15
BAB II PROGRAM BIMBINGAN PRIBADI SOSIAL DAN SELF-CONFIDENCE SISWA TERISOLIR
A. Konsep Bimbingan Pribadi Sosial 1. Konsep Dasar Bimbingan a. Pengertian, Tujuan, dan Fungsi Bimbingan Pada dasarnya, bimbingan merupakan upaya pembimbing untuk membantu mengoptimalkan individu. Suherman (2007:10), menjelaskan bimbingan merupakan proses bantuan kepada individu (konseli) sebagai bagian dari program pendidikan yang dilakukan oleh tenaga ahli (konselor) agar individu (konseli) mampu memahami dan mengembangkan potensinya secara optimal sesuai dengan tuntutan lingkungannya. Kartadinata (1998:3), menjelaskan bimbingan merupakan proses membantu individu untuk mencapai perkembangan optimal. Pengertian bimbingan di atas mengandung arti lebih luas, yaitu: 1) Bimbingan merupakan suatu proses yang berkesinambungan Bimbingan
bukan
merupakan
“kegiatan
insidental”
tetapi
dilakukan berdasarkan analisis: (a) kebutuhan individu, (b) harapan dan kondisi lingkungan, (c) direncanakan secara matang, baik tujuan, fungsi, kegiatan, strategi dan prosedurnya, (d) disusun dengan melibatkan semua personel pendidikan selain konselor, mulai kepala sekolah, wali kelas, guru bidang studi, orang tua bahkan para peserta didik sesuai dengan fungsi, peran dan kewenangannya, (e) dalam
16
pelaksanaannnya memperhatikan fasilitas, tempat dan waktu serta (f) dilakukan dengan penuh tanggung jawab melalui proses evaluasi, baik terhadap program, proses maupun hasil yang dicapainya. 2) Bimbingan merupakan bantuan bagi individu Layanan bimbingan diperuntukan bagi seluruh individu dengan segala aspek kehidupannya, baik kehidupan pribadi, sosial, pendidikan maupun kehidupan kariernya. Artinya bimbingan bukan hanya untuk individu yang bermasalah (penyembuhan) tetapi lebih berorientasi pendidikan, pengembangan, pencegahan, dan penyesuaian. 3) Bimbingan bertujuan mengembangkan potensi secara optimal Tujuan layanan bimbingan bukan hanya untuk memecahkan masalah yang dihadapi individu tetapi agar individu memiliki pemahaman tentang potensi yang dimiliki, mampu memanfaatkan potensi untuk meraih keberhasilan minat dan cita-cita masing-masing sesuai dengan tuntutan kehidupan lingkungannya, serta mampu mengembangkan potensi yang dimiliki individu dan lingkungan secara optimal. 4) Bimbingan dilakukan oleh tenaga profesional Bimbingan adalah kegiatan profesional, karena itu harus dilakukan oleh tenaga ahli profesional (konselor). Namun kegiatan bimbingan bukan merupakan pekerjaan yang bisa dilakukan hanya oleh seorang konselor (one man show) tetapi perlu melibatkan ahli-ahli lain (team work) sesuai dengan keahlian dan kewenangannya.
17
Tujuan pemberian layanan bimbingan adalah agar individu dapat : 1) Merencanakan kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karier, serta kehidupannya pada masa yang akan datang. 2) Mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimilikinya seoptimal mungkin. 3) Menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan, masyarakat, serta lingkungan kerjanya. 4) Mengatasi hambatan serta kesulitan yang dihadapi dalam studi, penyesuaian dengan lingkungan pendidikan, masyarakat, ataupun lingkungan kerja. Upaya
bimbingan
dan
konseling
diselenggarakan
melalui
pengembangan potensi individu secara optimal, dengan memanfaatkan berbagai cara dan sarana, berdasarkan pada norma-norma yang berlaku dan mengikuti kaidah-kaidah profesional. Bimbingan menurut Yusuf dan Nurihsan (2005: 16-17) memiliki fungsi sebagai berikut : 1) Pemahaman, yaitu membantu agar siswa memiliki pemahaman terhadap dirinya (potensi) dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, dan norma agama). Berdasarkan pemahaman ini diharapkan siswa mampu mengembangkan potensi dirinya secara optimal, dan mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan secara dinamis dan konstruktif.
18
2) Preventif, yaitu usaha konselor untuk senantiasa mengantisipasi berbagai masalah yang timbul dan berupaya untuk mencegahnya, supaya tidak dialami oleh siswa. Melalui fungsi ini diharapkan siswa mampu menghindari diri dari perbuatan atau kegiatan yang membahayakan dirinya. 3) Pengembangan, yaitu konselor senantiasa berupaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, yang memfasilitasi perkembangan siswa. Konselor bersama-sama dengan personel sekolah membantu siswa dalam mencapai tugas-tugas perkembangan yang harus dilaluinya dengan cara melaksanakan dan merumuskan program bimbingan secara sistematis dan berkesinambungan. 4) Perbaikan (kuratif), yaitu konselor memberikan bantuan kepada siswa yang telah mengalami masalah, baik menyangkut aspek sosial, pribadi, belajar maupun karier. 5) Penyaluran, yaitu konselor memberikan bantuan kepada siswa dalam memilih kegiatan ekstrakurikuler, jurusan atau program studi, dan memantapkan penguasaan karier atau jabatan yang sesuai dengan minat, bakat, keahlian serta ciri-ciri kepribadian lainnya. 6) Adaptasi, yaitu konselor membantu siswa dalam mengadaptasi program pendidikan terhadap latar-belakang pendidikan, minat dan bakat, dan kebutuhan siswa.
