BAB II SADZ ADZ-DZARI'AH SEBAGAI METODE IJTIHAD
A. Sekilas Tentang Ijtihad 1. Pengertian Ijtihad Menurut bahasa, kata "ijtihad" yang mengikuti wazan "ifti'al" diderivasi dari kata "jahd" (huruf jimnya dibaca fathah), dan kata "juhd" (huruf jimnya dibaca dhammah). Kata "jahd dan juhd" merupakan bentuk "masdar" (bentuk ketiga dari deklinasi fi'il), yang berasal dari akar kata "jahada-yajhadu". Kata "jahd" dan "juhd" mempunyai arti "taqah" (kemampuan, kekuatan). Ada juga yang membedakan makna keduanya; yaitu, "jahd" berarti "masyaqqah" (kesulitan, kesukaran), sedangkan "juhd" mempunyai arti "taqah". Ibnu al-Asir berkata, kata "jahd" berarti masyaqah, ada juga yang mengartikannya dengan mubalaghah (sungguhsungguh) dan ghayah (maksimum, klimaks). Sedangkan kata "juhd" berarti "wus'u" (kemampuan, kekuatan, kesanggupan), dan "taqah". Namun, ada yang berpendapat bahwa baik kata "jahd" maupun "juhd" mempunyai arti "wus'u", dan "taqah". Apabila diartikan dengan masyaqah dan ghayah, maka huruf jimnya harus dibaca fatah (jahd). Dari beberapa arti etimologi kata jahd dan juhd, Ibnu Manzur (w. 711/1311) mengartikan kata ijtihad dan tajahud dengan: Bazl al wus'i wa al majhud (pencurahan segtala kemampuan, kekuatan, dan kesanggupan). Kata ijtihad mengikuti wazan ifti'al, hasil derifasi dari kata jahd, yang berarti taqah. Dengan mengacu
10
11
pada hadits Mu'az (ajtahidu ra'yi), maka kalimat ijtahada ra'yi al ijtihad mempunyai arti mencurahkan kemampuan untuk mencari sesuatu. Maksudnya, seorang hakim dalam memutuskan perkara yang dihadapinya itu mengacu qiyas yang mengacu pada alkitab dan Sunnah, bukan berdasarkan pendapat pribadi, yang terlepas dari keduanya.1 Dari beberapa arti tersebut dapat diartikan bahwa ijtihad secara etimologis adalah suatu kemampuan, kesanggupan, dan kerja keras untuk mendapatkan sesuatu. Pernyataan ini menunjukkan adanya pekerjaan yang sangat sulit dan berat untuk dilakukan. Al-Ghazali (w. 505/1111) menyatakan, bahwa kata ijtihad hanya dapat dipakai dalam konteks perbuatan yang didalamnya mengandung kesulitan, dan hal yang berat. Karena itu, dapat dibenarkan bila dikatakan ijtahada fi haml hajar al raha (seseorang berusaha keras untuk membawa batu penggiling). Namun tidak bisa dibenarkan bila dikatakan ijtihada fi haml khardalah (seseorang berusaha keras membawa biji-bijian). Senada dengan al Ghazali, al Razi ( w. 606/1209) juga mengemukakan arti etimologi ijtihad. Menurutnya, kata ijtihad hanya dapat dihubungkan dengan seseuatu yang berat. Sehingga dikatakan, istafragha wus'ahu fi haml al syakil (seseorang berdaya upaya membawa sesuatu yang berat), dan tidak benar bila dikatakan, istafragha wus'ahu fi haml al nawa (seseorang mencurahkan kemampuannya untuk
1
Ibnu Mandzur, Lisan al-Arabi, Juz IV, Mesir, Dar al-Misriyah, tt. hlm. 107-109
12
membawa biji-bijian). Dalam pengertian seperti inilah, kata ijtihad dan yang semusytaq dengannya dipakai dalam hadits Nabi.2 Adapun pengertian ijtihad secara terminologis menurut M. Hasbi as-Syiddiqy adalah mencurahkan segala kemampuan secara sungguhsungguh dalam mengistimbathkan hukum syar’i dari dalil syara’ (bazlul juhdi li tahsili hukmin syar’iyyin).3 Dia juga mendefinisikan ijtihad dengan menggunakan segala kemampuan untuk mencari hukum syara’ dengan jalan dzan (istifraghil wus’I li tahsili hukmin syar’iyyin bi thariqidzdznni).4 Dalam definisi yang pertama M. Hasbi As-Syiddiqy menggunakan kata bazl. Definisi ini tampaknya diambil dari pendapat al-Ghazali yang juga memakami kata Bazl dalam mendefinisikan ijtihad. Menurutnya, ijtihad dalam termininologi fuqaha adalah: Bazl al Mujtahid Wus ahu fi talab al ilm bi al ahkam al syar'iyyah (pencurahan segala kemampuan oleh seorang mujtahid untuk mencari pengetahuan tentang hukum-hukum syara'). Pemakaian kata Bazl yang digunakan al-Ghazali, diikuti oleh ushuliyun lainnya. Misalnya, Ibnu Qudamah, Al Zarkasih, Al Kamal bin Al-Humam, Muhibbullah bin Abd. Al Syakur, Abd. Al Hamid bin Muhammad Ali Quds, Abi Abdillah Muhammad bin Muhammad al Ra'ini, dan lain-lainnya.
