BAB II PERKEMBANGAN DAN RELEVANSI TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN SERTA PENGATURANNYA DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA
A. Sejarah dan Evolusi Tanggung Jawab Sosial Perusahan (CSR) Sejarah keberadaan tanggung jawab sosial perusahan (Corporate Social Responsibility) sebenarnya telah ada sejalan dengan perkembangan aktivitas bisnis (perdagangan) itu sendiri, meskipun pada saat itu tidak terdapat konsep baku mengenai hal tersebut. Bahkan dalam Kode Hammurabi (1700-an SM) yang berisi 282 hukum telah memuat sanksi bagi para pengusaha yang lalai dalam menjaga kenyamanan warga atau menyebabkan kematian bagi pelanggannya. 62 Terjadinya industrialisasi menyebabkan perubahan besar terhadap masyarakat dan lingkungan. 63 Dampak dari industrialisasi adalah pada abad ke-19, para pekerja mengalami eksploitasi secara sistemik dimana mereka memperoleh upah yang rendah, lingkungan kerja seadanya dan sangat tidak manusiawi, harus bekerja dengan disiplin militer, diberhentikan dan mengalami pengangguran. Para pemberi kerja sampai dengan tahun 1920-an berkeinginan untuk melupakan atau mengangkat eksploitasi tersebut dengan meningkatkan keadaan kerja yang lebih baik dan manusiawi. 64
62
csrjatim.org/2/data/sejarah-csr.pdf diakses tanggal 22 Februari 2013. History of Corporate Social Responsibility and Sustainability, http://www.brass.cf.ac.uk/uploads/History_L3.pdf, diakses tanggal 22 Februari 2013. 64 Sutan Remy Sjahdeni, “Corporate Responsibility”, Jurnal Hukum Bisnis,(Vol. 26, No. 3 Tahun 2007), hal. 60. 63
Universitas Sumatera Utara
Tahun 1929, terdapat pandangan bahwa bisnis dimulai sejak berabad-abad lalu sebelum permulaan dari sejarah, namun bisnis selalu berkembang dalam cakupan yang luas tanpa dapat mengantisipasi bagaimana cara mengendalikan perubahannya tersebut dan menyadari tanggung jawabnya bagi masa depan masyarakat. 65 Pada awalnya, seiring dengan kemajuan revolusi industri dan lahirnya laissez faire 66 di Eropa dan Amerika Serikat, tujuan prinsip pendirian suatu perusahaan oleh para pemegang saham hanyalah untuk mencari keuntungan. Hal ini karena adanya pengaruh teori klasik yang sedang berkembang ketika itu, sebagaimana dirumuskan oleh Adam Smith bahwa “the only duty of corporation is to make profit”. 67 Lebih lanjut Adam Smith menekankan bahwa mencari keuntungan merupakan cerminan watak dari para pelaku bisnis yang menjalankannya. Sifat ramah dan memberikan pelayanan dari para pelaku usaha selalu disertai niatan pamrih atas keuntungan yang mereka harapkan dari pelanggan. Diskusi yang pertama tentang apakah perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial terjadi pada tahun 1930-an di Amerika Serikat. Saat itulah istilah tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) lahir. Merrick 65
J.J. Asongu, “The History of Corporate Social Responsibility”, Journal of Business and Public Policy, (Vol. 1 Number 2, Spring 2007), hlm. 8. Mengutip Wallace B. Donham dalam pidatonya yang disampaikan di Nort Western University, “Business started long centuries before the dawn of history, but business as we now know it is new-new in its broaddening scope, new in its social significance. Business has not learned how to handle these changes, nor does it recognize the magnitude of its responsibilities for the future of civilization.”. 66 Laissez faire adalah bahasa Prancis yang berarti “biar saja berjalan sendiri”. Pada masa ini tugas pokok negara dilukiskan sebagai negara penjaga malam (nightwatch state) atau hanya sebagai penjaga keamanan warga negaranya. Sedangkan terhadap segala kegiatan ekonomi diatur oleh invisible hands atau pasar yang akan menciptakan keseimbangan antara permintaan dan penawaran secara kompetitif. 67 Sofyan Djalil, Konteks Teoritis dan Praktis Corporate Social Responsibility, Jurnal Reformasi Ekonomi Vol.4 No.1 Januari-Desember 2003, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