19
7) Penyesuaian, yaitu konselor membantusiswa agar dapat menyesuaikan diri secara dinamis dan konstruktif terhadap program pendidikan, peraturan sekolah dan norma agama. Seorang konselor dalam melaksanakan bimbingan konseling harus mampu menjalankan perannya dalam berbagai fungsi. Pemberian bantuan kepada individu tidak hanya dilakukan pada saat muncul masalah, melainkan lebih pada pencegahan sebelum permasalahan terjadi. Dengan demikian diharapkan siswa mampu memelihara dan mengembangkan berbagai potensi yang ada dalam dirinya secara efektif dan optimal. b. Pendekatan Bimbingan Menurut Muro dan Kottman (Yusuf dan Nurihsan 2005: 82), pendekatan bimbingan dan konseling di sekolah menengah dibagi menjadi 4 pendekatan yaitu : 1) pendekatan krisis, 2) pendekatan remedial, 3) pendekatan preventif, dan 4) pendekatan perkembangan. 1) Pendekatan krisis. Pendekatan ini diarahkan kepada individu yang mengalami krisis masalah. Pendekatan ini banyak dipengaruhi oleh aliran psikoanalisa yang berpusat pada pengaruh masa lalu sebagai suatu hal yang menentukan bagi berfungsinya kepribadian pada masa kini. 2) Pendekatan remedial. Pendekatan ini diarahkan kepada individu yang mengalami kesulitan. Dalam pendekatan ini guru pembimbing memfokuskan pada kelemahan-kelemahan individu dan selanjutnya individu berusaha untuk memperbaikinya. Pendekatan remedial ini
20
banyak
dipengaruhi
oleh
aliran
psikologi
behavioristik
yang
menekankan pada perilaku klien disini dan saat ini dalam lingkungan pada saat ini pula. 3) Pendekatan preventif. Pendekatan ini diarahkan untuk mengantisipasi masalah-masalah umum individu dan mencoba mencegah jangan sampai terjadi masalah tersebut pada individu. Pendekatan preventif ini tidak didasari oleh teori tertentu, pendekatannya memiliki banyak teknik terapi, tetapi sedikit konsep. 4) Pendekatan
perkembangan.
Pendekatan
ini
diarahkan
untuk
mengembangkan segala potensi yang dimiliki individu secara optimal. Teknik yang digunakan dalam pendekatan perkembangan adalah pembelajaran, pertukaran informasi, bermain peran, tutorial, dan konseling. c. Prinsip-prinsip Bimbingan Terdapat beberapa prinsip dasar yang dipandang sebagai landasan bagi layanan bimbingan dan konseling. Berikut prinsip-prinsip bimbingan yang dirumuskan oleh Yusuf dan Nurihsan (2005: 17). 1) Bimbingan diperuntukan untuk semua orang (guidance for all). Bimbingan diberikan kepada semua individu, tidak memandang ia bermasalah atau tidak, tidak memandang gender dan tidak memandang golongan. 2) Bimbingan bersifat individualisasi. Setiap individu bersifat unik, artinya satu sama lainnya berbeda dan tidak ada samanya, melalui
21
bimbingan
inilah
individu
dibantu
untuk
memaksimalkan
perkembangan keunikan tersebut. 3) Bimbingan menekankan hal yang positif. Dalam bimbingan individu diarahkan untuk selalu berfikir positif dan menekankan kekuatan dan kesuksesan, karena bimbingan merupakan cara untuk membangun pandangan yang positif terhadap diri sendiri, memberikan dorongan, dan peluang untuk perkembangan. 4) Bimbingan merupakan usaha bersama. Proses bimbingan akan berjalan dengan baik jika dibina secara terpadu, artinya bimbingan bukan hanya tanggung jawab guru pembimbing, tetapi juga tanggung jawab guru bidang studi, kepala sekolah, orang tua siswa dan siswa itu sendiri. 5) Pengambilan bimbingan.
keputusan Dalam
merupakan
proses
hal
bimbingan,
yang
esensial
pengambilan
dalam
keputusan
sepenuhnya berada di tangan klien, pembimbing hanya mengarahkan, memberi informasi dan memberikan nasihat, karena salah satu tujuan bimbingan adalah mengembangkan kemampuan individu untuk memecahkan masalahnya dan mengambil keputusan. 6) Bimbingan berlangsung dalam berbagai setting kehidupan. Pemberian layanan bimbingan tidak hanya terjadi di sekolah saja, tetapi juga dilakukan di lingkungan keluarga, perusahaan/industri, instansiinstansi pemerintah, dan masyarakat pada umumnya. Hal ini mengacu pada prinsip, masalah bisa terjadi pada siapa saja, dan setiap orang berhak mendapatkan bimbingan dari seorang konselor.
