BAB II STUDI PUSTAKA II.1.
Umum
Parkir merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari suatu proses perjalanan dengan menggunakan kendaraan, dan setelah mencapai tempat tersebut kendaraan harus disimpan di suatu tempat, sementara pengendaranya melakukan beberapa urusan, misalnya urusan pribadi, keperluan umum, rekreasi, atau pelayanan. Kebutuhan akan parkir ditimbulkan oleh adanya penghentian kendaraan selama penumpang melakukan berbagai kegiatan di luar kendaraan. Maka ketersediaan ruang untuk parkir sangat penting untuk dapat memberikan kelancaran proses perjalanan tersebut. Kebutuhan lahan parkir sangat dipengaruhi oleh jumlah kepemilikan kendaraan pribadi. Dengan meningkatnya kepemilikan kendaraan pribadi akan meningkatkan kebutuhan lahan parkir. Pengelolaan parkir sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan parkir yang semakin meningkat, namun hal ini sering dibatasi oleh ketersediaan lahan untuk parkir.namun pengelolaan parkir yang baik tidak hanya terpaku pada penyediaan lahan parkir kendaraan, tetapi juga kepentingan terhadap jaminan keamanan kendaraan, agar pemilik kendaraan merasa aman dan nyaman dalam menggunakan fasilitas parkir. Dalam permasalahan parkir di bandara, letak bandara yang jauh dari wilayah komersial lainnya menjadikan banyaknya penggunaan kendaraan pribadi bila kendaraan umum yang melayani rute dari dan menuju bandara tidak baik tingkat pelayanannya. Bandara biasanya terletak dalam sebuah kawasan khusus yang hanya memiliki fungsi khusus. Sehingga kapasitas dan letak parkir bandara harus direncanakan dengan baik agar ketersediaan lahan parkir mencukupi permintaan ruang parkir. Sebagian besar bandara pada dewasa ini, kebutuhan akan parkir mobil menjadi persoalan yang penting dan membutuhkan pemikiran yang dominan dalam membuat rancangan bandara. Pertimbangan utama dalam merencanakan lokasi parkir kendaraan untuk penumpang pesawat adalah jarak berjalan kaki (walking distance) sedemikian rupa hingga sependek mungkin, maka penempatan mobil sedekat mungkin ke pintu masuk gedung terminal penumpang. Volume dan karakteristik pemakai lahan parkir, memainkan peran penting di dalam merencanakan fasilitas lahan parkir.
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
4
II.2.
Perencanaan Parkir Terminal Penumpang
II.2.1. Pengertian Dasar Kebutuhan Parkir Dalam setiap proses perjalanan, setiap kendaraan harus diparkir ketika penumpang ataupun pengemudi harus melakukan aktifitas di luar kendaraan tersebut. Oleh karena itu jelas tempat parkir sangat dibutuhkan dalam sistem lalu lintas. Beberapa pengertian mengenai tempat parkir berikut ini mempunyai maksud yang relatif sama, yaitu: i. Parkir adalah tempat pemberhentian kendaraan dalam jangka waktu yang lama atau sebentar tergantung kendaraan dan kebutuhannya (Buku Peraturan Lalu Lintas). ii. Parkir adalah tempat memberhentikan kendaraan angkutan/barang (bermotor maupun tidak bermotor) pada suatu tempat dalam jangka waktu tertentu. iii. Parkir adalah berhentinya kendaraan untuk beberapa saat atau dalam jangka waktu yang lama sesuai dengan kebutuhan pengendaranya. Maka, secara sederhana kebutuhan parkir dapat diartikan sebagai kebutuhan akan lahan untuk memarkir sejumlah kendaraan selama durasi waktu tertentu. Dalam Tugas Akhir ini, parameter yang digunakan dalam perencanaan kebutuhan parkir diambil dari perkiraan jumlah penumpang pesawat yang dianalisa dengan berbagai faktor perencanaan. II.2.2. Jalan Akses Jalan masuk ke bandara bukan saja diperlukan oleh penumpang pesawat, tetapi juga oleh para pengguna bandara lainnya, seperti: karyawan, pengunjung, truk-truk pengangkut barang dan kegiatan lain sehubungan dengan pengguna bandara. Semua moda angkutan darat harus dipertimbangkan. Statistik menunjukkan bahwa mobil pribadi adalah kendaraan terbanyak yang dipakai masuk ke bandara, termasuk di dalamnya penumpang dan karyawan. Kecenderungan ini akan terus berlanjut di masa depan, walaupun telah tersedia angkutan massal yang terus dikembangkan dari dan ke bandara. Meskipun barang yang diangkut pesawat berkembang cepat, lalu lintas truk ternyata bukan penyumbang utama bagi kepadatan lalu lintas. Pada beberapa bandara, perjalanan yang dilakukan oleh karyawan bandara bahkan lebih besar dari lalu lintas mobil yang dikendarai oleh penumpang pesawat. Hal ini tergantung ukuran dan fasilitas pendukung pada bandara itu. Langkah awal untuk memperkirakan lalu lintas darat oleh penumpang pesawat adalah perkiraan perjalanan udara di masa depan. Itu sebabnya dibutuhkan sekali adanya perkiraan
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
5
distribusi harian dari jumlah penumpang yang dibagi dalam penumpang datang dan penumpang berengkat terutama pada jam sibuk setiap harinya. Langkah berikutnya memperkirakan Modal Split (memecahnya kebutuhan angkutan) di antara moda-moda angkutan darat yang tersedia yaitu mobil pribadi, taksi, dan angkutan massal. Sesudah memperkirakan modal split perlu memperkirakan tingkat keterisian (occupancy) tiap-tiap jenis angkutan itu (misalnya 2 penumpang tiap mobil pribadi). Setelah itu, dapat ditentukan jumlah kendaraan yang dibutuhkan oleh jumlah penumpang pesawat. Sebagaimana diterangkan sebelumnya, lalu lintas darat yang disebabkan oleh karyawan sepanjang jam-jam sibuk dapat melebihi yang dihasilkan oleh penumpang dan pengunjung. Rupanya ini bisa dipertimbangkan untuk membuat jalan akses bagi karyawan yang terpisah dari jalan akses penumpang. Karyawan biasanya mempunyai pattern (pola) asal dan tujuan yang berbeda dengan penumpang, hal ini berpengaruh kepada kebutuhan jalan masuk. Analisa menunjukkan bahwa tidak timbul hubungan yang konsisten antara jumlah karyawan bandara dan jumlah tahunan penumpang pesawat. Ketika jumlah lalu lintas memasuki bandara telah diketahui, sangat perlu untuk merancang sirkulasi lalu lintas kendaraan di areal bangunan terminal dengan baik, apabila tidak ingin terjadi kemacetan. Sirkulasi lalu lintas kendaraan di bandara secara umum diatur dengan lalu lintas satu arah, putaran arah jarum jam (karena letak kemudi mobil di Indonesia berada di sebelah kanan) dengan penempatan bangunan terminal di kiri pengemudi. Jalan harus cukup lebar agar mobil bisa mendahului bila yang lain sedang menurunkan penumpang. Petunjuk arah untuk mencapai terminal penumpang yang datang dan berangkat dan fasilitas lain harus cukup besar, jelas, dan jumlahnya cukup, serta mengundang perhatian. II.2.3. Macam-Macam Parkir Macam-macam parkir diklasifikasikan menjadi beberapa bagian menurut beberapa parameter berikut ini, yaitu: II.2.3.4. Parkir Menurut Letak Penempatan Kendaraan Menurut letak penempatan kendaraan terhadap badan jalan, parkir dibagi menjadi: i. Parkir di Badan Jalan (on-street parking) Parkir jenis ini menggunakan sebagian lebar jalan untuk tempat parkir kendaraan. Parkir jenis ini kurang baik diterapkan pada lahan dimana mempunyai tingkat intensitas tinggi karena akan mengganggu lalu lintas yang ada dengan mengurangi lebar jalan sehingga akan menimbulkan kemacetan lalu lintas bila tidak diatur dengan baik dan benar. ii. Parkir di Luar Badan Jalan (off-street parking) Parkir jenis ini menggunakan lahan parkir tertentu di luar badan jalan, baik di pelataran terbuka ataupun di dalam bangunan yang khusus disedikan untuk lahan perpakiran. Off-
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
6
street parking dapat berupa taman parkir ataupun bangunan parkir. Taman parkir biasanya terdapat pada lahan terbuka pada pusat kota ataupun dipinggir kota, selain itu taman parkir juga bisa digunakan sebagai lahan hijau untuk pendukung penghijauan kota. Bangunan parkir biasanya terdapat di pada pusat kota dimana lahan terbuka untuk parkir kendaraan tidak banyak,biasanya berupa bangunan bertingkat tinggi maupun parkir di bawah tanah. Lokasi dan rancangan dari parkir di luar jalan harus dapat menimbulkan perhatian khusus bagi pemarkir yang akan menggunakannya, dalam bentuk kemudahan akses, sirkulasi, parkir, jarak berjalan dan kembali, serta jalan keluarnya. Selain menyediakan ruang parkir, tempat parkir di luar jalan akan menawarkan suatu keamanan dari kerusakan dan pencurian, dan dapat pula menyediakan fasilitas-fasilitas yang lain, seperti misalnya pencucian dan perawatan (service). Untuk mengantisipasi dan untuk menghindarkan timbulnya tempat-tempat parkir liar di luar jalan, dalam setiap membangun gedung, baik berupa gedung pemerintahan maupun swasta khususnya maka “diwajibkan” menyediakan ruang parkir yang memadai sesuai standar peraturan yang telah ditentukan berdasarkan luas dan lebar lantai bangunan yang tersedia. II.2.3.5. Parkir Menurut Statusnya Menurut status kepemilikan dan pengelolaan suatu lahan parkir dibagi menjadi: i. Parkir Umum Merupakan perparkiran yang menggunakan tanah-tanah, jalan-jalan, lapangan yang dimiliki dan dikelola oleh Pemerintah Daerah. ii. Parkir Khusus Perpakiran yang menggunakan tanah-tanah yang dimiliki dan dikelola oleh pihak nonpemerintah. II.2.3.6. Parkir Menurut Jenis Kendaraan Pembagian parkir menurut jenis kendaraan yang menggunakan lahan parkir tersebut adalah seperti berikut: i. Parkir untuk kendaraan beroda dua tidak bermesin (sepeda) ii. Parkir untuk kendaraan beroda dua bermesin (sepeda motor) iii. Parkir untuk kendaraan beroda empat (mobil penumpang) iv. Parkir untuk kendaraan beroda empat atau lebih (mobil non-penumpang) II.2.4. Pengguna Fasilitas Perparkiran Kendaraan penumpang (mobil) merupakan alat angkutan utama untuk penumpang angkutan udara dan pengunjung bandara. Fasilitas parkir bagi mobil penumpang sangat penting untuk
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
7
bandara. Walaupun penggunaan angkutan umum dari dan ke bandara dikembangkan, namun penggunaan kendaraan pribadi akan masih tetap berpengaruh di masa depan. Sebagian besar bandara pada dewasa ini, kebutuhan akan parkir mobil menjadi persoalan yang penting dan membutuhkan pemikiran yang dominan dalam membuat rancangan bandara. Pertimbangan utama di dalam merencanakan lokasi parkir kendaraan untuk penumpang pesawat adalah jarak jalan kaki sedemikian rupa hingga sependek mungkin, maka penempatan mobil sedekat mungkin ke pesawat. Volume dan karakteristik pemakai lahan parkir, memainkan peran penting di dalam merencanakan fasilitas lahan parkir. Setiap kelas masyarakat pengguna lahan parkir mempunyai kebutuhan yang berbeda, tergantung kepada tingkatan dan kepentingannya di bandara. Lahan parkir di bandara digunakan untuk: a. Penumpang pesawat dan VVIP, b. Pengunjung yang menemani penumpang, c. Pengunjung bandara untuk rekreasi, d. Karyawan bandara, e. Taksi, tempat penyewaan mobil, f. Orang yang berkepentingan dengan usaha di bandara. Lahan parkir untuk karyawan bandara sebaiknya dipisahkan secara khusus. Lokasi parkir ditempatkan sedekat mungkin dengan fasilitas tempat bekerjanya. Parkir untuk penyeewaan mobil tidak perlu dekat dengan bangunan terminal, tetapi harus disediakan ruangan bagi mobil yang telah dipesan di dekat pintu masuk maupun keluar untuk drop-off maupun dropin. Lapangan parkir umum disediakan untuk penumpang, penjemput, dan orang-orang yang rekreasi di bandara (penonton). Survey yang diadakan di bandara-bandara di AS menunjukkan bahwa hampir 80% pemarkir kendaraan memarkir 3 jam atau kurang. Parkir kurang dari 2 jam dikategorikan sebagai parkir short term, parkir selama 2-5 jam dikategorikan medium term, dan lebih dari 5 jam disebut long term. Dalam perencanaan bandara prioritas diberikan kepada parkir medium term, sehingga hanya memerlukan lapangan parkir yang tidak terlalu luas. Proyeksi-proyeksi kebutuhan lapangan parkir di masa depan pada umumnya dibuat dengan metode korelasi terhadap proyeksi pertumbuhan lalu lintas udara, biasanya penumpang pesawat.
