BAB II TINJAUAN LITERATUR 2.1 Teori Agency dan Teori Stewardship Teori keagenan pertama kali dicetuskan oleh Jensen dan Meckling pada tahun 1976. Teori agensi menggambarkan hubungan agensi sebagai suatu kontrak di bawah satu prinsipal atau lebih yang melibatkan agen untuk melaksanakan beberapa pelayanan bagi mereka dengan melakukan pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Baik prinsipal maupun agen diasumsikan sebagai orang ekonomi rasional (homo Economicus) dan semata-mata termotivasi oleh kepentingan pribadi. Hal ini dapat memicu terjadinya konflik keagenan (Jensen dan Meckling, 1976). Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak antara prinsipal dengan agen. Masalah agensi timbul karena adanya konflik kepentingan antara shareholders dan manajer, karena tidak bertemunya utilitas yang maksimal antara mereka. Sebagai agen, manajer secara moral bertanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan para pemilik (principal), namun disisi lain manajer juga mempunyai kepentingan memaksimalkan kesejahteraan mereka. Berkenaan dengan hal tersebut, ada kemungkinan besar agen tidak selalu bertindak demi kepentingan terbaik principal (Jensen dan Meckling, 1976) Menurut Eisenhardt (1989) dalam Ujiyantho (2007) teori keagenan menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari risiko/risk averse. Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut manajer sebagai manusia akan bertindak opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya (Haris, 2004 dalam Indriastuti dan Ifada, 2011). Masalah keagenan juga dapat terjadi karena adanya asymetric information antara pemilik dan manajer, yaitu ketika salah satu pihak memiliki informasi yang tidak dimiliki oleh pihak lainnya. Asymetric information
11
terdiri dari dua tipe, yaitu: (1) adverse selection, pada tipe ini, pihak yang merasa memiliki informasi lebih sedikit dibandingkan pihak lain tidak akan mau untuk melakukan perjanjian, dan (2) moral hazard, pada tipe ini, manajer melakukan tindakan tanpa sepengetahuan pemilik untuk keuntungan pribadinya dan menurunkan kesejahteraan pemilik dan hal ini bisa terjadi kapan saja (Jensen dan Meckling, 1976). Adanya agency problem, menimbulkan biaya keagenan (agency cost), yang menurut Jensen dan Meckling (1976) terdiri dari: a) The Monitoring expenditures by the principle. Biaya monitoring yang dikeluarkan oleh prinsipal untuk memonitor perilaku agen, termasuk juga usaha untuk mengendalikan perilaku agen melalui budget restriction, dan compensation policies. b) The bonding expenditures by the agent. The bonding cost dikeluarkan oleh agen untuk menjamin bahwa agen tidak akan menggunakan tindakan tertentu yang akan merugikan prinsipal atau untuk menjamin bahwa prinsipal akan diberi kompensasi jika ia tidak mengambil banyak tindakan. c) The residual cost. Yang merupakan penurunan tingkat kesejahteraan prinsipal maupun agen setelah adanya agency relationship.
Tabel 1 Asumsi Dasar dalam Agency Theory Asumsi Manusia Model Perilaku Fakta Penerapannya Akibat Yang Timbul Konsekuensi
: Homo Economicus, yang memaksimalkan Utilitasnya : Self Serving Behavior : Prinsipal dan Agen cenderung menerapkan Tujuan secara kaku (rigid) : Conflik of Interest : Timbul agency cost dalam mengawasi Manajer/agen
12
Pemecahan Reward
Asumsi Informasi
: Sharing rule antara prinsipal dan agen perlu dibuat : Ekstrinsik, yaitu komoditi berwujud dan Bisa dipertukarkan dan memiliki nilai pasar yang bisa diukur : Sebagai komoditi yang dapat diperjualbelikan
Sumber: Arifin, 2005. Pidato Pengukuhan Guru Besar UNDIP.
Tabel 2 Perbandingan Teori Agency dan Teori Stewardship Model manusia Perilaku Mekanisme Psikologi: Motivasi
Perbandingan sosial Identifikasi
Kekuasaan Mekanisme situasional:
Filosofi manajemen Orientasi risiko Kerangka waktu Tujuan Perbedaan budaya
Teori Agency Berorientasi ekonomi Melayani diri sendiri
Teori Stewardship Aktualisasi diri Melayani orang lain
Kebutuhan yang lebih rendah (psikologi, keamanan, ekonomi)
Kebutuhan yang lebih tinggi (pertumbuhan, prestasi, aktualisasi diri) Intrinsik Prinsipal Menilai komitmen tinggi (pakar, referen) Perseorangan Berorientasi partisipasi Kepercayaan Jangka panjang Perbaikan kinerja Kebersamaan Rentang kekuasaan rendah
Ekstrinsik Manajer Menilai komitmen rendah (legitimasi, memaksa, reward) Institusional Berorientasi pengawasan Mekanisme kontrol Jangka pendek Pengawasan biaya Individualis Rentang kekuasaan tinggi
Sumber: FX Anton, Majalah Informatika Vol.1 No.2 Mei 2010
13
2.2 Agency Theory dan Stewardship Theory di Organisasi Nirlaba Teori keagenan dalam organisasi nirlaba (Caers,et al, 2006) dapat dilihat dari dua sudut pandang (1) hubungan internal principal-agent yaitu interaksi diantara board of directors (the principal) dan manajer (the agent); (2) hubungan eksternal principal-agent yaitu hubungan antara stakeholder atau donator (principal) dan board of directors (agent). Board of directors yang bertindak sebagai prinsipal berperan dalam pencapaian misi dan tujuan organisasi. Dari perspektif keagenan, board of directors dihadapkan pada keputusan apakah akan menerapkan langkahlangkah pengendalian terhadap perilaku agen yang mengejar tujuan untuk kepentingannya (conflict of interest). Secara normatif, pengendalian board of directors yang kuat dianggap penting dalam organisasi nirlaba (Fama, 1980; Fama dan Jensen, 1983; Jensen, 1986; Weisbach, 1988; Osytrowski, 1990 dalam Caers, et al, 2006). Namun demikian penelitian Middleton (1987) dalam Caers, et al (2006) menunjukkan bahwa banyak board of directors di organisasi nirlaba mengabaikan pengendalian terhadap perilaku agen. Glaeser (2003) dalam Caers, et al (2006) juga menyatakan bahwa pengendalain yang lemah di organisasi nirlaba disebabkan karena intrumen pengendalian yang terbatas. Pendekatan managerial power juga menjelaskan bahwa lemahnya pengendalian organisasi nirlaba berhubungan dengan komposisi board of directors. Komposisi board of directors berfokus pada keuntungan, kerugian, dan keseimbangan antara board insider dan outsider, CEO duality dan keragaman anggota dewan. Menurut Callen dan Falk (1993) dalam Caers, et al (2006) bahwa anggota board sebagai insider trustee apabila mereka menerima renumerasi dari organisasi. Jika tidak, maka anggota board tersebut merupakan outsider trustee. Selanjutnya menurut Lorsch dan Maclver (1989) dalam Caers, et al (2006) keuntungan utama dari peran insider board terletak pada pengetahuan dan informasi terutama kekuatan dan kelemahan organisasi , kesulitan internal organisasi sehingga insider board dapat berperan dalam pengambilan keputusan organisasi. Namun demikian, menurut Callen dan Falk bahwa renumerasi bagi insider trustee memberi motivasi untuk mengejar kepentingan mereka sendiri
14
dalam proses pengambilan keputusan (conflict of interest), contohnya, menaikkan gaji. Dalam organisasi nirlaba dimana CEO duality diterapkan (yaitu, manajer yang ditunjuk sebagai ketua board) maka manajemen dapat memiliki pengendalian langsung atas keputusan-keputusan board. Dari perspektif agency, kerangka ini akan memungkinkan insider trustee bertindak untuk keuntungan sendiri. Dengan demikian fungsi board tidak akan berjalan efisien karena terhalang oleh insider trustee. Partisipasi outsider trustee diyakini akan meningkatkan kesadaran board untuk meningkatkan strategi dan teknologi bagi organisasi atau membuat norma-norma operasional organisasi (Fama dan Jensen, 1983; Westphal dan Zajac, 1995 dalam Caers, et al, 2006) atau strategi untuk meningkatkan donation (Ostrower dan Stone, 2005 dalam Caers, et al, 2006). Sebagai bias dari persentasi board outsider di organisasi nirlaba dipandang sebagai ukuran untuk tata kelola organisai (corporate governance) (Beatty dan Zajac, 1994 dalam Caers, et al, 2006). Namun, menurut Lorsch dan Maclver (1989), Westphal dan Zajac, (1995) dan Alexander dan Fennell (1993) dalam Caers, et al (2006) bahwa anggota outsider board tidak secara otomatis lebih independen dari insider board. Para peneliti berpendapat bahwa outsider board yang memiliki kesamaan demografis dengan manajer cenderung mengejar tujuan yang sama dan memiliki minat yang sama dan ini akan menimbulkan probabilitas bahwa outsider board akan mendukung keputusan manajemen, mengurangi pengendalian, dan evaluasi kinerja akan lebih positif. Menurut Bebchuk dan Fried (2003) dalam Caers, et al (2006) ada dua teori yang dominan yaitu (1) pendekatan kontrak optimal (the optimal contracting approach; dan (2) pendekatan kekuasaan manajerial (managerial power approach) dalam hubungan board-manager. Ketika pendekatan kontrak optimal dilaksanakan maka manajemen tidak dapat mempengaruhi board pada saat pemilihan dan pencalonan kembali anggota board dan voting rights terhadap board sehingga board akan berusaha untuk menerapkan mekanisme insentif bagi organisasi untuk merangsang manajer bertindak untuk kepentingan stakeholders.
