BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK BERDASARKAN UNDANGUNDANG NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK A. Pengertian Anak Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak adalah keturunan kedua. Dalam konsideran Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Konvensi Hak Anak (KHA) mendefinisikan “anak” secara umum sebagai manusia yang umurnya belum mencapai 18 (delapan belas) tahun, namun diberikan juga pengakuan terhadap batasan umur yang berbeda yang mungkin diterapkan dalam perundangan nasional. 19 Oleh karena itu agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.
19
Unicef, Pengertian Konvensi Hak Anak, (Jakarta : PT Enka Parahiyangan, 2003), hal. 3.
Dalam berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia, tidak terdapat pengaturan yang tegas tentang kriteria anak. Lain peraturan perundang-undangan, lain pula kriteria anak. Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa belum dewasa apabila belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menentukan bahwa anak adalah seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Pokok Perburuhan (Undang-Undang No. 12 Tahun 1948) menentukan bahwa anak adalah orang laki-laki atau perempuan berumur 14 (empat belas) tahun ke bawah. Menurut Hukum Adat seseorang dikatakan belum dewasa bilamana seseorang itu belum menikah dan berdiri sendiri belum terlepas dari tanggung jawab orang tua. Hukum Adat menentukan bahwa ukuran seseorang telah dewasa bukan dari umurnya, tetapi ukuran yang dipakai adalah dapat bekerja sendiri, cakap melakukan yang disyaratkan dalam kehidupan masyarakat, dapat mengurus kekayaan sendiri. 20 Betapa pentingnya posisi anak bagi bangsa ini, menjadikan kita harus bersikap responsif dan progresif dalam menata peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk menentukan batas usia dalam hal defenisi anak, maka akan terdapat berbagai macam batasan usia anak mengingat beragamnya defenisi batasan usia anak dalam beberapa undang-undang, misalnya :
20
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, (Bandung : PT Refika Aditama, 2008), hal 31-32.
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mensyaratkan usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. 2. Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak mendefenisikan anak berusia 21 tahun dan belum pernah kawin. 3. Undang-Undang No. 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak
mendefenisikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah berusia delapan tahun, tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin. 4. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum pernah kawin. 5. Undang-Undang
No.
13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan
membolehkan usia bekerja 15 tahun. 6. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberlakukan wajib belajar 9 (sembilan) tahun, yang dikonotasikan menjadi anak berusia 7 sampai 15 tahun. 7. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) menyebutkan bahwa yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya. Berbagai macam defenisi tersebut, menunjukkan adanya disharmonisasi perundang-undangan yang ada. Sehingga pada praktiknya di lapangan akan banyak kendala yang terjadi akibat dari perbedaan tersebut.
Sementara itu, mengacu pada Konvensi PBB tentang Hak Anak (Convention on the Right of the Child), maka defenisi anak : “Anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal”. Untuk itu Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan defenisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 21 B. Asas-Asas Hukum Perlindungan Anak Perlindungan anak berasaskan Pancasila dan UUD 1945 serta prinsip-prinsip konvensi Hak-Hak Anak, dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi : a. Non diskriminasi; b. Kepentingan yang terbaik bagi anak; c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d. Penghargaan terhadap pendapat anak. Pengertian asas kepentingan yang terbaik bagi anak adalah bahwa dalam suatu tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.
21
M. Nasir Djamil, Op.cit., hal. 8-10.
Pengertian asas untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan adalah bahwa hak-hak asasi yang mendasar bagi anak wajib dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua. Artinya pihak-pihak tersebut, wajib mewujudkan dan tidak meniadakan hak-hak yang dimaksud (hak hidup, hak kelangsungan hidup dan hak berkembang). Pengertian asas penghargaan terhadap pendapat anak adalah adanya penghormatan atas hak untuk mengambil keputusan, terutama terhadap hal yang berkaitan dengan kehidupannya. Pasal 3, Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. 22 Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, Hak-hak anak meliputi : 23 1. Hak hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi; 2. Hak atas nama dan identitas diri dan status kewarganegaraan; 3. Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi; 4. Hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh atau diasuh oleh pihak lain apabila karena sesuatu hal orang tua tidak mewujudkannya; 5. Hak memperoleh pelayanan kesehatan jasmani dan rohani, jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental spiritual dan sosial; 6. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dan bagi yang cacat memperoleh pendidikan luar biasa;
22
Muhammad Taufik Makarao, dkk, Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Jakarta : Rineka Cipta, 2013), hal.107-108. 23 Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, (Bandung : CV. Mandar Maju, 2009), hal.16-18.
7. Hak untuk didengar pendapatnya, menerima dan mencari informasi dan juga memberi informasi; 8. Hak berkreasi, istirahat, memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan yang sebaya dan yang cacat berhak mendapatkan rehabilitasi, bantuan sosial dan memelihara taraf kesejahteraan sosial; 9. Selama dalam pengasuhan, anak berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi atau seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya terhadap pelaku hal-hal yang tersebut dengan hukuman; 10. Hak untuk diasuh orang tuanya sendiri, kecuali apabila terdapat aturan hukum yang meniadakannya; 11. Hak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kekerasan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, dan pelibatan dalam peperangan; 12. Hak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak menusiawi, hak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. Penangkapan, penahanan, atau hukuman penjara yang dapat dilakuakan sesuai hukum dan itu merupakan upaya terakhir; 13. Anak yang dirampas kebebasannya, berhak mendapatkan perlakuan yang manusiawi dan penempatannya dipisah dari orang tua, memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya secara efektif dari setiap tahapan hukum, membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak memihak; 14. Anak yang menjadi korban, berhak memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya.
