BAB II Studi Pustaka II.1.
Umum
Perilaku dan sifat tanah gambut sangat tergantung pada komposisi mineral dan unsur-unsur kimianya, tekstur dan partikel-partikeinya serta pengaruh lingkungan disekitarnya. Sehingga untuk dapat memahami sifat dan perilakunya diperlukan pengetahuan tentang mineral dan komposisi kimia gambut. Hal ini dikarenakan mineralogi adalah faktor utama untuk mengontrol ukuran, bentuk, dan sifat fisik serta kimia dari partikel gambut. Sampai saat ini, penelitian gambut dibidang teknik sipil masih sangat sedikit sekali dilakukan di Indonesia. Sehingga pengetahuan tentang gambut masih sangat sedikit sekali. Oleh karena itu, pemecahan dengan metoda yang benar dan tepat adalah sangat diharapkan agar konstruksi yang dibangun dapat berdiri dengan kuat dan aman. Di dalam rekayasa geoteknik telah lama dikenal beberapa cara bagaimana memanfaatkan tanah asli yang memenuhi syarat sebagai material konstruksi, misalnya pada tanah lunak, gambut dan sebagainya. Hasil dari upaya rekayasa tersebut didapat keadaan tanah dengan daya dukung yang lebih baik serta sifat-sifat lainnya yang positif dilihat dari sudut pandang konstruksi. Untuk hal tersebut di atas telah dikenal rekayasa stabilisasi tanah untuk memperbaiki sifat-sifat tanah yang kurang menguntungkan dari segi konstruksi. Sehingga sifat-sifat dan karakteristik tanah tersebut menjadi memadai sebagai material konstruksi. Secara umum stabilisasi tanah mempunyai tujuan antara lain menaikkan kekuatan tanah, menaikkan tingkat kemampuan dukung serta mempercepat terjadinya konsolidasi. Untuk maksud tersebut telah dikenal beberapa cara stabilisasi tanah, yaitu; secara fisik (sand drained, thermo treatment, elektro osmose); secara
9
mekanik (pemadatan statik dan dinamik, vibrasi); dan secara kimia (kapur, semen, bahan kimia tertentu dan lain-lain). Untuk mencapai hasil yang maksimal, biasanya tidak hanya satu cara yang diterapkan. Akan tetapi, kombinasi atau campuran antara beberapa cara tersebut. II.2.
Jalan
Infrastruktur jalan yang baik merupakan kunci perkembangan wilayah suatu negara dalam menunjang efisiensi aktifitas di bidang industri dan pertanian. Pembukaan jaringan jalan baru bagi individu maupun masyarakat akan memberikan kesempatan dalam rangka membuka akses lapangan pekerjaan, fasilitas perdagangan, fasilitas pendidikan, dan fasilitas kesehatan, serta memberikan kontribusi terhadap peningkatan nilai sosial dan keamanan. Meskipun demikian sangat jelas bahwa dalam investasi jalan sangatlah diperlukan suatu aturan untuk mencapai tujuan akhir pembangunan dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada secara teliti agar efektif dan efisien. II.2.1.
Definisi Jalan
Jalan menurut Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 memiliki pengertian sebagai prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/ atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. Sedangkan jalur merupakan bagian jalan yang digunakan untuk lalu lintas kendaraan yang secara fisik berupa perkerasan jalan (Saodang, 2004). II.2.2. Klasifikasi Jalan II.2.2.1.
Klasifikasi Jalan menurut Peruntukannya
Menurut UU No.38 Tahun 2004 pasal 6, pengelompokan jalan menurut peruntukannya terdiri atas : •
Jalan Umum Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum. Jalan ini dikelompokkan atas dasar sistem, fungsi, status, dan kelasnya.
10
•
Jalan Khusus Jalan khusus adalah jalan yang bukan diperuntukkan bagi lalu lintas umum dalam rangka distribusi barang dan jasa.
II.2.2.2.
Klasifikasi Jalan menurut Sistemnya
Menurut UU No.38 Tahun 2004 pasal 7, pengelompokan jalan menurut sistemnya terdiri atas : •
Sistem Jaringan Jalan Primer Sistem jaringan jalan primer merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan.
•
Sistem Jaringan Jalan Sekunder Sistem jaringan jalan sekunder merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan.
II.2.2.3.
Klasifikasi Jalan menurut Fungsinya
Jalan umum menurut fungsi atau peranannya berdasar UU No. 38 tahun 2004 pasal 8 dibagi menjadi 4 (empat), yakni : •
Jalan Arteri Jalan arteri adalah jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien.
•
Jalan Kolektor Jalan kolektor adalah jalan yang melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk dibatasi.
11
•
Jalan Lokal Jalan lokal adalah jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
•
Jalan Lingkungan Jalan lingkungan adalah jalan yang melayani angkutan lingkungan dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.
II.2.1.4.
Klasifikasi Jalan menurut Statusnya
Jalan umum menurut UU No.38 Tahun 2004 pasal 9, pengelompokan jalan menurut status atau wewenang pembinaannya terdiri atas : •
Jalan Nasional atau Negara Jalan nasional adalah jalan umum dengan fungsi arteri primer, menghubungkan antar Ibukota Provinsi, menghubungkan antar negara, dan bersifat strategis nasional. Nilai strategis nasional jalan nasional terhadap kepentingan nasional yakni tidak dominan terhadap pengembangan ekonomi, tapi mempunyai peranan menjamin kesatuan dan keutuhan nasional, melayani daerah-daerah yang rawan, dan lain-lain.
•
Jalan Provinsi Jalan provinsi adalah jalan umum dengan fungsi kolektor primer, menghubungkan Ibukota Provinsi dengan Ibukota Kabupaten atau Kota, menghubungkan antar Ibukota Kabupaten atau antar Kota, dan bersifat strategis regional. Nilai strategis regional jalan provinsi terhadap kepentingan provinsi yakni tidak dominan terhadap pengembangan ekonomi, tapi mempunyai peranan tertentu dalam menjamin terselenggaranya pemerintah yang baik dalam
12
Pemerintahan Daerah Tingkat I dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan sosial lainnya. •
Jalan Kabupaten Jalan kabupaten adalah jalan umum dengan fungsi lokal primer, menghubungkan
Ibukota
Kabupaten
dengan
Ibukota
Kecamatan,
menghubungkan antar Ibukota Kecamatan, menghubungkan Ibukota Kabupaten dengan Pusat Kegiatan Lokal, dan bersifat strategis lokal. •
Jalan Kota Jalan kota adalah jalan umum dalam sistem sekunder, menghubungkan antar Pusat Kegiatan Lokal dalam Kota, menghubungkan Pusat Kegiatan Lokal dengan Persil, menghubungkan antar Persil, menghubungkan antar pusat permukiman yang berada di kawasan perkotaan.
•
Jalan Desa Jalan desa adalah jalan umum dalam sistem tersier menghubungkan kawasan di dalam Desa dan antar permukiman.
II.3.
Biaya Pembangunan Jalan
Pada pelaksanaan pembangunan jalan yang dimulai dari ide, kemudian studi kelayakan, pelaksanaan sampai dengan operasi dan pemeliharaan membutuhkan berbagai macam biaya. Biaya-biaya tersebut dalam analisis kelayakan ekonomi dikelompokkan kedalam beberapa kelompok agar memudahkan dalam analisis perhitungan. Menurut Kuifer (1971), semua biaya tersebut dikelompokkan menjadi biaya modal (capital cost) dan biaya tahunan (annual cost). II.3.1.
Biaya Modal
Biaya modal adalah jumlah semua pengeluaran yang diperlukan mulai dari pra studi kelayakan sampai dengan proyek selesai dikerjakan (Kuifer, 1971). Biaya
13
modal ini terbagi lagi menjadi biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost). •
Biaya Langsung Biaya ini merupakan biaya yang diperlukan untuk pembangunan suatu proyek dan bersifat mutlak. Pada umumnya biaya langsung pembangunan suatu jalan publik adalah biaya pembebasan lahan (land acquittion cost) dan biaya konstruksi (construction cost).
•
Biaya Tidak Langsung Pada umumnya biaya tidak langsung pembangunan suatu jalan publik adalah biaya tidak terduga (contigenciest cost), biaya rekayasa konstruksi (engineering cost), dan biaya akibat bunga (interest cost)
II.3.2.