15
Sedangkan penerapan pendekatan kekuasaan manajerial, manajer memiliki pengaruh yang besar dalam proses pemilihan kembali anggota board atau dalam proses pengambilan keputusan board. Menurut Provan (1991) dalam Caers, et al (2006) bahwa jumlah informasi yang diterima seseorang dalam organisasi berhubungan positif dengan pengaruhnya pada pengambilan keputusan. Dengan demikian manajer yang memiliki informasi yang lebih banyak dianggap memiliki pengaruh lebih besar dalam pengambilan keputusan. Sehingga potensi terjadi moral hazard akan terus terjadi. Masalah moral hazard terjadi ketika asymmetrical information menjadi faktor penting dan dalam hubungan antara board dan manajemen. Pertama, dalam proses seleksi (calon) manajer akan terjadi adverse selection. Menurut Pontes (1995) dalam Caers, et al (2006), kandidat yang memiliki informasi yang lebih banyak daripada board akan mencoba untuk menggunakan asymmetrical information dengan cara menunjukkan kekuatan dan kompetensi diri melalui kualifikasi akademik, keanggotaan dalam asosiasi profesi, rekomendasi pekerjaan sebelumnya dan izin dari pemerintah untuk menyakinkan anggota board. Kedua, asymmetry information menjadi penting dalam pertemuan board dan manajemen dimana manajer diminta untuk menjelaskan keadaan organisasi sehingga manajer akan memberikan informasi yang terbaik tentang arah organisasi, tujuan yang telah dicapai dan belum dicapai organisasi dan peluang organisasi ke depan. Untuk mengurangi asymmetry information maka board misalnya dapat melakukan audit (Bamberg dan Spremmann, 1987 dalam Caers, et al, 2006).
16
Tabel 3 Prinsip Teori dan Aplikasi Teori Keagenan Teori Keagenan (Agency theory) Tema Utama (Main Theme) Ketidaksesuaian Tujuan (Goal incongruence): Menganggap perbedaan tujuan merupakan tindakan yang rasional berdasarkan kepentingan sendiri. Ketidakpercayaan merupakan kecenderungan awal. Pengendalian berorientasi pada filosofi manajemen. Asumsi-asumsi teori berasal dari ilmu ekonomi. Prinsip Teori Penggunaan insentif dan sanksi untuk mendorong keselarasan tujuan: Menetapkan risiko terhadap agen untuk memastikan kepatuhan pada tujuan Monitoring Sistem reward Penggunaan ikatan (bonding) yang mengancam reputasi Aplikasi Mengurangi perilaku oportunistik Menggunakan insentif dan sanksi untuk mengurangi terjadinya asymmetric information Memperbaharui persyaratan kontrak yang lebih spesifik khususnya pada aset dan moral hazard Penggunaan reputasi sebagai bagian dari insentif dan sanksi Memastikan keselarasan tujuan Sumber : Van Slyke, 2006. Journal of Public Administration Research and Theory.
17
Tabel 4 Prinsip Teori dan Aplikasi Teori Stewardship Teori Stewardship Tema Utama (Main Theme) Keselarasan tujuan: Sasaran dan objektif dicapai melalui kepercayaan sebagai disposisi awal. Keterlibatan berorientasi filosofi manajemen. Asumsi teoritis berasal dari perilaku organisasi, psikologi, dan sosiologi. Prinsip Teori Memberdayakan pekerja melalui: Tanggung Jawab Otonomi Budaya dan norma- norma bersama. Kekuatan pribadi dan kepercayaan Mekanisme tata kelola lainnya. Aplikasi Keselarasan tujuan berdasarkan tujuan dan berbagi kepercayaan. Reward Pekerja melalui mekanisme non-uang. Mengurangi ancaman perilaku oportunistik melalui tanggung jawab dan otonomi. Mengurangi ancaman terhadap organisasi dari informasi asimetri, moral hazard, dan kekhususan aset. Mengurangi ketergantungan pada hukum kontrak untuk menegakkan perilaku. Menggunakan reputasi sebagai insentif dan sanksi. Sumber : Van Slyke, 2006. Journal of Public Administration Research and Theory.
18
2.3 Konsep dan Definisi Corporate Governance Bila dilihat dari perkembangan teori perusahaan dan hubungannya dengan kebutuhan good corporate governance, dari perspektif teori keagenan, tabel 2 berikut ini menunjukkan perkembangan akan kebutuhan good corporate governance pada teori korporasi klasik, modern, dan postmodern. Tabel 5 Perkembangan Teori Korporasi dan Implikasinya Terhadap Good Corporate Governance TEORI KORPORASI KLASIK
TEORI KORPORASI MODERN
TEORI KORPORASI POST-MODERN
Karakteristik : 1. Perusahaan dengan single majority shareholders. 2. Prinsipal merangkap sebagai agen. 3. Keseimbangan kepentingan antara prinsipal dan agen tidak penting.
Karakteristik : 1. Perusahaan dengan banyak pemegang saham, namun masih ada kepemilikan mayoritas. 2. Fungsi prinsipal dan agen mulai terpisah. 3. Meskipun pemilik mayoritas masih memiliki otoritas yang besar, kepentingan pemegang saham minoritas sudah diperhatikan.
Karakteristik : 1. Perusahaan dengan banyak pemegang saham, dan tidak ada kepemilikan mayoritas. 2. Sulit untuk mengidentifikasi “ the true principal”. 3. Prinsipal umumnya tidak atau kurang memahami bisnis. 4. Agen memiliki pengaruh yang besar dalam menjalankan perusahaan. 5. Terjadi ketidakseimbangan kepentingan (conflict of interest).
IMPLIKASI :
IMPLIKASI :
IMPLIKASI :
19
Aspek Good Corporate Governance TIDAK diperlukan
Aspek Good Corporate Governance MULAI diperlukan
Aspek Good Corporate Governance SANGAT diperlukan
Sumber: Arifin, 2005. Pidato Pengukuhan Guru Besar Undip
Teori keagenan memberikan landasan model teoritis yang sangat berpengaruh terhadap konsep corporate governance dimana pengelolaan perusahaan harus diawasi dan dikendalikan untuk memastikan bahwa pengelolaan dilakukan dengan penuh kepatuhan pada peraturan dan ketentuan yang berlaku. Kata “Governance” berasal dari bahasa Perancis “Gubernance” yang berarti pengendalian. Selanjutnya kata tersebut dipergunakan dalam konteks kegiatan perusahaan atau jenis organisasi yang lain, menjadi corporate governance. Dalam bahasa Indonesia hal ini sering diterjemahkan secara harfiah sebagai tata kelola atau tata pemerintahan perusahaan (Sutojo dan Aldridge, 2005 dalam Priambodo & Supriyatno, 2007). Perkembangan konsep corporate governance sesungguhnya telah jauh dimulai bersama dengan dikembangkannya sistem korporasi di Inggris, Eropa, dan Amerika Serikat sekitar satu setengah abad lalu (1840-an). Untuk pertama kalinya, istilah corporate governance diperkenalkan oleh Cadbury Committee pada tahun 1992 dalam laporannya yang dikenal sebagai Cadbury Report. Laporan inilah yang menentukan praktik Corporate Governance di seluruh dunia. Menurut Cadbury Committee, corporate governance adalah: “ A set of rules that define the relationship between shareholder, managers, creditors, the government, employees and other internal and external stakeholders in respect to their rights and responsibilities”. Definisi ini dinyatakan mengenai seperangkat peraturan yang berhubungan dengan shareholder, manajer, kreditor, pemerintah, pegawai dan pihak stakeholder baik internal maupun eksternal. 20
Menurut OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) mendefinisikan Corporate Governance sebagai berikut : “corporate governance is the system by which business corporations are directed and controlled. The Corporate Governance structure specifies the distribution of the right and responsibilities among different participants in the corporation, such as the board, managers, shareholders, and spell out the rules and procedures for making decisions on corporate affairs. By doing this, it also provides this structure through which the company objectives are set, and the means of attaining those objectives and monitoring performance” Artinya bahwa corporate governance merupakan struktur hubungan serta kaitannya dengan tanggung jawab di antara pihak-pihak terkait yang terdiri dari pemegang saham, anggota dewan direksi dan komisaris termasuk manager, yang dirancang untuk mendorong terciptanya suatu kinerja yang kompetitif yang diperlukan dalm mencapai tujuan utama perusahaan. Definisi diatas melihat Corporate Governance sebagai suatu sistem dimana sebuah organisasi termasuk organisasi gereja perlu untuk diarahkan dan diawasi. Sejalan dengan itu, maka struktur dari Corporate Governance menjelaskan distribusi hak-hak dan tanggung jawab dari masing-masing yang terlibat dalam sebuah organisasi, yaitu antara manajemen gereja dan pihak-pihak lain yang terkait sebagai stakeholders. Selanjutnya, struktur dari Corporate Governance juga menjelaskan bagaimana aturan dan prosedur dalam pengambilan keputusan kebijakan sehingga dengan melakukan itu semua maka tujuan organisasi dan pemantauan kinerjanya dapat dipertanggungjawabkan dan dilakukan dengan baik. Menurut Price Waterhouse Coopers (Indra & Ivan, 2006, hal.26): “Corporate governance terkait dengan pengambilan keputusan yang efektif. Dibangun melalui kultur organisasi, nilai-nilai, sistem, berbagai proses, kebijakan-kebijakan dan struktur 21