2
M. Fauzi, “Pembaharuan Ruang Lingkup dan Syarat-syarat Ijtihad”, dalam DEkontruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, Yogyakarta: Gama Media, 2002, hlm. 176 3 M. Hasbi As-Syidiqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1996, hlm. 51 4 M. Hasbi As-Syidiqy, Pengantar Ilmu Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang, 1991, hlm 192
13
Sedangkan
dalam
definisi
kedua,
M.
Hasbi
As-Syiddiqy
nampaknya menggunakan pendapat para ushuliyin yang memilih kata istifragh dalam mendefinisikan ijtihad. Ulama-ulama tersebut adalah al Razi (w.606/1209), al Amidi (w.631/1233), al Baidhawi (w.685/1286). Berdasarkan penelitian terhadap berbagai macam definisi ijtihad, Syarif al Imari lebih setuju dengan definisi ijtihad yang dikemukakan oleh Ibn al-Humam dengan catatan menghilangkan kata faqih, sehingga definisi ijtihad
menurutnya
adalah,
mencurahkan
kemampuan
untuk
mengahasilkan hukum syara', baik yang aqli maupun naqli, qat'i maupun zanni. Definisi semacam ini lebih menunjukkan kejelasan, dan lebih umum. Karena, disamping dapat mencakup ijtihad terhadap yang qat'I dan lainnya, juga memasukkan ijtihad kolektif dan individual, dan lebih dapat diterima dibanding definisi-definisi yang lain.5 2. Syarat-syarat Ijtihad Dalam melakukan ijtihad tidak bias dilakukan oleh setiap orang. Dalam hal ini harus dipenuhi kualifikasi tertentu sehingga mampu melakukan ijtihad dengan baik dan tidak asal-asalan dengan membuat-buat hukum (tahakkum). Untuk menghindari agar proses ijtihad tidak dilakukan asal-asalan maka para ulama menetapkan beberapa syarat isjtihad yang harus dipenuhi. Dalam hal ini M. Hasbi As-Syidiqy menjelaskan beberapa syarat yang harus dipenuhi yakni:
5
Lihat M. Fauzi, Op. Cit., hlm. 177
14
a. Mengetahui ayat-ayat dan hadits-hadits hukum b. Mengetahui masalah-masalah yang telah dijma’kan oleh para ahlinya c. Mengetahui nasikh mansukh d. Mengetahui dengan sempurna bahasa Arab dan ilmu-ilmunya e. Mengetahui Ushul Fiqh/Kaidah fiqhiyyah f. Mengetahui rahasia-rahasia tasyri’6 Syarat mengetahui ushul fiqih merupakan salah satu dari metode ijtihad yang nantinya akan digunakan untuk mengkaji dan menganalisis Kompilasi Hukum Islam, khususnya aplikasi metode sadz adz-dzari’ah. Dalam kajian ushul fiqh, banyak sekali metode yang dapat digunakan dalam melakukan istimbath hukum sebagai bagian dari kegiatan ijtihad yakni, qiyas, maslahat mursalah, istihsan, istishab, al-‘adah, al-‘urf, sadz adz-dzari’ah dan lainnya. Masing-masing dari metode ijtihad tersebut lengkap dengan pengertian, kehujjahannya dan aplikasi konkrit dalam melakukan istimbat. Namun kaitannya dengan penelitian ini hanya akan dielaborasi tentang sadz adz-dzari’ah. 3. Macam-macam Ijtihad Menurut Prof. Tengku M. Hasbi As-Syiddiqy, macam-macam ijtihad adalah:7 a. Ijtihad dalam merumuskan hukum yang dikehendaki oleh nash yang bersifat dzanniyutstsubut maupun dzanniyuddalalah. Dalam hal ini
6 7
193
M. Hasby As-Syiddiqy, Pengantar Hukum Islam,Op. Cit., hlm.96-98 M. Hasby As-Syiddiqy, Pengantar Ilmu Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang, 1991, hlm. 192-
15