Biaya Tahunan
Biaya tahunan merupakan biaya yang diperlukan setelah pembangunan proyek selesai sampai dengan masa layan proyek tersebut berakhir, atau biasa disebut sebagai biaya operasi dan pemeliharaan. Biaya tahunan bertujuan untuk menjaga keandalan pelayanan proyek selama masa layan sesuai dengan perencanaan pra konstruksi
akibat
penurunan
kualitas
dan
kuantitas
pelayanan
setelah
dipergunakan. Biaya tahunan terdiri atas biaya pemeliharaan rutin (routine maintenance cost) dan biaya pemeliharaan berkala (periodict maintenance cost), yang dipengaruhi oleh tingkat suku bunga berlaku (interest rate), penurunan nilai barang akibat pemakaian (depreciation), dan amortisasi atau pelunasan hutang dalam suatu periode tertentu (amortization). II.4. II.4.1.
Tanah Gambut Proses Terjadinya Tanah Gambut
Tanah gambut lebih dikenal sebagai peat adalah tanah mempunyai kandungan organik cukup tinggi. Pada umumnya, tanah ini terbentuk dari campuran fragmen-fragmen material organik yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang
14
membusuk, berubah sifatnya. secara, kimiawi dan menjadi fosil. Secara umum sifat fisik dan mekanis adalah kadar air yang cukup tinggi, daya dukung yang rendah sama, dan daya mampat yang tinggi. Menurut ASTM D2607-69 (1989). istilah tanab gambut hanya. berhubungan deagan bahan organik yang berasal dari proses geologi selain batubara. Terbentuknya dari tumbuh-tumbuhan yang telah mati, berada di dalam air dan hampir tidak ada udara. di dalamnya yang terjadi di rawa-rawa dan mempunyai kadar abu tidak lebih 25% dari berat keringnya. Dengan demikian rawa merupakan tempat teriadinya pembentukan tanah gambut dipengaruhi oleh iklim, hujan, peristiwa pasang surut, jenis vegetasi rawa, topografi dan beberapa aspek geologi serta hidrologi daerah setempat. II.4.2.
Sifat Fisik Tanah Gambut
Tidak berbeda dengan tanah lempung, parameter tanah yang penting untuk menentukan sifat fisik mnah gambut di antaranya: berat volume, specific gravity, kadar air, dan angka pori. Sedang parameter tanah gambut yang tidak diperlukan untuk tanah lempung adalah: kadar abu, kadar organik, dan kadar serat Pada tanah lempung, dimana plastisitasnya sangat diperlukan untuk mengidentifikasi sifat tanah, pada tanah gambut sama sekali tidak diperlukan, mengingat tanah gambut tidak mempunyai sifat plastis. Sifat-sifat fisik tanah gambut secara umum adalah sebagai berikut: •
Kadar Air Kemampuan tanah gambut untuk menyerap dan menyimpan air sangat besar. Kadar air tanah gambut ini bisa sampai 600% dan besar penyerapan tergantung dari derajat dekomposisi gambut yang bersangkutan. Apabila gambut tercampur dengan tanah anorganik, kadar air gambut bisa langsung menurun secara drastis.
•
Angka Pori Besar angka pori gambut umumnya berkisar antara 5 sampai dengan 15. Pada tanah gambut berserat angka porinya bisa jauh lebih besar, sementara
15
tanah gambut granular angka pori cukup kecil dan berkisar 2 (Hellis dan Brawner, 1961). •
Berat Volume Karena angka pori yang cukup besar, berat volume tanah gambut menjadi sangat kecil. Tanah gambut yang terendam air dengan kandungan organik tinggi, berat volumenya kurang lebih sama dengan berat volume air. Secara umum berat volume gambut berkisar antara 9 kN/m3 sampai 12,5 kN/m3
•
Specific Gravity Pada umumnya harga specific gravity rata-rata tanah gambut antara 1,50 sampai 1,60. Tergantung dari kandungan bahan organik, semakin besar kandungan bahan organik semakin besar pula harga specific grafitynya.
•
Susut Apabila dikeringkan tanah gambut akan menyusut dan mengeras. Penyusutan volume tanah gambut akibat pengeringan adalah sangat besar, bahkan bisa mencapai lebih dari 50% Sedangkan penyusutan beratnya lebih besar lagi, dan bisa tinggal 10% dari berat semula. Apabila tanah gambut sudah pernah menyusut, maka ia akan sulit menyerap air lagi seperti semula. Air yang bisa terserap setelah gambut mengalami penyusutan berkisar antara 33% sampai 55% (Feustel & Byers, 1930).
•
Koefisien Rembesan Koefisien rembesan tanah gambut dipengaruhi oleh - Kandungan bahan mineral - Derajat konsolidasi - Derajat dekomposisi Harga koefisien rembesan tanah gambut antara 10-6 sampai 10-3 cm/detik (Colley, 1950 dan Miyakawa, 1960). Untuk tanah gambut berserat koefisien rembesan arah horisontal lebih besar dari arah vertikal.
•
Kadar Gas Bahan organik yang terendam dalam air akan mengalami proses dekomposisi yang lamban dan dalam waktu bersamaan akan menghasilkan gas methane serta sedikit gas nitrogen dan karbon dioksida. Jika muka air
16
turun akan terjadi proses oksidasi pada gambut dan menghasilkan gas karbon dioksida. •
Keasaman Karena kandungan karbon dioksida dan humic acid yang dihasilkan dari proses pembusukan, tanah gambut mempunyai sifat acidic reaction. Umumnya air gambut mempunyai derajat keasaman pH = 4-7 (Lea, 1956). Naik turunnya derajat keasaman gambut sangat tergantung dari musim dan cuaca. Tingkat keasaman ini mencapai nilai tertinggi setelah terjadi hujan lebat yang diikuti oleh musim panas yang kering. Karena keasaman ini air gambut mempunyai sifat korosif terhadap baja dan beton.
•
Kadar Abu dan Kadar Organik Untuk menentukan kadar abu pada gambut dengan cara memasukkan gambut kering yang telah dioven dengan suhu 105 0C ke dalam oven dengan suhu 440 0C (metoda C) atau dengan suhu 750 0C (metoda D) sampai gambut menjadi abu (ASTM D2974-87). Persentase kadar abu dihitung terhadap berat kering tanah sampel.
•
Batas Konsistensi Tidak terdapat metoda. khusus untuk menentukan batas konsistensi tanah gambut, karena. tanah gambut tidak mempunyai sifat plastis. Terlebih lagi dengan adanya serat sangat sulit untuk menentukan batas plastis gambut. Selain itu plastisitas juga bukan merupakan parameter gambut yang penting, seperti pada tanah lempung.
II.4.3.
Sifat Teknis Tanah Gambut
Dalam geoteknik dikenal dua macam kriteria perencanaan fondasi yang berkenaan dengan daya dukung tanah dan kemampumampatannya. Keduanya berhubungan dengan sifat teknis dari tanah. Parameter yang dipakai untuk menentukan sifat teknis tanah di antaranya: •
Sudut geser dalam (Ф) dan kohesi (c) utnuk menentukan daya dukung tanah.
•
Parameter Konsolidasi (Cc, Cs, σp, dan Cv untuk memperkirakan besar penurunan.
17
II.4.4.
Kekuatan Geser Tanah Gambut
Tanah gambut merupakan tanah dengan daya dukung yang sangat rendah. Daya dukung ini umumnya dinyatakan dengan parameter-parameter kekuatan geser tanah. Parameter tersebut dapat diukur langsung di lapangan dengan menggunakan vane shear atau di laboratorium melalui test triaxial dan unconfined compression test. Kekuatan geser yang diukur langsung dengan vane shear jika dibandingkan dengan kekuatan geser yang diperoleh dari test laboratorium umumnya lebih tinggi. Hal ini mungkin disebabkan kerena pada uji vane shear, putaran baling-baling dihambat oleh serat (akar) sehingga diperlukan tambahan gaya (momen) untuk memutar baling-baling sekaligus memotong serat (akar) yang merintangi lintasan baling-baling. Dan lebih kecilnya parameter yang didapat melalui test laboratorium disebabkan gangguan pada tanah pada saat pengambilan sampel, terlebih lagi pada saat pencetakan specimen. Kekuatan geser dari gambut berbeda dengan kekuatan geser dari tanah lunak. Hal ini disebabkan antara lain oleh kadar serat yang dimiliki oleh gambut sehingga kekuatan geser maksimumnya akan terjadi pada regangan geser yang besar (Termaat, 1994). Penelitian mengenai kekuatan geser tanah gambut dengan menggunakan tes vane shear dan tes triaxial telah dilakukan antara lain oleh Lechowicz (1994) dan Przystanski (1994). II.4.5.