organisasi, yang bertujuan untuk mencapai bisnis yang menguntungkan, efisien, dan efektif dalam mengelola risiko dan bertanggung jawab dengan memerhatikan kepentingan stakeholders.” Syakhrosa (2003) mendefinisikan Corporate Governance secara lebih gamblang, mudah dan jelas dimana ia mengatakan bahwa : “Corporate Governance adalah suatu sistem yang dipakai “Board” untuk mengarahkan dan mengendalikan serta mengawasi (directing, controling, and supervising) pengelolaan sumber daya organisasi secara efisien, efektif, ekonomis, dan produktif – E3P dengan prinsip-prinsip transparan, accountable, responsible, independent, dan fairness – TARIF dalam rangka mencapai tujuan organisasi” Syakhrosa (2003) mengatakan secara tegas bahwa corporate governance terdiri dari 6 (enam) elemen, yaitu : 1. Fokus kepada Board Board adalah pucuk pimpinan suatu organisasi yang bertanggung jawab untuk mengarahkan dan mengendalikan serta mengawasi pemakaian sumber daya supaya selaras dengan tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Mengapa CG harus fokus kepada board? Karena Board adalah yang bertanggung jawab dan memiliki otoritas penuh dalam membuat keputusan tentang bagaimana melakukan pengarahan, pengendalian dan pengawasan atas sumber daya sesuai dengan tujuan organisasi. Dalam melakukan pengelolaan sumber daya ini tentu saja harus memenuhi kaidah-kaidah efisien, efektif, ekonomis dan produktif – E3P dengan selalu berorientasi kepada tujuan organisasi. Steinberg dan Bromilow (2000) dalam Syakhrosa (2003) menyatakan secara tegas bahwa good corporate governance akan bisa dibangun dalam suatu organisasi apabila organisasi tersebut memiliki strategy dan planning (lazim disebut strategic planning) yang dapat diimplementasikan secara terukur dari waktu ke waktu. Apabila strategy planning ini terukur secara
22
jelas maka akan memudahkan bagi board untuk mengukur dan memantau kinerja organisasi secara berkesinambungan. Perencanaan, pemantauan, penilaian dan pengawasan – P4 atas pengelolaan sumber daya dalam suatu organisasi apakah sudah sesuai dengan tujuan organisasi dengan tetap berpijak kepada kaidah-kaidah E3P. Oleh karena itu maka indikator-indikator kinerja tersebut harus disusun dan ditetapkan secara adil dan bertanggung jawab – fairness and accountable, kinerja tersebut harus dikomunikasikan secara terbuka dan bisa dipertanggungjawabkan – transparant and responsible, dan akhirnya dalam melakukan pengelolaan sumber daya, keputusan yang dibuat harus bebas – independent dari intervensi pihak manapun. 2. Hukum dan peraturan sebagai alat untuk mengarahkan dan mengendalikan. Suatu organisasi membutuhkan suatu perangkat hukum dan peraturan yang ditujukan kepada Board untuk melindungi dan memagari agar keputusan yang dibuat oleh board bisa independen dan pengelolaan sumber daya perusahaan menjadi optimal (Syakhroza, 2003). Secara tidak berlebihan jika banyak para peneliti CG menyatakan bahwa inti disiplin ilmu yang membentuk Corporate Governance adalah hukum (antara lain Seiznick, 1948;Burel & Morgan, 1979;Fama and Jensen, 1983 dalam Syakhrosa, 2003). Pengertian hukum disini tidak hanya perangkat hukum yang berasal dari luar organisasi saja tetapi juga produk hukum internal organisasi seperti kebijakan organisai, prosedur standar operasi, dan sebagainya. Produk hukum dalam membangun corporate governance harus di taati tanpa menggangu Board dan manajemen organisasi dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Misalnya, kepedulian organisasi terhadap pembangunan masyarakat sekitarnya (community development) tidk boleh menggangu kepada pencapaian tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Kepedulian terhadap masyarakat sekitar ini adalah sebagai konsekuensi organisasi sebagai open system yang harus menjaga keseimbangan kepentingan stakeholders (Cadbury, 1999). 23
3. Pengelolaan sumber daya organisasi secara efisien, efektif, ekonomis, dan produktif – E3P. Adanya perangkat hukum dan peraturan adalah sebagai upaya untuk memberikan pedoman yang berisi petunjuk dan batasan kepada Board untuk bertindak lebih independen. Board Governance yang baik tentu saja akan berupaya secara terus menerus bagaimana mengalokasikan sumber daya secara maksimal dalam kerangka pencapaian tujuan organisasi. 4. Transparan, accountable, responsible, independent, dan fairness – TARIF. Pentingnya penegakkan Good Corporate Governance adalah merupakan cerminan keseriusan Board dalam memberikan komitmen kepada pencapaian tujuan organisasi. Kakabadse, Kakabadse, dan Kouzmin (2001) dalam Syakhrosa (2003) telah secara tegas menyimpulkan bahwa Good Governance yang telah tertata dengan baik akan selalu “concern” terhadap bagaimana operasional organisasi in line with tujuan organisasi. Untuk itu maka Board akan menyiapkan suatu perangkat pengukuran kinerja yang line up dengan tujuan organisasi yang dipakai oleh Board sebagai alat untuk melakukan pemantauan dan pengendalian kinerja organisasi. 5. Strategic control Corporate governance merupakan salah satu instrumen strategic control perusahaan (Fama dan Jensen, 1983 dalam Syakhrosa, 2003). Fokus kepada Board dan berorientasi kepada tujuan perusahaan adalah menunjukan bahwa CG merupakan alat pengendalian strategis perusahaan. 2.4. Prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) 2.4.1 Prinsip-prinsip GCG Menurut Menteri BUMN Prinsip-prinsip good corporate governance menurut Menteri BUMN Nomer. KEP-117/M-MBU/2002 tentang penerapan praktik GCG pada BUMN pasal 3 dalam Wardoyo dan Lena (2010) yaitu:
24
1. Transparansi, yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materil dan relevan mengenai perusahaan dan mencegah upaya penyembunyian informasi yang relevan bagi pengguna maupun stakeholder. 2. Akuntabilitas, yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. 3. Kemandirian, yaitu suatu keadaan di mana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. 4. Pertanggungjawaban, yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. 5. Kewajaran, yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hakhak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2.4.2 Prinsip-prinsip GCG Menurut FCGI (Forum for Corporate Governance in Indonesia. Prinsip-prinsip GCG menurut FCGI (Forum for Corporate Governance in Indonesia) diambil dari OECD yang menyebutkan ada 4 (empat) yaitu: 1. Fairness yaitu kepastian perlindungan atas semua sumber dana dan aset organisasi dari penipuan (fraud) dan penyimpangan lainnya serta adanya pemahaman yang jelas mengenai hubungan berdasarkan kepercayaan (trust) 2. Transparancy, yaitu keterbukaan mengenai informasi kinerja organisasi, baik ketepatan waktu maupun akurasinya. Hal ini berkaitan erat dengan kualitas informasi akuntansi yang dihasilkan. 3. Accountability, yaitu penciptaan sistem pengawasan yang efektif berdasarkan pembagian wewenang, peranan, hak dan tanggung jawab dari manajemen,komite audit dan internal auditor.