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
8
Tabel 2.1 Klasifikasi Kode Pengguna Tempat Parkir
Contoh Pengguna
class code
Perkiraan Rata-Rata Durasi Parkir
Parkir untuk penyewa, pekerja,dan universitas (umumnya parkir dalam jangka waktu seharian penuh).
1
>5 jam
Parkir di perkotaan, tempat olahraga, pusat hiburan, hotel, motel, parkir pengunjung bandara (umumnya medium term parking ).
2
2-5 jam
Pusat perbelanjaan, departement stores, supermarket, rumah sakit, medical centres (umumnya short term parking).
3
<2 jam
Parkir untuk orang cacat
4
Sumber: Young (1991)
II.2.5. Desain Pelataran Parkir Dalam mendesain pelataran parkir, ukuran-ukuran yang baik dan kemudahan sirkulasi dianggap lebih penting daripada mencoba untuk memaksa menyelipkan sedikit tambahan ruang parkir ke dalamnya. Ukuran-ukuran dan topografi daerah sering akan menentukan rancangan yang terbaik untuk tempat parkir tersebut, khususnya jalan masuk dan keluar yang disediakan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mendesain lahan parkir adalah sebagai berikut: 1. Ukuran ruang parkir, kereb, dan lebar gang parkir. Prinsipnya sama seperti untuk parkir di jalan; pada prakteknya ruang parkir sejajar jarang digunakan mengingat hal ini akan menggunakan ruang yang lebih banyak daripada parkir bersudut, tetapi pemilihan terhadap pengaturan tersebut akan tergantung pada dimensidimensi yang tersedia pada daerah tersebut. 2. Sistem sirkulasi, lebar jalan, kelandaian, radius belokan, ruang bebas atas. Ruang sirkulasi tidak boleh digunakan untuk parkir dan harus diperkecil. Kecepatan dan kapasitas dapat diperkirakan dari pertimbangan-pertimbangan praktis, kapasitas rencana harus tergantung pada arus yang dihasilkan dari volume parkir dan lamanya parkir. Yang diperlukan dalam mendesain sistem sirkulasi adalah sebagai berikut: i. Kendaraan-kendaraan harus berjalan menurut arah jarum jam, mengingat hal ini akan memberikan garis pandangan yang terbaik kepada pengemudi. ii. Sistem 1 arah memperkecil konflik dan menghindarkan terjadinya kemacetan.
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
9
iii. Lebar gang parkir tergantung pada sudut parkir, yang selanjutnya tergantung pada ukuran daerah, topografi, dan lokasi jalan masuk dan keluar yang dihasilkan. iv. Gang parkir dua arah dapat disetujui, bila ruang parkir memiliki sudut masuk sebesar 90°; untuk sudut masuk kurang dari 90°, maka gang parkir 1-arah lebih dipilih dengan tiap gang-nya tidak boleh memiliki lebih dari 30 ruang parkir tanpa adanya suatu gang parkir yang memotong. v. Radius belokan harus kecil, tetapi harus diingat bahwa apabila ada satu kendaraan saja yang mogok, maka hal ini akan menimbulkan persoalan yang besar. vi. Ruang bebas atas biasanya dibatasi hingga 2,25 m. Rambu peringatan harus diletakkan pada titik-titik masuk. vii. Sistem elevator dapat digunakan, tetapi hanya akan efektif bila keterbatasan ruang tinggi dan lamanya parkir cukup panjang. 3. Pengaturan masuk dan keluar, karcis dan pembayaran. Pintu masuk dan keluar harus ditempatkan sejauh mungkin dari persimpanganpersimpangan jalan dan harus memiliki jarak pandangan yang memadai. Daerah masuk dan keluar membutuhkan desain yang hati-hati untuk kapasitas dan geometrik, khususnya jika suatu parkir kendaraan cepat menjadi penuh atau menjadi kosong. Jalan masuk ke tempat parkir biasanya termasuk penyerahan parkir yang dicetak waktunya. Hal ini dapat dikerjakan secara manual atau dengan pintu penghalang otomatis, dan saat meninggalkan tempat parkir tersebut, karcis tersebut diserahkan ke suatu gardu parkir dan biaya parkirnya dibayarkan. Jika biaya tersebut tetap, tidak peduli lamanya parkir, maka hal ini dapat dibayarkan pada gardu pintu masuk saja dan gardu pintu keluar menjadi tidak diperlukan. Gardu karcis harus ditempatkan sedemikian rupa untuk menghindari kendaraankendaraan agar tidak terjadi antrian pada jalan umum. Panjang antrian dapat diramalkan dan panjang daerah antrian yang cukup memadai di luar jalan harus disediakan. Jumlah gardu masuk dan keluar yang memadai harus disediakan untuk mempertemukan kapasitas arus yang diperlukan. Prinsip dari desain gardu pada parkir sangat mirip dengan gardu yang digunakan pada jalan-jalan tol. Pintu masuk dan keluar harus mengikutsertakan perhitungan jumlah kendaraan, sehingga tidak ada kendaraan lain diperbolehkan masuk apabila ruang parkir tersebut telah penuh. 4. Akses pejalan kaki. Biasanya disediakan oleh lift dan hal ini merupakan faktor yang penting dalam hal waktu berjalan dan keinginan. 5. Penerangan. Penerangan yang cukup memadai sangat penting, baik untuk para pengemudi maupun untuk alasan-alasan keamanan yang umum. 6. Rambu dan marka.
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
10
Penyediaan rambu dan marka dibutuhkan untuk memperlihatkan: i. Arah sirkulasi, ii. Jalan keluar kendaraan, iii. Kereb parkir dan daerah-daerah yang tidak diizinkan untuk parkir, iv. Lokasi parkir khusus, misalnya untuk orang-orang cacat, v. Pintu masuk dan keluar bagi pejalan kaki; tangga, lift. Rambu-rambu harus ditempatkan dengan memperhatikan garis pandangan dan penerangannya. Rambu tersebut harus mudah terlihat oleh para pengemudi. Dasar pertimbangan perencanaan perparkiran adalah sebagai berikut: 1. Kemudahan Pencapaian Minimalisasi jarak jalan kaki, kemudahan pencapaian ke terminal penumpang, dan pembangunan pelataran parkir di muka bangunan terminal penumpang. Pelataran parkir sebaiknya ditempatkan sedekat mungkin dengan terminal atau kawasan lain yang dilayani. Penggunaan lahan sebaiknya sehemat mungkin. Pelataran parkir untuk penggunaan dalam waktu yang panjang dapat ditempatkan agak berjauhan dari kawasan pelayanan. Demikian juga halnya dengan pelataran parkir taksi, karena kemudahan pelayanan angkutan ini sudah dipenuhi dengan penyediaan taksi stan muka terminal. 2. Persentase Penggunaan Moda Transportasi Asumsi-asumsi: Penumpang kendaraan pribadi = 45 % Penumpang dengan kendaraan taksi = 49 % Penumpang dengan angkutan umum = 6% Sumber: Dinas Perhubungan Jawa Barat (2005)
3. Tingkat Keterisian Penumpang Tiap Kendaraan (occupancy) Untuk perencanaan pelataran parkir bandara digunakan tingkat keterisian kendaraan/okupansi yang berbeda untuk tiap jenis kendaraan. Okupansi kendaraan biasanya berbeda dalam perencanaan di suatu negara dengan negara yang lainnya. Okupansi kendaraan ini dipengaruhi tingkat pelayanan transportasi umum di negara tersebut. Semakin baik tingkat pelayanan transportasi umum biasanya semakin besar okupansi kendaraan umum dan semakin kecil okupansi kendaraan pribadi, dan sebaliknya. Sebagai contoh, okupansi kendaraan pribadi dan kendaraan umum pada bandara dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
11
Tabel 2.2 Mode Shares and Vehicle Occupancy Mode Shares and Vehicle Occupancy Vehicle Occupancy Mode Mode Share1 (Passengers per Vehicle)1 Private Vehicle Curb Side 25,5% 1,2 Short-Term Parking 17% 1,2 Long-Term Parking 2,5% 1,3
Remote Parking2
-
1,3
3
-
1,4
7,3% 1,3% 9,5% 5,8% 19,1% 10% 1% 1% 100%
1,5 1,5 4 2,3 1,5 1,8 5 15
Rental Car Ground Transportation Taxi Limousine For-Hire Shuttle Hotel/Motel Courtessy Shuttle Rental Car Courtessy Shuttle Remote Parking Courtessy Shuttle Public Transit Charter/Other Bus Total 1
Mode shares and vehicle occupancy based on HNTB calibration.
