BAB II TEORI DASAR
Dalam melakukan analisa terhadap suatu sistem anjungan terapung di laut (marine system), analisa yang dilakukan secara keseluruhan sistem (Coupled Sistem Analysis ) yang meliputi anjungan terapung, mooring lines dan riser berikut peralatan pendukung sistem adalah merupakan hal yang kompleks, maka dalam melakukan analisa terhadap suatu bagian dari sistem sering dilakukan analisa terhadap bagian sistem tersebut dengan melakukan pemodelan terhadap struktur yang lebih sederhana (Dicoupled Analysis). II.1. Riser dengan Model Sistem Sederhana II.1.1. Sistem Bergetar Bebas (Free Vibration) Analisa terhadap sistem riser dengan anjungan terapung (FPSO) dilakukan dengan melakukan pemodelan struktur dengan asumsi sistem yang lebih sederhana. Pada sistem yang bergetar bebas, dimana model terdiri dari inersia sebagai single mass dan
kekakuan sebagai pegas dapat dimodelkan sebagai
berikut:
Gambar II.1 Pemodelan struktur bergetar bebas ( sumber: Dynamics of marine structure, 1987)
6
Massa diasumsikan bergerak searah transversal pada koordinat x , dibawah beban static Fo, sistem mengalami defleksi dan gaya reaksi yang bekerja adalah Fk yang mendistorsi pegas,
Fk
= K.xo
(2.1)
Jika beban Fo, telah melewati waktu to, gaya tidak akan berada pada posisi kesetimbangan lagi dan kelebihan gaya pegs akan menyebabkan akselerasi dan sistem akan berosilasi. Gerakan ini disebut simple harmonic. Pada suatu waktu ,t, perpindahan arah , x, gaya pegas nya adalah :
F = K. x Percepatannya
:
(2.2)
d 2 x •• =x dt 2
Ketika dalam gerakan, gaya = massa dikalikan percepatan ••
Maka
M x = − F = − Kx
Atau
M x + Kx = 0
(2.3)
••
Dengan kondisi awal x = xo dan t = to, solusi untuk persamaan tersebut: x = x0 . cos ω1 (t − t 0 )
(2.4)
Pada t > to, setelah dilakukan perhitungan maka : ••
x = −ω12 x0 cos ω1 (t − t 0 ) = −ω12 x
Dengan membandingkan persamaan (3) dan (5) maka didapat :
7
(2.5)
ω1 = T1 =
K M
rad/s
(2.6)
2π
(2.7)
ω1
N1 =
1 ω1 = T1 2π
N1 =
1 2π
K M
Hz
(2.8)
ω1 adalah Circular Natural Frequency dan T1 adalah durasi suatu gerakan siklik penuh dan N1 adalah frekuensi natural dalam satuan siklus per detik atau Hertz (Hz). Notasi ‘1’ adalah menunjukan suatu hal pertama dalam kasus sistem berderajat kebebasan satu (1 DOF) yaitu frakuensi natural pertama dan periode pertama.
II.1.2. Sistem Bergetar Teredam (Damped Vibration System)
Sistem yang bergetar bebas adalah kondisi yang ideal yang tak teredam yang akan tetap bergetar dengan amplitudo konstan pada frekuensi naturalnya. Akan tetapi pengalaman menyatakan bahwa tidaka ada sistem yang akan bergetar dengan kondisi ideal ini .Gaya-gaya yang dinyatakan sebagai gesekan (friction) atau gaya redam (damping force) selalu ada pada setiap sistem yang bergetar. Gaya-gaya ini melepaskan (dissipate) enegi atau lebih tepat lagi adanya gaya geser yang tak terabaikan, membentuk sustu energi mekanis,energi kinetis ataupun energi potensial yang ditransformasikan kedalam bentuk energi lain misalnya panas. Pada dalam analisa dinamis struktur akan lebih realistis gaya redaman ini diperhitungkan yang mana dianggap gaya-gaya ini proporsional dengan besar kecepatannya dan mempunyai arah gerak yang berlawanan. ••
FD = C x
(2.9)
8
Bentuk redaman ini dikenal sebagai redaman liat (viscous damping), ini adalah bentuk dari gaya redam (damping force) yang dapat terjadi pada benda yang tertahan gerakannya dalam cairan pekat (viscous liquid) .
Gambar II.2 Pemodelan struktur bergetar teredam (sumber :Dynamics of marine structure, 1987)
Persamaan gerak dari sistem ini adalah : ••
•
M x + C x + Kx = 0
(2.10)
Jika solusi coba-coba untuk x = A sinωt dan x = B cosωt tidak memenuhi persamaan tersebut, Namur fungsi eksponensial y= C . ept dapat digunakan untuk memenuhi persamaan ini. Solusi dengan menggunakan persamaan karakteristik untuk sistem, kita akan mendapatkan : Mp2 + Cp + K = 0
(2.11)
Dengan akar persamaan tersebut adalah : 2 p1 C K ⎛ c ⎞ =− ± ⎜ ⎟ − p2 2M M ⎝ 2M ⎠
(2.12)
Solusi umum persamaan (10) yang didapat dari superposisi kedua solusi adalah
9
x(t ) = C1 .e p1t + C 2 .e p2t
(2.13)
Bentuk akhir persamaan (13) tergantung pada tanda dari besaran dibawah tanda akar persamaan (12) . Besaran dibawah tanda akar dapat nol, positif atau negatif. Jika Besaran dibawah akar tersebut adalah nol maka redaman pada kondisi ini disebut redaman kritis (critical damping). Untuk sustu sistem yang berosilasi dengan redaman kritis dimana ekspresi besaran dibawah tanda akar sama dengan nol, maka koefisien redaman kritis Cc adalah sebagai berikut : 2
K ⎛ Cc ⎞ =0 ⎟ − ⎜ M ⎝ 2M ⎠
(2.14)
atau
Cc = 2 MK Jika ekspresi tanda dari persamaan (12) adalah positif, sistem dalam keadaaan ini disebut Sistem Redaman super kritis dimana : C > Cc Untuk redaman superkritis dan redaman kritis gerak yang terjadi bukanlah osilasi, namun besar osilasi mengecil secara eksponensial dengan waktu menuju nol. Bila harga koefisien redaman lebih kecil dari harga redaman kritis (C
p1 p2
=−
C K ⎛ c ⎞ ± i. −⎜ ⎟ M ⎝ 2M ⎠ 2M
2
(2.15)
Dimana i adalah unit imajiner, maka perlu digunakan persamaan Euler yang menghubungkan fungsi eksponensial dengan trigonometri.
