Bab II Studi Pustaka
II.1
Umum
Berikut ini akan disampaikan teori-teori yang berkaitan dengan perencanaan, di antaranya tentang definisi dan metode perencanaan, konteks transportasi dan otonomi daerah, dan metode pengambilan keputusan. Uraian berikutnya tentang pemodelan transportasi, kinerja jalan, program penanganan jaringan jalan dan hubungan transportasi dan tata ruang.
II.1.1
Definisi Perencanaan
Beberapa definisi perencanaan yang dikutip dari berbagai sumber, di antaranya: 1. Perencanaan sebagai mana yang dikemukakan oleh Wedgewood-Oppenheim dalam Riyadi (2005), dapat dilihat sebagai suatu proses di mana tujuan-tujuan, bukti-bukti faktual dan asumsi-asumsi diterjemahkan sebagai suatu proses argumen logis ke dalam penerapan kebijaksanaan yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan. 2. Perencanaan dapat diartikan sebagai upaya memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia dengan memperhatikan segala keterbatasan guna mencapai tujuan secara efisien dan efektif (Sujarto, 1985). 3. Perencanaan dapat berarti mengetahui dan menganalisis kondisi saat ini, meramalkan berbagai faktor noncontrollable yang relevan, memperkirakan faktor-faktor pembatas, menetapkan tujuan dan sasaran yang diperkirakan dapat dicapai, menetapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut serta menetapkan lokasi dari berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan (Tarigan, 2005). 4. Perencanaan adalah suatu proses yang terorganisasi dalam pembuatan sebuah produk rencana, dan proses psikologi dari suatu pemikiran untuk melahirkan kehendak di masa yang akan datang dalam skala tertentu. Dengan demikian
26
sebuah ciri fundamental dari perencanaan adalah pemikiran yang brillian. Pemikiran ini adalah sebuah proses penting perencanaan
yang
baik,
terintegrasi/sesuai
untuk membuat sebuah dengan
perencanaan
lain
(http://en.wikipedia.org).
Dari beberapa rumusan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa inti perencanaan adalah menetapkan tujuan, merumuskan langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut dan merupakan suatu proses yang berkelanjutan, melibatkan keputusankeputusan atau pilihan-pilihan penggunaan, untuk melakukan tindakan dalam mencapai tujuan yang akan dicapai dalam rentang waktu tertentu.
II.1.2
Sejarah Perencanaan
Perencanaan telah berkembang sejak dimulainya peradaban manusia sekitar 6000 tahun lalu. Hal ini dibuktikan dengan bukti sejarah keberadaan kota di negara Asiria, Mesir, di lembah Tigris-Efrat dan negara-negara lainnya sampai pada kotakota baru di Inggris pada permulaan abad ke-12. Hingga dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu perencanaan khususnya perencanaan perkotaan sudah menempuh evolusi yang panjang sejak zaman dahulu kala dan sedang menuju ke berbagai arah baru serta mengikuti kecenderungan-kecenderungan yang menarik. Sementara terus berevolusi, perencanaan perkotaan merupakan proses yang sudah mantap, dan di masa yang akan datang akan melewati tahapan perencanaan menuju ke arah penerapan suatu rencana yang dilaksanakan secara lengkap dan efektif oleh pemerintah dan sektor swasta (Catanese dan Snyder, 1996).
Lebih jauh disampaikan bahwa mekanisme dalam perencanaan dan penerapannya sangat tergantung dari sistem pemerintahan. Perencanaan semakin berkaitan erat dengan sistem pemerintahan di suatu negara seperti sistem kapitalis, federal dan demokratis. Dalam penerapan suatu perencanaan, seringkali mengalamai hambatan dari berbagai kalangan yang tidak setuju dengan hasil perencanaan tersebut. Hingga dari metode negosiasi, kompromi sampai menempuh jalan pengadilan dapat menjadi solusinya. Sejak dasawarsa 80-an di Amerika Serikat
27
dalam perencanaan telah dilakukan negosiasi untuk mencapai kesepakatan sebagai upaya untuk mengurangi proses yang berlanjut sampai ke pengadilan, hingga penerapan dapat berjalan dengan lancar dan cepat.
Di Indonesia, Perencanaan khususnya perencanaan wilayah dimulai dari periode 60-an. Periode ini merupakan awal dari pembangunan terencana setelah mengalami keterpurukan akibat perang selama ratusan tahun. Titik fokus pelaksanaan perencanaan pada periode ini adalah pada upaya pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Perencanaan lebih diwarnai dengan pendekatan-pendekatan yang sifatnya sektoral dan parsial. Dalam hal ini juga masih adanya garis yang tegas antara wilayah kota dan daerah/desa. Perhatian lebih banyak tertuju pada perencanaan perkotaan. Hingga timbul disparitas hasil pembangunan, kota bertambah maju, sementara desa mengalami kemunduran ataupun staknan. Dengan demikian pemerintah dan praktisi perencanaan mulai menyadari perlunya mekanisme perencanaan yang bersifat kewilayahan. Di era tujuh puluhan perencanaan sudah mulai menjurus ke mekanisme kewilayahan, namun prinsip sektoral masih tetap dipraktekkan.
Hal tersebut dapat dilihat dari adanya
perencanaan kelas-kelas kesuaian lahan di bidang pertanian. Di sektor kehutanan masih menganut cara-cara penetapan status/fungsi lahan melalui kriteria jenis tanah, kemiringan lahan dan curah hujan/tipe iklim. Produk dari proses ini berupa pembagian unit-unit kawasan hutan berdasarkan status/fungsinya yang dikenal dengan rencana tata guna hutan. Demikian juga dengan sektor-sektor yang lain, seperti pengairan, perhubungan, transmigrasi mempunyai model pendekatan perencanaannya masing-masing (Deni dan Djumantri, 2002).
Sesuai dengan konsepsi pembangunan wilayah, maka wilayah nasional dibagi ke dalam beberapa satuan wilayah pengembangan yang didukung oleh kota-kota (pusat pengembangan) yang berhirarki baik dalam satu kesatuan wilayah dan kawasan maupun secara keseluruhan pada ruang nasional. Agar kota-kota berkembang sesuai dengan fungsi dan hirarkinya maka pada awal tahun delapan puluhan
dirumuskan
strategi
nasional
pembangunan
perkotaan.
Kota
diklasifikasikan ke dalam besaran penduduknya menjadi kota besar, kota sedang
28
dan kota kecil. Sedangkan berdasarkan RTRWN (PP No. 47/1997) dikembangkan menjadi pusat-pusat kegiatan, seperti Pusat Kegiatan Nasional (PKN); Pusat Kegiatan
Wilayah
(PKW),
dan
Pusat
Kegiatan
Lokal
(PKL).
Untuk
mengimplementasikan strategi tersebut maka disusunlah rencana-rencana (tataruang) kota serta program-program pengembangan prasarana kota terpadu (P3KT), dan pengembangan sistem jaringan transportasi yang menunjang sistem koneksi dan distribusi, melalui pendekatan keterpaduan.
Di awal tahun sembilan puluhan muncul beberapa isue penting yang berkaitan dengan arus globalisasi. Hal tersebut di Indonesia mulai berdampak kepada: meningkatnya tuntutan transparansi, partisipasi masyarakat dalam pembangunan, desentralisasi, tuntutan efisiensi pembangunan dan pembangunan yang ramah lingkungan, perkembangan ekonomi global, dsb. Semua hal tersebut di atas mewarnai kebijakan pembangunan nasional pada era sembilan puluhan.
Operasional dari kebijakan tersebut antara lain dikeluarkannya PP no.45/1992 tentang penyelengaraan Otonomi Daerah
dimana urusan yang diserahkan ke
daerah tersebut ditetapkan berdasarkan kriteria yang diuraikan di dalam penjelasan PP tersebut. Lahirnya PP ini semakin memperkuat adanya penyerahan urusan ke daerah tingkat kabupaten/kota yang kemudian disempurnakan dengan lahirnya UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dan lebih disempurnakan lagi menjadi UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam perjalanan waktu, pendekatan perencanaan khususnya perencanaan wilayah juga berubah. Perubahan tersebut sangat dekat dengan adanya perubahan dalam sistem pemerintahan. Di era dua-ribuan adalah era Otonomi Daerah. Otonomi daerah tersebut telah merubah sistem pemerintahan yang sebelumnya sentralisasi menjadi desentralisasi. Desentralisisasi menyatakan bahwa daerah punya wewenang yang besar dalam menetapkan kebijakan pembangunan di wilayahnya dan dengan alokasi dana yang lebih besar. Otonomi Daerah melahirkan paradigma baru dalam perencanaan. Paradigma baru tersebut adalah untuk melahirkan suatu proses dalam membuat produk secara: akuntabel,
29
transparan, partisipatif dan penguatan potensi lokal. Perbandingan
prinsip
perencanaan antara sebelum Otonomi Daerah dan era Otonomi Daerah seperti yang dapat dilihat pada Tabel II.1
Tabel II.1 Perbedaan Prinsip Perencanaan Sebelum dan di Era Otonomi Daerah Prinsip perencanaan di era sebelum otonomi daerah
Prinsip perencanaan di era otonomi daerah
- Dominasi pemerintah pusat
- Bukan dominasi pemerintah pusat
- pendekatan bersifat top-down
- Pendekanan bersifat bottom-up
- proses yang tertutup
- terbuka/transparan
- visi jangka panjang
- penekanan pada jangka pendek
- normatif
- realistis
- menampung visi perencanaan saja
- menampung visi aplikasi pembangunan
- restriktif dan kaku
- berwawasan luas dan dinamis
- rencana sebagai pedoman perizinan
- dapat dijadikan pedoman investasi
- kurang memperhatikan kelestarian lingkungan
- berwawasan lingkungan
Penekanan dari penelitian disertasi ini adalah pada prinsip pendekatan yang bersifat bottom-up. Dalam Propenas 2000-2004 disebutkan bahwa partisipasi pihak terkait atau stakeholders dalam proses perumusan kebijakan dan program penyediaan transportasi masih kurang. Pemerintah daerah belum berperan banyak dalam berbagai aspek transportasi berskala nasional. Oleh karena itu partisipasi daerah ini perlu ditingkatkan. Pada perencanaan di level nasional, perencanaan transportasi dilakukan oleh pemerintah pusat yang pada umumnya adalah instansi pusat dengan para ahli yang berada di dalam lingkungannya. Dari berbagai studi perencanaan transportasi yang telah dilakukan, stakeholders yang terlibat masih terbatas pada lingkungan pemerintahan yang terlibat langsung pada transportasi (Hadihardjono, 2005).
II.1.3
Lingkup Perencanaan
Ruang lingkup perencanaan umumnya adalah sangat luas yaitu mencakup berbagai aspek kehidupan. Luasnya ruang lingkup ini akan tergantung kepada
30
lingkup perencanaan itu. Dalam perencanaan wilayah dan kota khususnya ruang lingkup perencanaan dapat meliputi dua hal utama yaitu ruang lingkup substantif dan ruang lingkup teritorial. Ruang lingkup substantif akan mencakup materi yang menjadi sasaran perencanaan, sedangkan ruang lingkup teritorial akan mencakup luas kawasan perencanaan dari segi perwilayahannya. Hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut ini.
A. Ruang Lingkup Substantif : Dari segi substantif perencanaan wilayah dan kota mencakup tiga lingkup perencanaan yaitu perencanaan yang berkaitan dengan upaya pengembangan kemasyarakatan atau sosial (social planning); perencanaan yang berkaitan dengan upaya pengembangan ekonomi (economic planning) dan perencanaan dalam upaya pengembangan fisik (physical planning).
B. Ruang Lingkup Teritorial : Teritorial pada hakekatnya adalah segala sesuatu yang mempunyai kaitan dengan pengertian dan batasan perwilayahan atau area. Sekalipun belum dibakukan di dalam perencanaan wilayah dan kota dikenal beberapa pengertian terminologi mengenai teritorial, yaitu: wilayah, daerah, dan kawasan.
C. Hirarki Perencanaan Baik dari segi substansi maupun segi teritorialnya perencanaan wilayah dan kota mempunyai jenjang atau hirarki tertentu yang sesuai dengan cakupan perencanaan tersebut. Jenjang tersebut meliputi, perencanaan: individu, keluarga/rumah tangga, lingkungan, kota, regional, dan nasional.
Morlok (1985) menyatakan bahwa, salah satu karakteristik yang terpenting dari hampir sebagian besar perencanaan ialah hirarki alamiah yang ada diantara berbagai komponen dari usaha perencanaan yang menyeluruh. Struktur dasar dari sebuah hirarki terdiri dari banyak tingkatan kegiatan yang berbeda-beda. Di dalam setiap tingkat biasanya terdapat banyak kegiatan,
31
yang mungkin akan terlihat dengan cukup jelas. Ketika mengumpulkan sebagian atau semua kegiatan pada level tertentu secara bersama, kegiatan untuk tingkat yang lebih tinggi berarti telah terbentuk. Pada tingkat yang lebih tinggi ini mungkin terdapat banyak kegiatan juga, dan akhirnya membentuk tingkat yang lebih tinggi berikutnya dan seterusnya, seperti yang dapat dilihat pada Gambar II.1. Perencanaan nasional Kebijaksanaan pengembangan ekonomi Kebijaksanaan transportasi • Pendanaan • Pengaturan-pengaturan • Syarat-syarat dan kebutuhan-kebutuhan untuk perencanaan daerah lokal
Perencanaan regional menyeluruh Rencana regional menyeluruh • Proyeksi populasi dan ekonomi • Rencana penggunaan tanah • Kebutuhan/syarat-syarat transportasi
Perencanaan transportasi regional Sistem regional (melayani perjalanan jarak jauh) Kebijaksanaan-kebijaksanaan pada bagian dari sistem
Daerah kecil atau perencanaan transportasi proyek Rencana spesifik untuk proyek • Sarana baru • Perubahan pelayanan angkutan umum (misal angkutan transit atau muatan • Rencana-rencana untuk pembiayaan
Disain sarana atau pelayanan Rencana-rencana konstruksi Rencana-rencana implementasi dari pelayanan angkutan yang baru
Operasi-operasi sistem atau perencanaan manajemen Kontrol dan pengaturan lalu lintas jalan Rute-rute transit dan penjadwalan serta tarif
Gambar II.1 Struktur hirarki perencanaan transportasi dan tata guna lahan Sumber: Morlok (1985)
Melihat pada ruang lingkup perencanaan pada penelitian disertasi ini maka, lingkup substantif yang dilakukan adalah ada pada pengembangan fisik
32
(phisycal planning). Sementara jika dilihat pada lingkup teritorial kajian ini adalah kajian wilayah yang berada pada tingkat provinsi.
D. Wilayah Pengembangan Disamping pengertian tentang teritorial perencanaan tersebut di atas kita juga mengenal pengertian “Wilayah Pengembangan” atau “Development Region”. Wilayah pengembangan pada hakekatnya merupakan suatu wilayah dimana perawatan dan cara-cara pengembangannya merupakan suatu kesatuan baik secara ekonomis, demografis maupun secara fisiografis dan geografis. Wilayah ini umumnya merupakan suatu teritorial yang ditentukan sebagai suatu kerangka dasar pengembangan atau regional development frame of reference. Wilayah pengembangan dapat terbentuk oleh suatu teritorial dalam arti geografis, ekonomi, atau demografis sehingga wilayah pengembangan ini dapat merupakan wilayah-wilayah yang semata-mata terbentuk karena batasan geografis saja atau beberapa daerah administratif. Esensinya adalah untuk mensistematiskan dan merasionalkan pelaksanaan pembangunan wilayah.
II.1.4
Mekanisme perencanaan
Transportasi merupakan sebuah sistem yang terdiri dari unsur-unsur yang membentuk sistem itu. Dari pengelompokan yang dibakukan, unsur-unsur ini dapat dikelompokkan menjadi sub sistem jaringan pelayanan, sub sistem jaringan prasarana, sub sistem sarana, sub sistem fasilitas penunjang dan manusia (Manheim, 1979). Kanafani dan Sperling (1982) melihat, agar sistem transportasi dapat berjalan dengan baik diperlukan kelengkapan berupa pengaturan, baik pada aspek operasional maupun aspek institusional. Untuk itu dalam perencanaan transportasi harus dilakukan dalam bentuk pendekatan sistem.
Pendekatan sistem adalah pendekatan umum untuk suatu perencanaan atau teknik dengan menganalisa semua faktor yang berhubungan dengan permasalahan yang ada. Contohnya, kemacetan lokal yang disebabkan oleh peyempitan lebar jalan dapat dipecahkan dengan melakukan perbaikan lokal. Akan tetapi, hal ini
33
mungkin menyebabkan permasalahan berikutnya timbul di tempat lain (Tamin, 2000).
Gambar II.2 memperlihatkan beberapa komponen yang saling berhubungan dalam perencanaan transportasi, yang biasanya dikenal dengan ’proses perencanaan’. Tampak bahwa proses perencanaan sebenarnya merupakan proses berdaur dan tidak pernah berhenti. Perubahan dalam suatu komponen pasti mengakibatkan perubahan pada komponen lainnya (Tamin, 2000). Sasaran, tujuan, dan target Rumusan, sasaran, tujuan, dan target Pemantauan dan evaluasi
Data Perencanaan
PROSES
Data
DAUR ULANG
Alternatif rencana Data Penilaian
Pelaksanaan
Alternatif terbaik Data Perancangan
Gambar II.2 Proses Perencanaan Sumber: Tamin (2000)
Di Amerika Serikat dampak desentralisasi sangat nyata. Pada perencanaan Park Plaza, selama proses perencanaan dikelola secara penuh oleh Boston Redevelopment Authority (dari konsepsi sampai pertama sekali diperiksa oleh Departemen Urusan Kemasyarakatan).
34
Program pembaruan urban yang mendasari lahirnya proyek, memberi mandat penguasa pengambil keputusan secara desentralisasi. Program berasal dari pemerintah pusat, diperiksa oleh negara bagian, dan diajukan untuk inisiatif dari lokal. Warga masyarakat dapat menyuarakan pendapatnya pada acara dengar pendapat umum untuk menuntut badan-badan publik untuk menghalangi keputusan ke pengadilan. Proses perencanaan akan timbul konflik hanya jika negara bagian mereview rencana kota dan mengajukan sudut pandang kedua. Jika negara bagian menyetujui proyek, namun warga masyarakat setempat menghalangi tindakan lebih lanjut dengan menentang keputusan pengadilan berdasarkan kelemahan-kelemahan prosedural. Akhirnya proyek ini gagal diimplementasikan. Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa di Amerika Serikat sendiri dalam penetapan keputusan semua level pemerintahan terlibat sampai kepada masyarakat. Hasil perencanaan dapat ditolak masyarakat hingga gagal diimplementasikan. Pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan, seperti yang dapat dilihat pada Gambar II.3.
