BAB II STUDI PUSTAKA 2.1
PENDAHULUAN
Dalam studi pustaka ini dipaparkan tentang dasar teori sebagai sumber acuan dalam melakukan analisis dan perancangan untuk studi Tugas Akhir ini. Dasar-dasar teori yang dipaparkan berasal dari berbagai sumber, yang utama adalah buku Sistem Neuro Fuzzy dan Manual Kapasitas Jalan Indonesia. Selain itu dari text book, catatan kuliah dan sumber – sumber lain. Teori yang akan dipaparkan dalam kajian ini berkaitan dengan: 1. Logika Fuzzy 2. Simpang bersinyal (MKJI) 2.2
LOGIKA FUZZY
2.2.1
Teori Himpunan Fuzzy
Himpunan fuzzy atau himpunan kabur merupakan suatu teori himpunan yang digunakan untuk menyatakan derajat kemenduaan (ambiguity/fuzzy) dari arti kata atau konsep. Teori himpunan fuzzy didasarkan pada logika fuzzy yang mempunyai tingkat logika antara 0 dan 1 yang menyatakan kemenduaan. Tiap kelompok fuzzy merupakan himpunan bagian dari suatu himpunan semesta fuzzy. Hubungan tiap himpunan bagian terhadap himpunan semesta dinyatakan dengan suatu fungsi keanggotaan yang menyatakan derajat keanggotaan himpunan bagian tersebut dan merupakan bilangan nyata yang berada dalam selang (0,1). Misalkan U merupakan kumpulan objek yang dinotasikan dengan {u}. U disebut semesta dan u menyatakan elemen generik dari U. Suatu himpunan fuzzy F di dalam semesta wacana U (Gambar II-1) dikarakteristikkan dengan fungsi keanggotaan µF yang bernilai dalam interval [0,1].
Gambar II-1 Himpunan Fuzzy 4
Dengan teori himpunan fuzzy suatu peubah bahasa dapat diwakili dengan sebuah daerah yang mempunyai jangkauan tertentu yang menunjukkan derajat keanggotaannya. Derajat keanggotaan tersebut mempunyai nilai yang bergradasi sehingga dapat mengurangi lonjakan pada sistem. Ada dua cara mendefinisikan keanggotaan himpunan fuzzy, yakni sebagai berikut. 1. Secara numeris Menyatakan derajat fungsi keanggotaan suatu himpunan fuzzy sebagai vektor bilangan yang dimensinya tergantung pada level diskretisasi (cacah elemen diskret di dalam semesta). 2. Secara fungsional Menyatakan fungsi keanggotaan suatu himpunan fuzzy dalam ekspresi analitis yang memungkinkan derajat keanggotaan setiap elemen dapat dihitung di dalam semesta wacana yang didefinisikan. Fungsi keanggotaan yang sering digunakan dalam praktik adalah sebagai berikut. 1. Fungsi S Fungsi ini berbentuk huruf S (Gambar II-2) dan ditentukan oleh nilai parameter a, b dan c. Fungsi S didefinisikan sebagai berikut :
S (u;a,b,c)
0 2 [(u – a)/(c – a)]2
untuk u < a untuk a ≤ u ≤ b
2 – 2 [(u – c)/(c – a)]2 1
untuk b ≤ u ≤ c untuk u > c
Titik persilangan 0,5 terjadi pada b = (a + c)/2
Gambar II-2 Fungsi Keanggotaan S
2. Fungsi π Fungsi ini berbentuk bel dan mempunyai dua parameter yaitu b dan c (Gambar II-3). Parameter c menentukan titik tengah dan parameter b menentukan lebar bidang pada titik persilangan. Titik persilangan terdapat pada: u = c ± b/2.
5
Definisi fungsi itu adalah sebagai berikut. S(u;c-b,c-b/2,c) untuk u ≤ c π (u;b,c) 1 - s (u; c, c + b/ 2, c + b) untuk u ≥ c
Gambar II-3 Fungsi Keanggotaan Bel
3. Fungsi Segitiga (Triangular) Fungsi ini berbentuk segitiga (gambar II-4) dengan parameter a, b dan c. fungsi segitiga didefinisikan sebagai berikut
T (u;a,b,c)
0 (u – a)/(b – a)
untuk u < a untuk a ≤ u ≤ b
(c – u)/(c – b) 1
untuk b ≤ u ≤ c untuk u > c
Gambar II-4 Fungsi Keanggotaan Segitiga
2.2.2
Inferensi Fuzzy
Inferensi logika fuzzy mempunyai kemiripan dengan penalaran manusia,terdiri atas: 1. Pengetahuan (knowledge) Melibatkan penalaran fuzzy yang dinyatakan sebagai aturan dalam bentuk : IF (jika) x is A, THEN (maka) y is B, Dengan x dan y adalah variable fuzzy, A dan B adalah nilai fuzzy. Pernyataan pada bagian premis (konsekuensi) dari aturan dapat melibatkan penghubung (connective) logika seperti AND dan OR. IF x is A AND y is B THEN z is C 6