e ix = cos x + i sin x e −ix = cos x − i sin x
(2.16)
Subtitusi akar persamaan p1 dan p2 kedalaman persamaan (13) dengan menggunakan persamaan (16) memberikan solusi bentuk umum sebagai berikut :
x(t ) = e
(c 3 M )
t
( A cos ω D .t + B sin ω D .t )
(2.17)
Dimana A dan B adalah koefisien integrasi dan ωD adalah frekuensi redaman kritis yang diberikan oleh
10
ωD =
K ⎛ C ⎞ −⎜ ⎟ M ⎝ 2M ⎠
2
(2.18)
ωD = ω 1 − ξ 2
Atau
(2.19)
Hasil terakhir ini didapatkan setelah mensubtitusikan persamaan (18) ke persamaan (6) frekuensi natural tak teredam. Rasio redaman (damping ratio) suatu sistem didefenisikan sebagai berikut :
ξ=
C
2 MK
=
C Cc
(1.20)
Dalam bentuk prosentasi adalah
β = ξ × 100%
II.1.3. Pengaruh Beban Harmonik Teredam (Damped Harmonic Loading Excitation)
Pada sebuah sistem yang diberi beban periodik berupa fungsi sinus atau fungsi cosinus gaya yang bekerja pada sistem dituliskan sebagai F= Fo . cos ωt atau F= Fo . sin ωt dimana Fo adalah amplitdo gaya dan ω (rad/s) adalah frekuensi yang diaplikasikan. Fungsi sederhana ini digunakan langsung dalam analisa pada struktur yang mengalami pengaruh vorteks shedding dan osilasi akibat pengaruh arus serta beberapa bentuk gaya mekanis seperti beban yang disebabkan pompa, generator dan mesin. Sebuah kasus sederhana dari sistem 1 DOF teredam yang diberi gaya sinusoidal, perpindahan massa dengan arah x, maka persamaan dinamiknya adalah ••
•
M x + C x + Kx = Fo. cos ωt
(2.21)
Solusi persamaan tersebut adalah x = x 0 cos(ωt − θ )
Dan
•
x = x 0 cos(ωt − θ )
(2.22)
••
x = −ω 2 .x0 sin (ωt − θ ) = −ω 2 x
11
Dimana xo, amplitudo gerak dan φ sudut fasa antara gaya yang bekerja dan pergerakan , x0 =
F0
(K − Mω )
2 2
(2.23)
+ C 2ω 2
⎡ Cω ⎤ 2 ⎣ K − Mω ⎥⎦
φ = tan −1 ⎢
Dan
••
Fo
Mx
F
•
Cx
θ xo
Kx Phase lag antara respon dan gaya
Diagram vector gaya
Persamaan (23) dapat ditulis dalam bentuk dimensionless sehingga dapat dipakai dalam grafik Ω vs Q dan Ω vs φ Dimana
ω forcingfrequency = ω1 naturalfrequency
Frequency Ratio
Ω=
Damping ratio
ξ=
Dengan
φ = tan −1 ⎢
C
2 MK
=
Dampingvalue Criticaldampingvalue
⎡ 2ξΩ ⎤ 2 ⎣1 − Ω ⎥⎦
12
(2.24)
Bentuk amplitude respon dimensionless didefenisikan sebagai Magnification factor dimana Magnification Factor Q =
Q=
x amplitude = 0 Equevalent ⋅ static ⋅ displacement F0 K
1
(1 − Ω ) + (2ξΩ) 2 2
2
(2.25)
Gambar II.3 Grafik Q vs Ω (sumber :Dynamics of marine structure, 1987)
Dari gambar diatas tampak bahwa jika frekuensi gaya lebih kecil dibandingkan frekuensi naturalnya tampak bahwa respon cenderung terhadap respon static dan perpindahan dikontrol dengan kekakuan pegas bukan oleh massa atau redaman. Sebagai contoh, ketika frekuensi gaya adalah satu dari ketiga frekuensi natural maksimum defleksi adalah 13 persen lebih besar dari pada beban yang sama diaplikasikan static. Jika frekuensi gaya mendekati atau sama dengan frekuensi natural struktur, respon akan lebih besar daripada defleksi static khususnya jika redaman struktur adalah lemah. Coincidence gaya dan frekuensi natural (Ω=1) disebut dengan Resonansi. Area kurva respon ini adalah yang sering mengalami masalah dinamik.
13
Pada frekuensi gaya yang lebih besar, respon direduksi massa dan redaman struktur. Puncak respon yang terjadi di Ω=1 untuk redaman lemah tetapi untuk struktur dengan redaman lebih besar ( kurva ξ=0.5 dan 1.0) puncaknya pada frekuensi gaya yang lebih rendah. Frekuensi dari osilasi yang mana perpindahan terbesar dari struktur teredam adalah N=
1 2π
(
K 1 − 2ξ 2 M
)
II.2.Teori pada Riser II.2.1 Persamaan Pengatur (Governing Equation)
Jika riser dianggap sebagai sebuah batang kolom, persaman deferensial pembangun yang dipakai untuk defleksi statik lateral adalah: d2 dx 2
Dimana
⎡ d2y⎤ d2y dy ( ) EI − T x −w = f ⎢ 2 ⎥ 2 dx dx ⎣ dx ⎦
(2.26)
EI adalah kekakuan lentur riser T adalah gaya tarik aksial pada dinding pipa riser W adalah berat per unit panjang riser dan isi .f adalah gaya lateral per unit panjang
Koordinat yang dipakai pada sistem dapat dilihat pada gambar berikut dibawah ini dimana y diiukur kearah positif dari bawah riser dan x defleksi horisontal riser dari base riser kearah vertikal.
y
x
Gambar II.4 Model elemen riser ( sumber :Flexible Riser Design Manual)
14
Jika tekanan hidrostatik termasuk dalam analisa, dimana tekanan tersebut adalah tekanan hidrostati eksternal dan tekanan hidrostatik eksternal maka persamaan pembangun menjadi :
d2 dx 2
⎡ d2y⎤ d2y dy [ ( ) ] EI − T x − A p − A p − (γ s As − γ 0 A0 + γ i Ai ) = f 0 0 i i ⎢ 2 ⎥ 2 dx dx ⎦ dx ⎣
(2.27) Dimana p 0 adalah tekanan hidrostatik eksternal pi adalah tekanan hidrostatik internal
Ao adalah luas penampang riser hingga tepi luar Ai adalah luas penampang lubang dalam riser As adalah luas penampang dinding riser γi adalah berat spesifik fluida dalam saluran riser γo adalah berat spesifik fluida sekitar riser (air laut) γs adalah berat spesifik material pipa riser.
( A0 p0 − Ai pi ) adalah bentuk efek lateral dari dari tekanan eksternal dan internal . Efek ini mirip dengan kuat tarik aktual pada dinding riser . Tekanan memodifikasi tarikan aksial aktual riser dan resultan tegangan langsung dalam dinding riser sehingga kita memperoleh tegangan efektif dari riser yaitu : Te = To + Ao. po − Ai. pi
(γ s . As + γ i Ai − γ 0 A0 )
(2.28)
adalah berat efektif riser dan ekivalen terhadap notasi w
pada persamaan (2.1) Aksi gaya statik pada elemen pipa pada gambar 2.2 dapat diurutkan sebagai berikut:
15
Gambar II.5 Segmen elemen riser (sumber: Flexible Riser Design Manual,)
a) Kuat tarik aksial dan gaya geser dalam material dinding pipa b) Gaya horisontal yang berkaitan dengan resultan tekanan hidrostatik eksternal dan internal, (Fxo + Fxi) c) Gaya vertikal yang berkaitan dengan resultan tekanan hidrostatik eksternal dan internal, (Fyo + Fyi) d) Gaya seret (drag) yang berkaitan dengan arus steady. Vektor kecepatan ditetapkan dalam komponen normal dan tangensial elemen, dengan komponen normal diasumsikan sebagai gaya distribusi amplitudo N per unit panjang. e) Berat elemen (WR) bekerja vertikal kebawah.
