BAB II STUDI PUSTAKA
II.1.
Umum
Jalan sebagai prasarana transportasi merupakan suatu sistem prasarana yang kemampuan operasinya sangat ditentukan oleh kontinuitasnya dalam jaringan yang terintegrasi dengan sistem transportasi lainnya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap jalan akan mengalami penurunan kondisi yang disebabkan oleh pertambahan umur, beban operasional, dan kondisi lingkungan. Penurunan ini menyebabkan menurunnya fungsi jalan. Pemeliharaan rutin, berkala, rehabilitasi dan peningkatan sangat dibutuhkan untuk tetap mempertahankan fungsi dari jalan.
II. 2
Peran, Fungsi, Status dan Kewenangan Penyelenggaraan Jalan Kabupaten
Dokumentasi terakhir mengenai definisi jalan Kabupaten disampaikan dalam UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan dan PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan. Pada beberapa paragraf berikut ini disampaikan resume singkat dari konsep jaringan jalan Kabupaten dalam perundangan yang ada. Adapun deskripsi lengkap pengaturannya dapat dilihat pada dokumen UU No. 38 Tahun 2004 dan PP tersebut. II.2.1 Peran Jalan Peran jalan dalam UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan disampaikan secara umum pada bagian pertimbangan butir b yang menyatakan ”bahwa jalan sebagai bagian sistem transportasi nasional mempunyai peranan penting terutama dalam mendukung bidang ekonomi, sosial, dan budaya serta lingkungan dan dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antar daerah, membentuk dan memperkukuh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan keamanan
6
nasional, serta membentuk struktur ruang dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional.”. Lebih lanjut dalam Pasal 5 (1,2,3) UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan yang secara umum (terlepas dari status dan fungsinya) dapat disarikan peran jalan sebagai berikut: -
Jalan sebagai bagian dari prasarana transportasi untuk menunjang kegiatan sosial-ekonomi masyarakat,
-
Jalan sebagai prasarana distribusi dan pendorong pertumbuhan dan penyeimbang perkembangan wilayah,
-
Jalan dalam kesatuan sistem jaringan jalan sebagai pemersatu wilayah NKRI.
II.2.2 Sistem Jaringan Jalan Dalam pasal 7 UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan disampaikan mengenai konsep sistem jaringan jalan di Indonesia. Sistem jaringan jalan didefinisikan sebagai kesatuan ruas-ruas jalan yang menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan termasuk wilayah pelayanannya dalam satu hubungan hirarki.
Dalam hal ini sistem jaringan jalan terdiri dari sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder, di mana definisinya adalah sebagai berikut: -
Sistem jaringan jalan jalan primer merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan, (Sumber pasal 7 (2) UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan),
-
Sistem jaringan jalan sekunder merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan, (Sumber pasal 7 (3) UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan),
Secara teknis dapat dikatakan bahwa sistem jaringan jalan primer adalah sistem jaringan jalan antar kota (interurban road), sedangkan sistem jaringan jalan sekunder adalah sistem jaringan jalan perkotaan (urban road). Pembagian sistem
7
dalam kota dan antar kota ini sangat penting untuk memudahkan dalam manajemen lalulintas dan penanganan jalan.
II.2.3 Pengelompokan Fungsi Jalan Secara teknis pada dasarnya fungsi jalan adalah menyediakan akses keluar/masuk guna lahan (access function) dan kelancaran lalulintas (mobility function) dalam rangka menunjang semua kegiatan masyarakat dan pemerintah yang memerlukan adanya perpindahan orang, barang, dan kendaraan dari satu tempat ke tempat lain karena tidak semua kegiatan dapat dilaksanakan dalam satu lokasi saja.
Pengelompokkan fungsi jalan dilakukan dalam konteks efisiensi operasi dimana fungsi akses dan fungsi mobilitas dipisahkan dalam hirarki jalan yang akan bersinergi dalam sistem jaringan jalan. Secara skematis fungsi dasar transportasi dari prasarana jalan disampaikan pada Gambar II.1 berikut ini.
Jalan Kolektor
Jalan Arteri
Fungsi mobilitas/ arus lalulintas
Fungsi akses ruang/lahan
Jalan Lokal
Gambar II.1 Pembagian Fungsi Jalan Jalan lokal akan lebih banyak memberikan fungsi aksesibilitas kepada sejumlah ruang kegiatan yang ada disekitarnya. Jalan Kolektor akan berfungsi sebagai pengumpul dan pendistribusi perjalanan di mana fungsi akses dan mobilitas merata. Sedangkan jalan arteri disediakan sebagai media pergerakan lalulintas yang besar (memaksimalkan fungsi mobilitas). Kualitas koneksi antara jalan
8
lokal, kolektor, dan arteri dalam suatu konfigurasi jaringan akan sangat menentukan tingkat efisiensi pelayanan yang dihasilkan.
Dalan pasal 8 UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan disampaikan konsep pengelompokkan jalan menurut fungsinya di Indonesia, yang terdiri dari jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan. Adapun rangkuman pengertian hirarki pengaturan fungsi dalam UU tersebut secara umum disampaikan pada Tabel II.1 berikut ini.
Tabel II.1 Pengelompokkan Jalan Menurut Fungsi No
Fungsi Jalan
1
Jalan arteri
2
Jalan kolektor
3
Jalan lokal
4
Jalan lingkungan
Fungsi pelayanan Angkutan utama
Jarak
Kecepatan
Perjalanan jarak jauh
Kecepatan ratarata tinggi
Angkutan pengumpul/ pembagi Angkutan setempat
Perjalanan jarak sedang Perjalanan jarak dekat
Kecepatan ratarata sedang
Angkutan lingkungan
Jarak jarak pendek
Kecepatan ratarata rendah
Kecepatan ratarata rendah
Jalan masuk Jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna Jumlah jalan masuk dibatasi Jumlah jalan masuk tidak dibatasi -
Sumber: Dirangkum dari pasal 8 (2,3,4,5) UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan
Konsep mengenai pengelompokkan fungsi jalan di Indonesia, sebagaimana disampaikan pada Tabel II.1, selaras dengan konsep pengelompokkan fungsi jalan secara teoritis yang disampaikan pada Gambar II.1. Untuk menjamin pelaksanaan fungsi jalan tersebut maka untuk setiap fungsi jalan perlu ditentukan persyaratan teknisnya (lebar, kapasitas, kecepatan rencana, dan persyaratan teknis lainnya). Persyaratan teknis dari masing-masing fungsi jalan tersebut secara umum disampaikan pada Pasal 12 - 22 PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan sebagaimana dirangkum pada Tabel II.2.
Persyaratan teknis setiap fungsi jalan dalam PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan belum menyertakan persyaratan kondisi fisik jalan (tingkat kerusakan): baik, sedang, rusak, rusak ringan, dan rusak berat. Sebagaimana diketahui jika jalan
9
rusak, maka fungsi jalan untuk aksesibilitas maupun mobilitas tidak akan dapat berjalan sebagaimana mestinya. Sangat disarankan bahwa di sejumlah NSPM lain terkait dengan penyelenggaraan jalan perlu disediakan persyaratan mengenai kondisi fisik jalan sehingga pemenuhan fungsi jalan dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Tabel II.2 Persyaratan Teknis Setiap Fungsi Jalan Fungsi Jalan Arteri Primer
Kecepatan rencana 60 km/jam
Lebar Minimal 11 m
Kolektor Primer
40 km/jam
9m
Lebih besar dari volume lalulintas rata-rata
Lokal Primer Arteri Sekunder
20 km/jam
6½m
-
30 km/jam
11 m
Lebih besar dari volume lalulintas rata-rata
Kolektor Sekunder
20 km/jam
9m
-
Lokal Sekunder
10 km/jam
7½m
-
Kapasitas
Syarat teknis lain
Lebih besar dari volume lalulintas rata-rata
- Lalu lintas jarak jauh tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang alik, lalu lintas lokal, dan kegiatan lokal. - Jumlah jalan masuk dibatasi dan persimpangan diatur untuk menjamin terpenuhinya syarat teknis lainnya - Tidak boleh terputus walaupun memasuki kota. - Jumlah jalan masuk dibatasi dan direncanakan untuk menjamin terpenuhinya syarat teknis lainnya - Tidak boleh terputus walaupun memasuki kota. - Tidak terputus walaupun memasuki desa - Lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu lintas lambat - Persimpangan diatur untuk menjamin terpenuhinya syarat teknis lainnya
- Jalan Lokal Sekunder yang tidak diperuntukkan bagi kendaraan bermotor beroda 3 atau lebih harus mempunyai lebar badan jalan paling rendah 3 ½ m.
Sumber: Disarikan dari Pasal 9 - 22 PP Jalan No. 34 Tahun 2006
II.2.4 Pengelompokan Status Jalan Dalam pasal 9 UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan disampaikan pengelompokkan jalan (umum, di luar jalan khusus) menurut status yang terdiri dari jalan nasional, jalan propinsi, jalan kabupaten, jalan kota, jalan desa. Adapun hirarki pengaturan status tersebut disampaikan pada Tabel II.3.
