BAB II STUDI PUSTAKA
2.1 TINJAUAN UMUM Studi pustaka berisi teori-teori yang diperoleh dari referensi-referensi yang dilakukan untuk mendukung analisis dalam penelitian (http://digilib.petra.ac.id, 2010). Beberapa referensi yang dapat dijadikan acuan yaitu: text book, journal, karya ilmiah, internet, laporan penelitian, dsb. Studi pustaka mempunyai tiga fungsi penting (http://d3english-undip.tripod.com, 2010), yaitu: 1. memberikan gambaran tentang topik masalah kepada pembaca. 2. meyakinkan pembaca bahwa penulis mengetahui banyak hal tentang topik masalah yang sedang diteliti. 3. mengembangkan wawasan tentang bidang studi yang diteliti.
2.2 PANTAI Definisi daerah pantai sangat penting dalam penanganan permasalahan pantai untuk menyamakan pandangan dan arti kata. Beberapa definisi yang berkaitan dengan daerah pantai telah diseminarkan di Manado (CIDA, 1992). Definisi hasil seminar tersebut pada tahun-tahun terakhir ini telah dikembangkan lagi dalam beberapa seminar, yang intinya adalah dibedakan antara definisi untuk keperluan pengelolaan dan keperluan teknik (engineering) agar ada kesamaan sudut pandang dan arti kata (Yuwono, 2005).
2.2.1 Definisi Pantai (Wilayah Pesisir) Untuk Keperluan Pengelolaan Pantai Secara sederhana, pantai dapat diartikan sebagai daerah batas antara daratan dan lautan. Pantai merupakan daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Beberapa istilah kepantaian (Yuwono, 2005) yang perlu diketahui dan dipahami diantaranya:
23
Daerah pantai atau pesisir Adalah suatu daratan beserta perairannya dimana pada daerah tersebut masih dipengaruhi baik oleh aktivitas darat maupun oleh aktivitas marine. Dengan demikian daerah pantai terdiri dari perairan pantai dan daratan pantai yang saling mempengaruhi. Daerah pantai sering disebut pula daerah pesisir atau wilayah pesisir.
Pantai Adalah daerah di tepi perairan sebatas antara surut terendah dan pasang tertinggi.
Daratan pantai Adalah daerah di tepi laut yang masih terpengaruh oleh aktivitas marine.
Perairan pantai Adalah perairan yang masih dipengaruhi aktivitas daratan.
Sempadan pantai Adalah daerah sepanjang pantai yang diperuntukkan bagi pengamanan dan pelestarian pantai.
Gambar 2.1 Definisi pantai (wilayah pesisir) untuk keperluan pengelolaan pantai (Yuwono, 2005)
24
2.2.2 Definisi Pantai Untuk Keperluan Rekayasa/Teknik Pantai Sedangkan definisi kepantaian untuk keperluan rekayasa/teknik pantai (Yuwono, 2005) yang perlu diketahui dan dipahami diantaranya:
Surf zone Adalah daerah antara gelombang (mulai) pecah sampai dengan garis pantai.
Off-shore Adalah daerah dari gelombang (mulai) pecah sampai ke laut lepas.
Breaking zone Adalah daerah dimana terjadi gelombang pecah.
Beach (shore) Adalah daratan pantai (berpasir) yang berbatasan langsung dengan air.
Coast Adalah daratan pantai yang masih terpengaruh laut secara langsung, misalnya pengaruh pasang surut, angin laut, dan ekosistem pantai (hutan bakau, sand dunes).
Coastal area Adalah daratan pantai dan perairan pantai sampai kedalaman 100 atau 150 m (Sibayama, 1992).
Gambar 2.2. Definisi pantai untuk keperluan rekayasa pantai (Yuwono, 2005) 25
Pantai merupakan gambaran nyata interaksi dinamis antara air, angin dan material (tanah). Angin dan air bergerak membawa material tanah dari satu tempat ke tempat lain, mengikis tanah dan kemudian mengendapkannya lagi di daerah lain secara terus menerus. Dengan kejadian ini menyebabkan terjadinya perubahan garis pantai. Pantai mempunyai pertahanan alami untuk melindungi diri dari serangan arus dan gelombang serta bentuknya akan terus menyesuaikan sehingga mampu meminimalkan energi gelombang yang menerpanya. Sistem pertahanan pantai meliputi bagian dasar perairan pantai yang berbentuk miring dan bergelombang. Permukaan yang miring dan landai tersebut akan mengurangi energi gelombang yang datang. Ketika mencapai daerah pantai energi gelombang sudah berkurang sehingga tidak mempengaruhi garis pantai.
2.3 EROSI DAN ABRASI PANTAI Erosi pantai adalah proses mundurnya garis pantai dari kedudukan semula yang disebabkan oleh tidak adanya keseimbangan antara pasokan dan kapasitas angkutan sedimen (Yuwono, 2005). Abrasi adalah proses terkikisnya batuan atau material keras seperti dinding atau tebing batu, yang biasanya diikuti dengan longsoran atau runtuhan material (Yuwono, 2005). Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya erosi dan abrasi pada suatu wilayah.
2.3.1 Faktor Alam 1.
Pemanasan global Kegiatan manusia yang meningkatkan jumlah gas rumah kaca di atmosfer dapat mengakibatkan naiknya suhu bumi. Suhu yang lebih tinggi dan penguapan yang lebih besar mengakibatkan curah hujan cenderung meningkat, peningkatan tinggi permukaan laut yang disebabkan pemuaian air laut dan mencairnya gunung-gunung es di kutub. Kenaikan permukaan laut ini akan menyebabkan mundurnya garis pantai sehingga menggusur daerah pemukiman dan mengancam daerah perkotaan yang rendah, membanjiri lahan produktif dan mencemari persediaan air tawar (Triatmodjo, 2008). 26
2.
Perubahan sedimen pantai. Suatu pantai mengalami erosi, akresi (sedimentasi) atau tetap stabil tergantung pada sedimen yang masuk (suplai) dan yang meninggalkan pantai tersebut (Triatmodjo, 2008). Perubahan pola cuaca dan musim di bumi dapat mengakibatkan kekeringan pada bulan-bulan tertentu sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya banjir yang turut serta membawa suplai sedimen dari sungai ke arah pantai, apabila pantai tidak mendapat suplai sedimen pada hilir sungai, maka pantai akan mengalami perubahan garis pantai akibat ketidakstabilan kondisi tersebut.
3.
Gelombang badai Gelombang badai dan tsunami adalah salah satu faktor alam yang menyebabkan erosi dan abrasi (Departemen Pekerjaan Umum, 2009). Akibat gelombang yang besar (gelombang badai), maka pasir akan terdorong ke arah pantai dan berpindah tempat di daerah pantai, tetapi kemudian setelah gelombang biasa datang, pasir tersebut akan kembali tertarik ke bagian laut yang lebih dalam.
2.3.2 Faktor Non Alam (Campur Tangan Manusia) Beberapa faktor non alam yang sering mengakibatkan terjadinya erosi pantai (Departemen Pekerjaan Umum, 2009) antara lain sebagai berikut: 1.
Pengaruh adanya bangunan pantai yang menjorok ke laut (tegak lurus pantai) Terperangkapnya angkutan sedimen sejajar pantai akibat adanya bangunan tegak lurus pantai menyebabkan kerusakan pantai di Indonesia (Diposaptono, 2001).
2. Penambangan material pantai dan sungai Data dari Kantor Lingkungan Hidup (LH) menunjukkan dalam 5 tahun terakhir, sekitar 15 meter pesisir Klungkung lenyap tertelan abrasi. Itu artinya dalam rentang waktu setahun, rata-rata tiga meter garis pantai hilang, karena terjangan abrasi. Ironisnya, itu bukan semata karena faktor alam. Seperti akibat perubahan iklim karena naiknya permukaan air laut, atau istilahnya akibat pemanasan global. Namun diperparah sejumlah aktivitas penggalian, 27
seperti penambangan pasir dan material lain di daerah aliran sungai (DAS), karena galian tersebut material pasir atau kerikil yang semestinya menjadi pengaman pantai jadi hilang. Terjangan dan arus laut tak ada yang membendung. Itulah yang menyebabkan abrasi berlangsung dengan cepat (http://nusabali.com, 2010). 3.
Perpindahan (pergerakan) muara sungai.
4.
Pencemaran perairan pantai yang dapat mematikan karang dan pohon bakau Fungsi terumbu karang selain sebagai bagian ekologis dari ekosistem pantai yang sangat kaya dengan produksi perikanan juga melindungi pantai dan ekosistem perairan dangkal lain dari hempasan ombak dan arus yang mengancam terjadinya erosi. Fungsi dari hutan bakau (mangrove) selain sebagai tempat wisata dan penghasil kayu adalah sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung erosi, penahan lumpur dan penangkap sediment (http://baliprov.go.id, 2010).
5. Pengaruh pembuatan waduk di hulu dan yang melintang sungai yang ada kecenderungan menyebabkan berkurangnya sedimen ke hilir. 2.4 DASAR-DASAR PERENCANAAN 2.4.1 Angin Angin adalah udara yang bergerak yang diakibatkan oleh rotasi bumi dan juga karena adanya perbedaan tekanan udara di sekitarnya. Angin bergerak dari tempat
bertekanan
udara
tinggi
ke
tempat
bertekanan
udara
rendah
(http://id.wikipedia.org, 2010). Data angin diperlukan untuk peramalan tinggi dan periode gelombang. 2.4.1.1 Pembangkitan Gelombang Oleh Angin Gelombang yang terjadi di lautan dapat dibangkitkan atau diakibatkan oleh berbagai gaya. Bebarapa jenis gaya pembangkit gelombang antara lain angin, gaya gravitasi benda-benda langit, letusan gunung berapi, gempa bumi, dsb. Dalam penyusunan Tugas Akhir ini, akan difokuskan pada pembangkitan gelombang oleh angin.