Perilaku Tegangan-Regangan Tanah Gambut
Kekuatan geser tanah gambut juga ditentukan oleh perilaku hubungan antara tegangan dan regangan tanah gambut tersebut. Telah disinggung di atas bahwa kekuatan geser maksimum dari gambut akan terjadi pada regangan geser yang besar. Perilaku hubungan tegangan dan regangan untuk tanah dapat diperoleh antara lain melalui test triaxial di laboratorium atau dengan menggunakan model konstitutif yang diturunkan berdasarkan teori plastisitas. Model konstitutif tanah yang dikembangkan berdasarkan teori plastisitas umumnya terbagi dua, yakni yang mengasumsikan tanah berperilaku associative flow dan yang mengasumsikan tanah berperilaku non-assosiative flow. Model
18
yang pertama mengasumsikan bahwa permukaan leleh tanah tidak berimpit dengan permukaan potensiainya. Model ini mulai dikembangkan oleh Desai dan Sriwande (1984) dan kehandalannya di dunia intemasional masih harus dibuktikan. Model yang kedua mengasumsikan bahwa permukaan leleh tanah berimpit
dengan
permukaan
potensiainya.
Model
ini
telah
dibuktikan
kemampuannya dalam dunia internasional untuk memprediksi perilaku tegangan dan regangan tanah. II.4.6.
Kemampumampatan Tanah Gambut
Perilaku tanah gambut amorphous granular hampir menyerupai lempung, sedang tanah gambut berserat berperilaku sangat berbeda dengan lempung. Apabila tanah lunak mendapat pertambahan tegangan vertikal, maka pertambahan ini akan menyebabkan adanya penurunan. Pada umumnya penurunan tanah lunak dibedakan atas penurunan segera (pengaruh elastisitas tanah) dan penurunan konsolidasi (akibat terdisipasinya air pori). Penuruinan konsolidasi sendiri masih dibedakan atas konsolidasi primer dan sekunder. Penurunan segera terjadi segera (langsusng) setelah tanah lunak menerima pertambahan tegangan. Dengan adanya pertambahan tegangan ini, air pori yang ikut menderita tambahan tegangan akan mengalir keluar dari pori. Akibat keluamya air dari pori ini tanah secara perlahan akan mampat dan turun. Tergantung dari koefisien permeabilitas tanah yang bersangkutan. Semakin kecil permeabilitas tanah, semakin sulit pula air pori mengalir, sehingga penurunan yang terjadi pun menjadi sangat perlahan (Ladd, 1987). Sedikit berbeda dibanding tanah lempung, kurva pemampatan pada gambut (regangan vs waktu) hasil test laboratorium terdiri dari empat komponen pemampatan (Dhowian dan Edil,1980), yakni:
Regangan langsung/instanancous strain (εI)
Regangan primcr/primary strain (εP)
Regangan sekunder/secundary strain (εs)
Regangan tertier/tertiary strain (εt)
19
Gambar II.1. Kurva hubungan regangan vs. waktu tanah gambut dengan beban 25 kPa (Dhowian & Edil. 1980) Dari kurva di atas terlihat bahwa pemampatan primer terjadi dalam waktu yang relatif cepat, jika dibandingkan dengan pemampatan sekunder. Menurut Dhowian & Edil, selain pemampatan sekunder terjadi cukup lama, kecepatannya juga sangat besar. Wardwell (1980) menyebutkan, terjadinya proses dekomposisi pada serat dalam tanah gambut juga. menyebabkan timbulnya pemampatan sekunder tambahan sebagai akibat berkurangnya serat dan meningkatnya kompresibilitas. Hal ini yang membuat pemampatan gambut berbeda dibanding pada lempung, yakni pada gambut terjadi pemampatan tertier. Besar pemampatan primer ditentukan antara lain oleh indek pemampatannya. (compression index) yang didefinisikan sebagai Cc = - δe / δlog σv , sementara besar pemamapatan sekunder ditentukan antara lain oleh indeks pemampatan sekunder (coefficient of secondary compression) yang didefinisikan sebagai Ca = δe / δlog t, dimana e = angka pori dari tanah, σv, adalah tekanan effektif tanah, dan t adalah waktu. Mesri dan Castro (1987) mengatakan pemampatan sekunder tanah lempung lunak dan tanah gambut terjadi dengan nilai Ca yang konstan berkisar
20
antara 0,04 Cc untuk tanah lempung dan 0,06-0,07 untuk tanah gambut. Hasil ini dibantah oleh Edil (Edil et al.,1994) yang mengatakan bahwa untuk tanah gambut di daerah Middleton, nilai Ca./Cc tidak konstan akan tetapi bervariari dari 0,087 – 0,126. Ketidak konstanan ini disebabkan oleh gambut tersebut merupakan jenis fibrous dengan permeabilitas dan kompresibilitas yang tinggi dan mengalami effek dari rangkak yang sangat besar. Dhowian & Edit juga mengamati kurva pemampatan vs. log. tegangan pada tanah gambut amorphous granular dan fibrous peat. Dari Gambar II.2 terlihat berbedaan yang menyolok antara kedua jenis gambut tersebut: indeks kompresi dan angka pori awal dari amorphous granular peat adalah sangat kecil. Selain itu kurva virgin dari tanah gambut berserat mempunyai dua garis lurus yang patah, sementara kurva gambut amorphous granular terdiri dari satu garis lurus seperti pada tanah lempung.
Gambar II.2. Kurva e vs. log σ' pada tanah gambut amorphous dan gambut berserat (Dhowian & Edit, 1980)
21
II.4.7.
Klasiflkasi Tanah Gambut
Klasifikasi tanah yang sering digunakan adalah menurut AASHTO dan Unified. Menurut AASHTO tanah diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar, yakni tanah berbutir kasar dan berbutir halus. Tanah berbutir kasar terdiri dari kerikil dan pasir, dan tanah berbutir halus dikelompokkan menjadi lanau dan lempung. Menurut Unified tanah dibagi menjadi 3 kelompok besar, yakni tanah berbutir kasar (kerikil dan pasir), tanah berbutir halus (lanau, lempung, serta tanah organik), dan gambut. Tanah berbutir sering disebut sebagai tanah anorganik. Sementara tanah gambut disebut tanah organik, karena memang kandungan bahan organik pada gambut sangat tinggi, yang secara fisik terlihat berwarna coklat kehitaman dengan kandungan serat yang pada umumnya tinggi. Sifat teknis tanah gambut sangat jelek, yakni daya dukungnya kecil sementara kompresibilitasnya terlalu besar. Pada klasifikasi tanah menurut Unified, gambut hanya disinggung sedikit, tanpa mencantumkan pengelompokan yang lebih rinci lagi. Sementara menurut AASHTO gambut malah tidak disinggung sama sekali. Oleh karena itu gambaran tanah gambut secara lebih detail tidak bisa didapat dari kedua macam sistem klasifikasi yang banyak dipakai oleh kebanyakan orang teknik sipil tersebut. Kandungan organik tanah gambut berasal dari tumbuh-tumbuhan. Tetapi menurut ASTM tanah gambut berbeda dengan tanah-tanah organik lainnya. Kandungan abu tanah gambut sangat rendah (kurang dari 25%). Dibandingkan dengan batubara yang sama-sama berasal dari bahan organik, gambut juga sangat berbeda, karena kandungan calorific pada gambut sangat sedikit. Secara umum terdapat tiga sistem klasifikasi tanah gambut: •
Klasifikasi berdasarkan derajat komposisi
•
Klasifikasi berdasarkan jenis tumbuhan dari bahan organik yang membentuknya.
22
•
Klasifikasi berdasarkan persentase kandungan bahan organiknya.