R
Gambar II.6 Catenary curve (sumber: Flexible Riser Design Manual,)
16
Penjumlahan komponen gaya dalam arah y untuk elemen dalam gambar (2.6 ) menghasilkan persamaan :
(T+dT).sin (q + dq) – T.sin q – (V+dV) cos (q+dq) +V.cos q + (Fyo+Fyi)
(2.29)
+ WR +N.cos.q.r.dq = 0
Dimana V adalah gaya geser pada elemen. Begitu juga penjumlahan gaya pada arah x menghasilkan :
(T+dT).cos (q + dq) – T.cos q – (V+dV) sin (q+dq) +V.sin q + (Fyo+Fyi)
(2.30)
+ WR +N.sin.q.r.dq = 0
Persamaan ini dapat disederhanakan : (T. cos q + V sin q ) dq +dT sin.q – dV cos.q + (Fyo+Fyi) + WR + N.cos.q.r.dq = 0
Dan (T. sin q + V cos q ) dq +dT cos.q – dV sin.q + (Fyo+Fyi)
(2.31)
+ WR + N.sin.q.r.dq = 0
Kombinasi persamaan diatas memberikan Tdθ - dV + (Fyi + Fyo – WR) cos θ - (Fxo + Fxi) sinθ - Nr dθ) = 0
(2.32)
Kemudian subtitusi persamaan tersebut dengan persamaan untuk berat elemen dan gaya seret menghasilkan : Tdθ - dV – [(pi.Ai – po.Ao)+ r (γo.Ai- γi.Ai)(cos θ - sin θ. dθ)]. Cos2θ dθ - WR. cosθ - [(pi.Ai - γo.Ao)(cosθ - sin θ dθ)] sin2 θ dθ - N r dθ = 0
Dan setelah penyederhanaan menjadi
17
(2.33)
[T + po.Ao – pi.Ai] dθ - dV + {(cosθ - sinθ dθ) (γo.Ao - γi.Ai - γs.As cos θ - N)} r . dθ =0
Persamaan (2.33) dituliskan kembali dalam term f menjadi -[(T + po.Ao-pi.Ai)df –dV-{(sin.f+ cos f.df)(go.Ao – gi.Ai) –gs.As sin.f – N} r.df
(2.34) Pembagian dengan ds maka
2 dV dV dy dV ⎡ ⎛ dx ⎞ ⎤ = = ⎢1 + ⎜ ⎟ ⎥ ds dy ds dy ⎢ ⎜⎝ dy ⎟⎠ ⎥ ⎦ ⎣
−1 / 2
d2 = 2 dy
2 ⎡ d 2 x ⎤ ⎡ ⎛ dx ⎞ ⎤ ⎢− EI 2 ⎥ ⎢1 + ⎜⎜ ⎟⎟ ⎥ dy ⎦ ⎢⎣ ⎝ dy ⎠ ⎥⎦ ⎣
−1 / 2
. r df = -ds
dx ⎡ ⎛ dx ⎞ sin φ = ⎢1 + ⎜ ⎟ dy ⎢ ⎜⎝ dy ⎟⎠ ⎣
⎡ ⎛ dx ⎞ 2 ⎤ cos φ = ⎢1 + ⎜⎜ ⎟⎟ ⎥ ⎢⎣ ⎝ dy ⎠ ⎥⎦
2
⎤ ⎥ ⎥⎦
−1 / 2
−1 / 2
,
2 dφ d 2 x ⎡ ⎛ dx ⎞ ⎤ = ⎢1 + ⎜ ⎟ ⎥ dy dy 2 ⎢ ⎜⎝ dy ⎟⎠ ⎥ ⎦ ⎣
−3 / 2
Dengan mengabaikan cos f.df , karena kecil maka persamaan menjadi −1
d dx2
1/ 2
2 ⎡ ⎛ dx ⎞ 2 ⎤ ⎡ d 2x⎤ dx d 2 x ⎡ ⎛ dx ⎞ ⎤ T + p0 A0 − pi Ai ) 2 ⎢1 + ⎜⎜ ⎟⎟ ⎥ − (γ s As − γ 0 A0 + γ i Ai ) = N ⎢1 + ⎜⎜ ⎟⎟ ⎥ ⎢EI 2 ⎥ − (1 44 42444 3 dy ⎢ ⎝ dy ⎠ ⎥ dy ⎢⎣ ⎝ dy ⎠ ⎥⎦ ⎣ dy ⎦ ⎣ 4243⎦ A 1 1 4243 B
C
sebagai catatan bahwa notasi A dibawah persamaan berasal dari efek lateral tekanan internal dan eksternal. B dan C yang berkaitan dengan efek orientasi riser. Karena diasumsi defleksi kecil dalam analisa riser vertikal dan disamakan dengan satu maka
d dx 2
⎡ d 2x⎤ d 2x dx ( ) EI T p A p A − + − − (γ s As − γ 0 A0 + γ i Ai ) = N 0 0 i i ⎢ 2 ⎥ 2 1 4 4 4 2 4 4 4 3 dy dy ⎣ dy ⎦ A
18
Pada fleksible riser perkiraan untuk mengeliminasi B dan C tidak dapat diaplikasikan. Dibutuhkan pendekatan secara umum. Kini digunakan persamaan: d2y dx 2
dθ 1 = = 2 3/ 2 ds r ⎡ ⎛ dy ⎞ ⎤ ⎢1 + ⎜ ⎟ ⎥ ⎢⎣ ⎝ dx ⎠ ⎥⎦
cos θ =
dx 1 = 2 1/ 2 ds ⎡ ⎛ dy ⎞ ⎤ ⎢1 + ⎜ ⎟ ⎥ ⎢⎣ ⎝ dx ⎠ ⎥⎦
sin θ =
dy dx
dy = 2 1/ 2 ds ⎡ ⎛ dy ⎞ ⎤ ⎢1 + ⎜ ⎟ ⎥ ⎢⎣ ⎝ dx ⎠ ⎥⎦
1/ 2
2 dV dV dx dV ⎪⎧ ⎛ dy ⎞ ⎫⎪ = . = ⎨1 + ⎜ ⎟ ⎬ ds dx ds dx ⎪⎩ ⎝ dx ⎠ ⎪⎭
Persamaan (2.1.8) menjadi 2 ⎧ (T + p0 A0 − pi Ai ) d 2y ⎪⎨1 + ⎛⎜ dy ⎞⎟ dx ⎪⎩ ⎝ dx ⎠
2 1/ 2
⎫⎪ ⎬ ⎪⎭
1/ 2
⎧⎪ ⎛ dy ⎞ 2 ⎫⎪ + γ 0 A0 − γ i Ai − γ s As − N ⎨1 + ⎜ ⎟ ⎬ ⎪⎩ ⎝ dx ⎠ ⎪⎭
(
)
=0 (2.35)
Dari persamaan terdahulu Te = T + Ao. po − Ai. pi we = γ 0 A0 − γ i Ai − γ s As
(2.36)
Memberikan d 2 y ⎧⎪ ⎛ dy ⎞ Te 2 ⎨1 + ⎜ ⎟ dx ⎪⎩ ⎝ dx ⎠
2
−1
⎫⎪ ⎧⎪ ⎛ dy ⎞ 2 ⎫⎪ dV w N + − − ⎨1 + ⎜ ⎟ ⎬ ⎬ e dx ⎪⎩ ⎝ dx ⎠ ⎪⎭ ⎪⎭
−1 / 2
=0
Persamaan (2.35) adalah bentuk akhir dari persamaan pengatur sebuah fleksible riser. Perbandingan persamaan (2.35) dan persamaan (2.27) terdapat istilah umum
19
diantara kedua persamaan. Sebagai contoh Te untuk kuat tarik efektif, we, untuk berat efektif terdapat pada kedua persamaan. Persamaan (2.35) dapat dituliskan kembali dalam parameter y dan s sebagai berikut: ⎡ ⎛ dy ⎞ 2 ⎤ dy = tanψ , ⎢1 + ⎜ ⎟ ⎥ = 1 + tan 2 ψ = sec 2 ψ dx ⎣⎢ ⎝ dx ⎠ ⎦⎥
[
]
dan d2y dψ = sec 3 ψ 2 ds dx Dan menghasilkan Te
dψ dV ⎞ ⎛ + we cosψ − ⎜ N + ⎟=0 ds ds ⎠ ⎝
Hal ini merupakan informasi pada tahap ini untuk mentranformasikan persamaan (2.35) dalam sebuah catenary sederhana. Jika, .po = pi =0 , γ0 = γi = 0 , Te = T = R . sec y Dan we = - γs . As = -w Kemudian Te
dψ dV ⎞ ⎛ − we cosψ + ⎜ N + ⎟=0 ds ds ⎠ ⎝
Untuk gaya drag nol dan variasi geser nol kita mendapatkan
R. sec 2 ψ
dψ =0 ds
(2.37)
Yang mana persamaan tersebut adalah simple catenary.