28
Angin yang berhembus di atas permuakaan air akan memindahkan energinya ke air. Kecepatan angin akan menimbulkan tegangan pada permukaan laut, sehingga permukaan air yang semula tenang akan terganggu dan timbul riak gelombang kecil di atas permukaan air. Apabila kecepatan angin bertambah, riak tersebut menjadi semakin besar, dan apabila angin berhembus terus akhirnya terbentuk gelombang. Semakin lama dan semakin kuat angin berhembus, semakin besar gelombang yang terbentuk (Triatmodjo, 2008). Tinggi dan periode gelombang yang dibangkitkan dipengaruhi oleh kecepatan angin (U), lama hembusan angin (D), fetch (F) dan arah angin. Pada umumnya pengukuran angin dilakukan di daratan, sedangkan di dalam rumusrumus pembangkitan gelombang, data angin yang digunakan adalah yang ada di atas permukaan laut. Oleh karena itu diperlukan transformasi data angin di atas daratan (yang terdekat dengan lokasi studi) ke data angin di atas permukaan laut (Triatmodjo, 2008). Hubungan antara angin di atas laut dan angin di atas daratan terdekat diberikan oleh persamaan berikut: U R = W L U L
(Triatmodjo, 2008)
Keterangan: UL = Kecepatan angin yang diukur di darat (m/dt) Uw = Kecepatan angin di laut (m/dt) RL = Nilai koreksi hubungan kecepatan angin di darat dan di laut (Grafik 2.1)
29
Grafik G 2.1 Grafik hubbungan anttara kecepattan angin di d laut dann di darat (Triatmodjo, 2008) h dilakukan n konversi kecepatan angin, maaka kecepaatan angin Setelah dikonversika d an pada fakttor tegangan angin (windd stress factoor) dengan persamaan: p UA = 0,71 U1,23
(Triatmodjo, 20008)
Keterangan: K UA = Faktor tegangaan angin U = Keecepatan anggin (m/dt)
2.4.1.2 2 Maw war Angin/W Wind Rose Data angin a yang digunakan untuk anallisis angin merupakan data yang diperoleh d daari stasiun peengamatan B Badan Meteorologi dan Geofisika yakni y BMG terdekat t yan ng tersedia. Data yangg diperoleh dari stasiunn tersebut berupa data kecepatan k anngin maksim mum harian selama 10 taahun. Data yang y diperoleh tersebut selanjutnya dilakukan pengelomppokan berdaasar arah dan d kecepaatan. Hasil 30
pengelompokan (pengolahan) dibuat dalam bentuk tabel atau diagram yang disebut dengan mawar angin/wind rose (Departemen Pekerjaan Umum, 2009). Dengan tabel atau mawar angin, maka karakteristik angin dapat dibaca dengan tepat (Triatmodjo, 2008).
Gambar 2.3 Mawar angin (Triatmodjo, 2008)
2.4.1.3 Fetch Fetch adalah panjang keseluruhan suatu daerah pembangkitan gelombang di mana angin berhembus dengan arah dan kecepatan yang konstan. Panjang fetch dapat ditentukan dari peta Atlas dan peta Dinas Hidro Oseanografi Angkatan Laut (Departemen Pekerjaan Umum, 2009). Arah angin angin masih dianggap konstan apabila perubahannya tidak sampai 15o. Sedangkan kecepatan angin masih dianggap konstan apabila perubahannya tidak lebih dari 5 knot (2,5
m
/dt)
(Triatmodjo, 2008) . Di dalam peninjauan pembangkitan gelombang di laut, fetch dibatasi oleh daratan yang mengelilingi laut. Panjang fetch membatasi waktu yang diperlukan 31
gelombang untuk terbentuk karena pengaruh angin, jadi mempengaruhi waktu untuk mentransfer energi angin ke gelombang. Fetch ini berpengaruh pada periode dan tinggi gelombang yang dibangkitkan. Semakin panjang jarak ketinggian
fetchnya,
gelombangnya
akan
semakin
besar
dan
periode
gelombangnya akan semakin lama. Di daerah pembangkitan gelombang, gelombang tidak hanya dibangkitkan dalam arah yang sama dengan arah angin tetapi juga dalam berbagai sudut terhadap arah angin (Triatmodjo, 2008). Untuk memperoleh hasil dari fetch rerata efektif digunakanlah rumus di bawah ini: Feff = ∑
Xi cosα
∑ cosα
(Triatmodjo, 2008)
Keterangan: Feff = Fetch rerata efektif. Xi
= Panjang segmen fetch yang diukur dari titik observasi gelombang ke ujung akhir fetch.
α
= Deviasi pada kedua sisi dari arah angin, dengan menggunakan pertambahan 6o sampai sudut sebesar 42o pada kedua sisi dari arah angin
32
Gambar 2.4 Fetch (Triatm modjo, 2008))
33
2.4.2 Gelombang Gelombang di laut dapat dibedakan menjadi beberapa macam yang tergantung pada gaya pembangkitnya. Gelombang tersebut adalah gelombang angin (dibangkitkan oleh tiupan angin), gelombang pasang surut (dibangkitkan oleh gaya tarik benda-benda langit terutama gaya tarik matahari dan bulan terhadap bumi), gelombang tsunami (dikarenakan oleh letusan gunung berapi atau gempa di dasar laut), gelombang kecil (misalkan gelombang yang dibangkitkan oleh kapal yang bergerak), dan sebagainya (Triatmodjo, 2008). Diantara beberapa bentuk gelombang yang paling penting adalah gelombang angin dan gelombang pasang surut. Pada umumnya bentuk gelombang sangat kompleks dan sulit digambarkan secara matematis karena ketidaklinierannya, tiga dimensi dan bentuknya yang random (Triatmodjo, 2008). Ada beberapa teori dengan berbagai tingkat kekompleksan dan ketelitian untuk menggambarkan fenomena gelombang di alam, diantaranya adalah teori Airy, teori Stokes, teori Gerstner, teori Mich, teori Knoidal dan teori Tunggal. Teori gelombang Airy adalah teori gelombang kecil, sedangkan teori yang lain adalah teori gelombang amplitudo terbatas (finite amplitude waves). Dari berbagai teori di atas, teori gelombang Airy adalah teori yang paling sederhana. Teori gelombang Airy sering disebut teori gelombang linier atau teori gelombang amplitudo kecil (Triatmodjo, 2008). Berdasarkan kedalaman relatifnya, yaitu perbandingan antara kedalaman laut (d) dan panjang gelombang (L), maka gelombang diklasifikasikan menjadi tiga (Triatmodjo, 2008) yaitu: 1. Gelombang di laut dangkal (shallow water)
d/L ≤ 1/20
tanh (2πd/L) ≈ (2πd/L)
C = √gd
L = T √gd
34
2. Gelombang di laut transisi (transitional water) 1/20 < d/L < 1/2 (2πd/L) < tanh (2πd/L) < 1 C = [gT/2π] tanh [2πd/L] L = [gT2/2π] tanh [gT2/2π] 3. Gelombang di laut dalam (deep water)
d/L ≤ 1/20
tanh (2πd/L) ≈ (2πd/L)
C = Co = √gd
L = Lo = T √gd
Keterangan: C = Cepat rambat gelombang (m) L = Panjang gelombang (m) g = Gravitasi = 9,81 (m/dt2) T = Periode gelombang (dt) Dalam suatu perencanaan, pengukuran gelombang secara langsung umumnya jarang dilakukan mengingat kesulitan dan biaya yang sangat besar, selain itu pengukuran yang dilakukan hanya dalam waktu pendek kurang bisa mewakili gelombang yang ada di lapangan. Oleh karena itu biasanya digunakan data sekunder, yaitu data angin yang kemudian diolah untuk mendapatkan peramalan data gelombang (Triatmodjo, 2008).
2.4.2.1 Peramalan Gelombang di Laut Dalam Peramalan data gelombang di laut dalam (tinggi dan periode gelombang), dapat didasarkan pada faktor tegangan angin/wind stress factor (UA) dan panjang fetch (F), selanjutnya dilakukan peramalan gelombang di laut dalam dengan menggunakan grafik peramalan gelombang. Dari grafik peramalan gelombang, apabila panjang fetch (F), faktor tegangan angin (UA) dan durasi diketahui, maka
35
tinggi t dan periode gellombang siggnifikan dap pat dihitungg (Triatmod djo, 2008). Berikut B ini adalah a grafikk peramalan gelombang:
G Grafik 2.2 Grafik G peramaalan gelomb bang (Triatmodjo, 2008) 36
2.4.2.2 Deformasi Gelombang Apabila suatu deratan gelombang bergerak dari laut dalam menuju pantai, maka gelombang tersebut akan mengalami deformasi atau perubahan bentuk yang disebabkan oleh proses refraksi dan pendangkalan gelombang, difraksi, refleksi dan gelombang pecah (Triatmodjo, 2008). Nilai koefisien deformasi gelombang di atas merupakan faktor penting untuk perhitungan gelombang laut dalam ekivalen yang nantinya digunakan dalam analisis gelombang pecah, limpasan gelombang dan proses lain.
2.4.2.3 Refraksi Gelombang Refraksi gelombang adalah perubahan bentuk pada gelombang akibat adanya perubahan kedalaman laut. Di laut dalam, gelombang menjalar tanpa dipengaruhi dasar laut, akan tetapi di laut transisi dan laut dangkal, dasar laut mempengaruhi bentuk gelombang. (Triatmodjo, 2008). Refraksi menentukan tinggi gelombang di suatu tempat berdasarkan karakteristik gelombang datang. Refraksi mempunyai pengaruh cukup besar terhadap tinggi dan arah gelombang serta distribusi energi gelombang di sepanjang pantai. Perubahan arah gelombang akibat refraksi akan menghasilkan konvergensi (penguncupan) atau divergensi (penyebaran) energi gelombang dan mempengaruhi energi gelombang yang terjadi di suatu tempat di daerah pantai (Triatmodjo, 2008), seperti yang terlihat dalam gambar di bawah ini:
37
Gambar 2.5 2 Refraksii gelombang (Triatmodjoo, 2008) Gam mbar di atass memberikkan gambaraan proses refraksi r geloombang di daerah d pantaai yang mem mpunyai gariis kontur dassar laut dan garis pantai yang tidak teratur. t Suattu deretan geelombang Lo dan garis puncak p gelom mbang sejajaar bergerak menuju m pan ntai. Terlihatt dalam gam mbar bahwa garis puncaak gelombanng berubah bentuk b dan berusaha b unttuk sejajar garis g kontur pantai. p Gariss ortogonal gelombang g membelok m menuju teggak lurus gaaris kontur.. Pada lokaasi 1, garis ortogonal gelombang g m mengecup seedang di lokkasi 2 garis ortogonal o meenyebar. Karrena energi di d antara keedua garis orrtogonal adaalah konstann sepanjang lintasan, berrarti energi gelombang g tiap satuan lebar di lokkasi 1 adalah h lebih besaar daripada di lokasi 2 (karena ( jarak k antar gariss ortogonal ddi lokasi 1 leebih kecil darripada jarak antar garis ortogonal o dii laut dalam m dan jarak antar garis ortogonal di d lokasi 2 lebih l besar daripada d jaraak antar gariis ortogonal di laut dalam m). Misal akkan direncan nakan suatu dermaga d pelabuhan, maaka lokasi 2 akan lebihh cocok dariipada lokasii 1, karena bangunan-ba b angunan yanng direncannakan akan menahan ennergi gelom mbang yang lebih l kecil (Triatmodjo, ( 2008).
38
2.4.2.4 2 Difraksi Gelombang Difrakksi gelombanng adalah suuatu fenomen na ketika suuatu gelombaang datang terhalang t o oleh suatu rintangan seperti pullau ataupunn bangunann pemecah maka gelo gelombang, g ombang akann membelok k di sekitarr ujung rinttangan dan masuk m ke daerah d terlind dung di belakangnya. Dalam D difrakksi ini, terjaadi transfer energi e dalaam arah teggak lurus ppenjalaran gelombang g menuju daaerah yang terlindung. t Biasanya tiinggi gelom mbang akan berkurang di sepanjanng puncak gelombang g menuju m daerrah yang terllindung (Triaatmodjo, 20008).
Gambar 2.6 Difraksi gelombang (Triatmodjoo, 2008) Apabilla tidak terjaadi difraksi ggelombang, daerah di beelakang rintaangan akan tenang, t akaan tetapi karena k adannya proses difraksi, maka m daeraah tersebut terpengaruh t oleh gelombang dataang. Transffer energi ke daerah terlindung menyebabka m an terbentukknya gelombang di daeraah tersebut, m meskipun tiddak sebesar gelombang g di d luar daeraah terlindungg (Triatmodjjo, 2008).