C. Prinsip Perlindungan Hak-Hak Anak Sebagai negara yang Pancasilais, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan, Indonesia memiliki banyak peraturan yang secara tegas memberikan upaya perlindungan anak. Dalam konstitusi UUD 1945, disebutkan bahwa “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”, kemudian juga perlindungan spesifik hak anak sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia, masuk dalam Pasal 28B ayat (2), bahwa “setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta memperoleh perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Selanjutnya perlindungan hak anak di Indonesia dapat dilihat dalam UndangUndang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang bersamaan dengan penetapan tahun 1979 sebagai “Tahun Anak Internasional”, selanjutnya Indonesia aktif terlibat dalam pembahasan Konvensi Hak Anak tahun 1989, yang kemudian diratifikasi melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak-Hak Anak ( Convention on the Rights of the Child ). Pada Tahun 2002, disahkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang secara tidak langsung mengakomodir prinsip-prinsip hak anak sebagaimana diatur dalam Konvensi Hak Anak. Salah satu implementasinya adalah dengan pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Undang-Undang Perlindungan Anak ini kemudian dilengkapi dengan memasukkan prinsip-prinsip hak anak pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Keppres RI No. 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan BentukBentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, Keppres RI No. 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak,
Keppres RI No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak. 24 Dalam konteks perlindungan anak sebagai implementasi hak-hak anak, Irwanto menyebutkan beberapa prinsip perlindungan anak, yaitu : 25 1) Anak Tidak dapat Berjuang Sendiri Anak sebagai generasi penerus dan modal utama kelangsungan hidup manusia, bangsa dan keluarga sehingga hak-haknya harus dilindungi. Ironisnya bahwa ternyata anak tidak dapat melindungi hak-haknya secara sendirian begitu saja. Banyak pihak yang terlalu berkuasa yang harus dilawannya sendiri. Karena negara dan masyarakat berkepentingan akan mutu dan warganya, maka dengan demikian negara harus ikut campur dalam urusan perlindungan hak-hak anak. 2) Kepentingan Terbaik Anak (the Best Interest of the Child) Agar perlindungan anak terselenggara dengan baik maka perlu dianut sebuah prinsip yang menyatakan bahwa kepentingan terbaik anak harus dipandang sebagai of paramount importance (memperoleh prioritas tertinggi) dalam setiap keputusan yang menyangkut anak. Prinsip the best Interest of the child digunakan karena dalam banyak hal anak adalah “korban”, termasuk korban ketidaktahuan (Ignorance) karena usia perkembangannya.
Selain
itu,
tidak
ada
kekuatan
yang
dapat
menghentikan tumbuh kembang anak. Jika prinsip ini diabaikan, maka 24
Ibid. hal. 27-28. Muhammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas. Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak. (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 106-108. 25
masyarakat akan menciptakan monster-monster yang lebih buruk dikemudian hari. 3) Ancangan Daur Kehidupan (Life-circle Approach) Perlindungan
terhadap
anak
mengacu
pada
pemahaman
bahwa
perlindungan harus dimulai sejak dini dan terus menerus. Janin yang berada dalam kandungan perlu dilindungi dengan gizi, termasuk yodium dan kalsium yang baik bagi ibunya. Jika ia telah lahir maka diperlukan air susu ibu dan pelayanan kesehatan primer yang memberikannya pelayanan imunisasi dan lain-lain sehingga anak terbebas dari berbagai kemungkinan penyakit. Masa-masa prasekolah dan sekolah diperlukan keluarga, lembaga pendidikan dan lembaga sosial, keagamaan yang bermutu. Inilah periode kritis dalam pembentukan kepribadian seseorang. Anak harus memperoleh kesempatan belajar yang baik, waktu istirahat dan bermain yang cukup, dan ikut menentukan nasibnya sendiri. Pada saat anak berumur 15-18 tahun, dia memasuki masa transisi ke dalam dunia dewasa. Periode pendek ini memang penuh risiko karena secara kultural seseorang akan dianggap dewasa dan secara fisik memang telah cukup sempurna untuk menjalankan fungsi reproduksinya. Pengetahuan yang benar tentang reproduksi dan perlindungan dari berbagai diskriminasi dan perlakuan salah sehingga dapat memasuki perannya sebagai orang dewasa yang berbudi dan bertanggung jawab. Perlindungan hak-hak mendasar bagi para dewasa juga diperlukan agar generasi penerus mereka tetap bermutu. Orang tua yang terdidik akan mementingkan sekolah anak-anak mereka.
