BAB II Teori Dasar 2.1 Pendahuluan Penelitian ini dimaksudkan untuk merancang suatu sistem filter anti-gempa menggunakan prinsip deret Fourier yang berbasis mikrokontroler. Untuk mendukung proses perancangan sistem tersebut, diperlukan suatu landasan teori sebagai referensinya. Landasan utama meliputi tiga teori dasar, yaitu karakteristik gempa bumi, teknik filtering sinyal, teknik akusisi data, dan mikrokontroler ATmega32.
2.2 Karakteristik Gempa Bumi Jenis-jenis gempa bumi dapat dibedakan berdasarkan sumbernya, antara lain letusan gunung berapi (erupsi vulkanik), tumbukan meteor, dan pergerakan kulit bumi. Diantara jenis-jenis sumber gempa tersebut, yang paling umum terjadi adalah akibat pergerakan kulit bumi, atau disebut dengan gempa tektonik dan gempa jenis inilah yang sering terjadi pada daerah geografis sekitar Gunung Salak, Sukabumi. Gempa jenis ini terjadi akibat pergeseran tiba-tiba lapisan tanah di bawah permukaan bumi. Ketika pergeseran ini terjadi, timbul getaran yang disebut dengan gelombang seismik. Gelombang ini menjalar menjauhi sumber gempa ke segala arah di dalam bumi dan saat mencapai permukaan bumi, getarannya baru dapat terasa sebagai gempa. Tingkat getaran ini sangat bergantung pada besarnya pergeseran lempengan yang terjadi dan juga kedalaman sumber gempa. Contoh karakteristik gempa yang terjadi pada PLTP Gunung Salak milik PT. Indonesia Power, dapat dilihat pada Gambar 2.1 dimana titik pengukurannya diletakkan pada fondasi turbin-generator unit 3.
2.3 Teknik Filtering Sinyal 2.3.1 Filter Analog Dalam pengukuran sinyal getaran, rangkaian filter sangat penting keberadaannya karena digunakan untuk menghilangkan frekuensi-frekuensi yang tidak dinginkan. Berdasarkan komponen elektronik yang digunakan, filter terbagi menjadi dua macam, yaitu filter pasif dan filter aktif. Untuk daerah kerja frekuensi di atas 1 MHz, biasa digunakan filter pasif dengan alasan kemudahan perancangan, karena filter jenis ini menggunakan komponen-komponen pasif seperti induktor (L), resistor (R), dan kapasitor 5
(C). Pada daerah kerja frekuensi rendah (1 Hz sampai dengan 1 MHz), perancangan dengan menggunakan filter pasif akan susah dilakukan dikarenakan nilai komponen induktor akan sangat besar, sehingga biaya pembuatannya akan menjadi tidak ekonomis. Dalam kasus ini, dipilih filter aktif yang menggunakan opamp (operational amplifier) sebagai komponen aktif yang dikombinasikan dengan beberapa resistor dan kapasitor guna menghasilkan performa yang setara dengan filter LRC (filter pasif) pada frekuensi rendah.