II.2.2 Panjang Simple Catenary Riser
Gambar berikut memperlihatkan sebuah riser dengan material seragam dimulai dari titik A pada Floating object hingga titik B didasar laut. Reaksi horizontal pada riser di B adalah R , pada sebuah titik P pada kabel beban vertical yang bekerja, W, adalah ekivalen dengan unit berat, w, satuan waktu terhadap panjang kabel ,S, antara titik B dan P.
20
Koordinat pada titik B adalah y untuk arah vertical dan x untuk arah horisontal
∫ [(dx ) + (dy ) ] x
S=
2
2
(2.38)
0
ψ R
Gambar II.7 Catenary line (sumber : Chakrabarti, 1987)
T adalah gaya tarik kearah tangent titik P dan membuat sudut θ terhadap garis horizontal. Kemudian untuk kesetimbangan
dy wS = dx R
(2.39)
Sebagai catatan bahwa
dS ⎛ dy ⎞ = 1+ ⎜ ⎟ dx ⎝ dx ⎠
2
(2.40)
Persamaan diferensial untuk catenary dari persamaan (2.2.3) terhadap x
d2y w ⎛ dy ⎞ = 1+ ⎜ ⎟ 2 R dx ⎝ dx ⎠
2
Solusi untuk persamaan ini juga memberikan persamaan catenary
21
y=
R w cosh x w R
(2.41)
Substitusi R/w = a x a
y = a. cosh
Panjang bagian riser antara titik B dan P S = a. sinh
x a
(2.42)
Gaya tarik T adalah T = R. cosh
x = w. y a
(2.43)
Panjang Riser konfigurasi Catenary ditentukan dengan menentukan asumsi awal gaya tarik pada pipa riser dengan ketentuan : T eff ≤ 0.60 Ty dimana T eff adalah gaya tarik efektif pada pipa riser Ty adalah gaya tarik leleh pada pipa riser Ty = SMYS .A A adalah area penampang pipa riser A = A0 − Ai =
π
(D 4
2 0
− Di2
)
Dengan Ao adalah luas hingga tepi luar riser Ai adalah luas lubang dalam riser Do adalah diameter hingga tepi luar riser Di adalah diameter lubang dalam riser Maka T eff = 0.60. SMYS.A
22
I.2.3 Metode Elemen Hingga Pada Riser
Pada analisa terhadap riser dengan menggunaka metode elemen hingga, hal yang dilakukan adalah melakukan diskritisasi struktur dengan membagi
riser
menjadi
beberapa
elemen.
Gambar
dibawah
memperlihatkan riser dibagi menjadi beberapa elemen/segmen dimana pada model diskrit struktur elemen diawali dan diakhiri titik nodal.
Gambar II.8 Segmen dan node pada Riser (sumber :Orcaflex User manuaL,ver9.0.a)
Segmen/ elemen hanya menahan gaya aksial dan torsi dari riser. Sementara property lainnya seperti massa, berat, gaya apung dan lainnya disalurkan pada node. Riser memiliki tiga tipe spring dan damper, yaitu : •
Kekakuan aksial dan damping pada riser dimodelkan dengan spring dandamper aksial pada bagian tengah setiap segmen, lalu disalurkan sebagai efektif tension ke node pada ujung-ujungnya.
•
Kelenturan pada riser digambarkan melalui spring+damper rotasional pada kedua titik di ujung-ujung segmen.
•
Jika torsi disertakan maka kekakuan torsi dan damping dimodelkan dengan spring dan damper torsi pada pertengahan segmen.
23
Gambar II.9 Spring dan Dampers (Sumber :Orcaflex User ManuaL,ver9.0.a) 2.2.4 Tahapan Perhitungan Riser
Tahapan perhitungan untuk gaya dan momen yang bekerja pada riser adalah sebagai berikut : Tahap 1: Gaya Tarik Pada tahapan ini pertama-tama dihitung jarak antara tiap node pada segmen
dan juga menghitung gaya axial segmen (Sz). Gaya tarik pada spring+damper aksial pada bagian tengah setiap segmen dapat dihitung dengan persamaan di bawah ini: Te = EA.ε + (1 − 2υ )( . Po. Ao − Pi. Ai ) + EA.e.(dL / dt ) / Lo
dimana Te Efektif Tension L
Panjang segmen akibat gaya aksial
ε
regangan axial rata-rata = (L-λLo)/(λLo)
Lo
Panjang awal segmen
dL/dt
Kecepatan perubahan panjang
24
(2.44)
EA
kekakuan aksial dari riser (modulus Young x Luas area)
e.