25
4. Responsibility, yaitu pertanggung jawaban organisasi kepada stakeholders dan lingkungan dimana organisasi itu berada. 2.4.3 Prinsip-prinsip GCG Menurut OECD Adapun prinsip-prinsip GCG menurut Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang dikutip oleh Wardoyo dan Lena (2010), sebagai berikut: 1. Perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham: menjamin keamanan metoda pendaftaran kepemilikan, mengalihkan atau memindahkan saham yang dimiliki, memperoleh informasi yang relevan tentang perusahaan secara berkala dan teratur, ikut berperan dan memberikan suara dalam rapat umum pemegang saham (RUPS), memilih anggota dewan komisaris, dan dewan direksi, serta memperoleh pendistribusian keuntungan perusahaan. 2. Persamaan perlakuan terhadap seluruh pemegang saham termasuk pemegang saham asing dan minoritas. 3. Peranan pemangku kepentingan yang terkait dengan perusahaan yaitu dorongan kerjasama antara perusahaan dengan pemangku kepentingan agar tercipta kesejahteraan, lapangan pekerjaan, dan kesinambungan usaha. 4. Keterbukaan dan transparansi terkait keuangan, kinerja perusahaan, kepemilikan , dan pengelolaan perusahaan, informasi yang diungkapkan harus disusun, diaudit, dan disajikan sesuai dengan standar yang berkualitas tinggi. 5. Akuntabilitas Dewan Komisaris yaitu CG menjamin adanya pedoman strategi perusahaan, pemantauan yang efektif terhadap manajemen yang dilakukan oleh dewan komisaris dan akuntabilitas dewan komisaris terhadap perusahaan dan pemegang saham. 2.4.4 Prinsip-prinsip GCG Menurut ICGN Organisasi ICGN (International Corporate Governance Network) mengadopsi prinsip-prinsip GCG yang dikembangkan oleh OECD sebagai standar minimal yang dapat diterima bagi perusahaan dan investor di seluruh dunia. ICGN dalam Wardoyo dan Lena (2010) 26
merekomendasikan prinsip-prinsip berikut sebagai best practices dalam penerapan CG: 1. Honesty (kejujuran), prinsip ini menuntut perusahaan menyampaikan kebenaran di setiap waktu tanpa harus memperhatikan konsekuensinya. Kejujuran adalah hal penting dalam membangun hubungan saling percaya diantara semua partisipan CG, antara lain meliputi Dewan Direksi, Manajemen, Auditor, Dewan Penasehat, Karyawan, Pelanggan dan Pemerintah. 2. Resilience (kekuatan segera pulih), prinsip ini menuntut perusahaan mengembangkan struktur GCG yang mampu bertahan hidup dan segera pulih kembali jika perusahaan mengalami kemunduran atau kegagalan. Oleh karena itu, mekanisme GCG dirancang untuk mencegah, mendeteksi, dan mengoreksi segala bentuk kegagalan yang dialami perusahaan. 3. Responsiveness (ketanggapan), prinsip ini menuntut perusahaan bereaksi cepat terhadap permintaan dan tuntutan para pemangku kepentingan. oleh karena itu, mekanisme GCG menekankan arti penting penciptaan nilai bagi semua pemangku kepentingan, termasuk terhadap pelestarian lingkungan. 4. Transparancy (transparansi), pada dasarnya prinsip ini menuntut perusahaan menyajikan secara terus terang informasi yang relevan bagi para pemangku kepentingan secara andal dan dalam bahasa yang mudah dipahami. Informasi yang disajikan tidak sebatas terkait dengan keuangan, tetapi juga informasi non-keuangan seperti misalnya informasi terkait dengan operasi, struktur, dan konflik kepentingan yang mungkin terjadi di perusahaan. 2.4.5 Prinsip-prinsip GCG Menurut SOA Terdapat tiga prinsip integral SOA (Sarbanes Oxley Act) dalam Wardoyo dan Lena (2010) yang dianut sebagai berikut: 1. Integrity (integritas), prinsip ini merujuk kepada kelengkapan catatan keuangan. Jika informasi keuangan tidak lengkap maka investor tidak akan memiliki gambaran yang representatif tentang situasi perusahaan.
27
2. Reliability (keandalan), prinsip ini merujuk kepada penyajian informasi yang akurat. SOA menuntut perusahaan untuk meminimalkan kesalahan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja karena kedua jenis kesalahan tersebut dapat menyebabkan kerugian yang signifikan. 3. Accountability (akuntabilitas), prinsip ini merujuk kepada pihak yang diberi amanah untuk menetapkan pengendalian atas perusahaan dan bertanggung jawab atas kegagalan, jika terjadi. 2.4.6 Prinsip-prinsip GCG Menurut KNKG Menurut KNKG (Komite Nasional Kebijakan Governance) ada lima asas yang tercantum di dalam Pedoman Umum GCG yang dikutip oleh Pratama & Mustamu (2013), yaitu: 1. Transparancy (keterbukaan informasi) Organisasi harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses oleh pemangku kepentingan (stakeholders) serta mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan undang-undang tetapi juga hal penting untuk pengambilan keputusan organisasi. Pedoman pelaksanaannya: a. Penyediaan informasi yang tepat waktu, akurat, dan jelas serta mudah diakses oleh pemangku kepentingan (stakeholders) b. Kebijakan harus tertulis dan secara proporsional dikomunikasikan kepada pemangku kepentingan (stakeholders) c. Pengungkapan informasi tidak hanya terbatas visi, misi, sasaran organisasi dan strategi bersaing dan informasi yang dibutuhkan dalam proses pengambilan keputusan. 2. Accountability (akuntabilitas) Organisasi harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara wajar dan transparan. Untuk itu organisasi harus dikelola secara benar, terstruktur, dan sesuai dengan kepentingan organisasi dengan tetap memperhitungkan kepentingan stakeholder. Pedoman pelaksanaannya: a. Menetapkan rincian tugas dan tanggungjawab masing-masing organ organisasi dan semua karyawan secara jelas, selaras dengan visi, misi, sasaran usaha dan strategi organisasi.
28
b. Adanya sistem pengendalian organisasi (internal dan eksternal) yang efektif dalam pengelolaan organisasi. c. Mempunyai ukuran kinerja untuk semua jajaran manajemen organisasi yang konsisten serta memiliki sistem penghargaan dan sanksi. d. Melaksanakan tugas dan tanggung jawab harus berpegang pada etika organisasi dan pedoman perilaku yang sudah disepakati. 3. Responsibility (pertanggungjawaban) Organisasi harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawaba terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen. Pedoman pelaksanaannya: a. Organ organisasi harus berpegang pada prinsip kehati-hatian dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundangundangan, anggaran dasar dan peraturan organisasi. b. Melaksanakan tanggung jawaba sosial dengan antara lain peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup disekitar organisasi. 4. Independency (kemandirian) Organisasi harus dikelola secara independen sehingga masingmasing organ organisasi tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. Pedoman pelaksanaannya: a. Setiap organ harus menghindari terjadinya dominasi oleh pihak manapun, tidak terpengaruh kepentingan tertentu, bebas dari benturan kepentingan dan dari segala pengaruh dan tekanan sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara objektif. b. Setiap organ organisasi harus dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan, tidak saling mendominasi atau melempar tanggung jawab. 5. Fairness (kesetaraan dan kewajaran) Organisasi harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kesetaraan dan kewajaran. Pedoman pelaksanaannya: 29
a. Memberikan kesempatan kepada pemangku kepentingan untuk memberikan pendapat dan masukan bagi kepentingan organisasi serta membuka akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip transparansi. b. Memberikan perlakuan yang setara dan wajar kepada pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang diberikan kepada perusahaan. c. Memberikan kesempatan yang sama dalam penerimaan karyawan, berkarir dan melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa membedakan suku, agama, ras, gender dan kondisi fisik. Menurut Holly J. Gregory yang dikutip oleh Indra & Ivan (2006:8), proses corporate governance meliputi empat prinsip aktivitas : 1. Direction, yang berfokus pada formulasi arah strategi untuk masa depan organisasi secara jangka panjang; 2. Execution action, yang diaplikasikan dalam pengambilan keputusan; 3. Monitoring, yang meliputi monitoring performance dari manajemen; 4. Accountability, yang berfokus pada pertanggungjawaban pihakpihak yang membuat keputusan. Penerapan good corporate governance setidak-tidaknya ada empat situasi ideal yang hendak dicapai (Ainun Na‟in,2000 dalam Emirzon, 2006), yakni: 1. Existence of fair business: efficient market, efficient regulations, and efficient contract. 2. Information regarding the (fair) price and specification of goods and services being exchanged is available to all parties; 3. Each party able and is willing to comply to the rules and regulation, and terms and contition in contract; 4. Judicial procees exist and are able to implement the rules and to execute punishment to the non-compliant of the contract.