Orang tua yang sehat jasmani dan rohaninya akan selalu menjaga tingkah laku kebutuhan fisik maupun emosional anak-anak mereka. 4) Lintas Sektoral Seperti diuraikan di atas, nasib anak bergantung dari berbagai faktor yang makro maupun mikro yang langsung maupun tidak langsung. Kemiskinan, perencanaan kota dan segala penggusuran yang terjadi, sistem pendidikan yang menekankan hapalan dan bahan-bahan yang tidak relevan, komunitas yang penuh dengan ketidakadilan, dan sebagiannya tidak dapat ditangani sektor, terlebih keluarga atau anak itu sendiri. Perlindungan terhadap anak adalah perjuangan yang membutuhkan sumbangan semua orang di semua tingkatan. Berdasarkan Konvensi Hak Anak yang kemudian diadopsi dalam UndangUndang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ada empat prinsip umum perlindungan
anak
yang
menjadi
dasar
bagi
setiap
negara
dalam
menyelenggarakan perlindungan anak, antara lain : 26 1. Prinsip Non diskriminasi Artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam Konvensi Hak Anak harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun. Prinsip ini ada dalam Pasal 2 Konvensi Hak Anak ayat (1), “Negara-negara pihak menghormati dan menjamin hak-hak yang ditetapkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang berada di wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa
26
M. Nasir, op.cit., hal. 29-31.
memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan-pandangan lain, asal usul kebangsaan, etnik atau sosial, status kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status lainnya baik dari si anak sendiri atau dari orang tua walinya yang sah.” Ayat (2) : “Negara-negara pihak akan mengambil semua langkah yang perlu untuk menjamin agar anak dilindungi dari semua diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang dikemukakan atau keyakinan dari orang tua anak, walinya yang sah atau anggota keluarganya.” 2. Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak (Best Interest of The Child) Prinsip ini tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi Hak Anak : “Dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.” Prinsip ini mengingatkan kepada semua penyelenggaraan perlindungan anak
bahwa
pertimbangan-pertimbangan
dalam
pengambilan
keputusan
menyangkut masa depan anak, bukan dengan ukuran orang dewasa, apalagi berpusat kepada kepentingan orang dewasa. Apa yang menurut orang dewasa baik, belum tentu baik pula menurut ukuran kepentingan anak. Boleh jadi maksud orang dewasa memberikan bantuan dan menolong, tetapi yang sesungguhnya terjadi adalah penghancuran masa depan anak. 3. Prinsip Hak Hidup, Kelangsungan Hidup, dan Perkembangan (The Rights of Life, Survial and Development)
Prinsip ini tercantum dalam Pasal 6 Konvensi Hak Anak ayat (1) : “Negara-negara pihak mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan.” Ayat (2) : “Negara-negara pihak akan menjamin sampai batas maksimal kelangsungan hidup dan perkembangan anak.” Pesan dari prinsip ini sangat jelas bahwa negara harus memastikan setiap anak akan terjamin kelangsungan hidupnya karena hak hidup adalah sesuatu yang melekat dalam dirinya, bukan pemberian dari negara atau orang perorang. Untuk menjamin hak hidup tersebut berarti negara harus menyediakan lingkungan yang kondusif, sarana dan prasarana hidup yang memadai, serta akses setiap anak untuk memperoleh kebutuhan-kebutuhan dasar. Berkaitan dengan prinsip ini, telah juga dijabarkan dalam pembahasan sebelumnya berkaitan dengan hak-hak anak. 4. Prinsip Penghargaan terhadap Pendapat Anak (Respect for the views of The Child) Prinsip ini ada dalam Pasal 12 ayat (1) Konvensi Hak Anak : “Negaranegara pihak akan menjamin anak-anak yang mempunyai pandangan sendiri memperoleh, menyatakan pandangan-pandangan secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi anak, dan pandangan tersebut akan dihargai sesuai dengan tingkat usia dan kematangan anak.” Prinsip ini menegaskan bahwa anak memiliki otonomi kepribadian. Oleh sebab itu, dia tidak bisa hanya dipandang dalam posisi yang lemah, menerima, dan pasif, tetapi sesungguhnya dia pribadi otonom yang memiliki pengalaman, keinginan, imajinasi, obsesi, dan aspirasi yang belum tentu sama dengan orang dewasa.
Perspektif perlindungan anak adalah cara pandang terhadap semua persoalan dengan menempatkan posisi anak sebagai yang pertama dan utama. Implementasinya cara pandang demikian adalah ketika kita selalu menempatkan urusan anak sebagai hal yang paling utama. D. Perlindungan Anak Dalam Kedudukan Hukum Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosial. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Hukum merupakan jaminan bagi kegiatan perlindungan anak. Arif Gosita mengemukakan bahwa kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak. Perlindungan anak dapat dibedakan dalam 2 (dua) bagian yaitu : 1. Perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi : Perlindungan dalam bidang hukum publik dan dalam bidang hukum keperdataan;
2. Perlindungan anak yang bersifat non yuridis, meliputi : perlindungan dalam bidang sosial, bidang kesehatan, dan bidang pendidikan. 27 Dalam kaitannya dengan persoalan perlindungan hukum bagi anak-anak, maka dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 34 telah ditegaskan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Hal ini menunjukkan adanya
perhatian
perlindungannya.
