BAB II STUDI PUSTAKA
BAB II STUDI PUSTAKA
2.1 Pendahuluan Dalam bab ini dijelaskan tentang teori dasar dan perhitungan yang menjadi referensi bagi seluruh tahap pengerjaan dalam tulisan ini. Semua materi yang disajikan di bab ini berasal dari sumber-sumber yang valid, baik berupa textbook, dokumen-dokumen PT. Freeport Indonesia, tugas akhir dan thesis terdahulu, serta sumber-sumber lainnya yang tertera pada daftar pustaka. Teori yang akan dipaparkan antara lain : • • • •
Hidrologi Transportasi sedimen Metoda Pengelolaan Tailing Perencanaan bangunan penahan sedimen
2.2 Hidrologi 2.2.1 Prinsip Umum Perhitungan hidrologi bertujuan untuk memperkirakan debit banjir maksimum, sehingga dapat dapat ditentukan jenis dan dimensi bangunan air yang direncanakan.
2.2.1.1 Curah Hujan Untuk mengetahui ketersediaan air yang ada, dilakukan analisis curah hujan. Analisis ini digunakan untuk memperkirakan besarnya curah hujan untuk berbagai perioda ulang rencana. Data curah hujan yang dipakai adalah data curah hujan yang diperoleh dari stasiun pengamatan curah hujan yang mempengaruhi daerah pengaliran sungai yang ditinjau.
2.2.1.2 Inventarisasi Data Hujan Data-data curah hujan yang diperoleh pada suatu lokasi studi kadang kala tidak lengkap, berasal lebih dari satu stasiun pengamat hujan dan bahkan tidak ada sama sekali. Untuk itu perlu dilakukan analisa agar data yang digunakan mewakili karakteristik daerah proyek yang bersangkutan.
II-1
BAB II STUDI PUSTAKA
a. Uji Konsistensi Data Hujan Pada dasarnya metode pengujian pada uji konsistensi hujan merupakan pembandingan data stasiun yang bersangkutan dengan data stasiun lain di sekitarnya. Hal ini dilakukan dengan asumsi perubahan meteorologi tidak akan menyebabkan perubahan kemiringan garis hubungan antara data stasiun tersebut dengan data stasiun disekitarnya, karena stasiun-stasiun lainnya pun akan ikut terpengaruh kondisi yang sama. Konsistensi data-data hujan bagi masing-masing stasiun dasar (stasiun yang akan digunakan untuk menguji) harus diuji terlebih dahulu dan yang menunjukkan catatan yang tak konsisten harus dibuang sebelum dipergunakan. Jika tidak ada stasiun yang bisa dijadikan stasiun dasar, atau tidak terdapat catatan historis mengenai perubahan data, maka analisa awal terhadap data adalah dengan menghapus data-data yang dianggap meragukan.
b. Memperkirakan Data Curah Hujan yang Hilang Untuk data-data yang hilang atau tidak tercatat, agar terjamin kontinuitas data maka perlu ditetapkan data curah hujan yang hilang. Data tersebut akan dicari dengan metode perbandingan normal yang memberi rumus sebagai berikut.
Px =
1 . n
n
⎛ Rx
∑ ⎜⎜⎝ R
n =1
i
⎞ . ri ⎟⎟ ⎠
(2. 1)
dimana: Px : Rx : ri : Ri : n :
data hujan yang hilang, curah hujan tahunan rata-rata pada stasiun dimana data yang hilang dihitung, curah hujan harian pada stasiun ke-i pada tahun yang hilang, curah hujan tahunan rata-rata pada stasiun ke-i, dan banyaknya stasiun yang datanya tidak hilang pada tahun tersebut.
c. Hujan Wilayah Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan rancangan pemanfaatan air adalah curah hujan rata-rata di seluruh daerah yang bersangkutan. Stasiun-stasiun pengamat hujan yang tersebar pada suatu daerah aliran dapat dianggap sebagai titik (point). Tujuan mencari hujan rata-rata adalah mengubah hujan titik (point rainfall) menjadi hujan wilayah (regional rainfall) atau mencari suatu nilai yang dapat mewakili pada suatu daerah aliran, yaitu: 1. Cara Rata-rata Aljabar Pada metoda ini, setiap stasiun dianggap mempunyai bobot yang sama .Cara ratarata aljabar dinyatakan dalam formula di bawah ini. II-2
BAB II STUDI PUSTAKA
R=
R1 + R 2 + R 3 + ................... + R N N
(2. 2)
dimana: Ri N
= =
besarnya curah hujan (mm), dan jumlah pos pengamatan.
2. Cara Poligon Thiessen Cara ini memberikan bobot tertentu untuk setiap stasiun hujan, dengan pengertian bahwa setiap stasiun hujan dianggap mewakili hujan dalam suatu daerah dengan luas tertentu, dan luas tersebut merupakan faktor koreksibagi hujan yang bersangkutan.
R=
A 1R 1 + A 2 R 2 + A 3R 4 + ............................. + A NR N A 1 + A 2 + A 3 + .................... + A N
(2. 3)
dimana: Ai adalah luas pengaruh dari stasiun i. Gambar 2.1 mendeskripsikan penentuan curah hujan representatif dengan cara Poligon Thiessen.
R3 R1
A
A1
3
A2 R2
Gambar 2. 1 Penentuan curah hujan cara Poligon Thiessen.
3. Cara Isohyet Isohyet adalah garis yang menghubungkan tempat-tempat yang mempunyai kedalaman hujan sama pada saat yang bersamaan. Cara hitungannya sama dengan cara poligon Thiesen, hanya luas daerah adalah luas bagian antara garis isohyet.
R=
A1R1 + A 2 R 2 + A 3R 4 + ......... + A N R N A1 + A 2 + A 3 + ........ + A N II-3
(2. 4)
BAB II STUDI PUSTAKA
dimana: R
= Curah hujan rata-rata Regional = Curah hujan rata-rata pada bagian-bagian Ai = Luas bagian antara garis isohyet
Ri Ai
Cara ini adalah cara rasional yang terbaik jika garis-garis isohyet dapat digambar secara teliti.
S1 110 mm 100 mm
110 mm
A S2
95 mm
100 mm90 mm A S3
S4
A
A 95 mm
90 mm
Gambar 2. 2 Penentuan curah hujan representatif cara Isohyet
2.2.1.3 Curah Hujan Rencana 1. Analisis Frekuensi Tujuan dari analisis frekuensi curah hujan ini adalah untuk memperoleh curah hujan dengan beberapa perioda ulang. Pada analisis ini digunakan beberapa metoda untuk memperkirakan curah hujan dengan periode ulang tertentu, yaitu: a. b. c. d. e.
Metoda Distribusi Normal Metoda Distribusi Log Normal Metoda Distribusi Pearson Type III Metoda Distribusi Log Pearson Type III Metoda Distribusi Gumbel.
Metoda yang dipakai nantinya harus ditentukan dengan melihat karakteristik distribusi hujan daerah setempat. Periode ulang yang akan dihitung pada masingII-4
BAB II STUDI PUSTAKA
masing metode adalah untuk periode ulang 2, 5, 10, 25, 50, dan 100 tahun. Uraian masing-masing dari metoda yang dipakai adalah sebagai berikut : a. Metoda Distribusi Normal Merupakan fungsi distribusi kumulatif (CDF) Normal atau dikenal dengan distribusi Gauss (Gaussian Distribution). Distribusi normal memiliki fungsi kerapatan probabilitas yang dirumuskan:
f ( x) = −
2 ⎡ ⎛x−µ⎞ ⎤ . exp ⎢− 1 .⎜ ⎟ ⎥ σ . 2.π ⎢⎣ 2 ⎝ σ ⎠ ⎥⎦
1
−∞ < x < ∞
(2. 5)
Dimana:
µ dan σ adalah parameter statistik, yang masing-masing adalah nilai rata-rata dan standar deviasi dari varian.
b. Metoda Distribusi Log Normal Fungsi kerapatan probabilitas Log Normal adalah sebagai berikut :
f ( x) =
⎡ (x − µ n ) 2 ⎤ . exp ⎢ 1 . ⎥ 2 σ 2 σ . 2.π n ⎣⎢ ⎦⎥ 1
Dimana µ n adalah rata-rata dan σ n adalah standar deviasi untuk
(2. 6) y=lnx..