22
2. Bimbingan Pribadi Sosial Bimbingan pribadi-sosial merupakan bimbingan untuk membantu para individu dalam memecahkan masalah-masalah sosial pribadi. Bimbingan pribadi-sosial adalah layanan bimbingan untuk membantu siswa agar menemukan dan mengembangkan pribadi yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan yang Maha Esa, mantap dan mandiri, sehat jasmani dan rohani serta mampu mengenal dengan baik dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya secara bertanggung jawab. Yusuf dan Nurihsan (2005: 11), menjelaskan bahwa bimbingan pribadi-sosial adalah suatu upaya membantu individu dalam memecahkan masalah yang berhubungan dengan keadaan psikologis dan sosial klien, sehingga individu mampu memantapkan kepribadian dan mengembangkan kemampuan individu dalam menangani masalah-masalah dirinya. Bimbingan pribadi-sosial diarahkan untuk memantapkan kepribadian dan mengembangkan kemampuan individu dalam menangani masalahmasalah dirinya. Bimbingan ini merupakan layanan yang mengarah pada pencapaian pribadi yang seimbang dengan memperhatikan keunikan karakteristik pribadi serta ragam permasalahan yang dialami oleh individu. Tujuan
pelaksanaan bimbingan pribadi sosial menurut Yusuf dan
Nurihsan (2005: 14) adalah agar individu dapat: a. Memiliki komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan YME, baik dalam kehidupan
23
pribadi, keluarga, pergaulan dengan teman sebaya, sekolah, tempat bekerja, maupun masyarakat pada umumnya. b. Memiliki sikap toleransi terhadap umat beragama lain, dengan saling menghormati atau memelihara hak dan kewajibannya masing-masing. c. Memiliki pemahaman tentang irama kehidupan yang bersifat fluktuatif antara yang menyenangkan (anugerah) dan tidak menyenangkan (musibah), serta mampu meresponnya secara positif sesuai dengan ajaran agama yang dianut. d. Memiliki pemahaman dan penerimaan diri secara objektif dan konstruktif, baik yang terkuat dengan keunggulan maupun kelemahan baik fisik maupun psikis. e. Memiliki sikap positif atau respek terhadap diri sendiri dan orang lain. f. Memiliki kemampuan melakukan pilihan secara sehat. g. Bersikap respek terhadap orang lain, menghormati dan menghargai orang lain, tidak melecehkan martabat atau harga dirinya. h. Memiliki rasa tanggung jawab, yang diwujudkannya dalam bentuk komitmen terhadap tugas atau kewajiban. i. Memiliki kemampuan berinteraksi sosial (human relationship) yang diwujudkan dalam bentuk hubungan persahabatan, bersaudaraan atau silaturahmi dengan sesama manusia. j. Memiliki kemampuan dalam menyelesaikan konflik (masalah) baik bersifat internal maupun eksternal. k. Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara efektif.
24
B. Program Bimbingan Program merupakan rencana kegiatan yang disusun secara operasional dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengan pelaksanaannya. Faktor-faktor itu berupa masukan yang terdiri dari aspek-aspek tujuan, jenis kegiatan, personel, waktu, teknik atau strategi pelaksanaan dan fasilitas lainnya (Suherman, 1989 : 8). Program bimbingan dan konseling merupakan rancangan aktifitas dan kegiatan yang akan memfasilitasi tercapainya tujuan pendidikan nasional. Artinya program bimbingan dan konseling di sekolah harus menyediakan sistem layanan yang bermanfaat bagi kemajuan akademik, karir dan perkembangan pribadi sosial para siswa dalam menyiapkan dan menghadapi tantangan masa depan dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan bangsanya di masa depan. Program bimbingan dan konseling adalah dimana program tersebut tertuju pada apa yang ingin dicapai dari tujuan bimbingan sehingga program tersebut berjalan efisien dan efektif. Untuk membuat program yang efektif dan efisien diperlukan perencanaan yang matang dalam membuat program bimbingan dan konseling sehingga tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan harapan dari pendidikan dan individu. Program bimbingan berisikan mengenai sejumlah kegiatan bimbingan. Suatu program bimbingan merupakan suatu rangkaian kegiatan bimbingan yang terencana, terorganisasi, dan terkoordinasi selama periode waktu tertentu. Program bimbingan yang dikembangkan merupakan pedoman bagi tenaga pembimbing sehingga pelaksanaan bimbingan di sekolah dapat terlaksana dengan
25
lancar, efektif, efisien, serta dapat dilakukan evaluasi baik terhadap program, proses maupun hasil. Sukardi (1995:28) mengungkapkan bahwa kegiatan penyusunan program bimbingan dan konseling di sekolah merupakan seperangkat kegiatan yang dilakukan melalui berbagai bentuk survey untuk menginventarisasi tujuan, kebutuhan, kemampuan sekolah serta persiapan sekolah untuk melaksanakan program bimbingan dan konseling. Karena program bimbingan yang efektif dan efisien adalah program bimbingan dan konseling yang terencana secara kontinu dan sesuai dengan tujuan serta visi dan misi bimbingan dan konseling sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan mutu dari layanan bimbingan dan konseling. Nurihsan (2003:87) menjelaskan bahwa untuk tercapainya program perencanaan bimbingan yang efektif dan efisien, maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan diantaranya, 1. Analisis kebutuhan dan permasalahan peserta didik 2. Penentuan tujuan program layanan bimbingan dan konseling yang ingin dicapai 3. Analisis situasi dan kondisi sekolah 4. Penentuan jenis-jenis kegiatan yang akan dilakukan 5. Penetapan metode dan teknik yang akan dilakukan dalam kegiatan 6. Penetapan personel-personel yang akan melaksanakan kegiatan yang telah direncanakan
