BAB II PERTANIAN DAN LINGKUNGAN 2.1. Pendahuluan Setelah Perang Dunia II revolusi penggunaan bahan kimia dalam bidang pertanian berkembang secara pesat dan intensif. Akibatnya muncullah masalah yang mengganggu kesehatan dan pencemaran terhadap lingkungan. Penggunaan pestisida BHC pada tanaman hijauan (makanan ternak) telah mengakibatkan terkontaminasinya tanaman
rumputan yang berakibat
buruk
terhadap
kualitas
susu
sapi yang
terjadi sekitar tahun 1969 di Jepang. Demikian pula dengan DDT telah menyebabkan munculnya serangga (lalat rumah) menjadi kebal sehingga untuk membasminya diperlukan peningkatan dosis yang akan menjadi berbahaya bagi manusia. Dengan kasus-kasus serupa itu, maka muncullah kemudian isu lingkungan yang bersentral pada sebuah buku berjudul "Silent Spring" yang ditulis oleh Rachel Carson (1962). Buku tersebut memberikan peringatan tentang dampak bahan kimia dalam pertanian terhadap lingkungan dan ekosistem. Di Indonesia kesadaran akan kesehatan lingkungan memang agak terlambat dibandingkan negara-negara lainnya.
Hal
ini tidak mengherankan mengingat
pembangunan industri secara besar-besaran baru terjadi dalam tahun 70-an yakni masa orde baru. Sektor inilah yang kemudian diketahui telah menyebabkan berbagai masalah pencemaran lingkungan yang memprihatinkan, baik berupa polutan udara (gas, debu, kebisingan), air (limbah kimia berbahaya), maupun darat (sisa buangan seperti plastik, logam, sampah, dan sebagainya). Untuk membandingkan sampai sejauhmana suatu pencemaran dapat terjadi akibat aktifitas ekonomi manusia, maka dapat kiranya dibandingkan dengan negara industri yang sudah maju (Tabel 2.1). Akibat berkembangnya perkotaan dengan munculnya berbagai sektor industri berdampak pula pada dinamika sosial kemasyarakatan, yakni terjadinya urbanisasi penduduk dari desa ke perkotaan. Hal ini memunculkan masalah baru yang menyebabkan semakin peliknya masalah lingkungan, yakni meningkatkan limbah domestik yang potensinya semakin besar mengingat kurangnya kesadaran penduduk akan lingkungan dan kurangnya fasilitas serta teknologi lingkungan. Disamping itu patologi sosial yang merupakan ekses dari perubahan pola hidup masyarakat dari
7
agraris ke industri juga menjadi menarik sebagai kajian bila dilihat sebagai polutan lingkungan sosial.
Tabel 2.1. Jumlah limbah yang dihasilkan oleh beberapa negara akibat aktifitas ekonomi pada tahun 2010 (kali 1.000 ton) (Anonim, 2012b)
Mengingat demikian luasnya permasalah lingkungan, maka perlu adanya kebijakan makro yang bersifat integrasi dari berbagai sudut kepentingan agar supaya masalah lingkungan tidak semakin rumit.
2.2. Desa sebagai model lingkungan Mengingat bahwa pada topik pembicaraan ini adalah lingkungan dalam bidang pertanian dalam arti luas, maka suatu kawasan yang dianggap proporsional terhadap masalah tersebut adalah desa. Dalam kawasan ini terdapat beberapa variabel yang
perlu mendapatkan perhatian dan perlu dimonitoring dengan
saksama yakni: keadaan cuaca, topografi, vegetasi, jenis dan kesuburan tanah, penduduk, penggunaan tanah, kualitas air, sumber energi, tata letak, sosial ekonomi, budaya, dan sebagainya. Dengan demikian segala bentuk aktifitas manusia (pembangunan)
yang
akan
diintroduksi 8
dalam
suatu
kawasan
hendaknya
mendapatkan analisis secara mendalam terhadap permasalahan yang akan timbul nantinya. Contoh klasik adalah masuknya teknologi pertanian dalam bentuk paket teknologi usahatani (sistem irigasi, bercocok tanam, pengendalian hama-penyakit, varietas unggul dan pengolahan tanah) di pedesaan yang dimulai pada tahun 60-an telah merubah kondisi suatu kawasan dari kondisi alaminya. Introduksi bibit unggul varietas padi PB5 dan PB8 pada tahun 70-an telah menyebabkan munculnya penyakit kresek (Xanthomonas oryzae). Penggunaan berbagai jenis pestisida pada tanaman padi dan palawija telah mampu memunculkan jenis biotipe hama baru (wereng) yang resisten, sehingga terbitnya Inpres Presiden untuk menarik 50 jenis pestisida dari pasaran. Penggunaan pupuk kimiawi (buatan)