Von Post (1922) tanah gambut dikelompokkan dalam 10 kategori (Tabel II.1). Dimulai dari tanah gambut yang sama sekali tidak terdekomposisi yang dikelompokkan dalam kelas H1. Pada kelompok H10 tanah gambut dianggap sudah 100% terdekomposisi Tabel II.1. Klasifikasi Gambut Menurut Von Post (1922) Derajat Pembusukan H1 H2
H3
H4
H5
H6
H7
H8
H9 H10
Deskripsi Gambut yang sama sekali belum membusuk, yang mengeluarkan air cukup jernih. Sisa-sisa tumbuhan yang ada akan dengan mudah diidentifikasikan. Tak ada material amorf yang terlihat. Gambut yang hampir seluruhnya belum mengalami pembusukan sama sekali, yang mengeluarkan air cukup jernih atau sedikit kekuning-kuningan. Sisa-sisa tumbuhan yang ada akan dengan mudah diidentifikasikan. Tak ada material amorphous yang terlihat. Gambut yang sangat sedikit mengalami pembusukan, yang mengeluarkan air keruh dan berwarna coklat, tapi jika diremas tak ada bagian gambut yang melalui sela-sela jari. Sisa-sisa tumbuhan yang ada masih dapat dengan mudah diidentifikasikan. Tak ada material amorf yang terlihat. Gambut yang sedikit mengalami pembusukan, yang mengeluarkan air gelap dan sangat keruh. Jika diremas tak ada bagian gambut yang melalui sela-sela jari tapi sisa-sisa tumbuhan yang ada sedikit berbentuk seperti bubur dan telah kehilangan beberapa ciri yang dapat dikenali. Gambut yang mengalami pembusukan sedang yang mengeluarkan air sangat keruh dan jika diremas akan ada sedikit butiran gambut amorf melalui sela-sela jari. Struktur dari sisa-sisa tumbuhan sedikit sukar untuk dikenali, walaupun masih memungkinkan untuk mengidentifikasikan ciri-ciri tertentu. Dan sisa-sisa tumbuhan tersebut hampir seluruhnya berbentuk seperti bubur. Gambut yang hampir separuhnya mengalami pembusukand engan struktur tumbuhan yang sukar untuk dikenali. Jika diremas sekitar sepertiga bagian dari gambut akan keluar melewati selasela jari. Sisa-sisa tumbuhan tersebut hampir seluruhnya berbentuk seperti bubur dan menunjukkan struktur tumbuhan yang lebih mudah untuk dikenali dibandingkan sebelum diremas. Gambut yang lebih dari separuhnya telah membusuk. Mengandung banyak material amorf dan struktur tumbuhan sangat kering yang sukar dikenali. Jika diremas sekitar setengah bagian dari gambut akan keluar melewati sela-sela jari. Walaupun ada air yang keluar, akan berwarna sangat gelap. Gambut yang hampir seluruhnya telah membusuk dengan sejumlah besar material amorf dan struktur tumbuhan sangat kering yang sukar dikenali. Jika diremas sekitar 2/3 bagian dari gambut akan keluar melewati sela-sela jari. Sejumlah kecil sisasisa tumbuhan akan tertinggal di tangan berupa sisa-sisa akar dan serat yang tidak membusuk. Gambut yang telah membusuk seluruhnya dimana hampir tidak ada lagi sisa-sisa struktur tumbuhan yang dapat dilihat. Jika diremas, hampir seluruh gambut akan keluar melewati sela-sela jari dalam bentuk pasta yang hampir seragam. Gambut yang telah membusuk sempurna tanpa ada struktur tumbuhan yang dapat dilihat. Jika diremas, seluruh bagian gambut yang basah akan keluar melewati sela-sela jari.
Sumber: Panduan Goeteknik, WSP International, 2001
23
Feustel dan Byers (1930), mengklasifikasi tanah gambut berdasarkan berat jenis, yaitu: •
•
Berdasarkan nilai berat jenis nyata rata-rata: ◊
Sphagnum peat, bila berat jenis
= 1,061
◊
Heat peat, bila berat jenis
= 1,070
◊
Everglades peat, bila berat jenis
= 1,108
◊
Sedge peat, bila berat jenis
= 1,059
Berdasarkan berat jenis absolute: ◊
Sphagnum peat, bila -berat jenis
= 1,510
◊
Heath peat, bila berat jenis
= 1,405
◊
Everglades peat, bila berat jenis
= 1,637
◊
Sedge peat, bila berat jenis
= 1,505
Rigg dan Gessel (1956), tanah gambut digolongkan atas empat golongan, yaitu: •
Tanah gambut yang berasal dari lumut
•
Tanah gambut berserat
•
Tanah gambut kayu-kayuan berasal dari batang, daun dan ranting
•
Tanah gambut sedimen berasal dari tumbuhan microskopik.
Farahan (1957), mengklasifikasi gambut berdasarkan berat isi rata-rata, yaitu: •
Moss peat, bila berat isi rata-rata 25,0 lb/ft3
= 3,927 kN/m3
•
Woody peat, bila berat isi rata-rata 37,4 lb/ft3
= 5,875 kN/m3
•
Herbaceous peat, bila isi rata-.cata 43,7 lb/ft3
= 6,865 kN/m3
•
Aquatic peat, bila berat isi rata-rata 56,1 lb/ft3
= 8,813 kN/m3
•
Aggregat peat, bila berat isi rata-rata 68,6 lb/ft3
=10,776kN/m3
•
Amorphous peat, bila berat isi rata-rata 74,9 lb/ft3
=11,766kN/m3
Mac. Farlane (1969), mengklasifikasi tanah gambut berdasarkan kadar serat, yaitu: • Fibrous peat, yaitu tanah gambut dengan kadar serat lebih besar atau sama dengan 20%. Tanah gambut ini mempunyai dua jenis pori yaitu;
24
macropori (pori-pori antar serat) dan micropori (pori-pori yang ada didalam serat) • Amorphous granular peat, yaitu tanah gambut dengan kadar serat lebih kecil 20%. Tanah gambut ini mempunyai jenis yang terdiri dari butiran dengan ukuran koloidal (2p) dan sebagian besar porinya terserap di sekeliling permukaan butiran tanah tersebut. Brady dan Neil (1974), membagi klasifikasi tanah gambut berdasarkan material pembentuk tanpa memperlihatkan proses pembusukannya, yaitu: •
Sedimentary peat
•
Fibrous peat
•
Woody peat.
Meene (1982), telah membagi gambut didasarkan pada perbedaan bentuk dan kondisi geografis, yaitu: •
Topogeous peat atau marsh peat, yaitu tanah gambut yang mengendap di bawah muka air tanah. Proses terbentuknya topogeneous. peat akibat terjadinya depresi topografi.
• Ombrogeneous peat, yaitu tanah gambut yang,mengendap di atas muka air tanah. Pada umumnya jenis gambut ini dibentuk oleh pertumbuhan jenis pengaruh hujan. ASTM D2607-69 (1989), mengklasifikasi tanah gambut berdasarkan kandungan bahan organik dan kadar serat, yaitu: • Sphagnum moss peat (peat moss), bila kandungan serat lebih besar atau. sama dengan 2/3 berat kering • Hypnum mos -peat, bila kandungan serat lebih besar atau sama dengan 1/3 berat kering • Reed-sedge peat, bila kandungan serat lebih besar atau sama. dengan 1/3 dari reed-sedge dan serat-serat lain kering •
Peat humus, bila kandungan serat lebih kecil 1/3 ~berat kering
•
Peat lainnya, selain dari klasifikasi tanah gambut di atas.
25
ASTM D4427-84 (1989), mengklasikasi tanah gambut berdasarkan kadar serat, yaitu: •
Fibric-peat, bila kadar serat lebih besar dari 67%
•
Hemic-peat, bila kadar serat 33-67%
•
Sapric-peat, bila kadar abu. lebih kecil 33%.
ASTM D4427-84 (1989), mengklasifikasi tanah gambut berdasarkan kandungan kadar abu yang ada, yaitu: •
Low ash-peat, bila kadar abu 5%
•
Medium ash-peat, bila kadar abu 5-15%
•
High abb-peat, bila kadar abu lebih.besar 15%.
Noor Endah (1991), jenis tanah gambut di Indonesia, terutama di daerah Palangkaraya dan Banjarmasin adalah jenis tanah gambut berserat (fibrous peat). Demikian pula dari hasil penelitian Puslitbang PU (1991). Di Pulau Sumatera, umumnya jenis tanah tersebut adalah mengandung serat dan kayu-kayuan (fibrous peat dan woody peat). II.5.