26
7. Persiapan fasilitas dan biaya pelaksanaan kegiatan bimbingan yang direncanakan 8. Perkiraan tentang hambatan-hambatan yang akan ditemui dan usaha-usaha apa yang dilakukan dalam menangani hambatan-hambatan. Program
bimbingan
dan
konseling
pengembangan
pribadi-sosial
difasilitasi melalui aktivitas pemilihan kemampuan, sikap dan pengetahuan yang membantu siswa memahami dan menghargai diri dan orang lain. Peran konselor sekolah sebagai ahli yang memiliki kemampuan memandirikan siswa, mampu menuangkan
atau
memberdayakan
semua
potensi
sekolah
ke
dalam
pengembangan program bimbingan dan konseling sekolah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengembangkan program bimbingan, yaitu : 1. karakteristik peserta didik serta kebutuhan akan bimbingan dan konseling 2. dasar dan tujuan lembaga pendidikan yang bersangkutan 3. kemampuan lembaga dalam menyediakan dana dan fasilitas yang diperlukan 4. lingkup sasaran dan prioritas kegiatan 5. jenis kegiatan dan layanan yang perlu diprioritaskan 6. ketersediaan tenaga profesional untuk melaksanakan kegiatan bimbingan dan konseling Secara khusus program bimbingan dan konseling sekolah yang komprehensif harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
27
1. Program bimbingan dan konseling sekolah merupakan kesatuan komponen tujuan institusi sekolah 2. Program bimbingan dan konseling sekolah memberikan kesempatan pelayanan kepada smeua siswa 3. Program bimbingan dan konseling ditunjang dengan keberadaan konselor yang profesional (keahlian, keterampilan, komitmen, pengembangan diri). 4. Memastikan bahwa program konseling sekolah merupakan rancangan yang dapat dilaksanakan dalam sebuah gaya yang sistematik untuk semua siswa 5. Program bimbingan dan konseling mampu menghasil kan pengetahuan, sikap
dan
kemampuan-kemampuan
siswa
lainnya
yang
dapat
didemonstrasikan sebagai sebuah hasil dari keikutsertaan mereka dalam sebuah program bimbingan dan konseling skeolah. Adapun fase dalam pengembangan program bimbingan dan konseling di sekolah, menurut Gysbers dan Handerson (Muro & Kottman, 1995 : 55-61) ada empat fase yaitu : 1. Perencanaan (planning) Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses perencanaan adalah: 1) identifikasi target populasi layanan (siswa, orang tua, guru), 2) isi pokok program (tujuan dan ruang lingkup program), 3) organisasi program layanan (pengorganisasian layanan bimbingan). 2. Perancangan (designing)
28
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses perancangan ini adalah manyangkut aspek-aspek berikut : a. Kompetensi dan tujuan manakah yang perlu diprioritaskan? b. Siapa saja yang harus diberi layanan: apakah semua siswa dengan pendekatan pengembangan, atau beberapa siswa dengan pendekatan kuratif? c. Keterampilan apa yang sebaiknya dilakukan oleh pembimbing: mengajar,
membimbing,
konsultasi,
konseling,
koordinasi,
atau
menyebarkan informasi dengan mempertimbangkan prioritas tertentu? d. Bagaimana hubungan antara program bimbingan pendidikan lainnnya? e. Apakah program bimbingan itu mendukung program pengajaran?
3. Penerapan (implementing) Dalam menerapkan program, pembimbing sebaiknya perlu memiliki kesiapan untuk melaksanakan setiap kegiatan yang telah dirancang sebelumnya. Sehingga terdapat kesesuaian antara program yang telah dirancang dengan pelaksanaan di lapangan dan program terlaksana dengan baik. 4. Evaluasi (evaluating) Evaluasi menjadi umpan balik secara berkesinambungan bagi semua tahap pelaksanaan program. Evaluasi ini bertujuan untuk memperoleh data yang bermanfaat bagi pengambilan keputusan, baik untuk perbaikan maupun pengembangan program di masa yang akan datang. evaluasi juga dimaksudkan untuk menguji keberhasilan atau pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
29
Berdasarkan jenis layanan, dalam bimbingan dan konseling dibedakan empat jenis layanan utama, yaitu : a. Layanan dasar bimbingan adalah layanan bimbingan yang bertujuan membantu
para
siswa
mengembangkan
perilaku
efektif
dan
keterampilan-keterampilan hidupnya yang mengacu pada tugas-tugas perkembangannya pada aspek sosial dan pribadi. b. Layanan responsif adalah layanan bimbingan yang bertujuan membantu memenuhi kebutuhan yang dirasakan sangat penting oleh siswa saat ini. Layanan ini lebih bersifat preventif atau kuratif. Isi layanan responsif sesuai dengan kebutuhan siswa dalam bidang pribadi dan sosial. c. Layanan perencanaan individual adalah laynan bimbingan yang memberikan bantuan kepada semua siswa agar mampu membuat dan melaksanakan perencanaan masa depannya berdasarkan pemahaman akan kekuatan dan kelemahan dirinya. d. Dukungan sistem adalah kegiatan-kegiatan manajemen yang bertujuan memantapkan, memelihara, dan meningkatkan program bimbingan secara menyeluruh melalui pengembangan profesional (hubungan masyarakat dan staf, konsultasi dengan guru, staf ahli/penasehat) masyarakat yang lebih luas, manajemen program, penelitian dan pengembangan (Thomas Ellis, 1990).