39
2.4.2.5 Refleksi Gelombang Refleksi gelombang adalah suatu fenomena ketika suatu gelombang datang mengenai atau membentur suatu rintangan (misal: ujung dermaga), maka gelombang tersebut akan dipantulkan sebagian ataupun seluruhnya. Tinjauan refleksi gelombang sangat penting di dalam perencanaan bangunan pantai. Suatu bangunan pantai yang mempunyai sisi miring dan terbuat dari tumpukan batu akan bisa menyerap energi gelombang lebih banyak dibandingkan dengan bangunan tegak dan masif. Pada bangunan vertikal, halus, dan berdinding tidak permeabel, gelombang akan dipantulkan seluruhnya (Triatmodjo, 2008). Besar kemampuan suatu bangunan memantulkan gelombang diberikan oleh koefisien refleksi (X), yaitu perbandingan antara tinggi gelombang refleksi (Hr) dengan tinggi gelombang datang (Hi). X =
Hr Hi
(Triatmodjo, 2008)
Koefisien refleksi bangunan diperkirakan berdasarkan tes model. Koefisien
refleksi berbagai tipe bangunan di berikan pada tabel berikut ini: Tabel 2.1 Koefisien refleksi (Triatmodjo, 2008) Tipe Bangunan
X
Dinding vertikal dengan puncak di atas air
0,7 – 1,0
Dinding vertikal dengan puncak terendam
0,5 – 0,7
Tumpukan batu sisi miring
0,3 – 0,6
Tumpukan blok beton
0,3 – 0,5
Bangunan vertikal dengan peredam energi (diberi lubang)
0,05 – 0,2
2.4.2.6 Gelombang Pecah Gelombang yang menjalar dari laut menuju pantai, maka gelombang tersebut akan mengalami perubahan bentuk. Di laut dalam, bentuk gelombang adalah sinusoidal. Di laut transisi dan laut dangkal, puncak gelombang menjadi semakin tajam sementara lembah gelombang menjadi semkain landai. Pada suatu 40
kedalaman k tertentu t punccak gelombaang sedemikkian tajam seehingga tidakk stabil dan pecah. p Setellah pecah, gelombang g terus menjaalar ke pantaai, dan sem makin dekat dengan d panttai maka tingggi gelombanng semakin berkuarang b (Triatmodjo o, 2008). Proses P gelom mbang pecaah sepenuhnnya terbentu uk pada suattu jarak terttentu (Xp). Hubungan H a antara jarak yang ditem mpuh dalam selama prooses gelombbang pecah (X ( p) dan tinggi gelom mbang saat mulai peccah (Hb), yyang tergan ntung pada kemiringan k dasar pantaii, sebagai berrikut: XP = τ p Hb XP = (4 – 9,25 m) Hb
(Triatmoddjo, 2008)
Gam mbar 2.7 Prosses terjadinyya gelombangg pecah (Triiatmodjo, 20 008)
2.4.2.7 2 Gelo ombang Lau ut Dalam Ek kivalen Analissis transforrmasi gelom mbang serring
dilakuukan
dengaan konsep
gelombang g laut dalam ekivalen, e yaaitu tinggi geelombang di laut dalam m jika tidak 41
mengalami m r refraksi. Pem makaian geloombang ini bertujuan b unntuk menetappkan tinggi gelombang g yang meng galami refrraksi, difrakksi dan traansformasi yang lain, sehingga perkiran perrkiraan trannsformasi dan d deformaasi gelombang dapat dilakukan d deengan lebih mudah. Tinnggi gelombang laut dallam ekivalenn diberikan dalam d persam maan: H’o = K’ Kr Ho
(Triatmodjo, 20008)
Keterangan: K mbang laut daalam ekivalen (m) H’o = Tinggi gelom Ho = Tinggi gelom mbang laut daalam (m) K difrraksi K’ = Koefisien Kr = Koefisien K refrraksi Konsep K ting ggi gelombang laut daalam ekivalen ini diguunakan dalaam analisis gelombang g pecah, p limpaasan gelombbang dan proses lain.
2.4.2.8 2 Run Up Gelomb bang Pada waktu gelombang mennghantam suuatu bangunnan, maka gelombang tersebut t akaan mengalam mi run up pada perm mukaan banggunan. Run up sangat penting p untuuk perencanaaan bangunaan pantai. Eleevasi bangunnan yang dirrencanakan tergantung t pada p run up dan limpasaan yang diijin nkan.
Gambar 2.8 Run up gelombang (Triatmodjo, 2008) 42
Run up u tergantun ng pada benntuk dan kek kasaran banngunan, keddalaman air pada p kaki bangunan, keemiringan daasar laut di depan banggunan dan kaarakteristik gelombang. g Karena ban nyaknya variabel yang beerpengaruh, maka besarnya run up sangat sulit ditentukan secara anallitis. Akan tetapi t nilai run up dapat didekati dengan d bilanngan Irribarren, seperti berikut: b Ir =
tg (θ ) ( H / L0 ) 0 , 5
(Trriatmodjo, 2008)
Keterangan: K Ir = Billangan Irribaren
θ = Suudut kemiringgan sisi pem mecah gelomb bang ( ...0) H = Tinnggi gelombbang di lokassi bangunan (m) Lo = Panjang gelom mbang di lautt dalam (m) Hasil H dari bilangan b Irriibaren tersebbut kemudiaan diterapkann dalam graafik run up gelombang g berikut. b
Grafik 2.3 Grafik run uup gelombanng (Triatmoddjo, 2008) 43
2.4.2.9 Gelombang Signifikan Gelombang yang terjadi di alam tidaklah teratur (acak) dan sangat kompleks, di mana masing-masing gelombang di dalam suatu spektrum (deretan) gelombang mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Di dalam kita mempelajari gelombang, kita beranggapan bahwa gelombang itu teratur dan sama karakteristiknya, asumsi ini hanya untuk memudahkan kita untuk dapat mempelajari karakteristiknya, maka dari itu gelombang alam harus dianalisis secara statistik (Triatmodjo, 2008). Analisis statistik gelombang diperlukan untuk mendapatkan beberapa karakteristik gelombang (Triatmodjo, 2008) yaitu: 1. gelombang representatif (gelombang signifikan), 2. probabilitas kejadian gelombang, 3. gelombang ekstrim (gelombang dengan periode ulang tertentu). Untuk keperluan perencanaan bangunan-bangunan pantai, perlu dipilih tinggi dan periode gelombang individu (individual wave) yang dapat mewakili suatu deretan (spektrum) gelombang. Gelombang tersebut dikenal dengan gelombang representatif/gelombang signifikan. Apabila tinggi gelombang dari suatu pencatatan diurutkan dari nilai tertinggi hingga nilai terendah atau sebaliknya, maka akan dapat ditentukan nilai dari tinggi gelombang signifikan (Hs), dengan s merupakan rerata dari n persen gelombang tertinggi yang telah diurutkan. Dengan bentuk seperti itu akan dapat dinyatakan karakteristik gelombang alam dalam bentuk gelombang tunggal. Misalnya H10 adalah rerata dari 10% gelombang tertinggi dari pencatatan gelombang yang telah diurutkan. Bentuk yang paling banyak dipakai adalah H33 atau rerata dari 33% gelombang tertinggi dari pencatatan gelombang yang telah diurutkan. Karena sering dipakai dalam perencanaan, maka H33 sering disebut sebagai tinggi gelombang signifikan (H33 = Hs). Cara yang sama juga dapat diterapkan untuk menentukan Ts atau periode gelombang signifikan (Triatmodjo, 2008).
2.4.2.10 Periode Ulang Gelombang Dalam perencanaan bangunan pantai, frekuensi gelombang-gelombang besar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhinya. Untuk menentukan 44
gelombang dengan periode ulang tertentu dibutuhkan data gelombang dalam jangka waktu pengukuran cukup panjang (beberapa tahun). Data tersebut bisa berupa data pengukuran gelombang atau data gelombang hasil prediksi (peramalan) berdasar data angin (Triatmodjo, 2008). Dari setiap tahun pencatatan dapat ditentukan gelombang representatifnya. Berdasar data representatif untuk beberapa tahun pengamatan dapat diperkirakan gelombang yang diharapkan disamai atau dilampaui satu kali dalam T tahun dan gelombang tersebut dikenal dengan gelombang periode ulang T tahun atau gelombang T tahunan. Misalnya, apabila T=50, maka gelombang yang diperkirakan adalah gelombang 50 tahunan atau gelombang dengan periode ulang 50 tahun, artinya bahwa gelombang tersebut diharapkan disamai atau dilampaui rata-rata sekali dalam 50 tahun. Hal ini tidak berarti bahwa gelombang 50 tahunan hanya akan terjadi sekali dalam 50 tahun yang berurutan, melainkan diperkirakan bahwa gelombang tersebut jika dilampaui k kali dalam periode panjang M tahun akan mempunyai nilai k/M yang kira-kira sama dengan 1/50 (Triatmodjo, 2008). Ada 2 metode untuk memprediksi gelombang dengan periode ulang tertentu, yaitu metode Gumbel/metode Fisher-Tippett Type I dan metode Weibull (CERC, 1992). Dalam metode ini, prediksi dilakukan untuk memperkirakan tinggi gelombang signifikan dan periode gelombang signifikan dengan periode ulang (Triatmodjo, 2008).
a. Metode Fisher-Tippett Type I Langkah-langkah memprediksi tinggi gelombang dengan periode ulang gelombang menggunakan metode Fisher-Tippet Type I adalah sebagai berikut: 1. Memasukkan data berupa tahun pencatatan dan tinggi gelombang yang sudah diurutkan dari besar ke kecil. 2. Menghitung
besarnya
probabilitas
untuk
setiap
tinggi
gelombang
menggunakan rumus: 1
, ,
(Triatmodjo,2008)
45
Keterangan: P(Hs ≤ Hsm) = Probabilitas dari tinggi gelombang representatif ke-m yang tidak dilampaui. Hsm
= Tinggi gelombang urutan ke m.
m
= Nomor urut tinggi gelombang signifikan. = 1,2,3…..,N = Jumlah kejadian gelombang selama pencatatan.
NT
menggunakan rumus:
3. Menghitung nilai
(Triatmodjo,2008)
4. Menghitung parameter skala (A) menggunakan rumus: ∑
∑
∑
(Triatmodjo,2008)
∑
∑
5. Menghitung parameter lokasi (B) dengan rumus: (Triatmodjo,2008) Keterangan: = rerata = rerata 6. Menghitung nilai menggunakan rumus: 1
(Triatmodjo,2008)
Keterangan: = Periode ulang (tahun) L
= Rerata jumlah kejadian pertahun =
NT
= Jumlah kejadian gelombang selama pencatatan
K
= Panjang data (tahun)
7. Menghitung nilai tinggi gelombang signifikan
menggunakan rumus:
(Triatmodjo,2008) 8. Menghitung nilai
menggunakan rumus:
46
√
1
,
ln
(Triatmodjo,2008)
Keterangan: = Standar deviasi yang dinormalkan dari tinggi gelombang signifikan dengan periode ulang
= Jumlah data tinggi gelombang signifikan.