Langkah sederhana dilakukan sama dengan distribusi Log Pearson Type III , tetapi dengan mengambil harga koefisien asimetri Cs = 0 untuk mendapatkan nilai KT.
c. Metoda Distribusi Pearson Type III Secara sederhana fungsi kerapatan distribusi Pearson Type III adalah sebagai berikut:
Xt = Xi + G.Si
(2. 7)
Dimana: Xi Si Cs G
= = = =
Data ke-i Standar deviasi Koefisien skewness Faktor sifat distribusi Pearson Type III, yang merupakan fungsi dari besarnya Cs.
d. Log Pearson Type III
II-5
BAB II STUDI PUSTAKA
Secara sederhana fungsi kerapatan peluang distribusi Pearson Type III ini mempunyai persamaan sebagai berikut
log Xt = log Xi + G.Si log X =
(2. 8)
∑ log Xi N
Si =
(log Xi − log X ) 2 N −1
Cs =
∑(log Xi − log X ) 2 ( N − 1).( N − 2) Si 3
Dimana G = Koefisien frekuensi. Si = standar deviasi Cs = Koefisien skewness
e. Metoda Distribusi Gumbel Metoda distribusi Gumbel banyak digunakan dalam Analisis frekuensi hujan yang mempunyai rumus Rt = µ + Kt. Sx
Kt =
⎡ ⎛ Tr ⎞ ⎤ ⎫ 6⎧ ⎨0.5772 + ln ⎢ln ⎜ ⎟⎥ ⎬ π ⎩ ⎣ ⎝ Tr − 1 ⎠ ⎦ ⎭
(2. 9)
Dimana: Rt
=
Curah hujan untuk periode ulang T tahun (mm).
Sx K Sn, Yn
= = = =
Curah hujan maksimum rata-rata Standar deviasi Faktor frekuensi Faktor pengurangan deviasi standar rata-rata sebagai fungsi dari jumlah data.
µ
2. Pengujian Sebaran
Pengujian kecocokan sebaran adalah untuk menguji apakah sebaran yang di pilih dalam pembuatan duration curve cocok dengan sebaran empirisnya. Pengujian parameter dilakukan dengan metode Smirnov-Kolmogorof. Prosedur dasarnya II-6
BAB II STUDI PUSTAKA
mencakup perbandingan antara probabilitas kumulatif lapangan dan distribusi kumulatif fungsi yang ditinjau. Sampel yang berukuran N, diatur dengan urutan yang meningkat. Dari data yang diatur akan membentuk suatu fungsi frekuensi kumulatif tangga. Prosedur pengujian ini adalah sebagai berikut: a.
Urutkan data (dari besar ke kecil atau sebaliknya) dan tentukan besarnya peluang dari masing-masing data tersebut: X1 P(X1) X2 P(X2) XN P(XN)
b.
Tentukan nilai masing-masing peluang teoritis dari hasil penggambaran data. X1 P’(X1) X2 P’(X2) XN P’(XN)
c.
Dari kedua nilai peluang tersebut tentukan selisih terbesar antara peluang pengamatan dengan peluang teoritis. D = Maksimum [ P (Xm) – P’(Xm) ]
d.
Berdasarkan tabel nilai kritis (Smirnov-Kolmogorov test) tentukan nilai Do (lihat table 2.1)
Tabel 2. 1 Nilai kritis (Do) dari Smirnov-Kolmogorov
n
Nilai kritis Smirnov-Kolmogorov (a) 0,2
0,1
0,05
0,01
5
0,45
0,51
0,56
0,67
10
0,32
0,37
0,41
0,49
15
0,27
0,30
0,34
0,40
20
0,23
0,26
0,29
0,36
25
0,21
0,24
0,27
0,32
30
0,19
0,22
0,24
0,29
35
0,18
0,20
0,23
0,27
40
0,17
0,19
0,21
0,25
45
0,16
0,18
0,20
0,24
0,15
0,17
0,19
0,23
1,07
1,22
1,36
1,63
50 n>50
n
0.5
n
0.5
0.5
n
0.5
n
Apabila D lebih kecil dari Do maka distribusi teoritis yang digunakan untuk menentukan persamaan distribusi dapat diterima, tetapi apabila D lebih besar
II-7
BAB II STUDI PUSTAKA
dari Do maka distribusi teoritis yang digunakan untuk menentukan distribusi tidak dapat diterima.
2.2.2 Debit Banjir Untuk memperkirakan debit banjir yang akan terjadi dapat dilakukan analisa hidrologi dengan menggunakan metoda rasional dan metode hidrograf. Debit banjir ini digunakan dalam simulasi perilaku hidrolik untuk mengetahui tinggi muka air maksimum sunga atau saluran.
2.2.2.1 Metode Rasional Untuk memperkirakan debit banjir yang akan terjadi dapat dilakukan analisa hidrologi dengan menggunakan metoda rasional dan metode hidrograf. Debit banjir ini digunakan dalam simulasi perilaku hidrolik untuk mengetahui tinggi muka air maksimum sunga atau saluran. a. Metode Rational Penghitungan debit banjir rencana dilakukan dengan metoda rasional yaitu dengan menggunakan rumus:
Qt = C × I × A dimana: Qt = Debit banjir rencana untuk periode ulang T tahun C = Koefisien run off I = Intensitas hujan A = Luas daerah tangkapan hujan.
b. Metode Rational Dr. Mononobe Rumus dasarnya adalah sebagai berikut Q= α r.f (English Unit), atau Q= α r.f. 13.6 (Metric Unit) Dimana : α : run off coefisien r : intensitas hujan selama time of concentration (mm/jam) t : luas daerah pengaliran (km) Q : debit maksimum (m3/s) II-8
BAB II STUDI PUSTAKA
1. Run off coefisien Besarnya run off coefisien tergantung dari factor-faktor daerah pengalirannya, seperti: jenis tanah, kemitingan, keadaan hutan penutupnya dan sebagainya juga tergantung dari besar kecilnya banjir. Berikut ini adalah nilai koefisien pengaliran. Tabel 2. 2 Nilai koefisien run off untuk metode rasional Dr. Mononobe
Kondisi daerah pengaliran
Run of coefisien
Bergunung dan curam Pegunungan tertier Sungai dan tanah dan hutan dibagian atas dan bawahnya Tanah dasar yang ditanami Sawah yang diairi Sungai bergunung Sungai dataran
0.75 – 0.90 0.70 – 0.80 0.50 – 0.75 0.45 – 0.60 0.70 – 0.80 0.75 – 0.85 0.45 – 0.75
2. Intensitas hujan Untuk mendapatkan intensitas hujan selama time of concentration, yang biasanya 24 jam, digunakan hujan sehari. Itensitas hujan didapat dengan menggunakan rumus Dr. Mononobe sebagai berikut: 2
R (24) 3 r= 24 t Dimana : r : intensitas hujan selama time of concentration (mm/jam) R : hujan sehari (mm) t : time of concentration 3. Time of concentration Disini dianggap bahwa lamanya hujan yang akan menyebabkan debit banjir adalah sama dengan time of concentration. Untuk menghitung time of concentration ini digunakan rumus:
II-9
BAB II STUDI PUSTAKA
L V Dimana: L : panjang sungai (km) V: kecepatan perambatan banjir (km/jam) t : time of concentration / waktu perambatan banjir (jam) t=
4. Kecepatan perambatan banjir Untuk menghitung V digunakan rumus Dr. Rhiza sebagai berikut: 0.6
⎛H⎞ V = 72 ⎜ ⎟ ⎝L⎠ Dimana : H : beda tinggi antara titik terjauh dan mulut daerah pengaliran (km) L : panjang sungai (km) V : kecepatan perambatan banjir (km/jam)
c. Metoda Hasper Persamaan yang digunakan dalam perhitungan debit banjir dengan menggunakan metoda Hasper adalah sebagai berikut:
•
Debit Banjir (Q)
Q = f x α x β x q (m3/dtk) •
(2. 10)
Koefisien Runoff (α)
Koefisien Runoff (α) dihitung dengan persamaan:
α=
•
1 + 0.012 xf 0.7 1 + 0.075 xf 0.7
(2. 11)
Koefisien Reduksi (β)
Koefisien Reduksi (β) dihitung dengan persamaan: 3
T + 3.7 + 10−0.4T f 4 = 1+ × T 2 + 15 12 β 1
(2. 12)
II-10
BAB II STUDI PUSTAKA
•
Waktu Konsentrasi (T)
T = 0,1 x L0.8 x I-0.3 •
(2. 13)
Hujan Maksimum (q)
Hujan maksimum tergantung dari durasi hujan.
o Untuk T < 2 jam rT =
T × R24
T + 1 − 0.0008 × ( 260 − R24 )( 2 − T )
2
(2. 14)
dimana T dalam jam dan rT, R24 dalam mm.
o Untuk 2 jam ≤ T ≤ 19 jam T × R24 rT = T +1
(2. 15)
dimana T dalam jam dan rT, R24 dalam mm.
o Untuk 19 jam ≤ T ≤ 30 hari
rT = 0.707 × R24 × T + 1
(2. 16)
dimana T dalam jam dan rT, R24 dalam mm. Hujan maksimum dihitung dengan rumus:
q=
rT rT q= 3.6 × T 3.6 × T
(2. 17)
Dimana T dalam jam dan q dalam m3/km2/dtk.