10
Dengan adanya pengelompokkan status jalan tersebut diharapkan bahwa semua ruas jalan yang ada di Indonesia akan habis terbagi ke setiap status kewenangan pembinaan jalan. Dengan kata lain tidak ada jalan yang tidak jelas penanggungjawabnya untuk membangun, memelihara, dan mengoperasikannya. Dengan adanya definisi baru ini maka diperlukan adanya penyesuaian dalam penetapan status jalan yang ada saat ini. Tabel II.3 Pengelompokan Status Jalan No 1
Status Jalan Jalan nasional
2
Jalan propinsi
3
Jalan kabupaten
4
Jalan kota
5
Jalan desa
Lingkup status - Jalan arteri primer dan kolektor primer yang menghubungkan antar ibukota Propinsi - Jalan strategis nasional - Jalan tol - Jalan kolektor primer yang menghubungkan ibukota Propinsi dengan ibukota Kabupaten/Kota, - Jalan kolektor primer yang menghubungkan antar ibukota Kabupaten/Kota, - Jalan strategis propinsi - Jalan lokal primer yang menghubungkan ibukota Kabupaten dgn ibukota Kecamatan, - Jalan lokal primer yang menghubungkan antar Ibukota Kecamatan, - Jalan lokal primer yang menghubungkan Ibukota Kabupaten dengan PKL, - Jalan lokal primer yang menghubungkan antar PKL, - Jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah Kabupaten - Jalan strategis Kabupaten - Jalan sekunder yang menghubungkan antar pusat pelayanan dalam kota, - Jalan sekunder yang menghubungkan antara pusat pelayanan dengan persil, - Jalan sekunder yang menghubungkan antar persil, - Jalan sekunder yang menghubungkan antar pusat permukiman di dalam kota - Jalan umum yang menghubungkan kawasan di dalam desa dan/atau antar permukiman - Jalan lingkungan,
Sumber: Dirangkum dari pasal 9 UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan
Untuk menjamin terlaksananya fungsi setiap ruas jalan dalam kewenangan status jalan tertentu, maka diperlukan adanya sinkronisasi antara fungsi dan status jalan, sehingga setiap level pemerintah (Pusat, Propinsi, dan Kab/Kota) akan mengurus jalan dalam statusnya sesuai dengan fungsi yang memang benar-benar mereka butuhkan.
11
II.2.5 Kewenangan Penyelenggaraan Jalan Kabupaten Penyelenggaraan jalan adalah sebuah definisi yang dalam Pasal 1 (9) UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan diartikan sebagai penyelenggaraan jalan adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan atau sering dikenal sebagai turbinbangwas. Dalam konteks otonomi maka tugas turbinbangwas dibagi kewenangannya kepada Pemerintah (Pusat), Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Dalam pasal 14, 15, dan 16 UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan disampaikan mengenai wewenang Pemerintah (Pusat), Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan jalan. Pada pasal 16 (1) UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan dinyatakan bahwa wewenang Pemerintah Kabupaten dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan Kabupaten dan Jalan Desa.
Secara lebih spesifik lagi, dalam pasal 20, 26, 33, 39 UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan disampaikan mengenai setiap item wewenang pemerintah Kabupaten dalam penyelenggaraan jalan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan. Ringkasan dari wewenang tersebut disampaikan pada Tabel II.4. Tabel II.4 Wewenangan Pemerintah Kabupaten dalam Penyelenggaraan Jalan Kabupaten No Wewenang 1 Pengaturan
2
3
Pengertian a. Perumusan kebijakan penyelenggaraan jalan kabupaten berdasarkan kebijakan nasional di bidang jalan dengan memperhatikan keserasian antar daerah dan antar kawasan; b. Penyusunan pedoman operasional penyelenggaraan jalan kabupaten; c. Penetapan status jalan kabupaten; d. Penyusunan perencanaan jaringan jalan kabupaten. Pembinaan a. Pemberian bimbingan, penyuluhan, serta pendidikan dan pelatihan para aparatur penyelenggara jalan kabupaten; b. Pemberian izin, rekomendasi, dispensasi, dan pertimbangan pemanfaatan ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan; c. Pengembangan teknologi terapan di bidang jalan untuk jalan kabupaten. Pembangunan a. Perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran,
12
Tabel II.4 (lanjutan) Wewenangan Pemerintah Kabupaten dalam Penyelenggaraan Jalan Kabupaten No
Wewenang a. b.
4
Pengawasan
a. b.
Pengertian pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan kabupaten; Pengoperasian dan pemeliharaan jalan kabupaten; Pengembangan dan pengelolaan manajemen pemeliharaan jalan kabupaten. Evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan kabupaten; Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan kabupaten.
Sumber: Disarikan dari pasal 20, 26, 33, 39 UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan
Dalam pembagian kewenangan sebagaimana disampaikan pada Tabel II.4 sangat tegas disampaikan bahwa dalam hal kewenangan pembangunan kegiatan terkait dengan perencanaan, desain, pembangunan fisik, pengoperasian dan pemeliharaan jalan kabupaten adalah kewenangan (tanggung jawab) Pemerintah Kabupaten.
II.2.6 Kesimpulan tentang Definisi Jalan Kabupaten Dari hasil kajian terhadap konsep peran, fungsi, status, serta kewenangan penyelengaraan jalan dalam RUU Jalan (Naskah Final) sebagaimana disampaikan di atas dapat disimpulkan mengenai definisi atau deskripsi karakteristik jalan Kabupaten sebagai berikut: -
Peran Jalan Kabupaten: sebagai bagian dari prasarana transportasi sebagai pendukung kegiatan sosial-ekonomi, prasarana distribusi, pendorong perkembangan ekonomi, penyeimbang perkembangan antar wilayah, pemersatu wilayah NKRI,
-
Fungsi dan Status Jalan Kabupaten: fungsi jalan yang masuk ke dalam status Kabupaten pada umumnya adalah jalan Lokal Primer, Jalan Sekunder di dalam Wilayah Kabupaten, dan Jalan strategis Kabupaten
-
Kewenangan Penyelenggaraan Jalan Kabupaten: adalah tanggung jawab pemerintah
Kabupaten
terutama
yang
menyangkut
masalah
yang
disampaikan dalam Tabel II.4.
II. 3
Definisi Efektif dan Efisien
Pengertian mengenai istilah efisien dan efektif dalam penilaian kinerja suatu jaringan jalan harus diartikan secara komprehensif agar proses evaluasi dan
13
rekomendasi yang disampaikan tepat dan berhasil guna. Indikator dan metoda evaluasi yang dikembangkan harus cukup lengkap namun operasional agar dalam aplikasinya menjadi sederhana namun tetap mampu memenuhi kualitas penilaian yang diinginkan.
Efektif1 dapat didefinisikan sebagai ukuran kemampuan suatu obyek/sistem untuk memenuhi tujuan tertentu. Dalam hal ini pengertian efektifitas lebih komprehensif dibandingkan dengan efisiensi, karena efektifitas tidak hanya dinilai dari segi biaya vs manfaat, tetapi juga kemampuan untuk memenuhi satu/beberapa tujuan tertentu. Efisien 1 secara harfiah berarti tepat dan berdaya guna. Efisiensi umumnya digunakan dalam konteks evaluasi ekonomi/finansial yang dipandang dari sisi perbandingan antara biaya dan manfaat dari suatu proses atau kegiatan yang dievaluasi.
Kajian makro efisiensi dan efektifitas kinerja suatu jaringan jalan dilakukan dengan melibatkan faktor-faktor yang terkait dan saling mempengaruhi dengan sistem yang dianalisis. Dalam kajian makro aspek evaluasi dilakukan di setiap tahap penyelenggaraan sistem jaringan jalan sesuai dengan urutan siklus: input, output, outcome, benefit/impact. Gambar II.2 memberikan visualisasi mengenai konsep kajian makro ini. OUTPUT
INPUT
OUTCOME
IMPACT
Gambar II.2 Kajian Makro dalam Siklus Penyelengaraan Sistem Jaringan Jalan Wilayah2 1
Sumber Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan W.J.S Purwodarminto.
2
Sumber: Soedarmadji (2000)
14
Dalam konteks kajian transportasi secara makro, efisiensi penyelenggaraan sistem jaringan jalan dapat diartikan sebagai ukuran kinerja yang berkaitan dengan input (dana dan sumber daya) dan output berupa volume kegiatan penanganan, kuantitas dan kualitas sistem jaringan jalan.
Sedangkan efektifitas dalam kajian makro dikaitkan dengan tingkat penyediaan prasarana (hasil/outcome) dan pemanfaatannya dalam konteks yang lebih luas yang dikaitkan dengan pencapaian misi dan kebijakan pengembangan jaringan jalan, keterpaduan fungsi prasarana wilayah, sebagai hasil dari kegiatan pengembangan jaringan jalan (Dep. PU, 2000)
Pada Tabel II.5. berikut disampaikan daftar indikator yang dispesifikasi memiliki kaitan dengan pelaksanaan studi ini.