ijtihad dilakukan dalam batas memahami nash dan mentarjihnya sebagian atas yang lain, seperti mengetahui sanad nash dan jalannya. b. Ijtihad dalam merumuskan hukum yang tidak ada nash qathi, nash dzanni dan tidak ada ijma’. Dalam hal ini ijtihad diperoleh dengan berpegang pada tanda-tanda dan wasilah-wasilah yang telah diletakkan oleh syara’ seperti qiyas dan istihsan. Inilah yang disebut ijtihad bir ra’yi. c. Ijtihad untuk memperoleh hukum syara’ dengan jalan menerapkan kaidah-kaidah kulliyah. Ijtihad ini berlaku dalam bidang yang mungkin diambil dari kaidah-kaidah dan nash-nash yang kulliyah, tidak ada nash tertentu, dan tidak pula ditetapkan dengan qiyas maupun istihsan. Hal ini sebenranya kembali kepada mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemafsadatanb, sesuai dengan kaidah-kaidah syara’. Adapun mengenai jumlah orang yang melakukan, ijtihad dapat dibedakan menjadi dua yakni ijtihad fardi dan ijtihad jama’i. Ijtihad fardli dilakukan secara individual oleh satu orang yang menguasai kualifikasi ijtihad dan mumpuni keintelektualannya. Salah satu contohnya adalah ijtihad yang dilakukan oleh para imam mazhab. Sedangkan ijtihad jama’i adalah ijtihad yang dilakukan oleh beberapa orang yang mempunyai banyak keahlian yang beragam baik mengenai fiqih, tafsir, ushul fiqh, kaidah fiqhiyyah, hadits, bahasa Arab, maupun para ahli lain di luar wilayah ilmu-ilmu keagamaan yang sengaja diundang untuk menjelaskan masalah yang akan dikaji secara detail. Misalnya ahli bidang kedokteran,
16
makanan, gizi, sosial, hukum, dan politik. Ijtihad model ini saat ini seringkali dikemandangkan dalam menjawab persoalan hukum Islam kontemporer.
B. Sadz Adz-dzari’ah Sebagai Metode Ijtihad 1. Pengertian Sadz Adz-Dzari’ah Secara etimologi, dzariah ( ) ﺍﻟﺩﺭﻴﻌـﺔberarti jalan yang menuju pada sesuatu. Ada juga yang mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudharatan. Akan tetapi, Ibn Qayyim al-Jauziyah (691-751 H/ 1292-1350 M/ahli fiqh Hanbali), mengatakan bahwa pembatasan pengertian dzari’ah kepada sesuatu yang dilarang saja tidak tepat, karena ada juga dzariah yang bertujuan kepada yang dianjurkan. Oleh sebab itu, menurutnya, pengertian dzari’ah lebih baik dikemukakan yang bersifat umum sehingga dzari’ah mengandung dua pengertian, yaitu yang dilarang, disebut dengan sadd aldzari’ah dan yang dituntut untuk dilaksanakan, disebut fath al-dzariah.8 Sesuai dengan pembahasan penelitian ini maka akan difokuskan pada sadz adz-dzariah. Ada beberapa definisi sadz adzari’ah yakni: 1. M. Hasbi as-Syidiqy mendefinisikan bahwa sadz adz-dzariah adalah mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan untuk menolak
8
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I'lam al-Muwaqqi'in, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
17
kerusakan atau menyumbat jalan yang menyampaikan seseorang kepada kerusakan.9 2. As-Syatibi mendefinisikan dzari’ah dengan:
ﺍﻟﺘﻮﺳﻞ ﲟﺎ ﻫﻮ ﻣﺼﻠﺤﺔ ﺇﱃ ﻣﻔﺴﺪﺓ Artinya: “Suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan untuk menuju kepada suatu kemafsadatan”. 