Dari penjelasan yang lain untuk kasus di Amerika Serikat, pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perencanaan, sejak dimulainya perencanaan hingga akan diimplementasikan dan bagaimana hubungan kesemua pihak tersebut dapat dilihat pada Gambar II.4.
Perencanaan dimulai oleh perencana sebagai inisiator. Melakukan analisis, merumuskan sasaran, menentukan alternatif dan merancang persetujuan berbagai pihak. Dalam prosesnya akan dilakukan pemantauan oleh masyarakat (yang setuju dan tidak setuju), wakil pemerintah sampai pada tahap implementasi.
Pada contoh kasus yang lain, dalam perencanaan multi-moda transport system (2008-2013) di Portland, OR, telah dilakukan public input sebanyak dua kali, 30 hari untuk komponen federal dan 45 hari untuk komponen negara bagian (http://www.metro-region.org/index.cfm/). Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga sangat aktif dalam mengembangkan perencanaan partisipatif dalam berbagai
35
bidang. Salah satunya adalah tulisan tentang pendekatan partisipatif untuk
Pem b und a u atan u n bag ng neg a dan gra ia D n S e le g a i st e s Pi mpin i lok al P m bu at an pe m ne e ng y u a un d n u nd an P g a a d di ang gb a e ng ra b i la n s ia l De legas n P d a d a g ter i lain l o e n g in g il an ia n ti ng ka a gi l d il an
m en a rte c ana Pe re na K om n P e re isi B ad nc a naa b an an pe m n b eri ding
D ep
p u o P el g ev in D nt r e ep e n is si ok K b is i sa lom p n Ke ng po k a n ga i r ya a n k e lo m O es k ng nt a rof pe c i n ga n po nti s p u lingk pokom pe su el e u e lo m k K e rk k h K o p m b k elo ahan m jak ar pa p e ru y a emb i P as s os i p ok A lom k-ke um u m mp o n K elo entinga ke p b
Proses Perencanaan
li
k
ial la W ta e l o o ng ta k e Ko rja g e P a k t n e a o P an mum K ew t y ih a n u ga n a D b il u an K e a n d an ja rp m Pe te Ta asi an rek re elokan d hli s A a ir t an s eha Ke lo kal dan n -ba Bada
Per e nc a na
er in t P em
Cab a
ng e P emb kseku
r al de fe
p en
ah
ad a n aa n B da
ti peru angunan f m Urba ahan da n n B ad an perlin lingk dungan D ungan ep a t ran rtem en sport as i
s ok al ggr e ” Kon legasi l ers ight e o “ D e v onggres it m o k K g gota An lain
tif e ku r e ks u a ng r g ube rn C ab a dan an t o K da n-b a tah n B erin a pe m n -ba d
Si st Pe e m P ng yu b en a d a n g a di la isi Pe d i di n a l ke n g n g la n te r tin li li ad ng il a gg i n
infrastruktur transportasi di beberapa tempat di India (http://www.unescap.org).
O rg si da anis a seki erah A s tar o pem sias i paja bayar k loka As l o P e sia si w a n du d uk rga K elo Mas m po k yara k at
Gambar II.3 Pihak-pihak yang terlibat dalam proses perencanaan dan kebijakan di Amerika Serikat Sumber: Catanese dan Snyder (1988)
Di Chile, dapat dibuktikan bahwa dalam menangani daerah urban, total biaya yang dikeluarkan sejak perencanaan sampai implementasi menjadi lebih murah bila dalam prosesnya menggunakan pendekatan partisipatif (http://www.stm.info/ transportsej2004). Di Eropa model perencanaan partisipatif juga sangat populer di Jerman, yang dikenal dengan metode ZOPP (Zielorientierte Projektplannung). Ciri dari metode perencanaan ini adalah dalam merumuskan program, sangat mengedepankan pertemuan kelompok (musyawarah). Prinsip ini secara sosiokultural sangat cocok untuk kondisi bangsa Indonesia. Metode ZOPP secara resmi dikembangkan di Indonesia mulai tahun 1983 oleh GTZ Jerman (Riyadi, 2005).
36
Perencana sebagai inisiator dan teknisi
Memulai Proyek • • •
• •
Menetapkan sasaran •
Menganalisis system fisik, ekonomi, dan sosial yang ada Mendefinisikan masalah Menganalisa dampak potensial proyek perencanaan yang diajukan Mengidentifikasi pihak-pihak yang terkena Menjamin perwakilan yang memadai
• • •
Mengorganisasi proses pembentukan konsensus Mengekprolasi masalah dan kepentingan-kepentingan Mendefiniskan kembali permasalahan Mengembangkan kriteria untuk mengevaluasi alternatif
Menciptakan pilihanpilihan baru Mengekplorasi luasnya pilihan • Melakukan penemuan fakta bersama melalui analisis teknik dan pertukaran informasi • Membentuk konsensus dgn membandingkan dan mengevaluasi pilihan serta dgn menciptakan pilihan-pilihan baru • Melakukan penaksiran potensi untuk keuntungan bersama
•
Merancang persetujuan • •
Menspesifikasikan subtansi persetujuan Menspesifikasikan rencana implementasi yang meliputi: 1. Kriteria evaluasi 2. Sistem pemantauan 3. Persetujuan kontigensi
Pejabat-pejabat terpilih (meretifikasi persetujuan)
Mengimplementasikan dan memantau persetujuan Perencana sebagai fasilitator Wakil-wakil dari pihak yang pro terhadap proyek
Penduduk sekitar
Wakil-wakil dari pemerintah
Badan-badan pembuat anggaran lokal
Wakil-wakil dari pihak penentang
Organisasi masyarakat
Badan-badan implementasi lokal
Badan-badan negara bagian
Developer/ pihak pembangun Badan-badan federal
Kelompok bisnis Kelompok yg berkepentingan lainnya
Para pecinta lingkungan
Gambar II.4 Proses Perencanaan Fasilitatif Komprehensif Sumber: Catanese dan Snyder (1988)
II.1.5
Model Pengambilan Keputusan
Ada beberapa model pengambilan keputusan yang sudah dilakukan dan tidak semua dari model tersebut menggunakan modelling sebagai dasar (Ortuzar dan Willumsen, 1990).
1. Keputusan didasarkan pada master plan Ini adalah strategi yang sudah dijalankan sangat lama dalam bidang perencanaan transportasi. Semua keputusan didasarkan pada interpretasi dari master plan, yang berisi aturan-aturan dari pemerintah yang mempunyai
37
kekuatan hukum. Keuntungan dari strategi ini adalah semua orang/pihak tahu apa yang harus dikerjakan, karena master plan merupakan acuan. Kelemahan dari strategi ini adalah bahwa sering sebuah master plan kalah cepat dalam mengikuti perkembangan ekonomi, sosial dan teknologi lingkungan hingga keputusan yang diambil tidak mewakili kondisi pada waktu tersebut.
2. Teori Keputusan Normatif atau Rasional Substantif Ini adalah pendekatan sistem dalam sebuah perencanaan. Di sini proses kuantifikasi adalah penting. Problem keputusan dilihat sebagai penetapan sebuah pilihan dari sekian banyak set alternatif dan skenario, dengan menggunakan estimasi dari probabilitas kejadian; utilitas dari setiap alternatif dikuantifikasi dalam bentuk cost dan benefit, dan kriteria lainnya seperti pelestarian lingkungan, keselamatan, dan lain-lain.
3. Teori Keputusan Prilaku Strategi ini menjalankan pendekatan teori keputusan normatif dengan cara yang lebih lunak. Keputusan tidak mengambil utilitas maksimum tapi cukup untuk memuaskan pengambil keputusan. Pengambilan keputusan sering berhenti jika satu keputusan yang dianggap baik telah ditemukan.
4. Pembuatan Keputusan Group Ini adalah pengambilan keputusan yang digunakan di berbagai bidang ilmu. Pengambilan keputusan menjadi sebuah proses di dalam sebuah group dengan otoritas keputusan. Individu mengkontribusi keinginan mereka dan group berusaha memasukkan ke problem keputusan. Pengambilan keputusan ini sering disebut dengan perencanaan partisipatif, karena ada partisipasi di luar dari pihak pengambil keputusan di sini. Partisipasi dalam sebuah group pengambil keputusan sudah menunjukkan penerimaan dari keputusan tersebut dan ini merupakan elemen penting dari sebuah konteks perencanaan.
38
5. Pembuatan Keputusan Adaptive Ini adalah pendekatan umum dan merupakan versi yang lebih fleksibel dari pembuatan keputusan group. Ini mempertimbangkan interaksi antara beberapa group yang mempunyai sudut pandang berbeda. Setiap group melihat dalam pandangannya sendiri hingga negosiasi dan kompromi diperlukan dalam pngambilan keputusan.
6. Strategi Pembuatan Keputusan Model-Campuran Ini merupakan strategi gabungan dari semua strategi pengambilan keputusan di atas. Dan ini cukup umum dilaksanakan dalam studi transportasi. Pendekatan ini menggunakan analisis persuasif, kesepakatan, dan strategi politik pada arena dan tujuan yang berbeda.
II.2
II.2.1
Otonomi Daerah dan Pengelolaan Sistem Jaringan Jalan
Sistem Pendanaan Jalan Era Otonomi Daerah
Mengacu pada UU No. 32 Tahun 2004 pasal 1 ayat 5 tentang Pemerintah Daerah, disebutkan bahwa “Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Dan selanjutnya dijelaskan pada ayat berikutnya bahwa “Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Secara prinsip masalah utama yang berkenaan dengan otonomi daerah adalah bagaimana menyeimbangkan kemampuan keuangan antar daerah sehingga kesenjangan antar daerah dapat diminimasi. Berdasarkan UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dalam pasal 1 disebutkan bahwa “Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat
39
dan Pemerintah Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, and efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.” maka sebagian besar pengelolaan keuangan akan berada di daerah (Kabupaten/Kota). Prinsip pemerataan (equity) ditunjukkan dalam UU tersebut dengan adanya Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang merupakan alokasi dana dari pemerintah pusat kepada daerah dengan mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan keuangan daerah.
Dalam kerangka Otonomi Daerah, Provinsi Aceh merupakan provinsi dengan status Otonomi Khusus berdasarkan UU No. 11 tahun 2006. Dalam pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa Aceh merupakan daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur.
Dalam UU No. 33 tahun 2004 pasal 5 dinyatakan bahwa sumber-sumber penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi adalah: 1. Pendapatan Asli Daerah 2. Dana Perimbangan 3. Lain-lain Pendapatan
Untuk provinsi NAD sumber-sumber penerimaan daerah, selain yang disebutkan di atas ditambah lagi dengan dana Otonomi Khusus seperti yang tertuang dalam pasal 179 ayat 2 UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
Sumber pendapatan asli daerah seperti yang tercantum pada UU No. 33 tahun 2004 pasal 6, terdiri dari: 1. Pajak Daerah
40
2. Retribusi Daerah 3. Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan 4. Lain-lain PAD yang sah
Untuk provinsi NAD sumber-sumber pendapatan yang sah, selain yang disebutkan di atas dtambah lagi dengan pendapatan dari zakat, seperti yang tercantum pada pasal 180 ayat 2 UU No. 11 tahun 2006.
Dana perimbangan Daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 33 tahun 2004 pasal 10 terdiri dari: 1. Dana Bagi Hasil, yang merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk
mendanai
kebutuhan
Daerah
dalam
rangka
pelaksanaan
Desentralisasi. 2. Dana Alokasi Umum, yang merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Dalam pasal 27 ditetapkan bahwa DAU sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN, dimana DAU untuk suatu Daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar Daerah tersebut 3. Dana Alokasi Khusus, yang merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Sementara untuk pinjaman daerah bersumber dari: 1. Pemerintah, 2. Pemerintah Daerah lain, 3. Lembaga keuangan Bank, 4. Lembaga keuangan bukan Bank, 5. Masyarakat.
41
Untuk dana pinjaman dari luar negeri, daerah tidak lagi diperbolehkan melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri (sesuai dengan yang telah ditetapkan pada pasal 50). Sehingga untuk memperoleh pinjaman yang berasal dari luar negeri, harus melalui Pemerintah Pusat (pasal 56)
Dengan struktur keuangan daerah yang baru, dana pembiayaan penanganan jalan Provinsi berasal dari APBD, DAK, dan pinjaman. Untuk jelasnya, struktur pendanaan jalan pada era otonomi daerah dapat dilihat pada Gambar II.5.
APBN DAK
DAU
Dana Pedamping
Dana Perimbangan
PAD APBD Sumber Lain Yang Sah Dana Sektoral Untuk Jalan
Pinjaman Daerah
Gambar II.5 Struktur Pendanaan Jalan Provinsi di Era Otonomi Daerah Dengan
struktur
pendanaan
tersebut,
maka
trade-off
keputusan
untuk
mengalokasikan dana bagi penanganan jalan akan banyak terjadi di daerah. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan jika pengertian jalan sebagai infrastruktur dasar (basic infrastructure) yang harus dijamin keberadaan dan kesiapan operasinya tidak melandasi proses alokasi dana di daerah, yang pada gilirannya dapat menyebabkan kondisi jalan menjadi semakin buruk.
Dalam UU No 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dalam kerangka Otonomi Khusus, pada pasal 181 ayat 1 disebutkan bahwa dana perimbangan terdiri atas:
42
a. Dana bagi hasil pajak, yaitu: 1) Bagian dari penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB) sebesar 90% 2) Bagian dari penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 80% dan 3) Bagian dari penerimaan pajak penghasilan (PPh) sebesar 20%. b. Dana bagi hasil yang bersumber dari hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya, yaitu: 1) Bagian dari kehutanan sebesar 80%; 2) Bagian dari perikanan sebesar 80%; 3) Bagian dari pertambangan umum sebesar 80%; 4) Bagian dari pertambangan panas bumi sebesar 80%; 5) Bagian dari pertambangan minyak sebesar 15%; dan 6) Bagian dari pertambangan gas bumi sebesar 30%. c. Dana Alokasi Umum (DAU) d. Dana Alokasi Khusus (DAK).
Selanjutnya dalam pasal 181 ayat 3 diterangkan bahwa selain dana bagi hasil, Pemerintah Aceh mendapat tambahan dana bagi hasil minyak dan gas bumi yang merupakan bagian dari penerimaan Pemerintah Aceh, yaitu: a. Bagian dari pertambangan minyak sebesar 55%, dan b. Bagian dari pertambangan gas bumi sebesar 40%. Dana otonomi khusus untuk pemerintah Aceh berlaku selama 20 tahun, terhitung mulai tahun 2006.
Untuk itu, maka sangat dibutuhkan adanya pedoman yang juga memberikan pengertian kepada aparat maupun para pengambil keputusan di daerah mengenai pentingnya peran jalan bagi perekonomian, pengembangan wilayah, dlsb sehingga pendanaan untuk pemeliharaan dan pembangunan jalan dapat dialokasikan dengan baik.
II.2.2
Pengelolaan Prasarana Jalan
43
Pengelolaan prasarana jalan di Indonesia di era otonomi daerah sangat tergantung dari alokasi dana yang disediakan oleh masing-masing daerah. Khusus untuk jalan yang berstatus jalan provinsi dan kabupaten/kota, keputusan alokasi dana pengelolaannya lebih banyak ditentukan di daerah.
Dengan adanya keterbatasan dana sesuai dengan potensi daerah masing-masing, maka sangat diperlukan strategi khusus bagi daerah dalam menyusun program penanganan sistem jaringan jalan yang menjadi kewenangan daerah untuk mengelolanya.
II.2.3
Pembagian Kewenangan Penyelenggaraan Jalan
Dalam penyelenggaraan jalan, terdapat 3 (tiga) tugas yang diemban oleh pemerintah dalam melayani kebutuhan perjalanan di wilayahnya, yakni pembinaan, pembangunan, dan pengawasan. Dalam UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan, tugas-tugas tersebut dibagi secara struktur sesuai tugas pokok dan fungsi jaringan jalannya. Untuk lebih jelasnya, rangkuman pembagian tugas dalam penyelenggaraan jalan dapat dilihat pada Tabel II.2.
44
Tabel II.2 Pembagian Tugas dan Penyelenggaraan Jalan No
Tugas Penyelenggaraan
PEMBINAAN 1.1. Pengaturan Perumusan kebijakan perencanaan Penyusunan kebijakan perencanaan umum dan pemrograman Penyusunan peraturan perundangan Penyusunan pedoman dan standar teknis 1.2. Pelayanan 1 Perijinan Informasi 1.3. Pemberdayaan Bimbingan dan penyuluhan Pendidikan dan pelatihan 1.4. Penelitian dan pengembangan Penelitian Pengkajian Pengembangan PEMBANGUNAN Studi Kelayakan Perencanaan Teknis 2 Pelaksanaan Konstruksi Pengoperasian Pemeliharaan 3 PENGAWASAN
Jalan Nasional Jalan Provinsi
Jalan Kabupaten/Kota
Jalan Desa
Jalan Tol
Jalan Khusus
Pusat Pusat
Provinsi Provinsi
Kab - Kota Kab - Kota
Kab - Kota Kab – Kota/Desa
Pusat Pusat
Pusat Pusat
Pusat Pusat
Pusat Pusat
Pusat Pusat
Pusat Pusat
Pusat Pusat
Pusat Pusat
Kab - Kota Pusat
Kab - Kota Provinsi
Kab - Kota Kab - Kota
Kab - Kota Kab – Kota/Desa
Pusat/Prop/Kab - Kota Pusat/Korporasi
Instansi Terkait Instansi Terkait
Pusat Pusat
Pusat/Provinsi Pusat/Provinsi
Kab - Kota Kab - Kota
Kab – Kota/Desa Kab – Kota/Desa
Pusat Pusat
Pusat Pusat
Pusat Pusat Pusat
Pusat/Provinsi Pusat/Provinsi Pusat/Provinsi
Provinsi-Kab-Kota Provinsi-Kab-Kota Provinsi-Kab-Kota
Kab – Kota/Desa Kab – Kota/Desa Kab – Kota/Desa
Pusat Pusat Pusat
Pusat/Korporasi Pusat/Korporasi Pusat/Korporasi
Pusat/Provinsi Pusat/Provinsi Pusat/Provinsi Pusat/Provinsi Pusat/Provinsi Pusat
Provinsi Provinsi Provinsi Provinsi Provinsi Pusat
Kab - Kota Kab - Kota Kab - Kota Kab - Kota Kab - Kota Provinsi-Kab-Kota
Kab – Kota/Desa Kab – Kota/Desa Kab – Kota/Desa Kab – Kota/Desa Kab – Kota/Desa Kab - Kota
Korporasi Korporasi Korporasi Pusat/Korporasi Korporasi Pusat
Korporasi Korporasi Korporasi Korporasi Korporasi Pusat
Sumber : UU RI No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan
45
II.2.4
Standar Pelayanan Minimal (SPM) di Bidang Jalan
Untuk menjamin tersedianya pelayanan publik bagi masyarakat, maka berdasarkan pasal 3 ayat 3 PP No.25/2000 bahwa: Daerah wajib melaksanakan Standar Pelayanan Minimal (SPM). SPM merupakan kewenangan dari pemerintah pusat (pasal 2 ayat 4 butir b). Dengan kata lain bahwa untuk setiap bidang pelayanan harus ditetapkan suatu standar oleh departemen teknis terkait yang wajib dilaksanakan oleh daerah. Dalam hal ini untuk bidang jalan adalah Departemen PU telah mengeluarkan draft SPM sebagai berikut. Tabel II.3 Standar Pelayanan Minimum No.