Tabel II.5 Indikator Kinerja Jaringan Jalan Kabupaten Indikator Input Output
Outcome
Benefit/Impact
II. 4
Satuan
Pengeluaran pemerintah untuk sub sektor jalan
Rp
Panjang jalan kabupaten
Km
Panjang jalan dalam kondisi baik Panjang jalan dalam kondisi sedang Panjang jalan dalam kondisi rusak Panjang jalan dalam kondisi rusak berat Jumlah kejadian kecelakaan Jumlah kematian akibat kecelakaan di jalan Kerugian material akibat kecelakaan di jalan PDRB PDRB per kapita
Km Km Km Km
Rp Rp/kap/thn
Kinerja Jaringan Jalan
Pembahasan mengenai kinerja jaringan jalan dan aplikasinya telah banyak dilakukan. Ide awalnya adalah bahwa program pengembangan jaringan jalan akan
15
dimulai dengan memberikan masukan yang kemudian akan terwujud menjadi keluaran berupa perubahan kondisi fisik sistem prasarana jaringan jalan (kuantitas maupun kualitas). Utilisasi prasarana jalan tersebut akan menghasilkan manfaat kepada masyarakat, namun sekaligus menghasilkan dampak kepada masyarakat maupun lingkungan.
Untuk menilai kinerja setiap tahapan dalam program pengembangan jaringan jalan tersebut diperlukan sejumlah indikator yang akan memberikan ukuran bagaimana elemen sistem yang dibentuk berinteraksi, dengan acuan sesuai dengan tujuan penyelenggaraan kegiatan dalam sistem tersebut di setiap tahapannya.
II. 4. 1 Indikator Kinerja Sektor Jalan di Indonesia II. 4.1.1 World Bank (1995): Improving Performance Indicators for The Road Subsector in Indonesia World Bank melakukan studi ini bekerjasama dengan eks. Departemen PU pada Tahun 1995. Tujuan World Bank melakukan studi ini adalah untuk menjalankan sejumlah kepentingan mereka di Indonesia, antara lain: memonitor efektifitas kebijakan, mendiagnosa beberapa isu yang penting dan diprioritaskan, evaluasi keputusan dalam manajemen-alokasi, memberikan sinyal peringatan terhadap adanya permasalahan, insentif efisiensi, perbandingan antar sektor dan antar wilayah, menelusuri kecenderungan perkembangan sub sektor transportasi jalan di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan.
Dalam metodologi evaluasi yang digunakan dalam studi ini, diajukan tiga kelompok perspektif untuk mengembangkan indikator penilaian kinerja dari subsektor jalan di Indonesia, yakni: subsektor itu sendiri, penyediaan, dan penggunaan. Tabel II.6 menyajikan daftar indikator yang dikembangkan dalam studi tersebut berikut dimensi yang digunakan.
Daftar indikator yang dikembangkan oleh World Bank untuk subsektor jalan di Indonesia ini terlihat relatif panjang dan tidak semuanya operatif untuk dilaksanakan dalam implementasi evaluasi dan perencanaan program prasarana
16
jalan di Indonesia, apalagi adanya batasan SDM, data dan model estimasi indikator yang tersedia. Tabel II.6 Indikator Kinerja Subsektor Jalan di Indonesia (World Bank, 1995) Perspektif Sub Sektor
Sub perspektif Aset
Lingkungan pengguna
Nilai
Ekonomi
Finansial
Struktur
Produktifitas
Indikator Kinerja Panjang jalan Panjang jalan per tipe struktur Kepadatan jaringan Kapasitas jaringan Jumlah armada kendaraan Tingkat motorisasi Kepemilikan kendaraan Perjalanan kendaraan Perjalanan penumpang Perjalanan barang Nilai penggantian aset Nilai penggantian kendaraan Nilai depresiasi aset Nilai depresiasi kendaraan Biaya transportasi jalan Pengeluaran jalan Biaya subsektor transportasi jalan Biaya sub umula jalan Sustainabilitas-luas jalan/GDP Buruh-tenaga kerja Kesehatan fatalitas dan casualties Energi : konsumsi energi, bahan bakar Emisi – total per jenis emisi Tingkat pengembalian biaya Pinjaman Pengeluaran subsektor Struktur kepemilikan Badan otonomi Pemisahan kekuasaan Pengeluaran publik/pribadi Pengeluaran
Penyediaan Pekerjaan
Efektifitaspreservasi aset Efektifitaspengembanga n Efektifitasprogram
Penghematan pengguna Standar preservasi Kondisi aset Ekstensi/penambahan jaringan Pengurangan luas jalan yg macet Pengurangan umulativ substandar Penambahan infrastruktur stabil Manfaat program Penghematan program-rasio pengeluaran
Pengembalian ekonomi program Program backlog Budget shortfall
17
Dimensi km per kelas jalan m, per type struktur km/100 km2, km/cp lane-km/veh annual registration kendaraan per kapita publik/komersial/pribadi juta kend-km/tahun juta pnp-km/tahun juta ton-km/tahun trilyun rupiah trilyun rupiah % nilai penggantian % nilai penggantian trilyun rupiah trilyun rupiah trilyun rupiah % GDP lane-km/juta rupiah jumlah, menurut tipe Jumlah Gjoule, Liter Nox, Sox, partikel Pengembalian/pengeluaran(%) % pengeluaran % pengeluaran pemerintah Kebijakan/manajemen/ implementasi
Preservasi, operasi pengembangantrilyun rupiah Preservasi, pengembangan: RM, RH, RB, RD, BR –km Trilyun rupiah/tahun perkerasan per panjang (%), jembatan per jumlah (%) perkerasan per panjang (%), jembatan per jumlah (%) km-panjang, % jalur-km, % luas macet km panjang, % panjang umulative km panjang, % penambahan NPV, rata-rata NPV/km Peghematan pengguna/total
minimum& median IRR km umulative defferal % expenditures deffered
Tabel II.6 (lanjutan) Indikator Kinerja Subsektor Jalan di Indonesia (World Bank, 1995) Perspektif
Sub perspektif Efektifitaskeselamatan Penggunaan sumber daya
Pengguna
Institusional Kualitas pelayanan Mobilitas
Tingkat resiko kecelakaan Biaya Penggunaan sumber daya
Indikator Kinerja
Dimensi
Pengurangan fatalitas Pengurangan resiko kecelakaan Pengurangan kejadian kecelakaan Material Recycling rate Konsumsi energi-bahan bakar Emisi-dari penggunaan Pengeluaran kontrak Surface ride quality Kualitas koridor jalan Keberadaan blackspot Perjalanan tahunan
% % %, jumlah per tipe (kualitas batu, aspal, semen) ton ton, % total per jenis material Liter, Gjoule digunakan Nox, Sox, partikel Trilyun Rupiah, % total % perjalanan kendaraan per RQ level % perjalanan kendaraan per standar major spot/km jaringan Km/tahun/kendaraan per kelas kendaraan Sampel per kelas jalan kendaraan-jam fasilitas-hari, per kelas fatalitas/ juta kend-km dampak/ juta kend-km kecelakaan/ juta kend-km BOK rata-rata/BOK dasar Rp/kend-km,% tahunan per pengguna (GL/kendaraan) Tahunan, per tipe pengguna dan tipe polutan
Kecepatan perjalanan Total tundaan Penutupan jalan Resiko fatalitas Resiko dampak kecelakaan Resiko kejadian kecelakaan Indeks biaya operasi kend. (BOK) Penghematan BOK Konsumsi bahan bakar Emisi
II.4.1.2 Paket D-7: Penyusunan Performance Indikator Jalan (Eks. Bina Marga, 2000) Dalam rangkaian proyek Tahun 1999/2000 Eks. Ditjen Bina Marga Departemen PU melaksanakan studi mengenai pengembangan performance indikator dengan sampel di beberapa propinsi. Studi ini diharapkan mengacu dan menyempurnakan hasil studi yang telah dilaksanakan oleh World Bank 1995 (meski mungkin pendekatannya berbeda). Tabel II.7 menyajikan indikator kinerja jalan yang dikembangkan dari studi tersebut. Tabel II.7 Indikator Kinerja Jalan: Jangka Pendek (Eks. Ditjen Bina Marga, 2000) Pihak Penyedia jalan
Aspek penilaian Produktifitas
Indikator Pengeluaran Penghematan kerja
Efektifitas Preservasi aset
Standar preservasi Kondisi aset
18
Dimensi pembangunan, pemeliharaan, operasional (Milyar Rp) pembangunan, pemeliharaan, operasional (Milyar Rp/th) Perkerasan-panjang km, % jumlah jembatan / panjang Perkerasan-panjang km, % jumlah jembatan / panjang
Tabel II.7 (lanjutan) Indikator Kinerja Jalan: Jangka Pendek (Eks. Ditjen Bina Marga, 2000) Pihak
Pembina jalan
Pengguna jalan
Non-user
Aspek penilaian
Indikator
Dimensi
Efektifitas produksi prasarana Efektifitas biaya
Produksi yang terjadi dari penyediaan Perubahan kualitas jalan vs volume dan biaya yang dikeluarkan Nilai/harga tanah Pengeluaran kontrak Panjang jalan Pengeluaran sub sektor Struktur kepemilikan program berdasarkan tingkat desentralisasi Waktu perjalanan resiko fatalitas Indeks biaya operasi kendaraan Konsumsi bahan bakar Nilai/harga tanah Tingkat polusi
kg produksi/th tiap km atau km2 jalan, Rp/th/km atau km2 (m/km)/(smp-Rp)
Nilai lahan Institusional Aset Finansial Struktur
Mobilitas Tingkat resiko Biaya pengguna Biaya sumber daya Nilai lahan Lingkungan
nilai riil, nilai jual obyek pajak Milyar Rp, % total km (berdasarkan kelas jalan) % pengeluaran pemerintah % program jalan yang dikelola daerah/total program Sampel dari tiap kelas jalan Kematian/juta kendaraan-km BOK rata-rata Liter/kendaraan tahunan nilai riil, nilai jual obyek pajak polusi suara (dB) , emisi gas buang (ton/tahun)
Indikator kinerja tersebut dipisahkan sesuai sudut pandang stakeholders, yakni: penyedia jalan, pembina jalan, pengguna jalan, dan non-user. Beberapa aspek penilaian sudah menyertakan indikator efektifitas dari sisi penyedia jalan, seperti: efektifitas preservasi aset, efektifitas program, dan efektifitas produksi prasarana, dan efektifitas biaya. Masih terlihat sejumlah redundansi antar indikator di setiap kelompok perspektif, karena konteks kebijakan atau cara pandang penyedia dan pembina jalan, dalam hal ini Depkimpraswil, sebenarnya merupakan representasi dari elaborasi kepentingan semua strakeholders sehingga perspektifnya sangat komprehensif.