2.2.2.2 Metode Hidrograf Hidrograf satuan suatu watersed adalah suatu limpasan langsung yang diakibatkan oleh suatu hujan efektif yang terbagi rata dalam waktu dan ruang (Soemarto,1999). Terdapat beberapa teori yang dapat digunakan untuk menentukan aliran puncak (dengan metode Hidrograf Satuan Sintetik), antara lain: HSS Snyder, HSS GAMA I dan HSS Nakayasu. Berikut ini adalah dasar teori Metoda hidrograf satuan sintetik Nakayasu, dimana rumus dari hidrograf satuan sintetik Nakayasu adalah sebagai berikut :
II-11
BAB II STUDI PUSTAKA
Q
0,8 tr
tg
lengkung naik lengkung turun QP 0,32 QP
0,3 QP
t TP
TO.3
1,5 TO.3
Gambar 2.3 Hidrograph Satuan Sintetis menurut Nakayasu ¾ Debit Puncak untuk hujan efektif 1 mm pada daerah seluas A km2
Qp =
C. A.R0 3, 6(0,3.Tp + T0,3 )
(2. 18)
dimana : Qp R0 Tp T0,3 A C
= Debit puncak banjir (m3/det) = Hujan satuan (mm) = waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir (jam) = Waktu penurunan debit, dari puncak sampai 30% = Luas daerah pengaliran sampai outlet = Koofisien pengaliran
¾ Untuk menentukan Tp dan T0,3 digunakan pendekatan rumus sebagai berikut : Tp = tg + 0,8 tr T0,3 = α tg tr = 0,5 tg sampai tg (tim lag) ¾ Menentukan Lag-time tg adalah time lag yaitu waktu antara hujan sampai debit puncak banjir (jam) dimana tg dihitung dengan ketentuan sebagai berikut :
tr
α α
Sungai dengan panjang alur L > 15 km : tg = 0,4 + 0,058L Sungai dengan panjang alur L < 15 km : tg = 0,21 L0,7
= = =
Satuan waktu hujan (jam) Parameter hidrograf, untuk: 2 → Pada daerah pengaliran biasa II-12
BAB II STUDI PUSTAKA
α α
= =
1,5 → 3 →
Pada bagian naik hidrograf lambat dan turun cepat Pada bagian naik hidrograf cepat, dan turun lambat
¾ Pada waktu kurva naik : 0 < t < Tp
Qd = Q p (
t 2, 4 ) Tp
(2. 19)
dimana : Q(t) = Limpasan sebelum mencari debit puncak (m3) t = Waktu (jam) ¾ Pada waktu kurva turun
a) Selang nilai : T p ≤ t ≤ (T p + T0,3 ) ( t −T p )
Q( t ) = Q p .0,3
T0 , 3
(2. 20)
b) Selang nilai : (T p + T0 ,3 ) ≤ t ≤ (T p + T0 ,3 + 1,5T0,3 ) ( t −T p + 0 , 5T0 , 3 )
Q(t ) = Q p .0,3
1, 5T0.3
(2. 21)
c) Selang nilai : t > (Tp+T0,3 + 1,5 T0,3) ( t −T p + 0 , 5T0 , 3 )
Q( t ) = Q p .0,3
2T 0 , 3
(2. 22)
2.3 Transportasi Sedimen Sedimen adalah suatu kepingan material yang terbentuk oleh proses fisika dan kimia yang terjadi pada tanah dan batuan. Komposisi, ukuran dan kerapatan partikel tersebut bervariasi. Apabila suatu partikel sedimen terlepas, maka ada kemungkinan untuk terangkut angin, air maupun akibat gravitasi. Bila partikel sedimen tersebut yang mengangkut adalah air maka disebut angkutan sedimen atau fluvial. Terdapat tiga macam jenis transportasi sedimen pada aliran sungai, yaitu bedload, suspended load, dan washload. Bed load atau muatan sedimen dasar adalah partikel-partikel kasar yang bergerak sepanjang dasar sungai secara keseluruhan. Adanya muatan sedimen dasar ditunjukan oleh gerakan partikel-partikel dasar sungai, gerakan itu dapat bergeser, menggelinding, atau meloncat-loncat, akan tetapi tidak pernah lepas dari dasar sungai. Suspended load atau muatan sedimen melayang dapat dipandang sebagia material dasar sungai (bed material) yang melayang dalam aliran sungai dan terdiri terutama dari butiran-butiran pasir halus yang senantiasa didukung oleh air dan hanya sedikit sekali interaksinya dengan dasar sungai, karena selalu didorong keatas oleh turbulensi aliran.
II-13
BAB II STUDI PUSTAKA
Wash load atau muatan sedimen bilas adalah angkutan partikel-partikel halus berupa lempung (silt), dan debu (dust) yang terbawa oleh aliran sungai. Partikel-partikel ini akan terbawa aliran sungai sampai ke laut, atau juga terendap pada aliran tenang atau air yang tergenang. Sumber utama dari muatan ini adalah hasil pelapukan lapisan atas batuan atau tanah daerah pengaliran sungai, hasil pelapukan ini akan terbawa oleh aliran permukaan atau angin ke dalam sungai atau alur-alur kecil di dalam daerah pengaliran sungai tersebut.
2.3.1 Perhitungan Transportasi Sedimen Dasar Pada sumber referensi, banyak metode yang bisa dipakai untuk menghitung besarnya kuantitas bedload ini. Terdapat berbagai macam metode dengan pendekatan yang berbeda, seperti shear stress, energy slope, discharge, velocity, bed form, probabilistic, stochastic, regression, dan equal mobility approach. Salah satunya adalah formulasi yang dikemukakan Einstein dengan pendekatan secara probabilistic (probabilistic approach). Einstein (1942, 1950), memiliki standar dasar yang mematahkan konsep-konsep yang pernah dipakai sebelumnya, yaitu: Kriter ia kritis untuk gerakan permulaan (awal) saat partikel sedimen mulai bergerak dihindarkan karena sangat sulit untuk didefinisikan. Penga 2. ngkutan bed-load Transpor berhubungan dengan fluktuasi aliran turbulent daripada nilai rata-rata gaya desakan oleh arus pada partikel sedimen yang selama ini digunakan pada konsep-konsep terdahulu.
1.
Konsekuensinya, permulaan dan berhentinya pergerakan sedimen dituangkan dalam bentuk probablilitas. Berdasarkan penelitian, Einstein menemukan: Ada pertukaran yang tetap dan terus menerus antara partikel bed material dan bed-load. Pergerakan dari bed-load adalah dalam rangkaian 3. langkah-langkah. Rata-rata panjang langkah sekitar 100 kali dari diameter partikel. Nilai pengendapan per unit daerah bed tergantung pada 4. nilai transpor daerah sebelumnya dan sama saja dengan kemungkinan yang menyebabkan gaya hidrodinamik yang membuat partikel mengendap. Harga dari erosi tergantung pada jumlah dan sifat-sifat partikel dalam unit area dan juga kemungkinan gaya angkat hidrodinamis yang seketika pada partikel cukup besar untuk menggerakkannya. Untuk kondisi bed yang stabil, harga pengendapan harus sama dengan harga erosi. 1.