Bidang Pelayanan
Cakupan
Standar Pelayanan Kuantitas Konsumsi/Produksi
Kualitas
Keterangan
1. Jaringan Jalan Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) A. Aspek Aksesibilitas
seluruh jaringan
B. Aspek Mobilitas
seluruh jaringan
sangat tinggi >5000 tinggi > 1000 sedang > 500 rendah > 100 Sangat rendah < 100 PDRB per kapita (juta rp/kap/th) sangat tinggi >10 tinggi > 5 sedang > 2 rendah > 1 sangat rendah < 1 pemakai jalan
C. Aspek Kecelakaan
2
seluruh jaringan
Indeks Aksesibilitas >5 Panjang jalan/luas >1.5 (km/km2) >0.5 >0.15 >0.05 Indeks Mobilitas >5 panjang jalan/ >2 1000 penduduk >1 >0.5 >0.2 Kecelakaan/ Indeks Kecelakaan 1 100.000 km. kend.
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) sangat tinggi >5000 tinggi > 1000 Indeks Kecelakaan 2 sedang > 500 rendah > 100 Sangat rendah < 100
Ruas Jalan Lebar Jalan Volume Lalulintas (kend/hari) Min.
A. Kondisi Jalan
2x7m
lhr > 20000
7m
8000 > lhr > 20000
6m
3000 >l hr > 8000
4.5m
lhr < 3000
46
Kondisi Jalan sedang; iri < 6; rci > 6.5 sedang; iri < 6; rci > 6.5 sedang; iri < 8; rci > 5.5 sedang; iri < 8; rci > 5.5
kecelakaan/ km/Tahun
Tabel II.3 Standar Pelayanan Minimum (lanjutan) Bidang Pelayanan
No.
B. Kondisi Pelayanan
Cakupan
Standar Pelayanan Kuantitas Konsumsi/Produksi
Fungsi Jalan
Pengguna Jalan
arteri primer lalu lintas regional jarak jauh kolektor lalu lintas regional jarak sedang primer Lokal primer Lalu lintas lokal arteri lalu lintas kota jarak jauh sekunder kolektor lalu lintas kota jarak sedang sekunder Lokal lalu lintas lokal kota sekunder
Kualitas
Keterangan
Kecepatan Tempuh Min 25 km/jam 20 km/jam 20 km/jam 25 km/jam 25 km/jam 20 km/jam
Sumber: Departemen PU (2001)
SPM ini dikembangkan dalam sudut pandang publik sebagai pengguna jalan, dimana ukurannya merupakan common indicator yang diinginkan oleh pengguna. Basis SPM dikembangkan dari 3 keinginan dasar para pengguna jalan yakni: 1. Kondisi jalan yang baik (tidak ada lubang), 2. Tidak macet (lancar setiap waktu), 3. Dapat digunakan sepanjang tahun (tidak banjir waktu musim hujan).
Dalam kaitan ini penyelenggara jalan harus mengakomodir tuntutan publik terhadap SPM dengan mengikuti norma/kaidah/aspek di bidang investasi jalan, yang meliputi aspek efisiensi, efektifitas, ekonomi, investasi dan aspek kesinambungan.
II.2.5
Penyelenggaraan Prasarana Jalan di Indonesia
II.2.5.1 Tujuan Penyelenggaraan Prasarana Jalan Penyelenggaran prasarana jalan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejumlah kebijakan yang melatar-belakangi konsep penyelenggaraanya. Dalam UU No.14 Tahun 1992, pasal 3 tentang Prasarana dan Angkutan Jalan disebutkan bahwa “Transportasi jalan diselenggarakan dengan tujuan untuk mewujudkan lalulintas dan angkutan jalan dengan selamat, aman, cepat, lancar, tertib, dan teratur, nyaman dan efisien, mampu memadukan moda transportasi lainnya, menjangkau
47
seluruh pelosok wilayah daratan, untuk menunjang pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas sebagai pendorong, penggerak, dan penunjang pembangunan nasional dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat”.
Dari tujuan penyelenggaraan transportasi jalan tersebut setidaknya terdapat beberapa kata kunci yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan penyelenggaraan jalan di Indonesia, yakni aspek yang berkaitan dengan: 1. Pemerataan aksesibilitas ke seluruh wilayah, 2. Keselamatan dalam pengoperasian jaringan jalan, 3. Efisiensi operasi, yang dalam hal ini cepat dan lancar , 4. Efektivitas jaringan jalan sebagai penunjang pembangunan, 5. Biaya yang semurah mungkin dan terjangkau, dan 6. Keterpaduan antar moda. II.2.5.2 Klasifikasi Jalan di Indonesia
Untuk mencapai tujuan penyelenggaraan jalan, maka sistem jaringan jalan di Indonesia diatur menurut fungsi, peran dan kewenangan pengelolaannya. Aturan yang berlaku di Indonesia mengenai jalan adalah UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Sehubungan dengan berlakunya otonomi daerah maka beberapa konsep mengenai penyelanggaraan sistem jaringan jalan juga perlu disesuaikan.
Pada dasarnya pengelompokan jalan berdasarkan UU tersebut adalah
sebagi
berikut: 1. Sistem jaringan jalan terdiri dari: a. Sistem jaringan jalan primer (antar kota) b. Sistem jaringan jalan sekunder (dalam kota) 2. Fungsi jalan, dimana dalam setiap sistem jaringan tersebut peran jalan dipisahkan menjadi jalan arteri, kolektor, lokal, dan jalan lingkungan 3. Status jalan menurut wewenang pengelolaan jalan tersebut, dipisahkan statusnya menjadi jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa.
48
Dalam hal ini, semua jalan dalam jaringan jalan sekunder statusnya adalah jalan kabupaten/kota, termasuk didalamnya jalan desa. Sedangkan untuk jalan primer pembagian statusnya dapat dilihat pada Gambar II.6. Negara Tetangga
Negara Tetangga Jalan Negara/Nasional (Arteri Primer) Ibukota Provinsi
Ibukota Provinsi Jalan Provinsi (Kolektor Primer)
Ibukota Kab/Kota
Ibukota Kab/Kota Jalan Kabupaten (Lokal Primer)
Ibukota Kecamatan
Ibukota Kecamatan
Gambar II.6 Pembagian Status pada Jaringan Jalan Primer Sumber: UU No. 38 Tahun 2004
Terlihat bahwa untuk pemerintah provinsi porsi kewenangan jalan umumnya berfungsi sebagai kolektor primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota atau menghubungkan antara dua ibukota kabupaten/kota.
II.3
Perencanaan Transportasi
Perencanaan sebagai mana yang dikemukakan Wedgewood-Oppenheim dalam Riyadi (2005), dapat dilihat sebagai suatu proses di mana tujuan-tujuan, buktibukti faktual dan asumsi-asumsi diterjemahkan sebagai suatu proses argumen logis ke dalam penerapan kebijaksanaan yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan. Oleh karena itu perencanaan merupakan suatu proses yang
49
berkelanjutan, melibatkan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan penggunaan, untuk melakukan tindakan untuk tujuan yang akan dicapai dan dalam rentang waktu tertentu.
Perencanaan transportasi secara garis besar merupakan suatu kegiatan untuk menentukan
kebutuhan
transportasi
berupa
besarnya
pergerakan
barang/penumpang pada tahun dasar dan masa yang akan datang pada daerah layanan tertentu. Dengan diketahui besarnya kebutuhan tersebut, sesuai alokasi dana, maka prioritas dan kualitas fasilitas pelayanan dapat diberikan. Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam menentukan perkiraan kebutuhan transportasi pada tahun dasar dan pada tahun prediksi.
Dalam suatu penentuan kebijakan transportasi, terdapat pihak baik intansi maupun badan pemerintah yang merupakan pengambil keputusan, baik tunggal maupun terdiri dari satu atau lebih instansi/badan. Disamping pihak pengambil keputusan, masih terdapat pihak lain di luar dari pengambil keputusan yang dipengaruhi oleh penetapan keputusan tertentu. Pihak tersebut disebut dengan pihak terkait (stakeholders), (http://en.wikipedia.org). Pihak pengambil keputusan dan pihak terkait sering disebut sebagai aktor dalam suatu perencanaan..
II.3.1
Aktor dalam Perencanaan
Aktor dalam perencanaan merupakan orang, baik secara pribadi maupun kelompok yang mempunyai sudut pandang terhadap hal tertentu yang akan mempengaruhi keputusannya. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya aktor merupakan pengambil keputusan dan pihak yang dipengaruhi oleh lahirnya keputusan tersebut. Peranan aktor dalam suatu perencanaan, diwujudkan dalam beberapa bentuk proses, seperti: rapat, diskusi dan wawancara. Jika ditempuh metode wawancara, maka aktor tersebut dapat disebut sebagai responden. Responden akan bereaksi/menjawab terhadap apa yang
ditanyakan. Dalam
penelitian ini responden memberikan reaksi atau jawaban pertanyaan melalui lembar pertanyaan (kuesioner). Responden yang dipilih diharapkan mampu
50
merepresentasikan
variabilitas
persepsi
yang
ada,
yakni
para
penentu
keputusan/kebijakan yang berasal dari instansi terkait di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota. Kualitas hasil survey lebih ditentukan oleh kemampuan/ kapasitas responden maupun kemampuan/kapasitas surveyor, bukan oleh besarnya jumlah sampel yang diperoleh.
II.3.2
Kriteria Pengambilan Keputusan
Dalam pengambilan keputusan diperlukan adanya kriteria-kriteria yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja usulan-usulan dalam penentuan keputusan. Atas dasar evaluasi tersebut, dapat dilakukan proses seleksi dan prioritasi dari usulan-usulan yang diajukan.
Untuk melakukan proses seleksi dan prioritasi usulan program penanganan sistem jaringan jalan nasional dan provinsi, diperlukan perumusan kriteria yang baik dan mudah untuk diaplikasikan. Setiap responden memiliki perspektif dan kepentingan yang berbeda-beda terhadap kriteria perencanaan sesuai dengan latar belakangnya. Setelah melalui proses seleksi dan evaluasi, maka diputuskan bahwa kriteria yang digunakan dalam studi ini mempertimbangan hal–hal sbb: 1. Mampu mengakomodasi keinginan aktor yang terlibat dalam perencanaan. 2. Pengakomodasian terhadap pertimbangan teknis yang perlu diperhatikan dalam implementasi. 3. Pengakomodasian terhadap kriteria konseptual dalam pengembangan sistem jaringan jalan nasional dan provinsi dalam suatu wilayah. 4. Faktor-faktor yang berasal dari luar sistem jaringan jalan itu sendiri, baik yang sifatnya kuantitatif maupun kualitatif.
II.3.3
Jenis Pengambilan Keputusan
II.3.3.1 Musyawarah Teknik pengambilan keputusan yang paling sederhana adalah dengan metode rapat atau musyawarah. Keputusan dari metode ini umumnya tidak dalam
51
keputusan yang terukur. Ada beberapa teknik musyawarah yang dapat dilakukan, diantaranya seperti yang disampaikan berikut ini.
A. Rapat Metode ini menggunakan para ahli yang melakukan rapat dan secara langsung berdebat untuk mempertahankan pendapatnya masing-masing. Proses ini berlangsung sampai diperoleh suatu kesepakatan diantara para ahli.
B. Metode NGT (Nominal Group Technique). Dari sisi komunikasi diantara para pakar, metode NGT berada diantara metode Delphi dan Rapat, seperti yang dapat dilihat pada Gambar II.7. Kelompok menerima instruksi dan masalah yang harus dipecahkan dari moderator
Partisipan menulis ide tentang penyelesaian masalah yang dihadapi
Setiap partisipan mempresentasikan idenya dan ditulis /didaftarkan pada papan tulis beserta penjelasannya
Setiap ide didiskusikan, diperjelas dan dievaluasi secara umum oleh seluruh anggota (tidak boleh ada debat langsung antara partisipan)
Secara individu, setiap partisipan menyusun ide sesuai dengan pendapatnya
Ide yang memperoleh urutan tertinggi ditetapkan sebagai keputusan kelompok
Solusi pemecahan masalah telah diperoleh
Gambar II.7 Pelaksanaan Pengambilan Keputusan dengan Metode Nominal Group Technique (NGT)
52
C. Metode Delphi Metode Delphi merupakan suatu teknik pengambilan keputusan dalam kelompok, di mana anggotanya terdiri dari para ahli/pakar dalam masalah yang akan dicarikan pemecahannya. Keputusan diambil dalam suatu forum rapat yang dipimpin oleh moderator. Metode ini dikembangkan oleh Olaf Hermer (1966) dan Rand Coorporation, seperti yang dapat dilihat pada Gambar II.8.
Terdapat masalah yang harus dipecahkan oleh kelompok
Membuat daftar anggota ahli atau pakar
Setiap ahli memberikan jawaban/ rekomendasi secara independen
Moderator mengumpulkan pendapat para ahli, untuk kemudian mendidtribusikannya diantara anggota
Tukar menukar informasi diantara anggota
Para ahli memberikan komentar atas ide/ pendapat ahli lainnya. Mungkin terjadi ahli yang bersangkutan mengajukan jawaban baru T
Dapat diambil kesimpulan? Y Solusi pemecahan masalah diperoleh
Gambar II.8 Pelaksanaan Pengambilan Keputusan dengan Metode Delphi
53
II.3.3.2 Pendekatan Keputusan Terukur
Salah satu cara untuk memprioritaskan serangkaian alternatif kebutuhan penanganan jalan di setiap ruas jalan adalah dengan menggunakan Analisis Multi Kriteria (AMK), di mana diharapkan dengan pendekatan AMK ini pengambilan keputusan telah mempertimbangkan variabel secara komprehensif dengan tetap berada dalam koridor proses ilmiah dalam pengambilan keputusannya.
Bila dibandingkan dengan pendekatan pengambilan keputusan lain, AMK memiliki sejumlah keunggulan, yakni: 1. Sudut pandang terhadap pemilihan bisa lebih dalam, 2. Bisa mengakomodasi berbagai interes yang berbeda, 3. Pemilihan bisa lebih transparan serta hasil pemilihannya bisa diharapkan lebih baik.
Namun di lain pihak metoda ini juga mempunyai kekurangan, di mana dalam proses evaluasi lebih kompleks serta diperlukan data yang banyak dan ada kemungkinan sulit diinterpretasikan secara sederhana karena adanya unsur scientific yang menutupi proses analisis.
Beberapa tipe analisis pengambilan keputusan dalam group dan untuk kriteria banyak akan disampaikan pada uraian berikut: A. Analytic Hierarchy Process (AHP) Method Metoda ini dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, sorang matematikawan dari University of Pittsburg Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Metode AHP ini merupakan salah satu metode pengambilan keputusan yang dapat melibatkan kriteria majemuk dan partisipan lebih dari satu orang. Dalam prosesnya metoda ini melibatkan faktor-faktor logika, intuisi, pengalaman, pengetahuan (data), emosi dan rasa dicoba dioptimasikan melalui suatu proses yang sistematis.
54
Metoda AHP berusaha mensistematiskan persoalan yang dihadapi ke dalam suatu hierarki yang menjelaskan hubungan antara komponen-komponen (tujuan, sub tujuan, kriteria, sub kriteria dan alternatif. Secara garis besar, struktur tersebut seperti yang dapat dilihat pada Gambar II.9 berikut. Tujuan
Kriteria
Alternatif
Rumusan Tujuan
Kriteria-1
Kriteria-2
Alternatif-1
Kriteria-3
Alternatif-2
Kriteria-n
Alternatif-3
Gambar II.9 Struktur Analytic Hierarchy Process (AHP) Method Penentuan prioritas dilakukan dengan menghitung bobot relatif antar variabel (elemen) sehingga dapat diketahui bobot (tingkat kepentingan) setiap elemen terhadap suatu kriteria (prioritas lokal) atau terhadap pencapaian tujuan (prioritas global).
Penentuan
prioritas
dilakukan
dengan
menggunakan
metode
perbandingan berpasangan (pairwise comparison) antar elemen pada tingkatan (level) hierarki yang sama, yaitu dengan menggunakan skala 1 sampai 9.
Prinsip-prinsip metoda AHP adalah: 1. Decomposition: suatu masalah yang kompleks dipecahkan ke level di bawahnya yang mempunyai elemen yang bisa ditangani, 2. Prioritization: dampak tiap elemen dinilai pada levelnya dan dibaca ke level di atasnya, 3. Synthesis: semua prioritas ditarik bersama untuk mendapatkan penilaian keseluruhan,
55
4. Sensitivity Analysis: kesetabilan hasil terhadap perubahan-perubahan ditest dengan apa yang akan terjadi jika dilakukan perubahan terhadap elemen analisis.