II.4.1.3 Paket K-5: Pengembangan Indikator Kinerja Manfaat dan Dampak Pembangunan Jalan (Deputi II Bidang PSW, Eks. Kantor Meneg PU, 2000) Studi ini mencoba menyempurnakan hasil studi terdahulu oleh World Bank (1995) dan Paket-D5 (1999). Konsep ini mengadopsi pendekatan makro dengan indikator yang dibagi ke dalam 5 aspek yakni input, output, outcome, benefit, dan impact.
19
Penyeleksian indikator dilakukan dalam 2 tahap, di mana tahap I digunakan kriteria pemilihan yang berkaitan dengan karakteristik indikator secara individual, yakni: seminimal mungkin, cukup lengkap, praktis/operasional, bukan redundant, dan independen. Tabel II.8 memberikan daftar indikator yang diusulkan dalam studi tersebut hasil seleksi Tahap I.
Tabel II.8 Indikator Kinerja Manfaat dan Dampak Pembangunan Jalan (Eks. Kantor Meneg PU, 2000) Aspek Input (Masukan)
Output (Keluaran)
Outcome (Hasil)
Benefit (Manfaat)
Impact (Dampak)
Definisi Masukan-masukan yang digunakan/ dimanfaatkan untuk menangani kegiatan proyek pengembangan jaringan jalan Pencapaian sasaran fisik/target fisik pengembangan jaringan jalan yang telah ditangani
Pencapaian Misi & kebijaksanaan pengembangan Jaringan Jalan, keterpaduan fungsi Prasarana Wilayah, sebagai hasil dari kegiatan pengembangan jaringan jalan Pencapaian terhadap sasaran pembangunan nasional, nilai guna yang disumbangkan oleh jaringan jalan sebagai dukungan terhadap aspek sosial & perekonomian Dampak pengembangan jaringan jalan terhadap kesejahteraan masyarakat dan daerah
Aspek / Kriteria / Dimension Produktivitas Finansial Institusional Struktur Aset
Efektifitas Preservasi Aset
Efektifitas Produksi Mobilitas Hankam
Efektifitas program Tingkat resiko Biaya sumber daya Lingkungan Ekonomi
Indikator Pengeluaran Pembangunan Pengeluaran Pemeliharan Pengeluaran pemerintah untuk sub sektor jalan Pengeluaran kontrak pembangunan jalan Struktur kepemilikan program berdasarkan tingkat desentralisasi Panjang jalan arteri Panjang jalan kolektor Panjang jalan local Preservasi perkerasan jalan yang ditangani Preservasi jembatan yang ditangani Kondisi Aset perkerasan (baik) Kondisi Aset jembatan (baik) Kualitas jalan (dalam IRI) Produksi yg terjadi (volume lalu lintas) Produksi yg terjadi (Nisbah volume thd kapasitas) Waktu perjalanan (kecepatan rata-rata) Pertahanan Nasional (Aksesibilitas wilayah thd instalasi militer – jarak rata-rata ke sistem jaringan primer) Manfaat program Biaya operasi kendaraan rata-rata Resiko fatalities Konsumsi bahan bakar Tingkat polusi suara Tingkat polusi udara Nilai/harga riil tanah Pertumbuhan jual obyek pajak tanah PDRB Pertumbuhan PDRB
Lebih lanjut, dalam Tahap II studi ini juga merekomendasikan pemanfaatan daftar indikator dalam setiap tahap penyelenggaraan jalan, mulai dari proses kebijakan,
20
perencanaan, konstruksi, operasi dan pemeliharaan, dan evaluasi dan monitoring. Adapun rekomendasinya disampaikan pada Tabel II.9
Rekomendasi yang disampaikan pada Tabel II.9 sangat relevan dengan indikator efektifitas program prasarana jalan yang dikembangkan dalam studi ini, dimana dalam konteks pemprograman maka rekomendasi yang terkait dengan kegiatan perencanaan strategis serta monitoring dan evaluasi merupakan indikator yang paling cocok untuk dipakai dalam proses evaluasi efektifitas program. Apalagi dengan indikator yang dipisahkan menurut aspek input, output, outcome, benefit/impact akan memudahkan dalam mendefinisikan tingkat efektifitas suatu program.
Tabel II.9 Rekomendasi Penggunaan Indikator Kinerja Manfaat dan Dampak Pembangunan Jalan (Meneg PU, 2000) Indikator Pengeluaran Pembangunan & Peningkatan Pengeluaran Pemeliharan Pengeluaran pemerintah untuk sub sektor jalan Pengeluaran kontrak pembangunan jalan
Struktur kepemilikan program berdasarkan tingkat desentralisasi Panjang jalan arteri Panjang jalan kolektor Preservasi perkerasan jalan yg ditangani Preservasi jembatan yg ditangani Kondisi Aset perkerasan (baik) Kondisi Aset jembatan (baik) Produksi yg terjadi (volume Lalu lintas) Produksi yg terjadi (Nisbah volume thd kapasitas)
Satuan
Perencanaan Strategis
Penggunaan Indikator Pembangunan Operasi & Monitoring (Construction) Pemeliharaan & Evaluasi
milyar Rp.
X
milyar Rp.
X
% thd APBD
X
X
X
Milyar Rp.
X
X
X
X
X
% thd pengeluaran sub sektor jalan % km program jalan yang dikelola daerah thd total km Km Km
X X
X X X
X
X X
X
X
X
X
X
X X
X X
% - km
X
X
X
% - jumlah
X
X
X
% - km jln dgn IRI < 6 m/km
X
X
X
% - jumlah
X
X
X
kend-km/thn
X
X
X
pen-km/thn ton-km/thn
X X
% km > 0,85
X
21
X X X
X
Tabel II.9 (lanjutan) Rekomendasi Penggunaan Indikator Kinerja Manfaat dan Dampak Pembangunan Jalan (Meneg PU, 2000) Indikator
Satuan
Waktu perjalanan (kec. rata2) Indek biaya operasi kendaraan Biaya perjalanan orang Biaya perjalanan barang Resiko fatalities Konsumsi bahan bakar Tingkat polusi suara Tingkat polusi udara Ekonomi
Penggunaan Indikator Pembangunan Operasi & Monitoring (Construction) Pemeliharaan & Evaluasi
Perencanaan Strategis
km/jam
X
X
X
Rp/km
X
X
X
Rp/km/orang Rp/km/ton Kematian/juta kendaraan-km Liter/tahun DB Nox, Sox, particulates PDRB Pertumbuhan Ekonomi
X X
II.4.1.4 Paket-3:
Pengembangan
Penanganan
Prasarana
X X
X
X
X X X X X
X X X
Efektifitas Kimpraswil
Pelaksanaan terhadap
Program
Pengembangan
Wilayah (Setjen Depkimpraswil, 2003) Studi ini merupakan studi termutakhir yang mencoba mengembangkan suatu penilaian terhadap efektifitas program prasarana wilayah dalam hal ini adalah jalan. Indikator yang digunakan dalam analisis disampaikan pada Tabel II.10
Tabel II.10 Indikator Efektifitas Pelaksanaan Program Prasarana Kimpraswil (Setjen Depkimpraswil, 2003) Indikator
Notasi
Dimensi
Ketersediaan prasarana jalan Kinerja jaringan jalan Beban lalulintas Pelayanan prasarana jalan
Ktj
Panjang total jaringan jalan per luas wilayah (km/km2)
Knj
Panjang jalan mantap per total panjang jaringan jalan (%)
Bln Pyp
Panjang total jaringan jalan per jumlah kendaraan (km/smp) Panjang total jaringan jalan per jumlah penduduk (km/orang)
Studi ini memunculkan suatu nilai kinerja yang disebut Indeks Prasarana Jalan (IPJ) yang dinilai dengan membobotkan setiap indikator dengan 2 skenario, yakni: setiap indikator diberi bobot yang sama (yakni=1) dan setiap indikator
22
X
diberikan bobot yang berbeda (Ktj=2, Knj=3, Bln=2, Pyp=2), sehingga IPJ dapat dihitung sbb: IPJsama = (Ktj +Knj + Bln +Pyp)/4.......................................................