telah menyebabkan mundurnya
kesuburan tanah karena munculnya akumulasi bahan kimia yang tidak terurai. Demikian seterusnya terhadap kualitas reservoir air seperti: sungai, sumur dan danau yang tercemar limbah buangan aktifitas pertanian. Untuk mengatasi hal tersebut saat ini manusia mulai menyadari arti pentingnya kembali ke alam (back to nature). Filosofis ini menyebabkan orang mulai berfikir bagaimana caranya agar supaya alam mampu menetralisir dirinya terhadap pencemar yang ada. Disisi lain manusia menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari alam sehingga ia harus hidup berdampingan dengan cacing, serangga, batu, air, ternak, hujan, dan sebagainya tanpa memotong siklus alam yang ada. Konsep inilah yang sebenarnya telah berkembang dalam masyarakat pertanian tradisional. Dalam Tabel 2.2 disajikan pergeseran perkembangan pengelolaan pertanian dari yang sifatnya merusak alam ke arah berdampingan dengan alam. Sehingga apabila hal ini diringkas, maka pengelolaan pertanian hendaknya berdasarkan kepada masalah sebagai berikut: 1) Tanah pertanian hendaknya bukan hanya dijadikan tempat untuk menghasilkan makanan tetapi juga sebagai tempat hidup manusia dan suatu tempat untuk mengekspresikan suatu mekanisme pengendalian sumber alam seperti air dan udara, dan suatu mekanisme konservasi sumber tanah dan lingkungan, seperti perlindungan terhadap erosi tanah, disintegrasi tanah dan banjir, melalui pengelolaan produktivitas yang sesuai. 2) Pengelolaan yang tak sesuai pada tanah pertanian akan memacu terjadinya disintegrasi alam. Dengan dasar itu maka untuk masa depan hendaknya pertanian diarahkan kepada masalah: 9
Klarifikasi daur materi pada tanah pertanian, hubungan antara klimat dan daur air, evaluasi mekanisme konsernasi lingkungan, peranan pertanian dalam lingkungan global, dsb.
Menekan penggunaan pupuk buatan dan bahan kimia dalam lahan pertanian ke tingkat minimum.
Mengembangkan teknologi pertanian berkelanjutan untuk memantapkan harmonisasinya dengan lingkungan global.
Penggunaan energi dan biomas lokal yang dapat diperoleh dari sumber energi bersih seperti matahari, angin, air dsb.
Penggunaan daur materi pertanian secara maksimum.
Tabel 2.2. Perkembangan teknologi pertanian yang berdampingan dengan keharmonisan lingkungan global (Anonim, 1991). Pola pertanian 1. Pertanian merusak lingkungan 2. Kembali ke pertanian tradisional 3. Promosi teknologi konservasi lingkungan 4. Pertanian harmonis dengan lingkungan
Sasaran a. Utamakan pertanian. b. Eksplotasi tanah c. Pada tanah tak cocok a. Penggunaan lahan yang cocok b. Berdasar daur bahan Konservasi air, konservasi pencegah banjir, pencegah erosi, kesehatan, dan istirahat, pengisian lereng a. Daur materi b. Harmonis dengan ekosistem alamiah
Kejadian Erosi, polusi air, kerusakan hutan, padang pasir Padi dan ternak, rasionalisasi agroforestry, daur ulang limbah urban Pendekatan ekosistem secara integratif
Pemanfaatan P dalam tanah, pemanfaatan limbah rumah dan ternak, tumpang sari, PH, agroforestry
Dalam menuju pada konsep di atas, sekarang telah dilakukan beberapa langkah positif dengan sedikit sentuhan teknologi yang diharapkan mampu memacu tingkat produktivitas pertaniannya. Konsep yang akhir-akhir ini berkembang pesat adalah yang disebut dengan bioteknologi. Secara definitif bioteknologi adalah sebagai suatu usaha dengan memanfaatkan organisme hidup atau bagiannya untuk membuat atau modifikasi produk, meningkatkan produksi tanaman atau ternak (dalam bidang pertanian) atau untuk mengembangkan mikroba untuk tujuan khusus. Spektrumnya 10