2. Fakta Merupakan masukan fuzzy yang harus dicari inferensi (konklusinya) dengan menggunakan aturan fuzzy, masukan fakta tidak harus sama dengan basis pengetahuan. 3. Konklusi Inferensi yang sepadan (matched) parsial diperoleh berdasarkan fakta dan basis pengetahuan fuzzy. 2.2.2.1 Prosedur Inferensi Fuzzy Ada dua jenis prosedur inferensi fuzzy yaitu: Generallized Modus Ponens (GMP) dan Generallized Modus Tollens (GMT). Dengan himpunan fuzzy A, A', B, B' dan variable linguistik x, y, maka GMP dan GMT dinyatakan sebagai berikut. 1. GMP GMP adalah inferensi maju berdasarkan fakta masukan yang disebut juga penalaran langsung,contohnya sebagai berikut. Premis 1 (Pengetahuan) : Jika x adalah A Maka y adalah B Premis 2 (Fakta) : x adalah A' Konsekuensi (Konklusi) : y adalah B' Konsekuensi B' dapat diperoleh dengan: B' = A'oR = A'o (A ÆB) dengan R: relasi fuzzy dari implikasi fuzzy o : operator komposisi. A ÆB : fungsi implikasi fuzzy "jika A maka B" A' : himpunan fuzzy masukan fakta (sangat A, lebihA, kurang A, bukan A, dll). 2. GMT GMT adalah inferensi mundur atau penalaran tak langsung berdasarkan fakta keluaran yang dilakukan sebagai berikut. Premis 1 (Pengetahuan) : jika x adalah A, maka y adalah B Premis 2 (Fakta) : y adalah B' Konsekuensi (Konklusi) : x adalah A' Konsekuensi A' dapat diperoleh sebagai berikut: A' = RoB’ = (A ÆB) oB’ GMP cocok untuk sistem pengendali sedangkan GMT cocok untuk sistem diagnostik medis. Fungsi implikasi yang banyak digunakan adalah fungsi implikasi Mamdani (aturan min), karena kemudahannya dalam interpretasi grafis. Maka relasi fuzzy berdasarkan implikasi mamdani (A Æ B) didefinisikan sebagai berikut. Rm =
∫µ
A
( x).^ µ B ( y ) /( x, y )
(1)
AxB
7
Fungsi implikasi yang lain yang banyak digunakan adalah Larsen (aturan produk) yang didefinisikan sebagai berikut. Rp =
∫µ
A
( x).µ B ( y ) /( x, y )
(2)
AxB
2.2.2.2 Inferensi Fuzzy Berbasis Pengetahuan Setelah implikasi fuzzy dapat didefinisikan sebagai relasi biner, maka akan dibahas inferensi fuzzy berdasar basis pengetahuan. Dalam pembahasan ini dibatasai hanya untuk fungsi implikasi fuzzy Mamdani dan prosedur inferensi GMP. 1. Satu Aturan dengan Satu Anteseden Aturan fuzzy tunggal dengan satu anteseden (yang mendahului) ditulis sebagai berikut. IF x is A THEN y is B dengan fungsi implikasi A Æ B, maka relasi fuzzynya adalah sebagai berikut : R(A,B,) = (AxB) =
∫µ
A
( x) ^.µ B ( y )^ /( x, y )
XxY
Maka himpunan fuzzy B' yang diinduksikan oleh fakta " X is A' “ adalah sebagai berikut : B' = A' 0 R = A' 0 (AÆ B) atau secara ekuivalen: µ B ' ( y ) = max x min[ µ ' A ( x), µ R ( x, y )] = V x [ µ A' ^ µ R ( x, y )] = [V x ( µ A' ( x)^ µ A ( x))]^ µ B ( y )
= w^ µ B ( y )
dengan w adalah derajat kesepadanan (degree of match), merupakan maxima dari (x) ^ (area saling cakup pada bagian anteseden Gambar II-5). Derajat kesepadanan w juga disebut kuat penyulutan (fire strength) yang menyatakan derajat pemenuhan aturan fuzzy pada bagian anteseden. Dari gambar II-5 terlihat bahwa fungsi keanggotaandari B’ yang dihasilkan adalah model fuzzy dari B yang dipotong oleh kuat penyulutan w.
Gambar II-5 Interprestasi Grafis Inferensi Fuzzy Satu Aturan Satu Anteseden
2. Satu Aturan dengan Banyak Anteseden Aturan fuzzy tunggal dengan dua anteseden ditulis dalam bentuk : IF x is A AND y is B THEN z is C 8
dengan fungsi implikasi AxB ÆC . Relasi fuzzynya adalah sebagai berikut : R(A,B,C) = (AxB)xC =
∫µ
A
( x)^ µ B ( y )^ µ C ( z ) /( x, y )
XxYxZ
Ekspresi C yang dihasilkan dengan adanya fakta "x is A' AND y is B' " adalah : C' = R = (A'x B')0R = (A’xB’) 0(AxB ÆC ) Maka :
µ C ' ( z ) = v x , y [ µ A' ( x)^ µ B ' ( y )]^ [ µ A ( x)^ µ B ( y )^ µ C ( z )] = {v x [ µ A' ( x)^ µ A ( x)]}^ {v y [ µ B ' ( y )^ µ B ( y )]}^ µ C ( z ) = ( w1 ^ w2 )^ µ C ( z ) dengan w1, dan w2 adalah maxima dari fungsi keanggotaan (MF) A^A’ dan B^ B'. Dalam kasus ini w1 juga menunjukkan derajat kesepadanan antara A dan A', demikian juga w2 untuk B dan B'. Karena bagian anteseden dari aturan fuzzy disusun dengan penghubung "and ", maka kuat penyulutan bagian anteseden adalah w1 ^ w2.