serius Lebih
dari
pemerintah
terhadap
hak-hak
anak
dan
lanjut
pengaturan
tentang
hak-hak
anak
dan
perlindungannya ini terpisah dalam berbagai ketentuan peraturan perundangundangan, antara lain : 28 1. Dalam bidang perlindungan anak dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 2. Dalam bidang hukum dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak; 3. Dalam bidang kesehatan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan, diatur dalam Pasal 1, Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (2); 4. Dalam bidang pendidikan dengan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah, diatur dalam Pasal 19 dan Pasal 17; 5. Dalam bidang tenaga kerja dengan ordonansi tanggal 17 Desember 1925 tentang Peraturan Pembatasan Kerja Anak dan Kerja Malam bagi wanita
27 28
Maidin Gultom, Op.cit, hal. 33. Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung : Refika Aditama, 2006), hal. 67-68.
jo. Ordonansi tanggal 27 Februari 1926 Stbl. Nomor 87 Tahun 1926 ditetapkan tanggal 1 Mei 1976 tentang Peraturan Mengenai Kerja Anakanak dan orang-orang Muda di atas Kapal jo. Undang-Undang Keselamatan Kerja stbl. 1947 Nomor 208 jo. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 yang memberlakukan Undang-Undang Kerja Nomor 12 Tahun 1948 di Republik Indonesia; 6. Dalam bidang Kesejahteraan Sosial, dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak E. Ruang Lingkup Hukum Perlindungan Anak Untuk mendefenisikan Hukum Perlindungan Anak sebagai bahan pegangan teoretis dalam meletakkan hak-hak anak sebagai subjek hukum, terlebih dahulu perlu dipahami pengertian hukum pada umumnya. Dalam ilmu hukum terdapat beberapa pengertian dari hukum yang dijadikan bahan rujukan yang konkret terhadap pengertian Hukum Perlindungan Anak, meliputi defenisi hukum, sifat dan tujuan Perlindungan Anak pada umumnya, sebagai berikut. a. Menurut S.M. Amin, hukum adalah kempulan-kumpulan peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi hukum. b. Menurut J.C.T. Simorangkir, hukum adalah peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib. Pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi mengakibatkan timbulnya tindakan, yaitu dengan hukum tertentu.
c. Menurut Mr. E. M. Meyers, hukum adalah aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan di tujukan pada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan yang menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam tugasnya. Dari defenisi tersebut, didapat unsur-unsur hukum yang esensial sebagai berikut : a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat; b. Peraturan dibuat oleh badan-badan resmi pemerintah; c. Peraturan itu bersifat memaksa; d. Terdapat sanksi dalam rumusan peraturan. Kedudukan unsur ini menunjukkan pengertian yang lebih luas dari hukum itu sendiri yang menjadi ciri dan sifat hukum pada masyarakat, antara lain : a. Adanya peraturan dan atau larangan secara tertulis; b. Peraturan dan larangan harus dipatuhi oleh setiap orang dan atau subjek hukum. Kedudukan hukum pada umumnya maupun Hukum Perlindungan Anak, memiliki tujuan hukum yang hendaknya didapat dari suatu kesamaan penafsiran. Tentang tujuan hukum oleh masing-masing Sarjana Hukum, baik pakar-pakar hukum dan praktisi hukum, seperti Subekti, menyebutkan tujuan hukum nasional kita adalah untuk memperoleh keadilan dan kebenaran. Berbeda dengan L.J. Van Apeldoorn, tujuan hukum mengatur pergaulan hidup manusia yang satu dengan manusia yang lain secara damai.
Meletakkan batasan ruang lingkup Hukum Perlindungan Anak, Arif Gosita, berpendapat bahwa ruang lingkup Hukum Perlindungan Anak meliputi “kegiatan perlindungan anak yang merupakan suatu tindakan hukum yang membawa akibat hukum”. Lebih lanjut beliau menyebutkan bahwa perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak tersebut. Kepastian hukumnya perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diingini dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak. Berbeda pandangan dengan Irma Setyowati Soemitro, yang menyebutkan bahwa ruang lingkup Hukum Perlindungan Anak dikelompokkan dalam pengertian perlindungan anak. Perlindungan anak dapat dibedakan dalam dua pengertian berikut ini : a. Perlindungan yang bersifat yuridis, meliputi perlindungan dalam : (1) Bidang hukum publik (pidana); (2) Bidang hukum keperdataan (perdata). b. Perlindungan yang bersifat nonyuridis yang meliputi : (1) Bidang sosial; (2) Bidang kesehatan; (3) Bidang pendidikan. Menurut Bismar Siregar, bahwa untuk mengelompokkan Hukum Perlindungan Anak dengan bentuk, yaitu Aspek Hukum Perlindungan Anak. Ruang lingkup Hukum Perlindungan Anak lebih dipusatkan pada hak-hak anak
yang diatur dalam hukum dan bukan kewajiban, mengingat ketentuan hukum (yuridis) anak belum dibebani dengan kewajiban. 29 Menurut Mr. H. De Bie, merumuskan sebagai kinderrecht yang diartikan sebagai Aspek Hukum Anak, yang dibatasi pada keseluruhan ketentuan hukum mengenai perlindungan bimbingan dan peradilan anak/ remaja, seperti yang diatur dalam BW, Hukum Acara Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana serta peraturan pelaksanaannya. Menurut Mr. J.E. Doek dan H. M. A. Drewes, memberikan pengertian hukum perlindungan anak/ remaja dengan pengertian jongerenrecht ( hukum perlindungan anak muda ) dan memberi pengelompokan ke dalam dua bagian, yaitu : 30 a. Dalam pengertian luas Hukum Perlindungan Anak adalah segala aturan hidup yang memberikan perlindungan kepada mereka yang belum dewasa dan memberikan kemungkinan bagi mereka untuk berkembang; b. Dalam pengertian sempit Hukum Perlindungan Anak meliputi perlindungan hukum yang terdapat dalam : (1) Ketentuan hukum perdata (regels van civiel givilrecht); (2) Ketentuan hukum pidana (Regels van strafrecht)
29
Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, ( Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2000), hal. 38-40. 30 Ibid. hal. 41.