30
Selain itu, corporate governance yang baik diakui dapat membantu “mengebalkan” perusahaan dari kondisi tidak menguntungkan, dalam banyak hal corporate governance yang baik telah terbukti meningkatkan kinerja perusahaan sampai 30% di atas tingkat kembalian (rate of return) yang normal, oleh karena itu, corporate governance yang baik memberikan manfaat pada perbaikan dalam komunikasi, minimisasi potensi benturan, fokus pada strategi-strategi utama, peningkatan dalam produktivitas dan efisiensi, kesinambungan manfaat (sustainability of benefit), promosi citra perusahaan (corporate image), peningkatan kepuasan pelanggan, dan memperoleh kepercayaan investor (Tunggal & Tunggal, 2002:9 dalam Emirzon, 2006). 2.5 Manfaat Good Corporate Governance Ada lima manfaat yang dapat diterima perusahaan yang menerapkan good corporate governance (Holly J.Gregory, 2000 dalam Indra & Ivan,2006 ): 1. GCG dapat mendorong penggunaan sumber daya secara efisien oleh perusahaan dan perekonomian nasional yang lebih besar. 2. GCG dapat membantu perusahaan dan perekonomian nasional menarik investasi dengan biaya yang lebih rendah melalui perbaikan kepercayaan investor dan kreditor domestik dan internasional. 3. Membantu pengelolaan perusahaan dalam memastikan /menjamin bahwa perusahaan telah taat pada ketentuan, peraturan dan ekspektasi masyarakat. 4. Membantu manajemen dan corporate board dalam pemantauan penggunaan aset perusahaan. 5. Mengurangi korupsi. Selain itu, secara teknis aktivitas keseharian perusahaan beberapa manfaat yang bisa dipetik dari penerapan GCG di suatu perusahaan (Daniri,2005), antara lain: 1. Mengurangi agency cost, biaya yang timbul karena penyalahgunaan wewenang (wrong doing), ataupun berupa biaya pengawasan yang timbul untuk mencegah terjadinya suatu masalah. 31
2. Mengurangi biaya modal (cost of capital) yang timbul dari manajemen yang baik, yang mampu meminimalisai/mencegah resiko. 3. Meningkatkan nilai saham perusahaan, sehingga dapat meningkatkan citra perusahaan dimata publik dalam jangka panjang. 4. Meningkatkan dukungan dari stakeholders dalam lingkungan perusahaan. 2.6. Mekanisme Good Corporate Governance Mekanisme corporate governance sebagai upaya penegakan corporate governance dalam organisasi diharapkan dapat mengurangi konflik keagenan dan juga diharapkan mampu mengontrol biaya keagenan (Iturriga dan Sanz, 1998 dalam Suranta dan Machfoedz, 2003). Menurut Walsh dan Steward (1990) sebagaimana dikutip oleh Arifin (2005) mekanisme corporate governance diarahkan untuk menjamin dan mengawasi berjalannya sistem governance dalam sebuah organisasi. Sedangkan mekanisme corporate governance menurut Boediono (2005) adalah suatu sistem yang mampu mengendalikan dan mengarahkan kegiatan operasional organisasi serta pihak-pihak yang terlibat didalamnya, sehingga dapat digunakan untuk menekan terjadinya masalah keagenan. 2.6.1 Board of Directors Di Indonesia dewan komisaris bersama-sama direksi perusahaan dapat dijadikan padanan untuk istilah board of directors dalam literatur barat. Dalam board of directors terdapat kumpulan direktur-direktur yang eksekutif dan non-eksekutif direktur (yaitu dewan komisaris di Indonesia) dan dipimpin oleh chairman. Chairman di struktur pengelolaan perusahaan tidak dikenal di Indonesia. Board of directors di dunia bisnis barat (Kresnohadi Ariyoto, et al, 2000) dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok yaitu: care taker boards, statutory boards, proactive boards dan participative boards. Care taker boards dianggap kekurangan kualitas sebagai unsur yang seharusnya bisa memfungsikan perannya mengendalikan eksekutif dari 32
perilaku menyimpang (salah satu unsur corporate governance di dalam perusahaan), akibat dari dominasi eksekutif perusahaan yang power-nya lebih besar. Karena itu arah dari hasil keputusan lebih ditentukan oleh pengelola eksekutif dan keputusan disahkan oleh direktur non-eksekutif (dewan komisaris). Statutory boards ditunjuk oleh pemegang saham dan atau pemberi pinjaman, mempunyai kelemahan dalam segi kemampuan evaluasi atas kebijakan yang akan dibuat direksi maupun hasilnya , serta di bawah dominasi direktur eksekutif, sehingga dalam proses pengambilan keputusan hanya pelengkap legitimasi saja. Proactive boards lebih bergigi dibandingkan dengan ke dua jenis board of directors tersebut di atas karena itu mereka sering mengadu argumen dalam proses pengambilan keputusan. Hal tersebut diamati terjadi pada board of directors yang kredibel yang berasal dari luar perusahaan sehingga mampu mempertahankan independensinya sekalipun tidak mempunyai power yang sama besar dengan para direktur eksekutif. Participative boards mempunyai power yang sama dengan direktur eksekutif sehingga pengambilan keputusan didominasi proses menuju konsensus melalui negosiasi dan kompromi. Hal ini mungkin bisa demikian karena chairman dari board of directors tersebut pernah bekerja di perusahaan yang sama. (Kresnohadi Ariyoto, et al, 2000) Pada umumnya tugas dari board of directors menurut Kim & Nofsinger (2007:41) meliputi lima fungsi: 1. To hire, evaluate, and perhaps even fire top management, with the position of CEO being the most important to consider; 2. To vote on major operating proposals; 3. To vote on major financial decisions; 4. To offer expert advice to management; and 5. To make sure the firm’s activities and financial condition are accurately reported to its shareholders.
33
2.6.2 Komite Audit 2.6.2.1 Definisi Komite Audit Menurut Sarbanes-Oxley (SOX) 2002 “a committee (or equivalent body) established by and amongs the board of directors of an issuer for the purpose of overseeing the accounting and financial reporting processes of the issuer and audits of the financial statements of the issuer.” Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI, 2002) “Komite Audit adalah komite yang beranggotakan komisaris independen, dan terlepas dari kegiatan manajemen sehari-hari dan mempunyai tanggung jawab utama untuk membantu dewan komisaris dalam menjalankan tanggung jawabnya terutama dengan masalah yang berhubungan dengan kebijakan akuntansi, pengawasan internal, dan sistem pelaporan keuangan.” Komite Audit sebagai bagian dari Dewan Komisaris memiliki peran dalam pencapaian tujuan penerapan corporate governance. Kaitan antara Komite Audit dan corporate governance adalah bahwa Komite Audit bertanggung jawab pada tata kelola perusahaan, yaitu memastikan bahwa perusahaan telah dijalankan sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku, melaksanakan usahanya dengan beretika, melaksanakan pengawasan secara efektif terhadap benturan kepentingan (conflict of interest) dan kecurangan (fraud) yang dilakukan oleh karyawan perusahaan (FCGI, 2002) Tugas utama dari komite audit adalah mempunyai tanggung jawab untuk membantu Dewan Komisaris dalam menjalankan tanggung jawabnya terutama dengan masalah yang berhubungan dengan kebijakan akuntansi, pengawasan internal, dan sistem pelaporan keuangan. Pada umumnya, Komite Audit mempunyai tanggung jawab pada tiga bidang, yaitu:
34
1. Laporan Keuangan (Financial Reporting) Tanggung jawab Komite Audit di bidang laporan keuangan adalah untuk memastikan bahwa laporan keuangan yang dibuat oleh manajemen telah memberikan gambaran yang sebenarnya tentang hal-hal sebagai berikut: 1. Kondisi keuangan 2. Hasil usahanya 3. Rencana dan komitmen jangka panjang 2. Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance) Tanggung jawab Komite Audit dalam bidang Corporate Governance adalah untuk memastikan bahwa organisasi telah dijalankan sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku, melaksanakan usahanya dengan beretika, melaksanakan pengawasannya secara efektif terhadap benturan kepentingan dan kecurangan yang dilakukan oleh karyawan organisasi. 3. Pengawasan Perusahaan (Corporate Control) Tanggung jawab Komite Audit untuk pengawasan organisasi termasuk di dalamnya pemahaman tentang masalah serta hal-hal yang berpotensi mengandung risiko dan sistem pengendalian internal serta memonitor prose pengawasan yang dilakukan oleh auditor internal. Ruang lingkup audit internal harus meliputi pemerikasaan dan penilaian tentang kecukupan dan efektivitas sistem pengawasan intern. 2.6.2.2 Struktur Komite Audit Komite audit harus terdiri dari individu-individu yang mandiri dan tidak terlibat dengan tugas sehari-hari dari manajemen yang mengelola organisasi, dan yang memiliki pengalaman untuk melaksanakan fungsi pengawasan secara efektif. Salah satu dari beberapa alasan utama kemandirian itu adalah untuk memelihara integritas serta pandangan yang objektif dalam laporan serta penyusunan rekomendasi yang diajukan oleh Komte Audit, karena individu yang mandiri cenderung lebih adil dan tidak memihak serta objektif dalam menangani suatu permasalahan. Jumlah anggota Komite Audit disesuaikan dengan besar kecilnya organisasi dan tanggung jawab. Namun biasanya tiga sampai lima
35
anggota merupakan jumlah yang cukup ideal. Komite Audit biasanya perlu untuk mengadakan rapat tiga sampai empat kali setahun untuk melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya yang menyangkut soal sistem pelaporan keuangan. (The Institute of Internal Auditors, Internal Auditing and The Audit Committee, FCGI, 2001). Lima karakteristik dari komite audit (Diana & Lisa, 2009) 1. Independent, anggota komite audit yang independen akan lebih objektif dan lebih baik dalam memonitor tindakan-tindakan manajemen, jika komite audit tidak memiliki hubungan pribadi atau ekonomi dengan organisasi. 2. Financial expertise, Sarbanes Oxley Act tahun 2002 menekankan bahwa anggota komite audit memiliki keahlian dalam bidang keuangan. Seksi 407 mendefinisikan seorang yang ahli dalam bidang keuangan adalah orang yang mengerti tentang GAAP, Laporan Keuangan, dan fungsi-fungsi audit komite. 3. Diligence, komitmen audit komite untuk menghadiri meeting. Komite audit yang lebih sering menghadiri meeting memiliki lebih besar komitmen dan ketertarikan dan lebih efektif dalam memonitor organisasi. Park (1998) dalam Diana & Lisa (2009) menyatakan bahwa komitmen komite audit berhubungan dengan berkurangnya litigasi terhadap auditor eksternal. Abbott (2004) dalam Diana & Lisa (2009) mendapati bahwa komitmen yang kuat dari komite audit mengurangi financial restatements. 4. Governance Expertise, DeZoort (1998) dalam Diana & Lisa (2009) mendapati bahwa pengalaman anggota komite audit lebih konsisten dalam pengambilan keputusan, memiliki pandangan yang lebih baik, dan lebih baik dalam mencapai kesepakatan daripada yang tidak memiliki pengalaman termasuk auditing experience. Carcello dan Neal (2003) dalam Diana & Lisa (2009) menyatakan bahwa pengantian auditor berkurang jika boards memiliki keahlian dalam bidang tatakelola (governance expertise). Governance expertise diukur dari berapa jumlah board of directors yang dilayani oleh komite audit.