10 Maksudnya adalah seseorang melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan, tetapi tujuan yang akan ia capai berakhir pada suatu kemafsadatan. Dengan definisi ini asy-Syatibi mencontohkan tentang kasus zakat. Sebelum waktu haul (batas waktu penghitungan zakat) datang, seseorang yang memiliki sejumlah harta yang wajib dizakatkan, menghibahkan kepada anaknya sehingga berkurang nisab harta itu dan ia terhindar dari kewajiban zakat. Pada dasarnya menghibahkan harta kepada anak atau orang lain dianjurkan oleh syara', karena perbuatan ini merupakan salah satu akad tolong menolong. Akan tetapi, karena tujuan hibah yang dilakukan itu adalah untuk menghindari kewajiban yaitu membayar zakat maka perbuatan ini dilarang. Larangan ini didasarkan pemikiran bahwa hibah yang hukumnya sunnah menggugurkan zakat yang hukumnya wajib. Asy-Syatibi mengemukakan tiga syarat yang harus dipenuhi, sehingga suatu perbuatan itu dilarang, yaitu : 9
M. Hasbi As-Syiddiqy, Pengantar Hukum islam, Op. Cit., hlm. 220 As-Syitibi, al-I'tisham, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
10
18
a) Perbuatan yang boleh dilakukan itu membawa kepada kemafsadatan, b) Kemafsadatan lebih kuat dari kemasalahatan pekerjaan, dan c) Dalam melakukan perbuatan yang dibolehkan unsur kemafsadatanya lebih banyak.11 2. Macam-macam Dzari’ah Ada dua pembagian dzariah yang dikemukakan para ulama ushul fiqh. Dzaraiah dilihat dari segi kualitas kemafsadatannya dan dzariah dilihat dari segi jenis kemafsadatannya. a) Dzari’ah dilihat dari segi kualitas kemafsadatanya Asy-Syatibi
mengemukakan
bahwa
dari
segi
kualitas
kemafsadatannya, dzariah terbagi kepada empat macam: 1) Perbuatan yang dilakukan itu membawa kepada kemafsadatan secara pasti (qat'iy). Misalnya, seseorang menggali sumur di depan pintu rumah orang lain pada malam hari dan pemilik rumah tidak mengetahuinya.
Bentuk
kemafsadatan
perbuatan
ini
dapat
dipastikan, yaitu terjatuhnya pemilik rumah kedalam sumur tersebut; dan itu dapat dipastikan, karena pemilik rumah tidak mengetahui adanya sumur didepan rumahnya. Perbuatan seperti ini dilarang dan jika ternyata pemilik rumah jatuh ke sumur tersebut maka pengali lubang dikenakan hukum, karena perbuatan itu dilakukan dengan sengaja untuk mencelakakan orang lain.
11
Harun Nasroen, Ushul Fiqih, Jakarta: Logos, 1997, hlm. 189
19
2) Perbuatan itu boleh dilakukan, karena jarang membawa pada kemafsadatan. Misalnya menggali sumur di tempat yang biasanya tidak memberi mudharat atau menjual sejenis makan yang biasanya tidak memberi mudharat kepada orang yang memakannya. Perbuatan ini tetap pada hukum asalnya, yaitu mubah, karena yang dilarang itu adalah apabila diduga keras bahwa perbuatan itu membawa kepada kemafsadatan. Sedang dalam kasus ini, jarang sekali terjadi kemafsadatan. 3) Perbuatan yang dilakukan itu biasanya atau besar kemungkinan membawa kepada kemafsadatan. Misalnya, menjual senjata kepada musuh atau menjual anggur kepada produsen minuman keras. Menjual senjata kepada musuh, sangat mungkin senjata itu akan digunakan untuk berperang, atau paling tidak digunakan untuk membunuh. Perbuatan seperti ini dilarang, karena dugaan keras (zhann al-ghalib) bahwa perbuatan itu membawa kepada kemafsadatan,
sehingga
dapat
dijadikan
patokan
dalam
menetapkan larangan terhadap perbuatan itu. 4) Perbuatan itu pada dasaranya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan, tetapi memungkinkan juga perbuatan itu membawa kepada kemafsadatan. Misalnya, kasus jual beli yang disebut bai’ al-ajal di atas. Jual beli seperti itu cenderung berimplikasi kepada riba. 12
12
As-Syatibi, , Op. Cit., hlm.