(3) Ketentuan hukum acara (procesrechtlijke regels). F. Tanggung Jawab Pemerintah Terhadap Perlindungan Anak Komitmen pemerintah terhadap perlindungan anak merupakan suatu elemen esensial bagi lingkungan yang bersifat melindungi. Ini mencakup jaminan bahwa sumber-sumber daya yang mencukupi harus tersedia bagi perlindungan anak, misalnya program untuk memerangi buruh anak. Ini mencakup pimpinan politik yang bersifat pro aktif dalam meningkatkan perlindungan pada agenda mereka dan bertindak sebagai advokat dalam perlindungan. Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 20 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002). Adapun kewajiban dan tanggung jawab negara dan pemerintah adalah sebagai berikut : (1) Bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak (Pasal 21) Menurut Pasal 21 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 : “Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/ atau mental anak”. (2) Berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan, sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 22) : “Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam
penyelenggaraan perlindungan anak. Dukungan sarana dan prasarana tersebut misalnya; lapangan bermain, lapangan olahraga, rumah ibadah, gedung kesenian, tempat rekreasi, tempat penitipan anak, dan rumah tahanan untuk anak”. (3) Menjamin perlindungan pemeliharaan dan kesejahteraan anak (Pasal 23 ayat (1)) : “Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak”. (4) Mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 23 ayat (2)) : “Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak”. Fungsi negara dan pemerintah di sini adalah sebagai pengawas bukan sebagai pelaksana. (5) Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat (Pasal 24) : “Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak”. Menurut Pasal 25 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, masyarakat berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap terselenggaranya perlindungan anak. Kewajiban dan tanggung jawab tersebut dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Anak-anak memiliki hak-hak untuk diakui dalam hukum internasional semenjak tahun 1924, ketika Deklarasi tentang hak-hak anak internasional yang
pertama diadopsi oleh Liga Bangsa-Bangsa. Instrumen-instrumen hak-hak azasi manusia berikutnya dari Perserikatan Bangsa-bangsa seperti Deklarasi Universal hak-hak azasi manusia 1948, dan instrument-instrumen regional seperti Deklarasi Amerika tentang hak-hak dan kewajiban manusia yang dibuat pada tahun yang sama mengakui secara lebih umum hak manusia untuk bebas dari kekerasan, abuse, dan eksploitasi. Hak-hak ini berlaku bagi setiap orang, termasuk anakanak, dan dikembangkan lebih jauh dalam instrumen-instrumen seperti Konvensi Internasional tentang Hak-hak Politik dan Hak-hak Sipil 1966. Konsensus internasional yang dikembangkan mengenai perlunya suatu instrumen baru yang akan secara eksplisit meletakkan dasar-dasar mengenai hakhak anak khusus dan istimewa. Pada tahun 1989, Konvensi Perserikatan BangsaBangsa tentang Hak-Hak Anak diadopsi oleh Sidang Majelis Umum. Konvensi ini dengan cepat menjadi perjanjian hak-hak azasi manusia yang paling luas diratifikasi dalam sejarah, diratifikasi hampir secara universal. Konvensi Hak-hak Anak, dalam beberapa hal meningkatkan standar internasional mengenai hak-hak anak. Konvensi ini menjelaskan dan secara hukum mengikat beberapa hak-hak anak yang dicantumkan pada instrumeninstrumen sebelumnya. Konvensi ini memuat ketentuan-ketentuan baru yang berkaitan dengan anak, misalnya yang berkenaan dengan hak untuk berpartisipasi, dan prinsip bahwa dalam semua keputusan yang menyangkut anak, kepentingan terbaik bagi anak harus diutamakan. Konvensi juga untuk pertama kalinya membentuk suatu badan internasional yang bertanggung jawab untuk mengawasi penghormatan atas hak-hak anak, yakni Komite Hak-hak Anak (Committee on the Rights of the Child). 31
31
Dan O’Donnel, Perlindungan Anak, Sebuah Buku Panduan Bagi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, (Jakarta : UNICEF, 2006), hal.5.