Selain prinsip, metode AHP juga memiliki aksioma yang harus dipatuhi. Aksioma adalah sesuatu yang tidak dapat dibantah kebenarannya atau harus terjadi. Ada 4 (empat) aksioma yang harus diperhatikan dalam penggunaan model AHP dan pelanggaran setiap aksioma berakibat tidak validnya model yang dipakai.
1. Reciprocal, artinya pengambilan keputusan harus dapat membuat perbandingan dan menyatakan preferensinya. Preferensi itu sendiri harus memenuhi syarat resiprokal yaitu kalau a1 lebih disukai dari a2 dengan skala x, maka a2 lebih disukai dari a1 dengan skala 1/x. 2. Homogenity, artinya preferensi seseorang harus dapat dinyatakan dalam skala
terbatas
atau
dengan
kata
lain
elemen-elemennya
dapat
dibandingkan satu sama lain. Kalau aksioma ini tidak dipenuhi, maka elemen-elemen yang dibandingkan tersebut tidak homogenous atau harus dibentuk suatu cluster (kelompok elemen-elemen) yang baru. 3. Dependence, artinya preferensi dinyatakan dengan mengasumsikan bahwa kriteria tidak dipengaruhi oleh alternatif-alternatif melainkan oleh tujuan secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan ketergantungan atau pengaruh dalam model AHP adalah searah ke atas. Artinya, perbandingan antar elemen dalam satu level dipengaruhi atau tergantung pada elemen-elemen dalam level di atasnya. 4. Expectation, untuk tujuan pengambilan keputusan, struktur hierarki diasumsikan lengkap. Apabila asumsi ini tidak dipenuhi, maka pengambil keputusan dikatakan tidak memakai seluruh kriteria, sehingga keputusan yang diambil dianggap tidak lengkap.
Dalam analisis AHP perlu dilakukan hirarki tujuan sebab hirarki merupakan alat yang paling mudah untuk mamahami masalah yang kompleks dimana masalah tersebut diuraikan ke dalam elemen-elemen yang bersangkutan, menyusun
56
elemen-elemen tersebut secara hirarkis, dan akhirnya melakukan penilaian atas elemen-elemen tersebut sekaligus menentukan keputusan yang akan diambil. Hierarki yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan dalam model AHP adalah bentuk hirarki fungsional yang menguraikan masalah yang kompleks menjadi bagian-bagian yang sesuai dengan hubungan esensialnya.
Untuk memastikan bahwa kriteria-kriteria yang dibentuk sesuai dengan tujuan permasalahan, maka perlu dilihat sifat-sifat berikut: 1. Minimum, jumlah kriteria diusahakan tidak terlalu banyak dan berlebihan untuk memudahkan analisis, 2. Independen, setiap kriteria diharuskan tidak saling bergantung atau tumpang tindih dan harus dihindarkan pengulangan kriteria untuk suatu maksud yang sama, 3. Lengkap, kriteria harus dapat mencakup seluruh aspek penting dalam persoalan yang akan dipecahkan, 4. Operasional, kritera harus dapat diukur dan dianalisa baik secara kuantitatif maupun kualitatif dan dapat dikomunikasikan. (Catatan: manusia hanya mampu membandingkan 7 ± 2 hal yang dapat dibandingkan, jika lebih dari itu maka manusia akan cenderung bingung).
Pengambilan keputusan AHP memberikan bobot prioritas untuk sejumlah n alternatif dan dengan mempertimbangkan sejumlah m kriteria. Dalam hal ini, kriteria-kriteria dinyatakan sebagai Ci (untuk i=1,2,3,…,m) dan alternatifalternatif sebagai ai (untuk i=1,2,3,…,n), Gambar II.10. C
a1
a2
a…
Gambar II.10 Sub Sistem Hirarki AHP
57
an
Matriks kinerja (performance matrix) merupakan representasi dari tingkat pemenuhan kriteria dari suatu alternatif. Dari suatu sub sistem seperti diatas dapat dibuat matriks perbandingan berpasangan (pairwise matrix), seperti Tabel II.4.
Tabel II.4 Pembentukan Matriks Kinerja Berpasangan C
a1
a2
a…
an
a1
1
a1 a2
a1 a…
a1 an
a2
a2 a1
1
a2 a…
a2 an
a…
a …a 1
a …a 2
1
a…an
an
an a1
an a2
an a…
1
Dalam hal ini penilaian dapat dilakukan dengan memberikan suatu skala penilaian yang menunjukan seberapa besar perbandingan tingkat kepentingan antara dua kriteria, sebagai contoh Tabel II.5 memberikan skala penilaian yang lazim digunakan untuk membandingkan tingkat kepentingan antara dua variabel.
Tabel II.5 Skala Penilaian antar Kriteria Intensitas Kepentingan
Keterangan
1
Sama Penting
3
Relatif Lebih Penting
5
Lebih Penting
7
Sangat Penting
9
Jauh Lebih Penting
2, 4, 6, 8
Nilai Antara
Penjelasan
Sumber: Saaty (1988)
58
Dua kriteria (i dan j) memiliki tingkat kepentingan terhadap efektifitas pemenuhan tujuan yang sama Kriteria ’i’ sedikit lebih penting/efektif dibandingkan kriteria ’j’ dalam pemenuhan tujuan Kriteria ’i’ memiliki tingkat kepentingan yang cukup besar dibandingkan kriteria ’j’ dalam pemenuhan tujuan Kriteria ’i’ memiliki tingkat kepentingan yang sangat besar dibandingkan kriteria ’j’ dalam pemenuhan tujuan Kriteria ’i’ memiliki tingkat kepentingan yang jauh lebih besar dibandingkan kriteria ’j’ dalam pemenuhan tujuan Penilaian diantara relatif lain
Pengambil keputusan harus memberikan penilaian sebanyak n[(n − 1) / 2] untuk setiap matriks berukuran n x n. ⎡ 1 A = ⎢⎢1/a 12 ⎢⎣1/a 1n
a 12 1 a 2n
L a 1n ⎤ L a 21 ⎥⎥ L 1 ⎥⎦
Tahap-1: a ij =
wi ; wj
i,j = 1,2,…,n.
⎡ wi ⎢w ⎢ w Matriksnya adalah: ⎢ 2 ⎢w ⎢w1 ⎢ n ⎢⎣ w 1
w1 w2 w2 w2 wn w2
(II.1)
w1 ⎤ wn ⎥ ⎥ w2 ⎥ L wn ⎥ w n ⎥⎥ L w n ⎥⎦ L
Tahap-2:
Untuk melihat seberapa besar kelonggaran yang dibuat untuk penyimpangan, perhatikan baris ke-i dari matriks A. Elemen baris tersebut adalah: ai1, ai2,…,ain Pada kasus ideal (eksak), nilai-nilai ini sama dengan perbandingan: wi wi w w ,L, i ,L, i , w j w2 wj wn Jika elemen pertama dari baris tersebut dikalikan dengan w1, elemen kedua dengan dengan w2 , dan seterusnya, maka akan diperoleh:
⎛ wi ⎞ ⎛ wi ⎜⎜ ⎟⎟ w1 , ⎜⎜ ⎝ w1 ⎠ ⎝ w2
⎛w ⎞ ⎟⎟ w2 ,L, ⎜ i ⎜w ⎠ ⎝ j
⎞ ⎛ ⎟ w j ,L , ⎜ wi ⎜w ⎟ ⎝ n ⎠
⎞ ⎟⎟ wn ⎠
Hasilnya adalah baris dengan elemen yang identik: wi , wi ,L , wi ,L, wi Pada kasus umum, akan diperoleh elemen baris yang besarnya berkisar sekitar nilai wi , sehingga beralasan jika dikatakan bahwa wi adalah harga rata-rata dari nilai tersebut. wi =
1 n ∑ a ij w j n j=1
i=1,2,…,n
(II.2)
59
Tahap-3:
Pada kasus nyata, nilai aij tidak selalu sama dengan wi/wj, sehingga akan mempengaruhi solusi persamaan (II.2). kecuali jika n berubah. Untuk selanjutnya nilai nilai n ini diganti oleh λmaks, sehingga: wi =
1
λ maks
n
∑a j =1
ij
w j ; i= 1,2,…,n
(II.3)
Persamaan (II.3) memiliki solusi unik, yang dikenal dengan nilai eigenvalue (nilai eigen). Nilai λmaks adalah eigenvalue maksimum dari matriks A.
Dari tahap 1, dapat diturunkan hubungan: 1.
aij . ajk= (wi/wj) . (wj/wk) aij . ajk= (wi/wk) aij . ajk= aik
untuk semua i, j, k=1,2,…,n
(II.4)
Bentuk persamaan (II.4). menyatakan bahwa harus terpenuhi konsistensi penilaian dari elemen matriks tersebut. 2.
aji = (wj/wi) aji = 1/(wi/wk) aji = 1/aij
untuk semua i, j=1,2,…,n
(II.5)
Bentuk persamaan (II.5). menunjukkan ciri resiprokal dari matriks perbandingan.
B. Concordance Analysis
Metode ini dapat digunakan baik untuk penilaian yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Salah satu penerapan metode ini yang dikembangkan oleh B. Roy dikenal dengan nama ELECTRE (Elimination and Choice Translating Reality).
Titik awal dari analisis ini adalah adanya satu matriks pemilihan yang berisi nilai tiap alternatif terhadap kriteria yang digunakan (nilai tersebut harus berupa ratio atau interval). Kemudian definisikan 2 sistem set (concordance dan discordance) yang didapatkan sebagai hasil perbandingan pasangan untuk sepasang alternatif dan untuk setiap kriteria. Kemudian untuk setiap pasangan j dan k diperoleh 2 (dua) subset, yaitu:
60
1. Concordance set Cjk dari j dan k adalah semua impact (I) dimana j>k. Concordance matriks Cjk = jumlah bobot yang melekat pada impact kepunyaan Cjk yang merefleksikan dominasi j atas k berdasarkan bobot yang berhubungan dengan impact 0
Jadi matrix C berhubungan dengan informasi relatif dari impact, sedangkan matrix D berhubungan dengan ukuran dari perbedaan impact yang ada. Informasi ini digunakan untuk menghilangkan skema inferior dan mimilih alternatif yang paling disukai (dominasi multlak hampir tidak mungkin terjadi). Mekanisme pengurangan pilihan dilakukan dengan menghilangkan alternatif yang rendan concordance-nya dan tinggi discordance-nya dengan jalan mendefinisikan ambang batas (threshold values) c dan d.
Selanjutnya check: Cjk>c dan Djk
Metode yang sering disebut PROMETHEE ini dikembangkan oleh Brans dari Belgia, dimana dasar pengembangannya adalah: 1. Amplitudo/deviasi antara nilai-nilai kriteria perlu dipertimbangkan, 2. Efek skala pengukuran perlu dihilangkan, 3. Incomparability (ketidakbiasaan dibandingkan), 4. Metode harus mudah dimengerti oleh pengambil keputusan, 5. Harus memasukkan parameter yang punya nilai ekonomi, 6. Memberikan kemungkinan analisis konflik antar kriteria.
61
Prinsip analisis ini adalah: 1. Mempertimbangkan
generalized
criteria
dengan
memperhitungkan
amplitudo, 2. Enrichment dominance relation membuat fuzzy outranking graph, 3. Eksploitasi untuk alat memutuskan perbandingan partial. D. Strength-Weakness-Opportunity-Threat (SWOT)
Strength-Weakness-Opportunity-Threat (SWOT) merupakan alat bantu yang cukup berguna dalam memahami dan pengambilan keputusan untuk berbagai macam situasi dalam bisnis dan segala macam bentuk organisasi. SWOT merupakan akronim dari Stengths, Weaknesses, Opportunities, dan Threats. Analisis SWOT memberikan arahan yang baik untuk mengevaluasi strategi, posisi dan arah dari suatu instansi, badan, perusahaan dan organisasi lainnya dalam proses pencapaian tujuan. Analisis SWOT juga cukup baik dalam proses rapat untuk brainstorming, dengan penggunaan yang mudah dan sangat sering dilakukan untuk sesi workshop (http://www.businessball.com).
Analisis SWOT merupakan salah satu alat bantu dalam proses pengambilan keputusan strategis. Perencanaan strategis merupakan proses penyusunan perencanaan jangka panjang. Karena itu prosesnya lebih banyak menggunakan analitis. Dalam proses penyusunan perencanaan dapat menyangkut dua hal, yaitu dari sisi organisasi maupun dari sisi strategi itu sendiri. Tujuannya adalah untuk menyusun strategi sehingga sesuai dengan misi, sasaran dan kebijakan organisasi. Ada tiga hal penting dalam proses perencanaan strategis: bagaimana menentukan alternatif strategis, metode/alat apa yang digunakan dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pilihan strategis tersebut.
Proses penyusunan perencanaan Strategis melalui tiga tahapan, yaitu: pengumpulan data, analisis dan pengambilan keputusan. Dalam ketiga tahapan tersebut terdapat beberapa kegiatan dan analisis yang harus dilakukan (Rangkuti, 2006). Selengkapnya kegiatan tersebut sperti pada Tabel II.6 berikut.
62
Tabel II.6 Tahapan Analisis SWOT No. 1.
2.
3.
Tahapan
Hasil
Tahap pengumpulan data
Tahap analisis
Tahap pengambilan keputusan
a.
Evaluasi faktor eksternal
b.
Evaluasi Faktor internal
c.
Matrik profil kompetitif
a.
Matrik TOWS
b.
Matrik BCG
c.
Matrik Internal Eksternal
d.
Matrik SPACE
e.
Matrik GRAND STRATEGY
a.
Matrik perencanaan strategis kuantitatif
Sumber: Rangkuti (2006)
Pada dasarnya penetapan strategic issues diarahkan untuk dapat meminimalisir kelemahan dan ancaman atau bahkan menjadikannya kekuatan dan tantangan. Dari hasil analisis tersebut yang perlu dicermati adalah permasalahanpermasalahan yang berkaitan dengan kelemahan internal dari tiap alternatif, dan hambatan eksternal dari pihak luar. Bagaimanapun juga dalam pengambilan keputusan, hal yang paling mungkin dipegang adalah faktor-faktor internal, sedangkan faktor eksternal diharapkan akan mampu diredam dengan adanya perbaikan pada faktor internal. Aspek kekuatan/strength dan kelemahan/weakness merupakan
faktor
internal
sedangkan
aspek
tantangan/opportunity
dan
ancaman/threat adalah faktor eksternal. Pemetaan aspek SWOT adalah: a. Aspek Kekuatan/Strength, mengoptimalkan semua potensi kekuatan, b. Aspek Kelemahan/Weakness, meminimalisir semua kelemahan dan menjadikannya menjadi kekuatan, c. Aspek Tantangan/Opportunity, merespon semua tantangan sehingga menjadi menguntungkan, d. Aspek Ancaman/Threat, meredam ancaman dengan kekuatan internal.
63
II.4
II.4.1
Pemodelan Transportasi
Representasi Daerah Kajian
Daerah kajian adalah suatu wilayah administrasi yang dapat merupakan suatu bentuk yang kompleks, dimana jaringan jalan, bangunan-bangunan dan pusatpusat kegiatan sosial, ekonomi dan budaya saling berinteraksi. Agar dapat dilakukan suatu pengkajian terhadap daerah kajian tersebut maka bentuk yang kompleks ini perlu disederhanakan lebih dahulu, dengan hanya memperhatikan pada hal-hal yang relevan saja, akan tetapi perlu diperhatikan bahwa penyederhanaan ini tetap harus menggambarkan keadaan yang terjadi sesungguhnya.
Daerah kajian juga merupakan suatu daerah yang secara geografis terdiri dari tempat asal dan tempat tujuan perjalanan yang diperhitungkan dalam model kebutuhan transportasi. Daerah kajian untuk suatu analisis transportasi dibatasi dari daerah sekitarnya dengan sebuah garis kordon. Dalam analisis terhadap daerah kajian ini, biasanya daerah yang berada di luar garis kordon tersebut tidak terlalu diperhitungkan.
Dengan kata lain, daerah atau zona yang berada di luar batas daerah kajian (zona eksternal) dianggap kurang atau sedikit berpengaruh terhadap pergerakan arus lalu lintas di dalam daerah kajian, sedangkan daerah atau zona yang berada di dalam daerah kajian (zona internal) berpengaruh sangat besar terhadap sistem pergerakan lalu lintas di dalam daerah kajian.
Suatu daerah kajian terdiri dari beberapa zona, baik zona internal maupun zona eksternal, dimana masing-masing zona tersebut dihubungkan oleh beberapa ruas jalan. Sebuah ruas jalan (link) ditandai dengan dua titik ujung yang diberi nomor (node). Penghubung pusat zona (centroid connector) adalah jenis ruas jalan yang bersifat abstrak yang menghubungkan setiap pusat zona dengan sistem jaringan jalan. Semua titik simpul (node) dan pusat zona (centroid) diberi nomor tertentu,
64
dan setiap ruas jalan dan ruas penghubung diidentifikasikan dengan nomor-nomor di kedua ujungnya. Jadi, jaringan jalan terdiri dari sekumpulan ruas jalan dan titik-titik potongnya.
Di dalam batasnya, daerah kajian dibagi menjadi N sub-daerah yang disebut zona, dan masing-masing zona tersebut dinyatakan dengan pusat zonanya. Pusat zona (centroid) dianggap sebagai tempat dimana semua perjalanan yang berasal dari zona ini berawal dan tempat kemana semua perjalanan yang menuju tempat tersebut berakhir. Biasanya batas antar zona ini mengikuti batas-batas wilayah administratif. Hal ini perlu dilakukan untuk kemudahan pengumpulan data, terutama data sekunder yang didapatkan dari badan pemerintah atau instansi lain. Pemeriksaan silang (cross checking) dan perbandingan statistik juga dapat dilakukan dengan hasil studi lain jika masing-masing menggunakan wilayah studi dan batas zona yang sama. Beberapa kriteria utama yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan pembagian zona ini adalah (Tamin, 2000): a. Satu zona sedapat mungkin terdiri dari satu jenis pola penggunaan lahan yang seragam, misalnya daerah pemukiman, industri, perdagangan, perkantoran dan lain-lain, b. Ukuran zona sebaiknya disesuaikan dengan kepadatan jaringan jalan yang ada. Biasanya ukuran zona ini makin besar bila letaknya makin jauh dari daerah pusat kota, c. Ukuran zona jangan terlalu kecil sehingga pembebanan lalu lintas pada jaringan jalan tetap dapat dilakukan dengan tingkat akurasi yang memadai, d. Batas zona sedapat mungkin mengikuti jenis penggunaan lahan yang sama di tiap zona, seperti: perumahan, industri, dan lain-lain, e. Batas zona sedapat mungkin diusahakan sama dengan batas-batas wilayah administrasi pemerintah daerah dan batas-batas zona yang digunakan dalam studi lain, f. Batas zona harus sesuai dengan garis batas daerah (screen lines and cordons) yang digunakan dalam pengumpulan data dan pengembangan model.