(2.1)
IPJbeda = (Ktj*2 + Knj*3 + Bln*2 + Pyp*2)/9............................................. (2.2) Terlihat adanya kristalisasi dari indikator yang digunakan hanya menjadi 4, yakni: ketersediaan prasarana jalan, kinerja jaringan jalan, beban lalulintas, dan pelayanan prasarana jalan. Pada dasarnya indikator ketersediaan dan pelayanan prasarana jalan ini mirip dengan indikator yang disampaikan dalam SPM (Standar Pelayanan Minimal) Jalan yang disampaikan melalui Kepmenkimpraswil No. 534/KPTS/M/2001.
Dalam SPM prasarana tersebut dengan jelas disampaikan beberapa indikasi mengenai kondisi minimum dari pelayanan prasarana jalan yang harus disediakan pembina jalan di setiap level (Jalan Nasional untuk Pusat, Jalan Provinsi untuk Pemprov, dan Jalan Kab/Kota untuk Jalan Kab/Kota), terutama terkait dengan: aspek aksesibilitas jalan (km/km2), aspek mobilitas (km/1000 penduduk), kondisi jalan (IRI dan RCI), serta kondisi pelayanan (kecepatan, km/jam).
Dalam indikator yang digunakan dalam studi Paket-3 ini tidak secara langsung mengaitkan antara kegiatan program penanganan jalan yang dilaksanakan dengan tampilan indikator yang dihasilkan, meskipun dalam dokumen laporan akhir disampaikan juga mengenai data pendanaan di setiap wilayah studi, baik dana dari Pusat maupun Daerah.
Klasifikasi atau pembandingan IPJ antar wilayah dilakukan dengan merelatifkan IPJ suatu wilayah dengan nilai PDRB suatu wilayah, misalnya: IPJ diatas rata-rata dan PDRB diatas rata-rata, atau sebaliknya IPJ di bawah rata-rata dan PDRB di bawah rata-rata.
Penghitungan kebutuhan biaya juga dilakukan dalam studi ini, dengan mengasumsikan 80% dari total panjang jalan dilakukan pemeliharaan rutin, 15%
23
berkala, dan 5% peningkatan. Tidak ada kebutuhan pembangunan jalan yang dispesifikasi dari studi ini meskipun terdapat indikator ketersediaan dan pelayanan jalan yang memungkinkan adanya kebutuhan pembangunan jalan untuk memenuhi tingkatan suplai jalan tertentu.
Dari hasil review ini terdapat beberapa kritik mendasar atas hasil studi Paket-3 ini yang sangat berharga untuk pelaksanaan studi ini, diantaranya: a. Indikator efektifitas yang terdiri dari 4 variabel (Ktj, Knj, Bln, Pyp) semuanya berasal dari besaran output dalam siklus penyelenggaraan jalan, sehingga belum merepresentasikan indikasi efektifitas dikaitkan dengan definisi efektifitas kinerja program prasarana jalan di mana efektifitas merupakan perbandingan antara output dengan outcome dan dampak dari prasarana jalan, b. Tidak dispesifikasi secara jelas mengenai tujuan dari program prasarana jalan yang dievaluasi sehingga indikasi tingkat keberhasilan relatif (sebagai definisi dasar dari efektifitas) program tidak tertunjukkan, c. Pembobotan dalam penghitungan IPJ sebaiknya ditetapkan berdasarkan perspektif tingkat kepentingan dari masing-masing indikator yang diperoleh dari survey atau kajian terhadap kebijakan prioritas program yang dilaksanakan, d. Belum ada kualifikasi besaran setiap indikator sehingga perbandingan efektifitas antar wilayah kajian belum tergambarkan: mana wilayah yang lebih efektif pelaksanaan programnya dibandingkan wilayah lainnya, e. Identifikasi kebutuhan penanganan jalan diinisiasi melalui asumsi general, idealnya didasarkan kepada kondisi obyektif setiap wilayah kajian berdasarkan data kondisi nyata di lapangan (mana jalan yang rusak berat, rusak ringan, sedang, maupun kondisinya baik)
II.4.1.5
Studi Pengembangan Indikator Efektifitas Pelaksanaan Program Prasarana Wilayah (Depkimpraswil, 2004)
Dalam melakukan evaluasi kinerja jaringan jalan diperlukan suatu perhitungan yang mewakili kondisi suatu jalan. Evaluasi ini dinyatakan dalam suatu indeks
24
yang dinamakan Indeks Prasarana Jalan (IPJ). Perhitungan IPJ berkaitan dengan empat variabel penting, yaitu (Dir. Jen. Peng. Pras Wil, 2004) 1. Ketersediaan jalan ; merupakan perbandingan antara total panjang jalan dengan luas wilayah 2. Kinerja jalan ; perbandingan antara panjang jalan dalam kondisi mantap dengan total panjang jalan 3. Beban lalu lintas ; perbandingan antara total panjang jalan dengan jumlah kendaraan dalam statu wilayah 4. Pelayanan jalan ; perbandingan antara total panjang jalan dengan jumlah penduduk dalam satu wilayah
Dalam studi ini terdapat beberapa metoda/teknik yang ditelaah, yakni: a. metoda kualifikasi variabel / indikator b. metoda pembobotan variable / indikator
Hal-hal tersebut di atas ditelaah karena belum dibahas secara mendalam dalam studi Paket-3 : Pengembangan Efektivitas Pelaksanaan Program Penanganan Prasarana Kimpraswil terhadap Pengembangan Wilayah (Setjen Depkimpraswil, 2003).
Rumusan indikator Indeks Prasarana Jalan yang digunakan dalam studi ini adalah sebagai berikut:
IPJ = a * skor (Ktj) + b * skor (Knj) + c * skor (Bln) + d * skor (Pyp).............. (2.3) Di mana : Skor
: sebuah fungsi dari model kualifikasi variabel / indikator
Ktj
: variable / indikator ketersediaan prasarana jalan
Knj
: variable / indikator kinerja prasarana jalan
Bln
: variable / indikator beban lalulintas jalan
Pyp
: variable / indikator pelayanan jalan
a
: bobot tingkat kepentingan dari variabel Ktj,
25
b
: bobot tingkat kepentingan dari variabel Knj,
c
: bobot tingkat kepentingan dari variabel Bln,
d
: bobot tingkat kepentingan dari variabel Pyp,
Dimensi dari setiap variabel Indeks Prasarana Jalan
berbeda-beda, sehingga
untuk menghitung IPJ dengan memakai rumusan di atas dilakukan kualifikasi terlebih dahulu terhadap nilai variabel tersebut (scoring). Dari
hasil scoring
diperoleh platform penilaian yang sama di antara setiap variabel Indeks Prasarana Jalan (IPJ), sehingga akan dapat dilakukan proses pembobotan (weighting) terhadap variabel IPJ tersebut. II.4.1.5.1 Estimasi Skor IPJ (Scoring dan Weighting) Proses estimasi skor IPJ untuk suatu wilayah dilakukan dengan 2 tahapan berikut: 1.
Scoring : Dengan menggunakan hasil kualifikasi setiap variabel IPJ, nilai
setiap variabel IPJ dari setiap Kabupaten dapat dikonversi menjadi skor 0 s.d 10, 2.
Weighting : Dengan menggunakan bobot setiap variabel IPJ, maka hasil skor
setiap variabel IPJ (pada tahap 1) dapat dibobotkan dan dijumlahkan menjadi variabel IPJ (dengan rentang nilai IPJ antara 0 s.d 10).
II.4.1.5.2 Kualifikasi variabel Indeks Prasarana Jalan Untuk membuat suatu indeks penilaian, maka setiap variabel (dimensional) dikualifikasikan dengan suatu kaidah non-dimensi, sehingga hasilnya dapat mengidentifikasikan tingkat kondisi relatif suatu objek yang digambarkan melalui suatu nilai indeks hasil kualifikasi dari variabel tersebut. Sehingga antar obyek dapat diperbandingkan kondisinya (dengan single maupun multiple variable). Kaidah kualifikasi yang digunakan dalam studi ini adalah skoring dengan rentang penilaian antara 1-10 (sangat kurang sampai sangat tinggi).
II.4.1.5.3 Bobot kepentingan antar variabel IPJ Sebagaimana disampaikan dalam rumusan umum IPJ, IPJ merupakan hasil penjumlahan dari skor setiap variabel yang terbobotkan. Bobot variabel IPJ (a untuk Ktj, b untuk Knj, c untuk Bln, dan d untuk Pyp) merupakan representasi
26
tingkat kepentingan dari setiap variabel IPJ (relatif terhadap variabel IPJ lainnya) menurut perspektif stakeholders/responden. Secara umum suatu variabel IPJ akan dinilai bobot tingkat kepentingannya dengan kaidah pembobotan 1 – 10 (sangat tidak penting sampai sangat penting).