Gambar 2.1 Karakteristik gempa bumi daerah sekitar PT. Indonesia Power
Gambar 2.2 Filter lalu-rendah orde dua tipe pasif (kiri) dan aktif (kanan) Sementara itu, berdasarkan daerah operasinya, filter dapat digolongkan menjadi filter lalu-rendah (lowpass filter), filter lalu-tinggi (highpass filter), filter lalu-pita (bandpass filter), dan filter takik (notch filter). Filter lalu-rendah akan melewatkan sinyal 6
dengan frekuensi di bawah frekuensi potongnya (frekuensi cut-off), sedangkan filter lalutinggi melewatkan sinyal dengan frekuensi di atas frekuesi potongnya. Kombinasi antara kedua filter tersebut menghasilkan filter lalu-pita dan filter takik. Filter lalu-pita hanya akan melewatkan sinyal dengan frekuensi di antara frekuensi potong bawah dan frekuensi potong atas. Sebaliknya filter takik hanya akan melewatkan sinyal dengan frekuensi di bawah frekuensi potong bawah dan di atas frekuensi potong atas. Berdasarkan karakteristiknya, filter dapat dibedakan atas filter Butterworth, Tschbyscheff, Bessel, dan lain-lain. Pada umumnya jenis filter yang sering digunakan adalah filter jenis Butterwoth karena dapat memberikan kerataan maksimum pada frekuensi passband-nya. Secara teoritis, frekuensi potong didefinisikan sebagai frekuensi saat amplitudo sinyal keluaran mengalami penurunan sebesar 3 dB (0,707) terhadap sinyal masukan. Gambar 2.3 memperlihatkan grafik respon frekuensi amplitudo filter lalu-tinggi Butterwoth dengan beberapa orde yang berbeda terhadap frekuensi yang sudah dinormalisasi, Ω (Ω=f/fcut-off). Pada grafik ini terlihat bahwa semakin tinggi orde filter, maka akan semakin panjang daerah ratanya. Disisi lain pada Gamabr 2.4 dapat dlihat bahwa semakin tinggi orde filter, maka semakin besar keterlambatan fasa yang terjadi.
Gambar 2.3 Respon frekuensi amplitudo filter lalu-tinggi Butterworth 7
Gambar 2.4 Keterlambatan fasa filter lalu-tinggi Butterworth
Gambar 2.5 Respon sinyal yang melalui filter analog Dalam penelitian ini sinyal yang ingin dihilangkan adalah getaran akibat gempa yang memiliki sifat berupa sinyal transien dengan frekuensi rendah. Apabila digunakan filter analog yang konvensional, maka sinyal gempa masih akan dapat terbaca oleh alat monitoring selama selang waktu tunggu (tst) sehingga dapat mengakibatkan ter-trip-nya
8
mesin pada saat gempa terjadi. Untuk mengatasi hal tersebut, pengolahan sinyal dilakukan dengan menggunakan prinsip deret Fourier dan berbasis mikrokontroler.
2.3.2 Deret Fourier Sinyal getaran dapat digolongkan sebagai sinyal periodik yang dapat diartikan sebagai sinyal yang mengalami pengulangan setelah rentang waktu tertentu, T, sehingga x (t + T ) = x (t ) . Fungsi sinyal jenis ini memiliki frekuensi dasar ωo (rad/s) atau fo (Hz),
yaitu frekuensi terendah yang dimiliki oleh sinyal tersebut dan memilki hubungan sebagai berikut : ⎛1⎞ ω o = 2π ⎜ ⎟ = 2πf o ⎝T⎠
(2.1)
Semua sinyal periodik yang kontinu dapat direpresentasikan menggunakan deret Fourier dalam bentuk sinus, cosinus, maupun eksponential : untuk -∞ ≤ t ≤ ∞, +∞
x(t) = 2 ∑ X p e jpωo t ,
(2.2)
-∞
untuk 0 ≤ t ≤ ∞, +∞
x(t) = 2 ∑ X p e jpωo t ,
(2.3)
p=0
dimana koefisien kompleks Fourier Xp (dengan bagian real dan imajiner) didefinisikan sebagai : untuk -∞ ≤ t ≤ +∞,
Xp =
1 t+T x(τ) e-jωo τ dτ , T ∫t