sangat luas menyangkut produksi pangan, fermentasi, antibiotika, enzim, alkohol, kultivasi sel, pengendalian limbah, pemurnian minyak, pemupukan, dan sebagainya. Tingkat perkembangannya dikenal ada empat tahapan yakni: a. Biotek fermentasi; b. Biotek produksi asam-asam organik dan biomas (asam sitrat, alkohol); c. Biotek bahan kimia dalam kondisi steril (antibiotika); d. Biotek mutahir (molekuler, rekayasa gen, dan lain-lain). Di Indonesia baru pada tingkat pertama dan kedua, sedangkan yang berikutnya baru dalam tahap teoritis atau dalam lembaga penelitian. Dilihat dari aplikasinya dalam bidang pertanian dapat dibedakan atas tiga bagian, yakni: 1. Aplikasi mikroba, ialah dengan memanfaatkan mikroba untuk meningkatkan efisiensi produksi pertanian. 2. Aplikasi seluler, termasuk didalamnya biotek kultur jaringan dan sel dalam rangka perbaikan bahan tanaman. 3. Aplikasi molukuler dalam rangka identifikasi dan karakter plasma nutfah tingkat molekuler, termasuk di dalamnya rekayasa genetik (DNA/RNA). Secara teoritis konsep ini dapat diterapkan dalam bidang pertanian untuk meningkatkan produktifitas sebagaimana terlihat pada Gambar 2.1 dan Gambar 2.2. Pada Gambar 2.1 terdapat tiga pilar utama untuk meningkatkan efisiensi pertanian melalui biotek, yakni: breeding tanaman, proteksi tanaman dan kultivasi tanaman. Beberapa contoh dari konsepsi tersebut dikemukakan dalam bab berikutnya. Pada Gambar 2.2 dikemukakan mengenai alur perbanyakan tanaman dengan menggunakan bioteknologi.
Gambar 2.1. Peranan bioteknologi melalui tiga jalur dalam meningkatkan efisiensi produksi tanaman. 11
Gambar 2.2. Empat cara biotek untuk perbanyakan tanaman: perbanyakan cepat, kloning sel, haploid dan rekayasa genetik. Aplikasi dari konsepsi yang dikemukakan pada Gambar 2.1 dan Gambar 2.2. tersebut di atas dapat dikemukakan pada beberapa contoh nyata yang saat ini telah berkembang dengan pesat dalam bidang pertanian, antara lain: Konsep PHT (Pengendalian Hama Terpadu). Konsep ini sebenarnya berkembang dari dasar pemikiran epidemiologi, yakni di alam
terjadi
keseimbangan
antara
tiga
unsur
utama:
tanaman
inang,
hama/patogen, dan lingkungan (biotis dan non biotis). Tidak akan terjadi outbreak hama/ penyakit selama keseimbangan terjadi. Dengan gangguan teknologi manusia maka seringkali salah satu unsur terganggu (misalnya penggunaan pestisida yang menyebabkan predator mati) maka muncullah ourbreak. Konsep PHT memberikan pengertian kapan seseorang melakukan tindakan pengendalian dan kapan tidak (khususnya bahan kimia), sehingga alam dibiarkan apa adanya. Penggunaan musuh alami (predator, patogen, parasit) sangat besar manfaatnya dalam operasionalisasi konsep tersebut. Musuh alami bukan hanya jenis burung-burungan atau khewan lainnya (laba-laba, tabuhan, jangkrik, kepinding, dsb.), namun juga pemanfaatan jasad renik seperti jamur, bakteri dan virus. Penggunaan BT suatu nama perdagangan untuk bakteri 12
Bacillus thuringiensis ternyata efektif dalam mengendalikan larva Plutella maculipenis perusak tanaman kubis. Bacillus popilliae dan B. lentimorbus telah digunakan secara luas untuk mengendalikan hama kumbang jepang (Popillia japonica) di Amerika Utara. Larva hama kuwangwung (Oryctes rhinoceros) pada daun kelapa dapat diparasitir jamur Metarrhizium anisopliae; jenis jamur lain untuk mengendalikan hama serangga antara lain Aspergillus, Septoria, Beauveria, Spicaria, dan Isaria. Virus Nuclear Polyhedrosis dapat digunakan untuk mengendalikan ulat grayak sedangkan Virus Granulosis dapat menyerang larva ngengat dan kupu-kupu. Di Amerika malah telah dikomersialkan jenis tanaman jagung dan kapas pembawa gen BT (sebagai transgenik plants) yang tahan terhadap hama lepidoptera, karena kemampuannya menghasilkan kristal protein tertentu yang bersifat toksik bagi hama serangga tersebut. Biotek dapat juga dilakukan pada patogen tanaman seperti: pengendalian penyakit layu pada tomat oleh jamur Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici dapat ditekan dengan menyelup akar yang sakit dalam cairan mengandung