30
C. Percaya Diri (self-confidence) 1. Konsep Dasar Remaja Secara umum periode masa remaja adalah suatu periode dalam perkembangan yang dijalani seseorang yang terbentang sejak berakhirnya masa kanak-kanaknya sampai datangnya masa dewasanya. Secara tentatif pula para ahli umumnya sependapat bahwa rentangan masa remaja itu berlangsung dari sekitar 11-13 tahun sampai 18-20 tahun menurut kalender kelahiran seseorang. Para ahli juga cenderung mengadakan pembagian lagi ke dalam masa remaja awal (early adolescent, puberty) dan remaja akhir (late adolescent, adolesecent) yang mempunyai rentangan waktu antara
11-13
sampai 14 -15 tahun dan 14 -16 sampai 18 – 20 tahun. Charlotte Buhler malah menambahkan suatu masa transisi ke periode ini ialah masa pre – puberteit (pra – remaja ) yang berkisar sekitar 10 – 12 tahun dari kalender kelahiran yang bersangkutan. Lajunya proses perkembangan perilaku dan pribadi dipengaruhi oleh tiga faktor dominan yaitu faktor bawaan (heredity), kematangan (maturation), dan lingkungan (environment) termasuk belajar dan latihan (training and learning). Ketiga faktor dominan utama itu senantiasa bervariasi yang mungkin dapat menguntungkan atau menghambat atau membatasi lajunya proses perkembangan tersebut. Adapun masalah-masalah yang timbul pada masa remaja yang bertalian dengan perkembangan perilaku sosial, moralitas, dan keagamaan diantaranya sebagai berikut :
31
a. Keterkaitan hidup dalam gang (peer group) yang tidak terbimbing mudah menimbulkan juvenile deliquency (kenakalan remaja) yang berbentuk perkelahian antar kelompok, pencurian, perampokan, prostitusi, dan bentuk-bentuk perilaku antisosial lainnya. b. Konflik dengan orang tua, yang mungkin berakibat tidak senang di rumah, bahkan minggat (melarikan diri dari rumah). c. Melakukan perbuatan-perbuatan yang justru bertentangan dengan norma masyarakat atau agamanya, seperti mengisap ganja, narkotika dan sebagainya. 2. Pengertian Percaya Diri (Self-Confidence) Menurut S.Eko Putro Widoyoko dari team e-psikologi, kepercayaan diri adalah sikap positif seorang individu yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan/situasi yang dihadapinya. Hal ini bukan berarti bahwa individu tersebut mampu dan kompeten melakukan segala sesuatu seorang diri. Rasa percaya diri yang tinggi sebenarnya hanya merujuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan individu tersebut dimana ia merasa memiliki kompetensi, yakin, mampu dan percaya bahwa dia bisa, karena didukung oleh pengalaman, potensi aktual, prestasi serta harapan yang realistik terhadap diri sendiri. Hakim (2002:6) menyatakan kepercayaan diri sebagai suatu keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang dimilikinya dan
32
keyakinan tersebut membuatnya merasa mampu untuk bisa mencapai berbagai tujuan di dalam hidupnya. Bandura (Amien, 2000:9) mendefinisikan kepercayaan diri sebagai suatu perasaan yang berisi kekuatan, kemampuan dan keterampilan untuk melakukan atau menghasilkan sesuatu yang dilandasi keyakinan untuk sukses. Dengan demikian kepercayaan diri seseorang berisi keyakinan tentang kekuatan, kemampuan dan keterampilan diri untuk melakukan dan meraih kesuksesan serta tanggung jawab atas keputusan yang telah ditetapkan. Beberapa
pendapat
di
atas
memberikan
gambaran
mengenai
kepercayaan diri yang merupakan aspek penting dalam kepribadian manusia yang trebentuk melalui proses belajar dengan lingkungan sosial. Kepercayaan diri merupakan suatu keadaan dalam diri seseorang yang berisi kekuatan, kemampuan dan keterampilan yang dimiliki seseorang, selanjutnya keadaan ini mendorong individu meraih kesuksesan serta bertanggung jawab atas keputusan yang telah ditetapkan. Kepercayaan diri terbentuk melalui proses perkembangan manusia pada umumnya, khususnya dalam interaksi dengan lingkungan. Menurut Saranson (Amien, 2000:13), kepercayaan diri terbentuk dan berkembang melalui proses belajar secara individual maupun sosial. Saranson juga mengemukakan bahwa proses belajar sosial secara individual berhubungan dengan umpan balik dari lingkungan melalui pengalaman psikologis. Proses belajar secara sosial terjadi melalui interaksi individu dengan lingkungan sosial.