Daya Dukung Tanah Gambut
Tanah merupakan bahan konstruksi yang tersedia langsung di lapangan. Semua struktur yang berada diatas akan didukung oleh tanah, maka dari itu perlu dilakukan penelitian unluk dapat mengetahui perilaku tanah dan Sifat-sifat tanah. Sebagian daerah di Indonesia jenis tanahnya merupakan tanah lunak dan garnbut, seperti daerah Kalimantan pada umurnya dan sebagian daerah Sumatra tepatnya pada daerah Kabuapaten Riau (Dumai, Pakanbaru, Rengat, Tembilahan, Pulau Padang, Pulau Tebing Tinggi), daerah Jambi (Kuala Tungkal, Kumpeh, Muara Bulian), daerah Palembang (Musi Banyuasin), di daerah Lampung (Way Mesuji), sebagian daerah pantai utara jawa dan daerah lain di Indonesia. Kegagalan dalam perencanaan pondasi selalu dihubungkan dengan dua macam keruntuhan, yaitu
26
•
Keruntuhan yang berhubungan dengan penurunan.
•
Keruntuhan yang berhubungan dengan daya dukung pondasi, terutama dalam hal kekuatan geser.
Dalam keruntuhan mengenai daya dukung, telah banyak ahli Mekanika Tanah yang mencoba mengembangkan teori daya dukung, seperti Terzaghi dan Meyerhof.
Masing-masing
dengan
asumsi
sendiri
sehingga
akibatnya
masing-masing memberikan rumus daya dukung yang berbeda. Untuk merencanakan pondasi yang aman dan ekonomis harus dianalisis interaksi antara pondasi dan tanah, menentukan pola keruntuhan, memperkirakan pergerakan akibat beban statis dan sebagainya. Karena itu perencanaan pondasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut •
Harus aman terhadap keruntuhan, faktor keamanan tergantung pada kegunaan struktur, kelayakan informasi tanah dan kondisi air, perilaku struktur dan sistem pembebanan.
• II.5.1.
b.Penurunan yang terjadi harus kompatibel dengan perilaku struktur atas. Pola Keruntuhan
Menurut Vesik (1963) ada tiga pola keruntuhan dari kapasitas daya dukung pondasi dangkal. •
Keruntuhan geser umum (general shear failure)
•
Keruntuhan setempat (local shear failure)
•
Keruntuhan geser pons (punching shear failure).
Pola keruntuhan geser ini pada umumnya dihubungkan dengan kemampuan tanah untuk mampat (soil compressibility). Untuk tanah yang tidak mudah mampat yang terjadi adalah keruntuhan geser umum; sedangkan pada tanah yang mudah mampat, pola keruntuhannya adalah keruntuhan geser setempat (local shear failure) dan keruntuhan geser pons (punching shear failure).
27
•
Keruntuhan geser umum (geneval shear failure) Pola keruntuhan jenis keruntuhan geser umum (general shear failure) mempunyai karakteristik dimana bidang keruntuhan jelas dan memanjang sampai ke permukaan. Bidang keruntuhan terdiri dari kumpulan segitiga bidang gelincir seperti terlihat pada Gambar II.3. Terdapat penggelembungan tanah pada permukaan dasar tanah, hal ini dapat menimbulkan rotasi dan kemiringan (titik) pada pondasi apabila pondasi tidak diikat kaku terhadap bangunan. Pada pola ini, keruntuhan dapat terjadi tiba-tiba. Lapisan tanah yang didapatkan macam pola keruntuhan ini adalah : - Tanah yang relatif tidak mudah mampat dan biasanya mempunyai nilai kekuatan geser tertentu, serta dapat pula dalam keadaan terendam. - Apabila beban dikenakan cukup cepat, sehingga menyebabkan terjadi kondisi tak teralirkan (undrained condition) dapat berlaku untuk tanah lempung terkonsolidasi secara normal (normally consolidated clay).
•
Keruntuhan geser setempat (local sheax- fallmre) Pola keruntuhan geser setempat (local shear failure) mempunyai bidang keruntuhan berupa segitiga dan bidang gelincir dimulai dari ujung pondasi, serupa dengan pola keruntuhan geser umum (general shear failure) Penggelembungan terjadi pula pada permukaan dasar. Perbedaan dengan pola keruntuhan geser umum adalah bidang gelincir tidak mencapai permukaan tanah (gambar II.3), tetapi berherti di suatu tempat pada massa tanah. Pada umumnya terjadi pergerakkan pondasi yang cukup besar atau dalam. Lapisan tanah yang termasuk dalam kategori ini adalah lapisan tanah yang lunak atau lapisan tanah yang mudah mampat.
28
Dilihat dari grafik hubungan antara beban terhadap penurunan, maka tanah yang mengalami pola keruntuhan ini; dengan bertambahnva beban akan bertambah pula penurunannya, sehingga beban maksimum mungkin tidak dicapai. Pola keruntuhan lokal (local shear failure) dapat disebut kondisi transisi antara keruntuhan geser umum dan keruntuhan geser pons. •
Keruntuhan geser pons (punching shear failure). Pola keruntuhan geser pons (punching shear failure) ini mempunyai karakteristik bahwa penggelembungan permukaan tanah (ground heave type) tidak terjadi. Pada pola ini, akibat pembebanan; pondasi bergerak ke bawah/arah vertikal dengan cepat. Lapisan tanah yang mempunyai pola keruntuhan macam keruntuhan geser pons (punching shear failure) adalah - Lapisan pasir sangat lunak. - Dapat pula lapisan pasir padat dengan ketentuan pondasi-pondasi pada kedalaman tertentu menerima beban besar. - Lapisan pasir yang terletak di atas lapisan tanah lunak. - Lapisan tanah yang mudah mampat. - Lapisan tanah yang lunak yang mendapat pembebanan perlahan-lahan dan memungkinkan tercapainya kondisi teralirkan (the drained state to develop).
Yang tetap menjadi pertanyaan adalah : Apakah ada kriteria umum. secara numerik untuk menentukan kemampatan relatif (relative compressibility) yang dapat memperkirakan kapan terjadinya suatu pola keruntuhan ? Usaha ke arah mencari kriteria umum secara numerik telah ditempuh oleh Vesic (1973) dan Ismail dan Vesic (1961) seperti yang akan dijelaskan berikut ini : Vesic (1973), mengajukan suatu parameter perbandingan untuk mengevaluasi kemampatan efektif yang disebut indeks kekakuan (riqidity index) yang
29
menghubungkan modulus geser (shear modulus) dari parameter kekuatan tanah dengan tegangan vertikal pada kedalaman yang ditinjau. Ismail dan Vesic (1981), menunjukkan bahwa analisa yang dianjurkan oleh Vesic (1973) dapat berhasil didalam menentukan faktor kemampatan pada permukaan pondasi untuk lapisan tanah yang mudah mampat. Pengecualian terjadi untuk tegangan tanah di atas (overburden pressure) yang besar, harga faktor kemampatan terlalu rendah/sangat konservatif. Kesimpulan yang didapat Ismail dan Vesic adalah •
Dengan bertambahnya tegangan tanah di atas (overburden pressure), pola keruntuhan dapat berubah dari keruntuhan geser setempat menjadi keruntuhan geser pons, tanpa melihat kemampatan tanahnya.
•
Analisa kapasitas daya dukung tanah Terzaghi cocok untuk kasus yang mempunyai tegangan tanah di atas (overburden pressure). Apabila pondasi dekat dengan permukaan tanah hasilnya agak konservatif.
Hubungan pola keruntuhan dengan kapasitas daya dukung adalah dalam penggunaan karakteristik kekuatan geser. Pada keruntuhan geser umum, karakteristik kekuatan geser yang dinyatakan oleh besaran kohesi (c) dan sudut geser (φ) dalam tanah, untuk menghitung besarnya kapasitas digunakan harga C dan φ sebagai berikut: Harga c untuk keruntuhan geser setempat dan pons adalah 2/3 dari harga c keruntuhan geser umum, CLSF, PSF = 2/3 CGSF ………………………………………. (2.1) Harga tan φ untuk keruntuhan geser setempat dan pons adalah 2/3 dari harga. tan φ keruntuhan geser umum tan (φ) LSF, PSF = 2/3 tan (φ) GSF * …………………………….. (2.2)
30
II.5.2.
Daya Dukung Batas dan Daya Dukung Minimum
Sebelum kita membahas berbagai macam teori Kapasitas Daya Dukung maka ada baiknya kita singgung dahulu berbagai definisi yang berhubungan dengan Kapasitas Daya Dukung. •
Daya Dukung Izin adalah daya dukung dari tanah apabila dibebani masih dapat menahan beban tersebut belum sampai runtuh; hal ini dapat ditinjau dari sudut geser (kuat geser) maupun penurunan dari fungsi, maka arti daya dukung tersebut adalah daya dukung izin.