(2.4)
untuk 0 ≤ t ≤ +∞,
Xp =
2 t+T x(τ) e-jωo τ dτ . ∫ t T
(2.5)
Persamaan (2.2) dan (2.3) digunakan untuk mengubah data domain frekuensi, Xp, menjadi data domain waktu, x(t), sedangkan Persamaan (2.4) dan (2.5) digunakan untuk proses konversi sebaliknya. Dalam penelitian ini, perlu diketahui karakteristik pada domain frekuensi untuk sinyal domain waktu dengan nilai 0 ≤ t ≤ ∞. Oleh sebab itu Persamaan 9
(2.5) digunakan sebagai referensi untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Dikarenakan data yang diperoleh mikrokontroler berupa data digital dari ADC, maka Persamaan (2.5) perlu dimodifikasi karena persamaan tersebut hanya dapat digunakan pada sinyal kontinu. Persamaan yang baru akan menjadi : Xp =
2 N-1 x(nTs ) e -jωo (nTs ) , ∑ N n=0
(2.6)
Xp =
2 N-1 ∑ x(nTs ) [cos(ωo (nTs )) - jsin(ωo (nTs ))] , N n=0
(2.7)
dimana N adalah jumlah data dan Ts adalah waktu cuplik. Apabila
sinyal
masukan
berupa
gelombang
sinus
dengan
persamaan
x(t) = A sin(ω t) , maka karakteristik pada domain frekuensi seperti terlihat pada Gambar
2.6 dapat diperoleh menggunakan Persamaan (2.7). Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa untuk sinyal masukan dengan amplitudo A dan frekuensi ωo akan menghasilkan amplitudo Xp yang besarnya sama dengan amplitudo sinyal masukan, yaitu A. Sedangkan untuk sinyal masukan dengan frekuensi selain ωo akan menghasilkan amplitudo Xp yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan A. Karakteristik ini sebenarnya mirip dengan filter lalu-pita, hanya saja bedanya adalah tidak terdapatnya waktu tunggu untuk mencapai keadaan tunak.
Gambar 2.6 Karakteristik Fourier pada domain frekuensi
10
2.4 Teknik Akusisi Data 2.4.1 Sinyal Masukan Sensor getaran berfungsi sebagai pengubah getaran mekanik menjadi sinyal listrik yang dapat diukur menggunakan perangkat akuisisi data. Dalam pengukuran getaran dikenal dengan tiga jenis sensor, yaitu sensor posisi (displacement transduser), sensor kecepatan (velocity transducer), dan sensor percepatan (accelerometer). Ketiga sensor tesebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Dalam penelitian ini, sinyal masukan perangkat filter anti-gempa berasal dari sensor getaran jenis sensor kecepatan. Sensor kecepatan merupakan sensor getaran yang paling lama digunakan dalam dunia industri, sehingga banyak standar yang mengacu kepada satuan sensor ini. Sensor jenis ini terdiri atas massa seismik (berupa magnet permanen) yang berkumparan listrik dan ditumpu oleh pegas. Getaran massa seismik terendam oleh pelumas yang berfungsi sebagai peredam dan sekaligus sebagai fluida pendingin. Pergerakan relatif antara massa seismik dengan kumparan listrik menghasilkan tegangan yang besarannya sebanding dengan amplitudo kecepatan getaran. Berbeda
dengan
sensor
percepatan
(accelerometer),
velocity
transducer
digolongkan sebagai sensor aktif, karena dapat menghasilkan sinyal analog getaran dalam besaran tegangan listrik tanpa memerlukan catu daya (power supply) dari luar. Gambar 2.7 memperlihatkan gambaran secara terinci mengenai isi dari sensor kecepatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu PR 9268. Adapun data teknis dan karakteristik masing-masingsensor tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1 dan Gambar 2.8.