20
Apabila pandangan hanya ditujukan kepada patokan dasar jual beli, maka jual beli seperti itu boleh, karena rukun dan syaratnya terpenuhi. Pandangan seperti ini muncul dari Imam Syafi'i dan Imam Abu Hanifah, karena menurut mereka, jika bertolak dari dugaan belaka (zhann a-l mujarad) dalam kasus seperti ini, maka tidak dapat dijadikan dasar keharaman bai’ al-ajal tersebut. Apabila pandangan ditujukan kepada akibat dari perbuatan (jual beli) itu, yang lebih cenderung kepada riba, maka perbuatan itu dilarang. Pandangan terakhir ini dianut oleh Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal. Oleh sebab itu, menurut As-Syatibi, dalam menentukan hukum bentuk yang keempat di atas terdapat perbedaan pendapat. Ulama Hanafiyah dan Syafi'iyyah mengatakan bahwa dzari’ah dalam bentuk yang keempat tidak dilarang, karena terjadinya kemafsadatan masih bersifat kemungkinan membawa kemafsadatan atau tidak. Oleh sebab itu, dugaan seperti ini tidak bisa membuat perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan menjadi dilarang, kecuali apabila kemafsadatan itu diyakini atau diduga keras akan terjadi. Dalam kasus bai’ al-ajal di atas, secara hukum, pembeli telah membeli barang seharga seribu rupiah secara kredit. Jual beli ini sah. Kemudian, pembeli menjual kembali barangnya itu, secara kebetulan kepada penjual semula seharga lima ratus rupiah. Ini pun sah. Tidak bisa
21
dikatakan bahwa diantara keduanya ada niat untuk menghalalkan riba, karena hal ini baru bersifat dugaan semata.13 Akan tetapi, ulama Malikiyah dan Hanafiyah berpendapat bahwa jual beli seperti itu termasuk dalam perbuatan yang membawa kepada kemafsadatan. Oleh sebab itu, akad seperti itu dilarang, karena bagi mereka yang dijadikan patokan boleh atau tidaknya transaksi tidak hanya dilihat dari segi niat saja, tetapi dari segi akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut. Dilihat dari segi niat, jual beli tersebut memang sulit diduga bertujuan untuk menghalalkan riba. Akan tetapi, dari segi akibat yang ditimbulkannya, maka secara umum diduga keras membawa kepada kemafsadatan. Dari sisi inilah ulama Malikiyah dan Hanifiyyah, jual beli seperti itu dilarang. Ada tiga alasan yang dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hanbal dalam mendukung pendapatnya,yaitu: 1. Dalam bai’ al-ajal perlu dipertimbangkan tujuan yang membawa kepada riba, sekalipun sifatnya ghilbah al zhan (dugaan berat), karena dalam banyak kasus syar'iy sendiri sering mengisyaratkan penentuan hukum atas dasar ghilbah al dzan. Disamping itu syara' juga senantiasa menekankan akan perlunya bersikap ihtiyath (waspada) dalam beramal. Tujuan yang diduga membawa kepada sesuatu kemafsadatan, menurut mereka bisa dijadikan dasar untuk melarang bai' al ajal, karena:
13
Ibid.,
22
ﺩﻓﻊ ﺍﳌﻔﺎﺳﺪ ﻣﻘﺪﻡ ﻋﻠﻰ ﺟﻠﺐ ﺍﳌﺼﺎﱀ Artinya : “Menolak segala bentuk kemafsadatan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan.” 14
2. Dalam bai’ al ajal terdapat dua dasar yang bertentangan, yaitu bahwa jual beli pada dasarnya dibolehkan, selama rukun dan syaratnya terpenuhi dan bahwa seseorang harus terhindar dari segala bentuk kemudharatan. Dalam hubungan hal ini Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hanbal, menguatkan prinsip pemeliharaan kemaslahatan orang lain dari kemudaratan, sedangkan bai' al ajal jelas-jelas membawa kemafsadatan. Karenanya, bai' al ajal dilarang sejalan dengan prinsip syad adz-dzariah. 