Banyak dari partikel dengan ukuran d yang terendapkan per unit bed area dan unit waktu adalah (2.43)
II-14
BAB II STUDI PUSTAKA
Dimana qbw = bed-load yang dilepaskan dalam berat per unit lebar saluran, iBW = persentasi dari bed-load dalam berat pada ukuran d, ALD = rata-rata panjang langkah, dan γsA2d3 = berat dari partikel sedimen Jumlah dari partikel yang tererosi per unit waktu dan unit bed area adalah (2.44) Dimana ibw = banyak dari partikel yang tersedia dalam dasar, A1d2 = unit bed-area p = kemungkinan dari partikel yang diberikan untuk tererosi, dan t1 = waktu dari pertukaran antara bed dan bed-load t1 = bisa juga dituliskan sebagai (2.45) Dimana ρ = berat jenis air, γs dan γ = masing –masing berat spesifik dari sedimen dan air, dan A3 = koefisien Kemungkinan dari sebuah partikel tererosi selama unit waktu adalah (2.46) Persamaan (2.46) menjadi (2.47) Pada kondisi seimbang, Ne = Nd, dari persamaan (2.43) dan (2.47), (2.48)
Einstein mendefinisikan fungsi perpindahan sebagai (2.49)
II-15
BAB II STUDI PUSTAKA
Apabila p kecil, pengendapan dapat terjadi dimana saja, dan AL=λ=100. Apabila p tidak kecil, pengendapat tidak dapat terjadi pada bagian dasar yang gaya angkatnya lebih besar dari berat partikel yang terendam. Jadi partikel 1 – p terendapkam setelah menempuh jarak λd. Partikel p(1-p) terendapkan setelah bergerak 2λd, walaupun partikel p2 belum terendapkan. Waktu tempuh rata-rata adalah
(2.50)
Substitusi persamaan (2.50) pada persamaan (2.48) (2.51) Berat terendam dari partikel sedimen adalah
(2.52) Gaya angkat adalah (2.53) Dimana u = kecepatan local, dan CL = koefisien angkat(= 0.178 dari percobaan). Distribusi kecepatan adalah (2.54)
Dimana = kecepatan geser tergantung pada kekasaran butiran = R’ = jari-jari hidraulik bed berhubungan dengan kekasaran butiran ∆ = ks/x = kekasaran nyata dari permukaan bed ks = d65, dan x = factor koreksi, daidapat dari grafik Gambar (2.4) dengan
II-16
,
BAB II STUDI PUSTAKA
Dari percobaan, y = 0.35X
(2.55)
Dimana X = karakteristik ukuran butiran dari campuran. Persamaan (2.54) menjadi (2.56) Persamaan (2.53) menjadi (2.57) Dimana η = parameter yang menggambarkan fluktuasi dari kecepatan dengan respek terhadap waktu Nilai p bisa juga diinterprestasikan sebagai kemungkinan dimana W’/L lebih kecil dari 1. Dari persamaan (2.52) dan (2.53)
(2.58) Dimana (2.59) (2.60) (2.61) Nilai η pada pers. (2.58) bisa bertanda positif atau negatif , tapi gaya angkat selalu positif. Pers. (2.58) dapat juga ditulis sebagai (2.62) Einstein (1950) mengusulkan dua factor koreksi, dan menulis pers. (2.62) sebagai (2.63) Dimana II-17
BAB II STUDI PUSTAKA
ξ = factor koreksi sembunyi Y = factor koreksi angkat B’ = B/β2, dan Β = log 10.6 Faktor koreksi ξ dan Y bisa dicari masing-masing dari Gambar 2.5(a) dan (b). Untuk material yang seragam , ξ = Y =1. Pada Gambar 2.5(a), (2.64)
Jika η bervariasi berdasarkan hokum kesalahan normal maka (2.65) Dimana η0 = standar deviasi, dan η* = standar distribusi normal dengan mean dan standar deviasi masing-masing sama dengan nol dan satu
Gambar 2.4 Faktor koreksi pada distribusi kecepatan logaritmik
II-18
BAB II STUDI PUSTAKA
Gambar 2.5 Faktor koreksi pada fungsi bed-load Einstein: (a) factor koreksi sembunyi; (b) faktor koreksi angkat (Einstein, 1950). Kemungkinan satu butiran dapat terangkat adalah (2.66) Dimana a = -B*ψ*-1/η0, b = B*ψ*-1/η0, dan , Dari Pers. (2.51) dan (2.66), (2.67) Dimana A* = 43.5, B* = 0.143, dan η0 = 0.5 berdasarkan dari data percobaan Hubungan antara
dan
ditunjukan pada Gambar 2.6
II-19
BAB II STUDI PUSTAKA
Gambar 2.6 Hubungan antara
dan
untuk fungsi bed-load Einstein (1950).
2.3.2 Perhitungan Transportasi Sedimen Layang 2.3.2.1 Pertimbangan Umum Nilai dari perpindahan suspended load dapat didefinisikan secara matematis sebagai
(2.68.a) (2.68.b) Dimana qsv dan qsw = masing-masing pengangkutan sedimen laying dalam bentuk volume dan berat. = masing-masing kecepatan pada waktu rata-rata, dan volume konsentrasi sedimen pada jarak y diatas dasar sungai. a = ketebalan pengangkutan sedimen dasar D = kedalaman air, dan γs = berat spesifik dari sedimen Sebelum Pers. (2.68) diintegrasikan,
harus dituliskan sebagai fungsi dari y.
2.3.2.2 Teori Pertukaran Pada Kondisi Setimbang 1. Persamaan Rouse
II-20
BAB II STUDI PUSTAKA
Pada kondisi kesetimbangan yang tetap, gerakan kebawah dari sedimen yang disebabkan kecepatan jatuh harus diimbangi oleh gerakan keatas sedimen yang disebabkan oleh fluktuasi turbulensi (2.69) Dimana εs = koefisien penyebaran momentum untuk sedimen, merupakan fungsi dari y. ω = kecepatan jatuh dari partikel sedimen, dan C = konsentrasi sedimen Untuk aliran turbulen, tegangan geser turbulen dapat ditulis sebagai (2.70) Dimana εm = kekentalan olakan kinematis dari fluida atau koefisien difusi momentum untuk fluida ρ = berat jenis fluida Dengan diasumsikan bahwa (2.71) Dimana β = faktor kesepadanan Untuk sedimen yang baik dalam suspense, dapat diasumsikan β = 1 tanpa mengakibatkan kesalahan yang besar. Pers (2.69) dapat juga ditulis sebagai (2.72) Hasil dari integrasi Pers (2.72) (2.73) Dimana C dan Ca = masing-masing konsentrasi sedimen dalam berat pada jarak y dan a diatas lapisan dasar Tegangan geser pada jarak y diatas dasar adalah (2.74) Dimana
II-21
BAB II STUDI PUSTAKA
τ dan τy = masing-masing adalah tegangan geser pada bawah saluran, dan pada jarak y dari dasar S = kemiringan saluran Asumsi bahwa distribusi kecepatan Prandtl-von Kármán adalah valid, i.e., (2.75) Dimana u = kecepatan local pada jarak y diatas dasar U* = kecepatan geser, dan k = konstanta universal Prandtl-von Kármán ( = 0.4 pada air jernih). Dari Pers (2.70), (2.74), dan (2.75), (2.76) (2.77) Persamaan (2.76) menandakan bahwa εm = 0 pada y = 0, dan y = D. Harga maksimal dari εm terjadi pada saat . Hasil eksperimen pada variasi dari εm dan εs terdapat pada Gambar (2.7).
Gambar 2.7 Nilai eksperimen dari koefisien difusi momentum dari sedimen dan fluida.
Pada substitusi Pers (2.77) pada (2.72) dan integrasi dari a ke y menghasilkan
II-22
BAB II STUDI PUSTAKA
(2.78) Dengan memisalkan
dan mengasumsikan bahwa
, persamaan (2.78)
menjadi
(2.79) Persamaan (2.79) dikenal sebagai Persamaan Rouse (1937)
Gambar 2.8 Distribusi dari sedimen layang: perbandingan data eksperimental dengan Persamaan Rouse (Vanoni, 1946) 2. Efek dari Sedimen Layang pada distribusi Z, k, dan kecepatan. Diasumsikan pada penurunan Pers (2.79) bahwa β=1. Hasil yang ditunjukan pada Gambar (2.24) menunjukan bahwa untuk partikel yang baik, dan .
Tetapi, untuk partikel yang kasar
, dan β < 1. Dengan demikian, Pers (2.79) harus
dimodifikasi untuk lebih banyak kasus yang lebih umum, i.e., (2.80)
II-23
BAB II STUDI PUSTAKA
Dimana Z1 = Z/β. Chien (1954) mempelajari hubungan antara Z dan Z1, dan hasilnya ada pada Gambar (2.9). Hasil hubungan antara Z dan Z1, yang terlihat pada Gambar (2.9), adalah (2.81) Dimana
Kurva terbaik pada Gambar (2.12) adalah untuk Rk = 0.3. Aliran pada saluran terbuka tanpa adanya sedimen, nilai konstanta universal von Kármán adalah 0.4. Dengan adanya sedimen, k umumnya berkurang seiring dengan bertambahnya sedimen layang. Nilai k bisa dicari dari distribusi kecepatan semilogarithmic dengan , dimana J adalah kemiringan dari profil kecepatan semilogarithmic . Einstein dan Chien (1954) menjelaskan bahwa pengurangan ini dengan mempertimbangkan rata-rata energy friksional yang dikeluarkan untuk mendukung sedimen layang per unit dari berat fluida dan per unit waktu adalah:
Dimana = konsentrasi rata-rata menurut berat pada ukuran butiran yang ada ω = kecepatan jatuh dari sedimen V = rata-rata kecepatan jatuh, S = kemiringan energi, dan ρs dan ρ = masing-masing berat jenis dari sedimen dan air. Gambar (2.10) menunjukan efek dari sedimen layang terhadap nilai k. Efek dari perubahan k pada distribusi kecepatan vertikalditunjukan pada gambar (2.11). Ringkasan dari efek sedimen layang pada nilai k dan pada distribusi kecepatan diberikan oleh Graf (1971).