II.4.1.5.4 Interpretasi Skor IPJ Setelah diperoleh skor IPJ, maka nilai tersebut dapat diinterpretasikan untuk membandingkan kondisi prasarana jalan di dua atau lebih wilayah. Kaidah umum dalam menginterpretasi hasil estimasi skor IPJ adalah sebagai berikut: a. Skor IPJ merepresentasikan kondisi umum penyediaan prasarana jalan di suatu wilayah, terkait dengan kuantitas relatif terhadap luas wilayah, jumlah kendaraan, dan jumlah penduduk, serta kondisi fisik jalan, b. Semakin tinggi skor IPJ di suatu wilayah maka kondisi umum penyediaan prasarana jalan di wilayah tersebut semakin baik, c. Skor IPJ merupakan hasil pembobotan dari beberapa skor variabel (Ktj, Knj, Bln, dan Pyp), sehingga untuk mengidentifikasi permasalahan dari skor IPJ tertentu harus dilihat/di-breakdown ke level variabel untuk dapat mengetahui akar permasalahannya,
II.5
Standar Pelayanan Minimal (SPM) Jalan
Hasil dari penyelenggaraan jalan (pasal 37(1c) UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan) harus memenuhi standar pelayanan minimal (SPM) yang ditetapkan. Untuk jalan Kabupaten (pasal 39 dan penjelasannya dalam UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan) maka hasil evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan Kabupaten harus disampaikan kepada Pemerintah dalam hal ini termasuk ketentuan mengenai evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan dan pencapaian standar pelayanan minimal yang ditetapkan. Dengan kata lain, pencapaian SPM merupakan suatu usaha yang berkelanjutan untuk menjamin ketersediaan prasarana jalan sesuai dengan kebutuhan minimal dari setiap daerah sesuai dengan perkembangan yang ada.
27
Dalam UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan tidak disampaikan lebih lanjut mengenai jenis pelayanan jalan yang di-SPM-kan. Dalam PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan ketentuan mengenai SPM jalan juga belum dibahas secara memadai.
Di samping itu, pada Tahun 2001 Depkimpraswil melalui Kepmenkimpraswil No. 534/KPTS/M/2001 tentang Pedoman Penetuan Standar Pelayanan Minimal Bidang Penataan Ruang, Perumahan dan Permukiman, dan Pekerjaan Umum telah disampaikan sejumlah besaran yang diharapkan dapat dijadikan pedoman dalam menentukan SPM di setiap jenjang penyelengaraan kimpraswil, dalam hal ini termasuk jalan Kabupaten.
Dalam lampiran Kepmenkimpraswil tersebut disampaikan mengenai pedoman SPM untuk prasarana jalan, dalam hal ini untuk jalan kota dimasukkan dalam kelompok pelayanan prasarana lingkungan jaringan jalan pada bidang Permukiman Perkotaan dan untuk jalan wilayah dimasukkan ke dalam kelompok pelayanan jaringan jalan di bidang Prasarana Jalan Wilayah.
Untuk jalan wilayah (dalam hal ini termasuk Jalan Nasional, Jalan Propinsi, dan Jalan Kabupaten) pedoman SPM pada Kepmenkimpraswil No. 534/KPTS/M/2001 dimasukkan ke dalam bidang Prasarana Jalan Wilayah. Adapun isi selengkapnya dari pedoman SPM Jalan Wilayah tersebut disampaikan pada Tabel II.11. Item pelayanan yang disampaikan pada SPM dalam Kepmenkimpraswil tersebut terdiri dari aspek mobilitas, aksesibilitas, keselamatan, kondisi jalan, dan kondisi pelayanan.
28
Tabel II.11 Pedoman SPM Jalan Wilayah NO
BIDANG PELAYANAN
II. A. 1.
PRASARANA JALAN WILAYAH JARINGAN JALAN Aspek Tersedianya Aksesibilitas jaringan jalan yang mudah diakses oleh masyarakat
2.
3.
Aspek Mobilitas
Aspek Kecelakaan
INDIKATOR
Tersedianya
jaringan jalan yang dapat menampung mobilitas masyarakat Tersedianya
jaringan jalan yang dapat melayani pemakai jalan dengan aman
STANDAR PELAYANAN KUANTITAS TINGKAT KUALITAS CAKUPAN PELAYANAN
Seluruh
jaringan
Seluruh
jaringan
Seluruh
Kepadatan
penduduk (jiwa/km2) - Sangat tinggi>5000 - Tinggi > 1000 - Sedang > 500 - Rendah > 100 - Sangat rendah<100 PDRB perkapita (jutaRp/ kap/th) - Sangat tinggi > 10 - Tinggi > 5 - Sedang > 2 - Rendah > 1 - Sangat rendah < 1 Pemakai jalan
jaringan
Seluruh
Kepadatan
jaringan -
B. 1.
2.
RUAS JALAN Kondisi Jalan
Tersedianya
ruas jalan yang dapat memberikan kenyamanan pemakai jalan
penduduk (jiwa/km2) Sangat tinggi>5000 Tinggi > 1000 Sedang > 500 Rendah > 100 Sangat rendah<100
Lebar
Volume lalulintas minimum (LHR) jalan - 2x7m - 20000 - 7m - 8000-20000 - 6m - 3000-8000 - 4,5 m - < 3000 Kondisi Tersedianya ruas Seluruh Pelayanan jalan yang dapat ruas jalan memberikan - AP - Lalin reg jrk jauh kelancaran - KP - Lalin reg jrk sdg pemakai jalan - LP - Lalin reg jrk dkt - AS - Lalin kota jrk jauh - KS - Lalin kota jrk sdg - LS - Lalin kota jrk dkt Sumber: Kepmen kimpraswil No. 534/KPTS/M/2001
29
Indeks
KETERANGAN
Indeks
Aksesibilitas - > 5.00 - > 1.50 - > 0.50 - > 0.15 - > 0.05 Indeks Mobilitas
aksesibilitas = panjang jalan/luas (km/km2)
Indeks
> 5.0 > 2.0 > 1.0 > 0.5 > 0.2 Indeks kecelakaan 1
mobilitas= panjang jalan/1000 penduduk (km/ 1000 penduduk) Kecelakaan/ 100000 km kendaraan
Indeks
Kecelakaan/
-
kecelakaan
2
Kondisi
-
km/tahun
IRI/RCI
IRI<6.0/RCI>6.5 IRI<6.0/RCI>6.5 IRI<8.0/RCI>5.5 IRI<8.0/RCI>5.5 Kecepatan tempuh minimum - > 25 km/jam - > 20 km/jam - > 20 km/jam - > 25 km/jam - > 20 km/jam - > 20 km/jam
II.6 Pengertian Umum tentang Kondisi Jalan II.6.1 Kondisi Jalan Kerusakan perkerasan jalan pada hakekatnya dimulai pada saat digunakan dan kinerjanya mulai menurun, tanpa pemeliharaan yang sesuai NSPM dan tepat waktu, jalan akan mengalami kerusakan yang tidak terelakkan, sehingga akan menimbulkan biaya operasi kendaraan yang tinggi, meningkatkan jumlah kecelakaan dan mengurangi keandalan pelayanan angkutan orang dan barang.
Walaupun terhadap suatu ruas jalan dilaksanakan pemeliharaan yang cukup, kondisi perkerasan akan menurun dengan berjalannya waktu. Tingkat penurunan kondisi tergantung pada berbagai faktor, antara lain; beban lalu lintas, iklim, dan lingkungan. Pada akhirnya di saat akhir umur rencana dicapai, dibutuhkan pembangunan kembali atau peningkatan lapis perkerasan yang ada. Kegiatan pembangunan kembali memerlukan biaya yang mahal, oleh karena itu percepatan penurunan kondisi harus ditunda dengan melakukan pemeliharaan yang efektif dan tepat waktu.
II. 6.2 Penilaian terhadap Kondisi Jalan Penilaian terhadap kondisi jalan dapat dibagi menjadi 4 kategori, yaitu : 1. Jalan dengan kondisi baik adalah jalan dengan permukaan perkerasan yang benar-benar rata, tidak ada gelombang dan tidak ada kerusakan permukaan. 2. Jalan dengan kondisi sedang adalah jalan dengan permukaan perkerasan sedang, mulai ada gelombang dan tidak ada kerusakan permukaan. 3. Jalan dengan kondisi rusak ringan adalah jalan dengan permukaan perkerasan sudah mulai bergelombang, mulai ada kerusakan permukaan dan penambalan (kurang dari 20% dari ruas jalan yang ditinjau). 4. Jalan dengan kondisi rusak berat adalah jalan dengan permukaan perkerasan yang sudah banyak kerusakan seperti gelombang, retak buaya dan terkelupas yang cukup besar (20%-60% dari ruas jalan yang ditinjau), disertai dengan kerusakan lapis pondasi seperti ambles dan sungkur.
30
II.6.3 Kemantapan Jalan Secara umum tidak ada dokumen yang secara resmi menyebutkan definisi mengenai kemantapan jalan. Namun dari beberapa studi yang pernah dilakukan dan diskusi yang berkembang di Lingkungan Depkimpraswil dapat disimpulkan bahwa definisi jalan mantap terdiri dari 2 pengertian, yakni: kemantapan konstruksi dan kemantapan layanan lalulintas jalan.
Kemantapan jalan merupakan definisi dalam penanganan jalan yang menyatakan kualitas fisik dan layanan jalan yang dianggap cukup untuk memenuhi syarat minimal bahwa suatu ruas jalan dapat dioperasikan dalam menjalankan fungsinya secara optimal. Sehingga definisi kemantapan jalan ini dapat dijadikan sebagai gambaran mengenai kondisi minimal dari suatu ruas jalan yang diharapkan dapat memenuhi SPM.