3. Banyak sekali nash yang menunjukan dilarangnya perbuatanperbuatan yang membawa pada kemafsadatan, sekalipun pada dasarnya perbuatan itu semula diizinkan (ma'dzun). Misalnya larangan berkholwat antara seorang lelaki dengan seorang wanita yang bukan muhrim dan wanita dilarang bepergian lebih dari tiga hari tanpa muhrim (HR. Bukhari Muslim dan Ahmad Ibn Hanbal). Dalam kasus seperti ini terjadinya fitnah masih dalam status dugaan (dzan), tetapi Rasulullah melarangnya. Rasulullah SAW juga melarang mengawini wanita sekaligus mengawini saudaranya atau tantenya, karena perbuatan ini bisa memutus hubungan kekerabatan antara keduanya (HR. Al Thabrani dan Abu Dawud dar Ibn Abbas). Rasulullah juga 14
As-Suyuthi, Asbah wan Nadlair, Semarang: Toha Putra, tt
23
melarang meminang wanita yang masih ber’iddah, sehingga wanita itu tidak menyembunyikan keadaannya yang sebenarnya (HR. Ahmad ibn Hanbal, Muslim, al Nasai, al Tirmidzi, Ibn Majah dan Abu Dawud, dari Fatimah binti Qois). Dalam kasus inipun, sikap permusuhan yang akan mengakibatkan putusnya hubungan kekerabatan masih dalam kasus dugaan tetapi Rasulullah melarangnya.15 b) Dzari'ah dari Segi Jenis Kemafsadatan yang ditimbulkannya Dengan memperhatikan asal dari dzari’ah dan efek perbuatan yang ditimbulkannya, Ibn Qayyim al Jauziah, dzari'ah merinci dzariah menjadi empat macam: 1. Dzari’ah yang membawa kerusakan secara pasti. 2. Dzariah yang diperbolehkan menurut asalnya dan orang mukallaf yang melakukannya tidak ada niat selain menurut pengertian yang asli, dan perbuatan tersebut dapat membawa kepada kerusakan, akan tetapi kemaslahatan yang terdapat di dalamnya lebih kuat daripada kerusakannya. 3. Dzari’ah yang diperbolehkan menurut asalnya dan orang mukallaf yang melakukannya tidak ada niat selain menurut pengertiannya yang asli, akan tetapi dapat membawa kepada kerusakan yang lebih berat.
15
Harun Nasroen, Op. Cit., hlm. 198
24
4. Dzari’ah yang menurut asalnya diperbolehkan, akan tetapi orang mengerjakannya bermaksud menggunakannya sebagai media kepada kemafsadatan. 16
C. Kehujjahan Sadz adz-Dzari’ah Terdapat perbedaan pendapat ulama terhadap keberadaan syad adzdzari'ah sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara'. Ulama Malikiyah dan ulama Hanabilah menyatakan bahwa syad adz-dzari'ah dapat diterima sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara'. Alasan yang mereka kemukakan adalah firman Allah dalam surat al An'am, 6 : 108 :
ﻭﻻ ﺗﺴﺒﻮﺍ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﺪﻋﻮﻥ ﻣﻦ ﺩﻭﻥ ﺍﷲ ﻓﻴﺴﺒﻮﺍ ﺍﷲ ﻋﺪﻭﺍ ﺑﻐﲑﻋﻠﻢ Artinya: “Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selai Allah, karena nanti mereka akan memaki Allah dengan tanpa batas tanpa pengetahuan.”17
Dalam ayat ini Allah melarang kaum muslimin memaki-maki orangorang musyrikin atau tuhan yang mereka sembah. Karena perbuatan ini akan menyebabkan mereka membalas memaki-maki Allah SWT.18 Alasan lain yang dikemukakan ulama Malikiyah dan Hanbaliyah adalah hadits Rasulullah SAW; diantaranya adalah :
16
Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, Op. Cit., Team Penerjemah Alqur'an, Al-Qur'an dan Terjemahannya, Jakarta: Departemen Agama, 1995. 18 Ibid., hlm. 348 17
25
ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﻛﻴﻒ ﻳﻠﻌﻦ ﺍﻟﺮﺟﻞ: ﻗﻴﻞ,ﺇﻥ ﻣﻦ ﺃﻛﱪ ﺍﻟﻜﺒﺎﺋﺮ ﺃﻥ ﻳﻠﻌﻦ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻭﺍﻟﺪﻳﻪ ﻭﻳﺴﺐ ﺃﻣﻪ ﻓﻴﺴﺐ ﺃﻣﻪ, ﻳﺴﺐ ﺃﺑﺎ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻓﻴﺴﺐ ﺃﺑﺎﻩ: ﻭﺍﻟﺪﻳﻪ؟ ﻗﺎﻝ Artinya:“Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknak kedua orang tuanya. Lalu Rasulullah ditanya orang, wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang melaknat kedua ibu bapaknya ? Rasulullah menjawab : seseorang mencaci maki ayah orang lain, maka ayahnya juga dicaci maki orang itu, dan seseorang mencaci maki ibu orang lain, maka ibunya juga akan dicaci maki oleh orang itu.” ( HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).19
Dalam kasus lain Rasulullah SAW melarang memberi pembagian harta warisan kepada anak yang membunuh anaknya (HR. al Bukhari dan Muslim), untuk menghambat terjadinya pembunuhan orang tua oleh anak-anak yang ingin segera mendapatkan harta warisan. Ulama Hanafiyah, Syafi'iyah dan Syi'ah, dapat menerima syad adzdzari'ah sebagai dalil dalam masalah-masalah tertentu dan menolaknya dalam kasus-kasus lain. Imam al Syafi'I membolehkan seseorang yang karena udzur seperti sakit dan musafir untuk meninggalkan shalat jum'at dan menggantinya dengan shalat dhuhur. Akan tetapi, menurutnya, ia secara tersembunyi dan diam-diam mengerjakan shalat dhuhur tersebut, agar tidak dituduh sengaja meninggalkan shalat jum'at. Demikian juga dalam masalah puasa. Orang yang tidak berpuasa karena udzur agar tidak makan dihadapan orang-orang yang tidak mengetahui udzurnya, sehingga ia terhindar dari fitnah. Contoh lain adalah, Imam Syafi'i mengatakan bahwa seseorang yang membunuh tidak
19
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Singapura: Sulaiman Mar'I, tt.
26
berhak mendapatkan harta dari orang yang ia bunuh, karena apabila ia diberi harta warisan, maka anak akan berusaha membunuh ayahnya agar ia segera mendapatkan bagian warisan.20 Contoh-contoh ini, difatwakan Imam Syafi'i berdasarkan prinsip sadz adz-dzari'ah. Ulama Hanafiyah juga menggunakan kaidah sadz adz-dzari'ah dalam berbagai kasus hukum. Misalnya, mereka mengatakan bahwa orang yang melaksanakan puasa yaum al syak (akhir bulan sya'ban yang diragukan apakah telah masuk bulan ramadhan atau belum), sebaiknya dilakukan dilakukan secara diam-diam, apalagi kalau ia adalah seorang mufti, sehingga ia tidak dituduh melakukan puasa pada yaum al syak tersebut, sedangkan Rasulullah SAW mengatakan,
ﻣﻦ ﺻﺎﻡ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﺸﻚ ﻓﻘﺪ ﻋﺼﻰ ﺃﺑﺎ ﺍﻟﻘﺎﺳﻢ Artinya : “Siapa yang puasa pada yaum al syak, maka ia telah ingkar kepada aba al qasim”21 (Rasulullah SAW). ( HR. al Bukhari).
Ulama Hanafiyah juga tidak menerima pengakuan (ikrar) orang yang dalam keadaan mardh al maut (sakit atau keadaan yang membawa seseorang kepada kematian), karena diduga pengakuannya ini akan berakibat pembatalan terhadap hak orang lain dalam menerima warisan. Misalnya, orang yang mardh al maut itu mengaku berhutang kepada orang lain yang meliputi seluruh atau sebagian hartanya. Dalam kasus ini, ulama Hanafiyah menduga bahwa pengakuan ini hanya akan membatalkan hak ahli waris terhadap harta tersebut. Oleh sebab itu, pengakuan ini, menurut mereka tidak sah. 20 21
Harun Nasroen, Op. Cit., hlm. 192 Imam Bukhari, Op. Cit., Juz I hlm. 327
27