Koefisien damping riser
e
e(critical). (Target Axial Damping)/ 100
υ
poisson ratio
λ
factor perpanjangan segmen
Massa segmen meliputi massa isi pipa. Gaya tarik ini lalu bekerja pada noda di setiap ujung-ujung segmen. Sehingga pada setiap noda akhirnya menerima dua buah gaya tekan dari segmen di kedua sisinya. Tahap 2: Momen Lentur
Pada kedua sisi node terdapat lentur spring dan dampers yang bekerja antara arah aksial noda (Nz) dan arah aksial segmen (Sz). Segmen memiliki dua referensi bidang yaitu S x 1 y i z yang berada di dekat titik A, dan S x 2 y 2 z pada ujung lainnya. Kedua bidang ini memiliki Sz pada arah yang sama sehingga sudut lentur , yang terletak di antara Nz dan Sz dapat dihitung. Momen lentur (M2) dihitung berdasarkan kelenturan spring+damper. Jika kekakuan lentur untuk arah x dan y sama, maka: M 2 = EI . Ce + D.d . Ce / dt
(2.45)
dimana El Kekakuan lentur Ce vektor kurvatur efektif D
(λ/100).Dc
Dc
Bending Critical Damping = Lo
λ
(Segmen.mass. * EI * Lo )
factor perpanjangan segmen
Jika kekakuan lentur untuk arah x dan y berbeda maka persamaan di atas terbagi menjadi dua komponen untuk arah Sx2 dan Sy2. M2Sx2 = El x.Cex + Dx. d.Cex / dt
25
M2Sy 2 = EIy.Cey + Dy d.CeY / dt Dimana EIx,Ely
Kekakuan lentur segmen
Cex,Cey
Vektor curvature dalam arah Sx2 dan Sy2
Dx
(λ/100).D, Lo√ (segment Mass.EIx.Lo)
Dy
(λ/100).D, Lo√ (segment Mass.Eiy.Lo)
Curvature yang digunakan dalam kalkulasi momen lentur ini adalah bidang lentur yang sebenarnya. Bending damping (D) menggambarkan efek lentur dari damping struktur. Penghitungan sudut lentur (a,) dan moment lentur (M I ) pada sisi lain node dilakukan persis dengan penghitungan di atas. Tahap 3: Gaya Geser
Dari penghitungan momen lentur diatas, maka gaya geser pada segmen akan dapat dihitung. Karena segmen memiliki kekakuan lentur, maka momen lentur akan berubah secara linear sepanjang segmen. Sementara gaya geser pada segmen selalu konstan. Persamaan gaya geser adalah: Gaya geser = (M2 –M1)/L Dimana L adalah panjang segmen yang baru.Gaya geser ini bekerja pada node di kedua segmen. Tahap 4: Momen Torsi
Untuk mengetahui momen torsi yang bekerja pads riser, terlebih dahulu perlu cliketahui sudut puntir (T). Sudut puntir adalah sudut yang dibuat oleh arah Sx, dengan Sx 2 . Sehingga momen torsi yang ditimbulkan oleh spring+damper dapat dihitung sebagai berikut: Torsi = K .τ / Lo + C (dτ / dt ) + A.Te
26
(2.46)
dimana K kekakuan torsi τ
sudut puntir torsi
dτ/dt Kecepatan puntir Lo
Panjang awal segmen
Ct
Koefien damping torsi
A
Torsi per unit tension
Te
Efektif tension pada segmen
Koefisien damping (C) menggambarkan efek torsi dari damping struktur. Koefisien damping dihitung berdasarkan Target Torsional Damping. Persamaan Koefisien Damping adalah: C = C(critical).(Target Torsional Damping)/100 Dimana C (critical) =
(2.Iz.K / Lo )
Iz adalah rotasi dari moment inersia segmen. Momen torsi ini bekerja pada noda di kedua segmen. Tahap 5: Beban Total
Seperti telah disebutkan di atas maka setiap noda akan menerima dua buah gaya tekan, dua buah momen lentur, dua buah gaya geser dan dua buah momen torsi. Lalu beban-beban tadi dikombinasikan dengan beban nonstruktural (drag, berat dan lainnya) untuk mendapatkan gaya dan moment total yang bekerja pada struktur riser.
II.2.5 Tekanan Pada Riser
Fungsi Riser adalah untuk menyalurkan minyak atau gas dari dasar laut menuju anjungan. Minyak atau gas (fluida) ini tentunya memiliki tekanan yang memiliki dampak wall tension terhadap struktur riser.
27
Gambar II.10 Wall Tension pada riser (Sumber :Orcaflex User ManuaL,ver 9.0.a)
Persamaan dari wall tension adalah Tw = C1.(Te + Pi. Ai − Po. Ao )
(2.47)
dimana Pi
Internal pressure
Po
External pressure
Ai
Internal Stress pada luasan bidang (Ai = π.Stress ID2 / 4)
Ao
External Stress pada luasan bidang (Ao = π.Stress OD2 / 4)
C1
Tension Stress Loading Factor (C1=1)
StressID dan Stress OD adalah Stress Diameter
II.3. Beban yang bekerja pada Riser II.3.1 Teori Gelombang Linier
Teori gelombang yang paling sederhana dan paling banyak dipakai dibandingkan teori-teori gelombang yang lain adalah teori gelombang linier. Teori gelombang ini sering disebut juga teori gelombang Airy.
28
Gambar II.11 Sketsa definisi profil gelombang (sumber : Chakrabarti, 1987).
Teori ini berdasarkan pada asumsi bahwa tinggi gelombang lebih kecil daripada panjang gelombang atau kedalaman perairan (small amplitude). Asumsi ini menyebabkan kondisi pada permukaan (free surface) dapat dipenuhi pada elevasi rata-rata (mean water level). Selain itu ada beberapa asumsi lainnya yang berkaitan dengan teori ini : 1. Gelombang yang terjadi adalah gelombang berjalan yang sinusoidal, 2. Dasar perairan diam dan datar/horisontal, 3. Fluida air dianggap incompressibel dan irrotational, 4. Tegangan permukaan diabaikan, Dari asumsi-asumsi di atas maka diperkenalkanlah sebuah besaran yaitu potensial kecepatan φ untuk gelombang berjalan, seperti pada gambar di bawah, yaitu :
φ=
gH cosh k(h + z) sin(kx − ωt) 2ω cosh kh
29
(2.48)
Gambar II.12 Sketsa gelombang berjalan dan gelombang berdiri (Chakrabarti, 1987).
II.3.1.1 Persamaan Pengatur
Teori gelombang linier dibangun dengan asumsi bahwa fluida air merupakan fluida yang tak mampat (incompressible) dan irrotational. Dengan asumsi inilah potensial kecepatan φ akan memenuhi persamaan kontinuitas : ∇⋅Q = 0
(2.49)
∇ ⋅ ∇φ = 0
dimana Q adalah vektor kecepatan. Dapat juga dituliskan sebagai : ∇ 2φ =
∂ 2φ ∂x 2
+
∂ 2φ ∂y 2
+
∂ 2φ ∂z 2
=0
(2.50)
Karena gelombang yang ditinjau adalah 2 dimensi (x dan z) maka : ∇ 2φ =
∂ 2φ ∂x 2
+
∂ 2φ ∂z 2
=0
atau dalam bentuk stream function ∇ 2 ϕ =
30
∂ 2ϕ ∂x 2
(2.51) +
∂ 2ϕ ∂z 2
= 0.
II.3.1.2 Syarat Batas a. Syarat Batas Dasar Perairan (Bottom Boundary Condition)
Teori gelombang ini mengasumsikan bahwa dasar perairan adalah datar/horisontal. Maka pada z = -h, ∂φ =w =0 ∂z
(2.52)
b. Kinematic Free Surface Boundary Condition
Syarat batas ini menjelaskan mengenai bagaimana keadaan pada permukaan air yaitu pada z = η(x,t) : ∂φ ∂η ∂η = +u ∂z ∂t ∂x
(2.53)
c. Dynamic Free Surface Boundary Condition
Kondisi batas dinamik ini sebagai syarat bahwa tekanan pada permukaan bebas adalah sama (uniform). Penurunan syarat batas ini diperoleh dari persamaan Bernoulli dengan memasukkan tekanan di permukaan, pη, sama dengan tekanan atmosfir yaitu nol. Dituliskan pada z = η(x,t) sebagai : −
∂φ 1 2 + u + w 2 + gz = C ∂t 2
(
)
(2.54)
dimana C = konstan.
d. Syarat Batas Periodik
Karena gelombang Airy adalah gelombang sinusoidal, maka gelombang ini akan periodik terhadap jarak dan waktu. Syarat batas ini dituliskan sebagai :
φ(x,t) = φ(x + L,t) φ(x,t) = φ(x,t + T ) dimana L adalah panjang gelombang dan T adalah periode gelombang.