II-24
BAB II STUDI PUSTAKA
Gambar 2.9 Hubungan antara Z dan Z1 (Chien, 1954)
Gambar 2.10 Efek dari sedimen layang terhadap nilai k (Einstein dan Chien, 1954)
Gambar 2.11 Profil kecepatan untuk aliran air murni dan yang memuat sedimen
II-25
BAB II STUDI PUSTAKA
2.3.2.3 Formulasi Sedimen Layang 1. Pendekatan Lane dan Kalinske Lane dan Kalinske (1941) mengasumsikan bahwa εs = εm dan β = 1, dan Pers (2.77) menjadi (2.82) Nilai rata-rata dari εs sepanjang vertikal adalah (2.83) Untk k = 0.4, (2.84) Memasukan Pers (2.84) pada Pers (2.75) menghasilkan (2.85) Dimana C dan Ca = masing-masing konsentrasi sedimen pada jarak y dan a diatas dasar ω = kecepatan jatuh yang sesusai dengan d50. Persamaan (2.85) dapat diintegrasikan diantara kedalaman aliran untuk memperoleh ratarata konsentrasi sedimen, dengan ketentuan konsentrasi pada y = a diketahui. PL didefinisikan sebagai (2.86) Dimana
= rata-rata konsentrasi sedimen terintegrasi pada kedalaman. Dan berat
sedimen layang dapat dihitung sebagai (2.87) Hubungan antara PL dan kecepatan jatuh relatif
pada unit Imperial (Inggris)
ditunjukan oleh Gambar (2.12). Pada Pers (2.87), Ca adalah konsentrasi dalam berat kering. Ketika konsentrasi dituliskan dalam persentase, nilainya harus dikalikan dengan berat jenis air (62.4 lb/ft3)untuk mengubah penulisan konsentrasi dalam berat kering.
II-26
BAB II STUDI PUSTAKA
Gambar 2.12Hubungan antara PL dan ω/U*
2. Pendekatan Einstein Einstein (1950) mengasumsikan β = 1 dan k = 0.4. Mengganti U* dengan
, yang
merupakan kecepatan geser sesuai dengan kekasaran butiran, lalu memberikan (2.88) Kecepatan dapat dituliskan sebagai (2.89) Substitusi Pers (2.79) dan (2.89) pada Pers (2.68a) dan menuliskan Ca dalam bentuk konsentrasi dalam berat menghasilkan (2.90)
Dimana
, dimana x adalah faktor koreksi yang ditunjukan pada
Gambar (2.13)
II-27
BAB II STUDI PUSTAKA
Gambar 2.13 Faktor koreksi dalam distribusi kecepatan logarithmic
Dengan mengganti a dengan E = a/D dan y dengan y’ = y/D,
(2.91) Karena tidak mungkin untuk mengintegrasikan Pers (2.91) secara analitis, Einstein (1950) menuliskannya kembali sebagai (2.92) dan integrasi secara numerik bentuk I1 dan I2 untuk nilai E dan Z yang berbeda, dimana
(2.93) Nilai I1 dan I2 dalam bentuk hubungan A terhadap Z bisa dicari masing-masing dari Gambar 2.14 dan Gambar 2.15.
II-28
BAB II STUDI PUSTAKA
Gambar 2.14 Fungsi I1 pada hubungan A dengan nilai Z yang berlainan (Einstein, 1950)
II-29
BAB II STUDI PUSTAKA
Gambar 2.15 Fungsi I2 pada hubungan A dengan nilai Z yang berlainan (Einstein, 1950)
Einstein (1950) mengasumsikan bahwa a=2d dimana d adalahukuran butiran dari materil dasar yang mewakili, dan konsentrasi pada saat y=a adalah (2.94) Dimana
II-30
BAB II STUDI PUSTAKA
iBWqbw = kecepatan transport sedimen dasar menurut berat dari ukuran iBW, UB = kecepatan rata-rata sedimen dasar, yang diasumsikan oleh Einstein yang proporsional dengan , dan A5 = faktor koreksi ( = 1/11.6). Dengan asumsi ini Pers (2.94) menjadi (2.95) Persamaan untuk pelepasan sedimen layang untuk setiap fraksi iswqsw bisa diturunkan dari Pers (2.92) dan (2.95).
(2.96a) Atau (2.96b) Dimana (2.97) Dimana Ca= konsentrasi menurut berat kering pada saat y = a. Persamaan (2.96a) berhubungan dengan transportasi sedimen dasar ke transportasi sedimen layang untuk semua ukuran fraksi dimana fungsi sedimen dasar ada. Persamaan (2.97) berdimensi seragam, dan bisa dipecahkan menggunakan semua sistem yang konsisten pada unit. Unit qsw adalah berat per satuan waktu dan lebar.
3. Pendekatan Brooks Brooks (1963) mengasumsikan bahwa distribusi kecepatan logaritmik bisa dipakai, dan konsentrasi sedimen vertikal mengikuti Pers (2.80), memberi hubungan yang seragam seperti pada yang dikemukakan Einstein (1950): (2.98) Dimana q = pengeluaran air per satuan lebar dan Cmd = referensi konsentrasi sedimen pada
II-31
BAB II STUDI PUSTAKA
Persamaan (2.98) dapat juga dikemukakan dalam bentuk fungsi perpindahan TB: (2.99) Dengan mengambil batas rendah integrasi pada u = 0, dan (2.100) Pers. (2.99) tereduksi menjadi (2.101) Dimana qsw = berat sedimen per satuan waktu dan lebar. Aplikasi dari hubungan ini tergambar pada Gambar (2.16)
Gambar 2.16 Fungsi transportasi sedimen layang Brooks (Brooks, 1963)
4. Pendekatan Chang, Simons, dan Richardson Chang, simons, dan Richardson (1965) mengasumsikan bahwa persamaan (2.82) adalah valid dan menuliskannya sebagai (2.102) Dimana ξ = y/D dan U* = (gDS)1/2 Mensubstitusikan persamaan (2.102) ke persamaan (2.73) menghasilkan (2.103)
II-32
BAB II STUDI PUSTAKA
Dengan
Penulisan dari sedimen layang menjadi
=
(2.104a)
Dimana I1 dan I2 = integral yang bisa dicari dari Gambar (2.17) dan Gambar (2.18)
Gambar 2.17 Fungsi I1 dalam hubungan ketebalan kontak relatif material dasar ξa untuk bermacam-macam nilai dari exponen Z2 (Chang et al., 1965).
II-33
BAB II STUDI PUSTAKA
Gambar 2.18 Fungsi I2 dalam hubungan ketebalan kontak relatif material dasar ξa untuk bermacam-macam nilai dari exponen Z2. Nilai perpindahan qsw pada Pers (2.104a) bisa diukur dalam berat per satuan volume dari campuran air dan sedimen. Apabila qsw dituliskan dalam berat per detik per satuan lebar saluran dan Ca adalah konsentrasi dalam berat, lalu (2.104b) Seragam dengan pendekatan Einstein, Pers (2.104a) dapat diringkas menjadi (2.105) Dengan mengasumsikan bahwa kecepatan dari sedimen dasar ub = 0.8V, dimana (2.106) dan ketebalan dari lapisan dasar berdasarkan asumsi DuBoys’ (1879) (2.107) Dimana τ dan τc = masing-masing tegangan geser pada dasar dan tegangan geser kritis j = konstanta experimental (=10), λ = porositas material dasar, dan = sudut ketenangan dari material dasar yang menyelam Muatan layang disamping merupakan muatan yang berasal dari aliran setempat juga mengangkut muatan ukuran kecil yang terbawa dalam suspensi dari daerah pengaliran sungai yang disebut sebagai muatan cuci (wash load).
2.4 Metoda Pengolahan Tailing 2.4.1 Dasar-dasar Pengelolaan Tailing Diantara limbah yang dihasilkan suatu operasi penambangan, limbah tambang (termasuk tailing) merupakan masalah utama yang memerlukan perhatian khusus, baik karena volumenya yang amat besar dibanding konsentrat yang dihasilkan, maupun karena mempunyai potensi dampak langsung atau tidak langsung terhadap lingkungan. Ditinjau dari kandungan kimiawi serta kondisi fisis, pada umumnya limbah tambang tidak memenuhi ketentuan baku mutu yang dipersyaratkan untuk keamanan lingkungan.