Husain Hamid Hasan (guru besar ushul Fiqh di fakultas hukum Universitas Cairo, Mesir), mengatakan ulama Hanafiyah dan ulama Syafi'iyah dapat menerima kaidah sadz adz-dzari'ah apabila kemafsadatan yang akan muncul itu dapat dipastikan terjadi atau sekurang-kurangnya diduga keras (ghilbah al- zhann) akan terjadi. Ada dua sisi cara memandang dzari'ah yang dikemukakan para ulam ushul fiqh, yaitu: 1. Dari sisi motifasi yang mendorong melakukan suatu pekerjaan, baik bertujuan untuk yang halal atau yang haram. Seperti seseorang yang menikahi seseorang wanita yang telah dicerai suaminya sebanyak tiga kali dengan tujuan agar wanita ini boleh dikawini kembali oleh suami pertamanya. Nikah seperti ini oleh ahli fiqh disebut nikah al tahlil. Pada dasarnya nikah dianjurkan Islam, tetapi motifasinya mengandung tujuan yang tidak sejalan dengan tujuan Islam, maka nikah seperti dilarang. 2. Dari sisi akibat seseorang yang membawa dampak negatif. Misalnya, seorang muslim yang mencaci sesembahan orang kaum musyrik. Niatnya mungkin untuk menunjukkan kebenarnya kaidahnya menyembah Allah yang Maha Benar. Tetapi, akibat caciannya ini bisa membawa dampak yang lebih buruk lagi, yaitu munculnya cacian yang serupa atau lebih dari mereka terhadap Allah. Karenanya perbuatan ini dilarang. 3. Terjadinya perbedaan pendapat antara Malikiyah dengan Hanabilah disatu pihak Hanafiyah dan Syafi'iyah dipihak lain berhujjah dengan syad adzdzari'ah, adalah disebabkan perbedaan pandangan tentang niat dan lafal
28
masalah transaksi (akad). Ulama Hanafiyah dan Syafi'iyah mengatakan bahwa dalam suatu transaksi yang dilakukan adalah akadnya, bukan niat dari orang yang melakukan akad. Apabila akad yang disepakati dua orang telah memenuhi rukun dan syarat, maka akad itu sah. Adapun masalah niat yang tersembunyi dalam akad diserahkan sepenuhnya kepada Allah. Mereka mengatakan bahwa, selama tidak ada indikasi menununjukan niat dari pelaku, maka berlaku kaidah :
ﺍﳌﻌﺘﱪ ﰲ ﺃﻭﺍﻣﺮ ﺍﷲ ﺍﳌﻌﲎ ﻭﺍﳌﻌﺘﱪ ﰲ ﺃﻣﻮﺭ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩ ﺍﻻﺳﻢ ﻭﺍﻟﻠﻔﻆ Artinya : “Patokan dasar dalam hal-hal yang berkaitan denga hak Allah adalah niat, sedangkan yang berkaitan dengan hak-hak hamba (manusia) adalah lafalnya”.22
Akan tetapi, jika tujuan orang yang berakad itu dapat ditangkap dengan jelas ataua diketahui dengan beberapa indikator yang ada, maka ketika itu berlaku kaidah:
ﺍﻟﻌﱪﺓ ﺑﺎﳌﻌﺎﱐ ﻻ ﺑﺎﻷﻟﻔﺎﻅ ﻭ ﺍﳌﺒﺎﱐ Artinya : “Yang menjadi patokan dasar adalah makna/ niat, bukan lafal dan bentuk.23
Ulama Malikiyah dan Hanabilah mengatakan untuk mengukur sah atau tidaknya suatu pekerjaan adalah : niat, tujuan dan akibat dari pekerjaan itu sendiri. Ibn Qayyim al-Jauziah mengatakan, apabila niat sejalan dengan perilaku, maka akad itu sah. Apabila tujuan orang itu tidak sesuai dengan semestinya, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukkan 22 23
Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Beirut: Dar al-Fikr, tt Ibid.
29
bahwa niatnya sesuai dengan tujuan tersebut, maka dianggap sah, tetapi antara pelaku dengan Allah tetap ada perhitungan, karena Allah yang mengetahui niatnya. Apabila ada beberapa indikator yang dapat menunujukan niatnya dan niat itu tidak bertentangan dengan tujuan syara', maka akadnya sah. Namun apabila niatnya bertentangan dengan kehendak syara' maka perbuatan itu fasid (rusak) dan tidak ada efek hukumnya.24 Dengan demikian, menurut Wahbah al-Zuhaili, Malikiyah dan Hanabilah dalam menilai perbuatan seseorang berpegang pada tujuan dan akibat hukum dari perbuatan itu, sedangkan Hanabilah dan Syafi'iyah berpegang pada bentuk akad dan perbuatan yang dilakukan. Ulama Zahiriyah tidak menerima sadz adz-dzari'ah sebagai salah satu dalil yang menetapkan hukum syara'. Penolakan ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya beramal dengan berdasarkan nash secara harfiyah dan tidak menerima campur tangan logika dalam masalah hukum.25
24 25
Harun Nasroen, Op. Cit., hlm. 193 Ibid.,