Gambar 2.7 Skema sensor kecepatan PR 9268 11
Tabel 2.1 Data teknis sensor kecepatan PR 9268 Frekuensi kerja Sensitivitas Frekuensi pribadi
4 – 1000 Hz 28,5 mV/mm s-1 (pada 50 Hz) 3,6 ± 0,5 Hz
Faktor damping
0,56
Massa seismik
11,1 gram
Gambar 2.8 Karakteristik sensor kecepatan PR 9268
2.4.2 Pengkodisian Sinyal 2.4.2.1 Differential Input Apabila suatu sensor dihubungkan dengan sebuah perangkat instrumentasi, maka terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Sinyal keluaran sensor pada umumnya memiliki amplitudo yang sangat kecil. Selain itu, peletakan sensor terkadang berjarak jauh dari peralatan instrumentasi sehingga memerlukan kabel yang panjang. Apabila pengukuran dilakukan dengan salah satu atau kedua kondisi tersebut, maka hasil pengukuran akan sangat rentan terhadap sinyal gangguan dari luar (noise). Untuk mendatpatkan hasil pengukuran yang akurat, maka diperlukan teknik pemasangan yang sesuai antara sensor dengan peralatan instrumentasi. Salah satu cara tersebut adalah dengan penggunaan teknik differential input dengan skema yang dapat dilihat pada Gambar 2.9. 12
Gambar 2.9 Skema differential input Untuk pengukuran sinyal di bawah 1 MHz, penggunaan teknik differential input dapat memberikan hasil pengukuran yang akurat tanpa adanya gangguan noise. Prinsip kerja teknik ini berpegang pada kenyataan bahwa sinyal noise yang masuk ke dalam sistem pengukuran akan menghasilkan sinyal yang sama pada kedua kabel penghubung antara sensor dan peralatan instrumentasi. Kondisi dimana kedua masukan dari sistem memiliki sinyal dengan amplitudo dan fasa yang sama dikenal dengan sebutan sinyal common mode, seperti terlihat pada Gambar 2.10. Untuk mengurangi efek noise pada pengukuran, kedua sinyal masukan tersebut dikurangi menggunakan komponen operational amplifier (opamp). Parameter tingkat kualitas opamp dalam meminimalisir sinyal noise dikenal dengan istilah Common Mode Rejection Ratio (CMRR) dan dapat dicari menggunakan Persamaan (2.8).
CMRR = 20×log
Gain (differential) Gain (commonmode)
(2.8)
Sebagai contoh, sebuah opamp diberi suatu sinyal dan menghasilkan sinyal keluaran dengan pembesaran sebesar 300 kali untuk kondisi differential (sinyal diberikan pada salah satu input, atau dikenal dengan sebutan single ended) dan pembesaran sebesar 0,01 kali untuk kondisi common mode (sinyal yang sama diberikan pada kedua input), maka CMRR opamp tersebut adalah sebesar 90 dB.
2.4.2.2 Voltage Follower (Buffer) Dalam perancangan suatu sistem pengukuran perlu diperhatikan bahwa sistem yang akan dibuat tidak boleh sampai mengganggu sistem yang ada di sekitarnya. Sistem pengukuran yang baik memiliki impedansi masukan yang sangat besar, sehingga tidak akan menyedot arus dari sistem sebelumnya. Hal ini sangat berpengaruh pada kondisi 13
pengukuran dimana sinyal masukan memiliki amplitudo tegangan yang sangat kecil, seperti sinyal sensor getaran. Apabila impedansi masukan sistem kecil, maka tegangan masukan ke sistem akan mengecil dan berakibat pada ketidak-akuratan pengukuran. Berbeda dengan masukan, impedansi keluaran sebaiknya dibuat serendah mungkin agar tegangan keluaran sistem tidak terpengaruh oleh sistem keluaran. Untuk memenuhi kedua persyaratan di atas, digunakan komponen opamp. Salah satu aplikasi opamp adalah sebagai voltage follower atau buffer. Sifat dari voltage follower ini antara lain adalah tegangan keluaran memiliki fasa yang sama dengan tegangan masukan, pembesaran sinyal keluaran sebesar satu kali, impedansi masukan yang sangat tinggi, dan impedansi keluaran yang sangat rendah.