Gambar II-6 Interprestasi Grafis Inferensi Fuzzy Satu Aturan Dua Anteseden
3. Banyak Aturan dengan Banyak Anteseden Dua aturan fuzzy dengan dua anteseden ditulis dalam bentuk : Aturan 1 (R1)
: IF x is A1, AND y is B1, THEN z is C1,
Aturan 2 (R2)
: IF x is A2, AND y is B2, THEN z is C2
Keluaran himpunan fuzzy C' dengan adanya fakta: " IF x is A' AND y is B' " adalah : C' = (A'xB')0( R1
R2)
dengan R, = A, x B, Æ C, dan R2 = A2 x B2 Æ C2 Karena operator komposisi max-min adalah 0 distributif pada operator , maka: C' = [(A'xB')0R1] = C1'
[(A'xB')0R2]
C2'
dengan C1' dan C2' adalah himpunan fuzzy hasil inferensi dari aturan 1 dan aturan 2. Bila suatu aturan fuzzy mempunyai bentuk dengan penghubung OR sebagai berikut : IF x is A OR y is B THEN z is C maka kuat penyulutan diberikan oleh maksimum derajat kesepadanan dari bagian anteseden. Aturan fuzzy ini ekuivalen dengan uni dari dua aturan fuzzy berikut: IF x is A THEN z is C dan IF y is B THEN z is C 9
Gambar II-7 Interprestasi Grafis Inferensi Fuzzy Dua Aturan Dua Anteseden
2.2.3
Sistem Inferensi Fuzzy
Struktur dasar sistem inferensi fuzzy, terdiri atas: 1. Basis aturan yang berisi sejumlah aturan fuzzy yang memetakan nilai masukan fuzzy ke nilai keluaran fuzzy. Aturan ini sering dinyatakan dengan format IF - THEN. 2. Basis data yang berisi fungsi keanggotaan dari himpunan fuzzy yang digunakan sebagai nilai bagi setiap variable sistem. 3. Mekanisme penalaran fuzzy yang melakukan prosedur inferensi.
Gambar II-8 Struktur dasar sistem inferensi fuzzy
10
Unit fuzzifikasi melakukan proses fuzzifikasi dari data masukan tegas (crisp) dengan cara sebagai berikut. 1. Pemetaan nilai tegas variabel masukan ke semesta wacana yang sesuai. 2. Konversi dari data yang terpetakan tersebut ke istilah linguistik yang sesuai dengan himpunan fuzzy yang telah didefinisikan untuk variabel tersebut. Proses selanjutnya adalah mekanisme penalaran, untuk melakukan proses ini harus didefinisikan dahulu aturan – aturan yang akan diikuti. Aturan – aturan tersebut ditulis secara subjektif dalam Fuzzy Associative Memory (FAM) yang memuat hubungan antara kedua masukan yang menghasilkan keluaran tertentu. Setelah diperoleh keluaran fuzzy, kemudian diteruskan dengan Defuzzifikasi.
Gambar II-9 Diagram Alir Mekanisme Penalaran
Defuzzifikasi adalah cara untuk memperoleh nilai tegas (crisp) dari himpunan fuzzy. Umumnya terdapat lima metode untuk defuzifikasi himpunan fuzzy A pada semesta wacana Z seperti terlihat pada gambar II-10.
Gambar II-10 BeberapaMetode Memperoleh Nilai Tegas
Lima metode defuzzifikasi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Centroid of Area Z COA =
∫ zµ ∫ zµ
A
( z ) zdz
A
( z ) zdz
(3)
11
Dengan µ A (z ) adalah fungsi keanggotaan gabungan (aggregated)
Startegi defuzzifikasi ini banyak diadopsi karena mirip dengan perhitungan nilai terharap dari distribusi probabilitas. 2. Bisector of Area Z BOA :
Z BOA memenuhi : z BOA
∫ µ A ( z) zdz =
α
β
∫µ
A
(4)
( z ) zdz
z BOA
Dengan : α = min{zΙz ∈ Z }
β = max{zΙz ∈ Z } Maka garis z = Z BOA : membagi daerah antara z = α = dan z = β menjadi dua daerah dengan luasan sama. 3. Rerata Maksimum Z MOM adalah rerata dari z dalam memaksimumkan model fuzzy mencapai µ * Z MOM =
∫ zdz z'
(5)
∫ zdz z'
Dengan {zΙµ A ( Z = µ} . Khususnya bila m A (z ) mempunyai maksimum tunggal di z = z * , maka Z MOM = z * . Lagi pula m A (z ) mecapai maksimum pada saat : Z ∈ [ z kiri , z kanan ], makaZ MOM =
(z kiri + z kanan ) 2
4. MaksimumTerkecil Z SOM dalah minimum dari z dalam memaksimumkan model fuzzy. 5. Maksimum Terbesar Z LOM adalah maksimum z dalam memaksimumkan model fuzzy. Karena Z SOM dan Z LOM menunjukkan bias, maka tidak banyak digunakan.