33
Menurut pendapat Rahmat (2004:108) dalam hubungan yang terjadi antara individu yang satu dengan individu yang lain, seseorang tidak hanya menghadapi orang lain, namun ia juga mempersepsikan dirinya sendiri dalam keterkaitan hubungan sosial yang tercipta. Proses individu mempersepsi dirinya adalah sebagai berikut. Pertama orang melihat sejauh mana keadaan dirinya, lalu berpikir bagaimana orang lain melihat sejauh mana keadaan dirinya. Melalui proses interaksi dengan lingkungannya akan timbul perasaan bangga atau kecewa dengan keadaan dirinya. Adanya kemampuan penglihatan, perasaan, pemikiran manusia terhadap dirinya, menyebabkan seseorang menyadari siapa dirinya itu, hal inilah yang disebut dengan konsep diri. Apabila seseorang memiliki perasaan positif terhadap dirinya yang diperoleh individu dari penilaian lingkungan, maka orang itu akan dapat menghargai dirinya bahwa ia memiliki kelebihan, dengan sendirinya ia telah memiliki harga diri yang baik. Perkembangan harga diri yang baik, yaitu apabila seseorang mudah mengaktualisasikan dirinya guna mengembangkan potensi dan kapasitas yang dimilikinya. Akhirnya dengan adanya konsep diri yang positif, akan mendukung adanya harga diri yang baik, maka hal ini akan mewujudkan kepercayaan diri pada seseorang. Masalah kurangnya kepercayaan diri banyak dialami khususnya oleh para remaja. Kurangnya rasa percaya diri pada remaja disebabkan oleh faktorfaktor psikologis dan sosiologis. Faktor psikologis berkaitan dengan masa perkembangan remaja yang sedang mengalami banyak perubahan, baik secara fisik, psikis dan sosiologis. Masa ini disebut dengan masa krisis identitas,
34
sehingga remaja merasa ragu-ragu dan canggung terhadap peran yang disandangnya. Di samping itu adanya pandangan dari orang tua atau orang dewasa yang menyatakan bahwa remaja belum mampu mengatasi masalahnya sendiri, hal ini akan memperlemah rasa kepercayaan diri remaja. Faktor sosiologis yang menyebabkan kurangnya rasa kepercayaan diri pada remaja berkaitan dengan tuntutan sosial diluar diri remaja. Pada umumnya orang tua dan guru lebih memberikan perhatian dan penghargaan pada remaja yang prestasi akademiknya baik. Sementara jumlah remaja yang mempunyai prestasi yang baik relatif lebih sedikit daripada remaja dengan prestasi akademik yang biasa. Tuntutan lingkungan yang selalu menekankan agar remaja berprestasi akademik yang tinggi akan dapat menimbulkan adanya perasaan-perasaan kurang berhasil pada diri remaja, meskipun mungkin mereka memiliki prestasi yang baik di bidang lain. Apabila perasaan kurang berhasil ini terus menghantui remaja, maka hal ini akan dapat menghambat atau mengurangi rasa kepercayaan diri remaja. Hal lain Natawidjaja (Amien, 2000:17) menyebutkan bahwa adanya kehidupan dalam masyarakat yang senantiasa berubah menuntut individu untuk dapat menyesuaikan dengan suasana baru, berbagai konflik, berbagai pilihan, yang harus dipilihnya secara tepat. Hal ini menyebabkan individu senantiasa dituntut untuk membuat keputusan-keputusan yang tepat dalam hidupnya. Di pihak lain, karena tantangan dan konflik serta pilihan yang dihadapinya sangat beragam dan banyak, individu cenderung untuk kurang percaya diri dalam mengambil keputusan yang penting. Individu terutama
35
remja senantiasa ragu-ragu terhadap keputusannya dan hal ini akan memperlemah rasa kepercayaan dirinya.
3. Faktor Penyebab Percaya Diri Beberapa faktor yang berpengaruh dalam proses pembentukan percaya diri remaja
adalah interaksi di dalam keluarga, sekolah dan
masyarakat, Amien (2000:16), diantara ketiga faktor situasi yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat, kiranya faktor sekolah merupakan peran yang lebih penting. Hal ini disebabkan karena di dalam sekolah biasanya remaja membentuk kelompok-kelompok teman sebaya. Interaksi di dalam keluarga terutama dengan orang tua cenderung berkurang. Hal ini mengingat bahwa adanya perubahan remaja ke arah pemisahan diri dari lingkungan keluarganya dan bergabung dengan teman-teman sebayanya. Selain itu, komformitas remaja dengan kelompoknya seringkali menyebabkan mereka cenderung mengabaikan peranannya sebagai anggota masyarakat. Maka faktor-faktor yang dominan mempengaruhi perkembangan kepercayaan diri remaja adalah kondisi sekolah serta bentuk interaksi remaja dengan teman sebayanya. Percaya diri seseorang tidak terbentuk dengan sendirinya, ada proses tertentu dalam pribadi seseorang sehingga terjadi pembentukan rasa percaya diri. Menurut Hakim (2006:6), terbentuknya rasa percaya diri yang kuat terjadi melalui proses sebagai berikut.