Gambar 2.10 Sinyal common mode
2.4.3 Konversi Sinyal Analog Menjadi Data Digital Seiring dengan perkembangan jaman, akuisisi data dengan menggunakan sinyal analog mulai ditinggalkan dan digantikan oleh sinyal digital. Kecanggihan teknologi digital saat ini dapat dilihat pada alat bantu pengolahan data seperti mikrokontroler dan komputer yang dapat melakukan analisa numerik yang kompleks dengan cepat dan tepat. 14
Dalam akuisisi data berbasis teknologi digital, sinyal analog yang ingin diamati harus terlebih dahulu diubah menjadi sinyal digital untuk selanjutnya dapat dilakukan pengolahan data. Proses perubahan sinyal analog menjadi sinyal digital ini dilakukan dengan menggunakan perangkat Analog to Digital Converter (ADC). Namun terdapat satu kelemahan dari proses pengubahan tersebut, yaitu hilangnya data dalam interval pencuplikan. Berbeda dengan sinyal analog yang merupakan sinyal kontinu, sinyal digital merupakan sinyal diskrit yang hanya memiliki data pada tiap periode Ts (waktu cuplik). Kelemahan ini dapat diatasi dengan pemakaian ADC dengan frekuesi cuplik yang tinggi sehingga dapat meminimalisir kesalahan akibat kekosongan data diantara waktu cuplik. Proses konversi sinyal analog menjadi sinyal digital yang dilakukan oleh ADC melalui tahap-tahap sebagai berikut : •
Proses pencuplikan Dalam proses ini sinyal analog yang kontinu diubah menjadi sinyal diskrit.
•
Proses tahan (hold) Sinyal yang dicuplik ditahan agar harganya tidak berubah selama proses konversi data analog ke data digital berlangsung.
•
Proses kuantisasi Masing-masing tingkat dari sinyal diskrit diterjemahkan ke dalam salah satu angka yang harganya berkisar dari 0 hingga 2n – 1, dengan n merupakan jumlah data bit ADC yang digunakan.
•
Proses encoding Pada proses ini, data hasil proses kuantisasi diubah menjadi data dalam bentuk bilangan biner dengan resolusi n.
Pencuplikan x(t) masukan analog
Tahan (Hold)
Kuantisasi 2n-1 0
Encoding
Rangkaian Logika
x(n) keluaran digital
Gambar 2.11 Tahapan proses konversi sinyal analog menjadi data digital Dalam proses pencuplikan, tegangan analog masukan ADC dibaca secara periodik dengan frekuensi tertentu yang disebut sebagai frekuensi pencuplikan menggunakan switch. Frekuensi pencuplikan ini berkaitan erat dengan jangkauan frekuensi yang dapat 15
dibaca oleh perangkat akuisisi data. Berdasarkan teorema Nyquist yang mengatakan bahwa untuk menghindari fenomena aliasing, maka frekuensi sinyal maksimum yang ingin diamati harus kurang dari setengah frekuensi cuplik. Gambar 2.12 memperlihatkan proses pencuplikan sinyal yang memenuhi teorema Nyquist, sedangkan Gambar 2.13 memperlihatkan contoh proses pencuplikan yang melanggar teorema tersebut yang dikenal dengan fenomena aliasing. Dapat dilihat bahwa fenomena aliasing dapat menyebabkan kesalahan pembacaan, dimana sinyal yang terbaca seakan-akan memiliki frekuensi yang lebih rendah dari frekuensi sinyal yang sebenarnya.
Gambar 2.12 Proses pencuplikan sinyal
Gambar 2.13 Fenomena Aliasing 16
Dalam proses kuantisasi, tegangan sinyal analog yang telah dicuplik diterjemahkan ke dalam salah satu bilangan dari 0 hingga 2n – 1, dimana n adalah jumlah data bit ADC atau sering disebut resolusi ADC. Nilai keluaran ADC didapat dari persamaan :
ADC =
Vin n (2 + 1) , Vref
(2.9)
dimana Vin adalah tegangan masukan ADC danVref adalah tegangan referensi ADC. Tegangan referensi ADC digunakan sebagai tegangan maksimum yang dapat dibaca oleh ADC. Apabila tegangan masukan melebihi tegangan referensi, maka nilai keluaran ADC adalah sebesar tegangan referensi (terpotong). Di sisi lain, apabila tegangan masukan jauh lebih kecil dibandingkan dengan tegangan referensi, maka nilai keluaran ADC tidak akan akurat akibat resulusi yang rendah. Resolusi maksimum ADC dapat tercapai apabila tegangan masukan ADC mendekati atau sama dengan tegangan referensi. Apabila tegangan masukan melebihi tegangan referensi, sebaiknya tegangan referensi diperbesar atau tegangan masukan diperkecil menggunakan rangkaian pembagi tegangan. Sebaliknya apabila tegangan masukan terlalu kecil dibandingkan tegangan referensi, maka sebaiknya tegangan refereansi diperkecil atau tegangan masukan diperbesar menggunakan rangkaian penguat (amplifier). Fenomena ini dapat terlihat dengan jelas pada Gambar 2.14.