N nilai
.
dirumuskan sebagai berikut: ,
√
(Triatmodjo,2008)
dengan: v:
dan nilai
;
;
;
;
; merupakan koefisien empiris untuk
menghitung deviasi standar metode Fisher-Tippett Type 1 (FT-1) yang diberikan oleh tabel di bawah ini: Tabel 2.2 Koefisien untuk menghitung deviasi standar (Triatmodjo, 2008) Metode FT-1
0,64
9,00
0,93
0,00
1,33
Weibull (K=0,75)
1,65
11,40
-0,63
0,00
1,15
Weibull (K=1,00)
1,92
11,40
0,00
0,30
0,90
Weibull (K=1,40)
2,05
11,40
0,69
0,40
0,72
Weibull (K=2,00)
20,24
11,40
1,34
0,50
0,54
9. Menghitung nilai
menggunakan rumus: (Triatmodjo,2008)
Keterangan: = Kesalahan standar dari tinggi gelombang signifikan dengan periode ulang = Deviasi standar dari data tinggi gelombang signifikan. dihitung dengan menggunakan rumus: ∑
(Triatmodjo,2008)
47
10. Menentukan batas internal keyakinan untuk tinggi gelombang signifikan ekstrim berdasar tabel di bawah ini: Tabel 2.3 Batas interval keyakinan tinggi gelombang signifikan ekstrim (Triatmodjo, 2008) Batas Interval Keyakinan
Tingkat Keyakinan (%)
Probabilitas Batas Atas Terlampaui
Terhadap
(%)
80
1,28
10,00
85
1,44
7,50
90
1,65
5,00
95
1,96
2,50
99
2,58
0,50
b. Metode Weibull Langkah-langkah memprediksi tinggi gelombang dengan periode ulang gelombang menggunakan metode Weibull (CERC, 1992) hampir sama dengan metode Fisher-Tippett Type I, hanya rumus dan koefisien yang digunakan disesuaikan dengan metode Weibull (CERC, 1992). 1. Memasukkan data berupa tahun pencatatan dan tinggi gelombang yang sudah diurutkan dari besar ke kecil. 2. Menghitung
besarnya
probabilitas
untuk
setiap
tinggi
gelombang
menggunakan rumus: 1 Keterangan: P(Hs ≤ Hsm)
, ,
, √ , √
(Triatmodjo, 2008)
= Probabilitas dari tinggi gelombang representatif ke-m yang tidak dilampaui.
Hsm
= Tinggi gelombang urutan ke m.
m
= Nomor urut tinggi gelombang signifikan. = 1,2,3…..,N
NT
= Jumlah kejadian gelombang selama pencatatan. 48
= Parameter bentuk (dapat dilihat di tabel 2.2)
K
= untuk laporan Tugas Akhir ini diambil K=0,75. 3. Menghitung nilai
menggunakan rumus: 1
ln 1 1
ln 1
(Triatmodjo, 2008)
4. Menghitung parameter skala (A) menggunakan rumus:
∑
∑
∑
(Triatmodjo, 2008)
∑
∑
5. Menghitung parameter lokasi (B) dengan rumus: (Triatmodjo,2008)
Keterangan: = rerata = rerata 6. Menghitung nilai
menggunakan rumus: 1
ln
(Triatmodjo, 2008)
Keterangan: = Periode ulang (tahun) L
= Rerata jumlah kejadian pertahun =
NT
= Jumlah kejadian gelombang selama pencatatan
K
= Panjang data (tahun) menggunakan rumus:
7. Menghitung nilai tinggi gelombang signifikan (Triatmodjo, 2008) 8. Menghitung nilai √
1
menggunakan rumus: ln
,
(Triatmodjo, 2008)
Keterangan: = Standar deviasi yang dinormalkan dari tinggi gelombang 49
signifikan dengan periode ulang N Nilai
= Jumlah data tinggi gelombang signifikan. dirumuskan sebagai berikut: ,
dengan: v = dan nilai
√
(Triatmodjo, 2008)
;
;
;
;
; merupakan koefisien empiris untuk
menghitung deviasi standar metode Weibull yang dapat dilihat pada Tabel 2.2 di atas. 9. Menghitung nilai
menggunakan rumus: (Triatmodjo, 2008)
Keterangan: = Kesalahan standar dari tinggi gelombang signifikan dengan periode ulang
.
= Deviasi standar dari data tinggi gelombang signifikan. dihitung dengan menggunakan rumus: ∑
(Triatmodjo, 2008)
10. Menentukan batas internal keyakinan untuk tinggi gelombang signifikan ekstrim berdasar Tabel 2.3 di atas. 2.4.3 Fluktuasi Muka Air Laut Elevasi muka air laut merupakan parameter sangat penting di dalam perencanaan bangunan pantai. Beberapa proses alam yang terjadi dalam waktu yang bersamaan membentuk variasi muka air laut dengan periode panjang. Proses alam tersebut meliputi tsunami, gelombang badai (strom surge), kenaikan muka air karena gelombang (wave set up), kenaikan muka air karena pemanasan suhu global dan pasang surut. Diantara beberapa proses tersebut, fluktuasi muka air karena tsunami dan gelombang badailah yang tidak dapat ditentukan (diprediksi) kapan terjadinya (Triatmodjo, 2008).
50
2.4.3.1 2 Naik k dan Turunnya Mukaa Air Karen na Gelombaang (Wave Set S Up and Wave Set Do own) Gelom mbang yang datang darii laut menuuju pantai menyebabkan m n fluktuasi muka m air di daerah panttai terhadap muka air diaam. Pada waaktu gelombbang pecah, akan a terjadi penurunan elevasi mukka air rerata terhadap eleevasi muka air a diam di sekitar lokassi gelombanng pecah. Keemudian darri titik di m mana gelombang pecah, permukaan p a rerata miiring ke atas ke arah pan air ntai. Naiknyaa muka air laut disebut wave w set up. u sedang turunnya m muka air dikenal d denngan wave set down (Triatmodjo, 2008) .
W set up dan wave set down (Triattmodjo, 2008 8) Gaambar 2.9 Wave Wave Set Upp di pantai dihitung d denggan rumus: Sw = ∆S - Sb
⎡
(Triatm modjo, 20088)
Sw = 0,19 ⎢1 − 2,82
⎣
Hb ⎤ ⎥ Hb g 2⎦ gT
((Triatmodjo,, 2008)
Jika J ∆S = 0,15 db dan dianggap bahw wa db = 1,288 H maka: Keterangan: K 51
Sw = Set Up di daerah gelombang pecah (m) ∆S = Set Up antara daerah gelombang pecah dan pantai (m)
Sb = Set Down di daerah gelombang pecah (m) Hb = Tinggi gelombang pecah (m) db = Kedalaman gelombang pecah (m) T = Periode gelombang (dt) g = Percepatan gravitasi (m/dt2) Besar wave set-down di daerah gelombang pecah diberikan oleh persamaan: Sb = -
0,536 H b g 1 / 2T
2/3
( Triatmodjo, 2008)
Keterangan: Sb = Set Down di daerah gelombang pecah (m) T = Periode gelombang (dt) Hb = Tinggi gelombang pecah (m) Ho’ = Tinggi gelombang laut dalam ekivalen (m) g = Percepatan gravitasi (m/dt2)
2.4.3.2 Naiknya Muka Air Karena Angin Badai (Wind Set Up) Angin dengan kecepatan besar (badai) yang terjadi di atas permukaan laut bisa membangkitkan fluktuasi muka air laut yang besar di sepanjang pantai jika badai tersebut cukup kuat dan daerah pantai dangkal dan luas (Triatmodjo, 2008).
52
Gambar 2.10 Kenaikan muka air laut karena badai (Triatmodjo, 2008) Kenaikan elevasi muka air karena badai dapat dihitung dengan persamaan berikut: ∆h = F i 2
V2 ∆h = F c 2 gd
(Triatmodjo, 2008)
Keterangan : ∆h = Kenaikan elevasi muka air karena badai (m) F = Panjang fetch (m) i
= Kemiringan muka air
c
= Konstanta = 3,5x10-6
V = Kecepatan angin (m/dt) d = Kedalaman air (m) g = Percepatan gravitasi (m/dt2) Di dalam memperhitungkan wind set up di daerah pantai dianggap bahwa laut dibatasi oleh sisi (pantai) yang impermeable (tidak dapat ditembus), dan hitungan dilakukan untuk kondisi dalam arah tegak lurus pantai. Apabila arah angin dan fetch membentuk sudut terhadap garis pantai, maka yang diperhitungkan adalah komponen tegak lurus pantai.
53
2.4.3.3 Kenaikan Elevasi Muka Air Laut Karena Pemanasan Global (Sea Level Rise) Efek rumah kaca menyebabkan bumi menjadi panas, sehingga dapat dihuni kehidupan. Disebut efek rumah kaca karena kemiripannya dengan apa yang terjadi dalam sebuah rumah kaca ketika matahari bersinar. Sinar matahari yang masuk melalui atap dan dinding kaca menghangatkan ruangan di dalamnya sehingga suhu menjadi lebih tinggi daripada di luar. Hal ini disebabkan karena kaca menghambat sebagian panas untuk keluar (kaca sebagai perangkap panas). Di bumi, efek rumah kaca dihasilkan oleh gas-gas tertentu dalam jumlah kecil di atmosfer (disebut gas rumah kaca). Namun selama 200 tahun terakhir ini, jumlah gas rumah kaca dalam atmosfer semakin meningkat secara berangsurangsur akibat dari kegiatan manusia. Peningkatan konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer menyebabkan kenaikan suhu bumi dan berakibat pada mencairnya gunung-gunung es di kutub sehingga mengakibatkan kenaikan muka air laut. Di dalam perencanaan bangunan pantai, kenaikan muka air laut yang disebabkan oleh pemanasan global ini harus diperhitungkan (Triatmodjo, 2008).
Grafik 2.4 Grafik perkiraan kenaikan muka air laut karena pemanasan global/sea level rise (Triatmodjo, 2008)
54
Grafik di atas memberikan perkiraan besarnya kenaikan muka air laut dari tahun 1990 sampai 2100 yang disertai perkiraan batas atas dan batas bawah. Grafik tersebut didasarkan pada anggapan bahwa suhu bumi meningkat seperti yang terjadi saat ini, tanpa ada tindakan untuk mengatasinya.