36
a. Terbentuknya kepribadian yang baik sesuai dengan proses perkembangan yang melahirkan kelebihan-kelebihan tertentu. b. Pemahaman
seseorang
terhadap
kelebihan-kelebihan
yang
dimilikinya dan melahirkan keyakinan kuat untuk bisa berbuat segala sesuatu dengan memanfaatkan kelebihan-kelebihannya. c. Pemahaman dan reaksi prositif seseorang terhadap kelemahankelemahan yang dimilikinya agar tidak menimbulkan rasa rendah diri atau rasa sulit menyesuaikan diri. d. Pengalaman di dalam menjalani berbagai aspek kehidupan dengan menggunakan segala kelebihan yang ada pada dirinya. Proses pembentukan rasa tidak percaya diri pada seseorang sama halnya dengan pembentukan kepercayaan diri melalui proses yang panjang, yang dimulai dari pendidikan dalam keluarga. Awal dari proses tersebut menurut Hakim (2006:9) terjadi sebagai berikut. a. Terbentuknya berbagai kekurangan atau kelemahan dalam berbagai aspek kepribadian seseorang yang dimulai dari kehidupan keluarga dan meliputi berbagai aspek, seperti : aspek mental, fisik, sosial atau ekonomi. b. Pemahaman negatif seseorang terhadap dirinya sendiri yang cenderung selalu memikirkan kekurangan tanpa pernah meyakini bahwa ia juga memiliki kelebihan. c. Kehidupan sosial yang dijalani dengan sikap negatif, seperti merasa rendah diri, suka menyendiri, lari dari tanggung jawab, mengisolasi
37
dari kelompok, dan reaksi negatif lainnya, yang justru semakin memperkuat rasa tidak percaya diri. 4. Karakteristik percaya Diri Menurut S. Eko Putro Widoyoko dari team e-psikologi (2009), beberapa ciri atau karakteristik individu yang mempunyai rasa percaya diri yang proporsional, diantaranya adalah : a. Percaya akan kompetensi/kemampuan diri b. Tidak terdorong untuk menunjukkan sikap konformis demi diterima oleh orang lain atau kelompok c. Berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain – berani menjadi diri sendiri d. Memiliki pengendalian diri yang baik (tidak moody dan emosinya stabil) e. Memiliki internal locus of control (memandang keberhasilan atau kegagalan, tergantung dari usaha diri sendiri dan tidak mudah menyerah
pada
nasib
atau
keadaan
serta
tidak
tergantung/mengharapkan bantuan orang lain) f. Mempunyai cara pandang yang positif terhadap diri sendiri, orang lain dan situasi di luar dirinya Beberapa ciri atau karakteristik individu yang mempunyai kurang percaya diri adalah sebagai berikut :
38
a. Berusaha menunjukkan
sikap konformis, semata-mata demi
mendapatkan pengakuan dan penerimaan kelompok b. Menyimpan rasa takut/kekhawatiran terhadap penolakan c. Sulit menerima realita diri (terlebih menerima kekurangan diri) dan memandang rendah kemampuan diri sendiri – namun di lain pihak memasang harapan yang tidak realistik terhadap diri sendiri d. Pesimis, mudah menilai segala sesuatu dari sisi negatif e. Takut gagal, sehingga menghindari segala resiko dan tidak berani memasang target untuk berhasil f. Cenderung menolak pujian yang ditujukan secara tulus (karena undervalue diri sendiri) g. Selalu menempatkan/memposisikan diri sebagai yang terakhir, karena menilai dirinya tidak mampu h. Mempunyai external locus of control (mudah menyerah pada nasib, sangat tergantung pada keadaan dan pengakuan/penerimaan serta bantuan orang lain)
D. Pengertian Siswa Terisolir Frank M.Graham dan Dinan Stuart (Yaya Sunarya, 1999 : 21) menjelaskan bahwa siswa terisolir adalah siswa yang mempunyai pengaruh sosial rendah dan penerimaan sosial rendah. Siswa populer adalah siswa yang memiliki penerimaan sosial yang tinggi dan penerimaan sosial yang tinggi juga.