Dodd menyatakan, bahwa perusahaan-perusahaan besar mempunyai tanggung jawab kepada masyarakat karena perusahaan-perusahaan tersebut mempunyai kekuatan atau kekuasaan yang besar. Sebaliknya Adolf Berle menyatakan, bahwa perusahaan itu adalah milik para pemegang sahamnya dan oleh karena itu harus mengikuti kebutuhan-kebutuhan mereka saja. Posisi yang dominan pada waktu itu menolak tanggung jawab sosial perusahan tercermin dalam undang-undang perusahaan di Amerika Serikat adalah kepentingan utama para pemegang saham. Setiap keputusan perusahaan ada di tangan para pemegang saham. 68 Tujuan perusahaan mencari keuntungan juga telah mendapat penguatan secara legal pada kasus Dodge v Ford Motor company di tahun 1919. Pada kasus ini Ford dikalahkan karena menjual mobil dengan harga murah demi memenuhi kepentingan dan kemanfaatan masyarakat umum (sosial). Adof Berle menekankan perlindungan hak pemegang saham dari kecurangan para direksi (machinations). Pandangan Berle ini kemudian melahirkan doktrin share holder primacy dan fiduciary duty. 69 Perkembangan konsep tanggung jawab sosial perusahan mengalami perkembangan dalam sejarah keberadaannya. Mengingat tanggung jawab sosial perusahan muncul sebagai salah satu tuntutan dari stakehoders, sebagai akibat dari hak yang dimilikinya terganggu oleh eksistensi perusahaan. Sesuai dengan
68
Erman Rajagukguk, Konsep Dan Perkembangan Pemikiran Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, www.ermanhukum.com/Artikel%20Hukum.htm 69 Mukti Fajar ND, Op.Cit, hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
metaanalisis dan memperhitungkan karakter dekadenya perkembangan tanggung jawab sosial perusahan (CSR) dapat dibagi menjadi 3 (tiga) periode, yaitu: 70 1. Perkembangan awal tanggung jawab sosial perusahan tahun 1950 – 1960 2. Perkembangan pertengahan tahun 1970 – 1980 3. Perkembangan baru tahun 1990 - sekarang. Penggunaan istilah Corporate Social Responsibilities (CSR) dalam sejarah modern mulai dikenal sejak terbitnya buku Howard R. Bowen berjudul ”Social Responsibilities of the Businessmen” pada era tahun 1950-an yang mengemukakan bahwa kewajiban perusahaan untuk menetapkan tujuan bisnis yang selaras dengan tujuan dan nilai-nilai masyarakat. 71 Sejak era 1950-an hingga 1960-an, perusahaan menjalankan konsep tanggung jawab sosial dengan mengutamakan pada prinsip derma dan prinsip perwalian. Konsep tanggung jawab sosial dengan prinsip derma berasal dari kesadaran pribadi pemimpin perusahaan untuk berbuat sesuatu kepada masyarakat. Sementara prinsip perwalian menyatakan perusahaan merupakan wali yang dipercaya dalam pengelolaan sumber daya, sehingga perusahaan harus mempertimbangkan
dengan
seksama
berbagai
kepentingan
dari
pemangku
kepentingan yang terkena dampak keputusan dan praktik operasi perusahaan. 72 Perkembangan tanggung jawab sosial perusahan berlanjut ke era tahun 19701980an yang mengedepankan arus utama pemikiran Archie B. Carroll yang 70
Nor Hadi, Corporate Social Responsibility, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), hal 48. Archie B. Carrol, “A History of Corporate Social Responsibility: Concept andPractice”, dalam The Oxford Handbook of Corporate Social Responsibility, (Great Britain: Oxford University Press, 2008), hal. 25. 72 Ibid., hal. 26. 71
Universitas Sumatera Utara
menjelaskan tanggung jawab perusahaan ke dalam empat kategori, yaitu economic responsibilities, ethical responsibilities, legal reponsibilities, dan discretionary responsibilities. 73 Perkembangan pemikiran Corporate Social Responsibilities (CSR) pada dekade 1980 terpengaruh oleh suatu pandangan dari The Confideration of British Industries pada tahun 1973 yang mengarahkan tanggung jawab perusahaan publik di Inggris pada dimensi etik dalam aktivitas perusahaan dan perusahaan harus terlibat dalam fungsi perusahaan, dan kewajiban moral selain mementingkan keuntungan dan tanggung jawab hukum saja. 74 Selanjutnya pada dekade tahun 1980-an pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahan diarahkan pada corporate social performance, yaitu adanya prinsip tanggung jawab sosial, kemampuan memberikan respon terhadap isu sosial di sekitar perusahaan. Selain itu, perkembangan tanggung jawab sosial perusahan juga dipengaruhi oleh peran perusahaan multinasional yang membawa variasi baru pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahan untuk dapat diterima oleh stakeholder di negara perusahaan multinasional beroperasi. 75 Pendapat yang paling kontroversial terhadap inisiasi tanggung jawab sosial perusahan datang dari Milton Friedman, pemenang Nobel Bidang Ekonomi Tahun 1976.