36
5. Knowledge, Hermalin dan Weisbach (1991) dalam Diana & Lisa (2009) menyatakan bahwa outsider director yang memiliki pengetahuan lebih lama terhadap perusahaan cenderung memperbaiki kinerja perusahaan. Park (1998) dalam Diana & Lisa (2009) menyatakan bahwa komite audit yang memilki waktu yang lebih lama dengan board of directors mengurangi litigasi klien terhadap auditor. Hal ini mendukung asersi bahwa komite audit yang mengenal perusahaan dalam arti pengetahuan tentang perusahaan, akan lebih baik dalam memonitor dan memperbaiki kualitas pelaporan perusahaan. Peranan Dewan Komisaris menurut OECD dalam FCGI (2002) antara lain: 1. Menilai dan mengarahkan strategi perusahaan, garis-garis besar rencana kerja, kebijakan pengendalian risiko, anggaran tahunan dan rencana usaha; menetapkan sasaran kerja; mengawasi pelaksanaan dan kinerja perusahaan; serta memonitor penggunaan modal perusahaan, investasi dan penjualan aset. 2. Menilai sistem penetapan penggajian pejabat pada posisi kunci dan penggajian anggota dewan direksi, serta menjamin suatu proses pencalonan anggota dewan direksi yang transparan dan adil. 3. Memonitor dan mengatasi masalah benturan kepentingan pada tingkat manajemen, termasuk penyalagunaan aset perusahaan dan manipulasi transaksi perusahaan. 4. Memonitor pelaksanaan governance, dan mengadakan perubahan bila perlu. 5. Memantau proses keterbukaan dan efektivitas komunikasi dalam perusahaan.
37
2.6.3 Audit Internal 2.6.3.1 Definisi Audit Internal Menurut Standar Profesi Audit Internal (2004), Audit internal adalah kegiatan assurance dan konsultasi yang independen dan obyektif, yang dirancang untuk memberikan nilai tambah dan meningkatkan kegiatan operasi organisasi. Audit internal membantu oragnisasi untuk mencapai tujuannya, melalui pendekatan yang sistematis dan teratur untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas pengelolaan risiko, pengendalian dan proses governance. Menurut IIA dalam Robert Moeller & Herbert Witt (1999) Internal auditing is an independent appraisal function established within organization to examine and evaluate its aktivities as a service to the organization. Menurut Institute of Internal Auditors (IIA) audit internal adalah (Sawyer”s et al, 2003:9) dalam Wardoyo dan Lena (2010): “Audit internal adalah aktivitas independen, keyakinan objektif dan konsultasi yang dirancang untuk memberikan nilai tambah dan meningkatkan operasi organisasi. Audit tersebut membantu organisasi mencapai tujuannya dengan menerapkan pendekatan yang sistematis dan berdisiplin untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas proses pengelolaan resiko, kecukupan kontrol dan pengelolaan organisasi.” 2.6.3.2 Tujuan dan Ruang Lingkup Audit Internal Menurut IIA, tujuan audit internal adalah untuk membantu anggota organisasi dalam melaksanakan tanggung jawabnya secara efektif. Staf dari audit internal diharapkan dapat melengkapi organisai dengan analitis, penilaian, rekomendasi, konsultasi, dan informasi tentang kegiatan yang ditelaah. IIA mengakui bahwa tujuan audit internal meliputi juga meningkatkan pengendalian yang efektif pada biaya yang wajar.
38
Ruang lingkup dari audit internal (Wardoyo dan Lena, 2010) meliputi pemeriksaan dan evaluasi yang memadai serta efektivitas sistem pengendalian internal organisasi dan kualitas kinerja dalam melaksanakan tanggung jawab dan beban. Ruang lingkup audit internal juga meliputi tugas-tugas : 1. Menelaah reliabilitas dan integritas informasi keuangan dan operasi serta perangkat yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, mengklasifikasi, dan melaporkan informasi semacam itu. 2. Menelaah sistem yang ditetapkan untuk memastikan ketaatan terhadap kebijakn, perencanaan, prosedur, hukum, dan peraturan yang dapat memiliki pengaruh signifikan terhadap operasi dan laporan serta menentukan apakah organisasi telah mematuhinya. 3. Menelaah perangkat perlindungan aktiva, dan secara tepat, memverifikasi keberadaan aktiva tersebut. 4. Menilai keekonomisan dan efisiensi sumber daya yang dipergunakan. 5. Menelaah operasi atau program untuk memastikan apakah hasil konsisten dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan, serta apakah operasi atau program itu telah dilaksanakan sesuai dengan yang direncanakan. Sedangkan menurut Effendi (2006) ruang lingkup audit internal adalah : 1. Audit Keuangan (Financial Audit) Sasaran audit keuangan adalah kewajaran atas laporan keuangan yang disajikan manajemen. 2. Audit Operasional (Operational Audit) Sasaran Audit Operasional adalah penilaian masalah efisiensi, efektivitas, dan ekonomi (3E). 3. Audit Kepatuhan (Compliance Audit) Tujuan audit ini adalah untuk menguji apakah pelaksanaan atau kegiatan telah sesuai dengan ketentuan atau peraturan yang berlaku. 4. Fraud Audit.
39
Tujuan audit ini adalah untuk mengungkap adanya kasus yang berindikasi Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) yang merugikan perusahaan atau negara dan menguntungkan pribadi maupun kelompok (organisasi) pihak ketiga. 2.6.3.3 Hubungan Internal Audit Dengan Komite Audit Komite Audit adalah lembaga yang ditugaskan untuk mengawasi fungsi audit dan control dari organisasi. Ada tiga area dari aktivitas yang merupakan kunci dari hubungan yang efektif antara komite audit dengan fungsi audit internal, yaitu: a.
b.
c.
Membantu komite audit untuk memastikan bahwa charter, aktivitas, dan proses komite audit adalah memadai untuk memenuhi tanggungjawabnya. Memastikan bahwa charter, peranan dan aktivitas dari audit internal dapat dipahami dan menjawab kebutuhan komite audit dan dewan. Memelihari komunikasi yang terbuka dan efektif dengan komite audit dan pimpinannya. (Standar Profesi Audit Internal, 2004:117123).
2.6.3.4 Fungsi Internal Audit Audit internal dalam memenuhi kebutuhan manajemen, dan staf audit yang paling efektif meletakkan tujuan manajemen dan organisasi di atas rencana dan aktivitas mereka. Tujuan-tujuan audit disesuaikan dengan tujuan manajemen, sehingga auditor internal itu sendiri berada dalam posisi untuk menghasilkan nilai tertinggi pada hal-hal yang dianggap manajemen paling penting bagi kesuksesan organisasi. Menurut Sawyer‟s yang diterjemahkan oleh Adhariani (2003:32) dalam Wardoyo dan Lena (2010) mengatakan bahwa fungsi audit internal adalah sebagai berikut: 1. Mengawasi kegiatan-kegiatan yang tidak dapat diawasi oleh manajemen puncak. 2. Mengidentifikasi dan meminimalkan resiko.