II-34
BAB II STUDI PUSTAKA
Prinsip pengelolaan limbah tambang (tailing) adalah menempatkan (membuang tailing) yang merupakan limbah hasil penambangan, pada suatu lokasi yang ditetapkan dengan cara-cara tertentu agar tidak membahayakan lingkungan sekitarnya. Secara ringkas, proses penambangan mulai dari bentuk bijih dalam bentuk batuan keras (hard rock ore), melalui tahapan: • • • •
Pemecahan (crushing) Penggilingan (mill) Pengambilan/ pemisahan (separation) Pemekatan
Material yang tersisa pada proses akhir (tail) tinggal berupa bubur atau slari tailing (tailings slurry)
2.4.2 Beberapa Metoda Pembuangan Tailing Pembuangan tailing yang berbentuk slari dapat dilakukan dengan beberapa metoda, antara lain sebagai berikut: a. Surface Impoundments a.1 Water Retention Type Dams a.2 Raised Embankments • Upstream method • Downstream method • Centerline method b. Underground disposal b.1 Underground Mine Backfiling b.2 Mine Pit Disposal c. Metoda Pembuangan lainnya c.1 Thickened Discharge Method c.2 “Dry” disposal c.3 Offshore disposal : dibuang kelaut dalam (deep sea tailings placement-DSPT) Cara-cara yang dimaksud pada butir a,b, dan c dapat diperiksa pada berikut:
Gambar 2.19 Water retention type dam for tailing storage
II-35
BAB II STUDI PUSTAKA
Gambar 2.20 Metoda Pembuangan – Raised Embankment, peninggian bendungan kearah hulu (upstream embankments)
Gambar 2.21 Metoda Pembuangan – Raised Embankment, peninggian bendungan terpusat (centerline embankments)
Gambar 2.22 Metoda Pembuangan – Raised Embankment,, peninggian bendungan kearah hilir (downstream embankment)
II-36
BAB II STUDI PUSTAKA
Gambar 2.23 Metoda Pembuangan – Raised Embankment,, perbandingan volume timbunan dengan berbagai metoda
Gambar 2.24 Sket Metoda Pembuangan Tailing-Thickened Discharge Disposal
Gambar 2.25 Sket Metoda PembuanganTailing-Offshore Disposal II-37
BAB II STUDI PUSTAKA
2.4.3 Beberapa Pendapat Tentang Pengelolaan Tailing. •
Di Australia Barat, yang dimaksud “tailing storage facilities” (TSF meliputi seluruh jenis system penapungan tailing. Tercatat sebanyak 360 TSF, sebagian besar (75 %) menggunakan bendungan tailing, “side hill & cross valley dam (7-8 %), in-pit storage (10 %) dan sisanya berupa jenis lain yang tidak termasuk dalam klasifikasi TSF.
•
Pembuangan tailing dengan metoda offshore disposal, dinilai sebagai suatu konsep yang semata-mata hanya membuang tailing begitu saja ke badan air. Metoda pembuangan ini dipergunakan hanya karena komposisi kimiawi yang dihasilkan dari pabrik relative tidak membahayakan, butiran tailing relative kasar, atau mudah menggumpal (flocculated), cepat mengendap tanpa menyebabkan kekeruhan berlebihan.
Metoda offshore disposal direkomendasikan untuk digunakann sebagai pilihan terakhir apabila penggunaan metoda lain tidak memungkinkan (Steven G. Vick – “Planning, Design and Analisys of Tailings Dam, 1983).
2.5 Bangunan Penahan Sedimen Bangunan penahan sedimen adalah bangunan sungai yang dirancang seperti bendung tetap sehingga dapat berfungsi menampung dan / atau menahan sedimen untuk jangka waktu sementara atau tetap, dan harus tetap dapat melewatkan aliran air baik melalui mercu maupun tubuh bangunan. Bangunan tersebut memiliki fungsi sebagai berikut: a. Mengendalikan laju angkutan sedimen. b. Mengendalikan stabilitas morfologi sungai. c. Dapat memperkecil kemiringan dasar sungai dihulu. d. Dapat mengarahkan aliran dihilir. e. Dapat menampung sediment secara tetap dan sementara. f. Bila dimanfaatkan untuk kepentingan lain, tidak akan mengganggu fungsi utamanya. Salah satu jenis konstruksi bangunan penahan sedimen adalah bronjong kawat diisi batu, yang mempunyai keuntungan lebih stabil terhadap gerusan air dibanding material urugan tanah (earthfill) dan cukup fleksibel terhadap kemungkinan terjadinya perubahan dasar fondasi, serta relative mudah untuk memperbesar dimensinya secara bertahap. Bronjong ini dilengkapi dengan penggunaan filter (jenis ukuran ditetapkan kemudian), akan menjadi konstruksi bersifat permeabel (meluluskan air), tanpa dengan mudah meloloskan tailing.
2.5.1 Analisis Hidraulika 2.5.1.1 Perhitungan Tinggi Muka Air Rencana
II-38
BAB II STUDI PUSTAKA
Tinggi muka air rencana diperoleh dengan pendekatan Rumus Manning;
V =
1 2 3 12 xR xS n
(2.108)
dimana: V n R S
= kecepatan aliran (m/detik) = koefisien Manning berdasarkan rencana dasar saluran = jari-jari hidraulik (A/P) = kemiringan lahan = kemiringan saluran (%)
2.5.1.2 Perhitungan Tinggi Muka Air di Atas Pelimpah Untuk menghitung tinggi muka air di atas pelimpah digunakan rumus: Q = 1,8×B×H3/2 Dimana: Q B H
(2.109)
= debit (m3/detik) = lebar pelimpah (m) = tinggi air di atas pelimpah (m)
2.5.1.3 Perhitungan Tinggi Muka Air di Hilir Pelimpah Dengan menggunakan tinggi muka air di atas pelimpah pada penghitungan sebelumnya dapat diperoleh parameter tinggi terjunan. Selanjutnya dengan diketahuinya tinggi ambang, maka dapat diplot kecepatan aliran sebelum terjadi loncatan. Dengan menggunakan rumus penghitungan debit: Q = V×A Dimana: Q V A
= debit aliran (m3/detik) = kecepatan aliran (m/detik) = luas penampang basah (m2)
Dan rumus bilangan Froude yang digunakan untuk menentukan tipe kolam olak:
Fr = Dimana: Fr v g y
v g. y = bilangan Froude = kecepatan aliran (m/detik) = konstanta gravitasi = 10 m/detik2 = tinggi muka air (m)
II-39
BAB II STUDI PUSTAKA
Tinggi muka air sesudah air loncat dapat dicari dengan rumus:
y2 = Dimana: y1 y2 Fr1
1 2 ( 1 + 8 Fr1 − 1) y1 2 = tinggi air sebelum air loncat (m) = tinggi air sesudah air loncat (m) = bilangan Froude aliran sebelum air loncat
Untuk menghitung kecepatan aliran sebelum terjadi loncatan, dapat digunakan pendekatan dengan grafik di bawah ini:
Gambar 2.26 Lengkung-lengkung untuk Menentukan Kecepatan Aliran di Kaki
Pelimpah
2.5.2 Analisis Stabilitas Perhitungan stabilitas dilakukan untuk dua jenis bangunan yang menjadi bagian dari bangunan penahan sedimen, yaitu weir yang merupakan bagian yang melimpaskan air, dan bagian wing levee yang merupakan bagian yang tidak melimpaskan air.
II-40
BAB II STUDI PUSTAKA
2.5.2.1 Bagian Weir Bagian weir merupakan bagian yang melimpaskan air, perhitungan stabilitas ditinjau dari stabilitas terhadap guling, stabilitas terhadap, geser, dan stabilitas terhadap daya dukung tanah.