Pernyatan Friedman yang dimuat The New York Times Magazine, 13
September 1970 mengatakan bahwa: “There is one and only one social responsibility
73
Ibid., hal. 33. Kim Kercher, Corporate Social Responsibility: Impact of Globalisation and International Business, Corporate Governance eJournal, (Bond University, 2007), hal. 3. 75 Archie B. Carrol, Op. Cit., hal. 34-35 74
Universitas Sumatera Utara
of business-to use its resources and engage in activities designed to increase its profits.” 76
Inti esai tersebut adalah bahwa Friedman ingin menegaskan bahwa
korporasi tidak memiliki tanggung jawab sosial. Tujuan satu-satunya dari bisnis adalah mencari keuntungan. Meminjam kata-kata Friedman, tujuan korporasi adalah mencetak uang sebanyak mungkin. Menurut Friedmen tindakan korporasi itu benar jika kegiatannya adalah bertujuan untuk menambah laba dan berarti keliru jika dilakukan tidak untuk menambah laba. Satau-satunya tanggung jawab sosial dari korporasi menurud Friedman adalah lewat peningkatan laba korporasi, sedangkan kegiatan sosial lainnya yang terkadang dilakukan oleh korporasi hanyalah window dressing saja. Social awareness adalah kepentingan dan tanggung jawab personal, bukan tanggung jawab perusahaan. 77
Friedman menyimpulkan bahwa doktrin
tanggung jawab sosial dari bisnis merusak sistem ekonomi pasar bebas. Doktrin ini juga bersifat ancaman terhadap masyarakat yang bebas dan demokratis. Tahun 1990-an merupakan periode dimana praktik tanggung jawab sosial perusahan diwarnai dengan beragam pendekatan, seperti pendekatan integral, pendekatan stakeholders maupun pendekatan civil society. Ragam pemberdayaan tersebut telah mempengaruhi praktik community development yang lebih manusiawi dengan bentuk pemberdayaan. Pada era 1990-an hingga saat ini perkembangan CSR berlandaskan pada sustainable development yang dipelopori The World Commission
76
Mukti Fajar ND, Op. Cit., hal. 11. Nizam Jim Wiryawan, Perlunya Reposisi dan Revitalisasi Kebijakan Pasar Bebas NeoLiberalis Dalam Era Kebangkitan Nasional Indonesia: Diskursus Untuk Memajukan Pebisnis Nasional Domestik Republik Indonesia, Jakarta 2008, hal.3. 77
Universitas Sumatera Utara
on Environmentand Development. 78 Salah satu terobosan besar dalam perkembangan CSR adalah apa yang dikemukan dalam buku Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21th Century Business, karangan John Elkington, yang memberikan terobosan besar dalam CSR. Hal ini sejalan dengan 3 (tiga) komponen penting sustainable development, yakni economic growth, environmental protection, dan social equity, yang digagas the World Commissionon Environment and Development dalam Brundtland Report (1987). Elkington sendiri mengemas CSR
dalam tiga
prinsip dasar yang dikenal dengan istilah tripple bottom lines, yaitu: 79 a. Profit, perusahaan tetap harus berorientasi untuk mencari keuntungan ekonomi yang memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang b. People, perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia. c. Plannet, perusahaan peduli terhadap lingkungan hidup dan keberlangsungan keragaman hayati. Konsep triple bottom line ini cukup banyak direspon oleh banyak kalangan karena mengedepankan strategi integral dengan memadukan antara social motive dan economic motive. Guna mencapai tujuan tersebut, perusahaan-perusahaan tidak mungkin dapat bekerja secara sendirian. Harus ada keterlibatan pihak pemerintah dan masyarakat secara langsung dalam tujuan pembangunanan. Menurut Evans khususnya pemerintah (negara) merupakan suatu kelembagaan dan aktor sosial yang penting dalam tata kehidupan masyarakat modern. Tanpa pemerintah (negara) maka pasar sebagai kelembagaan kunci lain dalam kehidupan modern tidak akan mampu berfungsi dengan baik. Dalam hal ini negara dibutuhkan tidak hanya untuk menjaga 78 79
Archie B. Carrol, Op. Cit., hal. 34-35 Edi Suharto, CSR & COMDEV Investasi Kreatif Perusahaan di Era Globalisasi, hal 4.
Universitas Sumatera Utara
keteraturan sosial, tetapi juga untuk memberikan landasan bagi mekanisme pasar agar dapat berjalan dengan baik. 80 Selain itu perkembangan CSR pada era ini terjadi karena perubahan orientasi CSR yang bersifat sukarela yang tidak memiliki kaitan dengan strategi dan pencapaian tujuan jangka panjang, menjadi suatu kegiatan strategi yang memiliki keterkaitan dengan pencapaian tujuan perusahaan dalam jangka panjang.
B. Tanggung Jawab Perusahaan Perusahaan sebagai badan hukum (recht person) adalah cakap untuk melakukan perbuatan hukum (rechtmating daad). Dalam melakukan perbuatan hukum dia diwakili oleh organ atau pengurusnya, sehingga tidak tertutup kemungkinan
menimbulkan
kehilapan
dan
kelalaian
(alpa)
yang
harus
dipertanggungjawabkan. 81 Secara teoritis perusahaan sebagai badan hukum (recht person) dapat dimintai pertanggungjawaban yang dibedakan menjadi dua yaitu: tanggung jawab dalam makna liability atau tanggung jawab yuridis atau hukum dan tanggung jawab dalam makna responsibility atau tanggung jawab moral atau etis. Sejalan dengan perkembangan dan kompleksitas dinamika dunia usaha atau bisnis, maka responsibility dikembangkan dalam bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). 82 80
Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan, (Jakarta: Penerbit Pustaka LP3ES Indonesia, 2006), hal 3. 81 Busyra Azheri, Corporate Social Responsibility dari Voluntary menjadi Mandatory, (Jakata: Raja Grafindo Persada, 2012), hal. 57. 82 Ibid. hal. 57
Universitas Sumatera Utara
1.