40
3. Memvalidasi laporan ke manajemen senior. 4. Membantu manajemen pada bidang-bidang teknis. 2.7 Praktek Laporan Keuangan Organisai Non-Profit Menurut FASB. Definisi dari organisasi nirlaba menurut AICPA dan FASB adalah sebuah entitas yang memiliki karekateristik berbeda dari organisasi bisnis. Karakteristik dari organisasi nirlaba adalah (Wilson and Kattelus, 2004:530): 1. Mengkontribusikan sumber daya yang berasal dari sukarelawan atau donator yang tidak mengharapkan balasan yang sepadan. 2. Tujuannya berbeda, tidak untuk menghasilkan barang atau menyediakan jasa seperti organisasi bisnis. 3. Kekurangannya adalah kepemilikan tidak sepenting seperti pada organisasi bisnis. FASB Statement No. 117 meminta organisasi Non-profit menyiapkan satu set laporan keuangan yang memuat laporan posisi keuangan (statement of financial position), laporan aktivitas (statement of activities), laporan arus kas (statement of cash flow), dan catatan atas laporan keuangan (notes). Dalam laporan keuangan tersebut diklasifikasikan aset bersih, pendapatan, biaya, keuntungan dan kerugian sesuaii dengan tiga kelas aset bersih (net assets): Aset bersih tak bersyarat, aset bersih bersyarat temporer, dan aset bersih bersyarat tetap (unrstricted net asset, temporarily restricted net assets, and permanently restricted net assets) sesuai dengan keadaan ada atau tidaknya persyaratan donor. FASB Statement No.116 mendefinisikan tiga kelas aset sebagai berikut: 1) Asset bersyarat permanen adalah bagian aset yang dibatasi penggunaannya oleh persyaratan donor yang tidak mempunyai kadaluarsa dan tidak boleh dipindah oleh tindakan entitas NonProfit. 2) Asset bersyarat temporer adalah bagian dari aset yang dibatasi oleh persyaratan donor baik waktu jatuh tempo persyaratan (time
41
restriction) maupun dapatnya dipindah apabila persyaratan telah dipenuhi oleh organisasi (purpose restriction). 3) Aset bersyarat adalah bagian aset yang tidak dibatasi persyaratan oleh donor. Organisasi dapat melaporkan pendapatan, keuntungan dan kerugian dalam setiap kelas aset, tetapi biaya dilaporkan hanya dalam kelas aset tak bersyarat (Beams, et al., 2006 p:751). 2.7.1 Laporan Posisi Keuangan (Statement of Financial Position) Laporan Posisi Keuangan atau laporan balance sheet melaporkan aset, hutang dan aset bersih. Laporan aset bersih dalam total dan perincian tiga kelas aset bersih (aset tak bersyarat, bersyarat temporer, dan bersyarat permanen). Jumlah Aset Bersih Bersyarat Permanen dan Aset Bersih Bersyarat Temporer dinyatakan dalam neraca atau dalam Catatan yang mana yang akan dipilih. Aset yang diterima dari donor dengan syarat untuk tujuan jangka panjang harus dipisahkan dari aset yang boleh digunakan sekarang. Laporan komparatif dengan periode yang lalu tidak diperlukan (Beams, et al.,2006, p:751). 2.7.2 Laporan Aktivitas (Statement of Activities) Laporan aktivitas menyajikan bagaimana sumber daya digunakan untuk berbagai program dan pelayanan. Akun organisasi nirlaba untuk pendapatan dan biaya menggunakan basis akrual. Pernyataaan FASB Nomor 93 mengharuskan organisasi nirlaba mengakui biaya penyusutan (depreciation) aset jangka panjang (aset tetap). Organisasi nirlaba harus mencatat depresiasi meskipun aset dari pemberian, sesuai dengan definisi pemberian (collections) tidk memerlukan kapitalisasi dan depresiasi. Laporan aktivitas berfokus pada organisasi secara keseluruhan. Laporan ini melaporkan perubahan dalam aset bersih, saldo akhir aset bersih, harus sama dengn saldo aset bersih dalam Neraca. Laporan juga menyatakan pendapatan, biaya, keuntungan dan kerugian kelas aset bersih (aset yang bersyarat permanen, bersyarat sementara, dan aset yang tidak bersyarat). Pendapatan, menaikkan aset bersih tak bersyarat, kecuali aset yang diterima bersyarat oleh persyaratan donor. Keuntungan dan kerugian dalam investasi menaikkan atau mengurangi aset bersih tak bersyarat,
42
kecuali penggunaannya bersyarat secara eksplisit oleh persyaratan donor atau hukum. Biaya selalu mengurangi aset bersih tak bersyarat. Aset bersih bersyarat permanen dan temporer dinyatakan dalam aset bila belum jatuh tempo sesuai persyaratan. Bila sudah jatuh tempo sesuai persyaratan donor, dapat ditempatkan sebagai aset bersih tak bersyarat, yang harus dilakukan secara konsiten. Umumnya, organisasi nirlaba melaporkan pendapatan (revenues) dan biaya (expenses) dalam jumlah gross. Keuntungan (gains) dan kerugian (loss) dari transaksi insidentil atau kejadian luar biasa dilaporkan dalam jumlah bersih (net) atas biaya yang bersangkutan. Lebih lanjut klasifikasi atas pendapatan, biaya, keuntungan dan kerugian dari Operasi (operating), atau non operasi (non-operating) dan sebagainya dibuat secara opsional. Organisasi nirlaba melaporkan biaya dalam bentuk klasifikasi fungsional, sebagian besar adalah Jasa Program dan Jasa Suporting. Jasa Program adalah aktivitas yang menyalurkan barang atau jasa untuk memenuhi tujuan atau misi organisasi terhadap para penerima jasa atau pelanggan atau anggota. Jasa Suporting adalah semua aktvitas diluar jasa program . Yang termsuk Jasa Suporting adalah : a.
b.
c.
Manajemen dan Umum (Management and General). Pengawas manajemen bisnis, administrasi umum, keuangan dan aktivitas administrasi terkait. Pengumpulan Dana (Fund Raising). Publikasi dan kampanye untuk pengumpulan dana, memelihara daftar donor, acara untuk special fund raising, penyiapan dan distribusi manual fund raising, intsruksiinstruksi, dan lain-lain untuk permintaan kontribusi. Aktivitas Pengembangan Anggota Donator (Membership-development activities). Permintaan menjadi prospektif anggota, dan pemeliharaan anggota yang ada, serta hubungan keanggotaan. (Beams, et al., 2006 p:751-752).
2.7.3 Laporan Arus Kas (Statement of Cash Flows) Statement No. 117 memperluas FASB statement No. 95 tentang “statement fo Cash Flows”, untuk organisasi nirlaba. Organisasi nirlaba
43
menggunakan klasifikasi dan definisi yang sama dengan perusahaan bisnis, kecuali deskripsi Financing Activities (Aktivitas Pendanaan) diperluas dengan memasukkan sumber daya dari donor yang dibatasi untuk tujuan jangka panjang. Laporan arus kas tentang permanently endowments (dana abadi) nirlaba dilaporkan sebagai Aktivitas Investasi (Investing Activities). Dalam menyusun laporan arus kas, tidak boleh menggabungkan kas yang dibatasi untuk tujuan jangka panjang dengan kas yang didapat untuk penggunaan sekarang dalam Neraca. Laporan dapat menggunakan metode langsung maupun metode tidak langsung. (Beams, et al., 2006 p:753). 2.7.4 Kontribusi (Contributions) Statement No. 116 mendefinisikan, kontribusi adalah transfer uang tanpa syarat atau aset lain kepada entitas atau penyelesaian hutan atau pembatalan kewajiban secara sukarela, atau saling transfer dengan lain entitas bukan sebagai pemilik. Misalnya aset lain, termasuk gedung, sekuritas, penggunaan fasilitas atau jasa, dan pemberian tanpa syarat. Transfer-transfer yang tidak termasuk Kontribusi (Transfers that are not Contributions): 1.
2.
Transaksi Pertukaran (Exchange Transactions) Transaksi pertukaran adalah transaksi saling transfer atau transaksi timbal balik diantara dua pihak, dimana jumlah dari pihak yang memberi dengan yang menerima kira-kira sama, walaupun kadangkadang sulit dibedakan. Misalnya pengiriman kalender kepada calon donor potensial. Bila pihak donor memberikan sumbangan dana, penerimaan dana tersebut adalah Kontribusi, sementara biaya kalender dan pengirimannya disebut biaya Pengumpulan Dana. Namun bila jumlah sumbangan dananya relatif kira-kira sama nilainya dengan nilai yang diberikan (kalender), maka transaksi tersebut dinamakan Transaksi Pertukaran. Transaksi Perantara (Agency Transactions) Transaksi perantara adalah bila aset yang ditransfer dianggap bernilai kecil atau tidak ada nilainya, dan aset tersebut diteruskan ke pihak ketiga.
44
3.
Sumbangan Dalam Bentuk Nonkas (Gift in Kind) Gift in Kind adalah sumbangan berbentuk non-kas, seperti pakaian, furnitur, dan jasa. Dianggap sumbangan bila organisasi nirlaba punya kebijakan untuk sumber daya tersebut.