65
Perjalanan yang melintasi garis batas daerah kajian adalah perjalanan yang berasal dari (atau menuju ke) daerah di luar daerah kajian. Asal dan tujuan perjalanan ini dapat diwakili oleh suatu zona eksternal tersendiri yang berupa satu titik, dimana perjalanan tersebut melintasi garis batas. Pengamatan terhadap perjalanan jenis ini dapat dilakukan dengan mengadakan wawancara di tepi jalan pada suatu tempat tertentu di dalam daerah kajian.
Penetapan daerah kajian dan batas zona sering membutuhkan kompromi persyaratan yang saling bertolak belakang. Di satu pihak ada keinginan untuk memperbaiki ketepatan model dengan memperbesar ukuran daerah kajian dan kompleksitasnya. Di pihak lain ada pertimbangan praktis untuk tetap menekan biaya serendah mungkin serta memenuhi skala waktu dan ketepatan yang disyaratkan. Gambar II.11 melukiskan suatu contoh daerah kajian sederhana beserta masing-masing
definisinya.
II.4.2
Model Bangkitan/Tarikan
Bangkitan pergerakan merupakan jumlah pergerakan yang keluar dari suatu zona dalam suatu satuan waktu. Demikian juga dengan tarikan pergerakan merupakan jumlah pergerakan yang menuju ke suatu zona dalam satu satuan waktu. Dalam suatu kajian pemodelan bangkitan/tarikan pergerakan, tujuan dasar dari tahap bangkitan/tarikan pergerakan adalah untuk menghasilkan model hubungan yang mengaitkan parameter tata guna lahan dengan jumlah pergerakan yang menuju ke suatu zona atau jumlah pergerakan yang meninggalkan suatu zona. Zona asal dan tujuan pergerakan biasanya juga menggunakan istilah trip end.
Pemodelan bangkitan/tarikan pergerakan biasanya menggunakan data berbasis zona, misalnya: tata guna lahan, pemilikan kendaraan, populasi, jumlah pekerja, kepadatan penduduk, kepadatan dan juga moda transportasi yang digunakan. Khusus mengenai angkutan barang, bangkitan/tarikan pergerakan diramalkan dengan menggunakan atribut sektor industri dan sektor lain yang terkait. Dalam pemodelan, data tata guna lahan dan/atau atributnya dianggap sebagai peubah X,
66
data bangkitan pergerakan P dan data tarikan pergerakan A sebagai peubah tak bebas (independent variabel), dinyatakan sebagai Y. Data peubah tak bebas dalam suatu studi didapat dari hasil survey (Black, 1978). Pusat zona
Gateway
Zona 2 3
Ruas
1 5
Penghubung pusat zona
7
Batas daerah
6
kajian
Simpul
Batas zona
Gambar II.11 Daerah kajian sederhana dengan definisinya Sumber: Tamin (2000)
Analisis bangkitan/tarikan pergerakan dapat dilakukan dalam dua metode, analisis regresi dan analisis kategori. Berikut ini akan dijelaskan tentang analisis regresi dan analisis kategori:
II.4.2.1 Analisis Regressi
Dalam pemodelan bangkitan pergerakan biasanya digunakan model analisis regresi-linear. Analisis regresi-linear adalah metode statistik yang dapat digunakan untuk mempelajari hubungan antar sifat permasalahan yang sedang diselidiki. Model analisis regresi-linear dapat memodelkan hubungan antara dua peubah atau lebih. Hubungan secara umum untuk regresi-linear dengan peubah tunggal sebagaimana yang dapat dilihat pada persamaan berikut:
67
Y = A + BX
(II.6)
Di mana: Y = peubah tak bebas X = peubah bebas A = intersep atau konstanta regresi B = koefisien regresi Bentuk umum model regresi-linear berganda dapat dilihat pada persamaan berikut: Y = A + B1 X 1 + B2 X 2 + L + Bz X z
(II.7)
Di mana: Y
= peubah tak bebas
X1...XZ = peubah bebas A
= intersep atau konstanta regresi
B1...BZ = koefisien regresi Analisis
regresi-linear-berganda
adalah
suatu
metoda
statistik.
Untuk
menggunakannya terdapat beberapa asumsi yang perlu diperhatikan (Tamin, 2000):
a. nilai peubah, khususnya peubah bebas, mempunyai nilai tertentu atau merupakan nilai yang didapat dari hasil survei tanpa kesalahan berarti; b. peubah tidak bebas (Y) harus mempunyai hubungan korelasi linear dengan peubah bebas (X). Jika hubungan tersebut tidak linear, transformasi linear harus dilakukan, meskipun batasan ini akan mempunyai implikasi lain dalam analisis residual; c. efek peubah bebas pada peubah tidak bebas merupakan penjumlahan, dan harus tidak ada korelasi yang kuat antara sesama peubah bebas; d. variansi peubah tidak bebas terhadap garis regresi harus sama untuk semua nilai peubah bebas; e. nilai peubah tidak bebas harus tersebar normal atau minimal mendekati normal; f. nilai peubah bebas, sebaiknya merupakan besaran yang relatif mudah diproyeksikan.
68
Ada beberapa ukuran dalam melihat tingkat akurasi model regresi linear hasil analisis, diantaranya: koefisien korelasi, koefisien determinasi dan t-test. Koefisien korelasi (sering dinotasikan dengan r) digunakan untuk menentukan korelasi antara peubah tak bebas dengan peubah bebas dan antara sesama peubah bebas. Nilai r bergerak dari -1 sampai +1. Nilai r = +1 menyatakan korelasi positif, artinya naiknya nilai peubah bebas akan menaikkan juga nilai peubah tak bebasnya. Nilai r = -1 menyatakan bahwa korelasi adalah negatif, artinya naiknya nilai peubah bebas akan menurunkan nilai peubah tak bebasnya. Jika r = 0 menyatakan bahwa tidak ada korelasi antar peubah. Koefisien determinasi (sering dinotasikan dengan R2) adalah koefisien yang menentukan kedekatan suatu model penduga yang mewakili terhadap data yang membentuk model penduga tersebut. Koefisien ini mempunyai batas limit sama dengan satu (perfect explanation) dan nol (no explanation). Nilai antara kedua batas limit ini ditafsirkan sebagai persentase total variasi yang dejelaskan oleh analisis regresi-linear. Uji t-test dapat digunakan untuk dua tujuan: untuk menguji siknifikansi nilai koefisien korelasi (r) dan untuk menguji signifikansi nilai koefisien regresi. Setiap peubah yang mempunyai koefisien regresi yang tidak signifikan secara statistik harus dibuang dari model. Analisis regresi-linear digunakan dalam penelitian disertasi ini.
II.4.2.2 Analisis Kategori
Metode analisis kategori disebut juga dengan analisis klasifikasi silang. Metode analisis kategori pertama sekali dikebangkan pada The Puget Sound
Transportation Study pada tahun 1964. Model ini telah diperbaiki dan sering digunakan untuk mendapatkan bangkitan pergerakan untuk daerah pemukiman dan juga penerapan lainnya. Sampai dengan akhir tahun 1960-an, hampir semua kajian perencanaan transportasi di Amerika Serikat mengembangkan persamaan bangkitan pergerakan menggunakan analisis regresi linear, khususnya untuk model bangkitan pergerakan untuk orang. Model regresi diusulkan oleh Federal
69
Highway Administration (FHA) sebagai model standar dalam menganalisa bangkitan pergerakan.
Di akhir tahun 1960-an, metode alternatif lain didapatkan dan sangat cepat berkembang menjadi model yang populer di Inggris. Metode tersebut disebut dengan analisis kategori di Inggris (Wootton and Pick, 1967) atau metode klasifikasi silang di Amerika Serikat). Pada saat yang sama, pengembangan model regresi linear juga berkembang dengan pesat, dimulai dengan analisis dari tingkat zona dan dilanjutkan pada tingkat individu atau rumah tangga.
Metode analisis regresi ini didasarkan pada adanya keterkaitan antara terjadinya pergerakan dengan atribut rumah tangga. Asumsi dasarnya adalah tingkat bangkitan pergerakan dapat dikatakan stabil dalam waktu untuk setiap stratifikasi rumah tangga tertentu. Metode ini menemukan secara empiris bahwa besarnya tingkat bangkitan pergerakan sangat banyak membutuhkan data (misalnya jumlah rumah tangga untuk setiap kelas). Walaupun pada awalnya metode ini dirancang agar dapat menggunakan data sensus di Inggris, permasalahan serius timbul pada saat harus meramalkan jumlah rumah tangga untuk setiap strata pada masa mendatang. Model analisis kategori tidak digunakan dalam analisis pada penelitian disertasi ini.
II.4.3
Distribusi Pergerakan
Pola pergerakan dalam sistem transportasi sering dijelaskan dalam bentuk arus pergerakan (kendaraan, orang dan barang) yang bergerak dari suatu zona asal ke zona tujuan dalam suatu daerah tertentu pada periode waktu tertentu. Pola ini dapat digambarkan dengan suatu matriks pergerakan atau Matriks Asal-Tujuan (Origin-Destination Matrix) yang selanjutnya akan disebut sebagai MAT ataupun dengan diagram garis keinginan (desire line).
MAT adalah matriks dua dimensi yang berisi informasi mengenai besarnya pergerakan antar zona dalam daerah kajian. Baris menyatakan zona asal dan
70
kolom menyatakan zona tujuan, sehingga setiap sel matriks menyatakan besarnya pergerakan dari zona asal ke zona tujuan. Notasi Tid menyatakan besarnya arus pergerakan (kendaraan, penumpang atau barang) yang bergerak dari zona asal i ke zona tujuan d selama periode waktu tertentu.
Pola pergerakan dapat dihasilkan jika suatu MAT dibebankan ke suatu sistem jaringan transportasi. Dengan mempelajari pola pergerakan yang terjadi, permasalahan yang timbul dapat diidentifikasi sehingga beberapa solusi segera dapat dihasilkan. MAT dapat memberikan indikasi rinci mengenai kebutuhan akan pergerakan sehingga MAT memegang peran yang sangat penting dalam berbagai kajian perencanaan dan manajemen transportasi.
II.4.4
Pembebanan Lalu Lintas
II.4.4.1 Metode Untuk Mendapatkan Matriks Asal-Tujuan (MAT)
Metode untuk mendapatkan MAT dapat dikelompokkan menjadi dua bagian utama, yaitu Metode Konvensional dan Metode Tidak Konvensional (Tamin, 2000). Kedua metode tersebut terbagi atas beberapa sub metode sebagaimana
diperlihatkan pada Gambar II.12.
II.4.4.2 Metode Konvensional
Tamin (2000) mengelompokkan metode konvensional menjadi dua bagian
utama, yaitu metode langsung dan metode tidak langsung. Pada metode langsung, pendekatannya sangat tergantung pada hasil pengumpulan data dan survei lapangan. Metode ini membutuhkan sumber daya manusia yang besar, waktu proses yang lama serta hasil akhirnya hanya berlaku untuk selang waktu yang pendek. Sedangkan metode tidak langsung lebih mengandalkan prosedur matematis dan pemodelan dalam membentuk MAT, tergantung pada jenis data yang digunakan. Secara umum, metode ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu metode analogi dan metode sintesis.
71
Wawancara di tepi jalan Wawancara di rumah Metode menggunakan bendera Metode foto udara Metode mengikuti mobil
Metode Langsung
Metode Analogi Metode Konvensional
Metode Tidak Langsung
Tanpa-Batasan - Seragam Dengan-Satu-Batasan - Batasan Bangkitan - Batasan Tarikan Dengan-Dua-Batasan - Rata-rata - Fratar - Detroit - Furness Metode Sintetis
Metode MAT
Model Opportunity Model Gravity Model Gravity Opportunity
Metode Berdasarkan Informasi Data Arus Lalulintas Estimasi Matriks Entropi Maksimum (EMEM )
Metode Tidak Konvensional
Model Estimasi Kebutuhan Transportasi (MEKT)
Gambar II.12 Metode untuk Mendapatkan Matriks Asal-Tujuan (MAT) Sumber : Tamin (2000)
A. Metode Langsung
Pendekatan ini sudah lama digunakan sehingga permasalahan yang timbul berkaitan dengan penggunaannya dapat diidentifikasi. Pendekatan ini sangat tergantung pada hasil pengumpulan data dan survei lapangan. Metode ini membutuhkan biaya yang cukup besar terutama dalam kebutuhan sumber daya manusia, membutuhkan waktu proses yang lama, dan memberikan suatu hasil akhir yang hanya berlaku untuk selang waktu yang pendek saja.
Beberapa teknik yang tersedia antara lain (Willumsen, 1978a;1981ab;1982) seperti ditulis dalam Tamin (2000): ♦
Wawancara di tepi jalan. Survei ini biasanya dilakukan pada lokasi inlet
dan outlet dari daerah kajian yang mempunyai batas wilayah tertentu. Untuk kasus transportasi barang antarkota, survei ini sangat berguna. Data dikumpulkan dengan mewawancarai pengendara di jalan. Wawancara
72
meliputi pertanyaan mengenai zona asal dan tujuan pergerakan, jenis barang yang diangkut, beban muatan, dan lain-lain. Survei lainnya kadang-kadang menanyakan hal yang bersangkutan dengan jenis kendaraan, misalnya jenis kendaraan dan kapasitas angkutnya. ♦
Wawancara di rumah. Survei ini adalah jenis survei asal-tujuan yang
terbaik untuk daerah perkotaan dan merupakan bagian yang terpenting dalam kebanyakan kajian transportasi. Ukuran sampel merupakan hal yang paling menentukan dan biasanya untuk kota kecil, jumlah sampel yang diperlukan adalah sebesar 5 % dari total populasi. ♦
Metode menggunakan bendera. Metode ini membutuhkan beberapa
pengamat yang mengambil posisi pada beberapa lokasi inlet dan outlet daerah
kajian.
Beberapa
jenis
tanda
pengenal
digunakan
untuk
mengidentifikasi kendaraan, misalnya stiker. Biasanya stiker tersebut bernomor dan berwarna yang ditempelkan pada kendaraan di setiap lokasi masuk dan kemudian kendaraan tersebut dicatat pada beberapa lokasi tertentu dan pada lokasi keluar. Nomor pelat mobil sering juga digunakan untuk menggantikan stiker dan mempunyai keuntungan, yaitu tidak mengganggu perjalanan. ♦
Metode foto udara. Metode ini menggunakan beberapa foto udara di
daerah kajian yang diambil dari helikopter yang terbang pada koordinat dan ketinggian tertentu. Proses pengumpulan data cukup cepat dan tidak mahal jika dibandingkan dengan metode alternatif lainnya, tetapi proses selanjutnya membutuhkan dana cukup besar. Metode ini membutuhkan informasi mengenai setiap foto yang berurutan pengambilannya untuk menentukan pergerakan setiap kendaraan dengan bantuan alat digitasi. ♦
Metode mengikuti-mobil. Metode ini membutuhkan adanya pengamat
yang
bertugas
mengikuti
pergerakan
kendaraan
(biasanya
dengan
menggunakan kendaraan lain) di dalam daerah kajian dengan cara mencatat pergerakan kendaraan pada beberapa lokasi tertentu dalam suatu jaringan jalan. Metode ini lebih murah dibandingkan dengan metode lainnya, tetapi membutuhkan manajemen yang baik dalam proses pengumpulan dan analisis data.
73
B. Metode Tidak Langsung
Perkiraan kebutuhan akan pergerakan merupakan bagian terpenting dalam proses perencanaan transportasi karena kebutuhan akan pergerakan pada masa sekarang maupun masa mendatang memiliki pengaruh yang besar terhadap kebijakan transportasi
dan
kebutuhan
akan
sistem
jaringan.
Pendekatan
untuk
memperkirakan kebutuhan akan pergerakan ini dapat dilakukan melalui pemodelan. Pemodelan adalah penyederhanaan realita yang dilakukan dengan menggunakan suatu sistem dalam bentuk unsur atau faktor yang dapat dipertimbangkan mempunyai kaitan dengan situasi yang akan digambarkan. Beberapa prosedur matematis telah dikembangkan, dan secara umum terbagi menjadi dua golongan tergantung pada jenis data yang digunakan dan cara penggunaannya (Tamin, 2000).
B.1. Metode Analogi
Metode analogi menggunakan tingkat pertumbuhan zona yang berbeda-beda pada pergerakan masa sekarang untuk memprakirakan pergerakan pada masa mendatang. Persamaan umum dari metode ini adalah sebagai berikut: Tid = tid.E
(II.8)
Di mana :
Tid = pergerakan pada masa mendatang dari zona asal i ke zona tujuan d tid = pergerakan pada masa sekarang dari zona asal i ke zona tujuan d E = tingkat pertumbuhan
Tingkat pertumbuhan yang digunakan dapat berupa suatu faktor atau kombinasi dari beberapa faktor yang diperoleh dari proyeksi tata guna lahan atau bangkitan lalu lintas. Faktor tersebut dapat dihitung untuk semua daerah kajian atau untuk zona tertentu saja, dan selanjutnya digunakan untuk memperoleh MAT. Dalam metode analogi, terdapat tiga kelompok utama, yaitu metode tanpa-batasan, metode dengan-satu-batasan dan metode dengan-dua-batasan. Secara kronologis, pengembangan metode analogi adalah metode seragam, metode batasan-
74
bangkitan, metode batasan-tarikan, metode rata-rata, metode Fratar, metode Detroit dan metode Furness.
Tamin (2000) telah membahas kelebihan dan kekurangan dari metode analogi.
Beberapa kelebihan dari metode analogi adalah sebagai berikut:
•
Mudah dimengerti dan digunakan, hanya membutuhkan data pergerakan antar zona (MAT) masa sekarang dan perkiraan tingkat pertumbuhan zona pada masa mendatang yang sederhana,
•
Proses pengulangannya sederhana,
•
Tidak memerlukan data aksesibilitas (waktu, jarak dan biaya),
•
Penggunaannya fleksibel, misalnya untuk moda transportasi lain, atau untuk tujuan perjalanan, selang waktu dan arah pergerakan yang berbeda,
•
Sudah sering diabsahkan dan menghasilkan tingkat ketepatan yang cukup tinggi jika digunakan pada daerah yang tingkat perkembangan wilayahnya stabil.