2
Uses the same mode share percentage as remote parking courtessy shuttles.
3
Uses the same mode share percentage as rental car courtessy.
Sumber: San Diego International Airport (2006)
4. Kebutuhan Ruang Parkir a. Luas ruang parkir setiap kendaraan Ukuran setiap kendaraan, untuk mobil penumpang adalah 25 m2, yang kemudian tiap ruang parkir ditambahkan lagi sebesar 5 m2 yang akan digunakan untuk ruang terbuka hijau, sehingga luas tiap ruang parkir membutuhkan lahan seluas 30 m2. b. Layover Faktor yang mempengaruhi jumlah kebutuhan ruang parkir, yaitu jumlah keterisian ruang parkir tiap satuan waktu. Dikenal juga Parking Turn Over (PTO). c. Jumlah ruang parkir yang dibutuhkan Merupakan banyaknya ruang parkir yang dibutuhkan pada jam puncak. Jumlah ruang parkir yang harus disediakan ini dipengaruhi berbagai hal lain, seperti: tingkat okupansi kendaraan, persentase kendaraan yang parkir, layover, jumlah shift kerja, dll.
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
12
Maka jumlah ruang parkir umum yang dibutuhkan dapat dihitung dengan persamaan:
Ruang parkir =
% kendaraan × pnp jam puncak : okupansi ( pnp / kend ) × SF layover (kend / ruang )
Sedangkan jumlah ruang parkir karyawan yang dibutuhkan dapat dihitung dengan persamaan : % kendaraan × jumlah pegawai × SF Ruang parkir = Shift ker ja 5. Luas Lahan Luas yang digunakan adalah luas lahan yang dibutuhkan pada saat jam puncak. Luas = Jumlah ruang parkir x Luas ruang parkir tiap kendaraan Dimensi ukuran yang digunakan untuk kebutuhan ruang parkir disesuaikan dengan kendaraan yang ada. Standar minimum untuk panjang ruang parkir adalah 5,5 meter. Lebar yang digunakan disesuaikan dengan kode klasifikasi pengguna parkir dan variasinya terhadap sudut konfigurasi parkir (Tabel 2.3). Lebar gang yang digunakan bisa untuk sirkulasi satu dan dua arah, manuver kendaraan ketika masuk dan keluar menjadi bahan pertimbangan untuk merencanakan desain lebar gang. Tipikal untuk parkir bersudut 90 derajat adalah 6,2 meter, sedangkan untuk parkir bersudut lebar gang yang digunakan dari 4,6 m untuk parkir 600 sampai 2,9 m untuk parkir 300. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.4 dan Tabel 2.5. Tabel 2.3 Minimum Lebar Ruang Parkir class code
Lebar Ruang Parkir (m)
1 2 3 4
2,4 2,5 2,6
Sumber: Young (1991)
Tabel 2.4 Minimum Lebar Ruang Parkir dan Lebar Gang - Parkir 90°
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
13
Lebar Gang (m)
Lebar (m)
1 2,4 2,5 2,6
Class Code 2 3 2,5 2,6 2,6 2,7 >2,7 >2,7
4
Satu Arah Dua Arah 6,2 5,8 5,4
6,2 5,8 5,8
Sumber: Young (1991)
Tabel 2.5 Minimum Lebar Ruang Parkir dan Lebar Gang - Parkir Bersudut
Sudut Parkir Lebar Gang (m)
Lebar Parkir (m)
0
2,9
2,5
0
3,7 4,6
2,5 2,5
30
45 0 60 Sumber: Young (1991)
Kebutuhan ruang parkir ini meliputi panjang, lebar, dan setengah gang yang berdekatan. Rata-rata luas ruang parkir untuk satu mobil adalah lebar 2,5 m dan panjang 5,5 m, namun untuk perhitungan luas lahan parkir tiap mobil, disertakan juga setengah dari lebar gang sebesar 3,1 m. Sehingga luas lahan parkir untuk tiap mobil adalah sebesar 2,5 m untuk lebar dan 8,6 m untuk panjangnya, maka luasnya adalah 21,5 m2. namun untuk kemudahan dalam perencanaan digunakan luas tiap petak parkir sebesar 25 m2, kemudian ditambahkan 5 m2/ruang parkir untuk luas lahan ruang terbuka (RTH, drainase, dll). Tabel 2.6 Ruang Parkir Mobil
Deskripsi Panjang ruang parkir Lebar ruang parkir Panjang tambahan
Dimensi (meter) 5,5 2,5 3,1
Sumber: Young (1991)
Kebutuhan ruang parkir untuk kendaraan umum yaitu bus, panjang ruang yang digunakan adalah 13 m dengan lebar ruang parkir 3 m dan minimum jari-jari manuver untuk berbelok adalah 12 m. Luas kebutuhan ruang parkir untuk bus ini yaitu 75 m2. Tabel 2.7 Ruang Parkir Bus
Deskripsi Panjang ruang parkir Lebar ruang parkir Radius putar minimum
Dimensi (meter) 12 – 15 3 12
Sumber: USAF (1998)
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
14
Ruang parkir untuk sepeda motor disediakan oleh pengelola khusus untuk karyawan bandara saja. Luas total untuk 1 ruang parkir motor termasuk jalan sirkulasi dan ruang terbuka lainnya adalah 5 m2. Kebutuhan ruang parkir sepeda motor ini dapat dilihat pada Tabel 2.8.
Tabel 2.8 Ruang Parkir Motor
Deskripsi Panjang ruang parkir Lebar ruang parkir
Dimensi (meter) 2,5 1,5
Sumber: USAF (1998)
Sumber: Hobbs (1995)
Gambar 2.1 Tatanan Tempat Parkir
Kebutuhan dasar sirkulasi lalu-lintas berupa jalan menuju seluruh tempat parkir harus sependek mungkin dan gerakan lalu-lintas harus tersebar cukup merata untuk mencegah kemacetan, terutama sekali pada periode sibuk. Ruang parkir mungkin harus dikorbankan untuk mempertinggi efisiensi operasional, sebagaimana terlihat dalam Gambar 2.2. Tapak tempat parkir sering terlihat tidak teratur dan beberapa alternatif tata letak mungkin diperlukan sebelum desain akhir ditetapkan. Bagian tapak yang berbentuk ganjil dan sangat miring yang tidak sesuai untuk parkir dapat dimanfaatkan sebagai taman.
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
15
Sumber: Hobbs (1995)
Gambar 2.2 Sirkulasi Lalu-Lintas di Tempat Parkir
II.2.6. Lajur Khusus untuk Menaikkan dan Menurunkan Penumpang Lajur khusus untuk menaikkan dan menurunkan penumpang sangat dibutuhkan (baik yang menggunakan kendaraan pribadi, taksi, maupun bus) agar penumpang tersebut tidak perlu berjalan terlalu jauh dari pemberhentian kendaraan tersebut. Lajur khusus itu dikenal dengan lajur drop-off dan drop-in. Lajur khusus ini ditempatkan pada lajur terdekat dengan gedung terminal, agar penumpang tersebut tidak perlu menyeberangi jalan. Pada BIJB, lajur khusus ini juga akan dibatasi oleh separator agar kegiatan menaikkan dan menurunkan penumpang tidak mengganggu kelancaran arus di lajur lainnya. Ukuran-ukuran yang digunakan sesuai dengan standar dalam Young (1991), yang dapat dilihat pada Tabel 2.9. Untuk perencanaan ini digunakan sudut parkir 0º dengan panjang ruang parkir 6 m dan lebar 2,3 m.
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
16
Gambar 2.3 Ruang Drop-off dan Drop-in Tabel 2.9 Ruang Drop-off dan Drop-in Kriteria Parkir Sudut A D M D+M D+M-J Parkir m m m m m 0 2,3 2,3 3,0 5,3 2,8 30 2,5 4,5 - 4,9 2,9 7,4 - 7,8 4,9 - 5,3 45 2,5 5,1 - 5,6 3,7 8,8 - 9,3 6,3 - 6,8 60 2,5 5,3 - 5,6 4,6 9,9 - 10,6 7,4 - 8,1 90 2,5 4,8 - 5,4 5,8 10,6 - 11,2 8,1 - 8,7 Volume lalu lintas (kend/jam) di lajur yang berdekatan dengan parkir
Satu Lajur L m 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5
W m 6,3 8,4 - 8,8 9,8 - 10,3 10,9 - 11,6 11,6 - 12,2 0 - 800
Dua Lajur L W m m 7,0 9,8 7,0 11,9 - 12,3 7,0 13,3 - 13,8 7,0 14,4 - 15,1 7,0 15,1 - 15,7 800 - 1600
Sumber: Young (1991)
II.3.
Perencanaan Struktur Perkerasan pada Pelataran Parkir
Pada suatu lahan yang digunakan untuk menahan beban statis yang cukup besar, sebaiknya dilapisi lapisan perkerasan agar kondisi tanah yang dibebani kendaraan tidak rusak, selain itu juga untuk menambah kenyamanan pengguna parkir tersebut. Struktur perkerasan dapat dikelompokkan menjadi 2 golongan, yaitu: struktur perkerasan lentur dan struktur perkerasan kaku. Pengelompokkan struktur perkerasan tersebut lebih didasarkan pada bahan perkerasan yang digunakan. Struktur perkerasan lentur umumnya menggunakan lapisan beton aspal sebagai lapisan permukaan, dan kadang-kadang juga sebagai lapisan-lapisan di bawahnya. Sedangkan struktur perkerasan kaku menggunakan pelat beton semen sebagai komponen struktur utamanya (Gambar 2.4).
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
17
Selain kedua jenis struktur perkerasan diatas, ada struktur perkerasan komposit yang menggunakan lapisan beton aspal dan beton semen pada satu konstruksi perkerasan secara bersamaan, seperti misalnya lapisan beton semen di atas lapisan pondasi beton aspal, atau lapisan beton aspal di atas lapisan pondasi berstabilisasi semen/kapur, atau lapisan beton aspal sebagai tambahan (overlay) di atas lapisan beton semen lama yang telah mengalami kerusakan. Namun dalam proses desainnya, struktur perkerasan komposit ini harus tetap dianalisis sifatnya sebagai perkerasan lentur atau perkerasan kaku.