2.7.5 Prinsip-prinsip Pengukuran (Measurement Principles) Organisasi nirlaba mengukur kontribusi dengan nilai wajar (fair value). Statement No. 116 mengidentifikasikan penggunaan harga pasar sebagai nilai yang terbaik, baik untuk aset moneter maupun aset nonmoneter. Metode penilaian ini dapat menggunakan nilai pasar aset sejenis atau melalui Penilai Independen (independent appraisal). Bila nilai pasar berubah, maka : 1) Harga wajar naik, tidak diakui sebagai pendapatan 2) Bila harga wajar turun, perbedaan penurunannya diakui pada periode tersebut dan dilaporkan sebagai perubahan pada aset sesuai dengan kelasnya. Perbedaan dua standar yang diterapkan dalam organisasi non-profit: Tabel 6 FASB GASB: Summary of Differences Panel A
Financial Statements
Governmental Nonprofit Organization Uses AICPA Governmental Audit Guide (1999) GASB 35/34 (1999a;1999b)
Nongovernment Not for-Profit Organization Uses AICPA Not-for Profit Audit Guide (1996) FASB 117 (1993b)
Management Decision & Analysis (MDA) (RSI) Statements of Net Assets Statement of Revenues, Expenses and Change in Net Assets Statements of Cash Flow Notes
Statement of Financial Position Statement of Activities Statement of Cash Flows Notes
45
Others Required Supplemental Information (RSI) Panel B
Balance Sheet
Governmental Nonprofit Nongovernmental NotOrganzation for-profit Organization GASB 35/34 (1999a;1999b) FASB (1993Bb Classified per ARB 43 Current Noncurrent A = L + NA A L NA (No totals Within classifications assets and liabilities presented in liquidity order Investments (including real estate) presented at fair value
Classified not Required
Governmental Nonprofit Organization Expenses display in appropriate net asset class Any external party can restrict resources Restriction met when first $ spent – optional
Nongovernmental Notfor-Profit Organization All expenses displayed as unrestricted Only donors can restrict Resources Restriction met when first $ spent – optional Met restrictions are
A = L + NA
Assets and liabilities presented in liquidity order Investments (real estate optional) presented at fair value Funded held in trust by others Funded held in trust by reported in notes if significant others reported as assets and Permanently Restricted NA Capital Assets net of related debt Unrestricted Net Assets Restricted Nonexpendable Temporarily Restricted Restricted Expendable NA Unrestricted (designation Permanently Restricted prohibited) NA Panel C
Income Statement
46
Expenses displayed functionally or by natural class Plant operation and depreciation may be presented as functional designation Revenues presented by type Operating measure prescribed Realized and unrealized investment income presented separately State appropriations reported as non-operating revenue
reclassed into Unrestricted Net Assets Expenses displayed functionally or by natural class Plant operation, depreciation and interest must be allocated (no guidance provided) Revenues presented by type Operating measureoptional Realized and unrealized investment income may be netted Appropriations may be reported as operating revenue
Panel D
Cash Flow
Governmental Nonprofit Organization GASB 9 (1989) Direct method mandated Reconciliation required (indirect method to report operating activities) Cash equivalents same as cash if < 90 days and original investment maturity 90 days or less Four categories Operating Non-Capital Financing Transfers Subsidies Contributions Agency transactions
47
Nongevernmental Notfor-profit Organization FASB 117 (1993b) May use direct or indirect method
Cash equivalents same as cash if < 90 days and original investment maturity 90 days or less Three categories Operating measureNet income +/change in working capital account Investing +/- changes in long term assets
Capital Financing Financing +/- long term All capital asset related liabilities Capital contributions New endowment gifts New capital debt Capital debt obligations Sale of capital assets Investing All investing activities Acquisitions Sales Interest earned Management Required supplemental Not required Decision & reporting – contents Analysis prescribed (MD& A) Notes Required by various GASB Required by various guidance FASB guidance Sumber : Mary Fishcer & Treba Marsh, 2012. Journal of budgeting, Accounting and Financial and Management.
2.8 Tujuan Pelaporan Keuangan Organisasi Nirlaba Dalam buku A Statement of Basic Accounting Theory (ASOBAT) seperti yang dikutip dan diterjemahkan oleh Harahap (2007:126) dalam Pontoh (2013) merumuskan empat tujuan laporan keuangan: 1. Membuat keputusan yang menyangkut penggunaan kekayaan yang terbatas dan untuk mencapai tujuan. 2. Mengarahkan dan mengontrol secara efektif sumber daya manusia dan faktor produksi lainnya. 3. Memelihara dan melaporkan pengamanan terhadap kekayaan. 4. Membantu fungsi dan pengawasan sosial. Menurut Ahmed Riahi, Belkaoui (2001: 145) para pengguna laporan keuangan organisasi nirlaba memiliki kepentingan bersama yang tidak berbeda dengan organisasi bisnis. Para pengguna ini membutuhkan laporan keuangan organisasi nirlaba adalah untuk menilai :
48
1. Seberapa besar kemampuan organisasi untuk dapat menyediakan jasa. 2. Kemampuan pengelola organisasi untuk mengelola sumber daya Lebih lanjut tujuan pelaporan keuangan eksternal organisasi nirlaba secara umum yang dirumuskan oleh FASB dalam SFAC No.4 dalam Ahmed Riahi, Belkaoui (2001: 146) menyatakan bahwa laporan keuangan yang dibuats seharusnya memberikan informasi yang berguna untuk menyajikan sumber daya yang potensial sebagai pemakai dapat : 1. Membuat keputusan yang rasional mengenai pengalokasian sumber daya yang dimiliki oleh organisasi. 2. Memperkirakan jasa yang dapat dilayani dan kemampuan organisasi untuk menyediakan jasa-jasa. 3. Memperkirakan bagaimana manajer atau pengelola memberi pertanggungjawabannya dengan memperkirakan aspek-aspek kinerja lainnya. Menurut Mardiasmo (2009:167) dalam Pontoh (2013) tujuan laporan keuangan organisasi nirlaba dalam SFAC No. 4 tersebut adalah sebagai berikut: 1. Laporan keuangan organisasi nonbisnis hendaknya dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi penyedia dan calon penyedia sumber daya, serta pemakai dan calon pemakai lainnya dalam pembuatan keputusan yang rasional mengenai alokasi sumber daya organisasi. 2. Memberikan informasi untuk membantu para penyedia dan calon penyedia sumber daya, serta pemakai dan calon pemakai lainnya dalam menilai pelayanan yang diberikan oleh organisasi nonbisnis serta kemampuannya untuk melanjutkan memberi pelayanan tersebut. 3. Memberikan informasi yang bermanfaat bagi penyedia dan calon penyedia sumber daya, serta pemakai dan calon pemakai lainnya dalam menilai kinerja manajer organisasi nonbisnis atas pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan serta aspek kinerja lainnya.
49
4. Memberikan informasi mengenai sumber daya ekonomi, kewajiban, data kekayaan bersih organisasi, serta pengaruh dari transaksi, peristiwa dari kejadian ekonomi yang mengubah sumber daya dan kepentingan sumber daya tersebut. 5. Memberikan informasi mengenai kinerja organisasi selama satu periode. Pengukuran secara periodik atas perubahan jumlah dan keadaan/kondisi sumber kekayaan bersih organisasi nonbisnis serta informasi mengenai usaha dan hasil pelayanan organisasi secara bersama-sama yang dapat menunjukkan informasi yang berguna untuk menilai kinerja. 6. Memberikan informasi mengenai bagaimana organisasi memperoleh dan membelanjakan kas atau sumber daya kas, mengenai utang dan pembayaran kembali utang, dan mengenai faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi likuiditas organisasi. 7. Memberikan penjelasan dan interpretasi untuk membantu pemakai dalam memahami informasi keuangan yang diberikan. 2.9 Pemakai Laporan Keuangan Organisasi Nirlaba Menurut Ahmet Riahi, Belkaoui (2001:145) para pemakai laporan keuangan organisasi nirlaba adalah pemberi sumber daya, pemberi suara, badan pengatur dan pengawasan serta manajemen. 1. Pemberi Sumber Daya Pemberi sumber daya adalah orang yang secara langsung menerima balas jasa atau penggantian atas sumber daya keuangan yang diserahkannya yaitu pemberi pinjaman, supplier serta pegawai dan orang yang secara tidak langsung dan tidak proporsional menerima manfaat atas sumber daya yang mereka serahkan yakni penyantun dan pembayar pajak. Pemberi sumber daya keuangan, seperti penyantun menaruh perhatian atas informasi tersebut sebagai dasar untuk menetapkan seberapa baik orang berusaha dalam mencapai tujuan dan apakah akan dapat terus melanjutkannya. Pembayar pajak memerlukan informasi untuk menilai apakah pemerintah atau kegiatan yang disponsori pemerintah dapat mencapai sasaran. Para pemberi pinjaman, supplier dan pegawai
50
menaruh perhatian terhadap kemampuan organisasi dalam menyediakan arus kas untuk membayar kewajiban yang telah jatuh tempo. 2. Pemberi Suara Pemberi suara merupakan orang yang memakai dan memperoleh manfaat pelayanan yang diberikan organisasi. Pada beberapa organisasi nirlaba para pemberi suara termasuk pemberi sumber daya keuangan. 3. Badan Pengatur dan Pengawas Badan Pengatur dan Pengawas merupakan badan yang bertanggung jawab menyusun kebijakan dan melakuan pengawasan serta penilaian terhadap manajemen organisasi nirlaba. Termasuk dalam badan pengatur dan pengawas adalah badan perwalian, badan pengawas pemerintah, badan legislatif dan dewan. Badan pengawas juga mempunyai tanggung jawab mereview organisasi nirlaba dalam hal ketaatan terhadap hukum, pembatasan dan pedoman. Termasuk dalam badan pengawas ini adalah organisasi profesi dan perkumpulan yang sifatnya nasional. Badan pengatur dan pengawas ini memakai informasi mengenai pelayanan yang disediakan untuk membantu mengevaluasi apakah manajemen telah menyelenggarakan kebijakan yang telah ditetapkan dan merubah atau membuat kebijakan baru dalam organisasi. 4. Manajemen Manajemen organisasi nirlaba mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan seluruh kebijakan pemerintah dan mengelola operasi sehari-hari organisasi. Manajemen ini termasuk para pejabat, manajer eksekutif yang ditunjuk oleh pemerintah, kepala badan, direktur, dan staf yang membantu dalam pengembangan dan program. Manajemen merupakan pemakai intern laporan keuangan yang sekaligus sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam penyusunan laporan keuangan.
51