•
Yeild P adalah suatu batas atau titik dimana yang menjadi batas antara stress-strain yang linier dengan non-linier, maksudnya hubungan stress-strain yang dulunya linier apabila melampaui ”yield" hubungannya akan berubah menjadi non-linier.
•
Daya Dukung Batas PU (ultimate load) atau beban batas yang dapat dipikul pondasi sebelum mencapai keruntuhan.
•
Beban Runtuh Pf (failure load) adalah keadaan dimana penurunan bertambah terus dengan atau tanpa penambahan beban yang kecil sekali.
Gambar II.3. Pola Umum Keruntuhan Daya Dukung (a) Geser Umum (b) Geser Lokal (c) Geser Pons
31
Dalam membicarakan daya dukung, maka perlu dijelaskan mengenai daya dukung yang sesuai kondisinya dan dapat dibagi sebagai berikut •
Daya dukung pondasi unit, misalnya per unit pondasi setempat atau tunggal.
•
Daya dukung pondasi ditinjau dari susunan pondasi, misalnya pondasi pelat lebih dari satu pelat (tersusun), atau pondasi tiang menjadi satu grup, yang mana sangat dipengaruhi oleh jarak dan susunan dalam kelompok, sebab akan saling mempengaruhi satu dengan lainnya (pelat atau tiang) yang diatur dengan koefisien grup.
•
Daya dukung pondasi ditinjau dari seluruh kondisi pondasi yang ada di bawah bangunan misalnya pondasi dangkal dengan jenis pondasi jalur, pondasi pelat setempat yang mempunyai bermacam-macam ukuran tetapi dengan bentuk yang sama (baik bulat atau persegi kecuali kombinasi).
Sebelum membahas bermacam-macam cara untuk memperoleh daya dukung pondasi dangkal maupun dalam, maka terlebih dahulu menentukan daya dukung yang diizinkan terlebih dahulu. Maka untuk itu ada beberapa langkah yang harus ditempuh, yaitu : •
Menghitung daya dukung batas (ultimate bearing capacity) dari pondasi dangkal dengan cara apa saja teori yang digunakan.
•
Mencari besarnya penurunan pondasi tersebut untuk,beban-beban dari cara pembebanan yang lebih kecil; misal sepersepuluh, seperdelapan, seperempat, setengah dan sebesar beban batas (ultimate load)
•
Tambahan-tambahan penurunan dari pondasi-pondasi lain apabila masih ada. Cara ini dianjurkan atau dengan ketentuan lain apa saja untuk daya dukung apakah itu dari uji beban secara langsung di lapangan (Field loading test), perasamaan empiris atau dari teori-teori tentang daya dukung yang diberikan oleh Terzaghi, Meyerhof, atau ahli lainnya. Menurut bukubuku literatur setelah mendapatkan kapasitas daya dukung batas lalu dibagi dengan angka keamanan sebesar 3
32
Untuk menentukan kapasitas daya dukung pondasi dapat dilakukan dengan caracara berikut ini: •
Percobaan pembebanan pondasi secara langsung di lapangan (field loading test) atau hasil uji beban pada model
•
Dihitung dengan persamaan-parsamaan daya dukung pondasi (foundation static equations), berdasarkan: a. Data karakteristik/sifat tanah (soil properties) di laboratorium b.Data hasil percobaan/penyelidikan di lapangan (Sondir atau CPT, Vane Shear).
•
Persamaan dinamis (dynamics equations), ini khusus untuk pondasi tiang pancang.
Pada dasarnya cara-cara di atas adalah cara dalam menentukan daya dukung batas (ultimate load atau ultimate bearing capacity) pondasi. II.5.3.
Kapasitas Daya Dukung Terzaghi
Dalam menentukan macam keruntuhan geser tanah Terzaghi mengambil beberapa anggapan dan dasar teori. Anggapan dan Dasar Teori yang Digunakan pada Analisis Terzaghi •
Menghilangkan tahanan geser tanah di atas bidang horizontal yang melalui dasar pondasi.
•
Pengaruh beban tanah di atas bidang vertikal sekitar pondasi diekivalenkan sebagai beban tambahan dengan intensitas q = γ.Df, dimana Df adalah kedalaman penanaman pondasi.
•
Tanah dianggap homogen dan isotropik, kekuatan geser dinyatakan dengan persamaan Coulomb ; τ = C + σ tan φ
•
Dasar pondasi dianggap kasar dan membagi distribusi tegangan di bawah pondasi (Gambar II.4)
•
Zona elastis dibatasi oleh bidang lurus bersudut (α dengan horizontal, dimana α adalah sudut geser keruntuhan akibat tegangan pondasi.
•
Zona keruntahan tidak mengembung ke luar dari bidang horizontal yang melalui dasar pondasi.
•
Zona pasif teori Rankine atas zona III (Gambar II.4)
33
Berdasarkan anggapan-anggapan di atas, maka akibat beban luar pada pondasi dangkal dan dalam adalah sama, kecuali intensitas beban, karena akan bertambah dalam penanaman pondasi, intensitas beban tambahan juga akan bertambah.
Penjelasan : Zona I
(abc)
= zona keruntuhan geser eiastis,
Zona II
(acd)
= zona keruntuhan gpser radial.
Zone III
(ade)
= zona pasif teori Rankine
Gambar II.4. Zona Tegangan Terzaghi II.5.4.
Analisa Daya Dukung Terzaghi
Analisis kapasitas daya dukung Terzaghi merupakan perkembangan dari analisa kapasitas daya dukung Prandl (1920). Menurut Terzaghi suatu pondasi dangkal ditentukan oleh perbandingan Df (kedalaman penanaman pondasi) dan B (lebar pondasi). Dari Gambar II.4 dapat dilihat bahwa zona I, zona II (kanan-kiri) dan zona III (kanan-kiri). Pada keruntuhan geser elastis, gaya-gaya luar yang bekerja pada pondasi akan diimbangi oleh gaya-gaya lateral yang dihasilkan oleh gesekan dan adhesi antara tanah dengan dasar pondasi. Persamaan umum daya dukung batas (ultimate bearing capasity), menurut Terzaghi untuk pondasi dangkal qu = c . Nc + γ. Df . Nq + 0,5 . γ . B . Nγ .....…………………………….. (2.3) tetapi pesamaan ini, juga dipengaruhi oleh faktor bentuk pondasi dan faktor kedalaman pemasangan pondasi. Sehingga secara umum persamaan ini menjadi : qu = c . Nc + γ. Df . Nq + 0,5 . γ . B . Nγ
(pondasi lajur) .. ………… (2.4)
34
qu = 1,3. c . Nc + γ. Df . Nq + 0,4 . γ . B . Nγ (pondasi bujur sangkar)….. (2.5) qu = 1,3. c . Nc + γ. Df . Nq + 0,6 . γ . r . Nγ
(pondasi bundar)…………. (2.6)
dimana qu
= daya dukung ujng batas (ultimate) pondasi
c
= kohesi tanah penyangga
γ
= berat isi
Df
= kedalaman penanaman pondasi
B
= lebar pondasi
r
= jari-jari pondasi
Nc,,Nq,Nγ
= faktor kapasitas daya dukung Terzaghi
Faktor-faktor kapasitas daya dukung dapat dilihat pada tabel II.2 berikut ini : Tabel II.2. Faktor Kapasitas Daya Dukung Terzaghi Ф(º) 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
Nc 5,71 7,32 9,64 12,8 17,7 25,1 37,2 57,8 95,6 172
Nq 1,0 1,64 2,70 4,44 7,43 12,7 22,5 41,4 81,2 173
Nγ 0,0 0,0 1,2 2,4 4,6 9,2 20,0 44,0 114,0 320
Sumber : Mekanika Tanah & Teknik Pondasi Sostrodarsono,S., Nakazawa, K., (1980)
II.5.5.
Faktor-faktor Daya Dukung
Dengan memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh di dalam analisis kapasitas daya dukung yang pernah dibuat oleh para peneliti, misalnya : Terzaghi, Meyerhof dan Hansen maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh tersebut adalah : •
Kondisi pembebanan yang memberikan kesempatan pengaliran (drained loading condition)
35
•
Kondisi pembebanan tanpa pengaliran
•
Keadaan pondasi ◊
Permukaan/bentuk pondasi
◊
Kedalaman penanaman pondasi
◊
Inklinasi/kemiringan dasar pondasi
•
Keadaan kemiringan permukaan tanah
•
Keadaan muka air tanah
•
Keadaan pembebanan
II.5.6.