Gambar 2.14 Pengaruh jangkauan tegangan ADC terhadap keakurasian pembacaan sinyal masukan
17
2.5 Mikrokontroler ATmega32 2.5.1 Arsitektur ATmega32 ATmega32 merupakan mikrokontroler 8-bit CMOS yang dirancang berdasarkarkan AVR Enhanced RISC Architecture dengan konsumsi daya yang rendah. Salah satu keunggulan keluarga AVR adalah penggunaan arsitektur Harvard dalam meningkatkan performa dan parallelism. Teknologi ini memisahkan antara memori untuk program dan untuk data, sehingga memungkinkan mikrokontroler untuk menyelesaikan 1 instruksi per siklus clock. Untuk pengenalan lebih lanjut, berikut merupakan beberapa spesifikasi dari ATmega32 : •
CPU 8-bit
•
32 x 8 register general purpose working dan register pengendali peripheral.
•
kecepatan hingga 16 juta MIPS (instruksi per detik) dengan kristal 16 MHz.
•
32 kByte memori flash untuk penyimpanan program yang dapat ditulis/hapus sebanyak 10.000 kali.
•
2 kByte internal memori SRAM.
•
1024 Byte internal memori EEPROM yang dapat ditulis/hapus sebanyak 100.000 kali.
•
fasilitas antarmuka SPI untuk pemrograman in-situ atau serial komunikasi.
•
fasilitas antar muka I2C.
•
real-time counter dengan osilator terpisah.
•
watchdog timer yang dapat diprogram dengan osilator internal.
•
2 buah Timer/Counter 8-bit dengan pembagi dan pembanding terpisah.
•
1 buah Timer/Counter 16-bit dengan pembagi dan pembanding terpisah.
•
8 kanal ADC dengan resolusi 10 bit yang memiliki kemampuan mencuplik sampai dengan 15.000 KSPS.
•
8 kanal ADC dengan resolusi 10 bit.
•
32 jalur masukan/keluaran mutiguna. Pada ATmega32 terdapat 40 pin aktif yang masing-masingnya memiliki fungsi
tersendiri. Mikrokontroler ATmega32 yang digunakan memiliki kemasan PDIP (Plastic Dual Inline Package) seperti terlihat pada Gambar 2.15.
18
Gambar 2.15 Susunan pin ATmega32 Berikut merupakan deskripsi mengenai pin-pin yang terdapat pada ATmega32 : •
VCC, catu daya +5V
•
GND, ground
•
PORTA (PA7..0), merupakan port I/O 8-bit dua arah dengan hambatan pull-up internal, selain itu port A memiliki fungsi alternatif sebagai port pengalamatan byte rendah dan data untuk hubungan antarmuka dengan memori eksternal (AD0-AD7).
19
•
PORTB(PB7..0), merupakan port I/O 8-bit dua arah dengan hambatan pull-up internal, selain itu port B memiliki fungsi alternatif sebagai keluaran PWM (OC0), sumber interupsi (INT2), sumber Timer/Counter 1 dan Timer/Counter 2 (T1 dan T2), dan sebagai MOSI, MISO, SCK, dan SS untuk antarmuka SPI.
•
PORTC(PC7..0), merupakan port I/O 8-bit dua arah dengan hambatan pull-up internal, selain itu port C memiliki fungsi alternatif sebagai port antarmuka JTAG (TDI, TDO, TMS, TCK), dan antarmuka two-wire (SDA, SCL).