Pengakuan hak anak atas perlindungan tidak hanya terbatas pada Konvensi Hak-hak Anak. Ada sejumlah instrumen, baik instrumen Perserikatan BangsaBangsa maupun instrumen dari badan internasional lainnya, yang juga memasukkan hak-hak ini. Instrumen-instrumen itu meliputi : 32 1. Piagam Afrika tentang Hak-hak dan Kesejahteraan Anak, Organisasi Persatuan Afrika yang sekarang disebut Uni Afrika (The African Charter on the Rights and Welfare of the Child of the Organisation for African Unity) tahun 1993. 2. Konvensi-konvensi Jenewa mengenai Hukum Humaniter Internasional (1949) dan Protokol Tambahannya (1977). 3. Konvensi Buruh Internasional No. 138 (1973), yang menyatakan bahwa secara umum seseorang yang berusia di bawah 18 tahun, tidak boleh dipekerjakan dalam bidang-bidang pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan dan perkembangan mereka, dan Konvensi Organisasi Buruh Internasional No. 182 (1999) mengenai pelanggaran dan tindakan segera untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. 4. Protokol bagi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi untuk mencegah, menekan dan menghukum perdagangan manusia, khususnya wanita dan anak-anak. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya. Sehubungan dengan itu pemerintah, negara, masyarakat, keluarga, orang tua wali harus memberikan perlindungan. Perlindungan tersebut berupa pembinaan, bimbingan dan pengamalan ajaran agama bagi anak (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002). Setiap anak berhak mendapatkan derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan. Untuk itu, pemerintah wajib menyediakan fasilitas kesehatan yang
32
Ibid, hal. 5.
komprehensif berupa upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitasi, baik untuk pelayanan kesehatan dasar maupun rujukan. Terhadap anak yang tidak mampu, hak tersebut diberikan secara cuma-cuma. Negara, pemerintah, keluarga dan orang tua wajib mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan/ atau menimbulkan kecacatan (Pasal 44, 45, dan 46 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002). Pasal 47 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, Negara, pemerintah, keluarga dan orang tua wajib melindungi anak dari transplantasi organ tubuh anak untuk pihak lain dan juga wajib melindungi dari perbuatan-perbuatan : (a) Pengambilan organ tubuh anak dan/ atau jaringan tubuh tanpa memperhatikan kesehatan anak; (b) Jual beli organ dan/ atau jaringan tubuh anak; dan (c) Penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai obyek penelitian tanpa seizin orang tua dan tidak mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak. Pasal 49 dan 50 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, menyebutkan bahwa Negara, pemerintah, keluarga dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan. Pendidikan yang dimaksud, diarahkan untuk : (a) Pengembangan
sikap
dan
kemampuan
kepribadian
anak,
kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi yang optimal; (b) Pengembangan, penghormatan terhadap hak asasi manusia;
bakat,
(c) Pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional di tempat anak itu tinggal dan asal mula anak itu berasal dan peradaban-peradabannya yang berbeda dari peradabannya sendiri; (d) Persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab; dan (e) Pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan. Pemerintah bertanggung jawab terhadap pendidikan anak yang tidak mampu, terlantar yang bertempat tinggal di daerah terpencil (Pasal 53 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002). Anak yang sekolah, wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya atau lembaga pendidikan lainnya (Pasal 54 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002). Pasal 55 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, Pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar. Kewajibankewajiban tersebut agar dimaksudkan : (a) Anak bebas berpartisipasi; (b) Anak bebas menyatakan pendapat dan berpikir sesuai dengan hati nurani dan agamanya; (c) Bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan anak; (d) Bebas berserikat, bermain, berkreasi, berkarya dan berseni budaya; (e) Memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan.
Pasal 59 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada : (a) Anak dalam situasi darurat; (b) Anak yang berhadapan dengan hukuman dari kelompok minoritas dan terisolasi; (c) Anak tereksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual; (d) Anak yang diperdagangkan; (e) Anak yang menjadi korban narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya; (f) Anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan; (g) Anak korban kekerasan fisik dan/ atau mental; (h) Anak yang menyandang cacat; dan (i) Anak korban perlakuan dan penelantaran. Anak dalam situasi darurat adalah : (a) Anak yang menjadi pengungsi; (b) Anak korban kerusuhan; (c) Anak korban bencana alam; (d) Anak dalam konflik bersenjata. Perlindungan terhadap anak darurat tersebut, menggunakan hukum humaniter (Pasal 59, 60, 61 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002).