31
(2.55)
II.3.1.6 Klasifikasi Gelombang
Gelombang dapat diklasifikasikan menurut perbandingan dari kedalaman perairan dan panjang gelombang, h L . Tabel di bawah ini menyajikannya :
Tabel II.1 Klasifikasi gelombang.
h
Klasifikasi
Pendekatan
Gelombang perairan dangkal
tanh kh ≈ kh
1 h 1 < ≤ 20 L 2
Gelombang intermediate
tanhkh ≈ kh
h 1 > L 2
Gelombang perairan dalam
tanh kh ≈ 1
0<
L
h 1 ≤ L 20
II.3.2 Gaya Gelombang
Perhitungan gaya gelombang air adalah salah satu tugas utama dalam mendesain struktur lepas pantai. Hal ini juga merupakan salah satu pekerjaan yang paling sukar karena sangat kompleksnya interaksi antara gelombang air dan struktur. Gaya gelombang dapat dihitung dengan 3 cara, yaitu : 1. Persamaan Morison, 2. Teori Froude-Krylov, 3. Teori Difraksi.
II.3.2.1 Persamaan Morison
Persamaan Morison mengasumsikan bahwa gaya gelombang terdiri atas gaya seret (drag) dan gaya inersia. Didalamnya terdapat koefisien seret CD dan inersia CM yang harus ditentukan besarnya dengan eksperimen. Persamaan Morison bisa digunakan ketika gaya seret lebih dominan. Hal ini akan tercapai jika ukuran struktur relatif kecil dibandingkan dengan panjang gelombang. Persamaan ini dikembangkan oleh Morison, O’Brien, Johnson, dan Shaaf (1950) dengan menurunkan gaya gelombang horisontal, dari dasar perairan hingga permukaan, yang mengenai sebuah tiang vertikal. Berdasar Tabel II.2 di atas, persamaan Morison digunakan ketika D / L < 0.2 .
32
Teori ini berdasarkan pada hasil percobaan (empiris) sehingga tidak dapat digunakan pada semua bentuk struktur. Koefisien hidrodinamika pada persamaan Morison (inersia, gesek, angkat) mempunyai harga yang berbeda untuk setiap bentuk dan konfigurasi struktur yang berbeda. Besarnya koefisien-koefisien tersebut ditentukan dengan eksperimen di laboratorium.
Gambar II.13 Sketsa definisi gaya gelombang Morison pada silinder vertikal.
Persamaan Morison menyatakan bahwa gaya gelombang merupakan penjumlahan dari gaya seret (drag) yang muncul akibat kecepatan air dan gaya inersia akibat percepatan partikel air. Perumusannya : dF = dFD + dFI •
dF = 0.5 ρC D Du u dS + ρ (1 + C A )A u dS
dengan :
dFD = gaya seret per satuan panjang dFI = gaya inersia per satuan panjang ρ = kerapatan air (kg/m3)
D = diameter (m) U = kecepatan partikel air arah x (m/s) •
U = percepatan partikel air arah x (m2/s) CD = koefisien seret
33
(2.56)
CA = koefisien added mass CM = koefisien inersia = (1+CA) A = luas penampang =
1 π D2 4
Gaya Morison akan diperoleh setelah persamaan di atas, secara umum, diintegralkan terhadap bentangnya. Hasil integrasi tersebut akan menghasilkan rumus umum persamaan Morison : F=
• 1 ρC D Au u + ρC M ∀ u 2
(2.57)
dengan A = luas penampang ⊥ kecepatan datang partikel air (waterplane area) dan ∀ = volume yang terendam. Apabila didapati situasi bahwa struktur bergerak •
(moving body) dengan kecepatan sebesar y
terhadap kecepatan partikel
gelombang maka persamaan Morison dimodifikasi menjadi : F=
• • • •• • 1 ρC D A⎛⎜ u − y ⎞⎟ u − y + ρC A ∀⎛⎜ u − y ⎞⎟ + ρ∀ u 2 ⎝ ⎠ ⎝ ⎠
(2.58)
II.3.2.2 Teori Froude-Krylov
Apabila gaya seret kecil dan gaya inersia lebih mendominasi namun ukuran struktur masih relatif kecil dibandingkan panjang gelombang maka dapat digunakan teori Froude-Krylov. Gaya gelombang dihitung dengan metode pressure area pada permukaan struktur. Kelebihan dari metode ini adalah pada benda-benda yang simetris, koefisien gaya-gayanya mudah ditentukan.
II.3.2.3 Teori Difraksi
Ketika ukuran struktur sebanding dengan panjang gelombang, eksistensi struktur akan mengganggu medan gelombang datang di hadapan struktur. Dalam hal ini, difraksi gelombang di permukaan struktur harus ikut dipertimbangkan dalam penghitungan gaya gelombang. Teknik inilah yang disebut teori difraksi. Kriteria aplikasi dari 3 macam teknik penghitungan gaya gelombang ini disajikan pada tabel berikut :
34
Tabel II.2 Kriteria penggunaan metode penghitungan gaya gelombang No. 1 2 3
Kriteria D/L < 0,2 D/L > 0,2 D/W > 0,2
Metode Yang Digunakan Persamaan Morison Teori difraksi Teori Froude-Krylov .
dengan : D = diameter/lebar struktur L = panjang gelombang W =
H
(2.59)
2π h tanh L
II.3.3 Gaya Angin
Pengaruh angin dalam kondisi ekstrim sangat signifikan pengaruhnya terhadap desain anjungan lepas pantai karena besarnya beban yang diakibatkan akan mempengaruhi kekuatan anjungan diatas permukaan laut. Gaya angin pada struktur terjadi karena gesekan (friction) udara pada permukaan struktur dan karena adanya perbedaan tekanan di depan dan di belakang struktur. Pengaruh besarnya beban akibat angin tergantung kepada 1.
Ukuran dan bentuk dari elemen strukturnya
2.
Besarnya kecepatan angin
Besarnya kecepatan angin maksimum didapat dari estimasi analisis dari rekaman kondisi cuaca harian. Beban angin diperhitungkan dengan menggunakan persamaan dibawah ini:
F=
1 ρ .Cs. A.V 2 2
(2.59)
35
Dimana ρ
berat jenis udara
Cs
Koefisien bentuk
A
luas obyek
V
kecepatan angin
II.3.4 Arus
Arus, relatif memiliki pergerakan yang konstan. Arus di laut biasanya terjadi akibat adanya pasang surut dan gesekan angin pada permukaan air (wind-drift current). Kecepatan arus bekerja pada arah horisontal dan bervariasi menurut kedalaman. Besar dan arah arus pasang surut dipermukaan biasanya ditentukan berdasarkan pengukuran di lokasi. Wind-drift current di permukaan biasanya diasumsikan sekitar 1 % dari kecepatan angin pada ketinggian 30 ft diatas permukaan air. Untuk kebutuhan rekayasa, variasi arus pasang surut terhadap kedalaman biasanya diasumsikan mengikuti profil pangkat 1/7 ("one-seventh power law") dan variasi arus akibat gesekan angin diasumsikan linier terhadap kedalaman. Dalam kondisi badai, arus terjadi bersamaan dengan gerakan air akibat gelombang. Arah arus pasang surut bisa tidak sama dengan arah rambat gelombang, tetapi wind-drift current biasanya diasumsikan searah dengan gerakan gelombang. Arus yang terjadi bersamaan dengan gelombang akan mempengaruhi karakteristik gelombang. Besar pengaruh arus terhadap gelombang tergantung pada rasio kecepatan maksimum arus terhadap kecepatan gelombang. II.3.5 Gaya Apung
Tekanan air pada struktur yang tenggelam timbul karena berat air diatasnya dan pergerakan fluida di sekitar struktur yang diakibatkan oleh gelombang. Tekanan air pada struktur yang tenggelam dapat memperbesar tegangannya. Gaya yang diakibatkan oleh gelombang telah dihitung di dalam persamaan Morison. Besar gaya apung yang bekerja pada struktur terendam dalam fluida balk itu sebagian atau seluruhnya adalah :
36
Fb = γf . V
(2.60)
dimana γf
berat jenis air
V
volume benda atau struktur tenggelam
II.3.6 Response Amplitude Operators pada Anjungan Terapung
Pergerakan vessel/ FPSO pada gelombang didefenisikan dengan perpindahan Response Amplitude Operators (RAOs), dimana satu derajat kebebasan tertentu untuk satu arah periode dan arah gelombang tertentu. Dua nilai yaitu satu amplitude yang berhubungan dengan amplitude gerakan vessel menjadi amplitude gelombang, dan fasa yang didefinisikan sebagai waktu gerakan vessel yang berkaitan dengan gelombang.