2.4.3.4 Pasang Surut Pasang surut adalah fluktuasi (naik turunnya) muka air laut karena adanya gaya tarik benda-benda di langit, terutama bulan dan matahari terhadap massa air laut di bumi. Gaya tarik menarik antara bulan dengan bumi lebih mempengaruhi terjadinya pasang surut air laut daripada gaya tarik menarik antara matahari dengan bumi, sebab gaya tarik bulan terhadap bumi nilainya 2,2 kali lebih besar daripada gaya tarik matahari terhadap bumi. Hal ini terjadi karena meskipun massa bulan lebih kecil daripada massa matahari, akan tetapi jarak bulan terhadap bumi jauh lebih dekat daripada jarak bumi terhadap matahari (Triatmodjo, 2008). Mengingat elevasi muka air laut yang selalu berubah setiap saat, maka diperlukan suatu elevasi yang ditetapkan berdasarkan data pasang surut, yang dapat digunakan sebagai pedoman di dalam perencanaan suatu bangunan pantai. Beberapa elevasi tersebut (Triatmodjo, 2008) adalah sebagai berikut ini. 1. Muka air tinggi (high water level/HWL), yaitu muka air tertinggi yang dicapai pada saat air pasang dalam satu siklus pasang surut. 2. Muka air rendah (low water level/LWL), yaitu kedudukan air terendah yang dicapai pada saat air surut dalam suatu siklus pasang surut. 3. Muka air tinggi rata-rata (mean high water level/MHWL), yaitu rata-rata dari muka air tinggi selama periode 19 tahun. 4. Muka air rendah rata-rata rata (mean low water level/MLWL), yaitu rata-rata dari muka air rendah selama periode 19 tahun. 5. Muka air rata-rata (mean sea level/MSL), yaitu muka air rata-rata antara muka air tinggi rata-rata dan muka air rendah rata-rata. Elevasi ini digunakan sebagai referensi untul elevasi daratan. 6. Muka air tinggi tertinggi (highest high water level/HHWL), yaitu air tertinggi pada saat pasang surut purnama atau bulan mati. 55
7. 7 Muka aiir rendah terrendah (loweest low wateer level/LLW WL), yaitu air a terendah pada saaat pasang surrut purnama atau bulan mati. m Berdassar definisi elevasi muka m air laut di atas, dibutuhk kan waktu pengamatan p n yang sangaat lama (19 tahun) untu uk mendapattkan data paasang surut ideal. i Hal ini tentulah sangat sulitt untuk dipeenuhi di saaat akan merrencanakan suatu bangu unan pantai, mengingat m w waktu pekerjjaan yang terrbatas (biasaanya antara 6 bulan hing gga 2 tahun, tergantung besarnya vo olume pekerjjaan dan perrmasalahan yang y dihadaapi di lapanggan). Maka ddari itu, untuuk mendapattkan data paasang surut, digunakanla d ah pendekataan dengan peengamatan pasang p surut selama 30 hari, h karena pada p tanggaal 1 (bulan baru/muda)) dan tangg gal 15 (bulaan purnama)) diperoleh pasang p tingg gi yang sanngat tinggi ddan pasang rendah yangg sangat renndah. Pada siklus ini, po osisi bumi, bulan b dan matahari m beraada dalam suuatu garis lu urus. Siklus ini i sering disebut sikklus pasangg surut pu urnama/sprinng tide/pasaang besar. p tanggaal 7 (bulan ¼ ¼) dan tangg gal 21 (bulaan ¾) diperooleh pasang Sedangkan pada tinggi t yang rendah dan pasang renddah yang tin nggi. Pada siklus s ini, po osisi bumi, bulan b dan matahari m mem mbentuk suduut tegak luru us. Siklus ini sering diseebut pasang surut perbanni/neap tide/ppasang kecill (Triatmodjoo, 2008).
Gambar G 2.11 Pasang surrut purnama//spring tide (http://f4iquun.wordpresss.com, 2010))
56
Gambar G 2.122 Pasang surrut perbani/nneap tide (htttp://f4iqun.w wordpress.coom, 2010)
2.4.4 2 Mekan nika Tanah h Karenaa bangunan n didukung oleh tanah (dasar) maaka tanah dasar d yang mendukungn m nya itu harrus cukup kkuat untuk menjamin kokohnya kedudukan bangunan b yang y harus didukung. d T Tanah dasar itu harus ccukup kuat (Subarkah, 1984), agar: 1. Tanah tidak terdesakk ke sampingg bawah atauu pecah olehh berat bebann bangunan ya harus mem mpunyai daaya dukung di atasnyya, dengan kata lain tannah dasarny atau day ya penahan teerhadap keseeimbangan yang y cukup besar. b 2. 2 Tanah tiidak memaddat terlalu bbanyak kareena beban ddi atasnya, yang y dapat membah hayakan keddudukan banngunan, den ngan kata laain tanah dasar d harus mempun nyai daya duukung atau daya penahhan terhadapp perubahann bangunan yang cukkup pula bessarnya nilainnya. Untuk mendapatkaan nilai daya dukung taanah (soil beearing capaccity), maka diperlukan d survey keaddaan tanah. Survey dillakukan denngan cara pengamatan p langsung l dii lapangan, pengujian langsung l deengan alat bbantu sederhhana (hand boring b dan sondir s dangkkal) dan pennggunaan datta sejenis di tempat lain yang dekat dan d setara (Departemeen Pekerjaann Umum, 2009). 2 Pilihaan-pilihan yang y dapat dilakukan d d dalam rangkka penyelidiikan tanah dapat dipilih berdasarkkan tingkat kemudahann k nya dimulaii dari yangg paling muudah sampaai sistem peenyelidikan 57
dengan alat bantu namun masih dapat dijalankan dalam kondisi darurat (Departemen Pekerjaan Umum, 2009), yaitu: 1. Pengamatan lansung keadaan tanah dasar untuk memperkirakan secara kasar kondisi tanah di lokasi rencana. 2. Menggunakan bor tangan untuk mendapatkan contoh tanah tidak terganggu sampai kedalaman 5 meter. 3. Sondir dangkal (hingga kedalaman 15 meter), merupakan penyelidikan tanah yang umum dilakukan, dengan hasil suatu grafik sondir yang menggambarkan kekuatan tanah dan daya kohesinya. Untuk menghitung besarnya daya dukung tanah dengan digunakan rumus Terzaghi sebagai berikut: Qult = (c . Nc) + (γ . Df . Nq) + (0,5γ. B . Nγ)
(L.D. Wesley, 1977)
Keterangan: Qult
= daya dukung batas (t/m2)
Nc,Nγ, Nq = konstanta tanah berdasarkan nilai Ø c
= kohesi tanah
Df
= kedalaman pondasi (m)
γ
= berat jenis/unit tanah (t/m3)
B
= lebar pondasi (m)
58
Grafik 2.5 Grafik nilai-nilai faktor daya dukung tanah menurut Terzaghi (L.D. Wesley, 1997) 2.4.5 Bathimetri Bathimetri adalah pengukuran kedalaman dari air lautan dan danau, juga segala informasi yang didapatkan dari pengukuran tersebut (Departemen Pekerjaan Umum, 2009). Survey bathimetri bertujuan untuk mendapatkan data bathimetri yaitu berupa peta bathimetri. Peta bathimetri diperlukan untuk mengetahui keadaan kedalaman laut di sekitar lokasi pekerjaan. Peta ini digunakan untuk mengetahui kondisi gelombang di lokasi pekerjaan (Triatmodjo, 2008). Adapun alternatif-alternatif yang dapat dilakukan untuk pekerjaan survey bathimetri (Departemen Pekerjaan Umum, 2009) adalah sebagai berikut: 1. Pemakaian data dari peta bathimetri yang dikeluarkan Dinas Hidro Oseanografi (DISHIDROS) TNI AL. Data ini sudah lengkap untuk seluruh area di Indonesia walaupun relatif kasar tetapi masih cukup untuk memperkirakan kondisi bathimetri perairan rencana.
59
2. Perkiraan data slope dasar perairan dengan menggunakan peilschaal dan meteran yang diukur langsung oleh surveyor.
Gambar 2.13 Peta bathimetri (DISHIDROS TNI AL, 2009)
2.4.6 Muka Air Laut Rencana/Design Water Level (DWL) Muka Air Laut Rencana atau Design Water Level (DWL) merupakan parameter sangat penting di dalam perencanaan suatu bangunan pantai. Elevasi ini merupakan penjumlahan dari beberapa paremeter, antara lain: pasang surut (muka air pasang tertinggi), wave set up, wind set up dan kenaikan muka air laut karena pemanasan global (Triatmodjo, 2008). Dari berbagai parameter di atas, elevasi muka air rencana dirumuskan sebagai berikut: DWL = MHWL + Sw + ∆h + SLR Keterangan : DWL
= Design Water Level/Elevasi muka air rencana (m)
MHWL = Mean High water Level/Elevasi muka air tertinggi pada saat
60
pasang surut purnama atau bulan mati (m) Sw
= Wave Set Up/Kenaikan elevasi muka air laut karena pengaruh gelombang (m)
∆h
= Wind Set Up/Kenaikan elevasi muka air laut karena pengaruh angin badai (m)
SLR
= Sea Level Rise/Kenaikan elevasi muka air laut karena pemanasan global (m)
2.4.7 Sedimen Pantai Sedimen pantai bisa berasal dari erosi garis pantai itu sendiri, dari daratan yang dibawa oleh sungai, dan dari laut dalam yang terbawa arus ke daerah pantai. (Triatmodjo, 2008). Angkutan sedimen sepanjang pantai dapat dihitung dengan rumus berikut: Qs = K Pln Pl =
ρg 8
Hb2 Cb sin αb cos αb
(Triatmodjo, 2008)
Keterangan: Qs = Angkutan sedimen sepanjang pantai (m3/hari) Pl = Komponen fluks energi gelombang sepanjang pantai pada saat pecah (Nm/d/m)
ρ = Rapat massa air laut (kg/m3) Hb = Tinggi gelombang pecah (m) Cb = Cepat rambat gelombang pecah (m/d) =
gdb
αb = Sudut datang gelombang pecah K = Konstanta n
= Konstanta
2.4.8 Program GENESIS Program GENESIS (Generalized Model For Simulating Shoreline Change) diperkenalkan oleh US Army Corps of Engineers. Program GENESIS dapat 61
melakukan prediksi nilai longshore dan onshore sediment transport yang pada akhirnya akan digunakan untuk memprediksi garis pantai. Asumsi dasar yang digunakan dalam perhitungan adalah menggunakan one-line shoreline change model (model perubahan garis pantai satu garis) yang menganggap bahwa: 1. Profil pantai memiliki bentuk yang konstan. 2. Transpor sedimen di sepanjang pantai disebabkan oleh gelombang pecah. 3. Detail struktur di sekitar nearshore dapat diabaikan. 4. Garis pantai yang digunakan yaitu garis pantai pada kontur + 0 kondisi Mean Sea Level (MSL). 5. Perubahan garis pantai bergerak maju mundur tergantung pada sedimen yang masuk atau keluar. Data-data yang diperlukan untuk analisis perubahan garis pantai dengan GENESIS (GENESIS Technical Reference, 1991) adalah sebagai berikut: 1. DEPTH DEPTH berisi kedalaman air laut sepanjang pantai yang disimulasi akan menyebarkan gelombang pecah dimana nilainya sudah disediakan oleh GENESIS dalam bentuk NSWAV sebagai input model gelombang eksternal. Untuk input gelombang yang menggunakan file WAVES, program akan membacanya sebagai data gelombang laut dalam (tidak menggunakan model gelombang eksternal), sehingga DEPTH tidak dimasukkan, karena DEPTH tidak akan bisa dibaca jika model gelombang eksternal (NSWAV) tidak digunakan untuk menyuplai data gelombang. 2. SHORL Merupakan input koordinat garis pantai awal dihitung dari baseline (sumbu X/sumbu absis). Cara mendapatkan koordinat ini yaitu dengan memplotkan garis pantai pada peta dengan menggunakan program AutoCAD. Kemudian dibuat grid-grid dengan jarak tertentu yang tegak lurus dengan garis pantai. Jarak grid yang diijinkan antara 15-90 m dengan jumlah grid maksimal 100 buah. Setelah mendapatkan koordinat garis pantai pada tiap-tiap grid, kemudian diambil nilai Y (berdasar sumbu ordinat) pada program AutoCAD 62
untuk diplotkan pada SHORL. Penulisan urutan ordinat sebagai input SHORL adalah perbaris, dimulai dari sebelah kiri ke kanan sebanyak 10 data perbaris dan dipisahkan spasi, sedangkan baris terakhir dapat kurang dari 10 data. Contohnya penulisan ordinat dimulai dari titik 1 (Y=293,13), titik 2 (Y=298,06), kemudian titik 3 (Y=302,66), sampai 10 data ke kanan dan seterusnya. Format program GENESIS saat input data SHORL dapat dilihat pada Gambar 2.14 berikut:
Gambar 2.14 Format program GENESIS saat input data SHORL (Analisis data sekunder, 2009) 3. SHORM SHORM berfungsi untuk membandingkan perubahan garis pantai pada jangka waktu tertentu dengan garis pantai awal atau dengan jangka waktu yang lebih lama lagi (misal: 5 tahun, 10 tahun, dsb). Jika hanya membandingkan posisi pantai awal dan akhir simulasi, maka input data SHORM dapat diisi sama dengan input data SHORL. Format program GENESIS saat input data SHORM dapat dilihat pada Gambar 2.15 berikut:
63
Gambar 2.15 Format program GENESIS saat input data SHORM (Analisis data sekunder, 2009) 4. WAVES WAVES merupakan hasil olahan data angin tiap satu-satuan interval waktu tertentu yang konstan. Data pada WAVES terdiri data tinggi, periode dan arah datang gelombang dalam satu tahun tiap satuan interval waktu. WAVES dipakai sebagai input jika gelombang eksternal tidak digunakan (NWD=0). Jika terdapat data yang tidak diketahui sudut datang gelombangnya maka pada kolom arah diberi nilai 999. Data WAVES yang digunakan sebagai input GENESIS adalah data gelombang yang dihasilkan pada perhitungan tinggi, periode dan arah datang gelombang hasil olahan data angin tiap jam, dengan merubah beberapa sudut datang gelombang sesuai dengan yang disyaratkan untuk input GENESIS yaitu: a. Sudut datang gelombang Sistem koordinat garis pantai diasosiasikan dengan sudut datang gelombang, arah Y (positif) dikonversikan sebagai arah Utara dan arah datangnya gelombang menuju sumbu X sebagai baseline pada GENESIS (Gambar 2.16). Dalam GENESIS, besar sudut datang gelombang berkisar 64
antara -90o sampai 90o. Sudut datang gelombang 0o dapat menggambarkan penyebaran gelombang normal tegak lurus menuju baseline GENESIS (sumbu absis/sumbu X). Semakin ke arah kanan sudut datang gelombang akan semakin positif dan semakin ke arah kiri sudut datang gelombang akan semakin negatif.