Sedangkan kekurangan dari metode analogi antara lain:
•
Membutuhkan masukan data lengkap dari seluruh pergerakan antar zona pada masa sekarang (tid), sehingga biayanya menjadi mahal,
•
Membutuhkan jumlah zona yang harus tetap (tidak boleh ditambah atau dikurangi), sehingga menjadi masalah tersendiri, karena biasanya pada masa mendatang terdapat zona baru yang berkembang,
•
Bila terdapat dua buah zona pada saat sekarang belum terjadi pergerakan (tid=0) atau mungkin terjadi galat survei lainnya, maka pergerakan masa depannya tidak akan dapat diramalkan. Diperlukan ‘manipulasi’ data dengan menganggap telah terjadi pergerakan dengan volume yang sangat kecil,
•
Tidak dapat diterapkan untuk melengkapi sel matriks yang kosong dengan menambahkannya dari matriks parsial,
•
Ketepatan metode analogi sangat tergantung pada tingkat pertumbuhan pergerakan yang digunakan,
75
•
Terdapat asumsi bahwa ‘tidak ada perubahan pada aksesibilitas’, sehingga metode ini tidak dapat diterapkan pada daerah yang masa mendatang mengalami
perubahan
aksesibilitas
yang
signifikan
dan
memiliki
pengembangan wilayah yang pesat.
B.2. Metode Sintesis
Kelemahan dari metode analogi mendorong pengembangan metode alternatif lainnya, yang dikenal dengan metode sintesis. Metode ini menggambarkan hubungan antara tata guna lahan dan transportasi dalam pemodelan. Asumsi yang digunakan antara lain:
•
Sebelum pergerakan pada masa mendatang diramalkan, harus dipahami alasan terjadinya pergerakan pada masa sekarang,
•
Alasan tersebut kemudian dimodelkan dengan mengikuti hukum alam yang sering terjadi.
Prinsip dari metode ini adalah pergerakan dari zona asal ke zona tujuan berbanding lurus dengan besarnya bangkitan lalu lintas di zona asal dan tarikan lalu lintas di zona tujuan, serta berbanding terbalik dengan jarak (kemudahan) antara kedua zona tersebut. Model ini secara tidak langsung membatasi pemodelan pola pergerakan sehingga mengurangi jumlah informasi yang dibutuhkan dan survei yang harus dilakukan. Metode sintesis ini terdiri dari tiga macam pemodelan, yaitu: model Gravity, model Intervening-Opportunity dan model Gravity-Opportinity.
II.4.4.3 Metode Tidak Konvensional (MTK)
Metode tidak konvensional merupakan suatu metode untuk mengestimasi MAT berdasarkan pada data arus lalu lintas. Metode ini dikembangkan untuk menjawab ketidak puasan para perencana transportasi terhadap metode konvensional. Tujuan dari metode ini adalah memberikan pendekatan sederhana untuk menyelesaikan masalah yang sama dengan biaya yang lebih murah. Pendekatan sederhana ini akan memperlakukan pemodelan empat tahap dalam suatu proses
76
tunggal. Agar tujuan ekonomis ini dapat tercapai, kebutuhan data untuk pendekatan ini harus dibatasi dengan perencanaan zona sederhana dan data arus lalu lintas pada beberapa ruas dan data lain yang lebih murah.
II.4.4.4 Metode Estimasi MAT Berdasarkan Data Arus Lalu Lintas
Tamin (2000) menjelaskan bahwa dalam model transportasi berdasarkan data arus
lalu lintas, penentuan rute yang dilalui oleh setiap pergerakan dari zona asal i ke zona tujuan d merupakan tahapan terpenting dalam proses estimasi MAT. Jika terdapat sebuah daerah kajian yang terdiri dari N zona yang masing-masing diwakili oleh satu pusat zona, maka akan terdapat N jumlah bangkitan dan tarikan. MAT untuk daerah tersebut akan terdiri dari N2 sel; terdapat (N2-N) sel jika perjalanan intrazona dapat diabaikan. Setiap zona dihubungkan pada jaringan jalan yang terdiri dari ruas dan simpul dengan penghubung pusat zona. Peubah pidl digunakan untuk mendefinisikan proporsi jumlah perjalanan dari zona asal i ke zona tujuan d yang menggunakan ruas l. Jadi pada setiap ruas jalan dalam suatu jaringan jalan, arus lalu lintas merupakan hasil dari:
•
Jumlah perjalanan dari zona asal i ke zona tujuan d (Tid), dan,
•
Proporsi jumlah perjalanan dari zona asal i ke zona tujuan d yang menggunakan ruas l, yang didefinisikan sebagai pidl (0 ≤ pidl ≤ 1).
Arus lalu lintas (Vl) pada suatu ruas jalan l adalah jumlah perjalanan antar zona yang menggunakan ruas jalan tersebut. Secara matematis arus lalu lintas dapat dinyatakan pada persamaan (II.9): Vl = ∑ ∑ Tid .p idl i
(II.9)
d
Jika digunakan model Gravity (GR), Tid adalah pergerakan dari zona asal i ke zona tujuan d yang didefinisikan dengan persamaan berikut:
Tid = Oi .D d .Ai .B d .f (C id )
(II.10)
Dengan memasukkan persamaan (II.9) ke persamaan (II.10), persamaan dasar untuk model estimasi kebutuhan akan transportasi dengan data arus lalu lintas dan beberapa data perencanaan adalah:
77
[
V l = ∑ ∑ O i . Dd . Ai . Bd . f (C id ). p idl i
]
(II.11)
d
Dengan mengetahui estimasi pidl dan satu set data arus lalu lintas (Vl), akan diperoleh N2 sel Tid.
pidl dapat diestimasi dengan menggunakan model pemilihan rute. Tujuan dari pemilihan rute adalah untuk mengidentifikasi rute yang ditempuh pengendara dari zona asal i ke zona tujuan d dan juga jumlah perjalanan yang melalui setiap ruas jalan pada suatu jaringan jalan. Robillard (1975) seperti tertulis dalam Tamin (2000) mengklasifikasikan metode pembebanan rute menjadi dua kelompok utama
yaitu metode proporsional dan metode tidak proporsional. Metode proporsional mengasumsikan proporsi pengendara memilih rute perjalanannya berdasarkan asumsi mereka dan ciri rutenya, dan tidak tergantung pada tingkat arus lalu lintasnya. Contoh metode proporsional adalah metode all-or-nothing.
Pada metode all-or-nothing, diasumsikan bahwa pengendara yang memilih suatu rute perjalanan berusaha meminimumkan biayanya dan tidak tergantung pada tingkat arus lalu lintasnya, sehingga semua pengendara dari suatu zona ke zona lain akan memilih rute yang sama. Metode ini tidak realistis untuk beberapa jaringan jalan di daerah perkotaan karena tidak mempertimbangkan efek kemacetan dan keragaman persepsi dalam mempertimbangkan pilihan rute. Tetapi metode ini merupakan metode yang termudah dan tercepat dan dapat digunakan pada jaringan jalan yang tidak terlalu rapat dan hanya memiliki beberapa pilihan rute saja. Nilai peubah pidl untuk metode ini adalah sebagai berikut: 1 jika pergerakan dari zona asal i ke zona tujuan d menggunakan ruas l
p idl
(II.12) 0 jika sebaliknya atau i = d
Dalam kondisi macet, biaya untuk melalui ruas jalan tertentu sangat tergantung pada jumlah arus lalu lintas di ruas jalan tersebut. Beberapa metode telah dikembangkan untuk mempertimbangkan efek tersebut yang biasa dikenal dengan metode batasan-
78
kapasitas. Beberapa diantaranya adalah all-or-nothing-berulang, pembebananberulang dan pembebanan-bertahap. Tingkat kemacetan, adanya rute alternatif dengan biayanya masing-masing dan ide pengendara, sangat menentukan metode pemilihan rute yang terbaik.
Masalah yang timbul dalam estimasi MAT dengan data arus lalu lintas menjadi lebih mudah dipecahkan jika metode proporsional dapat digunakan karena pada metode tidak-proporsional diperlukan suatu proses pengulangan dimana nilai asumsi peubah pidl yang digunakan untuk estimasi MAT selanjutnya digunakan kembali untuk memperbaiki nilai pidl tersebut.
II.4.4.5 Model Gravity (GR)
Model ini menggunakan konsep Gravity yang diperkenalkan oleh Newton pada tahun 1686 yang dikembangkan dari analogi hukum gravitasi. Metode ini berasumsi bahwa ciri bangkitan dan tarikan pergerakan berkaitan dengan beberapa parameter zona asal, misalnya populasi dan nilai sel MAT yang berkaitan juga dengan aksesibilitas (kemudahan) sebagai fungsi jarak, waktu ataupun biaya. Newton menyatakan bahwa (Fid) gaya tarik atau tolak antara dua kutub massa berbanding lurus dengan massanya, mi dan md, dan berbanding terbalik kuadratis dengan jarak antara kedua massa tersebut, d id2 , yang dapat dinyatakan dengan:
Fid = G
mi md d id2
dengan G adalah konstanta gravitasi
(II.13)
Dalam ilmu geografi, gaya dapat dianggap sebagai pergerakan antara dua daerah; sedangkan massa dapat digantikan dengan peubah seperti populasi atau bangkitan dan tarikan pergerakan; serta jarak, waktu, atau biaya sebagai ukuran aksesibilitas (kemudahan). Jadi, untuk keperluan transportasi, model GR dinyatakan sebagai: Tid = k
Oi Od d id2
dengan k adalah konstanta
79
(II.14)
Model ini mempunyai beberapa hal yang perlu diperhatikan. Dikatakan bahwa pergerakan antara zona asal i dan zona tujuan d berbanding lurus dengan Oi dan
Dd dan berbanding terbalik kuadratis terhadap jarak antara kedua zona tersebut. Jadi, dalam bentuk matematis, model GR dapat dinyatakan sebagai:
Tid ≈ O i .Dd .f(C id )
(II.15)
Walaupun kelihatan realistis, bila diteliti lebih mendalam, persamaan (II.15) menghasilkan kenyataan yang membingungkan dan merupakan kesalahan fatal jika digunakan dalam aspek transportasi. Jika salah satu nilai Oi dan salah satu nilai Dd menjadi dua kali, pergerakan antara kedua zona meningkat empat kali sesuai dengan persamaan (II.14), dimana sebenarnya pergerakan diperkirakan hanya meningkat dua kali. Untuk menjawab hal ini, persamaan yang membatasi
Tid diperlukan, dan batasan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh persamaan (II.15).
∑ Tid
= O i dan
d
∑ Tid
= Dd
(II.16)
i
Oi dan Dd menyatakan jumlah pergerakan yang berasal dari zona i dan yang berakhir di zona d. Oleh karena itu, penjumlahan sel MAT menurut ‘baris’ menghasilkan total pergerakan yang berasal dari setiap zona, sedangkan penjumlahan menurut ‘kolom’ menghasilkan total pergerakan yang menuju ke setiap zona. Pengembangan persamaan (II.15), dengan batasan persamaan (II.16), menghasilkan persamaan (II.17) berikut:
Tid = O i .Dd .Ai .Bd .f (C id )
(II.17)
Kedua persamaan pembatas (II.16) dipenuhi jika digunakan konstanta Ai dan Bd, yang terkait dengan setiap zona bangkitan dan tarikan. Konstanta itu disebut faktor penyeimbang.
Ai =
1 dan Bd = ∑ (Bd .Dd .f id ) d
1 ∑ ( Ai .Oi .f id )
(II.18)
i
Persamaan Ai dan Bd didapatkan secara berulang-ulang dan dapat dengan mudah dicek bahwa Tid pada persamaan (II.17) sudah memenuhi batasan persamaan
80
(II.18). Nilai Bd untuk setiap d dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (II.18), yang nilainya kemudian digunakan lagi untuk menghitung kembali nilai
Ai. Proses ini diulangi sampai nilai Ai dan Bd menghasilkan nilai tertentu (konvergen). Prosedur penyeimbang tersebut akan selalu menghasilkan nilai Ai dan Bd dari setiap nilai awal apapun. Selain persamaan (II.18), dibutuhkan satu tambahan persamaan pembatas lainnya sebagaimana dinyatakan dalam persamaan (II.19) berikut ini. N
N
N
T = ∑ ∑ Tid = ∑ Oi = i =1 d =1
i =1
N
∑ Dd
(II.19)
d =1
Jika Cid, Oi dan Dd diketahui, parameter model Gravity yang tidak diketahui hanyalah parameter β. Maka setelah nilai β diketahui, persamaan (II.18) dapat digunakan untuk mengetahui nilai Ai dan Bd. Proses estimasi nilai parameter β biasa dikenal dengan proses kalibrasi model.
II.4.4.6 Fungsi Hambatan Hal yang terpenting untuk diketahui adalah fid harus dianggap sebagai ukuran aksesibilitas (kemudahan) antara zona i dengan zona d. Hyman (1969) seperti ditulis dalam Tamin (2000) menyarankan tiga jenis fungsi hambatan yang dapat digunakan dalam model GR:
f (C id ) = C id− β
(fungsi pangkat)
(II.20)
f (C id ) = e − βC id
(fungsi eksponensial-negatif)
(II.21)
f (C id ) = C id− α .e − βC id
(fungsi Tanner)
(II.22)
Secara umum ditemukan bahwa fungsi pangkat lebih cocok untuk pergerakan jarak jauh (antarkota), sejalan dengan yang dikemukakan Isya, dkk. (2006). Sedangkan fungsi eksponensial sering digunakan untuk pergerakan jarak pendek (pergerakan dalam kota). Fungsi Tanner mengkombinasikan kedua faktor tersebut.
81
Terdapat 4 (empat ) jenis model GR yaitu tanpa-batasan (UCGR), denganbatasan-bangkitan (PCGR), dengan-batasan-tarikan (ACGR), dan denganbatasan-bangkitan-tarikan (PACGR). Model PCGR dan ACGR sering disebut model dengan-satu-batasan (SCGR), sedangkan model PACGR disebut model dengan-dua-batasan (DCGR).
Persamaan (II.11)–(II.12) dikenal sebagai model DCGR. Versi lain yang dikenal
dengan model SCGR juga dapat dihasilkan. Dengan menetapkan nilai Bd=1 untuk semua d untuk menghilangkan batasan bangkitan pergerakan (Oi), maka model PCGR bisa dihasilkan. Selanjutnya, dengan menetapkan nilai Ai=1 untuk semua i untuk menghilangkan batasan tarikan pergerakan (Dd), maka bentuk model lain akan dihasilkan yang biasa disebut dengan model ACGR. Terakhir, dengan mengabaikan batasan bangkitan dan tarikan, dihasilkan model UCGR
II.4.5
Pemilihan Moda
Tahap ketiga dari pemodelan kebutuhan transportasi menggunakan model empat tahap adalah model pemilihan moda (modal split model). Tahapan pemilihan moda bertujuan untuk mengidentifikasi besarnya pergerakan antar zona yang menggunakan setiap moda transportasi tertentu. Proses ini dilakukan dengan maksud untuk mengkalibrasi model pemilihan moda pada tahun dasar dengan mengetahui peubah bebas (atribut) yang mempengaruhi pemilihan moda tersebut.
Pemilihan moda sangat sulit dimodelkan, walaupun hanya dua buah moda yang akan digunakan (umum atau pribadi). Ini disebabkan karena banyak faktor yang sulit dikuantifikasi misal kenyamanan, keamanan, keandalan, atau ketersediaan mobil pada saat diperlukan. Pemilihan moda juga mempertimbangkan pergerakan yang menggunakan lebih dari satu moda dalam perjalanan (multimoda). Jenis pergerakan inilah yang sangat umum dijumpai di Indonesia karena geografi Indonesia yang terdiri dari banyak pulau sehingga persentase pergerakan multimoda cukup tinggi.
82
Tamin (2000) menyatakan bahwa, faktor yang dapat mempengaruhi pemilihan
moda ini dapat dikelompokkan menjadi empat bagian, sebagaimana dijelaskan berikut ini : 1. Karakteristik Pengguna Jalan, 2. Karakteristik Pergerakan, 3. Karakteristik Fasilitas Moda Transportasi, 4. Karakteristik Kota atau Zona.
II.4.6
Model Pemilihan Rute
Arus lalu lintas pada suatu ruas jalan dalam suatu jaringan dapat diperkirakan sebagai hasil proses pengkombinasian informasi MAT, deskripsi sistem jaringan dan pemodelan pemilihan rute. Prosedur pemilihan rute bertujuan memodel perilaku pelaku pergerakan dalam memilih rute yang menurut mereka merupakan rute terbaiknya. Dengan kata lain, dalam proses pemilihan rute, pergerakan antara dua zona (yang didapat dari tahap sebaran pergerakan) untuk moda tertentu (yang didapat dari tahap pemilihan moda) dibebankan ke rute tertentu yang terdiri atas ruas jaringan jalan tertentu (atau angkutan umum). Jadi dalam pemodelan pemilihan rute ini dapat diidentifikasi rute yang akan digunakan oleh setiap pengendara sehingga akhirnya didapat jumlah pergerakan pada setiap ruas jalan.
Dengan
mengasumsikan
bahwa
setiap
pengendara
memilih
rute
yang
meminimumkan biaya perjalanannya (rute tercepat jika dia lebih mementingkan waktu dibandingkan jarak atau biaya), maka adanya penggunaan ruas yang lain mungkin disebabkan oleh perbedaan persepsi pribadi tentang biaya atau mungkin juga disebabkan oleh keinginan menghindari kemacetan. Tabel II.7 memperlihatkan klasifikasi model pemilihan rute.
83
Tabel II.7 Klasifikasi Model Pemilihan Rute Kriteria Efek batasan kapasitas dipertimbangkan ?