12
2.2.3.1 Model Fuzzy Mamdani
Proses inferensi fuzzy untuk model fuzzy Mamdani terdiri atas langkah-langkah berikut. 1. Tentukan derajat kesepadanan (degree of match) antara data masukan fuzzy dengan himpunan fuzzy yang telah didefinisikan untuk setiap variabel masukan sistem dari setiap aturan fuzzy. Hal ini sering dilakukan dengan menggunakan ukuran derajat kemiripan (Ukuran kemiripan tidak diperlukan bila data masukan suatu singleton fuzzy). 2. Hitung, kuat penyulutan (fire strength) untuk setiap aturan berdasar pada derajat kesepadanan tersebut dan penghubung (missal AND, OR) yang digunakan oleh variabel masukan di dalam bagian premis (anteseden) dari aturan. 3. Lakukan implikasi fuzzy berdasar kuat penyulutan dan himpunan fuzzy terdefinisi untuk setiap variabel keluaran di dalam bagian konsekuensi dari setiap aturan. Hasil implikasi fuzzy dari setiap aturan ini kemudian digabungkan untuk menghasilkan keluaran inferensi fuzzy. Operasi yang dilakukan pada langkah ini biasanya MAX-MIN dan MAX-DOT. Sistem inferensi Mamdani yang menggunakan komposisi max-min, sedang yang menggunakan komposisi max-product dengan masukan fakta singleton x dan y, interpretasi grafisnya akan ditampilkan pada gambar II-11. Dengan inferensi max-product ini keluaran inferensi dari setiap aturan adalah himpunan fuzzy yang diskalakan oleh kuat penyulutan dengan perkalian aljabar.
Gambar II-11 Inferensi Fuzzy Mamdani dengan MenggunakanMax-Product
13
2.2.3.2 Model Fuzzy Sugeno
Model fuzzy Sugeno merupakan pendekatan sistematis pembangkitan aturan fuzzy dari himpunan data masukan-keluaran yang diberikan. Aturan fuzzynya berbentuk: IF x is A AND y is B, THEN z = f(x,y) dengan A dan B adalah himpunan fuzzy dalam anteseden dan z = f(x,y) adalah fungsi tegas dalam konsekuensi. Biasanya f(x,y) adalah polynomial dalam variable x dan y. 1. Bila f(x,y) polynomial orde satu, maka system inferensi fuzzy yang dihasilkan disebut model fuzzy Sugeno orde satu. 2. Bila f: konstan diperoleh model fuzzy Sugeno orde nol dapat dipandang sebagai kasus khusus sistem inferensi fuzzy Mamdani yang mana setiap konsekuensi aturan dispesifikasikan dengan singleton fuzzy (konsekuensi yang pradefuzifikasi). Lagi pula model fuzzy Sugeno orde nol adalah ekuivalen secara fungsional dengan jaringan RBF (Radial Basis Function) di bawah kendala minor tertentu. Keluaran model Sugeno orde nol adalah fungsi halus dari variabel masukannya selama model fuzzy yang bertentangan cukup saling cakup.
Gambar II-12 Model Fuzzy Sugeno Orde Satu
Karena setiap aturan mempunyai keluaran tegas, maka keluaran keseluruhan diperoleh dengan rerata terbobot, sehingga hal ini dapat menghemat waktu proses defuzzifikasi pada model Mamdani.
14
2.3
SIMPANG BERSINYAL
Sinyal persimpangan biasanya memberi waktu untuk pergerakan dengan membagi pergerakan ke dalam beberapa fase, biasanya antara dua sampai empat fase. Dalam menganalisis fasefase ini dibutuhkan definisi dari terminologi yang digunakan untuk melihat fase-fase persimpangan. Fase sinyal dapat diintegrasikan pembelokan kanan yang terlindungi, yang fungsinya adalah untuk melindungi mobil-mobil yang berbelok dari pergerakan mobil lurus yang berlawanan. Dengan adanya fase khusus untuk belok, pergerakan belok dapat menjadi lebih lancar dibandingkan pembelokan yang dibolehkan tetapi tidak terlindung. Namun fase khusus ini akan mengambil waktu yang lebih lama, maka waktu siklus total lebih lama dibandingkan dengan fase tidak terlindung. Pembelokan yang bergerak ke kiri juga dapat dibagi menjadi menjadi belok kiri pada saat merah (left turn on red) dan hanya belok jika hijau. Pada pergerakan belok kiri pada saat merah, harus dialokasikan satu jalur khusus untuk belok kiri supaya pembelokan ke kiri tidak terhalang dengan arus yang lurus. Dengan mobil yang belok kiri dapat keluar dari persimpangan pada merah, maka pergerakan lurus tidak terhambat oleh pergerakan kiri pada saat hijau. Tetapi, hambatan pergerakan belok kiri biasanya diabaikan sampai jumlah pergerakan ke kiri lebih dari 10% dari pergerakan total. Kinerja suatu persimpangan dapat dilihat dari beberapa parameter pada persimpangan. Salah satu parameter ini adalah waktu tundaan per mobil yang dialami oleh arus yang melalui simpang. Waktu tundaan ini adalah waktu tempuh tambahan yang diperlukan untuk melalui simpang apabila dibandingkan lintasan tanpa melalui suatu simpang. Tundaan terdiri atas tundaan lalu lintas (traffic delay) dan tundaan geometri (geometric delay). Tundaan lalu lintas (traffic delay) adalah waktu menunggu yang disebabkan interaksi lalu lintas dengan gerakan lalu lintas yang bertentangan. Sedangkan tundaan geometri (geometric delay) disebabkan oleh perlambatan dan percepatan kendaraan yang membelok di simpangan dan/atau yang terhenti oleh lampu merah. Parameter persimpangan yang lain adalah angka henti dan rasio kendaraan terhenti pada suatu sinyal. Angka henti memberikan jumlah rata-rata berhenti per kendaraan yang terjadi karena terjadinya hambatan simpang. Angka henti ini juga termasuk kendaraan berhenti berulangulang dalam suatu antrian. Rasio kendaraan yang terhenti menggambarkan rasio dari arus lalu lintas yang terpaksa berhenti sebelum dapat melewati garis henti. Kendaraan ini harus berhenti karena adanya akibat dari pengendalian sinyal. Juga penting diperhatikan jumlah panjang antrian kendaraan dalam suatu pendekat dan panjang antrian pada suatu pendekat. Parameter ini juga dapat menggambarkan hambatan-hambatan yang terjadi pada persimpangan tersebut. Perhitungan pada simpang bersinyal digunakan dengan acuan Metoda Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI). 15
2.3.1
Manual Kapasitas Jalan Indonesia
Manual Kapasitas Jalan Indonesia memberikan kemudahan-kemudahan dalam menentukan waktu hijau, kapasitas, derajat kejenuhan, dan tundaan melalui formulir-formulir isian SIG.