Penilaian
terhadap
kondisi
pelayanan
jalan
didasarkan
kepada
tingkat
kemantapannya, yang dibagi menjadi 3 kategori, yaitu: 1. Jalan dengan kondisi pelayanan mantap adalah ruas-ruas jalan dengan umur rencana yang dapat diperhitungkan serat mengikuti suatu standar tertentu. Termasuk ke dalam kondisi pelayanan mantap adalah jalan dengan kondisi baik dan sedang. 2. Jalan dengan kondisi pelayanan tidak mantap adalah ruas-ruas jalan yang dalam keadaan sehari-hari masih berfungsi melayani lalu lintas, tetapi tidak dapat diperhitungkan umur rencananya, serta tidak mengikuti standar tertentu. Termasuk ke dalam kondisi pelayanan tidak mantap adalah jalan dengan kondisi rusak ringan. 3. Jalan dengan kondisi pelayanan kritis adalah ruas-ruas jalan sudah tidak dapat lagi berfungsi melayani lalu lintas dan keadaan putus. Termasuk ke dalam kondisi pelayanan kritis adalah jalan dengan kondisi rusak berat.
Adapun pengertian dari kemantapan konstruksi jalan dan kemantapan layanan lalulintas jalan yang berkembang sampai dengan saat ini secara umum disampaikan sebagai berikut:
31
(1) Kemantapan Konstruksi Jalan a. Jalan Mantap Konstruksi adalah jalan dengan kondisi konstruksi di dalam koridor “mantap” yang mana untuk penanganannya hanya membutuhkan pemeliharaan berkala dan bertujuan tidak untuk menambah nilai rutin atau maksimum struktur konstruksi yang ada. b. Jalan Tak Mantap Konstruksi adalah jalan dengan kondisi di luar koridor “mantap” yang mana untuk penanganan minimumnya adalah pemeliharaan berkala dan maksimum peningkatan jalan dengan tujuan untuk menambah nilai struktur konstruksi.
(2) Kemantapan Layanan Lalu lintas Jalan a. Jalan Mantap Layanan adalah jalan dengan kondisi lalulintas dalam koridor “mantap” yang mana untuk penanganannya tidak diperlukan penambahan lebar jalan. b. Jalan Tak Mantap Layanan adalah jalan dengan kondisi lalulintas di luar koridor “mantap” yang mana untuk penanganannya diperlukan penambahan lebar jalan.
Guna menentukan suatu jalan dalam koridor “mantap” atau tidak, diperlukan beberapa parameter yang dapat dijadikan tolok ukur untuk menganalisanya. Untuk keperluan praktis maka parameter yang dibutuhkan harus memenuhi beberapa syarat utama, antara lain: -
Parameter dapat mewakili/mencerminkan kondisi jalan yang diwakilinya
-
Tersedia untuk seluruh jalan yang akan dievaluasi
-
Diperbaharui minimal setiap tahun dengan biaya yang tidak murah (ekonomis)
-
Parameter tidak terlalu terpengaruh akibat penanganan pemeliharaan rutin.
Berdasarkan konsep tingkat kemantapan jalan tersebut dan ketersediaan data dari sistem pemeliharaan yang dimiliki oleh Ditjen Prasarana Wilayah, Depkimpraswil maka parameter yang digunakan untuk menentukan tingkat kemantapan jalan adalah sebagai berikut:
32
a.
Parameter Kekasaran Jalan atau International Roughness Index (IRI)3
b.
Parameter Lebar Jalan dan Rasio Volume/Kapasitas (VCR)
c.
Parameter Lebar Jalan dan Volume Lalulintas Harian (LHR)
Pada dasarnya konsep kemantapan konstruksi dan layanan jalan yang disampaikan di atas lebih diarahkan untuk jalan arteri dan kolektor primer yang statusnya jalan Nasional dan Jalan Propinsi yang telah digabungkan sistem manajemen pemeliharaannya dalam IRMS. Untuk jalan yang didesain untuk kepentingan lalulintas yang relatif tinggi (arteri dan kolektor) parameter riding quality (IRI) dan tingkat kemacetan jalan (VCR) memang cocok untuk mengukur tingkat kemantapan suatu ruas jalan.
Untuk jalan Kabupaten yang umumnya adalah jalan lokal primer maka parameter kondisi jalan dan lalulintas mungkin perlu disesuaikan dengan konsep jalan lokal yang lebih banyak dipakai sebagai media akses, misalnya dengan parameter bahwa jalan masih dapat digunakan dalam segala cuaca, jalan dapat dilalui kendaraan, dan lain sebagainya. Dalam penanganan jalan kabupaten, kondisi fisik jalan tidak diukur dengan IRI, namun ditentukan dari hasil pengamatan visual berupa kuantifikasi volume lubang, retak, legokan, alur, dll yang kemudian digunakan sebagai dasar penentuan kondisi jalan apakah baik, sedang, rusak, maupun rusak berat. Namun pada prinsipnya, jalan dinyatakan mantap konstruksi ketika kondisinya maksimal membutuhkan penanganan pemeliharaan berkala, yakni: kondisi sedang dan baik, di mana kegiatan penanganannya tidak memberikan penambahan nilai struktural. Parameter ini perlu dengan seksama dikembangkan dalam prosedur perencanaan jalan Kabupaten.
II.7 Jenis Kegiatan Penanganan Prasarana Jalan Secara umum masalah yang harus ditangani dalam pembinaan prasarana jalan adalah : 3
Dalam sistem pemeliharaan jalan Kabupaten, kondisi jalan tidak dinyatakan dalam IRI namun dalam kondisi baik, sedang, maupun rusak ringan dan rusak berat.
33
a. Pemeliharaan kerusakan jalan yang diakibatkan oleh pengaruh cuaca, waktu dan kelelahan akibat beban lalu lintas. b. Penyesuaian lebar jalan untuk memenuhi peningkatan volume lalu lintas. c. Penyesuaian kekuatan struktur jalan untuk memenuhi tuntutan perkembangan beban lalu lintas dan teknologi kendaraan angkutan barang. d. Pembuatan jalan baru untuk meningkatkan aksesibilitas untuk wilayah yang berkembang cepat maupun untuk daerah yang masih terisolir.
Berdasarkan kondisi jaringan jalan yang ada saat ini, maka jenis kegiatan tersebut di atas dapat dikelompokkan ke dalam proses penanganan jaringan jalan sebagai berikut : a. Kegiatan Pemeliharaan Kegiatan pemeliharaan adalah seluruh pekerjaan yang ditujukan agar jalan dapat memberikan pelayanan sesuai dengan yang direncanakan. Termasuk dalam jenis kegiatan pemeliharaan ini adalah : 1. Pekerjaan pemeliharaan yakni pekerjaan yang harus dilaksanakan terus menerus (sepanjang tahun) untuk mengatasi kerusakan jalan yang bersifat minor dan memerlukan penanganan segera, seperti penambalan lubang, penutupan retak-retak, pembersihan saluran dan sebagainya. Termasuk di dalamnya kegiatan pemeliharaan rutin dan berkala. 2. Pekerjaan perkuatan struktur perkerasan yakni pekerjaan yang apabila pekerjaan pemeliharaan berkala terlambat dilaksanakan sehingga kerusakan jalan yang terjadi telah mempengaruhi pondasi. Melalui pekerjaan ini kinerja jalan akan dikembalikan seperti kondisi awal pada saat dibangun. b. Kegiatan Pembangunan 1. Pekerjaan peningkatan jalan adalah pekerjaan yang ditujukan untuk menambah kemampuan struktur jalan ke Muatan Sumbu Tunggal (MST) yang lebih tinggi atau menambah kapasitas jalan. 2. Pekerjaan pembangunan jalan baru adalah pekerjaan membangun jalan baru berupa jalan tanah atau jalan beraspal.
34
Gambar II.3 berikut ini disampaikan hubungan antara kondisi dan umur jalan yang digunakan dalam kegiatan pemeliharaan jalan.
Rtm Str
Ko
Pml
Kb Keterangan : Ko : Kondisi awal Kb : Kondisi saat umur rencana habis Rtm : Pemeliharaan Rutin Pml : Pemeliharaan Berkala Str : Perkuatan Struktur
Umur
Gambar II.3 Hubungan antara Kondisi, Umur rencana dan Jenis Penanganan
II.7.1 Tinjauan Manajemen Penanganan Prasarana Jalan Tinjauan manajemen dalam proyek konstruksi terdiri dari rangkaian kegiatan meliputi proses perencanaan, perancangan, pelaksanaan dan supervivi konstruksi, pengoperasian dan pemeliharaan. Siklus tersebut membedakan secara nyata proses investasi (perencanaan, perancangan dan pelaksanaan) dari pemanfaatan (operasi dan pemeliharaan).
Dengan asumsi bahwa proses investasi telah dilakukan dengan benar maka kegiatan pemeliharaan harus dilaksanakan dengan tepat agar investasi yang dilakukan tidak sia-sia dan infrastruktur yang dibangun dapat memberikan pelayanan sesuai dengan rencana. Dengan kata lain, dalam pengelolaan jalan sangatlah penting untuk membedakan antara kegiatan investasi atau proyek dan kegiatan pemeliharaan atau program.