LAND
OCEAN
Gambar 2.16 Konversi sudut datang gelombang pada program GENESIS (GENESIS Technical Reference, 1991) b. Kalibrasi sudut datang gelombang Kalibrasi dilakukan untuk menyesuaikan antara input data arah gelombang pada file WAVES dengan sistem koordinat grid hasil pemodelan. Hal ini dilakukan jika terdapat perbedaan dalam penentuan arah utara. Pada data input gelombang, arah Utara ditentukan berdasarkan arah mata angin. Sedangkan GENESIS akan membaca arah Utara-nya tegak lurus sesuai dengan dengan sumbu X (Gambar 2.16). Format program GENESIS saat input data WAVES dapat dilihat pada Gambar 2.17 berikut:
65
Gambar 2.17 Format program GENESIS saat input data WAVES (Analisis data sekunder, 2009) 5. SEAWL SEAWL berisi posisi lokasi sea wall (tembok laut) yang sudah ada (eksisting) atau yang akan dimodelkan. Jika tidak ada sea wall maka file ini akan dikosongkan dan tidak akan dibaca oleh GENESIS. Penulisan input data sea wall sama dengan penulisan input data SHORM. Format program GENESIS saat input data SEAWL dapat dilihat pada Gambar 2.18 berikut:
66
Gambar 2.18 Format program GENESIS saat input data SEAWL (Analisis data sekunder, 2009) 6. START Merupakan instruksi yang akan mengontrol simulasi perubahan garis pantai, hubungan permodelan dan semua input data. Format program GENESIS saat input data START dapat dilihat pada Gambar 2.19 di bawah ini:
Gambar 2.19 Format program GENESIS saat input data START (Analisis data sekunder, 2009)
67
2.4.9 Program SMS Program SMS (Surface Water Modelling System) adalah program yang dirancang untuk mentransformasikan kondisi oseanografi yang terjadi di alam ke dalam sebuah model simulasi satu dimensi, dua dimensi, atau tiga dimensi dengan finite element method (metode elemen hingga). Model yang dipakai untuk membuat simulasi pola arus yang terjadi pada lokasi studi adalah ADCIRC. Parameter yang mempengaruhi pola arus dan pasang surut antara lain: kedalaman nodal, periode gelombang, bentuk garis pantai, dan garis boundary. Dengan menggunakan peta bathimetri dapat diketahui kedalaman nodal, bentuk garis pantai dan penentuan garis boundary. Kedalaman nodal dapat menentukan cepat rambat gelombang, sedangkan panjang gelombang di laut dangkal dapat diketahui dari data periode gelombang. Langkah-langkah pelaksanaan simulasi program SMS adalah sebagai berikut: 1. Membuka project baru atau membuat suatu project menggunakan menu file. • Open apabila kita telah menyimpan pekerjaan kita sebelumnya. • Save New Project, kemudian kita beri nama file yang bersangkutan apabila kita telah selesai (untuk setiap penyimpanan sebaiknya dalam satu folder). • Pada awal pengerjaan, dilakukan pengubahan satuan yaitu Edit Æ Current Coordinates Æ ubahlah satuan dari feet ke meter.
68
Gambar 2.20 Format awal menjalankan program SMS 8.1 (Analisis data sekunder, 2009) 2. Memasukkan peta dasar yaitu peta bathimetri untuk proses digitasi garis pantai dan digitasi garis kontur dasar laut. • Map Module • Registrasi Image Æ penentuan titik koordinat awal. Untuk proses Registrasi Images, ubahlah satuan koordinat (derajat, menit, detik) ke bentuk derajat semua. Contoh: 102°15’’30’ diubah menjadi 102,258°. Registrasi Image ini menggunakan 2 point regristration atau 3 point regristration (lebih baik mengunakan 3 point regristration).
69
Gambar 2.21 Format program SMS 8.1 saat memasukkan peta dasar yaitu peta bathimetri untuk proses digitasi garis pantai dan digitasi garis kontur dasar laut (Analisis data sekunder, 2009) 3. Proses digitasi peta bathimetri yang telah diregistrasi • Select Map Module • Create Feature Arc Proses digitasi dilakukan sesuai dengan keadaan garis pantai dan kontur dasar laut dari peta bathimetri. • Gunakan Select Feature Vertex untuk memilih dan menggeser posisi titik yang ingin dipindahkan. • Gunakan Create Feature Vertex untuk membuat titik vertex tambahan. 70
Gambar 2.22 Format program SMS 8.1 saat mendigitasi peta bathimetri yang telah diregistrasi (Analisis data sekunder, 2009) • Membuat jarak spasi yang teratur pada Arc yang telah dibuat. Gunakan Select Feature Arc kemudian klik pada semua Arc yang sudah dibuat yang akan diatur spasinya, kemudian gunakan Feature Objects Æ Redistribute Vertices Æ Specified Spacing Æ pada Spacing diisikan angka yang diinginkan untuk membuat jarak spasi yang sama pada Arc, misal 0,005
71
Gambar 2.23 Format program SMS 8.1 untuk peta bathimetri yang telah didigitasi (Analisis data sekunder, 2009)
Gambar 2.24 Format program SMS 8.1 saat pengaturan jarak spasi (Analisis data sekunder, 2009)
72
• Setelah jarak antar Arc sama, kemudian masukkanlah nilai kedalaman (nilai Z) pada tiap-tiap Arc, yaitu dengan: Select Feature Arc Æ klik pada Arc yang sudah dibuat Æ pada toolbar (Z coordinate) diisikan kedalaman.
Gambar 2.25 Format program SMS saat memasukkan nilai kedalaman (nilai Z) pada tiap-tiap Arc (Analisis data sekunder, 2009) 4. Mengkonversi bathimetri menjadi bentuk scatter • Select Feature Arc Æ klik semua Arc yang sudah diisikan nilai Z (elevasi/kedalaman). • Feature Objects • Map Æ Scatter • Pada kolom New scatter point set name, merubah nama “scatter” menjadi “scatter bath” • Klik OK.
73
Gambar 2.26 Format program SMS 8.1 saat mengkonversi peta bathimetri menjadi bentuk scatter (Analisis data sekunder, 2009)
Gambar 2.27 Format program SMS 8.1 untuk peta bathimetri yang telah dikonversi menjadi bentuk scatter (Analisis data sekunder, 2009) 74
5. Delete semua Arc pada kontur dasar laut, kecuali pada Arc garis pantai (tidak di delete). • Select Feature Arc • Klik pada Arc selain Arc pada garis pantai. • Delete
Gambar 2.28 Format program SMS 8.1 saat men-delete semua Arc pada kontur dasar laut (Analisis data sekunder, 2009) 6. Mengganti tipe program dalam SMS • Feature Objects • Converages • Pada kolom Type dari Tabs diubah menjadi ADCIRC.
75
Gambar 2.29 Format program SMS 8.1 saat dilakukan penggantian tipe ke dalam bentuk ADCIRC (Analisis data sekunder, 2009) 7. Membuat garis boundary untuk batas laut • Map Module • Create a feature Arc • Buat boundary yang membatasi daerah lautan yang berhubungan dengan daratan. Tips: Pada garis pantai juga diatur spasi antar vertices seperti pada langkah ke-3 point 5, agar elemen yang terbentuk lebih teratur yang fungsinya mengurangi nilai error.
76
Gambar 2.30 Format program SMS 8.1 saat membuat garis boundary untuk batas laut (Analisis data sekunder, 2009) 8. Membuat polygon pada daerah yang sudah dibatasi dengan garis boundary laut • Feature Objects • Build Polygons • Select feature polygons • Klik dua kali pada daerah laut yang akan di run sampai berwarna hitam daerah tersebut. • Pada kolom Bathimetry Type diisikan Scatter Set • Klik OK.