jamur Cephalosporium sp.; penyakit rebah semai pada jagung oleh jamur Fusarium roseum dapat dikendalikan dengan menyelimuti biji sebelum ditanam dengan larutan bakteri Bacillus subtilis atau jamur Chaetomium globosum; pemberian spora jamur Peniophora gigantae dalam bentuk cair pada potongan batang pinus dapat mengurangi serangan Fomus annosus yang menyerang akar. Bioteknologi Mikoriza dan Rhizobium Untuk meningkatkan produksi pertanian, khususnya pada lahan kurang subur pilihan cenderung menggunakan pupuk buatan kimiawi karena reaksinya cepat. Akhir-akhir ini kondisi ini mulai diragukan kelanjutannya karena dampak sampingannya. Pilihan
mulai
menengok
pada
rekayasa
pemanfaatan
mikroba
untuk
menciptakan kesuburan alamiah. Mikoriza yang merupakan bentuk asosiasi antara jamur tanah dan akar tanaman ternyata sangat membantu dalam peningkatan kesuburan tanah karena kemampuannya membantu tanaman dalam menyerap unsur hara, khususnya fosfor pada tanah yang bermasalah fosfor. Dari hasil penelitian Sastrahidayat (2010), ternyata hampir semua jenis tanaman yang diinokulasi mikoriza menunjukkan respon yang tinggi pada pertumbuhan dan produksinya. Dari beberapa jenis yang diuji peningkatan produksi sebagai berikut: jagung (22-90 %), padi gogo (2235 %), bawang merah (37-104 %), cabai besar (12-27 %), kacang panjang (22-35 %). 13
Pada jenis endomikoriza jamur tersebut sangat efektif bila dibiakan pada rumput bahia (Puspalum notatum), sehingga untuk peternakan hal ini sangat baik sekali dalam meningkatkan pakan ternak. Sampai saat ini penulis telah berhasil membiakan pupuk hayati mikoriza ini dan dapat dipaket dalam berbagai bentuk seperti tablet, granuler, campuran, dan kapsul sehingga mudah dalam penyimpanan dan transportasi. Perlu kiranya hal ini dicobakan pada tanah-tanah pertanian khususnya di Jawa yang selama ini dipupuk berat dengan pupuk kimia super posfat (SP) ditambang kembali dengan pupuk mikoriza karena banyak yang terjerap oleh tanah sehingga tak tersedia bagi tanaman. Demikian pula bintil akar tanaman legum, ternyata merupakan bentuk asosiasi antara bakteri tanah Rhizobium dengan sel akar tanaman, sangat membantu dalam fiksasi
nitrogen dari udara bebas. Saat ini jenis jasad
tersebut telah mampu
diisolasi dan dikembangkan sehingga didapat paket teknologi berupa "pupuk hayati" yang tidak menyebabkan pencamaran lingkungan. Dengan biotek moderen ternyata dari Rhizobium dapat diisolasi adanya gen untuk fiksasi (gen nif) dan gen untuk nodulasi (gen nod), kemudian diciri dan ditransfer dalam tanaman untuk mendapatkan tanaman transgenik yang mampu memfiksasi N alami secara mandiri. Selain jazad renik,
tanaman seperti blue green algae dan azolla dapat
dimanfaatkan sebagai pupuk alamiah karena kemampuannya memfiksasi N dari udara disamping menambah unsur lainnya. Perbanyakan dan pencarian jenis yang efektif relatif lebih mudah dibandingkan jasad renik sehingga untuk skala komersial memungkinkan untuk dikembangkan.
Kultur jaringan Bioteknologi yang tidak kalah pentingnya adalah kultur jaringan, yakni suatu cara memperbanyak tanaman
in vitro dengan menggunakan sebagian
jaringan
tanaman sebagai bahan perbanyakan, baik yang berupa sel tunggal, jaringan atau organ dalam kondisi bebas hama dan penyakit serta pengaruh mikroba lainnya. Cara ini pada dasarnya adalah perbanyakan secara vegetatif sehingga akan didapat keseragaman bibit tanaman yang nantinya siap disebarkan di lapangan dengan hasil yang relatif seragam pula, karena tidak terjadi persilangan genetika induk (misal: anggrek, pisang). Terdapat lima macam kultur jaringan yang telah berkembang yaitu: kultur kalus; kultur meristem dan pucuk; kultur anther, polen dan ovul; kultur sel dan protoplast; dan kultur embrio 14
(Gambar 2.2). Dalam tulisan ini tidak diuraikan lebih jauh mengenai teknisnya dan bagi yang berminat dapat dipelajari dari pustaka yang ada.