Tidak Ya
Efek stokastik dipertimbangkan Tidak Ya Stokastik murni (Dial, All-or-nothing Burrel) Keseimbangan Keseimbangan-PenggunaWardrop stokastik (KPS)
Sumber: Ortuzar and Willumsen (1994)
Mengacu pada Tabel II.7 efek stokastik timbul karena adanya perbedaan persepsi setiap pengendara tentang biaya perjalanan, sedangkan efek batasan kapasitas timbul karena biaya perjalanan (dalam hal ini komponen waktu tempuh) tergantung pada arus lalu lintas. Dengan kata lain, kedua efek tersebut terjadi bersama-sama, khususnya di daerah perkotaan, sehingga model pemilihan rute yang terbaik harus mengikutsertakan kedua efek tersebut. Efek stokastik merupakan faktor yang dominan pada tingkat arus lalu lintas yang rendah, sedangkan efek batasan-kapasitas dominan pada tingkat arus lalu lintas yang tinggi.
II.4.6.1 Model All-or-Nothing
Model ini merupakan model pemilihan rute yang paling sederhana, yang mengasumsikan bahwa semua pengendara berusaha meminimumkan biaya perjalanannya yang tergantung pada karakteristik jaringan jalan dan asumsi pengendara. Jika semua pengendara memperkirakan biaya ini dengan cara yang sama, pastilah mereka memilih rute yang sama. Biaya ini dianggap tetap dan tidak dipengaruhi oleh efek kemacetan. Metode ini menganggap bahwa semua perjalanan dari zona asal i ke zona tujuan d akan mengikuti rute tercepat. Dalam kasus tertentu, asumsi ini dianggap cukup realistis, misalnya untuk daerah pinggiran kota yang jaringan jalannya tidak begitu rapat dan yang tingkat kemacetannya tidak begitu berarti. Tetapi asumsi ini menjadi tidak realistis jika digunakan untuk daerah perkotaan yang sering mengalami kemacetan. Model ini merupakan model tercepat dan termudah dan
84
sangat berguna untuk jaringan jalan yang tidak begitu rapat yang hanya mempunyai beberapa rute alternatif saja.
II.4.6.2 Model Keseimbangan
Jika seseorang mengabaikan efek stokastik dan menganggap batasan-kapasitas sebagai salah satu mekanisme proses penyebaran pergerakan dalam suatu jaringan, dia harus mempertimbangkan beberapa set model. Sebagai contoh: model batasan-kapasitas harus menggunakan fungsi yang mengaitkan pergerakan dengan waktu tempuh. Model ini menggunakan prinsip keseimbangan Wardrop (1952).
Asumsi dasar pemodelan keseimbangan adalah, pada kondisi macet, setiap pengendara akan berusaha meminimumkan biaya perjalanannya dengan beralih menggunakan rute alternatif. Bagi pengendara tersebut, biaya dari semua alternatif rute yang ada diasumsikan diketahui secara implisit dalam pemodelan. Jika tidak satupun pengendara dapat memperkecil biaya tersebut, maka sistem dikatakan telah mencapai kondisi keseimbangan. Prinsip ini dapat didefinisikan sebagai berikut: Under equilibrium conditions, traffic arranges itself in congested networks in such a way that no individual trip maker or driver can reduce his route costs by switching routes (Dalam kondisi keseimbangan, lalu lintas akan mengatur dirinya sendiri dalam jaringan yang macet sehingga tidak ada satupun pengendara dapat mengurangi biaya perjalannya dengan mengubah rute)
Jika semua pengendara mempunyai asumsi yang sama terhadap biaya (tidak ada efek stokastik), maka: Under equilibrium conditions, traffic arranges itself in congested networks such that all used routes between an O-D pair have equal and minimum costs while all unused have greater or equal costs (Pada kondisi keseimbangan, lalu lintas akan mengatur dirinya sendiri dalam jaringan yang macet sehingga semua rute yang digunakan antar pasangan
85
asal-tujuan mempunyai biaya yang sama dan minimum, sedangkan semua rute yang tidak digunakan mempunyai biaya sama atau lebih mahal)
Dapat disimpulkan bahwa sistem tersebut mencapai kondisi keseimbangan menurut pandangan pengguna. Oleh karena itu, kondisi ini disebut kondisi keseimbangan-pengguna (user equilibrium). Model keseimbangan ini dianggap sebagai salah satu model pemilihan rute terbaik untuk kondisi macet.
Beckman et al (1956) seperti ditulis dalam Tamin (2000) menyebutkan bahwa
untuk mendapatkan biaya perjalanan dan volume lalu lintas yang sesuai dengan Prinsip Keseimbangan I dari Wardrop adalah ekivalen dengan permasalahan matematis berikut: Vl
Meminimumkan Z = ∫ C l (V ).dV
(II.23)
0
[
]
l V l = ∑ ∑ Tidr . p idr dan Tid = ∑ Tidr
(II.24)
Tidr > 0
(II.25)
i
d
r
dimana: 1 jika ruas l digunakan oleh rute r antara i dan d l pidr =
0 jika sebaliknya
Tidr = pergerakan dari zona i ke zona d yang menggunakan rute r l pidr = proporsi pergerakan dari zona i ke zona d yang menggunakan rute r dan
ruas jalan l
C l (V ) = hubungan matematis antara arus lalu lintas dan biaya
Seperti yang telah diungkapkan di atas, bahwa teknik pembebanan equilibrium merupakan suatu pendekatan pemilihan rute pada kondisi dimana terjadi kemacetan atau kondisi dimana kemacetan akan mempengaruhi pergerakan. Namun berbeda dengan teknik pembebanan proporsional dimana penentuan nilai ( p idl ) dapat diperoleh secara independen, maka pada teknik pembebanan
86
equilibrium nilai ( p idl ) diperoleh sebagai satu kesatuan dengan keseluruhan proses pembebanan yang dilakukan.
Menurut Tamin (2000), terdapat 3 (tiga) tipe kriteria konvergensi pada prosedur pembebanan batasan kapasitas, yaitu: a
Dengan melihat perbedaan antara arus atau biaya ruas pada setiap pengulangan yang berturutan. Dengan perbedaan ini dapat dilihat apakah proses pengulangan selanjutnya akan menghasilkan perubahan yang berarti bagi arus atau biaya tersebut. Jika tidak, konvergensi dianggap sudah tercapai;
b Dengan mengukur perbedaan antara asumsi hubungan biaya-arus pada saat awal
pembebanan
dengan
hubungan
biaya-arus
pada
saat
akhir
pembebanan; c
Melihat potensi perbaikan yang dihasilkan apabila dilakukan proses pengulangan berikutnya.
II.4.7
Program Komputer Dan Prosedur Kalibrasi
Perkembangan ilmu dan teknologi di bidang elektronika dan informasi telah meningkatkan kemampuan komputer pribadi secara pesat. Perkembangan ini sangat membantu dalam perhitungan model perencanaan transportasi yang sangat tergantung pada komputer, karena biasanya proses ini berhubungan dengan data dalam jumlah yang besar, sehingga tidak mungkin diselesaikan secara manual.
Tamin (2000) telah menjelaskan bahwa salah satu program perencanaan
transportasi yang banyak digunakan adalah program MOTORS. Program ini dirancang oleh para ahli di bidang perencanaan transportasi dan mikrokomputer (Steer, Davies dan Glave, London) dan merupakan suatu program yang dapat berinteraksi dengan pengguna. Program ini dapat menangani daerah kajian yang terdiri dari 200-400 zona dan 3000-6000 ruas jalan, tergantung pada kapasitas dan kemampuan computer yang digunakan.
87
Dengan menggunakan program MOTORS tersebut, Tamin (1988) telah mengembangkan suatu sub-rutin (program bantu) untuk melakukan estimasi model kebutuhan transportasi berdasarkan informasi arus lalu lintas. Metode pemilihan rute yang digunakan dalam sub-rutin tersebut adalah pemilihan rute proporsional, dimana nilai pidl adalah 0 atau 1.
Disamping program MOTORS, terdapat pula beberapa paket program lain yang dapat digunakan untuk perencanaan transportasi. Tabel II.8 memperlihatkan beberapa perangkat lunak perencanaan transportasi yang tersedia di pasaran.
Tabel II.8 Perangkat Lunak Perencanaan Transportasi Yang Tersedia di Pasaran Paket Program MicroTRIPS MOTORS SATURN MINITRAMP TRANPLAN TRANSCAD STAN
Pemasok
Kapasitas
MVA Systematica Steer, Davies and Gleave University of Leeds Wooton Jeffreys and Partners The Urban Analysis Group California Caliper Corporation INRO Consultant
300 zona 4.000 ruas 400 zona 6.000 ruas 500 zona 7.000 ruas 500 zona 5.000 ruas
STRADA
JICA
EMME/2
INRO Consultant
3.000 zona 60.000 ruas 3.000 zona 60.000 ruas 1.200 zona 24.000 ruas 500 zona 10.000 ruas 6.000 zona 150.000 ruas
Sistem Operasi
Keluaran
MS-DOS
Numerik
MS-DOS
Numerik
MS-DOS
Numerik dan Grafis
MS-DOS
Numerik
Windows
Numerik, Grafis and SIG
Windows Windows Windows Windows
Numerik, Grafis dan SIG Numerik, Grafis dan SIG Numerik dan Grafis Numerik, Grafis dan SIG
Sumber : Tamin (2003)
Untuk penelitian disertasi ini, program perangkat lunak yang digunakan adalah program SATURN (Simulation and Assigment of Traffic to Urban Road
Networks).
88
II.4.8
Penerapan Program Komputer SATURN
SATURN (Simulation and Assigment of Traffic to Urban Road Networks), dikembangkan di Institut for Transport Studies – University of Leeds, merupakan program simulasi berbasis komputer, yang digunakan dalam studi ini. Program SATURN adalah alat untuk mempermudah dan mempercepat pemodelan pemilihan rute. Alasan penggunaan program SATURN dalam penelitian ini adalah untuk menghindari pemborosan waktu dan biaya serta untuk mendapatkan kemudahan penuh mikro-komputer untuk keperluan simulasi sebagai bagian dari suatu evaluasi.
II.4.8.1 Fungsi Biaya Ruas Dalam SATURN
Dalam SATURN, fungsi hubungan antara kecepatan (biaya) dengan arus lalulintas di ruas jalan disusun dengan persamaan berikut : t
= a Vn + to, untuk V < C
(II.26)
t
= a Cn + to + b (V – C)/C, untuk V > C
(II.27)
dimana : t
= Waktu tempuh pada saat arus lalulintas diruas sebesar V
to
= Waktu tempuh pada saat arus bebas
V
= Volume lalulintas (smp/jam)
C
= Kapasitas Ruas yang bersangkutan (smp/jam)
a,n,b
= Konstanta yang di estimasi
Untuk aplikasi pemodelan dengan menggunakan SATURN di Indonesia maka fungsi biaya ruas versi draft IHCM’95 harus diubah bentuknya kedalam bentuk fungsi biaya ruas versi SATURN dengan suatu prosedur matematis.
II.4.8.2 Input SATURN
Input SATURN terdiri dari pemodelan jaringan (network) dan Matrik Asal Tujuan (MAT). Pemodelan jaringan (network) dilakukan dengan menyusun basis
89
data jaringan yang formatnya sudah ditentukan dalam program SATURN. Input SATURN terdiri dari dua bagian yang penting, yaitu pemodelan jaringan
(network) dan Matrik Asal Tujuan (MAT), dimana pemodelan jaringan (network) dapat dikodekan dalam dua level detail yaitu : 1. Jaringan simulasi (simulation network), yang didasarkan pada data-data persimpangan ditambah dengan data-data ruas jalan, 2. Jaringan penyangga (buffer network), terdiri dari data kondisi jaringan jalan.
II.4.8.3 Model Dasar SATURN
Program utama dalam model dasar SATURN terdiri dari dua bagian, yaitu : 1. Yang berhubungan dengan pembebanan perjalanan : ♦
M1 (matrix build program), yaitu menyusun data Matrik Asal Tujuan (MAT) yang akan digunakan dalam program berikutnya,
♦
SATNET (network build program), yaitu untuk mengoreksi dan menyususn data yang akan digunakan dalam program berikutnya,
♦
SATASS (the assignment), yaitu membebankan perjalanan pada basis delay yang diberikan oleh simulasi,
♦
SATSIM (the simulation), yaitu mensimulasi network untuk menghasilkan delay.
2. Yang berhubungan dengan proses analisis : ♦
SATLOOK (the analysis program), yaitu memberikan deskripsi detail dari kondisi lalu lintas,
♦
P1X (the network plot program), yaitu menampilkan output secara grafis,
♦
SATDB (the data base analysis program), yaitu menampilkan output secara numerik,
♦
SATED (the network editing program), yaitu menampilkan data
Dari Gambar II.14 dapat dijelaskan proses yang terjadi sebagai berikut : 1. Program SATNET Susunan data jaringan jalan berdasarkan format SATURN ini dikoreksi dengan menggunakan program SATNET, selama masih ada kesalahan yang
90
fatal pada susunan data, maka program SATURN selanjutkan tidak akan bisa untuk dilakukan. 2. Pembebanan Program SATASS Pembebanan Program SATASS menerima input Matrik Asal Tujuan dan membebankan elemen-elemen tersebut kepada jaringan jalan/ruas-ruas di dalam jaringan yang telah terkoreksi terlebih dahulu dengan Program SATNET. 3. Program SATSIM Fungsi dasar dari Program SATSIM ini adalah untuk menghitung tundaan (delay) dari pola arus yang telah ditentukan oleh SATASS
Proses menjalankan Program SATURN dapat dilihat pada Gambar II.13. Trips.dat
M1 Trips Trips.ufm
Network.dat Network Build (SATNET) Network.ufs Assignment (SATASS) Network.ufa
Network.ufs
Simulation (SATSIM) Network.ufs SATURN ANALYSIS PROGRAM SATED
SATLOOK
P1X
SATDB
Gambar II.13 Proses Menjalankan Model Dasar SATURN Sumber : User’s Manual SATURN (1995)
91
II.5
II.5.1
Kinerja Ruas Jalan
Kapasitas Ruas Jalan
Definisi dari kapasitas (C) berdasarkan IHCM’97 adalah jumlah arus maksimum yang melintasi suatu ruas jalan per jam yang dapat dipertahankan pada suatu kondisi tertentu. Kapasitas dapat dinyatakan dalam satuan mobil penumpang per jam (smp/jam). Persamaan umum untuk menghitung kapasitas (C) suatu ruas jalan menurut IHCM’97 ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
C = Co * FCw * FCsp * FCsf * FCcs
= (smp/jam)
(II.28)
dimana : C
= Kapasitas (smp/jam),
Co
= Kapasitas dasar untuk kondisi tertentu /ideal (smp/jam),
FCw
= Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas,
FCsp = Faktor penyesuaian pemisahan arah, FCsf
= Faktor penyesuaian hambatan samping,
FCcs = Faktor penyesuaian ukuran kota.
II.5.2
Volume Capacity Ratio (VCR)
Volume Lalulintas (V) didefinisikan sebagai Jumlah kendaraan yang melewati suatu titik pada jalan per satuan waktu, dinyatakan dalam kend/jam, smp/jam atau LHRT (Lalu-lintas Harian Rata-Rata Tahunan).
Volume Capacity Ratio (VCR) didefinisikan sebagai rasio arus terhadap kapasitas, digunakan sebagai faktor kunci dalam penentuan tingkat kinerja suatu simpang dan suatu segmen jalan, nilai volume capasity ratio (VCR) menunjukkan apakah segmen jalan akan mempunyai masalah dengan kapasitasnya atau tidak. Volume
Capacity Ratio (VCR) dihitung dengan menggunakan arus dan kapasitas yang dinyatakan dalam satuan yang sama, apakah kendaraan/jam atau smp/jam (memberi hasil yang sama).
92
Persamaan yang digunakan untuk menghitung nilai Volume Capacity Ratio (VCR) adalah sebagai berikut :
VCR =
Q C
(II.29)
di mana : VCR = Nisbah Volume per Kapasitas (Volume Capacity Ratio) Q
= Arus (kend/jam atau smp/jam)
C
= Kapasitas (kend/jam atau smp/jam)
Beberapa kondisi VCR yang ada menunjukkan kondisi dari ruas jalan yang diukur tersebut. Pada Tabel II.9 di bawah ini akan diperlihatkan kondisi-kondisi yang terjadi dalam pengukuran V/C ratio.
Tabel II.9 Kondisi V/C ratio No
Kondisi V/C Ratio
1
< 0.80
2
0.80-1.00
3
> 1.00
Keterangan Ruas atau jaringan jalan yang diukur masih dapat melayani kebutuhan volume lalu lintas yang melewati ruas jalan tersebut Disebut sebagai unstable condition, karena kondisi jaringan jalan sudah mulai tidak dapat menampung jumlah kendaraan yang melewati ruas jalan tersebut. Kondisi ini adalah kondisi dimana ruas jalan sudah tidak dapat menampung pergerakan volume kendaraan dimana jumlah volume kendaraan sudah melewati kapasitas jalan.
Sumber : Tamin (2000)
II.5.3
International Roughness Index (IRI)
Roughness jalan adalah sebutan atau istilah yang diberikan untuk menunjukkan ketidakrataan
permukaan jalan. Parameter Roughness dipresentasikan dalam
suatu skala yang menggambarkan ketidakrataan permukaan perkerasan jalan yang dirasakan pengendara. Ketidakrataan permukaaan jalan tersebut merupakan fungsi dari potongan memanjang dan melintang permukaan jalan. Disamping faktor- faktor tersebut, Roughness juga dipengaruhi oleh parameter-parameter
93
operasional kendaraan, yang meliputi suspension roda, bentuk bodi, kedudukan kerataan kendaraan, serta kecepatan.
Secara umum Roughness jalan dapat didefinisikan sebagai deviasi permukaaan jalan diukur dari satu bidang datar, ditambah parameter lain yang dapat mempengaruhi hal-hal sebagai berikut: gerakan dianamis kendaraan, kualitas perjalanan, beban dinamis konstruksi serta pengaliran air di permukaan jalan. Ahli perkerasan jalan raya yang lain juga mendifinisikan “Roughness merupakan perubahan dari permukaan jalan, yang dapat menambah, atau dapat memberikan gaya dan percepatan arah vertikal, sehingga menyebabkan hal tidak menyenangkan, ketidakamanan, ketidakekonomis, dan ketidaknyaman suatu perjalanan” (Hudson 1981).