z y
x
Gambar II.14 Pergerakan FPSO
Jika sebuah struktur bebas bergerak dalam gelombang, akibat pergerakannya mungkin keadaanya akan menjadi kritis mendekati resonansi struktur. Maka dari itu adalah merupakan hal penting untuk mempelajari semua respon struktur yang menghasilkan spektum gelombang untuk desain. Dalam kasus ini, response amplitude operators adalah mengenai pergerakan dinamis struktur menjadi fungsi gaya gelombang pada struktur. Kemudian spektrum pergerakan dinamis diperoleh
37
dari spektrum gaya atau dari spektrum gelombang. Jika hubungan antara pergerakan dan gaya adalah linear, konversinya adalah berbanding lurus. Dengan pertimbangan bahwa pergerakan struktur dalam arah tertentu, x, adalah uncoupled dan dapat dimodelkan sebagai sistem spring –mass teredam yang linier. Jika m adalah total massa sistem, K adalah konstanta pegas dan C adalah koefisien redaman, persamaan geraknya adalah ••
•
m x + C x + kx = Fi cos ωt
(2.61)
Dimana Fi adalah amplitude gaya inesia yang linier terhadap tinggi gelombang. Cx’ adalah linear damping term. Perpindahan ,x, adalah gerakan dalam arah tertentu seperti surge, sway dan heave.. Kuantitas x’ dan x” adalah kecepatan dan percepatan. Jika solusi diasumsikan dengan bentuk : x = X cos(ωt + β )
(2.62)
Maka fungsi perpindahannya dapat ditulis ⎡ Fi / (H / 2 ) x(t ) = ⎢ ⎢⎣ (K − mω 2 ) + (Cω )2
[
⎤ ⎥η β (t ) 1/ 2 ⎥⎦
]
(2.63)
Dimana β adalah perbedaan fasa antara x(t) dan η(t). Hubungan ini dapat ditransformasikan untuk memperoleh spektrum pergerakan dalam bentuk spektrum gelombang dan sebuah RAO yang bentuknya ada dalam tanda kurung. ⎤ ⎡ Fi / (H / 2 ) ⎥ S (ω ) S x (ω ) = ⎢ 1/ 2 ⎥ ⎢⎣ K − mω 2 + (Cω )2 14444244443⎦
[(
)
]
(2.64)
RAO
Jadi, untuk sebuah sistem dinamis yang teredam linier, spektrum respon pergerakannya dapat dieroleh melalui cara konvensional dengan sebuah RAO .
38
persamaan gerak anjungan terapung adalah seperti pada persamaan (1) dan solusinya adalah persamaan (3) x(t ) =
Fi / m
[(K − mω )
2 2
+ (2ζω N ω )
2
cos(ωt + β )
]
1/ 2
(2.65)
Dimana ω N2 = K / m dan ζ = 0.1. gaya inersia Fi pada anjungan menghasilkan
amplitudo kecil dan membuat gelombang, dapat ditulis sebagai berikut : •
Fi = m u
(2.66)
•
Dimana u adalah percepatan rata-rata fluida yang berpindah dan dapat diekspresikan sebagai : •
u=
Hg sinh kd − sinh ks sin kl 2D cosh kd kl
Dimana s – d = D dan t adalah panjang anjungan. Kemudian RAO dapat ditulis sebagai
•
[RAO]x =
[(ω
u/ (H / 2)
2 N
− ω 2 ) + (2ξω N ω ) 2
2
]
1/ 2
(2.67)
II.4 Fatigue Pada Struktur
Jika struktur terus bervibrasi dalam jangka waktu lama akibat beban berulang (cyclic loading) yang bekerja, pada suatu saat ia akan mengalami kelelahan (fatigue) pada sebagian elemen atau seluruh struktur tersebut. Dengan kata lain fatigue adalah merupakan efek yang diakibatkan oleh vibrasi struktur dalam jangka waktu lama. Terjadinya fatigue pada elemen struktur dapat dibagi dalam dua fase yaitu Initiation period dan crack growth period
39
Cyclic slip
Crack nucleation
Micro crack growth
Initation Period
Macro crack growth
Final Failure
Crack growth period
Antisipasi terhadap terjadinya fatigue pada elemen struktur harus dilakukan pada saat desain untuk menghindari kerusakan yang akan terjadi, dengan menentukan dimensi, bentuk dan sistem struktur yang sesuai. Seperti yang dijelaskan diatas fatigue merupakan sebuah fenomena kelelahan struktur akibat pembebanan yang berulang (cyclic loading) yang dapat menyebabkan kerusakan pada struktur. Semua tegangan yang berfluktuasi dalam jumlah yang besar cukup untuk menimbulkan efek fatigue terhadap sistem riser. Penyebab tipikal dari fluktuasi tegangan terhadap sistem riser diantaranya: 1. Aksi langsung dari gelombang 2. Vibrasi dari sistem pipa, riser, seperti karena vortex shedding oleh arus, gelombang dan angin. 3. Pergeseran platform (displacement atau deformation) 4. Tekanan operasi dan suhu yang berfluktuasi Kondisi batas fatigue didefinisikan sebagai batas tegangan dimana material (pipa) dapat menahan beban berulang dalam jumlah tertentu. Penentuan batas tegangan pada jumlah beban tertentu yang bekerja pada struktur ditentukan dari kurva S-N (kurva tegangan – jumlah siklus pembebanan yang diijinkan). Kekuatan fatigue adalah tegangan maksimum yang dapat ditahan oleh struktur tanpa mengalami kerusakan pada jumlah pembebanan tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan struktur dalam manahan fatigue diantaranya adalah:
40
1. Faktor material •
Jenis material
•
Finishing permukaan
•
Tegangan sisa (residual stress)
•
Grain size
2. Faktor design •
Sifat bahan
•
Tingkat pembebanan
•
Tegangan maksimum
•
Stress Concentration Factor (SCF). Merupakan perbandingan tegangan ekstrim dan tegangan nominal.
3. Faktor fabrikasi •
Teknik fabrikasi Semakin modern dan bagus kualitas pengelasan dan pelapisan (coating) maka semakin sedikit diskontinuitas bahan. Hal ini akan mengurangi resiko kerusakan struktur akibat proses fatigue.
•
Pengerjaan di pabrik Sifat bahan dipengaruhi oleh proses pembuatan di pabrik. Apabila ada perawatan tertentu maka sifat bahan menjadi lebih baik. Sifat bahan yang baik akan meningkatkan kekuatan struktur.