Gambar 2.4 Struktur Perkerasan Lentur dan Kaku
II.3.1 Perencanaan Struktur Lapisan Perkerasan Lentur Dalam mendesain suatu struktur perkerasan, ada beberapa parameter desain yang perlu diperhatikan, antara lain: a. Beban lalu lintas Beban lalu lintas yang diperlukan dalam desain struktur perkerasan jalan adalah jumlah total perulangan beban sumbu standar ekivalen yang diperkirakan akan lewat pada lajur rencana jalan yang didesain selama masa layan. Hal-hal yang perlu ditinjau adalah : i. Data lalu lintas Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
18
ii. Faktor ekivalen FE L1 =
WL1 W8,16
(rumus dasar AASHTO)
Dengan : FEL1
= Faktor ekivalen untuk beban sumbu L1.
WL1
= Perulangan beban sumbu L1 yang dapat diterima oleh perkerasan.
W8,16
= Perulangan beban sumbu standar (L1 = 8,16 ton) yang dapat diterima oleh struktur perkerasan.
Sumber: Bina Marga (1983)
Gambar 2.5 Tabel Komposisi Sumbu Kendaraan dan Nilai Angka Ekivalennya
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
19
Rumus Pendekatan: L 4 FEL = k ( ) 8,16 Dengan : L = beban sumbu kendaraan (ton) k = 1,000; untuk sumbu tunggal = 0,086; untuk sumbu tandem = 0,021; untuk sumbu tripel iii. Total kumulatif beban sumbu standar Beban sumbu tunggal 8,16 ton diperhitungkan sebesar satu lintasan ekivalen (satu derajat kerusakan), satu beban sumbu tunggal seberat (2x8,16) ton diperhitungkan sebesar 16 lintasan ekivalen, sedangkan beban sumbu tunggal seberat (0,5x8,16) ton hanya diperhitungkan sebesar 1/16 lintasan ekivalen. Dengan pendekatan tersebut, maka beban lalu lintas dapat dihitung dengan rumus-rumus seperti di bawah ini:
LEP = ∑ j =1 LHR j .C j .E j n
LEA = ∑ j =1 LHR j (1 + i ) .C j .E j n
UR
LEP + LEA 2 UR LER = LET . 10 Dengan: LEP = Lintas Ekivalen Permulaan LEA = Lintas Ekivalen Akhir LET = Lintas Ekivalen Tengah LER = Lintas Ekivalen Rencana LHR = lalu lintas harian rata-rata pada awal umur rencana pada jalan dua arah tanpa median atau masing-masing arah pada jalan dengan median j = jenis kendaraan i = Faktor pertumbuhan lalu lintas Cj = Koefisien distribusi kendaraan Ej = Angka Ekivalen beban sumbu kendaraan LET =
Untuk menentukan nilai koefisien distribusi (Cj) dapat dilihat pada Tabel 2.10 berikut ini. Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
20
Tabel 2.10 Koefisien Distribusi Kendaraan (Cj) Lebar Perkerasan (L)
Jumlah Jalur
L < 5,50 m 5,50 m < L < 8,25 m 8,25 m < L < 11,25 m 11,25 m < L < 15,00 m 15,00 m < L < 18,75 m 18,75 m < L < 22,00 m
1 jalur 2 jalur 3 jalur 4 jalur 5 jalur 6 jalur
Kendaraan Ringan *) 1 arah 2 arah 1,00 1,00 0,60 0,50 0,40 0,40 0,30 0,25 0,20
Kendaraan Berat **) 1 arah 2 arah 1,00 1,000 0,70 0,500 0,50 0,475 0,450 0,425 0,400
Catatan: *) Kendaraan ringan: berat total < 5 ton, misalnya: mobil penumpang, pick up, mobil box. **) Kendaraan berat: berat total > 5 ton, misalnya: bus, truk, traktor, semi trailler, trailler.
Sumber: Bina Marga (1983)
b. Stabilitas tanah dasar Tanah dasar yang umumnya merupakan tanah asli (galian atau timbunan), yang relatif lemah, memiliki peranan yang sangat penting bagi kestabilan sistem perkerasan dan juga nilai ekonomi. Untuk kondisi tertentu, semakin tinggi stabilitas tanah dasar akan semakin tipis lapisan struktur perkerasannya, yang tentunya akan mempengaruhi biaya konstruksi. Korelasi antara nilai CBR dan nilai DDT yang ditetapkan dalam Metode Analisa Komponen diberikan dalam bentuk nomogram. Persamaannya sebagai berikut: DDT = 4,3 log(CBR) + 1,7
Sumber: Bina Marga (1983)
Gambar 2.6 Korelasi DDT vs CBR
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
21
Pendekatan statistik dapat juga digunakan untuk mencari nilai CBR desain. Data CBR yang acak dapat didekati dengan distribusi normal. Sesuai dengan ketetapan dari Metoda Analisa Komponen, maka nilai CBR desain merupakan nilai probabilitas 10% pada sisi kurva distribusi normal, yaitu: CBR desain = (CBR rata-rata)2 -1,28σ Dengan: σ = standar deviasi c. Kualitas bahan perkerasan Bahan perkerasan umumnya merupakan material yang didatangkan khusus ke lokasi pembangunan. Masing-masing tiap lapisan memiliki kualitas bahan yang berbeda, dengan semakin ke atas permukaan jalan maka harus memiliki kualitas bahan yang semakin baik dan dengan demikian akan semakin tinggi biayanya. d. Faktor lingkungan Faktor lingkungan seperti: curah hujan, permeabilitas tanah, perlengkapan drainase, geometrik jalan, karakteristik pengoperasian kendaraan, dan temperatur udara, dapat mempengaruhi masa layan struktur perkerasan, meskipun parameter desain lainnya sama. Dalam Metoda Analisa Komponen, faktor lingkungan dinyatakan dengan nilai FR (Faktor Regional), yang merupakan fungsi dari landai jalan, komposisi kendaraan berat, dan curah hujan. Nilai FR mempunyai rentang dari 0,5 sampai 4,0, dengan FR = 1,0 menyatakan konsisi normal. Semakin tinggi nilai FR yang digunakan, maka struktur perkerasan desain akan semakin konservatif. Tabel 2.11 Faktor Regional Faktor Regional Curah Hujan I (≤900mm/thn) Curah Hujan II (≤900mm/thn)
Landai Jalan I (<6%) % kendaraan Berat ≤30% >30%
Landai Jalan II (6-10%) % kendaraan Berat ≤30% >30%
Landai Jalan I (>10%) % kendaraan Berat ≤30% >30%
0,5
1,0 -1,5
1,0
1,5 - 2,0
1,5
2,0 -2,5
1,5
2,0 -2,5
2,0
2,5 - 3,0
2,5
3,0 - 3,5
Sumber: Bina Marga (1983)
e. Kriteria keruntuhan Metoda Analisa Komponen sebagai metoda empiris menetapkan kriteria keruntuhan struktur perkerasan dengan menggunakan Indeks Permukaan (IP) dengan skala 0 - 4. Nilai IP = 0 menyatakan kondisi jalan yang telah rusak dan nilai IP = 4 untuk jalan yang kondisinya sangat baik pada saat jalan baru dioperasikan, sedangkan nilai antara menyatakan kondisi jalan diantara keduanya.
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
22
Pada Tabel 2.12 dan Tabel 2.13 di bawah ini dapat diketahui besar indeks permukaan awal (IPo) dan indeks permukaan akhir (IPt) yang digunakan dalam perhitungan tebal perkerasan yang akan dibangun. Tabel 2.12 Index Permukaan Awal (IP0)
Jenis Lapis Permukaan
IPo
LASTON
>4 3,9 - 3,5 3,9 - 3,5 3,4 - 3,0 3,9 - 3,5 3,4 - 3,0 3,9 - 3,5 3,4 - 3,0 3,4 - 3,0 2,9 - 2,5 2,9 - 2,5 2,9 - 2,5 2,9 - 2,5 <2,4 <2,4
LASBUTAG HRA BURDA BURTU LAPEN LATABUM BURAS LATASIR Jalan Tanah Jalan Kerikil
Roughness (mm/km) ≤1000 >1000 ≤2000 >2000 ≤2000 >2000 <2000 <2000 ≤3000 >3000
Sumber: Bina Marga (1983)
Tabel 2.13 Index Permukaan Akhir (IPt) Klasifikasi Jalan LER (SS/hari) Lokal Kolektor Arteri <10 1,0-1,5 1,5 1,5-2,0 10 - 100 1,5 1,5-2,0 2,0 100 - 1000 1,5-2,0 2,0 2,0-2,5 >1000 2,0-2,5 2,5
Tol 2,5
Sumber: Bina Marga (1983)
II.3.2 Penentuan Tebal Lapisan Perkerasan Metode Analisa Komponen untuk mendesain struktur perkerasan lentur jalan (konstruksi langsung) diturunkan dari metode AASHTO setelah disesuaikan seperlunya dengan kondisi perkerasan di Indonesia. Dengan penyesuaian tersebut model struktur perkerasan yang digunakan dalam Metode Analisa Komponen sebagai berikut:
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
23
⎛ IPo − IPt ⎞ log ⎜ ⎟ 1 4,2 − 1,5 ⎠ ⎝ Log ( LER × 3.650 ) = 9,36 log( ITP + 2,54 ) − 3,9892 + + log( ) + 0,372 ( DDT − 3) 138 .072 FR 0, 4 + 5 ,19 (ITP + 2,54 )
Dengan:
LER ITP IPo IPt DDT
= = = = =
Lintasan Ekivalen Rencana (SS/10thn) Index Tebal Perkerasan (cm) Index Permukaan Awal Index Permukaan Akhir Daya Dukung Tanah
Nilai ITP merupakan parameter tunggal dari struktur perkerasan yang menyatakan tebal dan jenis lapisan struktur perkerasan. Tiga nilai ITP diperoleh, masing-masing berdasarkan nilai DDT dari lapisan pondasi, lapis pondasi bawah, dan tanah dasar. Nilai ITP terhadap lapis pondasi dan lapis pondasi bawah dapat dihitung hanya jika stabilitas lapisan tersebut dinyatakan dalam nilai CBR. Tebal lapisan perkerasan kemudian diperoleh dari 3 (tiga) persamaan berikut: ITP2 ITP3 ITP4
= a1 x D1 = a1 x D1 + a2 x D2 = a1 x D1 + a2 x D2 + a3 x D3
Dengan: ITP a D 1,2,3,4
= = = =
Index Tebal Perkerasan (cm) Koefisien kekuatan relatif Tebal lapisan perkerasan (cm) Index berturut-turut adalah lapis permukaan, lapis pondasi, lapis pondasi bawah dan tanah dasar.