Gambar II-13 Langkah – Langkah Pengaturan Lampu Lalu Lintas dengan MKJI
1. SIG I terdapat penentuan fase-fase dan geometrik jalan dengan Wmasuk dan Wkeluar 2. SIG II menghitung data arus lalu-lintas seperti konversi dari kendaraan/jam menjadi smp/jam melalui faktor emp. 3. SIG III mengetahui waktu merah tiap fase dan waktu hilang tiap fase. 4. SIG IV dengan bantuan data dari SIG-SIG sebelumnya kita dapat mengetahui Kapasitas (C), Waktu hijau (g) dan Derajat Kejenuhan (DS). 5. SIG V mengetahui antrian, number of stop dan tundaan. Teori simpang bersinyal didasarkan pada prinsip-prinsip utama sebagai berikut: 1. Geometri Perhitungan dikerjakan secara terpisah untuk setiap pendekat. Satu lengan simpang dapat terdiri lebih dari satu pendekat, yaitu dipisahkan menjadi dua atau lebih sub-pendekat. Hal ini terjadi jika gerakan balok-kanan dan/atau belok-kiri mendapat sinyal hijau pada fase yang berlainan dengan lalu lintas yang lurus , atau jika dipisahkan secara fisik dengan pulau-pulau lalu-lintas dalam pendekat. Untuk masing-masing pendekat atau sub-pendekat lebar efektif (Wo) ditetapkan dengan mempertimbangkan denah dari bagian masuk dan ke luar suatu simpang dan distribusi dari gerakan-gerakan membelok. 2. Arus lalu lintas Perhitungan dilakukan per satuan jam untuk satu atau lebih periode, misalnya didasarkan pada kondisi arus lalu lintas rencana jam puncak pagi, siang dan sore. Arus lalu lintas (Q) untuk setiap gerakan (belok-kiri QLT, lurus QST dan belok-kanan QRT) dikonversi dari kendaraan per-jam menjadi satuan mobil penumpang (smp) per-jam dengan menggunakan ekivalen kendaraan penumpang (emp) untuk masing-masing pendekat terlindung dan terlawan: Tabel II-1 Ekivalen Kendaraan Penumpang
Jenis Kendaraan Kendaraan Ringan (LV) Kendaraan Berat (HV) Sepeda Motor (MC)
emp untuk tipe pendekat: Terlindung Terlawan 1,0 1,0 1,3 1,3 0,2 0,4 16
3. Model dasar Kapasitas pendekat simpang bersinyal dapat dinyatakan sebagai berikut: C=
S× g c
(6)
dimana: C =Kapasitas (smp/jam) S = Arus Jenuh, yaitu arus berangkat rata-rata dari antrian dalam pendekat selama sinyal hijau (smp/jam hijau = smp per-jam hijau) g = Waktu hijau (det). c = Waktu siklus, yaitu selang waktu untuk urutan perubahan sinyal yang lengkap (yaitu antara dua awal hijau yang berurutan pada fase yang sama) Oleh karena itu perlu diketahui atau ditentukan waktu sinyal dari simpang agar dapat menghitung kapasitas dan ukuran perilaku lalu-lintas lainnya. Pada rumus (6) di atas, arus jenuh dianggap tetap selama waktu hijau. Meskipun demikian dalam kenyataannya, arus berangkat mulai dari 0 pada awal waktu hijau dan mencapai nilai puncaknya setelah 10-15 detik. Nilai ini akan menurun sedikit sampai akhir waktu hijau, lihat Gambar II-15 di bawah. Arus berangkat juga terus berlangsung selama waktu kuning dan merah-semua hingga turun menjadi 0, yang biasanya terjadi 5-10 detik setelah awal sinyal merah.