Teknologi mengurangi pencemaran lingkungan secara langsung Dalam hubungannya dengan pertanian dan peternakan, maka efek dari aktivitas tersebut di atas yang secara langsung menerima pencemaran adalah reservoir air dan tanah. Berbagai teknik lingkungan untuk menetralisir pencemaran tersebut saat ini telah berkembang pesat pula, yang antara lain: 1. Bioteknologi 2. Metode anaerobik 3. Metode fisik 4. Metode membran 5. Metode oksidatif 6. Metode campuran antara biologi, membran dan oksidatif 7. Teknologi daur ulang
Mengingat luasnya
teknologi yang dikembangkan, dalam buku ini penulis
hanya menekankan pada teknologi pertama, yakni bioteknologi. Di atas telah disebutkan beberapa contoh pemanfaatan biotek dalam bidang pertanian, disini akan dibicarakan manfaat bioteknologi dalam mengatasi pencemarannya secara langsung. o
Biotek dalam pencemaran cair Sungai, danau atau reservoir lainnya secara alamiah menampung limpahan air
dari daerah pengairan yang luas dan secara langsung atau tidak langsung juga menampung buangan air dari industri dan rumah tangga. Rendahnya kandungan oksigen (D.O.) dan atau tingginya konsentrasi bakteri merupakan titik kritis masalah polusi air sungai. Secara alamiah pada dasarnya sungai dapat mengatasi problemnya sendiri
melalui
potensi
sumber
air
dan
arus
air.
Pada
arus
dengan
turbulensi tinggi dan suhu air rendah populusi mikrobanya dominan sehingga mempunyai kapasitas asimilasi tinggi pada BOD, namun "microbial die off rate" dan "resident times" nya rendah. Sebaliknya pada arus yang lambat menyebabkan D.O. rendah, khususnya terjadi apabila suhu air tinggi, sehingga penyerapan oksigen oleh air rendah, namun "microbial die off rates" dan "resident times" nya tinggi. 15
Maka sebagai indikator kualitas air sungai tersebut dapatlah dilihat dari beberapa faktor, yakni: D.O., populasi mikroba, nutrisi (kebanyakan nitrogen dan fosfor), polusi bahan kimia. Pencemaran air dengan menggunakan teknologi biologi dapat dilakukan dengan menggunakan tanaman tingkat tinggi atau mikroba. a) Penggunaan gulma air (hyacintha) Hyacintha merupakan tanaman air yang dapat digunakan untuk menyaring kotoran yang terbawa air disamping dapat digunakan untuk bahan gas organik, sumber makanan ternak, dan pupuk. Dari percobaan terbukti bahwa untuk permukaan air seluas satu hektar maka tumbuhan tersebut dapat tumbuh seberat sampai 40 ton. Dengan cara ini akan mampu menekan biaya pengolahan limbah lebih rendah dibandingkan cara kimiawi, karena tanaman tersebut mampu pula menyerap logam berat yang berbahaya, seperti: cadmium, air raksa, nekel, timah serta perak dan zat-zat racun yang larut dalam air. Kandungan bahan-bahan tersebut dalam tanaman bisa mencapai 4.000 - 20.000 kali dibandingkan dalam air. Beberapa jenis yang dapat digunakan antara lain: Phragmites communis, Scirpus lacustris, Lemna spp., Spirodela spp., hydrilla, Ceratophyllum demersun. Tanaman azolla dapat juga digunakan untuk mengangkat N dan P dari air sehingga dapat digunakan untuk pemupukan, antara lain: Eichhornia, Lemna, Spirodela, Nasturtium, Ipomoea. b) Penggunaan mikroba Berbagai jenis mikroba sebenarnya sudah tersedia di alam untuk menetralisir polusi air, namun apabila tingkat pencemarannya di atas batas kemampuannya maka jasad
tersebut
akan
mati
juga.