Tanggung Jawab Perusahaan dalam Makna Liability Liability (the state of being liable) merupakan istilah hukum yang luas (a
broad legal term) yang mengandung makna “it has been referred to as of the most comprehensive significance, including almost every character of hazard or responsibility, absolute, contingent, or likely. It has defined to mean: al character of debts and obligations.” 83 Dalam terjemahan bebasnya kurang lebih berarti, liability menunjuk pada makna yang paling komprehensif, meliputi hampir setiap karakter resiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin. Liability lebih didefenisikan menunjuk semua karakter hak dan kewajiban. Sedangkan menurut Pinto, liability menunjuk kepada akibat yang timbul dari akibat kegagalan untuk memenuhi kegagalan standard tertentu, sedangkan bentuk tanggung jawabnya diwujudkan dalam bentuk ganti rugi dan pengalihan sebagai akibat dari terjadinya kerusakan atau kerugian. Dengan kata lain tanggung jawab dalam makna liability adalah tanggung jawab hukum. 84 a.
Tanggung Jawab Perusahaan Bersifat Internal Bila tanggung jawab perusahaan dalam makna liability dilihat dalam perfektif
pengelolaan perusahaan dapat dibedakan menjadi dua yaitu tanggung jawab perusahaan bersifat internal dan ekternal. Tanggung jawab perusahaan internal adalah tanggung jawab pengelola perusahaan yang timbul dari hubungan hukum terhadap
83
Henry Chambell, Black Law Dictionary, fifth Edition, (USA: ST. Paul Minn. West Publishing Co. 1979). Hal. 823. 84 Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah: Pasang Surut Hubungan Antara DPRD dan Kepala Daerah, (Bandung: Alumni, 2004) hal. 105-106.
Universitas Sumatera Utara
para pemegang saham atau investor dan kepada para buruh atau pekerjanya. Perusahan dalam bentuk perseroan merupakan kumpulan dari sero-sero atau sahamsaham, sehingga dalam melakukan aktivitasnya diwakili oleh organnya. Menurut Pasal 1 angka 2 UUPT organ perusahaan terdiri atas Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Dewan Komisaris. Orang yang bertanggung jawab atas jalannya perusahaan adalah pengurus dalam hal ini Direksi. 85 Direksi sebagai pihak yang ditunjuk untuk mengurus perusahaan tunduk pada dua prinsip dasar yaitu prinsip kepercayaan atau fidusia (fiduciary duties), dan prinsip kemampuan serta kehati-hatian (duty of skill and care). Atas dasar tersebut maka tanggung jawab perusahaan bersifat internal dapat dibedakan atas dua yaitu, tanggung jawab kepada pemegang saham atau pemodal dan kepada pekerja/buruh. 86 b.
Tanggung Jawab Perusahaan Bersifat Ekternal Tanggung jawab perusahaan bersifat ekternal adalah tanggung jawab yang
timbul dari akibat hukum aktivitasnya, baik terhadap pihak ketiga dan lingkungan diamana perusahaan beroperasi. Dalam hukum keperdataan prinsip-prinsip tangung jawab yang timbul sebagai akibat hukum dari aktivitas usaha suatu perusahaan dapat dikelompokkan atas dua hal yaitu tanggung jawab yang timbul karena perjanjian, dan karena ketentuan undang-undang. 87
85
Busyra Azheri, Op.Cit., hal 59. Ibid. 87 Ibid., hal 68 86
Universitas Sumatera Utara
1). Tanggung Jawab Karena Perjanjian atau Kontrak Aktivitas perusahan tidak terlepas dari perjanjian atau kontarak. Setiap perjanjian yang dibuat perusahan merupakan ketentuan yang bersifat mengikat, sebagaimana ditegaskan pada Pasal 1338 KUH Perdata sebagai berikut: a) Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya; b) Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan untuk itu; c) Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Berdasrkan Pasal 1338 KUH Perdata ini tidak ada alasan bagi para pihak untuk tidak melaksanakan apa yang telah mereka sepakati. Ketentuan ini dikenal dengan asas pacta sunt servanda (perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihak). Pagi yang tidak melaksanakan perjanjian ini disebut melakukan wanprestasi. Bila tanggung jawab sosial perusahaan dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata tersebut timbul sedikitnya dua pertanyaan, yaitu apa yang menjadi dasar sehingga perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial? Apa yang menjadi dasar untuk memaksa perusahan menerapkan tanggung jawab sosial perusahaan? Berkaitan dengan hal tersebut Tom Connon menyatakan bahwa pada saat suatu perusahaan memulai aktivitas usahanya, maka pada saat yang bersamaan itu pula lahirnya kontrak sosial antara perusahaan dengan masyarakat. 88 Secara teoritis, terminology kontrak sosial (social contract) hanya dikenal dalam dunia politik, hal itu berkaitan dengan janji atau platform suatu partai. Namun 88
Tom Connon, Corporate Responsibility, Terjemahan, (Jakarta: Alex Media Komputindo, 1992, hal. 33.
Universitas Sumatera Utara
secara eksplisit kontrak sosial ini tidak pernah ada, cuma ada dalam khayalan (fiction) perusahan dan masyarakat saja. Dengan kata lain, kontrak sosial itu hanya dianggap ada dalam pemikiran para pihak saja. 89 Berdasarkan makna tersebut, perusahaan harus melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan atau masyarakat dapat menuntut perusahan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan tersebut. Oleh karena itu, tanggung jawab sosial perusahaan dalam kontrak sosial harus dimaknai sebagai tanggung jawab moral dan etis suatu perusahan terhadap stakeholders-nya.