ArusJenuh Per-7 m (smp/ jam-hijau)
7000 6000 5000 4000 3977
3866
3142
3000
3667
3663 3663
2000 1000
717
0 0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
33
36
Waktu hijau (detik) Sumber : MKJI (1997)
Gambar II-14 Arus Jenuh Yang Diamati Per Selang Waktu Enam Detik
17
Permulaan arus berangkat menyebabkan terjadinya apa yang disebut sebagai ‘kehilangan awal’ dari waktu hijau efektif, arus berangkat setelah akhir waktu hijau menyebabkan suatu ‘tambahan akhir’dari waktu hijau efektif. Jadi besarnya waktu hijau efektif, lamanya waktu hijau dimana arus berangkat terjadi dengan besaran tetap sebesar S dapat kemudian dihitung sebagai: Waktu
hijau efektif
= tampilan waktu hijau - kehilangan awal + tambahan akhir (7)
Gambar II-15 Model Dasar Untuk Arus Jenuh
Melalui analisa data lapangan dari seluruh simpang yang disurvei telah ditarik kesimpulan bahwa rata-rata besarnya kehilangan dan tambahan akhir, keduanya mempunyai nilai sekitar 4,8 detik. Sesuai dengan rumus (6) diatas, untuk kasus standar, besarnya waktu hijau efektif menjadi sama dengan waktu hijau yang ditampilkan. Kesimpulan dari analisa ini adalah bahwa tampilan waktu hijau dan besar arus jenuh puncak yang diamati di lapangan untuk masing-masing lokasi, dapat digunakan pada rumus (6) diatas, untuk menghitung kapasitas pendekat tanpa penyesuaian dengan kehilangan awal dan tambahan akhir. Arus jenuh (S) dapat dinyatakan dengan hasil perkalian dari arus jenuh dasar (So) yaitu arus jenuh pada keadaan standar, dengan faktor penyesuaian (F) untuk penyimpangan dari kondisi sebenarnya,dari suatu kumpulan kondisi-kondisi (ideal) yang telah ditetapkan. S = So x FCS x FSF x FG x FP x FRT x FLT
(8)
untuk pendekat terlindung arus jenuh dasar ditentukan sebagai fungsi dari lebar efektif pendekat (We): So = 600 x We
(9) 18
Penyesuain kemudian dilakukan untuk kondisi-kondisi berikut ini: FCS = Ukuran kota CS, jutaan penduduk FSF = Hambatan samping SF, kelas hambatan samping FG = Kelandaian G, % naik (+) atau turun (-) FP = Parkir P, jarak garis henti-kendaraan parker pertama FRT/LT = Gerakan membelok RT % belok-kanan, LT % belok-kiri Untuk pendekat terlawan, keberangkatan dari antrian sangat dipengaruhi oleh kenyataan bahwa sopir-sopir di Indonesia tidak menghormati “aturan hak jalan” dari sebelah kiri yaitu kendaraan – kendaraan belok kanan memaksa menerobos lalu lintas lurus yang berlawanan. Model-model dari negara-negara barat tentang keberangkatan, yang didasarkan pada teori “penerimaan celah” (gap-acceptance), tidak dapat diterapkan. Suatu model penjelasan yang didasarkan pada pengamatan perilaku pengemudi telah diterapkan dan dikembangkan dalam manual ini. Arus jenuh dasar ditentukan sebagai fungsi dari lebar efektif pendekat (We) dan arus lalu lintas belok kanan pada pendekat tersebut dan juga pada pendekat yang berlawanan karena pengaruh dari factor-faktor tersebut tidak linear. 4. Penentuan waktu sinyal Penentuan waktu sinyal untuk keadaan dengan kendali waktu tetap dilakukan berdasarkan metoda Webster (1966) untuk meminimumkan tundaan total pada suatu simpang. Pertama-tama ditentukan waktu siklus (c), waktu hijau (gi) pada masing-masing fase (i). WAKTU SIKLUS
c Optimum = dimana : cOptimum = LTI = FR = FRcrit = ∑FRcrit =
(1,5 × LTI + 5) ( 1 - ΣFRcrit)
(10)
Waktu siklus optimum (detik) Jumlah waktu hilang per siklus (detik) Arus dibagi dengan arus jenuh (Q/S) Nilai FR tertinggi dari semua pendekat yang berangkat pada suatu fase sinyal Jumlah FRcrit dari semua fase pada siklus tersebut (Rasio arus simpan)
Jika waktu siklus tersebut lebih kecil dari nilai ini maka ada resiko serius akan terjadinya lewat jenuh pada simpang tersebut. Waktu siklus yang terlalu panjang akan menyebabkan meningkatnya tundaan rata-rata. Jika nilai ∑FRcrit mendekati atau lebih dari 1 maka simpang tersebut adalah lewat jenuh dan rumus tersebut akan menghasilkan nilai waktu siklus yang sangat tinggi atau negatif. 19
WAKTU HIJAU gi =
(c - LTI ) × FR crit ΣFR crit
(11)
dimana: gi = tampilan waktu hijau pada fase I (detik)
Kinerja suatu simpang bersinyal pada umumnya lebih peka terhadap kesalahan-kesalahan dalam pembagian waktu hijau daripada terlalu panjangnya waktu siklus. Penyimpangan kecilpun dari rasio hijau (g/c) yang ditentukan dengan rumus (10) dan (11) diatas menghasilkan bertambah tingginya tundaan rata-rata pada smpang tersebut. 5. Kapasitas dan derajat kejenuhan Kapasitas pendekat diperoleh dengan perkalian arus jenuh dengan rasio hijau (g/c) pada masing-masing pendekat, lihat rumus 1 di atas: Derajat kejenuhan diperoleh sebagai : DS =
Q (Q × c ) = C (S × g)
(12)
6. Perilaku lalu lintas (kualitas lalu lintas) Berbagai perilaku ukuran lalu lintas dapat ditentukan berdasarkan pada arus lalu lintas, derajat kejenuhan dan waktu sinyal sebagaimana diuraikan di bawah ini : PANJANG ANTRIAN Jumlah rata-rata antrian smp pada awal sinyal hijau (NQ) dihitung sebagai jumlah smp yang tersisa dari fase hijau sebelumnya (NQ1) ditambah jumlah smp yang datang pada fasse merah (NQ2) : NQ = NQ1 + NQ2
(13)
dengan ⎡ δ × ( DS − 0.5) ⎤ NQ1 = 0.25 × C × ⎢( DS − 1) ( DS − 1) 2 ⎥ C ⎣ ⎦
(14)
jika DS>0.5;selain itu NQ1=0 NQ2 = c ×
Q 1 − GR × 1 − GR × DS 3600
(15)
20
dimana: NQ1 = jumlah smp yang tertinggal dari fase hijau sebelumnya NQ2 = jumlah smp yang datang selama fase merah DS = derajat kejenuhan GR = rasio hijau c = waktu siklus C = kapasitas (smp/jam) Q = arus lalu-lintas pada pendekat tersebut (smp/jam) Untuk keperluan perencanaan,manual memungkinkan untuk penyesuaian dari nila ratarata ini ketingkat peluang pembebanan lebih yang dikehendaki. Panjang antrian (QL) diperoleh dari perkalian (NQ) dengan luas rata-rata yang dipergunakan per smp (20 m2) dan pembagian dengan lebar masuk. QL = NQ max ×
20 Wmasuk
(16)
ANGKA HENTI Angka henti (NS),yaitu jumlah berhenti rata-rata per kendaraan (termasuk berhenti terulang dalam antrian) sebelum melewati suatu simpang,dihitung sebagai N S = 0 .9 ×
NQ × 3600 Q×c
(17)
dimana c adalah waktu siklus (detik) dan Q arus lalu-lintas (smp/jam) dari pendekat yang ditinjau.