Gambar 2.27 Distribusi gaya-gaya yang bekerja pada konstruksi ambang bronjong. Stabilitas konstruksi ditinjau terhadap: a. Gaya berat sendiri. Merupakan berat dari bangunan tersebut. b. Gaya gempa. Gaya gempa berupa gaya static horisontal pada titik tangkap gaya berat sendiri dihitung berdasarkan rumus-rumus sebagai berikut:
R N = 1 − (1 − R A ) T=
N
1 RA
(2.117) (2.118)
a g = z ⋅ ac
(2.119)
a d = b1 (a g ) 2
(2.120)
ad g
(2.121)
b
Kh =
F = Kh ⋅ B Dimana: F = gaya gempa horisontal dalam ton. B = gaya berat sendiri konstruksi dalam ton. Kh = koefisien seismic. ad = percepatan gempa rencana dalam cm/detik2. g = gravitasi dalam cm/detik2. b1, b2 = konstanta tergantung jenis tanah setempat. ag = percepatan gempa maksimum di permukaan dalam cm/detik2. II-41
(2.122)
BAB II STUDI PUSTAKA
z = koefisien zona. ac = percepatan gempa dasar dalam cm/detik2. T = periode ulang rata-rata dalam tahun. RA = resiko tahunan. N = masa guna bangunan dalam tahun. RN = resiko gempa.
c. Gaya tekanan air. Gaya tekanan air adalah sebagai berikut:
Pa = 0.50 × γ a × ha × ha ton
(2.123)
Dimana: γa = berat jenis air. ha = kedalaman air = tinggi konstruksi + tinggi muka air diatas pelimpah.
d. Gaya tekanan tanah. Gaya tekanan tanah pada setiap tahap sebagai berikut:
Pt = 0.5 × γ t × ht × ht × K a ton
(2.124)
Dimana : γt = berat jenis tanah. ht = kedalaman tanah = tinggi konstruksi. Ka = koefisien tekanan tanah aktif. e. Gaya berat air Berat air yang dimaksud adalah air yang terletak diatas hulu konstruksi. f. Gaya berat tanah Berat tanah (sediment) yang dimaksud adalah tanah (sedimen) yang terletak diatas hulu konstruksi. g. Tekanan air keatas.
II-42
BAB II STUDI PUSTAKA
Gambar 2.28 Tekanan air pada dasar fondasi. a-b-c-d-e-f-g-h-i-j-k merupakan bidang kontak konstruksi dengan tanah. Menurut teori angka rembesan Lane dianggap bidang kontak vertikal mempunyai daya tahan terhadap aliran (rembesan) 3 kali lipat lebih kuat daripada bidang kontak horisontal. Dengan anggapan tersebut maka dapat diperoleh tekanan keatas pada dasar konstruksi sesuai panjang relatif di sepanjang dasar konstruksi.
Lx = ∑ (l v + l h 3)
(2.125)
Dimana: lv = panjang bidang kontak vertikal lh = panjang bidang kontak horisontal Lx = jarak relatif cara Lane di sepanjang bidang kontak kosntruksi daru hulu sampai pada titik x. Tekanan air keatas pada jarak x meter dari hulu (a) disepanjang dasar konstruksi dapat dirumuskan sebagai berikut:
Ux = Hx −
Lx ⋅ ∆H L
(2.126)
Dimana: Ux = tekanan air keatas pada titik x. Hx = tinggi energi pada titik x. Lx = jarak relatif cara Lane di sepanjang bidang kontak konstruksi dari hulu sampai pada titik x. L = panjang total relatif cara Lane dari bidang kontak konstruksi dengan tanah. ∆H = beda elevasi muka air antara hulu dan hilir konstruksi.
II-43
BAB II STUDI PUSTAKA
Untuk memastikan kestabilan bangunan ada beberapa langkah yang diperlukan, yaitu: 1. Stabilitas terhadap guling, Faktor keamanan =
∑M ∑M
y
, apabila > 1.5, maka konstruksi aman terhadap guling.
x
2. Stabilitas terhadap geser. Faktor keamanan =
f ∑ Gayavertikal
∑ Gayahorisontal
f = koefisien geseran timbunan pasir kerikil dan beronjong. 3. Stabilitas terhadap daya dukung fondasi. Daya dukung tanah dihitung menggunakan persamaan Terzaghi sebagai berikut:
q u = cN c + γzN q + 0.5γDN γ
qi =
qu F
(2.127) (2.128)
Dimana : qu = daya dukung ultimate bruto dalam t/m2. C = kohesi tanah dalam t/m2. Nc = factor daya dukung kohesi. γ = berat jenis tanah dalam t/m3. z = kedalaman permukaan tanah sampai dasar fondasi dalam m. Nq = faktor daya dukung beban tambahan. D = lebar fondasi dalam m. Nγ = faktor daya dukung berat jenis tanah. qi = daya dukung yang diizinkan. F = faktor keamanan.
II-44
BAB II STUDI PUSTAKA
Gambar 2.29 Tekanan tanah dasar (tinjauan daya dukung fondasi) Tekanan tanah normal maksimum:
σ1 =
B ⎛ 6e ⎞ ⎜1 + ⎟ D⎝ D⎠
(2.129)
B ⎛ 6e ⎞ ⎜1 − ⎟ D⎝ D⎠
(2.130)
Tekanan tanah normal minimum:
σ1 = Dimana:
D = Lebar dasar konstruksi (m). X = Jarak ujung hilir dasar konstruksi sampai titik tangkap resultan gaya (m). e = jarak eksentrisitas resultan gaya (m) Dengan:
X =
Momentotal (My − Mx ) = Gayavertikal B
Syarat resultante didalam kern :
D 2D 〈X 〈 3 3 e=
D −X 2
II-45
(2.131)
BAB II STUDI PUSTAKA
2.5.2.2 Bagian Wing Levee Bagian wing levee merupakan bagian yang tidak melimpaskan air, terbuat dari urugan tanah, stabilitas ditinjau dari stabilitas lereng. 1. Rencana Teknis Tubuh Wing leeve a. Tinggi Jagaan Bendungan sangat peka terhadap limpasan. Dan limpasan yang terjadi di atas mercu bendungan akan dapat mengakibatkan jebolnya suatu bendungan urugan. Oleh karena itulah diperlukan suatu tinggi jagaan yang merupakan jarak vertikal antar elevasi muka air tertinggi dengan puncak tubuh embung. Menurut buku “Bendungan tipe urugan”, tinggi jagaan dapat dihitung berdasarkan rumus : Hf = hw + he/2 + ha + hi Dimana: hw = tinggi ombak yang disebabkan tiupan angin he = tinggi ombak akibat gempa ha = tinggi kemungkinan kenaikan permukaan air waduk, apabila terjadi kemacetankemacetan pada pada pintu bangunan pelimpah hi = tinggi tambahan yang didasarkan pada tingkat urgensi waduk.
Rumus empiris untuk menghitung tinggi ombak yang disebabkan oleh gempa, Seiichi Sato mengembangkan rumus sebagai berikut:
he =
e.τ
π
g .Ho
Dimana: e = seismisitas horizontal τ = siklus seismis (biasanya sekitar 1 detik) Ho = Kedalaman air di dalam waduk Tinggi ombak yang disebabkan karena ketidak normalan bukaan pintu bangunan pelimpah dapat dianggap sama dengan 0 (nol) karena bendungan ini tidak menggunakan pintu pada bangunan pelimpah.
Angka tambahan tinggi jagaan didasarkan pada tipe bendungan, umumnya sebesar 1 m.
b. Lebar Mercu Lebar mercu bendungan yang memadai diperlukan agar puncak bendungan dapat bertahan terhadap hempasan ombak di atas permukaan lereng yang berdekatan dengan mercu tersebut dapat bertahan terhadap aliran filtrasi yang melalui tubuh embung yang II-46
BAB II STUDI PUSTAKA
bersangkutan. Guna memperoleh lebar minimum mercu bendungan, (b), biasanya dihitung dengan rumus sebagai berikut: B = 3.6 H1/3 – 3 Dimana: H = tinggi bendungan c. Analisis Rembesan
Gambar 2.30 Ilustrasi rembesan dalam tubuh embung
Langkah-langkah dalam mendapatkan nilai debit rembesan yang mengalir lewat tubuh embung per satuan panjang embung: 1. Tentukan sudut kemiringan tubuh embung di sebelah hilir, α 2. Tentukan nilai ∆, dimana ∆ = H / tan β; dimana H = tinggi muka air, β = sudut kemiringan embung sebelah hulu. 3. Tentukan nilai d, dimana d = 0,3∆ + (Lebar dasar embung - ∆) 4. Tentukan L, dengan rumus:
L=
d d2 H2 − − cos α cos 2 α sin 2 α
5. Kemudian tentukan q dengan rumus sebagai berikut:
q = kL tan(α ) sin(α ) ; k = permeabilitas tanah.
II-47
BAB II STUDI PUSTAKA
Q yang didapat adalah debit yang mengalir persatuan panjang embung. 6. Dapat juga dibuat trase garis depresi dengan koordinat sebagai berikut:
Y = 2YoX + Yo 2 Yo = H 2 + d 2 − d Trase ini dimulai pada titik ujung tumit sebelah hilir, kemudian bergerak kesebelah kiri menuju hulu.
Tabel 2.3 koefisien rembesan / filtrasi berdasarkan pembagian zone-zone timbunan dan jenis tanahnya. 102
101
10-1
10
10-2
10-3
10-4
10-5
Baik
Kondisi Drainage
Zone-zone Timbunan
10-7
Buruk
10-8
Campuran antara pasir dan kerikil bersih.