77
Gambar 2.31 Format program SMS saat membuat polygon pada daerah yang sudah dibatasi dengan garis boundary laut (Analisis data sekunder, 2009) 9. Mendefinisikan garis boundary. • Select Feature Arc • Klik dua kali pada boundary. Untuk boundary laut, setelah di klik dua kali maka akan keluar ADCIRC Arc Atts, pada boundary type dipilih Ocean (laut). Untuk boundary daratan, setelah diklik dua kali pada Arc daratan maka tampil ADCIRC Arc Atts, pada boundary apabila polygon boundary-nya terbuka maka type yang dipilih adalah Mainland, apabila tertutup type yang dipilih Island.
78
Gambar 2.32 Format program SMS 8.1 saat mendefinisikan (memilih tipe) garis boundary (Analisis data sekunder, 2009) 10. Membuat mesh. • Feature Objects • Map Æ 2D Mesh
Gambar 2.33 Format program SMS 8.1 saat membuat mesh/jala (Analisis data sekunder, 2009)
79
Setelah selesai menjadi sebuah mesh, kemudian pekerjaan kita Save Project, kemudian kita akan membuka program SMS 8.0, pekerjaan yang telah kita buat pada SMS 8.1, kita buka pada SMS 8.0. 11. Pada SMS 8.0, pekerjaan dilanjutkan dengan tahap berikut.
Gambar 2.34 Format program SMS 8.0 untuk mesh lautan hasil transformasi dari format program SMS 8.1 (Analisis data sekunder, 2009) •
Mesh Module
•
Select nodstrings
•
klik pada daerah Boundary Ocean
•
klik Nodestrings
•
Renumber
•
Band width
•
Klik OK.
80
Gambar 2.35 Format program SMS 8.0 untuk band with pada boundary ocean (Analisis data sekunder, 2009) 12. Pengisian Model Control •
Mesh Module Æ ADCIRC Æ
•
Model Control kemudian akan tampil ADCIRC Model Control
Gambar 2.36 Format program SMS 8.0 saat pengisian model control (Analisis data sekunder, 2009)
81
•
Klik pada tombol Tidal Force
•
Tidal Potential Æ On
•
Klik tombol New
•
Isikan tanggal pengamatan data pasang surut yang telah dilakukan di lapangan.
•
Pilih konstanta pasang surut yang digunakan, misal K1, kemudian klik OK.
•
Ulangi langkah di atas untuk konstanta-konstanta pasang surut yang lain (K2, L2, M2, N2, O1, P1, Q1, S2).
•
Kemudian klik Copy Potential Constituents.
•
Apabila keluar peringatan “Unable to find k1 legi“, klik OK untuk mencari folder file legi yang sebelumnya telah disimpan.
Gambar 2.37 Format program SMS 8.0 saat memasukkan konstanta pasang surut (Analisis data sekunder, 2009) •
Setelah semua konstanta pasang surutnya telah ter-upload, kemudian klik OK
•
Kembali pada Tidal Function
•
Time Control, pada kolom tengah diisikan data sebagai berikut: Start Day
: 0.000 82
•
Time Step
: 4.000 second
Run Time
: 15 day
Constituent Æ ganti dengan Global Elevation, kemudian data di bawahnya diisikan data: Start Day
: 0.000
Output Every : 900.000 time step End Day •
: 15.000
Dengan langkah yang sama di atas, lakukan untuk Constituent Æ ganti dengan Global Velocity.
Gambar 2.38 Format program SMS 8.0 saat memasukkan konstanta pasang surut (Analisis data sekunder, 2009) •
Klik OK Æ Kembali pada Tidal Function kemudian Klik OK lagi.
•
Save Project
•
Setelah pengisian Model Control dilakukan dalam SMS 8.0, untuk proses running dilakukan pada SMS 8.1.
Buka file yang sudah diisi data pada Model Control pada SMS 8.0, kemudian klik Mesh Module Æ ADCIRC Æ Run ADCIRC Æ OK
83
Gambar 2.39 Proses pemindahan dari format program SMS 8.1 ke program SMS 8.0 sebelum dilakukan running program (Analisis data sekunder, 2009)
Gambar 2.40 Format program SMS 8.1 saat melakukan running setelah dilakukan tahapan pengisian model control pada program SMS 8.0 (Analisis data sekunder, 2009) 13. Meng-upload data file fort 63 untuk menampilkan grafik pasang surut, dan fort 64 untuk menampilkan grafik arus. 84
•
Mesh Module
•
Open pada file fort 63 ÆOK
•
Setelah di buka, pada dialog box, kotak time step akan menampilkan semua data
•
Apabila sudah keluar timestep-nya, klik Done.
Gambar 2.41 Format program SMS 8.1 saat meng-upload data file fort 63 untuk menampilkan grafik pasang surut dan fort 64 untuk menampilkan grafik arus (Analisis data sekunder, 2009) 14. Pada Mesh Module: •
Untuk menampilkan pola arus pada lingkungan boundary mesh, klik display option, kemudian beri tanda check (centang) pada sub menu vectors.
•
Sesuaikan juga untuk sub menu-sub menu yang lain, apakah ingin ditampilkan ataukah tidak, misalkan sub menu scatter, 2D mesh, map, countour options dll. Beri tanda check atau uncheck pada kotak yang bersangkutan.
85
Gambar 2.42 Format program SMS 8.1 saat memasukkan menu tampilan 2D Mesh (Analisis data sekunder, 2009)
Gambar 2.43 Format program SMS 8.1 saat memasukkan menu tampilan Scatter (Analisis data sekunder, 2009)
86
Gambar 2.44 Format program SMS 8.1 saat memasukkan menu tampilan Map (Analisis data sekunder, 2009)
Gambar 2.45 Format program SMS 8.1 saat memasukkan menu tampilan Vectors (Analisis data sekunder, 2009)
87
15. Untuk mengubah pola arus sesuai dengan kondisi time step, tampilkan pada windows program SMS (setelah fort 63 dan fort 64 dibuka). Langkah selanjutnya adalah: •
Mesh Module
•
Solution pilih fort 64 (ADCIRC) untuk arus atau fort 63 untuk pasang surut (ADCIRC), timestep disesuaikan dengan kondisi yang kita pilih.
Gambar 2.46 Format program SMS 8.1 setelah dilakukan pengubahan pola arus sesuai dengan kondisi time step (Analisis data sekunder, 2009) 16. Untuk menampilkan pola arus dalam bentuk simulasi : •
Mesh Module, Data, Film Loop
•
Kemudian akan keluar dialog box Film Loop Setup Æ Create New Film Loop Æ Select Film Loop Type Scalar/Vector Animation Æ Next.
•
Film Loop Setup Æ Check Vector Data Set Æ Match Time Step.
•
Display Options Æ Finish.
•
Setelah proceessing, windows akan menampilkan dalam bentuk Play AVI application.
88
Gambar 2.47 Tahap awal format program SMS 8.1 untuk menampilkan simulasi pola arus (Analisis data sekunder, 2009)
Gambar 2.48 Format program SMS 8.1 untuk menampilkan simulasi pola arus saat proses create new film loop (Analisis data sekunder, 2009)
89
Gambar 2.49 Format program SMS 8.1 untuk menampilkan simulasi pola arus saat proses check vectors data set dan match time step (Analisis data sekunder, 2009)
Gambar 2.50 Format program SMS 8.1 untuk simulasi pola arus dengan tampilan Play AVI application (Analisis data sekunder, 2009)
90
17. Untuk mengetahui grafik pasang surut. •
Mesh Module.
•
Feature Objects.
•
Converages.
•
Buat New Converages.
•
Ganti type menjadi Observation.
•
Create Feature Point.
•
Klik pada daerah pengamatan pasang surut di lokasi yang ditentukan.
•
Open the plot wizard.
•
Pada Plot Type klik pada Time Series
•
Klik pada Use selected datasets
•
Klik pada fort 63 (ADCIRC) ÆFinish
Gambar 2.51 Format program SMS 8.1 untuk menampilkan grafik pasang surut saat penggantian type (Analisis data sekunder, 2009)
91
Gambar 2.52 Format program SMS 8.1 untuk menampilkan grafik pasang surut saat penentuan lokasi daerah pengamatan pasang surut (Analisis data sekunder, 2009)
Gambar 2.53 Format program SMS 8.1 untuk menampilkan grafik pasang surut saat proses penentuan plot type (Analisis data sekunder, 2009)
92
Gambar 2.54 Format program SMS 8.1 untuk dengan tampilan akhir grafik pasang surut (Analisis data sekunder, 2009) 18. Meng-export data pasang surut •
Klik kanan pada grafik pasang surut hasil program SMS.
•
Klik pada Export/Print
•
Klik Text/Data Only Æ File Æ Browse (pemilihan lokasi penyimpanan file) Æ Export
•
Pada Export What, klik Data Æ Export
93
Gambar 2.55 Format program SMS 8.1 saat meng-export data pasang surut (Analisis data sekunder, 2009)
Gambar 2.56 Format program SMS 8.1 tampilan data pasang surut dalam bentuk angka (Analisis data sekunder, 2009)
94
2.5 BANGUNAN PELINDUNG PANTAI Bangunan pantai digunakan untuk melindungi pantai terhadap kerusakan karena serangan gelombang dan arus. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk melindungi pantai (Triatmodjo, 2008) yaitu:
Memperkuat/melindungi pantai agar mampu menahan serangan gelombang.
Mengubah laju transport sedimen sepanjang pantai.
Mengurangi energi gelombang yang sampai ke pantai.
Reklamasi dengan menambah suplai sedimen ke pantai, atau dengan cara lain.
2.5.1 Klasifikasi Bangunan Sesuai dengan fungsinya, bangunan pantai dikelompokkan dalam tiga kelompok (Triatmodjo, 2008) yaitu:
Konstruksi yang dibangun di pantai dan sejajar dengan garis pantai. Yang termasuk kelompok ini adalah dinding pantai/revetment.
Konstruksi yang dibangun kira-kira tegak lurus pantai dan sambung ke pantai. Yang termasuk kelompok ini adalah groin dan jetty.
Konstruksi yang dibangun lepas pantai dan kira-kira sejajar dengan garis pantai. Yang termasuk kelompok ini yaitu pemecah gelombang.
2.5.2 Sea wall/Tembok Laut Sea wall atau tembok laut adalah jenis konstruksi pelindung pantai yang ditempatkan sejajar atau kira-kira sejajar dengan garis pantai, membatasi secara langsung bidang daratan dengan air laut, dan digunakan untuk perlindungan pada pantai berlumpur atau berpasir. Fungsi utama sea wall adalah melindungi pantai bagian darat (yang berada tepat di belakang konstruksi) terhadap abrasi akibat gelombang dan arus laut, serta sebagai penahan tanah di belakang konstruksi (http://rikania09.multiply.com, 2009). Sea wall dapat dimasukkan dalam kategori bangunan pelindung pantai bersisi tegak, meskipun beberapa sea wall dibuat dengan berdinding cekung (konkaf). Pemilihan bentuk ini menyesuaikan fungsi dari sea wall itu sendiri. Sea wall bersisi tegak biasanya dipakai untuk perlindungan dermaga atau tempat penambatan kapal. Pemilihan sea wall bersisi 95
konkaf, umumnya dikarenakan sisi konkaf lebih kuat menghadapi hantaman gelombang besar. Bahan konstruksi yang lazim dipergunakan adalah beton, turap baja, tumpukan pipa (buis) beton atau tumpukan batu. Sea wall tidak bersifat meredam energi gelombang, akan tetapi memantulkan kembali energi gelombang yang menghantam dinding sea wall.