35
Dalam terminology yang lebih umum maka dalam penyelenggaraan prasarana jalan harus dipisahkan antara program dan proyek. Sesuai dengan pengertian yang disampaikan di atas, maka definisi proyek lebih tepat diterjemahkan sebagai proses investasi dan definisi program adalah proses pemanfaatan. Sesuai dengan konsep tersebut maka untuk mempermudah proses pembinaan dan monitoring, maka jenis pekerjaan dan struktur program penanganan jalan yang dilakukan selama ini perlu disesuaikan, seperti yang ditunjukkan pada Tabel II.12. Dengan pengelompokkan tersebut kegiatan peningkatan struktur jalan (akibat umur, cuaca dan kelelahan) menuju kondisi awal, masuk ke dalam kegiatan pemeliharaan, sedangkan kegiatan peningkatan jalan berupa pelearan dan penambahan MST masuk ke dalam kegiatan pembangunan jalan mengingat hasil akhir dari kegiatan tersebut adalah berupa jalan yang memiliki kualitas struktur maupun volume struktur yang berbeda dari kondisi awal.
Tabel II.12 Pengelompokkan Kegiatan Penanganan Jalan
1
Pemeliharaan rutin
Pengelompokkan saat ini Rehabilitasi /
2
Pemeliharaan berkala
Pemeliharaan
3
Peningkatan struktur
Peningkatan
4
Peningkatan struktur MST
5
Peningkatan kapasitas/pelebaran jalan
6
Pembuatan/pembangunan jalan baru
No
Jenis Pekerjaan
Perubahan yang diusulkan Pemeliharaan
Pembangunan
Pembangunan
II.8 Kajian Mengenai Otonomi Daerah II.8.1 Pembangunan Daerah Dalam ilmu studi pembangunan, terdapat dua konsep pendekatan pembangunan daerah, yakni sentralisasi dan desentralisasi. Kedua pendekatan tersebut bertolak belakang dalam hal campur tangan pemerintah (pusat) dalam proses pembangunan daerah.
36
Sentralisasi menempatkan pemerintah pusat sebagai motor dari seluruh proses pembangunan sedangkan desentralisasi, daerah adalah aktor utama dalam proses pembangunan di wilayahnya masing-masing.
Kemungkinan kesenjangan antar daerah sangat besar dalam desentralisasi jika tidak disediakan suatu mekanisme untuk memberikan perimbangan kemampuan keuangan antar daerah. Jika hal ini terjadi maka proses mekanisme pasar (market mechanism) akan memberikan dampak buruk bagi daerah terbelakang, daerah yang kurang maju, dan berimplikasi secara luas yang akan mengganggu stabilitas ekonomi negara (Myrdal, 1957 dan Hirschman, 1958). Untuk menghindari hal tersebut, kebijakan pembangunan daerah secara umum sepantasnya ditujukan untuk mendorong kemajuan daerah miskin (depressed region) dan menghindari kongesti penduduk dan kegiatan di daerah maju. Untuk itu bagaimanapun juga campur tangan pemerintah pusat dalam konteks yang terbatas menjadi sangat penting untuk menyeimbangkan pertumbuhan antar daerah.
Kontradiksi mengenai perlunya peran pemerintah dalam pembangunan daerah (Sukirno, 1978) dapat disarikan dalam 3 pertanyaan dasar yang dapat digunakan pemerintah sebagai basis untuk menyusun kebijakan intervensinya dalam pembangunan daerah, yakni: a. Seberapa efisien mekanisme pasar dapat menciptakan pembangunan yang seimbang dan harmonis di berbagai daerah yang memiliki kuantitas dan kualitas sumber daya yang berbeda. b. Seberapa efektif kebijakan insentif untuk mengembangkan prasarana dan sarana ekonomi bagi daerah yang belum berkembang dapat menciptakan pemerataan kemampuan daerah dalam melaksanakan pembangunan. c. Seberapa signifikan pertimbangan non-ekonomis (sosial-politik) yang menentukan perlunya campur tangan pemerintah dalam pembangunan daerah.
Ketiga pernyataan tersebut merupakan konsep dasar bagaimana pemerintah pusat akan memberikan campur tangannya dalam pembangunan daerah.
37
II.8.2 Konsep Pelaksanaan Otonomi Daerah Otonomi adalah sebuah konsep pembangunan daerah yang desentralistik dengan campur tangan pemerintah (pusat) yang seminimal mungkin. Dalam hal ini mekanisme pasar yang terkait dengan kemampuan setiap daerah untuk hidup dan berkembang akan sangat menentukan bagaimana corak dan laju pembangunan daerah.
Dalam Pasal 1 ayat h UU No.25 Tahun 1999 disebutkan bahwa ”otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan”. Dalam hal ini daerah otonom dapat berupa Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota (Pasal 2 ayat 1 UU No.25 Tahun 1999).
Dalam UU tersebut dikenal 2 konsep penyelenggaraan otonomi, yakni desentralisasi dan dekosentrasi. Dalam hal ini asas desentralisasi (Pasal 1 ayat e) didefinisikan sebagai penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah (Pusat) kepada Daerah Otonom dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pelimpahan wewenang dalam bentuk Dekosentrasi (Pasal 1 ayat f) adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah dan atau perangkat pusat di daerah.
Secara prinsip, masalah utama yang berkenaan dengan otonomi daerah adalah bagaimana menyeimbangkan kemampuan keuangan antar daerah, sehingga kesenjangan antar daerah dapat diminimalisir. Merujuk kepada UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah tersurat bahwa sebagian besar pengelolaan keuangan (baik dari sumber daya alam maupun kegiatan ekonomi lainnya) akan berada di daerah (daerah dalam hal ini adalah kabupaten/kota). Prinsip pemerataan (equity) ditunjukkan dalam UU tersebut dengan adanya Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang merupakan alokasi dan dari pemerintah pusat (bagian dari APBN) kepada daerah dengan mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan keuangan daerah.
38
Struktur keuangan daerah yang baru, pembiayaan penanganan jalan kabupaten, dana akan berasal dari DAK, DAU dan APBD Kabupaten, maka trade off keputusan untuk mengalokasikan dana bagi penanganan jalan akan banyak terjadi di daerah. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan jika pengertian jalan sebagai infrastruktur dasar yang harus dijamin keberadaan dan kesiapan operasinya tidak melandasi proses alokasi dana di daerah, yang pada gilirannya menyebabkan kondisi jalan semakin buruk.
Untuk itulah maka sangat dibutuhkan adanya pedoman yang juga memberikan pengertian kepada aparat maupun para pengambil keputusan di Daerah mengenai pentingnya peran jalan bagi perekonomian, sehingga pendaan untuk pemeliharaan dan pembangunan jalan tidak dapat disepelekan.
Dengan kondisi dana yang sangat terbatas ini, maka strategi pengelolaan jalan kabupaten yang paling memungkinkan saat ini adalah: a. memaksimalkan dana yang ada dari APBD untuk pemeliharaan jalan (asset preservation), dan b. mengoperasikan jalan sesuai dengan ketentuan, sedemikian sehingga laju perusakan jalan dapat dihambat.
Dengan kedua strategi tersebut diharapkan ruas-ruas jalan di daerah dapat dipertahankan
kinerja
konstruksi
dan
operasinya,
sedemikian
sehingga
pembengkakan anggaran untuk pemeliharaan jalan dapat diminimalisir.
II.9 Rencana Umum Jaringan Transportasi Jalan di Kab. Serang (2003) Pada tahun 2003, Dinas Perhubungan Kabupaten Serang telah melakukan Penyusunan Rencana Umum Jaringan Transportasi Jalan di Kabupaten Serang. Dalam studi tersebut dimaksudkan untuk menghasilkan suatu rumusan sistem transportasi regional kabupaten untuk Kabupaten Serang. Sistem transportasi regional ini juga dipakai sebagai acuan dalam menetapkan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan masalah trasnportasi wilayah.
39
Dalam studi ini dilakukan beberapa survei primer seperti : survei inventarisasi jaringan jalan, survei perhitungan lalu lintas terklasifikasi (Classified Traffic Counting/TC), survei angkutan umum dan survei asal tujuan. Dan telah dihasilkan suatu data base mengenai jaringan jalan yang akan digunakan dalam penelitian kinerja jaringan jalan kabupaten Serang ini.
Dan hasil dari studi tersebut didapatkan beberapa rekomendasi meliputi : b. Manajemen lalu lintas -
peningkatan tingkat pelayanan jalan pada beberapa ruas jalan yang perlu mendapat perhatian
-
perlu dilakukan penempatan lokasi halte (bus stop) di sepanjang trayek angkutan kota
-
perlu ditetapkan lokasi-lokasi parkir khususnya parkir di badan jalan
-
perlu dibuaat suatu sistem transportasi perkotaan di Kota Serang
c. Peningkatan kelas jalan -
peningkatan jalan jalur utara menuju pelabuhan Bojonegara
-
pembuatan jalur baru di wilayah kawasan Banten Lama yang memiliki bangunan peninggalan budaya
d. Jaringan trayek dan terminal penumpang -
pengembangan simpul trasnportasi (terminal angkutan penumpang di Kragilan tipe B, Anyer tipe C, Petir Tipe C, Ciomas tipe C, Bojonegara tipe B serta terminal angkutan barang di Pelabuhan Bojonegara dan Kragilan
-
perluasan lahan terminal Pakupatan sesuai dengan luas lahan terminal tipe A minimal 5 Ha
e. Jaringan lintas dan terminal barang -
penetapan jaringan lintas, untuk kendaraan berat serta manajemen waktu.
f. Pergantian moda angkutan
40