•
PORTD(PD7..0), merupakan port I/O 8-bit dua arah dengan hambatan pull-up internal, selain itu port D memiliki fungsi alternatif sebagai keluaran PWM (OC2, 20
OC1A, OC1B), sumber interupsi (INT1, INT0), dan komunikasi antarmuka UART/USART (RXD, TXD).
•
RESET, merupakan pin reset yang berfungsi untuk mengembalikan eksekusi program ke alamat 0000h jika dipertahankan dalam keadaan low selama 50 nano detik.
•
XTAL1 dan XTAL2, merupakan jalur masukan dan keluaran ke/dari penguat inverting osilator dan rangkaian clock internal.
•
AVCC, merupakan pin catu daya untuk port F dan ADC.
•
AREF, merupakan pin masukan tegangan referensi untuk ADC. Jangkauan tegangan referensi yang diperbolehkan berkisar antara tegangan AVCC dan GND.
•
PEN, merupakan pin yang berfungsi untuk mengaktifkan mode pemrograman serial.
2.5.2 Timer/Counter ATmega32
menyediakan
fitur
Timer/Counter
dengan
resolusi
8
bit
(Timer/Counter0 dan Timer/Counter2) maupun 16 bit (Timer/Counter1). Salah satu mode yang dapat dipilih dalam fitur ini adalah mode normal. Pada mode ini, mikrokontroler akan menghitung dimulai dari nilai tertentu sampai batas nilai maksimum dengan kecepatan sebesar frekuensi clock Timer/Counter. Untuk Timer/Counter 8 bit batas nilai maksimum bernilai 255 dan untuk timer/counter 16 bit bernilai 65.535, sedangkan nilai awalan dapat diatur dengan menuliskan nilai awalan tersebut pada register TNCT0 (Timer/Counter0), TCNT1H dan TCNT1L (Timer/Counter1), dan TCNT2 (Timer/Counter2). Pada saat 21
Timer/Counter beroperasi dan hitungan telah mencapai nilai maksimum, maka proses perhitungan akan dimulai kembali dari nilai awalan yang telah ditentukan sebelumnya. Kondisi ini dapat dimanfaatkan sebagai pemicu dijalankannya program lain, disebut dengan Overflow Interupt. Setiap kali hitungan Timer/Counter telah mencapai nilai maksimum, program yang berada dalam subprogram Overflow Interupt akan dijalankan.
2.5.3 Media Penyimpanan: Memori dan Register ROM (Read Only Memory) merupakan memori yang bersifat non-volatile, artinya data pada yang tersimpan di dalam ROM tidak akan hilang bila catu daya dimatikan. Terdapat beberapa jenis ROM yang dikenal, yaitu ROM biasa, PROM, dan EEPROM. ROM biasa adalah memori yang telah diprogram oleh pabrik pembuatnya, sedangkan PROM (Programable Read Only Memory) adalah memori yang dapat diprogram oleh pengguna tetapi hanya satu kali saja dan tidak dapat dihapus kembali. Lain halnya dengan EEPROM (Electrically Erasable Programmable Read Only Memory), memori jenis ini dapat diprogram dan dihapus berulangkali oleh penggunanya. ATmega32 memiliki memori jenis EEPROM internal dengan kapasitas 1024 Byte dan dapat ditulis/hapus sebanyak 100.000 kali. RAM (Random Acces Memory) merupakan memori yang bersifat volatile, artinya data pada RAM akan hilang bila catu daya dimatikan. RAM dapat dengan cepat dan mudah ditulis, dibaca, dan dihapus pada level tegangan TTL tanpa batas pemakaian. Dengan sifatnya ini, RAM pada umumnya digunakan sebagai media penyimpanan sementara. ATmega32 memiliki memori jenis ini dengan kapasitas sebesar 2 KByte. Selain ROM dan RAM internal, Atmega juga memiliki register data dan register kontrol yang biasanya disebut SFR (Special Function Register). Setiap fasilitas on-chip memiliki satu atau lebih SFR.
22