RASIO KENDARAAN TERHENTI Rasio kendaraan terhenti (psv), yaitu rasio kendaraan yang harus berhenti akibat sinyal merah sebelum melewati suatu simpang, i dihitung sebagai: psv = min(NS,1) dimana NS adalah angka henti dari suatu pendekat. TUNDAAN Tundaan pada suatu simpang dapat terjadi karena dua hal: TUNDAAN LALU-LINTAS (DT) karena interaksi lalu-lintas dengan gerakan lainnya pada suatu simpang. TUNDAAN GEOMETRI (DG) karena perlambatan dan percepatan saat membelok pada suatu simpang dan atau/terhenti karena lampu merah. Tundan rata-rata untuk suatu pendekat j dihitung sebagai : D j = DT j + DG j
(18) 21
dimana : Dj DTj DGj
= Tundaan rata-rata untuk pendekat j(det/smp) = Tundaan lalu-lintas rata-rata untuk pendekat j(det/smp) = Tundaan geometri rata-rata untuk pendekat j(det/smp)
Tundaan lalu-lintas rata-rata pada suatu pendekat j dapat ditentukan dari rumus berikut :
DT
= c×
0 . 5 × (1 − GR ) 2 NQ . (1 − GR × DS )
1
× 3600 C
(19)
dimana : = = = = =
DTj GR DS C NQ1
Tundaan lalu-lintas pada pendekat j(det/smp) Rasio hijau (g/c) Derajat kejenuhan Kapasitas (smp/jam) Jumlah smp yang tertinggal dari fase hijau sebelumnya
Perhatikan bahwa hasil perhitungan tidak berlaku jika kapasitas simpang dipengaruhi oleh faktor-faktor “luar” seperti terhalangnya jalan keluar akibat kemacetan pada bagian hilir, pengaturan oleh polisi secara manual dan sebagainya. Tundaan geometri rata-rata pada suatu pendekat j dapat diperkirakan sbb:
DG
j
= (1 − p sv ) × p T × 6 + ( p sv × 4 )
dimana: DGj psv pT
(20)
= tundaan geometri rata-rata pada pendekat j (det/smp) = rasio terhenti pada suatu pendekat = rasio kendaraan membelok pada suatu pendekat
Nilai normal 6 detik untuk kendaraan belok tidak berhenti dan 4 detik untuk yang berhenti didasarkan anggapan-anggapan: a. kecepatan = 40km/jam b. kecepatan belok tidak berhenti = 10 km/jam c. percepatan dan perlambatan = 1,5 m/det2 d. kendaraan berhenti melambat untuk meminimumkan tundaan, sehingga menimbulkan hanya tundaan percepatan.