39
Menurut Yaya Sunarya (1999 : 9) siswa terisolir adalah siswa yang berdasarkan sosiometri memperoleh skor paling rendah bahkan tidak mendapat pilihan dari teman-temannya. Mereka dikenal sebagai siswa yang terasing atau terpencil atau dikucilkan oleh teman sekelompoknya. Terisolir merujuk pada suatu keadaan seseorang yang mengalami keterasingan atau terpencil dari lingkungannya. Yang dimaksud dengan siswa terisolir adalah siswa yang tidak mendapatkan pilihan dari teman sekelasnya sebagai teman yang disenangi atau disukai dalam situasi tertentu. Anak terisolir adalah anak yang tidak mempunyai sahabat diantara teman sebayanya dalam suatu kelompok. Isolasi atau isolate itu sendiri dibagi menjadi dua macam, yaitu voluntary isolate dan involuntary isolate. Voluntary isolate adalah suatu perbuatan yang menarik diri dari kelompok karena adanya rasa kurang memiliki minat untuk menjadi anggota suatu kelompok. Involuntary iasolate adalah sikap atau perbuatan menolak terhadap orang lain dalam kelompoknya meskipun dia ingin menjadi anggota kelompok tersebut. Involuntary yang subyektif beranggapan bahwa dia tidak dibutuhkan oleh kelompoknya dan menjauhkan diri dari kelompok, sedangkan involuntary yang obyektif sebaliknya dia benar-benar ditolak oleh kelompoknya. Anak yang terisolasi dari lingkungannya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1. Penampilan diri yang kurang menarik 2. Kurang sportif 3. Penampilan yang tidak sesuai dengan standar teman
40
4. Perilaku yang menonjolkan diri, mengganggu orang lain, suka memerintah, tidak bekerjasama, dan kurang bijaksana 5. Mementingkan diri sendiri dan mudah marah 6. Status sosio ekonomis berada di bawah sosio ekonomis kelompok 7. Tempat yang terpencil dari kelompok
E. Faktor Penyebab Keterisoliran Keterisoliran merupakan suatu akibat yang berkaitan dengan penerimaan dan penolakan sosial. Siswa yang mendapat status sosiometri terisolir merupakan suatu indikator dari rendahnya penerimaan sosial dan adanya penolakan sosial terhadapnya. Siswa yang mendapat penerimaan dan perlakuan orang lain secara wajar akan memunculkan perasaan berharga dan berarti serta dibutuhkan oleh kelompoknya. Siswa tersebut akan merasa gembira, puas, bahagia serta tumbuh rasa percaya diri. Dengan rasa percaya diri itulah muncul keberanian dan inisiatif. Siswa yang mendapatkan penolakan sosial atau penerimaan yang tidak wajar akan muncul perasaan kecewa dan merasa diabaikan pada dirinya. Keadaan itu memungkinkan siswa bertingkah laku tidak wajar, bersifat pengunduran diri (withdrawl) atau agresif. Tingkah laku pengunduran diri merupakan bentuk tingkah laku yang menunjukan ada kecenderngan putus asa dan merasa tidak aman sehingga menarik diri dari kegiatan masyarakat. Sedangkan perilaku agresif merupakan salah satu bentuk perilaku menyimpang yang cenderung merusak dan melanggar hukum.
41
Andi Mappiare (Suherlan, 2005:25) sekaitan dengan penerimaan dan penolakan sosial mengemukakan beberapa hal yang menyebabkan seorang remaja diterima atau ditolak dalam kelompoknya. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan diterima dalam kelompoknya yang dimaksud adalah sebagai berikut : 1. Penampilan (performance) dan perbuatan yang meliputi tampang baik, paling rapi, serta aktif dalam urusan kelompok. 2. Kemampuan pikir, antara lain : mempunyai inisiatif, banyak memikirkan kepentingan kelompok, dan mengemukakan buah pikiran. 3. Sikap, sifat, perasaan, antara lain : bersikap sopan, memperhatikan orang lain, penyabar dan dapat menahan amarah jika dalam keadaan tidak menyenangkan dirinya. 4. Pribadi, meliputi : jujur, dapat dipercaya, bertanggung jawab dan suka menjalankan pekerjaannya, menaati aturan kelompok. 5. Aspek lain, meliputi : pemurah dan tidak pelit, suka bekerja sama dan membantu anggota kelompok. Adapun faktor penyebab seorang remaja ditolak kelompoknya meliputi : 1. Penampilan (performance) dan perbuatan, antara lain : sering menentang, malu-malu, senang menyendiri. 2. Kemampuan pikir, meliputi : bodoh sekali atau sering disebut “tolol”. 3. Sikap dan sifat, meliputi : suka melanggar norma dan nilai kelompok, suka menguasai, curiga dan melaksanakan kemauan sendiri. 4. Ciri lain : faktor rumah yang terlalu jauh dari tempat teman sekelompok.
42
F. Penelitian Terdahulu Untuk mendukung penelitian yang akan dilaksanakan, terdapat beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan kajian yang akan diteliti. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Heri Suherlan (2005) menyatakan ada 14,14 % siswa terisolir. Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Neni Rohaeni (2006) ada 5,49 % siswa yang mendapat status terisolir. Hal ini pun terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Yaya Sunarya (1999) bahwa terdapat 67 orang siswa terisolir atau 22,79 % dari keseluruhan 294 siswa. Ini artinya hampir dapat dipastikan bahwa di setiap sekolah terdapat anak-anak terisolir yang secara teori akan mengganggu hubungan sosial dengan teman sebayanya dan proses belajarnya karena statusnya sebagai siswa terisolir.