Penambahan
nilai
Roughness
dengan
sendirinya
akan
menambahkan
ketidaknyamanan yang ditimbulkan lalulintas, sehingga hal tersebut akan mempengaruhi opini pengguna jalan terhadap kualitas perjalannya. Disamping itu
Roughness
juga sangat mempengaruhi kenyamanan saat menyetir bagi
pengemudi dan penumpang kendaraan. International Roughness Index (IRI) digunakan untuk mengukur kekasaran permukaan jalan, kekasaran yang diukur pada setiap lokasi diasumsikan mewakili semua fisik dilokasi tersebut. Kekasaran jalan adalah nama yang diberikan untuk ketidakrataan memanjang pada permukaan jalan. Ini diukur dengan suatu skala terhadap pengaruh permukaaan pada kendaraan yang bergerak di atasnya. Skala yang banyak digunakan di negara berkembang adalah International Roughness Index (IRI). IRI adalah sebuah standar pengukuran kekasaran yang mengacu pada Response-Type Road
Roughness Measurement System (RTRRMS).
Secara umum terdapat alat pengukur IRI, antara lain: 1. Alat National Association of Australian State Road Authorities (NAASRA) dikembangkan di Australia, 2. Alat Bump Integrator (BI), dikembangkan di Inggris,
94
3. Alat Laser Profilometer yang dikembangkan di Jepang, Inggris dan Amerika.
Nilai IRI suatu ruas jalan berubah seiring dengan berjalannya waktu. Perubahan tersebut diantaranya dipengaruhi oleh faktor lalu lintas dan lingkungan. Dalam suatu perencanaan program penanganan jalan diperlukan nilai IRI prediksi pada masa yang akan datang. Metode untuk memprediksi IRI dapat digunakan metode klasifikasi ESAL dan metode IRMS.
II.5.4
Kecepatan dan Waktu Tempuh Perjalanan
Kecepatan perjalanan rata-rata dapat menunjukkan waktu tempuh dari titik asal ke titik tujuan di dalam wilayah pengaruh yang akan menjadi tolok ukur dalam pemilihan rute perjalanan serta analisis ekonomi. Parameter kecepatan perjalanan didapatkan dari hasil survei kecepatan dengan mengikuti kendaraan bergerak. Bersamaan dengan itu akan didapatkan nilai waktu perjalanan rata-rata antara titik-titik asal-tujuan di dalam ‘daerah pengaruh’ serta nilai tundaan selama perjalanan tersebut. Besarnya kecepatan perjalanan rata-rata pada saat sekarang maupun yang akan datang dari setiap ruas jalan akan merupakan masukan bagi analisis ekonomi dalam kaitannya dengan perhitungan benefit (keuntungan) berdasarkan besarnya ‘nilai waktu’ yang berlaku.
Di samping itu, besarnya kecepatan perjalanan atau waktu tempuh rata-rata akan menjadi salah satu tolok ukur dalam pemilihan rute perjalanan pada ruas jalan yang ada. Kecepatan tempuh didefinisikan dalam IHCM’ 1997 sebagai kecepatan rata-rata dari kendaraan ringan sepanjang segmen jalan, yaitu:
V =
L TT
(II.30)
dimana : V
= Kecepatan ruang rata-rata kendaraan ringan ( km/jam )
L
= Panjang segmen jalan ( km )
95
TT
= Waktu tempuh rata-rata dari kendaraan ringan sepanjang segmen jalan ( jam )
Sedangkan waktu tempuh merupakan daya tarik utama dalam pemilihan moda yang akan digunakan suatu perjalanan. Jelas, bertambahnya waktu tempuh pada suatu moda akan menurunkan jumlah penggunaan moda tersebut dan dengan sendirinya pula akan menurunkan tingkat pendapatannya.
Sedangkan kecepatan arus bebas didefinisikan sebagai kecepatan pada tingkat arus nol, dimana kecepatan yang akan dipilih pengemudi jika mengendarai kendaraan bermotor tanpa dipengaruhi oleh kendaraan bermotor lain di jalan (IHCM’97).
Variabel yang penting lainnya adalah volume lalulintas (traffic flow). Lebih jauh definisi berdasarkan IHCM’97 adalah jumlah kendaraan yang melewati suatu titik pada penampang jalan tertentu dalam satuan waktu tertentu. Karena bervariasinya jenis kendaraan di jalan raya, maka perlu dilakukan ekivalensi kendaraan. Untuk itu volume lalulintas dinyatakan dalam smp/jam sebagai hasil konversi dengan emp (ekivalensi mobil penumpang) yang di kelompokkan pada tiga tipe kendaraan berikut : 1. Kendaraan ringan (LV), termasuk mobil penumpang, minibus, truk pik-up dan jeep, 2. Kendaraan berat (HV), termasuk truk dan bis, 3. Sepeda motor (MC).
Kecepatan arus bebas kendaraan berjalan diperoleh dari sekumpulan data lapangan, dimana hubungan antara kecepatan arus bebas dengan kondisi geometrik dan lingkungan telah ditentukan dengan metode regresi. Kecepatan arus bebas untuk kendaraan ringan (LV) telah di pilih sebagai kriteria dasar untuk kinerja segmen jalan pada saat arus nol. Kecepatan arus bebas untuk kendaraan berat dan sepeda motor juga diberikan sebagai rujukan. Kecepatan arus bebas mobil penumpang biasanya 10% - 15% lebih tinggi dari tipe kendaraan ringan
96
lainnya, persamaan untuk menentukan kecepatan arus bebas adalah sebagai berikut :
FV = ( FVo + FVw ) * FFVsf * FFVcs
(II.31)
dimana : FV
= Kecepatan arus bebas kendaraan ringan sesungguhnya (km/jam)
FVo
= Kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan (km/jam)
FVw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas efektif FFVsf = Faktor penyesuaian kondisi hambatan samping dan lebar bahu FFVcs = Faktor penyesuaian ukuran kota
II.6
Kegiatan Penanganan Prasarana Jalan
II.6.1
Tujuan Kegiatan Penanganan Prasarana Jalan
Tujuan penanganan jalan adalah untuk menjaga prasarana jalan sehingga fungsinya dalam sistem infrastruktur jalan (atau lebih dikenal sebagai jaringan jalan) dapat berjalan sebagaimana mestinya sesuai tujuan penyelenggraan prasarana jalan itu sendiri. Dengan kata lain, secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa tujuan penanganan jalan adalah untuk menjaga kondisi fisik dan operasional dari jaringan jalan agar tetap dalam kondisi baik sehingga dapat dioperasikan atau memberikan pelayanan sebagaimana mestinya. Dalam hal ini Departemen Kimpraswil memiliki definisi mengenai tujuan penanganan jalan yakni 100% jalan mantap. Tingkat kemantapan jalan ditentukan oleh dua kriteria yakni mantap secara konstruksi dan mantap dalam pelayanan lalulintas.
II.6.1.1 Definisi Kemantapan Jalan
Adapun definisi dari masing-masing istilah kemantapan jalan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Jalan Mantap Konstruksi adalah jalan dengan kondisi konstruksi di dalam koridor “mantap” yang mana untuk penanganannya hanya
97
membutuhkan
kegiatan
pemeliharaan.
Jalan
mantap
konstruksi
ditetapkan menurut Standar Pelayanan Minimal adalah jalan dalam kondisi sedang, dimana dalam studi ini digunakan batasan dengan besar IRI < 6 m/km. 2. Jalan Tak Mantap Konstruksi adalah jalan dengan kondisi di luar koridor “mantap” yang mana untuk penanganan minimumnya adalah pemeliharaan berkala dan maksimum peningkatan jalan dengan tujuan untuk menambah nilai struktur konstruksi
II.6.1.2 Kriteria Kemantapan Jalan
Guna menentukan suatu jalan dalam koridor “mantap” atau tidak diperlukan beberapa parameter yang dapat dijadikan tolok ukur untuk menganalisanya. Untuk keperluan praktis maka parameter yang dibutuhkan harus memenuhi beberapa syarat utama, antara lain: 1. Parameter dapat mewakili/mencerminkan kondisi jalan yang diwakilinya. 2. Tersedia untuk seluruh jalan yang akan dievaluasi. 3. Diperbaharui minimal setiap tahun dengan biaya tidak murah (ekonomis). 4. Parameter tidak terlalu terpengaruh akibat penanganan pemeliharaan rutin.
Berdasarkan konsep tingkat kemantapan jalan yang digunakan oleh Ditjen Bina Marga berdasarkan ketersediaan data dari sistem pendataan yang dimiliki maka parameter yang digunakan adalah: 1. Parameter kekasaran jalan atau International Roughness Index (IRI). 2. Parameter lebar jalan dan Rasio Volume/Kapasits (VCR). 3. Parameter Lebar Jalan dan Volume Lalulintas Harian (LHR).
II.6.2
Equivalent Standard Axle Load (ESAL)
Utilitas jalan dicerminkan dalam ESAL (Equivalent Standard Axle Load). ESAL dihitung dari jumlah kendaraan dikalikan faktor ekivalen yang sebanding dengan beban kendaraan yang mengkontribusikan kerusakan jalan.
98
Faktor ekivalen merupakan faktor konversi beban sumbu kendaraan terhadap beban sumbu standar, sebagai derajat kerusakan struktur perkerasan yang diakibatkan oleh satu lintas sumbu kendaraan
dengan berat tertentu,
dibandingkan dengan derajat kerusakan yang diakibatkan oleh satu lintasan sumbu standar yang beratnya 8160 kg, Tabel II.10. Tabel II.10 Faktor Ekivalen Kendaraan Vdf2
Vdf3
Vdf4
Vdf5a
Vdf5b
Vdf6a
Vdf6b
Vdf7a
Vdf7b
Vdf7c
Sedan
Minibus
Pick up
Bus kecil
Bus besar
Truk 2 sumbu
Truk 3 sumbu
Truk Gandeng
Truk Trailer
Truk 4 sumbu
0.0001
0.0034
0.0350
0.16
2.2
1.37
1.14
3.29
0.1
0.81
Sumber : IRMS (2001)
II.6.3
Jenis Kegiatan Penanganan Prasarana Jalan
Secara umum masalah yang harus ditangani dalam pembinaan prasarana jalan adalah: a. Pemeliharaan kerusakan jalan yang diakibatkan oleh pengaruh cuaca, waktu dan kelelahan akibat beban lalulintas. b. Penyesuaian lebar jalan untuk memenuhi peningkatan volume lalulintas. c. Penyesuaian
kekuatan
struktur
jalan
untuk
memenuhi
tuntutan
perkembangan beban lalulintas dan teknologi kendaraan angkutan barang. d. Pembuatan jalan baru untuk meningkatkan aksesibilitas untuk wilayah yang berkembang cepat maupun untuk daerah yang masih terisolir. Berdasarkan kondisi jaringan jalan yang ada saat ini, maka jenis kegiatan tersebut di atas dapat dikelompokkan ke dalam proses penanganan jaringan jalan, berupa kegiatan pemeliharaan, peningkatan dan pembangunan. a.
Kegiatan Pemeliharaan
Kegiatan pemeliharaan adalah seluruh pekerjaan yang ditujukan agar jalan dapat memberikan pelayanan sesuai dengan yang direncanakan, termasuk ke dalam jenis kegiatan pemeliharaan ini adalah: 1. Pekerjaan pemeliharaan yakni pekerjaan yang dilaksanakan terus menerus (sepanjang tahun) untuk mengatasi kerusakan jalan yang bersifat minor dan
99
memerlukan penanganan segera, seperti penambalan lubang, penutupan retak-retak, pembersihan saluran dan sebagainya. Termasuk didalamnya kegiatan pemeliharaan rutin dan berkala. 2. Pekerjaan perkuatan struktur perkerasan yakni pekerjaan yang apabila pekerjaan pemeliharaan berkala terlambat dilaksanakan sehingga kerusakan jalan yang terjadi telah mempengaruhi pondasi. Melalui pekerjaan ini kinerja jalan akan dikembangkan seperti kondisi awal saat dibangun.
b. Kegiatan Pembangunan
1. Pekerjaan peningkatan jalan adalah pekerjaan yang ditujukan untuk menambah kemampuan struktur jalan ke Muatan Sumbu Tunggal (MST) yang lebih tinggi atau menambah kapasitas jalan. 2. Pekerjaan pembangunan jalan baru adalah pekerjaan membangun jalan baru berupa jalan tanah atau jalan beraspal. Dalam Gambar II.14 berikut disampaikan hubungan antara kondisi dan umur jalan yang digunakan dalam kegiatan pemeliharaan jalan.
PEMELIHARAAN BERKALA 4,5 < IRI < 8
RUSAK RINGAN 8 < IRI < 12
RUSAK BERAT 12 < IRI
PENINGKATAN BATAS KONSTRUKSI JALAN LINTASAN IDEAL BATAS KRITIS
IRI < 4,5 Pemeliharaan Rutin
IRI < 4,5 Pemeliharaan Rutin
IRI < 4,5 Pemeliharaan Rutin
BATAS MASA PELAYANAN
Jika Tanpa Program Penanganan Jalan TIDAK MAMPU LAGI MELAYANI LOS YANG ADA
KETERANGAN Po : Service Ability Indeks Awal (PHO) Pt : Service Ability Indeks Akhir (Batas Umur Pelayanan)
Gambar II.14 Hubungan Antara Kondisi, Umur dan Jenis Penanganan Jalan Sumber: IRMS (2001)
100
Pada dasarnya penetapan kondisi jalan minimal adalah sedang, yang dalam Gambar II.14 di atas berada pada level antara 4,5 m/km sampai dengan 8 m/km
tergantung dari fungsi jalannya. Dalam hal ini fungsi jalan arteri umumnya didesain untuk lalulintas yang tinggi dengan kecepatan tinggi, kemudian jalan kolektor didesain untuk lalulintas dengan volume sedang dan kecepatan sedang, serta jalan lokal didesain untuk lalulintas rendah dan kecepatan rendah.
II.7
Hubungan Tata Ruang dan Transportasi
Pada setiap pengembangan tata ruang selalu dibutuhkan sarana dan prasarana transportasi
pendukungnya,
demikian
pula
sebaliknya
bahwa
setiap
pengembangan sistem transportasi akan mempengaruhi pola pengembangan tata ruang di sekitarnya. Interaksi timbal balik antara sistem transportasi dengan tata ruang dapat dijelaskan pada Gambar II.16. Pemilihan Moda Pemilihan Rute
Tujuan dan kriteria perjalanan
Volume Lalu lintas
Keputusan Melakukan Perjalanan
Waktu Tempuh/ Jarak/Biaya
Mobilitas penduduk/barang
TRANSPORTASI Aktivitas/Kebutuhan perjalanan
Aksesibilitas
TATA RUANG
Perubahan tata ruang
Spasial competitiveness
Pemilihan Lokasi masyarakat (user)
Pemilihan lokasi oleh Investor/ Pelaku ekonomi Pengembangan (development)
Gambar II.15 Keterkaitan antara Sistem Transportasi dan Tata Ruang Sumber: LPM ITB (1997)
101
Kebijakan tata ruang sangat erat kaitannya dengan kebijakan transportasi. Ruang merupakan kegiatan yang ‘ditempatkan’ di atas lahan, sedangkan transportasi merupakan sistem jaringan yang secara fisik menghubungkan satu ruang kegiatan dengan ruang kegiatan lainnya. Antara ruang kegiatan dan transportasi terjadi hubungan yang disebut siklus penggunaan ruang transportasi.
Bila akses transportasi ke suatu ruang kegiatan (persil lahan) diperbaiki, ruang kegiatan tersebut akan menjadi lebih menarik, dan biasanya menjadi lebih berkembang. Dengan berkembangnya ruang kegiatan tersebut, meningkat pula kebutuhan akan transportasi. Peningkatan ini kemudian menyebabkan kelebihan beban pada transportasi, yang harus ditanggulangi, dan siklus akan terulang kembali bila aksesibilitas diperbaiki.
II.7.1
Kebijakan Tata Ruang
Dengan landasan UU No 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai tata ruang melalui PP 47 Tahun 1997 mengenai Rencana Tata Ruang Nasional atau dikenal dengan RTRWN. RTRWN tersebut dimaksudkan sebagai pedoman perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah nasional yang menjabarkan bahwa struktur dan pola ruang nasional harus mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antar wilayah serta keserasian antar sektor seperti misalnya: kawasan pariwisata, pertanian pangan dan perkebunan, industri, pertambangan serta pertahanan keamanan atau perbatasan.
RTRWN ini diharapkan menjadi payung dan acuan bagi setiap Provinsi dalam mengembangkan tata ruang dalam skala ruangnya yakni Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP). Selanjutnya, RTRWP menjadi acuan bagi rencana tata ruang di kabupaten atau kota (RTRWK), kemudian RTRWK menjadi acuan bagi rencana tata ruang kawasan yang lebih kecil.
102
Dengan kata lain, secara konseptual pembangunan daerah pada dasarnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional dimana pembangunan daerah merupakan upaya pencapaian sasaran nasional di daerah sesuai masalah, potensi, aspirasi, dan prioritas masyarakat daerah.
II.7.2
Kebijakan Sistem Jaringan Transportasi
Dalam kaitannya dengan RTRWN tersebut Departemen Perhubungan selaku lembaga perencana dan pengelola sistem transportasi di Indonesia mengeluarkan kebijakan mengenai Sistem Trasportasi Nasional (SISTRANAS) sebagai pendukung implementasi dari RTRWN. Sesuai dengan kondisi geografis Indonesia yang berupa negara kepulauan, maka pelaksanaan SISTRANAS sangat membutuhkan adanya konsep antarmoda secara terpadu untuk meningkatkan keterkaitan wilayah pada skala nasional.
Integrasi sistem transportasi nasional, bagaimanapun juga tidak terlepas dari dukungan sistem transportasi di daerah. Dalam kaitan dengan sistem transportasi regional atau wilayah, perencanaan sistem transportasi wilayah tersebut harus diarahkan dalam usaha mendukung RTRW di wilayah masing-masing dan tetap berada di bawah payung kebijakan pengembangan SISTRANAS.
II.7.3
Pendekatan Sistem dalam Perencanaan Jaringan Transportasi dan Tata Ruang
Dalam perencanaan jaringan transportasi wilayah, interaksi timbal balik antara transportasi dan tata ruang merupakan komponen utama yang harus dianalisis dan dimodelkan untuk menyusun kerangka kebijakan yang efisien dan terpadu. Dalam proses perencanaan hubungan timbal balik tersebut harus dikaji dalam kerangka sistem di mana antara perencanaan transportasi dan tata ruang harus dihubungkan dan dikaji secara terpadu, sehingga interaksi transportasi di dalam jaringan mampu mendukung roda gerak perekonomian masyarakat.
103