◊
Eksentrisitas pembebanan
◊
Inklinasi pembebanan
Perbaikan Daya Dudung Tanah Gambut
Perencanaan pondasi pada tanah lunak dan tanah gambut perlu mendapat perhatian mengingat luasnya wilayah gambut dan tanah lunak di Indonesia serta daya dukung tanah gambut dan tanah lunak yang rendah sekall, sehingga perlu dilakukan usaha-usaha perbaikan untuk menaikkan daya dukung tanahnya. Bebarapa cara untuk menaikkan daya dukung tanah, yaitu : •
Stabilisasi Tanah. a. Mengganti material tan tersebut dengan material tanah baru yang lebih baik (sifat dan gradasinya) sebagai contoh pasir, sirtu dsb. b. Menggunakan bahan kimia dan bahan-bahan lainnya seperti : kapur, semen, dan bahan lain. c. Perkuatan tanah dengan geosintetis, cerucuk dan lain-lain.
•
Memilih konstruksi pondasi yang sesuai dengan kondisi tanah. a. Pada pondasi dangkal dapat dilakukan : - memperbesar dasar pondasi dangkal dan memperdalam penanaman pondasi. - dapat dipakai jenis pondasi rakit menggantikan pondasi telapak, b. Pada pondasi dalam dilakukan : - menggunakanpondasi tiang pancang atau tiang bor.
36
Usaha-usaha ini terus dilakukan termasuk diantaranya dengan membuat modifikasi tentang bentuk dari pondasinya maupun mengadakan penelitian terhadap bahan stabilisasi yang sesuai dengan tanah lunak dan gambut setempat, untuk mendapatkan daya dukung yang maksimal. Sehingga dari hasil-hasil penelitian ini didapatkan alternatif baru cara penanggulangan terhadap permasalahan rendahnya daya dukung tanah lunak dan gambut. II.6.
Konsolidasi Tanah
Pemeriksaan konsolidasi dimaksudkan untuk menentukan sifat pemampatan suatu macam tanah yang diakibatkan oleh adanya tekanan vertikal (berupa berat konstruksi diatasnya atau tanah isian) dan sifat pemampatan ini berupa adanya perubahan isi dan proses keluarnya air dari dalam pori tanah. Di lapisan yang terdiri dari pasir akan segera terjadi penurunan yang hampir menyeluruh dalam waktu yang singkat setelah bekerjanya beban. Di lapisan yang terdiri dari butiran halus ( lempung), maka penurunan agak besar dan memakan waktu yang lama, oleh karena itu penelitian konsolidasi pada umumnya terhadap lapisan tanah berbutir halus. Besarnya penurunan tergantung pada kecenderungan sifat tanah dapat dirembes dan ditekan atau tergantung pada koefisien rembesan dan koefisien konsolidasi. Lapisan tanah mengandung rongga pori yang berupa udara maupun air.kondisi tanah yang berisi rongga pori ini mempunyai karakteristik yaitu mampu terjadi proses pemampatan sebagai akibat isi pori keluar tertekan biasanya akibat adanya beban luar. Proses pemampatan ini disebut sebagai proses konsolidasi tanah. Dalam proses konsolidasi yang sesungguhnya adalah terjadinya perubahan volume sesuai waktu dan besar tekanannya Persamaan konsolidasi / penurunan menurut Terzaghi S = mv × h × ΔP ........................…………………………….. (2.7)
mv =
av ................................…………………………….. (2.8) 1 + e0
37
av =
Po + Δq Cc log ............……………………………...... (2.9) ΔP Po
S=
Cc × h P + Δq ............…………………………….. (2.10) log P 1 + e0
Jadi
Dimana
II.7.
S
= konsolidasi / penurunan
mv
= koefisien pengecilan isi
av
= koefisien pemampatan
e0
= angka pori awal
h
= kedalaman lapisan tanah
Cc
= koefisien indeks pemampatan
Po
= beban sebelum konsolidasi
Δq
= penambahan beban konsolidasi
Penelitian yang Pernah Dilakukan Tetang Daya Dukung Di Tanah Gambut
Basuki Ampera (1995) melakukan studi daya dukung pondasi pelat betingkat diatas tanah lunak yang berlokasi di Kabupaten Musi Banyu Asin, Provinsi Sumatra Selatan. Basuki melakukan pembebanan aksial sesuai standart ASTM D 1143-81, dengan memberikan beban incremental sebesar 10 % dari beban rencana Percobaan pembebanan yang dilaksanakan, dilakukan terhadap pondasi pelat bertingkat secara langsung melalui tiang panyangga dilapangan dan teori – teori persamaan untuk menghitung kapasitas daya dukung batas pondasi pelat bertingkat yang telah dilaksanakan. Basuki melakukan perhitunganbeban rencana model pondasi pelat bertingakat dengan menggunakan rumus pondasi dangkal metode Terzaghi. Sedangkan interpretasi beban batas dari data pembacaan lapangan digunakan metoe grafik JASFS (Log t – z), Metode Elastis – Plastis (P – z), metode nilai leleh Housel dan
38
Metode De Beer (LogP – Log S), dengan data – data penelitian yang di pergunakan sebagai berikut : Data Variasi Penanaman, Jumlah pelat dan Jarak Antara Pelat, seperti ditunjukkan pada tabel II.4. berikut ini : Tabel II.3 Variasi penanaman, jumlah pelat dan jarak antara pelat Type
Kedalaman
Jumlah
Jarak Antara
Model
Penanaman
Pelat
Pelat
A3
3D
1
-
A4
3D
1
-
A5
3D
1
-
D2
3D
2
3D
F3
3D
2
6D
F4
3D
3
3D
D1
6D
1
-
F2
6D
2
3D
C3
4D
2
8D
B3
5D
1
-
B4
5D
1
-
B5
5D
1
-
G3
5D
2
10D
G4
5D
3
5D
Sumber : Ampera (1995) Data Hasil Pemeriksaan Laboratorium, seperti ditunjukkan pada tabel II.5 Tabel II.4. Data Hasil Pemeriksaan Laboratorium No Boring B-01
B-02
Depth
Gs
γd
γm
2 (t/m )
2 (t/m )
ω
ω
ω
Ip
C
Cr
Φ
2 (Kg/cm )
0
()
e
n
Cc
Sr
2 (Kg/cm )
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
2 (Kg/cm )
3,0-3,4
2,638
1,037
1,660
60,067
43,000
22,620
20,380
0,0145
0,00706
7,23
1,54
0,61
0,72
103
4,0-4,4
2,656
1,104
1,690
53,138
-
24,050
24,050
0,0371
0,04670
2,81
1,41
0,58
0,50
100
6,0-6,4
2,555
1,044
1,650
58,079
57,500
23,860
33,040
0,0474
0,06500
4,22
1,45
0,59
0,43
103
2,4-2,8
2,563
1,085
1,680
54,808
52,500
24,570
27,930
0,1230
0,11500
0,31
1,36
0,58
0,54
103
4,0-4,4
2,664
1,178
1,720
45,953
84,000
32,000
52,000
0,2510
0,24300
2,55
1,26
0,56
0,45
97
6,0-6,4
2,647
1,047
1,640
56,591
53,500
24,050
29,450
0,0330
0,03500
6,42
1,53
0,60
0,38
98
(m)
Sumber : Ampera (1995)
39
Data Perbandingan Beban Batas Pondasi Pelat Bertingkat Hasil Perhitungan Menggunakan Rumus Terzaghi dengan Metoda Grafis hasil pembebanan di lapangan, ditunjukkan pada tabel II.5. Tabel II.5. Perbandingan beban batas pondasi pelat bertingkat hasil perhitungan menggunakan rumus Terzaghi dengan metoda grafis hasil pembebanan di lapangan. Type
No
Model
Pult.