Bakteri
mempunyai
peranan
dominan
dalam netralisasi tersebut di samping jasad bersel satu lainnya seperti: Vorticella, Zoothamium,
Epistylis,
Opercularia,
Aspidisca,
Tritigmostoma,
Litonotus,
Oxytricha, Colpidium, Uronema, Glaucoma, dan sebagainya (Gambar 2.3). Dengan
demikian
jasad
tersebut
dapat
disebut
sebagai
"pemakan
sampah". Bakteri dapat melakukan pekerjaaannya dengan baik asalkan didapat cukup oksigen dari udara dalam air tersebut (aerobic). Prinsip inilah yang digunakan dalam kolam pemroses limbah dengan menggunakan alat pengaduk (kipas) agar terjadi golakan pada air sehingga mampu mengikat oksigen dari udara. Maka dengan adanya oksigen dan bahan makanan berupa kotoran (khususnya bahan organik) tadi,
16
bakteri dapat berkembang biak, sehingga kontinyuitas degradasi bahan organik berjalan lancar.
Gambar 2.3. Beberapa contoh spesies mikroba yang dapat digunakan dalam proses dekomposisi bahan organik dalam air (Hitsumono, 1993). Untuk mendapatkan jenis bakteri yang lebih efektif dalam proses degradasi tersebut diperlukan pencarian strain yang kemudian dikembangkan dilaboratorium untuk diperbanyak dan dipaket dalam bentuk bioteknologi. Dibeberapa industri hal ini telah dilakukan, namun mengingat hal ini menyangkut paten umumnya strain tersebut dirahasiakan. Perlakuan biologi pada aliran air dapat dilakukan dengan berbagai cara atau metode yang saat ini dapat diakses dari internet atau pustaka lainnya. Prinsip utama bagi penggunaan setiap metode tersebut, adalah aliran air harus dalam kondisi baik; hal ini digunakan agar memungkinkan perlakuan: pH, suhu air (dipertahankan lebih rendah dari 40oC), gerakan air, ketersediaan nutrisi (khususnya N dan P). Beberapa water treatment yang biasanya dilakukan untuk penguarai limbah antara lain: Activated sludge method Perlakuan cara ini pada dasarnya menyediakan kolam precipitasi dan kolam aerasi dengan alur seperti terlihat di bawah, sementara prosesnya disajikan pada Gambar 2.4.
17
Dalam alur tersebut bahan aliran dicampur dengan actevated sludge dan udara. Mikroba yang ada dalam sludge dirangsang menggunakan oksigen untuk dekomposisi bahan organik. Larutan yang memadat hendaknya dibuang dahulu karena dapat menyebabkan akumulasi sludge oleh daya putaran yang akan menyebabkan menggumpalnya mikroba yang masih aktif.
Gambar 2.4. Ilustrasi activated sludge method (Hitsumono, 1993). Salah satu mikroba yang sering digunakan adalah Zoogloea ramigera, sejenis jamur yang diambil dari suatu kotoran berlendir; jasad ini mempunyai daya koagulasi yang tinggi. Kelemahan sistem ini adalah terjadinya kemunduran rasio kerapatan dan tekanan sludge, sehingga menyebabkan menurunnya efisiensi pada penjernihan ke dua. Hal ini disebut sebagai "bulking", kejadian tersebut nampaknya ada hubungannya dengan asosiasi sludge dengan perbanyakan jamur
berfilamen
(Sphaerotilus sp.). Penyebab bulking tersebut antara lain: (1) tingginya kandungan BOD; (2) ekses karbohidrat dan; (3) kekurangan nutrisi. Oxygen aeration system actevated sludge process Dalam proses ini oksigen diinjeksikan ke kolam jadi bukan menggunakan udara bebas, agar supaya terjadi aktivitas metabolit
mikroba (Gambar 2.5).
Karatekristik metode ini adalah: Kestabilan perlakuan.- Memudahkan dalam operasi dan kualitas air stabil karena adanya injeksi oksigen ke muatan aliran. Tingginya DO ratio mencegah perbanyakan jamur berfilamen. Membutuhkan ruang yang kecil.- Tingginya DO ratio menyebabkan tingginya kerapatan sludge. Setiap area perlakuan dibandingakan cara pertama. 18
mempunyai efisiensi tinggi
Daya larut sludge.- Sludge mempunyai daya larut tinggi sehingga mudah diberi air kembali. Ekses sludge yang dihasilkan 30-50 persen lebih rendah dibanding cara pertama. Tidak menimbulkan bau karena tertutup. Peralatan mahal.- Hal ini karena menggunakan generator oksigen yang mahal.
Gambar 2.5. Ilustrasi oxygen aeration system actevated sludge process (Hitsumono, 1993).