Tabel 2.14 Tebal Perkerasan Minimum
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
24
ITP (cm) Lapisan Permukaan < 3,00 3,00 - 6,70 6,71 - 7,49 7,50 - 9,99 ≥10,00 Lapis Pondasi <3,00 3,00 - 7,49
Tebal Minimum (cm)
Bahan
5 5 8 8 10
Lapisan pelindung (Buras/Burtu/burda) Lapen/Aspal Macadam,HRA,Lasbutang,Laston Lapen/Aspal Macadam,HRA,Lasbutang,Laston Lasbutag, Laston Laston
7,50 - 9,99
15 20 10 20
10,00 - 12,24
15 20
≥ 12,25
25
Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen atau kapur Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen atau kapur Laston Atas Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen atau kapur, Pondasi Macadam Laston Atas Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen atau kapur, Pondasi Macadam,Laston Atas Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen atau kapur, Pondasi Macadam,Laston Atas
Lapis Pondasi Bawah Untuk setiap nilai ITP, bila digunakan lapis pondasi bawah, tebal minimum adalah 10 cm
Sumber: Bina Marga (1983)
Tabel 2.15 Koefisien Kekuatan Relatif Koefisien Kekuatan Relatif a1 a2 a3 0,40 0,35 0,32 0,30 0,35 0,31 0,28 0,26 0,30 0,26 0,25 0,20 0,28 0,26 0,24 0,23 0,19 0,15 0,13 0,15 0,13 0,14 0,13 0,12 0,13 0,12 0,11 0,10
SM (kg) 744 590 454 340 744 590 454 340 340 340
590 454 340 -
Kekuatan Bahan Kt (Kg/cm2) CBR(%) 22 18 22 18 100 80 60 70 50 30 20
Jenis Lapisan Perkerasan
LASTON
LASBUTAG HRA Aspal Macadam
Laston Atas LAPEN(mekanis) LAPEN(manual) Stabilisasi tanah dengan semen Stabilisasi tanah dengan kapur Batu Pecah kelas A Batu Pecah kelas B Batu Pecah kelas C Sirtu/Pitrun kelas A Sirtu/Pitrun kelas B Sirtu/Pitrun kelas C Lempung Kepasiran
Sumber: Bina Marga (1983)
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
25
II.4.
Perencanaan Sistem Drainase pada Pelataran Parkir
Perencanaan drainase pada suatu daerah seperti pemukiman, pertokoan, pertanian, perkebunan, bandar udara dan fasilitas umum lainnya sangat penting. Drainase yang digunakan pada tiap lahan mempunyai karakteristik yang berbeda yang harus diperhitungkan tersendiri. Fungsi utama drainase jalan adalah untuk mengumpulkan dan membuang (menyalurkan) air permukaan maupun air bawah permukaan melalui saluran di sekeliling pelataran parkir. Saluran yang mengalirkan air pada suatu permukaan bebas disebut saluran terbuka. Saluran terbuka dapat digolongkan menjadi saluran alam (natural) dan saluran buatan (artficial). Saluran alam meliputi semua alur alir yang terdapat secara alamiah di bumi, mulai dari anak selokan di pegunungan, selokan kecil, kali, sungai kecil, dan sungai besar sampai ke muara sungai. Saluran buatan merupakan saluran yang dibuat oleh manusia, seperti saluran pelayaran, saluran pembangkit tenaga listrik, saluran irigasi dan talang, parit pembuangan, pelimpah tekanan, saluran banjir, selokan, termasuk juga saluran drainase pada tempat parkir. Volume air yang jatuh pada daerah tangkapan tersebut merupakan faktor utama dalam penentuan dimensi dan bentuk penampang saluran drainase. Pembuatan sistem drainase dilakukan agar air hujan di tempat pakir tidak menggenang dan tidak merusak lapisan perkerasan yang ada sehingga para pengguna parkir dapat merasa nyaman pada saat memarkirkan kendaraannya. Dalam perencanaan drainase ini yang terpenting adalah saluran pembuang air dari tempat parkir harus direncanakan dengan tepat sehingga dapat menampung besarnya volume air yang ada. Drainase pada pelataran parkir diletakkan pada tepi sekeliling pelataran parkir dan samping jalan (di sisi kiri dan kanan badan jalan). Tujuan dari pembuatan suatu drainase pelataran parkir diantaranya adalah seperti yang diuraikan di bawah ini: 1. Mencegah terjadinya genangan yang dapat merusak kondisi pelataran parkir sehingga mengurangi kenyamanan pengguna parkir. 2. Mencegah timbulnya gelombang pada perkerasaan fleksibel. 3. Mencegah berkurangnya kekuatan bahan-bahan penutup. 4. Menjaga kadar air tanah pada badan/pondasi jalan agar mencapai umur rencana yang diharapkan. 5. Mengurangi perubahan volume tanah dasar. 6. Mencegah terjadinya erosi tanah. Pada jalan sirkulasi pada pelataran parkir, saluran drainase dibuat di samping badan jalan. Fungsi saluran drainase adalah: 1. Menampung dan membuang air yang berasal dari permukaan jalan.
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
26
2. Menampung dan membuang air yang berasal dari daerah pengaliran sekitar jalan untuk nantinya dapat disalurkan ke drainase alam (sungai). Bila didasarkan pada cakupan layanannya, sistem drainase dapat dibedakan dalam dua jenis sistem, yaitu: 1. Drainase Bangunan Drainase bangunan merupakan fasilitas yang hanya malayani pembuangan air hujan yang jatuh di atas bangunan itu sendiri. Dengan demikian daerah tangkapan air drainase tersebut adalah bangunan itu sendiri. Sebagai contoh, bangunan yang dilayani oleh sistem drainase seperti ini antara lain jembatan, jalan raya, tempat parkir kendaraan, bangunan kantor, rumah, dll. Tahapan perencanaan drainase bangunan ini adalah: i. Tentukan daerah tangkapan air dari sistem drainase yang direncanakan. ii. Hitung luas daerah tangkapan air. iii. Tentukan karakteristik DTA/DAS sistem drainase tersebut untuk memperoleh koefisien run-off. iv. Hitung hujan rencana dengan periode ulang yang disyaratkan. v. Hitung beban limpahan drainase. 2. Drainase Lahan Drainase Lahan merupakan fasilitas yang melayanai pembuangan air hujan yang berasal dari suatu lahan yang ditentukan batasannya. Dengan demikian daerah tangkapan air dari sistem ini mencakup tidak saja areal dari lahan itu sendiri tetapi juga areal dari lahan yang pengalirannya mempengaruhi direct run-off dari areal tersebut diatas. DTA dari sistem drainase lahan jauh lebih luas dan kompleks dari drainase bangunan. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam merencanakan desain saluran drainase, antara lain: a. Perhitungan Dimensi Saluran Drainase Secara garis besar, perencanaan saluran drainase meliputi 3 (tiga) tahap berikut: i. Analisis hidrologi ii. Perhitungan hidrolika iii. Gambar rencana b. Bahan Bangunan Saluran Drainase Pemilihan jenis material untuk saluran drainase umumnya ditentukan oleh besarnya kecepatan rencana maksimum aliran air yang akan melewati saluran drainase sehingga jenis material dapat dilihat pada Tabel 2.16 berikut ini. Tabel 2.16 Kecepatan Aliran Air yang Diizinkan Berdasarkan Jenis Material
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
27
Jenis Material Pasir halus Lempung Kepasiran Lanau Aluvial Kerikil Halus Lempung Kokoh Lempung Padat Kerikil Kasar Batu-batu Besar Pasangan Batu Beton Beton Bertulang
Kecepatan Aliran Air yang Diizinkan (m/detik) 0,45 0,50 0,50 0,75 0,75 1,10 1,20 1,50 1,50 1,50 1,50
Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003)
Kecepatan aliran air ditentukan oleh sifat hidrolis penampang saluran, salah satunya adalah kemiringan saluran. Dari Tabel 2.16 dapat dilihat hubungan antara kemiringan maksimum saluran drainase dengan jenis material yang digunakan.
Tabel 2.17 Hubungan Kemiringan Maksimum Saluran Drainase (i) dan Jenis Material Jenis Material
Kemiringan Maksimum Saluran Drainase i (%)
Tanah Asli Pasir halus Napal Kepasiran Lanau Aluvial Kerikil Halus Lempung Padat / Kokoh Kerikil Kasar Batu-batu Besar Pasangan: Pasangan Batu Beton Beton Bertulang
0–5
5 – 10
10
Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003)
c. Penampang Melintang Saluran Pemilihan tipe penampang melintang saluran drainase didasarkan atas: i. Kondisi tanah. ii. Kedudukan muka air tanah. iii. Kecepatan aliran air. II.4.1.
Karakteristik Hujan
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
28
Hujan memiliki berbagai faktor yang akan menentukan besarnya debit aliran air yang harus dibuang/dialirkan, dan nantinya dengan besar debit aliran tersebut kita dapat merencanakan desain saluran drainasenya. Beberapa faktor hujan yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut: a. Durasi Durasi hujan adalah lama kejadian hujan (menitan, jam-jaman, harian) diperoleh terutama dari hasil pencatatan alat pengukur hujan otomatis. Dalam perencanaan drainase durasi hujan ini sering dikaitkan sengan waktu konsentrasi, khususnya pada drainase perkotaan diperlukan durasi yang relatif pendek, mengingat akan toleransi terhadap lamanya genangan. b. Intensitas Curah Hujan Intenstas adalah jumlah hujan yang dinyatakan dalam tinggi hujan atau volume hujan tiap satuan waktu. Besarnya intensitas hujan berbeda-beda, tergantung dari lamanya hujan dan frekuensi kejadiannya. Intensitas hujan diperoleh dengan melakukan analisis data hujan baik secara statistik maupun secara empiris. Intensitas curah hujan (I) mempunyai satuan mm/jam, yang artinya tinggi curah hujan yang terjadi sekian milimeter dalam kurun waktu setiap jamnya. c. Lengkung Intensitas (Kurva Basis) Lengkung Intensitas adalah grafik yang menyatakan hubungan antara intensitas hujan dengan durasi hujan, hubungan tersebut dinyatakan dalam bentuk intensitas hujan dengan kala ulang hujan tertentu. Pada Gambar 2.7 merupakan contoh lengkung intensitas hujan untuk beberapa macam kala ulang hujan menurut Haspers.