Untuk meningkatkan efektivitas berlakunya undang-undang ini, maka perlu dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen. Komisi Perlindungan Anak Indonesia beranggotakan unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat/ dunia usaha dan kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak, yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia adalah : (a) Melaksanakan sosialisasi seluruh ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan terhadap perlindungan anak; (b) Memberikan laporan, saran, masukan dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak (Pasal 75 dan 76 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002). 33 G. Tanggung Jawab Masyarakat Terhadap Perlindungan Anak Masyarakat memiliki tanggung jawab terhadap perlindungan anak, yaitu terdapat dalam Pasal 25 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, menyebutkan bahwa kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan. Kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan orang tua, Pasal 26 Ayat (1), orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, 33
Waluyadi, Op. cit, hal. 18-21.
mendidik, melindungi, menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya serta mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Pada Pasal 26 Ayat (2) menyebutkan bahwa dalam hal orang tua tidak ada atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan orang tua, yaitu : Pasal 26 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 mengatur kewajiban orang tua untuk : 1. Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak; 2. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuannya, bakat dan minatnya, dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Dalam hal orang tua tidak ada atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena sesuatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dapat beralih kepada keluarga yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perudangundangan yang berlaku. 34 Orang
tua
yang
karena
sesuatu
hal
tidak
dapat
menjalankan
“kepengasuhannya”, maka hak tersebut dapat dilakukan oleh lembaga sosial dan 34
Darwan Prinst, Op. cit, hal. 156-158.
non sosial yang dalam pelaksanaannya tidak membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/ atau mental (Pasal 37 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002). Pengangkatan anak dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan undang-undang. Pengangkatan tersebut tidak menyebabkan putusnya hubungan darah dengan orang tua kandung. Si pengangkat harus memberitahukan status anak tersebut dalam waktu yang memungkinkan. Pengangkatan anak oleh orang asing, harus menjadi alternatif terakhir (Pasal 39, 40, dan 41 UndangUndang No. 23 Tahun 2002). Yayasan Sosial sebagai tempat perlindungan anak pada prinsipnya harus mampu menjamin terwujudnya penyelenggaraan hak-hak anak terhadap : 35 1. Agama (Pasal 42) Maksudnya setiap anak mendapat penyelenggaraan untuk beribadah menurut agamanya. Jika anak tersebut belum dapat menentukan pilihannya, maka agama yang dipeluk anak adalah mengikuti agama orang tuanya. Seorang anak dapat menentukan agama pilihannya apabila anak tersebut telah berakal dan bertanggung jawab serta memenuhi syaratsyarat dan tata cara sesuai dengan ketentuan agama yang dipilihnya dan ketentuan
perundang-undangan
yang
berlaku.
Untuk
menjamin
perlindungan anak dalam memeluk agama, maka negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali dan lembaga sosial berkewajiban
35
Darwan Prinst, Op. cit, hal. 159-167.
untuk memberikan pembinaan, pembimbingan dan pengamalan agama bagi anak. 2. Kesehatan (Pasal 44) Untuk menjamin perlindungan hak anak terhadap kesehatan, maka pemerintah menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan. Penyediaan fasilitas dan penyelenggaraan upaya kesehatan secara komprehensif didukung oleh peran serta masyarakat. Upaya tersebut meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, baik untuk kesehatan dasar maupun rujukan. Khusus bagi keluarga yang tidak mampu upaya tersebut diselenggarakan secara cuma-cuma dan pelaksanaan semua ketentuan tersebut disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara prinsip orang tua dan keluargalah yang bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan merawat anak sejak dalam kandungan. Jika mereka tidak mampu melaksanakan tanggung jawab tersebut, maka pemerintah yang wajib memeliharanya. Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan/ atau menimbulkan kecacatan serta wajib melindungi anak dari upaya transplantasi organ tubuhnya untuk pihak lain, seperti : a. Pengambilan organ tubuh anak dan/ atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak;
b. Jula-beli organ dan/ atau jaringan tubuh anak; dan c. Penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua dan tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak. 3. Pendidikan (Pasal 48) Untuk menjamin hak anak dalam pendidikan maka pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak. Negara, pemerintah, keluarga dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan yang dimaksud untuk : a. Pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal; b. Pengembangan penghormatan dan Hak Asasi Manusia dan kebebasan asasi; c. Pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional dimana anak bertempat tinggal, dari mana anak berasal dan peradaban-peradaban yang berbeda-beda dari peradabannya sendiri; d. Persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab; dan e. Pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup. Khusus bagi anak-anak yang mengalami cacat fisik dan atau mental undang-undang juga memberi kesempatan yang sama dan aksesibilitas
untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa. Juga untuk anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus. Bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/ atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus dan mendorong masyarakat untuk berperan serta aktif untuk itu. Undang-undang juga memberikan perlindungan kepada anakanak di dalam dan dilingkungan sekolah dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah, atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan atau lembaga pendidikan lain. 4. Sosial (Pasal 55) Dalam
hal
ini
undang-undang
mewajibkan
pemerintah
untuk
menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga. Yang dimaksud di dalam lembaga adalah melalui sistem panti pemerintah maupun swasta. Sedangkan di luar lembaga adalah sistem asuhan keluarga/ perseorangan. Dalam pelaksanaan tugas tersebut lembaga dapat mengadakan kerja sama dengan berbagai pihak yang terkait. Pengawasan terhadap pelaksanaan penyelenggaraan pemeliharaan dan perawatan dilakukakan oleh Menteri Sosial. Kewajiban pemerintah di sini adalah untuk menyelenggarakan dan membantu anak agar anak dapat : a. Berpartisipasi;