Semua itu juga tidak terlepas dari aktivitas dunia usaha yang
sangat simultan, sehingga dapat menimbulkan berbagai dampak atau akibat, baik di bidang hukum, politik, sosial, ekonomi maupun budaya, dan lain sebagainya. Meskipun tanggung jawab sosial perusahaan hanya ada dalam fiction, namun bagi pihak yang terikat dalam suatu hubungan hukum harus bertanggung jawab baik langsung maupun tidak langsung sesuai dengan jenis perjanjian, objek maupun luas cakupannya dan wilayah berlakunya. 90 Bagi para pihak yang tidak melakukan prestasi 91 atau melakukan wanprestasi, maka pihak tersebut harus mengganti kerugian yang timbul dari perbuatan tersebut. 2). Tanggung Jawab Karena Undang-Undang Masyarakat pasca industri mengalami perubahan yang mendasar mengenai dunia bisnis, hal ini terlihat dari tujuan dan asumsi mereka mengenai strategi sumber 89
Isa Wahyudi dan Busyra Azheri, Corporate Social Responsibility, Prinsip, Pengaturan dan Implementasi, (Malang, Intrans Publishing dan Inspire Indonesia, 2008), hal. 13. 90 Sri Rejeki Hartono, Kapita elekta Hukum Ekonomi, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 4 91 Menurut ketentuan Pasal 1234 KUH Perdata prestasi adalah menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu.
Universitas Sumatera Utara
daya, yaitu dari financial capital menjadi human capital, dari memperoleh keuntungan secara maksimal berubah menjadi manusia sebagai sasaran utama dan sasaran akhir. 92 Dengan kata lain, pendekatan dunia usaha lebih mengedepankan para pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders). Stakeholders ini meliputi pelanggan, pengelola perusahaan atau manjemen, pekerja, pemegang saham, pemasok, pesaing, masyarakat, dan lain-lain. 2.
Tanggung Jawab Perusahaan Dalam Makna Responsibility Responsibility (the state or fact being responsibility) berati “the state being
answerable for an obligation, and includes judgment, skill, ability and capacity.” 93 Terjemahan bebasnya hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan, keahlian, kemampuan, dan kecakapan. Selain itu responsibility juga berarti “the obligation on answer for an act done, and repair or otherwise make restitution for any injury it may have caused.” 94 Terjemahan bebasnya berarti kewajiban
bertanggungjawab
atas
undang-undang
yang
dilaksanakan,
dan
memperbaiki atau dan sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan apapun yang ditimbulkan. 95 Menurut kamus administrasi, responsibility adalah keharusan seseorang untuk melaksanakan secara selayaknya apa yang telah diwajibkan kepadanya. Selain itu disebutkan pertanggungjawaban mengandung makna bahwa meskipun seseorang
92
Sri Rejeki Hartono, Op.Cit., hal.4. Busyra Azheri, Op.Cit., hal. 85. 94 Ibid., hal. 86. 95 Ibid. 93
Universitas Sumatera Utara
mempunyai kebebasan dalam melaksanakan sesuatu tugas yang dibebankan kepadanya, namun ia tidak dapat membebaskan diri dari hasil atau akibat kebebasan perbuatannya, dan ia dapat dituntut untuk melaksanakan secara layak apa yang diwajibkan kepadanya. 96 Pada sisi lain Pinto sebagaimana dikutif Busyra Azheri menegaskan bahwa responsibility ditujukan pada indikator penentu atas lahirnya suatu tanggung jawab, yakni suatu standar yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam suatu kewajiban yang harus ditaati. 97 Jadi prinsip tanggung jawab dalam arti responsibility lebih menekankan pada suatu perbuatan yang harus atau wajib dilaksanakan secara sadar dan siap untuk menanggung segala resiko dan/atau konsekwensi apapun dari perbuatan yang didasarkan atas moral tersebut. Dengan kata lain responsibility merupakan tanggung jawab dalam arti luas yaitu tanggung jawab yang hanya dikenai sanksi moral. Sehingga tidak salah apabila pemahaman sebagian pelaku usaha dan/atau perusahaan terhadap tanggung jawab sosial perusahaan hanya sebatas tanggung jawab moral yang mereka wujudkan dalam bentuk philanthropy maupun charity. 98 Terlepas dari perbedaan makna liability maupun responsibility di atas, namun dalam pengertian dan penggunaan praktisnya liability lebih merujuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat karena kesalahan yang dilakukan
96
Arifin P. Suria Atmadja, Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara, (Jakarta: Gramedia, 1986), hal. 44-45. 97 Busyra Azheri, Op.Cit., hal 88 98 Isa Wahyudi dan Busyra Azheri, Op.Cit., hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
oleh
subyek
hukum.