Pult . Hasil Test Lapangan (Kg)
(Kg)
Log..P vs
Terzaghi
Log. S
P vs .S
Housel
Parsial
1
A3
139,173
110
344,444
310,938
323,119
2
A4
139,173
200
348,889
359,375
361,133
3
A5
139,173
200
357,778
381,250
323,119
4
D2
149,900
180
415,789
385,938
343,400
5
F3
149,900
180
394,737
403,125
343,400
6
F4
149,900
70
436,842
403,125
383,800
7
D1
331,904
380
957,895
875,475
744,294
8
F2
155,252
150
386,842
393,750
352,545
9
C3
294,425
400
757,895
778,125
715,428
10
B3
326,554
280
889,474
838,462
864,240
11
B4
310,475
350
1005,263
828,125
705,092
12
B5
465,727
300
1312,000
1235,020
1057,604
13
G3
353,303
300
1010,526
896,154
783,496
14
G4
529,955
450
1576,000
1371,429
1063,198
Sumber : Ampera (1995) Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa : •
Dengan jumlah pelat (daun pondasi) lebih banyak akan menghasilakan daya dukung batas pondasi lebih besar
•
Penanaman pondasi lebih dalam akan menghasilkan daya dukung batas pondasi yang lebih besar
•
Perhitungan beban batas mentode Terzaghi ternyata mempunyai harga daya dukung batas lebig kecil dibandingkan dengan metode Grafis
40
•
Selisih harga daya dukung batas tersebut akibat terdapat penambahan daya dukung lapangan akibat terbentuknya mantel diatas pelat pondasi berupa kerucut dengan ketinggian 2/3 kedalaman penanaman atau 2/3 jarak pelat pondasi
Abubakar Alwi (1996) melakukan studi daya dukung pondasi pelet lingkaran pada tanah lunak dengan stabilisasi semen pada tanah di bawah pondasi. Penelitian ini bertujuan untuk mencari alternatif lain menaikkan daya dukung tanak lunak. Pada proses pengikatan semen dan tanah menggunakan air tanah kerena muka air tanah sangat tinggi ± 25 – 50 cm di bawah muka tanah. Pada penelitian ini pondasi yang digunakan adalah model pondasi dangkal dengan diameter pelat 20 cm dan diameter tiang 1,75 inc. Untuk stabilisasi tanah menggunakan komposisi campuran semen
dan kedalaman stabilisasi yang
berbeda-beda. Adapun data – data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Data Hasil Uji Laboratorium Pada Tanah Asli, ditunjukkan pada tabel II.6. Tabel II.6. Tabel Hasil uji laboratorium pada tanah asli No
Depth
Boring
(m)
B-01
B-02
B-03
Gs
γd
γm
ω
Ip
C
Φ
2 (ton/m )
2 (ton/m )
(%)
(%)
2 (Kg/cm )
(%)
e
n
Cc
Sr
2 (Kg/cm )
(%)
St
0.80-1.20
2.506
0.998
1.600
60.376
45.96
0.0281
1.378
1.51
0.60
0.568
100
1.037
2.80-3.20
2.551
0.866
1.540
77.810
65.26
0.0167
0.825
1.95
0.66
0.632
102
1.037
5.60-6.00
2.623
1.099
1.610
46.558
51.05
0.0152
0.764
1.39
0.58
0.328
88
1.095
08.0-1.20
2.575
0.972
1.590
63.538
46.08
0.0745
1.215
1.65
0.62
0.634
99
1.113
2.80-3.20
2.630
1.259
1.630
29.450
74.70
0.0403
0.807
1.09
0.52
0.123
71
1.095
4.80-5.20
2.564
1.119
1.670
49.203
37.37
0.0203
1.014
1.29
0.56
0.282
98
1.000
0.80-1.20
2.496
0.723
1.430
97.659
74.13
0.0293
1.313
2.45
0.71
1.393
99
1.021
2.80-3.20
2.660
1.298
1.710
31.904
51.33
0,0185
0.852
1.05
0.51
0.406
81
1.138
4.80-5.20
2.573
0.885
1.640
85.346
45.94
0.0186
1.474
1.91
0.66
0.297
115
1.192
Sumber : Alwi (1996) Data Hasil Uji Laboratorium Pada Tanah Stabilisasi Semen, ditunjukkan pada tabel II.7.
41
Tabel II.7. Tabel hasil uji laboratorium pada tanah dengan stabilisasi semen No
Depth
Boring
(m)
Gs
γd
γm
ω
Ip
C
Φ
2 (ton/m )
2 (ton/m )
(%)
(%)
2 (Kg/cm )
(%)
e
n
Cc
Sr
2 (Kg/cm )
(%)
St
E 2 (Kg/cm )
Camp.1
0.50-1.00
2.424
0.604
1.300
115.237
73.87
0.036
2.152
3.01
0.75
1.283
93
1.152
18
Camp.2
0.50-1.00
2.429
0.607
1.360
123.874
70.22
0.072
4.297
3.00
0.75
1.148
100
1.250
36
Camp.3
0.50-1.00
2.472
0.619
1.390
124.613
54.79
0.077
6.790
2.99
0.75
1.135
103
1.385
38.5
Camp.4
0.50-1.00
2.506
0.688
1.435
108.460
44.66
0.214
10.000
2.64
0.73
0.858
103
2.152
107
Camp.5
0.50-1.00
2.431
0.647
1.370
111.771
53.67
0.165
8.359
2.76
0.73
1.130
103
1.865
83
Camp.6
0.50-1.00
2.432
0.684
1.390
103.272
49.79
0.186
8.947
2.56
0.72
0.884
99
2.053
93
Camp.7
0.50-1.00
2.514
0.795
1.465
84.355
41.30
0.265
13.233
2.16
0.68
0.656
98
3.186
108.2
Sumber : Alwi (1996) Data Interpretasi Beban Batas Dari Hasil Metode Grafis, ditunjukkan pada tabel II.8. Tabel II.8. Tabel Interpretasi beban batas dari hasil metode grafis No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
MODEL TEST Tanah Asli Tanah AsliTerganggu A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7
STABILISASI (CM) -
Log t vs z 240
-
150
50 50 50 50 50 50 50 100 100 100 100 100 100 100 150 150 150 150 150 150 150
210 300 450 600 540 570 630 270 420 510 720 570 660 720 360 480 570 810 720 780 840
Sumber : Alwi (1996)
BEBAN BATAS P vs z HOUSEL 215 218 120 110 168 224 378 531 500 525 550 254 330 445 611 556 560 627 265 488 528 667 578 660 777
124 146 349 512 412 506 536 190 323 395 581 508 545 621 258 451 495 631 523 638 731
CHIN 192.307 84.854 338.983 404.000 622.084 684.931 630.915 642.260 691.085 343.643 593.119 636.942 857.633 751.879 840.336 884.956 446.627 618.429 784.314 910.747 820.344 904.997 914.913
42
Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa : •
Penelitian ditekankan pada studi terhadap peningkatan daya dukung batas model pondasi kolom semen di tanah lunak
•
Stabilisasi dengan injeksi semen dapa tanh lunak berupa kolom semen, ternyata dapat dikerjakan dengan cepat dan mudah dalam pelaksanaannya dan memberikan hasil yang baik terhadap perbaikan sifat fisik dan mekanis tanah lunak.
•
Besarnya batas model pondasi tergantung dengan pemakaian semen, dengan betambahnya pemakaian semen mempunyai kecenderungan dapat menaikan daya dukung batas model pondasi, hal ini berarti harga daya dukung batas pondasi berbanding lurus dengan pertambahan penggunaan semen
•
Semakin dalam sabilisasi dilakukan pada model pondasi mempunyai kecenderungan akan meningkatkan kapasitas daya dukung batasnya
•
Analisis pehitungan daya dukung batas pondasi kolo semen menunjukan bahwa dengan cara Bengt Broms menghasilkan daya dukung batas yang paling baik dibandingkan dengan metode lain. Metode inimenghasilkan harga daya dukung yang paling mendkati harga daya dukung batas metode grafik, dan hampir semua model pondasi mempunyai penurunan dibawah 15 % dari diameter pondasi
•
Pondasi kolom semen sebaiknya menggunakan kolom semen yang panjang agar didapat darga daya dukung batas yang lebih besar, mengingat besarnya gesekan antara tanah dengan dinding kolom semen lebih menentukan harga daya dukung batas pondasi. Dari hasil penelitian panjang pondasi kolom semen sebaikya lebih dari 4 kali diameter kolom (L/B >4)
•
Kolom semen dengan campuran sebanyak 23, 4828 % di dalam penelitian ini memberikan harga daya dukung batas yang optimum, artinya penembahan campuran semen yang lebih tinggi tidak akan berpengaruhh terhadp harga daya dukung batas pondasi kolom semen mengingat akan terjadi keruntuhan tanah asli.