Deep shaft process Satu shaft diameternya 1 sampai 6 meter dan 50 sampai 150 meter panjang total saluran yang terbenam dalam tanah sebagai kolam aerasi (Gambar 2.6). Karakteristik cara ini adalah: Membutuhkan ruangan yang sempit karena terbenam Sedikit membutuhkan volume udara yang diinjeksikan Ratio DO tinggi menyebabkan kerapatan aliran tinggi Hal serupa dapat pula dilakukan dalam industri peternakan, apabila urine ternak menjadi masalah utama bila dibuang langsung ke dalam tanah atau badan air. Urine pada dasarnya mengandung amoniak dengan konsentrasi tinggi, secara alamiah amoniak tersebut akan diurai oleh bakteri Nitrosomonas menjadi nitrat, kemudian oleh bakteri Nitrosobacter dirubah menjadi nitrit, dan dari sini kembali menjadi nitrogen
bebas
ke udara. NO3 adalah sumber nitrogen bagi tanaman yang
dapat diserap, sedangkan NO2 mempunyai efek racun bagi tanaman, adapun N dapat diikat kembali dengan bantuan bakteri Rhizobium dalam bintil akar tanaman 19
leguminose. Atas dasar uraian di atas maka pemanfaatan bioteknologi kedua jenis bakteri tersebut nampaknya mempunyai harapan cerah untuk mendapatkan pupuk alami bagi tanaman.
Gambar 2.6. Ilustrasi deep shaft process (Hitsumono, 1993). o
Biotek dalam pencemaran padatan (solid waste) Aktivitas manusia dalam bidang pertanian demikian berkembang pesat sehingga
meluas keberbagai komoditas yang produksinya bervariasi untuk setiap kawasan dengan totalnya jutaan ton seperti data FAO dalam Gambar 2.7 (Gustavsson et.al, 2011).
Gambar 2.7. Volume produksi komoditas pertanian dunia per wilayah (x juta ton). (Gustavsson et.al. 2011). Hal tersebut tentu akan memberikan dampak lingkungan karena semakin besarnya limbah di dunia yang harus didaur ulang di alam. Apabila tidak dapat didaur kembali maka akan menjadi pencemar lingkungan serius baik berupa padatan, cair atau gas. Seperti terlihat dalam Tabel 2.3, limbah kotoran ternak dapat mencapai 20 persen dari limbah industri di negara maju (Jepang), sementara Tabel 2.4 menggambarkan jumlah limbah dari sektor pertanian dunia saja. 20
Tabel 2.3. Sumber limbah di Jepang (Hitsumoto, 1993) Jenis limbah
Unit: 103 ton/tahun Jumlah limbah yang dihasilkan (%) 39,590 100 312,271 100 112,821 36 62,462 20 48,948 16 41,649 13 8,877 3 8,058 3 6,224 2 4,320 1 3,910 1 3,672 1 11,330 4
Limbah domestic (total, 1987) Limbah industri (total, 1985): - sludge - kotoran ternak - demolit - slag - logam - kayu - abu - asam dan alkali - potongan gelas dan keramik - oli - lain-lain
Tabel 2.4. Beberapa jenis limbah pertanian di dunia (ton/th) Jenis limbah
Dunia
Afrika
Amerika Selatan
Asia
1. Jerami 2. Tebu 3. Cassava 4. Bit gula 5. Pisang 6. Jeruk 7. Kopi
1.710 116 106 482 8 12 5
111 9 42 4 1 1 2
96 28 33 5 4 3 3
607 46 30 36 2 3 -
Sumber: Van der Wal dalam Kasmidjo dan Hardiman, 1981.
Untuk mengatasi limbah tersebut dapat dimanfaatkan mikroba yang dipaket dalam biotek; Tabel 2.5. memberikan informasi mengenai beberapa jenis mikroba yang dapat dimanfaatkan. Di samping itu, akhir-akhir ini telah ditemukan jenis bakteri thermofilik yang mampu merombak sampah untuk makanan hewan karena mengandung protein. Bakteri tersebut mampu hidup pada suhu tinggi mencapai 250-350 oC, dan dapat merombak selulose biomas, serta dapat dibiakan dalam kultur murni di laboratorium. Dengan revolusi biotek ini maka akan memecahkan masalah limbah padat, termasuk kotoran ternak dengan biaya relatif murah dibanding cara lain.