Sedangkan
responsibility
lebih
mengarah
pada
pertanggungjawaban sosial atau publik. Mengingat perusahan sebagai subyek hukum dalam makna rechts person dalam aktivitas usahanya sudah barang tentu akan melakukan berbagai hubungan hukum (rechtsbetrekking) antar subyek hukum. Hubungan hukum itu sendiri merupakan suatu peristiwa yang diatur dalam hukum. Dalam hal ini akan terjadi interaksi antara subyek hukum yang akan melahirkan hak dan kewajiban (rechten en plichten). Disinilah peranan hukum dibutuhkan untuk mengatur dan menata hubungan tersebut, agar hak dan kewajiban masing-masing pihak dapat ditegakkan dan sekaligus dilindungi (bescherming), karena hukum diciptakan untuk mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Pada sata subyek hukum melalaikan kewajiban hukum yang seharusnya dilaksanakan atau melanggar hak dibebani tanggung jawab, baik dalam makna liability atau responsibility. 99 Perbedaan antara tanggung jawab dalam makna responsibility dengan tanggung jawab dalam makna liability pada prinsipnya hanya terletak pada sumber pengaturannya. Bila tanggung jawab itu belum ada pengaturannya secara eksplisit dalam suatu norma hukum, maka termasuk dalam makna responsibility. Sebaliknya, bila tanggung jawab itu telah diatur dalam norma hukum maka termasuk dalam makna liability. Bila tanggung jawab dalam makna responsibility dihubungkan dengan tuntutan dan kompleksitas perkembangan dunia usaha dewasa ini, maka tanggung jawab yang dimaksud adalah berkaitan dengan etika bisnis. Dalam 99
Busyra Azheri, Op.Cit, hal 89.
Universitas Sumatera Utara
perkembangan etika bisnis itu sendiri, akhirnya muncul dalam bentuk tanggung jawab sosial perusahan. 100 C.
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Menurut Shareholder Theory dan Stakeholder Theory Teori yang merupakan induk dari teori korporasi yang berkembang dari waktu
ke waktu adalah equity theory. Teori ini merupakan teori korporasi yang menjadi landasan dari berbagai teori korporasi yang ada. Teori ini pada intinya menjelaskan tentang model hubungan antara perusahaan dan pemilik. Teori ini lahir pada saat timbulnya revolusi industri di Inggris. Sejak timbulnya revolusi industri pada awal abad ke-19, perkembangan dunia industri melaju sangat pesat baik dalam hal teknologi maupun sistem manajemennya. Pada awalnya, bisnis hanya melibatkan individu tertentu sebagai pengelola sekaligus pemilik bisnis. Pada tahap yang masih sangat sederhana ini, belum banyak benturan kepentingan. Hubungan yang ada baru sebatas hubungan antara karyawan (employees) dengan pemilik (owners), yaitu pemilik yang sekaligus bertindak sebagai pengelola. Pemilik menguasai dan memiliki perusahaan serta bertanggung jawab terhadap keseluruhan aktivitas perusahaan. 101 Konsep-konsep tentang hak kepemilikan (equalities) terus tumbuh dan berubah seiring laju pertumbuhan industri barang dan jasa serta perkembangan aspekaspek sosial budaya yang semakin kompleks hingga melahirkan turunan teori-teori 100
Ibid. Antonius Alijoyo dan Subarto Zaini, Komisaris Independen, Penggerak Praktik GCG di Perusahaan,(Jakarta: PT Indeks, 2004), hal.3. 101
Universitas Sumatera Utara
kepemilikan yang ada saat ini. Salah satu turunan teori adalah entity theory dan agency theory. 102 Entity theory ini mengasumsikan terjadinya pemisahan antara kepentingan pribadi pemilik ekuitas (owners) dengan entitas bisnisnya (perusahaan). Pendekatan ini kemudian yang paling banyak dirujuk oleh praktik-praktik bisnis secara umum. Dalam teori ini, sebuah entitas bisnis menjadi suatu bentuk personifikasi yang memiliki karakter tersendiri dan sama sekali tidak identik dengan pemilik. Bahkan suatu perusahaan dianggap memiliki eksistensi tersendiri yang lepas dari interaksi langsung dengan pemiliknya. Pemilik ekuitas, kreditur dan pemegang saham memiliki hak yang berbeda berkaitan dengan penghasilan, risiko, kendali, dan likuidasi. Pendapatan yang diperoleh adalah hak entitas yang kemudian didistribusikan ke shareholders sebagai dividen. Profit yang tidak didistribusikan dianggap sebagai hak entitas bisnis. 103 Agency theory merupakan teori yang menjelaskan tentang hubungan kontraktual antara pihak yang mendelegasikan pengambilan keputusan tertentu (principal/pemilik/pemegang saham) dengan pihak yang menerima pendelegasian tersebut (agent/direksi/manajemen). Agency theory memfokuskan pada penentuan kontrak yang paling efisien yang mempengaruhi hubungan prinsipal dan agen. 104 Sejak awal munculnya konsep tanggung jawab sosial perusahaan terkesan amat etis dan sosial, sehingga kata sosial dalam terinologi tanggung jawab sosial 102
Ibid, hal 3-5. Ibid. 104 Ibid., hal. 6. 103
Universitas Sumatera Utara
perusahaan bermakna prerogatif
yang berarti suka rela (voluntary), sehingga
perusahaan hanya memaknainya sebagai tindakan filantropi, altuistik, kebaikan budi, bukan sebuah kewajiban, dan lain sebagainya. Namun jika dilihat dari konteks Hak Asasi Manusia (HAM), makna kata sosial bukan hanya suatu tindakan
yang
dilakukan atas dasar kesukarelaan tetapi makna kata sosial itu justru berarti kewajiban. 105 Untuk melihat makna tanggung jawab dalam terminologi tanggung jawab sosial perusahaan dapat dilihat dalam perspektif shareholder theory dan stakeholder theory. 1.