Secara umum, untuk kondisi tegangan yang fluktuatif dengan amplitudo tegangan yang bervariasi dalam order acak, kriteria fatigue dapat dikembangkan dengan rumusan Palmgreen-Miner sebagai berikut: s
D fat = ∑ i =1
ni ≤η Ni
(2.68)
Dimana: Dfat
: Akumulasi fatigue damage
41
ni
: Jumlah siklus dalam blok tegangan i
Ni
: Jumlah siklus failure pada sebaran tegangan tertentu (kurva S-N)
s
: Jumlah blok tegangan
η
: critical damage ratio = 10 % untuk keadaan tanpa inspeksi
Karakteristik tahanan yang diberikan pada kurva S-N diambil berdasarkan pada 95% dari batas kepercayaan terhadap Yield Strength. Untuk menghitung sisa umur struktur akibat kondisi fatigue dapat dihitung dari persamaan: Umur sisa fatigue =
1 D fatigue
Dalam tugas akhir ini perhitungan fatigue didasarkan pada standar (code) dari DNV RP-F105. Pembahasan lebih lanjut tentang penggunaan standar ini dalam perhitungan fatigue akan dibahas dalam bab berikutnya. II.4.1 Prosedur Prediksi Umur Sisa (Fatigue Life) pada Struktur
Analisa fatigue didasarkan pada tegangan yang terjadi pada elemen struktur dimana dengan mengikuti prosedur analisa tegangan yang terjadi pada akhirnya akan diketahui berapa umur sisa fatigue (fatigue life) terjadi pada elemen tersebut. Analisa tegangan pada riser dengan perangkat lunak berbasis metode elemen hingga diawali dengan membuat pemodelan struktur riser menjadi beberapa elemen (diskritisasi struktur). Dan penampang elemen dibagi menjadi beberapa bagian sesuai sudut pembagi (theta).
42
Gambar II.15 Diskritisasi penampang elemen (sumber: Orcalex manual, Ver 9.0.a)
Tegangan tegangan yang terjadi dihitung pada fatigue points adalah tegangan pada inner point maupun outer point yaitu tegangan axial, radial dan circumferential 1. Stress Concentration factor Didefenisikan sebagai rasio perbandingan antara tegangan puncak (maximum stress) dan tegangan nominal pada penampang elemen struktur.
SCF =
σ PEAK σ NOMINAL
(2.69)
2. Stress Range Stress Range dihitung berdasarkan tegangan tegangan yang terjadi :
σ
rhs
=
{SCF
a
.σ
a
+
(SCF
ib
.σ
ib
)2
+
(SCF
ob
.σ
ob
)2
Dimana σa, σibn, σobn adalah tingkat tegangan pada jumlah siklus yang sama.
43
}
3. Jumlah tegangan siklik Jumlah tegangan siklis yang terjadi didasarkan pada fungsi probabilitas tegangan , yang mana dengan menggunakan fungsi distribusi Rayleigh akan memberikan fungsi distribusi probabilitas komulatif dari tegangan maksimum. 2 ⎛ σ max a P (σ a max ) = 1 − Exp ⎜⎜ − 2 ⎝ 2 RMS σ a
⎞ ⎟ ⎟ ⎠
⎛ σ ib max 2 P (σ ib max ) = 1 − Exp ⎜⎜ − 2 ⎝ 2 RMS σ ib
⎞ ⎟ ⎟ ⎠
⎛ σ ob max 2 ⎜ P (σ ob max ) = 1 − Exp ⎜ − 2 ⎝ 2 RMS σ ob
⎞ ⎟ ⎟ ⎠
(2.70)
4. Komulatif kerusakan Komulatif kerusakan yang terjadi : AD
=
∑
n (σ ) N ( σ rhs )
(2.71)
Dimana .n(σ) adalah jumlah siklus tegangan pada level tegangan σa, σibn, σob N(σ) adalah Siklu maksimum pada blok tegangan σrhs 5. Jumlah kerusakan komulatif :
ADtotal =
∑ N AD ∑N i
i
(2.72)
x S .F
i
dimana : Ni = Jumlah tegangan yang terjadi ADi= akumulasi kerusakan pada SF = factor keamanan
44
6. Umur fatigue pada Joint Element Prediksi umur fatigue yang terjadi pada fatigue joint Fatigue life = 1/(Jumlah kerusakan akibat fatigue*SF.)
L=
1 ADtottal
(2.73)
II.4.2 Standar Analisa Fatigue II.4.2.1Standar API Code
Semua stress yang berfluktuasi dengan jumlah yang besar telah cukup untuk menimbulkan efek fatigue terhadap sistem pipa. Penyebab tipikal dari fluktuasi stress terhadap sistem pipa diantaranya:
Aksi langsung dari gelombang
Vibrasi dari sistem riser, seperti karena vortex shedding oleh arus, gelombang dan angin.
Pergeseran platform (displacement atau deformation)
Tekanan operasi dan suhu yang berfluktuasi
Secara umum dimana fluktuasi stress terjadi dengan amplitudo yang bervariasi dalam order acak, kriteria fatigue dapat dikembangkan dengan formula berikut (Palmgreen-Miner): Dfat =
m
ni
∑N i =1
≤η
(2.74)
i
dimana: Dfat
: Akumulasi fatigue damage
ni
: Jumlah siklus dalam blok tegangan i
45
Ni
: Jumlah siklus yang menyebabkan failure dalam rentang tegangan konstan (kurva S-N)
η
: Crirtical damage ratio = 0.1 untuk kasus tanpa inspeksi dan 0.3 untuk kasus dengan inspeksi.
Karakteristik resistance/tahanan diberikan di S-N curve yaitu stress versus number of cycles to failure. S-N curve didasarkan pada 95% batas kepercayaan terhadap tegangan leleh (yield strength.) Untuk menghitung umur sisa material pipa diberikan dengan formula: FL = 1/Dfat
II.4.2.2 Standar DNV RP-C203
Standar DNV RP-C203 mendefinisikan bahwa kriteria fatigue memenuhi persamaan berikut:
η .Tlife ≥ Texposure dimana: η
: Rasio fatigue damage yang diperbolehkan
Tlife
: Kapasitas design umur fatigue
Texposure: Masa kerja beban Perkiraan fatigue damage didasarkan pada Hukum Palmgreen Miner mc
D fat = ∑ i =1
ni Ni
(2.75)
dimana: Dfat
: Akumulasi fatigue damage
ni
: Jumlah siklus dalam blok tegangan i
Ni
: Jumlah siklus failure pada sebaran tegangan tertentu (kurva S-N)
Jumlah siklus untuk yang dapat menimbulkan failure pada rentang tegangan S ditentukan dari persamaan berikut:
46
N = a1.S − m1 jika S > S sw N = a2 .S − m2 jika S ≤ S sw
dimana: m1,m2 : Exponen fatigue (inverse dari kemiringan kurva bi-linear dari kurva S-N) a1, a2 : Konstanta karakteristik kekuatan fatigue, didefinisikan sebagai mean-minus two standard deviation curve. Ssw
:
Nilai tegangan pada perpotongan dua kurva S-N yang
didefinisikan oleh: S sw = 10
⎛ log a1 − log N sw ⎞ ⎜ ⎟ m1 ⎝ ⎠
Gambar II.16 Contoh kurva fatigue S-N DNV RP-C203
Kurva S-N yang digunakan dapat ditentukan dari: •
Data tes laboraturium
•
Teori kerusakan mekanik
•
DNV RP-C203 “Fatigue Strength Analysis of Offshore Steel
Structures”
47
Kapasitas umur fatigue dapat ditentukan dari persamaan berikut: Tlife =
1 ⎛ f v .Si m .Pi ⎞ ∑⎜ a ⎟ ⎝ ⎠
Dimana Pi adalah probabilitas kejadian siklus tegangan yang ke-i.
48