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
29
Sumber: Direktorat Perguruan Tinggi Swasta (1997)
Gambar 2.7 Kurva Basis Intensitas Hujan Menurut Haspers
Dari kurva tersebut dapat digunakan untuk merencanakan saluran drainase dengan memilih kurva yang sesuai dengan besar tahun rencana.
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
30
Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003)
Gambar 2.8 Kurva Basis Intensitas Hujan Menurut van Breen
d. Waktu Konsentrasi (T) Waktu yang dibutuhkan untuk mengalirkan air dari titik yang paling jauh pada daerah aliran ke titik kontrol yang ditentukan di bagian hilir suatu saluran. Waktu konsentrasi adalah waktu yang diperlukan untuk mengalirkan air dari titik yang paling jauh pada daerah aliran ke titik kontrol yang ditentukan di bagian hilir suatu saluran. Pada prinsipnya waktu konsentrasi dapat dibagi menjadi: i. Inlet time (to), yaitu waktu yang diperlukan oleh air untuk mengalir di atas permukaan tanah menuju saluran drainase. ii. Conduit time (td), yaitu waktu yang diperlukan oleh air untuk mengalir di sepanjang saluran sampai titik kontrol yang ditentukan dibagian hilir. Waktu konsentrasi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: tc = to + td to = td =
⎛2 nd ⎞ ⎜⎜ × 3,28 × Lo × ⎟⎟ s⎠ ⎝3 L 60 V
0 ,167
Keterangan: tc = waktu konsentrasi (menit) to = waktu inlet (menit) td = waktu aliran (menit) Lo = jarak titik terjauh ke fasilitas drainase (m) L = panjang saluran (m) nd = koefisien hambatan (lihat Tabel 2.18) s = kemiringan daerah pengaliran v = kecepatan air rata-rata pada drainase (m/det) Lama waktu mengalir di dalam saluran (td) ditentukan dengan rumus sesuai dengan kondisi salurannya. Untuk saluran alami, sifat-sifat hidroliknya sukar ditentukan, maka td ditentukan dengan menggunakan perkiraan kecepatan air pada tabel. Pada saluran buatan nilai kecepatan aliran dapat dimodifikasi berdasarkan nilai kekasaran dinding saluran menurut Manning, Chezy atau yang lainnya. Tabel 2.18 Hubungan Kondisi Permukaan dengan Koefisisen Hambatan Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
31
No. 1 2 3 4 5 6 7
Kondisi Lapis Permukaan Lapisan semen dan aspal beton Permukaan licin dan kedap air Permukaan licin dan kokoh Tanah dengan rumput tipis dan gundul dengan permukaan sedikit kasar Padang rumput dan rerumputan Hutan gundul Hutan rimbun dan hutan gundul rapat dengan hamparan rumput jarang sangat rapat
nd 0,013 0,020 0,100 0,200 0,400 0,600 0,800
Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003)
Waktu konsentrasi besarnya sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut ini : i. Luas daerah pengaliran, ii. Panjang saluran drainase, iii. Kemiringan dasar Saluran, iv. Debit dan kecepatan aliran. Dalam perencanaan drainase waktu konsentrasi sering dikaitkan dengan durasi hujan, karena air yang melimpas mengalir di permukaaan tanah dan saluran drainase akibat adanya hujan selama waktu konsentrasi. II.4.2. Analisis Hidrologi Analisis hidrologi dilakukan atas dasar data curah hujan (maksimum), topografi daerah, karakteristik daerah pengaliran serta frekuensi banjir rencana. Hasil analisis hidrologi adalah besarnya debit air yang harus ditampung oleh saluran drainase. Selanjutnya atas dasar debit yang kita peroleh maka dimensi saluran drainase dapat kita rencanakan berdasarkan analisis perhitungan hidrolika. Curah hujan maksimum diperlukan dalam menentukan beban drainase suatu lahan yang akan dikaji, yang akhirnya akan mempengaruhi jaringan tata air. Penentuan curah hujan maksimum dengan periode ulang tertentu dapat menggunakan Metode Distribusi Normal. Metode Log Normal, Metode Gumbel, Metode Log Pearson III. a. Metode Distribusi Normal f ( x) =
⎡ 1 ⎛ x − μ ⎞2 ⎤ 1 exp ⎢− ⎜ ⎟ ⎥ σ 2π ⎣⎢ 2 ⎝ σ ⎠ ⎦⎥
Dengan: = standar deviasi σ μ = rata-rata b. Metode Distribusi Log Normal Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
32
Penentuan curah hujan maksimum dengan menggunakan distribusi log normal, setiap data dikonversikan menjadi bentuk logaritma. Curah hujan pada periode tertentu (Tr) dapat diperoleh dari persamaan:
⎡ 1 ⎛ x − μ ⎞2 ⎤ 1 n ⎟⎟ ⎥ exp⎢− ⎜⎜ f ( x) = 2 σ σ 2π ⎢⎣ n ⎝ ⎠ ⎥⎦ Dengan: σn = standar deviasi untuk y = ln x
μn
= rata-rata deviasi untuk y = ln x
c. Metode Gumbel Menurut Gumbel curah hujan untuk suatu periode tertentu (Tr) dapat diperoleh dari persamaan: y − yN X tr = X rata − rata + T S SN Dengan:
KT = −
⎡ ⎛ Tr ⎞⎤ ⎫ 6⎧ ⎟⎥ ⎬ ⎨0.5772 + ln ⎢ln⎜ n ⎩ ⎣ ⎝ Tr − 1 ⎠⎦ ⎭
⎡ ⎛ Tr ⎞⎤ y T = reduced var iate = − ln ⎢ln⎜ ⎟⎥ ⎣ ⎝ Tr − 1 ⎠⎦ YN = reduced mean SN = reduced standar deviasi Tabel 2.19 Reduced Mean YN n 10 20 30 40 50
0 0,4952 0,5236 0,5362 0,5436 0,5485
1 0,4996 0,5252 0,5371 0,5442 0,5489
2 0,5035 0,5268 0,5380 0,5448 0,5493
3 0,5070 0,5283 0,5388 0,5453 0,5497
4 0,5100 0,5296 0,5396 0,5458 0,5501
5 0,5128 0,5300 0,5400 0,5468 0,5504
6 0,5157 0,5820 0,5410 0,5468 0,5508
7 0,5181 0,5882 0,5418 0,5473 0,5511
8 0,5202 0,5343 0,5424 0,5477 0,5515
9 0,5220 0,5335 0,5430 0,5481 0,5518
60 70 80 90 100
0,5521 0,5548 0,5569 0,5586 0,5600
0,5524 0,5550 0,5570 0,5587
0,5527 0,5552 0,5572 0,5589
0,5530 0,5555 0,5574 0,5591
0,5533 0,5557 0,5576 0,5592
0,5535 0,5559 0,5780 0,5593
0,5538 0,5561 0,5580 0,5595
0,5540 0,5563 0,5581 0,5596
0,5543 0,5565 0,5583 0,5598
0,5545 0,5567 0,5585 0,5599
Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003)
Tabel 2.20 Reduced Standar Deviasi SN
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
33
n 10 20 30 40 50
0 0,9496 1,0628 1,1124 1,1413 1,1607
1 0,9676 1,0696 1,1159 1,1436 1,1623
2 0,9833 1,0754 1,1193 1,1458 1,1638
3 0,9971 1,0811 1,1226 1,1480 1,1658
4 1,0095 1,0864 1,1255 1,1499 1,1667
5 1,0206 1,0915 1,1285 1,1519 1,1681
6 1,0316 1,0961 1,1313 1,1538 1,1696
7 1,0411 1,1044 1,1339 1,1557 1,1708
8 1,0493 1,1047 1,1363 1,1574 1,1721
9 1,0565 1,1080 1,1388 1,1590 1,1734
60 70 80 90 100
1,1747 1,1854 1,1938 1,2007 1,2065
1,1759 1,1863 1,1945 1,2013
1,1770 1,1873 1,1953 1,2026
1,1782 1,1881 1,1959 1,2032
1,1793 1,1890 1,1967 1,2038
1,1803 1,1898 1,1973 1,2044
1,1814 1,1906 1,1980 1,2044
1,1824 1,1915 1,1987 1,2049
1,1834 1,1923 1,1994 1,2055
1,1844 1,1930 1,2001 1,2060
Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003)
d. Metode Log Pearson III Menurut Log Pearson III curah hujan untuk suatu periode tertentu (Tr) dapat diperoleh dari persamaan:
log xT = log x + K T S log x Dengan: kTr = Cs
=
Slog xi
=
koefisien yang merupakan fungsi dari Cs
∑ (log x
i
− log x t
)
3
(n − 1) × (n − 2) × S log xi
2
standar deviasi log xi
Tabel 2.21 Faktor Frekuensi KT untuk Distribusi Log-Pearson Type III dengan Cs≥0
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
34
Koef Skew 3,0 2,9 2,8 2,7 2,6 2,5 2,4 2,3 2,2 2,1 2,0 1,9 1,8 1,7 1,6 1,5 1,4 1,3 1,2 1,1 1,0 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0,0
1,01 -0,667 -0,690 0,714 -0,740 -0,769 -0,799 -0,832 -0,867 -0,905 -0,946 -0,990 -1,037 -1,087 -1,140 -1,197 -1,256 -1,318 -1,383 -1,449 -1,518 -1,588 -1,660 -1,733 -1,806 -1,880 -1,550 -2,029 -2,104 -2,178 -2,252 -2,326
2 -0,396 -0,390 -0,384 -0,376 -0,368 -0,360 -0,351 -0,341 -0,330 -0,319 -0,307 -0,294 -0,282 -0,268 -0,254 -0,240 -0,225 -0,210 -0,195 -0,180 -0,164 -0,148 -0,132 -0,116 -0,099 -0,083 -0,066 -0,050 -0,033 -0,017 0,000
