Berhad
PT. BANK Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) AlWshliyah Medan
Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tentang pajak penghasilan Zakat Sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak (Deductable Exspense)
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual diatas menjelaskan bahwa permasalahan seputar pengelolaan dan perhitungan zakat atas suatu badan usaha disebabkan oleh adanya perbedaan format perhitungan antara format baku yang ada saat ini dengan bahasa fikih kontemporer. pada mulanya konsep perhitungan zakat diambil berdasarkan konsep hukum Islam atau bahasa fikih, Islam sendiri tidak mengatur secara khusus dalam perhitungan zakat badan usaha sehingga memunculkan beberapa pendapat dari intelektual muslim yang memberikan metode-metode perhitungan zakat badan usaha. Dari berbagai metode perhitungan zakat tersebut maka
46
ditetapkanlah perhitungan yang dipakai adalah Metode Syarikat Tafakul Malaysia Sdn. Berhad. Metode ini mempunyai kesesuaian dengan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, Undang-undang tersebut membolehkan menggunakan metode tersebut. PT. Bank Pembiayaan Rakyat syariah (BPRS) Al-Wasliyah menggunakan format perhitungan yang sama dengan Metode Syarikat Tafakul Malaysia Sdn. Berhad.karena ada kesesuaian dengan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Ditambah lagi bahwa sesuai dengan Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan, dimana zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Dimana hal ini telah pula di akomodasi oleh PT. Bank Pembiayaan Rakyat syariah (BPRS) Al-Wasliyah Medan.
1. Hipotesis Berdasarkan hal-hal yang telah diungkapkan di awal, maka peneliti menetapkan hipotesis akan masalah yang diteliti adalah : a. analisis Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat pada PT. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Al-Washliyah Medan yang dilakukan sesuai dengan konsep undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang pengelolaan zakat serta standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.