2.3.2
Pedoman Penggunaan
Manual dapat memenuhi berbagai macam kebutuhan dan jenis perhitungan untuk simpang bersinyal, berikutnya akan diberikan contohnya. 22
1. Perancangan Diketahui : Arus-arus lalu-lintas harian(LHRT). Tugas : Penentuan denah dan tipe pengaturan. Contoh : Penentuan fase dan denah simpang untuk suatu simpang yang dirancang dengan tuntutan lalu–lintas tertentu. Perbandingan dengan cara pengaturan dan tipe fasilitas jalan yang lain, seperti pengaturan tanpa sinyal, bundaran, dll. 2. Perencanaan Diketahui : Denah dan arus lalu-lintas (perjam/perhari). Tugas : Penentuan rencana yang disarankan. Contoh : Pemakaian sinyal bagi simpang yang sebelumnya tidak menggunakan sinyal. Peningkatan dari simpang bersinyal yang telah ada, misalnya dengan fase sinyal dan rencana pendekat yang baru. Perencanaan simpang bersinyal yang baru. 3. Pengoperasian Diketahui : Rencana geometrik,fase sinyal dan arus lalu-lintas (perjam). Tugas : Perhitungan waktu sinyal dan kapasitas. Contoh : Memperbarui waktu sinyal untuk berbagai periode dari hari tersebut. Perkiraan kapasitas cadangan dan kebutuhan yang diharapkan bagi peningkatan kapasitas dan atau perubahan fase sinyal sebagai hasil dari pertumbuhan lalu–lintas tahunan. Waktu sinyal yang dihitung dengan manual ini disarankan untuk sinyal dengan kendali waktu tetap bagi kondisi lalu-lintas yang digunakan sebagai data masukan. Untuk keperluan pemasangan di lapangan, supaya berada disisi yang aman terhadap fluktuasi lalu-lintas, maka disarankan suatu penambahan waktu hijau sebesar 10% secara proporsional dan penambahan waktu siklus yang sepadan. Jika penentuan waktu digunakan untuk pengaturan aktuasi lalulintas waktu hijau maksimum sebaiknya ditentukan 25–40% lebih besar dari pada waktu hijau jika menggunakan kendali waktu tetap. Metoda penentuan waktu sinyal dapat juga digunakan untuk menentukan waktu siklus minimum pada suatu sistem koordinasi sinyal dengan waktu tetap (yaitu seluruh sistem akan beroperasi dengan waktu siklus tertinggi yang dibutuhkan untuk salah satu simpangnya). Panduan rekayasa lalu-lintas memberikan saran tentang pemilihan tipe pengaturan dan situasi sebagai masukan untuk berbagai tingkat analisis rinci yang berbeda. Metodologi yang digunakan pada masing-masing tingkat pada dasarnya adalah sama, yaitu menghitung waktu sinyal, kapasitas dan kualitas lalu-lintas untuk kumpulan data masukan yang berurutan sampai diperoleh suatu penyelesaian yang memuaskan. 23
Nilai normal pada tingkat operasional semua data masukan yang diperlukan umumnya dapat diperoleh karena perhitungan-perhitungan merujuk pada simpang bersinyal yang telah ada. Tetapi untuk keperluan perancangan dan perencanaan sejumlah anggapan harus dibuat agar dapat menerapkan prosedur–prosedur perhitungan. Pedoman awal sehubungan dengan anggapan dan nilai normal untuk digunakan dalam kasus-kasus ini diberikan di bawah: 1. Arus Lalu Lintas Jika hanya arus lalu–lintas harian (LHRT) saja yang ada tanpa diketahui distribusi lalu– lintas pada setiap jamnya, maka arus rencana per jam dapat diperkirakan sebagai suatu persentase dari LHRT sebagai berikut: Tabel II-2 Persentase Faktor-k
Faktor persen k, adalah: k x LHRT = arus rencana/jam
Tipe kota dan jalan Kota-kota >1 juta penduduk o Jalan-jalan pada daerah komersial dan jalan arteri o Jalan pada daerah pemukiman Kota-kota < 1 juta penduduk o Jalan-jalan pada daerah komersial dan jalan arteri o Jalan pada daerah pemukiman
7-8% 8-9% 8-9% 9-12%
Jika distribusi gerakan membelok tidak diketahui dan tidak dapat diperkirakan, 15% belok kanan dan 15% belok kiri dari arus pendekat total dapat dipergunakan (kecuali jika ada gerakan membelok tersebut yang akan dilarang). Nilai-nilai normal untuk komposisi lalulintas berikut dapat digunakan bila tidak ada taksiran yang lebih baik: Tabel II-3 Komposisi Lalu Lintas Kendaraan Bermotor (%)
Ukuran kota Juta penduduk
>3juta 1-3 juta 0.5-1juta 0.1-1.5 juta < 0.1 juta
Komposisi lalu-lintas kendaraan bermotor (%) Kendaraan ringan LV
Kendaraan berat HV
Sepeda motor MC
Rasio kendaraan tak bermotor (UM/MV)
60 55,5 40 63 63
4,5 3,5 3,0 2,5 2,5
35,5 41 57 34,5 34,5
0,01 0,05 0,14 0,05 0,05
2. Penentuan fase dan waktu sinyal 24
Jika jumlah dan jenis fase sinyal tidak diketahui, maka pengaturan dengan dua-fase sebaiknya digunakan sebagai kasus dasar. Pemisahan gerakan-gerakan belok kanan biasanya hanya dapat dipertimbangkan kalau suatu gerakan membelok melebihi 200 smp/jam. Waktu antar hijau sebaiknya ditentukan dengan menggunakan metodologi yang diuraikan di MKJI. Untuk keperluan perancangan dan simpang simetris nilai normal berikut dapat digunakan : Tabel II-4 Ukuran Simpang Ukuran simpang
Lebar jalan rata - rata
Nilai normal waktu antar hijau
kecil
6-9m
4 detik per fase
sedang
10 - 12 m
5 detik per fase
lebar
≥ 15 m
≥ 6 detik per fase
3. Lebar pendekat Panduan rekayasa lalu-lintas memberikan saran pemilihan tipe simpang, jumlah lajur dan fase sinyal yang dapat digunakan sebagai anggapan awal dalam analisa rinci. Untuk perencanaan simpang baru, pemilihan sebaiknya didasarkan terutama pada pertimbangan ekonomis. Untuk analisa operasional 'simpang yang sudah ada' pemilihan terutama didasarkan pada perilaku Ialu - lintas, biasanya dengan tujuan untuk memastikan agar derajat kejenuhan pada jam puncak tidak lebih besar dari 0,75.
2.3.3
Ringkasan Prosedur Perhitungan
Bagan alir prosedur perhitungan digambarkan seperti di bawah :
Gambar II-16 Bagan Alir Prosedur Perhitungan 25