Kala-Ulang (Tahun) 5 10 25 0,420 1,180 2,278 0,440 1,195 2,227 0,460 1,210 2,275 0,479 1,224 2,272 0,499 1,238 2,267 0,518 1,250 2,262 0,537 1,262 2,256 0,555 1,274 2,248 0,574 1,284 2,240 0,592 1,194 2,230 0,609 1,302 2,219 0,627 1,310 2,207 0,643 1,318 2,193 0,660 1,324 2,179 0,675 1,329 2,163 0,690 1,333 1,146 0,705 1,337 2,128 0,719 1,339 2,108 0,732 1,340 2,087 0,745 1,341 2,066 0,758 1,340 2,043 0,769 1,339 2,018 0,780 1,336 1,993 0,790 1,333 1,967 0,800 1,328 1,939 0,808 1,323 1,910 0,816 1,317 1,880 0,824 1,309 1,849 0,830 1,301 1,818 0,836 1,292 1,785 0,842 1,282 1,751
50 3,152 3,134 3,114 3,093 3,071 3,048 3,023 2,997 2,970 2,942 2,912 2,881 2,848 2,815 2,780 2,743 2,706 2,666 2,626 2,585 2,542 2,498 2,453 2,407 2,359 2,231 2,261 2,211 2,159 2,107 2,054
100 4,051 4,013 3,973 3,932 3,889 3,845 3,800 3,753 3,705 3,656 3,605 3,553 3,499 3,444 3,388 3,330 3,271 3,211 3,149 3,087 3,022 2,957 2,891 2,824 2,755 2,686 2,615 2,544 2,472 2,400 2,326
200 4,970 4,904 4,847 4,783 4,718 4,652 4,584 4,515 4,444 4,372 4,298 4,223 4,147 4,069 3,990 3,910 3,828 3,745 3,661 3,675 3,489 3,401 3,312 3,223 3,132 3,041 2,949 2,856 2,763 2,670 2,576
Sumber: Harto (1993)
Tabel 2.22 Faktor Frekuensi KT untuk Distribusi Log-Pearson Type III dengan Cs≤0 Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
35
Koef Skew 0,0 -0,1 -0,2 -0,3 -0,4 -0,5 -0,6 -0,7 -0,8 -0,9 -1,0 -1,1 -1,2 -1,3 -1,4 -1,5 -1,6 -1,7 -1,8 -1,9 -2,0 -2,1 -2,2 -2,3 -2,4 -2,5 -2,6 -2,7 -2,8 -2,9 -3,0
1,01 -2,326 -2,400 -2,472 -2,544 -2,615 -2,686 -2,755 -2,824 -2,891 -2,957 -3,022 -3,087 -3,149 -3,211 -3,271 -3,330 -3,388 -3,444 -3,499 -3,553 -3,065 -3,656 -3,705 -3,753 -3,800 -3,845 -3,889 -3,932 -3,973 -4,013 -4,051
2 0,000 -0,017 -0,033 -0,050 -0,066 -0,083 -0,099 -0,116 -0,132 -0,148 -0,164 -0,180 -0,195 -0,210 -0,225 -0,240 -0,254 -0,268 -0,282 -0,294 -0,307 -0,319 -0,330 -0,341 -0,351 -0,360 -0,368 -0,376 -0,384 -0,390 -0,396
Kala-Ulang (Tahun) 5 10 25 0,842 1,282 1,751 0,846 1,270 1,716 0,850 1,258 1,680 0,853 1,245 1,643 0,855 1,231 1,606 0,856 1,216 1,567 0,857 1,200 1,528 0,857 1,183 1,488 0,856 1,166 1,448 0,854 1,147 1,407 0,852 1,128 1,366 0,848 1,107 1,324 0,844 1,086 1,282 0,838 1,064 1,240 0,832 1,041 1,198 0,825 1,018 1,157 0,817 0,994 1,116 0,808 0,970 1,075 0,799 0,945 1,035 0,788 0,920 0,996 0,777 0,895 0,959 0,865 0,869 0,923 0,752 0,844 0,888 0,739 0,819 0,955 0,725 0,795 0,923 0,711 0,771 0,793 0,696 0,747 0,764 0,681 0,724 0,738 0,666 0,702 0,712 0,651 0,681 0,683 0,636 0,660 0,666
50 2,054 2,000 1,945 1,890 1,834 1,777 1,720 1,663 1,606 1,549 1,492 1,435 1,379 1,324 1,270 1,217 1,166 1,116 1,069 1,023 0,980 0,939 0,900 0,864 0,830 0,798 0,768 0,740 0,714 0,689 0,666
100 2,326 2,252 2,178 2,104 2,029 1,955 1,880 1,806 1,733 1,660 1,588 1,518 1,449 1,383 1,318 1,256 1,197 1,140 1,087 1,037 0,990 0,946 0,905 0,867 0,832 0,799 0,769 0,740 0,714 0,690 0,667
200 2,576 2,482 2,388 2,294 2,201 2,108 2,016 1,926 1,837 1,749 1,664 1,581 1,501 1,424 1,351 1,282 1,216 1,155 1,097 1,044 0,995 0,949 0,907 0,869 0,833 0,800 0,769 0,741 0,714 0,690 0,667
Sumber: Harto (1993)
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
36
Lebih jelasnya, proses perencanaan saluran drainase dapat dilihat pada diagram perhitungan debit aliran di bawah ini.
Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003)
Gambar 2.9 Diagram Alir Perhitungan Debit Aliran
Langkah berikutnya adalah menentukan besar debit air hujan yang akan dibuang. Biasanya rumus yang digunakan adalah Rational Formula sebagai berikut: Q =
1 C .I . A 3,6
Dengan: Q = Debit (m3/menit) C = Koefisien pengaliran, seperti pada Tabel 2.22. I = Intensitas hujan (mm/jam) dihitung selama waktu konsentrasi (Tc) untuk periode banjir rencana. A = Luas daerah pengaliran (km2) Koefisisen Pengaliran (C) adalah koefisisen yang besarnya tergantung pada kondisi permukaan tanah, kemiringan medan, jenis tanah, lamanya hujan di daerah pengaliran.
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
37
Tabel 2.23 Koefisien Pengaliran (C) Kondisi Permukaan Tanah BAHAN 1 Jalan beton dan jalan aspal 2 Jalan kerikil dan jalan tanah 3 Bahu jalan : - Tanah berbutir halus - Tanah berbutir kasar - Batuan masif keras - Batuan masif lunak GUNA LAHAN 4 Daerah perkotaan 5 Daerah pinggir kota 6 Daerah industri 7 Permukiman padat 8 Permukiman tidak padat 9 Taman & kebun 10 Persawahan 11 Perbukitan 12 Pengunungan
Koefisien Pengaliran (C)
Faktor Keamanan
0,70 – 0,95 0,40 – 0,70
-
0,40 – 0,65 0,10 – 0,20 0,70 – 0,85 0,60 – 0,75
-
0,70 – 0,95 0,60 – 0,70 0,60 – 0,90 0,60 – 0,80 0,40 – 0,80 0,20 – 0,40 0,45 – 0,60 0,70 – 0,80 0,75 – 0,90
2,0 1,5 1,2 2,0 1,5 0,2 0,5 0,4 0,3
Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003)
Faktor keamanan merupakan faktor atau angka yang dikalikan dengan koefisien run-off biasa dengan tujuan agar kinerja saluran tidak melebihi kapasitasnya akibat daerah pengaliran yang terlalu luas. Harga keamanan ini disesuaikan dengan kondsisi permukaan tanah. Frekuensi banjir rencana ditetapkan berdasarkan pertimbangan kemungkinankemungkinan kerusakan terhadap bangunan-bangunan di sekitar jalan akibat banjir. Dalam tugas akhir ini, frekuensi banjir rencana yang digunakan adalah 10 tahun. Luas daerah pengaliran (A) adalah luas daerah yang dilayani oleh suatu saluran drainase. II.4.3. Perencanaan Penampang Saluran Drainase Setelah berbagai parameter desain saluran drainase didapatkan, selanjutnya kita bisa menghitung dimensi saluran drainasenya. Rumus umum yang dipakai untuk menghitung dimensi adalah sebagai berikut:
Q v Keterangan: F = luas penampang basah (m2) Q = debit (m3/detik) v = kecepatan aliran (m/detik) F =
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
38
Kecepatan aliran (v) dapat dihitung dengan menggunakan Rumus Manning: v =
1 2 3 12 R i n
Keterangan : v = kecepatan aliran n = koefisien kekasaran dinding menurut Manning F = jari-jari hidraulis R = P F = luas penampang basah (m2) P = keliling penampang basah (m) i = kemiringan saluran drainase (%) Harga koefisien kekasaran dinding (n) menurut Manning bisa dilihat dari Tabel 2.23 di bawah ini. Tabel 2.24 Koefisien Kekasaran Manning Tipe Saluran
Kondisi Sangat Baik
Baik
Cukup
Buruk
- Saluran Buatan 1 Saluran tanah, lurus beraturan 2 Saluran tanah, digali biasa 3 Saluran batuan, tidak lurus dan tidak beraturan 4 Saluran batuan, lurus beraturan 5 Saluran batuan, vegetasi pada sisinya 6 Dasar tanah, sisi batuan koral 7 Saluran berliku-liku, kecepatan rendah
0,017 0,023 0,035 0,020 0,025 0,028 0,020
0,020 0,028 0,040 0,030 0,030 0,030 0,025
0,023 0,030 0,045 0,033 0,035 0,033 0,028
0,250 0,025 0,045 0,035 0,040 0,035 0,030
- Saluran Alam 8 Bersih, lurus, tetapi tanpa pasir dan tanpa celah 9 Berliku, bersih, tetapi berpasir dan kerikil 10 Melengkung, bersih, berlubang, berdinding pasir 11 Seperti no.10, dangkal, tidak teratur 12 Seperti no.10, berbatu, ada tumbuh-tumbuhan 13 Seperti no.11, sebagian berbatu 14 Aliran lambat, banyak tanaman, dan lubang dalam 15 Banyak tumbuh-tumbuhan
0,025 0,030 0,030 0,040 0,035 0,045 0,050 0,075
0,028 0,033 0,035 0,045 0,040 0,050 0,060 0,100
0,030 0,035 0,040 0,050 0,045 0,055 0,070 0,125
0,033 0,040 0,045 0,055 0,050 0,060 0,080 0,150
- Saluran dilapisi 16 Pasangan batu, tanpa adukan semen 17 Seperti no.16, tapi dengan penyelesaian 18 Saluran beton 19 Saluran beton halus dan rata 20 Saluran beton pracetak dengan acuan baja 21 Saluran beton pracetak dengan acuan kayu
0,025 0,017 0,014 0,010 0,013 0,015
0,033 0,020 0,016 0,011 0,014 0,016
0,033 0,025 0,019 0,012 0,014 0,016
0,035 0,030 0,021 0,013 0,015 0,018
Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003)
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
39
Untuk lebih jelasnya, perhitungan dimensi saluran drainase dapat dilihat pada diagram alir di bawah ini.
Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003)
Gambar 2.10 Diagram Alir Perhitungan Dimensi Saluran
Unsur-unsur geometrik panampang saluran merupakan suatu sifat penampang saluran yang dapat diuraikan seluruhnya berdesarkan geometri penampang dan kedalaman aliran. Definisi beberapa unsur geometrik dasar pada saluran: a. Kedalaman aliran y (depth of flow) adalah jarak vertikal titik terendah pada suatu penampang saluran sampai ke permukaan bebas. Istilah ini sering disamakan dengan kedalaman penampang aliran d (depth of flow section). Tepatnya, kedalaman penampang aliran, tegak lurus arah aliran, atau tinggi penampang saluran yang diliputi air. Untuk saluran dengan kemiringan θ, dapat dilihat bahwa kedalaman aliran sama dengan kedalaman penampang aliran dibagi dengan cosθ. Sebab itu untuk saluran terjal, kedua istilah ini harus dibedakan pemakaiannya. b. Lebar puncak (top width) T adalah lebar penampang saluran pada permukaan bebas.
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
40
c. Taraf (stage) adalah elevasi atau jarak vertikal dari permukaan bebas di atas suatu bidang persamaan. Bila titik terendah dari penampang saluran dipilih sebagai sebagai bidang persamaan, taraf ini sama dengan kedalaman aliran. d. Luas basah (water area) A adalah luas penampang melintang aliran yang tegak lurus arah aliran. e. Keliling basah (wetted perimeter) P adalah panjang garis perpotongan dari permukaan basah saluran dengan bidang penampang melintang yang tegak lurus arah aliran. f. Jari-jari hidraulik (hydraulic radius) R adalah rasio luas basah dengan keliling basah R=
A . P
Penampang saluran drainase buatan biasanya dirancang berdasarkan bentuk geometris yang umum. Bentuk saluran geometris tersebut biasa dipakai dalam perencanaan penampang saluran. Bentuk umum yang sering dipakai untuk saluran berdinding tanah yang tidak dilapisi adalah trapesium. Bentuk persegi dan segitiga adalah bentuk khusus selain bentuk trapesium. Bentuk persegi panjang biasanya dipakai untuk saluran yang dibangun untuk dengan bahan yang stabil, seperti pasangan batu, padas, logam, dan kayu. Untuk penampang segitiga pada umumnya dipakai untuk saluran kecil, selokan dan penyelidikan di laboratorium. Penampang lingkaran banyak dipakai untuk saluran pembuang air kotor dan gorong-gorong.
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
41
Beberapa jenis penampang saluran drainase dapat dilihat pada Tabel 2.25. Tabel 2.25 Jenis Penampang Saluran Drainase
Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003)
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
42
II.4.4. Gorong-gorong Dalam sistem drainase pelataran parkir BIJB ini, ada beberapa saluran yang memotong jalan sirkulasi di dalam pelataran parkir, sehingga membutuhkan gorong-gorong untuk saluran drainase ini. Berikut akan dijelaskan berbagai hal mengenai gorong-gorong ini. a. Fungsi Mengalirkan air dari sisi jalan ke sisi lainnya. Untuk itu desainnya juga harus mempertimbangkan faktor hidrolis dan struktur supaya gorong-gorong dapat berfungsi mengalirkan air dan mempunyai daya dukung terhadap beban lalu lintas dan timbunan tanah. b. Tipe / Jenis Konstruksi Disarankan dibuat dengan tipe konstruksi yang permanen (pipa beton, kotak beton, pasangan batu) dan desain umur rencana 10 tahun. c. Komposisi Gorong-gorong Bagian utama gorong-gorong terdiri atas: i. Pipa : kanal air utama ii. Tembok kepala : tembok yang menopang ujung gorong-gorong dan lereng jalan. Tembok penahan yang dipasang bersudut dengan tembok kepala, untuk menahan bahu dan kemiringan jalan. iii. Apron (dasar) : lantai dasar dibuat pada tempat masuk untuk mencegah terjadinya erosi dan dapat berfungsi sebagai dinding penyekat lumpur. Bentuk gorong-gorong umumnya tergantung pada tempat yang ada dan tingginya timbunan. d. Penempatan Gorong-gorong Dalam perencanaan jalan, penempatan dan penentuan jumlah gorong-gorong harus diperhatikan terhadap fungsi dan medan setempat. Agar dapat berfungsi dengan baik, maka gorong-gorong ditempatkan pada: i. Lokasi jalan yang memotong aliran air. ii. Daerah cekung, tempat air dapat menggenang. iii. Tempat kemiringan jalan yang tajam tempat air dapat merusak lereng dan badan jalan. iv. Kedalaman gorong-gorong yang aman terhadap permukaan jalan minimum 60 cm.
Selain itu juga harus memperhatikan faktor-faktor lain sebagai bahan pertimbangan, yaitu: a. Aliran air alamiah b. Tempat air masuk c. Sudut yang tajam pada bagian pengeluaran (outlet) Dengan memperhatikan faktor tersebut maka penempatan gorong-gorong disarankan untuk daerah datar. Disarankan dengan jarak maksimum 300 m.
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
43
e. Dimensi Gorong-gorong Untuk menentukan dimensi gorong-gorong dapat menggunakan rumus: i. Rumus Rasional 1 Q = C .I . A 3,6 ii. Rumus Manning (pendekatan lain untuk menentukan ukuran gorong-gorong) V =
II.5.
1 2 3 12 R i n
Perencanaan Biaya Konstruksi Pelataran Parkir
Kegiatan konstruksi merupakan kegiatan yang berjalan secara dinamis dan bertahap serta saling berkaitan. Kegiatan konstruksi biasanya dimulai dari adanya suatu kebutuhan, yang kemudian dilanjutkan dengan tahap studi kelayakan (feasibility study), tahap perencanaan / perancangan (planning), tahap pengadaan, dan tahap pelaksanaan (construction), hingga tahap penggunaan (operational). Setiap tahapan dari rangkaian kegiatan memiliki rentang waktu yang berbeda dan perlu dilakukan perhitungan biaya yang akan dikeluarkan, yang biasa disebut estimasi biaya. Estimasi biaya bertujuan untuk memperkirakan dan meramalkan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan kegiatan di masa mendatang. Estimasi biaya dilakukan sejalan dengan kegiatan konstruksi, dimulai dari estimasi yang bersifat taksiran sampai estimasi yang bersifat detail pada tahap pengadaan dan pelaksanaan. Setiap tahapan memiliki metoda estimasi yang berbeda seperti pada estimasi detail (detail estimate), diawali dengan menyusun dan mengelompokkan tingkatan aktivitas pekerjaan atau WBS (Work Breakdown Structure), yang kemudian dilanjutkan perhitungan dari kuantitas pekerjaan berdasarkan gambar dan spesifikasi pekerjaan, serta melakukan analisis harga satuan pekerjaan yang terdiri atas sumber daya yang membentuk pekerjaan melingkupi biaya upah, biaya alat sesuai dengan tingkat produktivitas, biaya material, serta biaya subkontrak, dan biaya lain yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan pekerjaan. Hal yang penting dalam melakukan estimasi detail adalah mendefinisikan lingkup pekerjaan, dan melakukan pengelompokkan atas pekerjaan tersebut. Beberapa langkah dalam menyusun estimasi detail adalah: 1. Melakukan peninjauan kembali atas dokumen dan kondisi sebenarnya dari proyek seperti penjelasan dari dokumen termasuk adendum, dan kondisi lapangan serta tingkat resiko yang akan dihadapi. 2. Menguraikan dan mengelompokkan item pekerjaan. 3. Menghitung kuantitas pekerjaan sesuai dengan satuan pengukuran dan jenis pekerjaan. 4. Menghitung harga komponen biaya material, peralatan dan tenaga kerja. 5. Analisis harga yang ditawarkan oleh sub kontraktor dan supplier.
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
44
6. Menghitung besarnya biaya overhead, pajak, asuransi, dan jaminan yang diperlukan bagi proyek. 7. Biaya contingency, yang merupakan suatu resiko dari pekerjaan yang akan dilaksanakan. 8. Menghitung besarnya keuntungan yang dapat diperoleh dari proyek tersebut. Estimasi detail dilakukan pada umumnya dilakukan untuk memperoleh besarnya harga penawaran dari suatu proyek, sebagai tindakan kontrol pada saat pelaksanaan, dan untuk sebagai acuan dalam menilai tawaran diajukan kontraktor. Estimasi biaya detail dibagi menjadi dua komponen: 1. Biaya langsung Merupakan semua biaya yang menjadi komponen permanen hasil akhir proyek yang terdiri dari: i. Biaya material, ii. Biaya peralatan, iii. Biaya upah tenaga kerja, iv. Biaya sub kontraktor. 2. Biaya tidak langsung Merupakan semua biaya yang mendukung pekerjaan tetapi tidak tercantum dalam mata pembayaran dari pekerjaan seperti : i. Biaya overhead, ii. Contingencies, iii. Keuntungan (profit). Nantinya semua biaya di atas dijumlahkan sehingga besar nilai proyek konstruksi tersebut dapat diketahui. Untuk memudahkan perhitungan biaya konstruksi pelataran parkir BIJB ini, kami membuat Work Breakdown Structure (WBS) berdasarkan jenis pekerjaan, kemudian dibagi lagi berdasarkan wilayah pekerjaannya. Hal ini dilakukan agar pelaksanaannya pekerjaan lebih mudah dan sederhana sehingga tidak saling menumpuk untuk satu jenis pekerjaan.
Indra Susatyo - 15003011 Bagja Munggaran - 15003081
45
Berikut ini adalah WBS proyek BIJB yang kami lakukan. Namun untuk tugas akhir ini nanti akan kami lebih fokuskan hanya pada pelataran parkir untuk perhitungan detail biaya yang dibutuhkan untuk membuat pelataran parkir.
Gambar 2.11 Work Breakdown Structure Proyek Bandara Internasional Jawa Barat
Indra Susatyo_15003011 Bagja Munggaran_15003081
46
Untuk dapat melakukan perhitungan detail biaya, data-data yang dibutuhkan antara lain: - Jumlah kuantitas pekerjaan yang dilakukan, baik dalam satuan volume, panjang, berat, maupun luas. - Lama pekerjaan, untuk menghitung biaya operasional alat maupun upah pekerja. - Daftar biaya dari Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang berlaku di wilayah tertentu, dalam hal ini berlaku di dalam wilayah Jawa Barat (RAB dari Dinas Pekerjaan Umum Jawa Barat). Untuk tugas akhir ini, kami mendapatkan data Rencana Anggaran Biaya dari Departemen Pekerjaan Umum Jawa Barat berdasarkan jenis alat, jenis bahan material, dan upah pekerja. Dari anggaran biaya, selanjutnya melakukan perhitungan yang lebih rinci berdasarkan jenis pekerjaan yang dilakukan dengan menggunakan berbagai bahan material dan alat, serta memperhitungkan upah pekerja juga.
Indra Susatyo_15003011 Bagja Munggaran_15003081
47