Campuran pasir yang sangat halus; lumpur dan lempung yang berlapis dan lain-lan.
Jenis Tanah
Praktis Tidak Ada Rembesan
Tanah tidak lulus air. Lempung homogen.
Tanah kedap air yang disebabkan pelapukan karena proses-proses organisme.
Sumber: Mitsuro Okuda dkk, 1981, Bendungan Tipe Urugan, hal 96.
2. Analisis Stabilitas Lereng (Slope Stability) a. Bishop Method Dalam menentukan faktor keamanan (SF) suatu lereng, metoda Bishop membandingkan antara Kapasitas dan Beban. Kapasitasnya adalah momen yang menahan longsoran, sedangkan bebannya adalah momen yang menggulingkan Kapasita SF =
Beba
Momen =
Momen
Parameter-parameter yang termasuk Kapasitas adalah : c
10-9
Zone-zone kedap air
Zone-zone lulus air
Kerikil bersih
10-6
= kuat geser tanah,
II-48
BAB II STUDI PUSTAKA
φ
= sudut geser tanah,
Wncosαn
= komponen berat tanah yang menahan longsoran.
Parameter-parameter yang termasuk Beban adalah : Wnsinαn
= komponen berat tanah yang mengakibatkan longsoran
Bila sudah diasumsikan bidang geser longsoran yang mempunyai angka keamanan terkecil (yang berpeluang besar menjadi tempat terjadinya longsoran tanah), maka luas tanah yang longsor tersebut dibagi-bagi menjadi beberapa segmen. Semakin banyak segmen yang dibuat, atau semakin kecil luas segmen yang dibuat, maka semakin teliti hasil yang akan diperoleh. Yang menguntungkan di sini adalah ketebalan tiap-tiap segmen tidak harus sama, sehingga kita bisa membuat segmen-segmen yang nantinya akan menguntungkan saat melakukan perhitungan luas, berat, pengukuran ketebalan, kemiringan dan paramater lainnya. Untuk setiap elemen tanah yang sudah dibentuk, tarik momen terhadap titik O (pusat lingkaran yang mengakibatkan bidang geser asumsi) maka akan didapat :
⎛ ⎞ Wn cos α n R × Wn sin α n = R × ⎜ C + tan φ ⎟∆L n ∆L n ⎝ ⎠
[
]
SF = ∑ C∆L n + (Wn cos α n ) tan φ / ∑ [ Wn sin α n ] ........................... (1) Langkah-langkah pekerjaannya sebagai berikut : 1) Diasumsikan suatu bidang longsor pada lereng yang akan ditinjau. Untuk lereng dengan kemiringan ≥ 530, bidang kelongsoran harus merupakan kelongsoran ujung dasar lereng. Yaitu kelongsoran yang berasal dari dasar lereng menuju permukaan atas lereng. 2) Bidang tanah yang longsor dibagi menjadi beberapa bagian/segmen yang tidak harus sama lebarnya. Semakin banyak bagian yang dibuat, semakin teliti hasil yang akan diperoleh. 3) Hitung berat segmen dan tekanan air pori pada tiap segmen. Wn
= Σ γiAI
Un
= Σ γwhI
Ai
= Luas bagian dalam satu segmen
γI
= massa jenis tanah
γw
= massa jenis air = 9.81 KN/M3
4) Tentukan nilai α : α = arctan (∆Y/∆X)
II-49
BAB II STUDI PUSTAKA
5) Masukkan dalam persamaan (1) Untuk kasus tanah non homogen, maka perhitungan yang menyangkut konstanta φ dan c berpengaruh pada jenis tanah yang terletak pada bidang geser. Misalnya pada suatu segmen, tanah yang mendominasi adalah jenis tanah no.1, tetapi pada bidang longsornya yang bekerja adalah jenis tanah no.2, maka φ dan c yang dipakai adalah φ2 dan c2. Konstanta-konstanta yang diperoleh dari percobaan laboratorium adalah : γs
= massa jenis tanah
γw
= massa jenis air = 9.81 kN/m3
φ
= sudut geser tanah
c
= faktor kohesi tanah
Besaran yang diperoleh dari pemodelan lereng (diukur pada gambar berskala) : R
= Jari-jari lingkaran bidang gelincir
∆L
= panjang bidang geser pada satu segmen
∆x
= komponen horisontal dari ∆L
∆y
= komponen vertikal dari ∆L
ti
= tebal tiap segmen (untuk keadaan tertentu sama dengan ∆x)
Besaran yang harus dihitung : Wn dan Un Contoh gambar diagram salah satu potongan tanah disajikan dalam Gambar 1.1. Cara Perhitungannya adalah sebagai berikut: SF
= Σ[C∆Ln + (Wncos αn - Un ∆Ln) tan φ] / Σ [Wn sin αn]
∆Ln
= panjang bidang geser yang terjadi saat tanah tergelincir pada satu elemen (m)
C
= faktor kohesi tanah
Wn
= berat tanah tiap elemen ......................................
(kN/m)
αn
= sudut antar bidang gelincir dengan horisontal ....
( 0)
Un
= besar tekanan air pori ........................................
(kN/m2)
φ
= sudut geser ........................................................
( 0)
II-50
BAB II STUDI PUSTAKA
O
R
a b
600
Wn h
c
Wncos αn Rn=Wn
αn ∆x
∆y ∆Ln
Wnsin αn
Gambar 2.31 Diagram potongan/irisan tanah dalam Metode Bishop.
b. Program Plaxis Dalam mempermudah perhitungan stabilitas lereng, dipakai perangkat lunak komputer untuk membantu analisa perhitungan lereng agar hasilnya lebih akurat dan lebih cepat. Dalam perhitungan kali ini digunakan program komputer ”Plaxis v8.2”, yang berdasarkan metode elemen hingga. Program komputer ini dapat mengkalkulasi semua masalah dalam geoteknik, mulai dari masalah stabilitas galian, timbunan, sampai masalah pembuatan terowongan. Masalah yang kita jumpai sekarang adalah bagaimana memperhitungkan faktor keamanan sebuah lereng terbatas yang kita tinjau dalam pembuatan tubuh embung ini. Untuk itu, dalam analisa lereng menggunakan program plaxis ini diperlukan data masukkan antara lain:
Data probabilitas gempa atas situs yang ditinjau, didapat dari zonasi gempa berdasarkan SK SNI 1726-2002
Nilai permeabilitas tanah, k
Nilai modulus elastisitas tanah, E
II-51
BAB II STUDI PUSTAKA
Nilai Poisson Ratio, υ
Nilai kohesi tanah, c
Nilai sudut geser dalam tanah, φ
Nilai berat jenis tanah, γ
Phi-c reduction Phi-c reduksi adalah sebuah pilihan yang terdapat dalam plaxis untuk menghitung nilai faktor keamanan. Pilihan ini hanya tersedia untuk perhitungan plastis dengan menggunakan “Manual Control” atau “Load advancement number of steps procedure”. Dalam perhitungan phi-c reduksi, nilai c yang kita masukkan pada program akan dikurangi atau direduksi sampai nilai tertentu sampai pada saat tubuh embung mengalami keruntuhan. Kemudian untuk menghitung nilai faktor keamanan program plaxis menggunakan metode sebagai berikut:
∑ Msf
=
cinput tan φ input = tan φ reduced creduced
Untuk langkah-langkah pengerjaan dengan program plaxis, dapat dilihat pada bagian berikut ini. Untuk perhitungan stabilitas lereng diperlukan 2 kondisi, yaitu pada saat kondisi air penuh, dan pada saat kondisi air kosong secara tiba-tiba. Berikut ini adalah hasil ”run” program plaxis v8.2.
1. Tentukan General Setting, lengkapi data kegempaan yang mengacu pada peraturan SNI 1726-2002 2. Buatlah permodelan geometrik yang paling mendekati dengan kondisi nyata di lapangan. 3. Tentukan parameter-parameter tanah seperti nilai φ (sudut geser dalam tanah), c (kohesi tanah), dan lainnya 4. Buat mesh yang melingkupi seluruh tubuh penampang melintang embung dengan mengklik tombol ”Generate mesh”, kemudian klik ”update” 5. Tentukan kondisi awal muka air dengan mengklik ”initial condition”, kemudian klik ”update”
II-52
BAB II STUDI PUSTAKA
6. Kemudian klik ”calculation.”, maka program plaxis calculations akan terbuka. Isi tipe kalkulasi dengan plastic, load adv number of steps, dan loading input phi-c reduction. Run program, maka didapat angka keamanan lereng.
II-53