b. Bebas menyatakan pendapat dan berpikir sesuai dengan hati nurani dan agamanya; c. Bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan anak; d. Bebas berserikat dan berkumpul; e. Bebas beristirahat, bermain, berkreasi dan berkarya seni budaya; dan f. Memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan. Upaya tersebut dikembangkan dan disesuaikan dengan tingkat kemampuan anak dan lingkungannya agar tidak menghambat dan mengganggu perkembangan anak. Dalam hal anak terlantar karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya, maka lembaga yang berwenang, keluarga atau pejabat yang berwenang dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk menetapkan anak tersebut sebagai anak terlantar, sekaligus
menetapkan
tempat
penampungan,
pemeliharaan
dan
perawatannya dan mewajibkan pemerintah atau lembaga yang diberi wewenang untuk menyiapkan tempat bagi anak tersebut. 5. Perlindungan Khusus (Pasal 59) Undang-undang mewajibkan pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak dalam situasi darurat dan anak yang dikategorikan sebagai berikut : a. Anak yang berhadapan dengan hukum
Perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana. Mereka menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Perlindungan khusus terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dilakukan melalui : 1) Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak; 2) Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini; 3) Penyediaan sarana dan prasarana khusus; 4) Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak; 5) Pemantauan dan pencatatan terus-menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum; 6) Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan 7) Perlindungan dari pemberian identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi. Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana dilakukan melalui : 1) Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga; 2) Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi;
3) Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban maupun saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial, dan 4) Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara. b. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi Perlindungan khusus bagi anak dari kelompok minoritas dan terisolasi dilakukan melalui penyediaan prasarana dan sarana untuk dapat menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya sendiri, dan menggunakan bahasanya sendiri. Selain itu, melarang segala tindakan yang dimaksudkan untuk menghalanghalangi pelaksanaan hak-hak anak tersebut. c. Anak tereksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Perlindungan terhadap anak yang dieksploitasi tersebut dilakukan melalui : 1) Penyebarluasan
dan/
atau
sosialisasi
ketentuan
peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual; 2) Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan 3) Pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/ atau seksual.
Untuk melindungi kepentingan anak tersebut undang-undang melarang setiap orang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana dimaksud undang-undang ini. d. Anak yang diperdagangkan e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza). Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza) dan terlibat dalam produksi dan pendistribusiannya, dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. Undang-undang melarang setiap orang untuk dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi dan pendistribusian napza tersebut. f. Anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan anak dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.
Undang-undang
melarang
setiap
orang
yang
menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan anak tersebut.
g. Anak korban kekerasan, baik fisik dan/ atau mental perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui upaya : 1) Penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundangundangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan 2) Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi. Undang-undang melarang setiap orang menempatkan membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan sebagaimana dimaksudkan undang-undang ini. h. Anak cacat Perlindungan khusus bagi anak yang menyandang cacat dilakukan melalui upaya : 1) Perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak anak; 2) Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan khusus; dan 3) Memperoleh perlakuan yang sama dengan anak-anak lainnya untuk mencapai integritas sosial sepenuh mungkin dan pengembangan individu. Undang-undang melarang setiap orang memperlakukan anak dengan mengabaikan pandangan mereka secara diskriminatif, termasuk labelisasi dan penyetaraan dalam pendidikan bagi anak-anak yang menyandang cacat.
i. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran Perlindungan khusus bagi anak korban perlakuan salah dan penelantaran dilakukan melalui pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. Undang-undang melarang setiap orang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran tersebut. Perlakuan khusus juga dilakukan terhadap anak-anak dalam situasi darurat seperti : a. Anak yang menjadi pengungsi; b. Anak korban kerusuhan; c. Anak korban bencana alam; dan d. Anak dalam situasi konflik senjata. Perlindung khusus bagi anak yang menjadi pengungsi dilaksanakan dengan ketentuan hukum humaniter, sedangkan perlindungan khusus bagi anak korban kerusuhan, korban bencana alam dan anak dalam situasi konflik senjata dilaksanakan melalui : a. Pemenuhan kebutuhan dasar yang terdiri atas pangan, sandang, pemukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan berkreasi, jaminan keamanan dan persamaan perlakuan; dan
b. Pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak yang menyandang cacat dan anak yang mengalami gangguan psikososial, seperti trauma psikis dan gangguan perkembangan anak usia dini. Setiap orang dilarang merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer dan/ atau lainnya dan membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa. Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak menyebutkan bahwa usaha kesejahteraan anak terdiri atas usaha
pembinaan,
pengembangan,
pencegahan,
dan
rehabilitasi.
Usaha
kesejahteraan anak dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat dilaksanakan baik di dalam maupun di luar panti. Pemerintah mengadakan pengarahan, bimbingan, bantuan, dan pengawasan terhadap usaha kesejahteraan anak yang dilakukan oleh masyarakat. 36
36
Mohammad Taufik Makarao, dkk, Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, ( Jakarta : Rineka Cipta, 2013), hal. 47.