Shareholders Theory Peletak dasar teori Shareholder Primacy tidak lain adalah ilmuwan ekonomi
klasik Adam Smith (The Wealth of Nations, 1776) yang meyakini bahwa kepentingan diri merupakan faktor pendorong bagi usahawan untuk menggunakan kekayaan industrial dan tenaga kerja secara efisien dan untuk mengembangkan usaha sematamata untuk tujuan akumulasi laba bagi dirinya. Pijakan teoritis pandangan kelompok ini dibangun pertama kali oleh salah satu pemikir fenomenal hukum korporasi dari Law School of Columbia University, Adolf A. Berle. Sebagaimana jamak diketahui bahwa Adolf A. Berle dan Gardiner Means (1932) lewat karangannya berjudul “The Modern Corporation and Private Property” telah dinobatkan sebagai bapak korporasi modern karena idenya yang sangat berpengaruh terhadap hukum korporasi khususnya mengenai keterpisahan antara ownership and control dalam perusahaan modern. Berle jugalah yang telah 105
Busyra Azheri, Op.Cit, hal. 104.
Universitas Sumatera Utara
membangun ide-ide besar konseptualisasi shareholder sebagai konstituen primer dalam perusahaan. 106 Lewat tulisannya yang terbit di Harvard Law Review tahun 1932 berjudul For Whom Are Corporate Manager Trustees?: A Note, Berle meyakinkan publik bahwa satu-satunya kepentingan yang harus diperhatikan dan dilayani dalam perusahaan adalah kepentingan pemodal. Inilah yang kemudian menjadi premis utama Shareholder Primacy Theory. Seperti terlihat dari judul tulisannya, Berle menuliskan idenya ini sebagai respon dari tulisan dengan judul yang sama yang ditulis oleh pakar hukum dari Harvard University bernama E. Merrick Dodd.
Perusahaan dalam
perspektif Berle adalah entitas hukum imajiner yang sengaja dikreasi dengan tujuan utama dan satu-satunya yaitu untuk mencari keuntungan buat pemiliknya (shareholders). Salah satu tokoh yang kontropersial menanggapi konsep tanggung jawab sosial perusahaan adalah ekomom besar Amerika Serikat yaitu Milton Friedman’s. Ia merupakan tokoh utama dari lahirnya neoliberalisme yang mengedepankan konsep pasar bebas yang didasarkan pada doktrin ekonomi liberal klasik Adam Smith yang terkenal dengan konsep maximization profit pada tahun 1776. Milton Friedman mengatakan, hanya ada satu tanggung jawab sosial perusahaan, yaitu untuk menggunakan sebesar-besarnya sumberdaya perusahaan dan terlibat dalam aktivitas yang didisain untuk meningkatkan labanya selama ia berada dalam koridor aturan
106
Andi Syafrani, CSR Dalam Pespektif Corporate Law: Sebuah Upaya Pemetaan Anatomi Teoritis (Bagian 1), http://asyafrani.multiply.com, diunduh tanggal 18 Maret 2013.
Universitas Sumatera Utara
main yang telah disepakati, yaitu berada dalam iklim kompetisi yang terbuka dan bebas tanpa melakukan penipuan. Dalam perkembangannya konsep maximization profit ini justru mengarah pada doktrin agama akumulasi laba yang dapat mendapatkan kritikan dari ekonom lainnya. Friedman mengatakan, jika manajer melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan atas nama perusahaan yang dituangkan dalam berbagai bentuk, berarti manajer telah memungut pajak dari pemilik perusahaan dan menentukan bagaimana dana pajak itu digunakan. 107 Memungut dan menggunakan uang pajak bukanlah tugas manajer perusahaan, tetapi adalah tugas pemerintah. 108 Apabila manajer mengimplementasikan tanggung jawab sosial perusahaan dalam aktivitas usahanya, berarti manajer menyalahgunakan posisinya. Dengan kata lain manajer telah melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Friedman menegaskan bahwa doktrin tanggung jawab sosial perusahaan telah merusak sistem ekonomi pasar bebas. Tanggung jawab sosial perusahaan
akan
mengakibatkan sistem ekonomi menuju ke arah ekonomi berencana, seperti negaranegara sosialis dan doktrin ini juga bersifat subversib terhadap masyarakat yang bebas dan demokratis. Shareholders theory melihat bahwa fokus tanggung jawab sosial perusahaan adalah pada manajer yang menjalankan tanggung jawab pokok (akumulasi laba) dan tanggung jawab sebagai pihak yang dipercaya (fidusier) untuk menghemat dan
107 108
Busyra Azheri, Op.Cit., hal. 105 K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanasius, 2000), hal. 294.