21
Tabel 2.5. Beberapa jenis mikroba yang dapat digunakan untuk membuat protein sel tunggal atau biomasa mikroba (Anonim, 1978) Jenis mikroba Saccharomyces cerevisiae
Candida utilis Kluyveromyces fragilis
Rhizopus oligosporus
Bahan baku a. melase b. bahan yang mengandung sisa gula c. limbah kertas a. limbah pati/kertas b. karbon a. limbah keju b. limbah ikan c. limbah daging a. dedak b. limbah kelapa
Menurut Deacon (1997) mikroba dapat dibagi dalam beberapa kategori yang luas (tidak persis benar) berdasarkan kebutuhan suhunya untuk hidup, yakni:
Psychrophiles (cold-loving) dapat tumbuh pada suhu 0oC, bahkan beberapa anggotanya bisa mencapai suhu -10oC; namun limit suhu tertinggi sekitar 25oC.
Mesophiles tumbuh dalam suhu yang sedang sekitar 20oC (atau lebih rendah) sampai 45oC.
Thermophiles suka panas, dengan suhu optimum untuk tumbuh adalah 50o atau lebih, maximum bisa mencapai 70oC atau lebih, dan minimum sekitar 20oC.
Hyperthermophiles mempunyai suhu optimum di atas 75oC dengan demikian dapat hidup pada suhu lebih tinggi lagi. Suatu contoh mikroba yang dapat hidup pada suhu ekstrim adalah genus Pyrodictium, yang ditemukan dalam panas cincin geothermal. Suhu minimumnya 82o, optimum 105o dan pertumbuhan maximum 110oC.
Perlu ditekankan kembali bahwa pembagian ini hanya merupakan perkiraan sementara. Karena terdapat kriteria lainnya bagi klasifikasi prokaryotes dan eukaryotes. Suhu tertinggi yang menjadi limit bagi pertumbuhan setiap organisme eukariotes thermophilic adalah sekitar 62-65oC. Sedangkan limit tertinggi bagi photosynthetic eukaryote adalah sekitar 57oC, misal untuk alga merah Cyanidium caldarium, yang tumbuh disekitar sumber air panas dengan suhu optimum 45oC. Sebaliknya untuk beberapa anggota unicellular Cyanobacteria dapat tumbuh mencapai suhu 75oC, dan 22
beberapa anggota non-photosynthetic prokaryotes dapat tumbuh pada suhu 100oC atau lebih. Di bawah ini dikemukakan dua tipe thermophilik, yakni: mikroba yang hidup dalam daerah geothermal dan yang hidup dalam bahan yang mengalami proses pemanasan atau "self-heating" seperti kompos. Banyak anggota dari prokaryotes dapat hidup di lingkungan yang sangat extrim disebut archaea, yakni suatu grup yang dapat dibedakan dengan jelas dari bakteri dan eukaryota. Memang terdapat perbedaan pendapat tentang hal tersebut namun hal ini dikarenakan masih dilakukannya pencarian dan
pengenalan,
yang
umumnya
mengalami
kesulitan
akibat
persoalan
menumbuhkannya dalam kondisi laboratorium yang jelas berbeda dengan kondisi alaminya. Anggota genus Sulfolobus (archaea) adalah salah satunya yang paling baik dipelajari pada anggota
hyperthermophilik. Umumnya ditemukan pada lingkungan
geothermal, dengan suhu maximum untuk tumbuh adalah sekitar 85-90o, optimum 80o dan minimum 60oC. Didapat juga anggotanya yang hidup pada pH rendah dengan optimumnya pH 2-3, sehingga sering juga disebut dengan istilah thermoacidophiles. Sulfolobus species mendapatkan energinya dengan cara mengoxidasi bubuk sulphur sekitar sumber air panas, menghasilkan asam belerang sehingga pH menjadi rendah. Studi mengenai lingkungan ekstrim saat ini menjadi bahan pertimbangan penting bagi pengembangan bioteknologi. Sebagai contoh dua spesies thermophilic, yakni Thermus aquaticus dan Thermococcus litoralis yang digunakan sebagai sumber enzyme DNA polymerase, untuk polymerase chain reaction (PCR) dalam cetak padanan DNA, dan sebagainya. Enzymes yang dihasilkan oleh organisme tersebut relatif stabil pada suhu tinggi, yang hal ini sangat diperlukan untuk proses PCR yang melibatkan siklus panas untuk memecah ikatan hydrogen dalam DNA dan meninggalkan single strands yang dapat dikopi berulang. Thermophilik lainnya adalah Bacillus stearothermophilus (suhu maximum 75oC) telah dapat ditumbuhkan secara komersial untuk pembuatan enzymes yang digunakan dalam pembersihan 'biological' tepung.
23