Gambar 2.57 Sea wall/tembok laut (http://reference.findtarget.com, 2009)
2.5.3 Revetment/Dinding Pantai Revetment adalah konstruksi tidak masif (berongga/tidak padat) yang fungsinya untuk perlindungan terhadap pengaruh gelombang dan arus. Revetment tidak berfungsi sebagai penahan tanah di belakang konstruksi. Bahan yang umum digunakan adalah susunan batu kosong, blok-blok beton, pasangan batu dan beton. Revetment yang terbuat dari susunan batu kosong atau blok-blok beton dengan kemiringan tertentu disebut konstruksi tipe rubble (rubble mount). Konstruksi ini mempunyai lapisan pelindung luar yang langsung terhempas gelombang yang disebut armor. Nama lain untuk revetment dari susunan armor yang terdiri dari campuran batu kosong yang tidak seragam disebut rip-rap. Untuk mencegah hanyutnya material pantai yang halus antara pantai yang dilindungi dan revetment harus dipasang lapisan filter (Yuwono, 2005).
96
Permuukaan revetm ment yang teerdiri dari tuumpukan battu dan blok--blok beton dengan d rong gga-rongga diantaranyaa, menjadikaan revetmennt lebih efeektif untuk meredam m e energi gelom mbang yanng menghanntam pantaii. Dalam perencanan p revetment r p perlu ditinjauu fungsi daan bentuk bangunan, b lookasi, panjaang, tinggi, stabilitas banngunan dan tanah pondaasi, elevasi muka m air baik di depan maupun di belakang b baangunan, kettersediaan bahan b bangu unan dan seebagainya (T Triatmodjo, 1999).
n melintang revetment/ddinding pantaai (Triatmodj djo, 2008) Gambar 2..58 Potongan
2.5.4 2 Breakw water/Pemeecah Gelomb bang Pemeccah gelombaang adalah bangunan yang y digunakkan untuk melindungi m daerah d peraairan dari gangguan gelombang. g Pemecah ggelombang dibedakan menjadi m duaa macam yaiitu pemecahh gelombangg sambung ppantai dan leepas pantai. Tipe T pertam ma digunakaan untuk peerlindungan perairan pelabuhan p seedang tipe kedua k untuk k perlindungaan pantai terrhadap erosi (Triatmodjoo, 2008).
Gambar 2.59 Pemeccah gelombanng tipe samb bung pantai (Triatmodjo o, 2008)
97
Gambaar 2.60 Pemecah gelombbang tipe leppas pantai (T Triatmodjo, 2008) 2 Pemeccah gelombaang lepas paantai bisa dib buat dari sattu pemecah gelombang g atau a suatu seeri bangunan n yang terdirri dari beberaapa ruas pem mecah gelom mbang yang dipisahkan d o celah. oleh Pemeccah gelombaang dapat dibedakan d menjadi m 3 tippe (Triatmoodjo, 1999) yaitu: y 1. Pemecah h gelombangg tipe sisi miiring Terbuat dari tumpukkan batu alam m, blok beto on, gabungann antara batuu pecah dan blok betton, batu buuatan dari bbeton dengann bentuk khhusus sepertti tetrapod, quadripo ods, tribars,, dolos dann sebagainyaa. Tipe ini banyak dig gunakan di Indonesiia, mengingaat dasar lautt di pantai perairan Indoonesia keban nyakan dari tanah lun nak, selain ittu batu alam m sebagai bahhan utama baanyak tersed dia.
2008) Gam mbar 2.61 Peemecah gelombang tipe sisi miring (Triatmodjo, ( 2. 2 Pemecah h gelombangg tipe sisi teggak Terbuat dari koison beton, dindding blok massa yang ddisusun secarra vertikal, sel turap p baja yang di d dalamnya diisi batu, dinding d turapp baja atau beeton, dsb. 98
Gam mbar 2.62 Pemecah geloombang tipe sisi tegak (T Triatmodjo, 1999) 3. 3 Pemecah h gelombangg tipe campuuran Tipe ini dibuat digunnakan pada kkedalaman air a yang besaar dan apabilla pemecah gelombaang sisi mirring dan sissi tegak din nilai tidak ekkonomis. Bahan B yang digunakaan merupakaan kombinassi dari keduaa tipe sebelum mnya.
Gam mbar 2.63 Peemecah geloombang tipe campuran (T Triatmodjo, 1999) Berat B butir batu lapis lindung unntuk pemeccah gelombaang sisi miiring dapat dihitung d den ngan mengguunakan rumuus Hudson: W =
γbH 3 K D ( s r − 1) cott θ
Dimana D Sr =
(Triiatmodjo,20008)
γb γa 99
Keterangan: W = Berat butir batu pelindung (ton)
γ b = Berat jenis batu (ton/m3) γ a = Berat jenis air laut (ton/m3) H = Tinggi gelombang rencana (m)
θ = Sudut kemiringan sisi pemecah gelombang (…0) KD = Koefisien stabilitas yang tergantung pada bentuk batu pelindung, kekasaran permukaan batu, ketajaman sisi-sisinya, ikatan antar butir, dan keadaan pecahnya gelombang Lebar puncak pemecah gelombang dapat dihitung dengan rumus : 1
⎡W ⎤ 3 B = n k∆ ⎢ ⎥ ⎣γ r ⎦
(Triatmodjo,2008)
Keterangan: B = Lebar puncak (m) n = Jumlah butir batu (nminimum = 3) K∆ = Koefisien lapis lindung W = Berat butir batu lapis lindung (ton)
γ b = Berat jenis batu lapis lindung (ton/m3) Sedangkan tebal batu lapis lindung dan jumlah butir tiap satu satuan luas diberikan oleh rumus berikut ini: t = n K ∆3
W
γ
(Triatmodjo, 2008)
b
P ⎞ ⎛⎜ γ b ⎛ N = An k ∆ ⎜1 − ⎟ ⎝ 100 ⎠ ⎝⎜ W
2 ⎞ 3 ⎟ ⎟ ⎠
(Triatmodjo, 2008)
100
Keterangan: t
= Tebal batu lapis lindung (m)
n = Jumlah butir batu lapis lindung tiap satuan luas K∆ = Koefisien lapis lindung A = Luas permukaan (m2) P = Porositas rerata dari lapis pelindung (%) N = Jumlah butir batu untuk satu satuan luas permukaan A
γ b = Berat jenis batu lapis lindung (ton/m3) 2.5.5 Groin Groin adalah bangunan pelindung pantai yang biasanya dibuat tegak lurus garis pantai dan berfungsi untuk menahan transpor sedimen sepanjang pantai sehingga bisa mengurangi atau menghentikan erosi yang terjadi (Triatmodjo, 2008). Groin hanya bisa menahan transpor sediman sepanjang pantai. Apabila groin ditempatkan pada pantai yang terabrasi, maka groin akan menahan gerak sedimen tersebut, sehingga sedimen mengendap di hulu (terhadap arah transport sedimen sepanjang pantai). Sedangkan di sebelah hilir groin, angkutan sedimen masih tetap terjadi, sementara suplai sedimen dari hulu terhalang oleh bangunan, akibatnya daerah hilir mengalami defisit sedimen sehingga pantai mengalami erosi. Keadaaan tersebut akan menyebabkan terjadinya perubahan garis pantai yang akan terus berlangsung sampai dicapai satu keseimbangan baru. Keseimbangan baru tersebut tercapai pada saat sudut yang dibentuk oleh gelombang pecah terhadap garis pantai adalah nol (α = 0), di mana tidak terjadi lagi angkutan sedimen sepanjang pantai (Triatmodjo, 2008).
101
Gambar G 2.644 Groin tunggal dan perrubahan garris pantai yanng terjadi (T Triatmodjo, 2008) 2 Karenaa faktor di atas, a maka pperlindungann pantai denggan mengguunakan satu buah b groin tidaklah effektif. Biasaanya perlindungan panntai dilakukan dengan membuat m su uatu seri ban ngunan yangg terdiri dari beberapa grroin yang ditempatkan denagn d jaraak tertentu. Dengan pennggunakan sistem s ini, m maka perubbahan garis pantai p yang terjadi tidak k terlalu besaar (Triatmodj djo, 2008).
Gambar G 2.665 Sistem seri groin dan perubbahan gariss pantai yaang terjadi (Triatmodjo, 2008) u paanjang groinn adalah 40% sampai ddengan 60% % dari lebar Pada umumnya rerata r surf zone, dan jarak antar grooin adalah anntara 1 hinggga 3 kali pannjang groin oin memilikki beberapa tipe, t ada tipee lurus, tipe T ataupun (Triatmodjo, 2008). Gro tipe t L. Pem milihan tipe--tipe groin bbergantung kepada keggunaan dan kebutuhan perencanaan p nnya.
102
Gambar 2.66 2 Berbagaai tipe groinn (Triatmodjoo, 2008) Di dalaam perencannaan groin, m masih dimun ngkinkan terj rjadinya supllai sedimen melintasi m grroin ke daerrah hilir. Seddimen dapatt melintasi groin g dengan n melewati sisi atasnya (overpassingg) atau meleewati ujungnnya (endpasssing).
2.5.6 2 Jetty Jetty adalah a bangunan tegak lurus pantaii yang diletakkan pada kedua sisi muara m sungaai yang berffungsi untukk menguranggi pendangkaalan alur oleeh sedimen pantai. p Padaa sungai yaang digunakkan sebagai alur pelayyaran, pengeendapan di muara m sungaai dapat menngganggu lalu lintas kap pal. Untuk kkeperluan terrsebut, jetty harus h panjanng sampai ujungnya u beerada di luaar gelombanng pecah, hal ini agar transpor t seddimen sepanjjang pantai ddapat tertahaan, dan pada alur pelayarran kondisi gelombang g tidak pecah, sehingga m memungkinkkan kapal masuk m ke muuara sungai ( 2008) dibaagi menjadi (Triatmodjo, 2008). Jettty menurut fungsinya (Triatmodjo, tiga t jenis:
Jetty pannjang Jetty inii ujungnya berada b di luuar gelombaang pecah. Tipe ini efeektif untuk menghallangi masukknya sedimeen ke arah muara tetappi biaya kon nstruksinya sangat mahal. m Jettyy ini dibanngun apabilaa daerah yaang dilindun ngi sangat penting.
103
Gamb bar 2.67 Jettyy panjang (T Triatmodjo, 22008)
Jetty seddang Jetty sed dang ujungyya berada dii antara mukka air surut dan lokasi gelombang g pecah. Jetty Je ini dapaat menahan trranspor sediimen sepanjaang pantai.
Gambbar 2.68 Jettyy sedang (Trriatmodjo, 2008)
104
Jetty penndek Jetty penndek ujungnnya berada pada muka aiir surut. Funngsinya untuuk menahan berbelok knya muara sungai dann mengkonssentrasikan aaliran pada alur yang telah diteetapkan untuuk bisa menggerosi endappan.
Gambbar 2.69 Jettyy pendek (Trriatmodjo, 2008)
105