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan kekayaan yang dipercayakan shareholder kepadanya tanpa kecurangan. Sedangkan tanggung jawab lain yang dipikulkan kepada manajer harus berada di bawah tanggung jawab tersebut. Manajer yang baik harus mengajukan pertanyaan pada dirinya sendiri, apakah telah melaksanakan tugas atau kepercayaan yang diberikan oleh pemegang saham (have we are met our fiduciary duties to the shareholders?). 109 Sejajar dengan pandangan Barle dan Means ditemukan dalam pandangan Daniel Fischel and Hakim Frank Easterbrook (1982) dalam tulisannya “Antitrust Suits by Targets of Tender Offers”. Mereka mempostulasikan ide yang disebut Cynthia A. Williams sebagai irresponsible notion. Menurut pandangan ini manajemen perusahaan diperbolehkan untuk melanggar aturan-aturan tanggung jawab sosial perusahaan jika kepentingan pemodal dan kepentingan bisnis terhalangi. Kepentingan bisnis pemodal, dalam perspektif ini, harus supreme dan tidak boleh dikalahkan oleh kepentingan lainnya. 110 3.
Teori Pemangku Kepentingan ( Stakeholder Primacy Theory) Stakeholder Primacy Theory bertolk belakang belakang dengan Sahare
Holder Primacy Theory. Pada Satakeholder Primacy Theory, yang menjadi tumpuan kepentingan adalah para pemangku kepentingan. Seperti ditegaskan oleh E. Merrick
109
Philp R.P. Coelho, James E.Mc. Clure., & Jhon A. Spry, The Social Responsibility of Corporate Management, A Classical Critique. Mid Amerecan Journal of Business, 2003, Vol.18, No.1, hal.16. 110 Andi Syafrani, CSR Dalam Pespektif Corporate Law: Sebuah Upaya Pemetaan Anatomi Teoritis (Bagian 1), http://asyafrani.multiply.com, diunduh tanggal 23 Maret 2013.
Universitas Sumatera Utara
Dodd Jr. (1932), perusahaan memiliki tanggung jawab tidak hanya kepada pemiliknya (shareholders) tapi juga terhadap multi konstituen atau yang lebih populer disebut stakeholders. Pandangan Dodd berkembang dan dielaborasi lebih lanjut dalam bingkai teori yang dikenal dengan Other Constituencies (Stakeholders) Theory (OCT). Teori ini dipertentangkan dengan Shareholders Primacy Theory (SPT) yang dibangun oleh pemikir hukum korporasi legendaris, Adolf A. Berle lewat tulisannya “Corporate Powers as Power in Trust” (1931). Perdebatan kedua tokoh ini yang secara terbuka dilakukan lewat tulisan-tulisan di Harvard Law Journal pada 1930-an tentang “For Whom Are Corporate Managers Trustees?” sampai saat ini masih mewarnai diskursus hukum korporasi.
Pemikiran Dodd dipercaya menjadi
bangunan filosofis bagi konsep Corporate Citizenship dan juga CSR. Hanya saja, tidak seperti SPT yang masuk dalam arus utama hukum positif korporasi (regulasi) lewat instrumen Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) misalnya, Other Constituencies Theory diinisiasi dan direalisasikan secara praktis dan langsung oleh perusahaan tanpa campur tangan otoritas hukum (deregulasi). Ramirez dalam bukunya Cultivating Peace, mengidentifikasi berbagai pendapat mengenai stakeholder. Freeman yang mendefenisikan stakeholders yaitu: “any group or individual who can affect or is affected by anchievement of the organization’s objectives” 111 atau terjemahan bebasnya sebagai kelompok atau indvidu yang dapat memengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan 111
R. Ramirez, Stakeholder Analysis and Conflict Management dalam Daniel Buckles, Cultivating Piece, Conflict and Collaboration in Natural Resource Management. (WBI Washington, DC.USA., 1999), hal. 67.
Universitas Sumatera Utara
tertentu. Stakeholder theory lahir atas kritikan dan kegagalan shareholder theory atau Friedman’s fradigm dalam upaya meningkatkan tanggung jawab perusahaan, yang terletak pada tanggung jawab tunggal manajemen kepada shareholders. Atau dengan bahasa lain Philp R.P. Coelho, James E. & Jhon A Spray menyebutnya dengan the list of stakeholders includes only shareholder 112. Kegagalan tersebut mendorong munculnya stakeholder theory yang melihat bahwa shareholder merupakan bagian dari stakeholders itu sendiri. Teori pemangku kepentingan didasarkan pada pemahaman bahwa melampaui para pemegang saham, terdapat beberapa agen dengan sebuah kepentingan dalam tindakan dan keputusan perusahaan.
Stakeholder Theory
atau Teori Pemangku
Kepentingan menyatakan bahwa dalam tata kelola organisasi (korporasi), direksi atau pengelola harus memerhatikan pihak-pihak atau kelompok-kelompok yang lebih luas daripada pemegang saham atau pemilik modal. Dalam teori ini, organisasi (korporasi) hadir bukan saja untuk pemegang saham, melainkan untuk semua pemangku kepentingan, yaitu pihak-pihak yang memengaruhi atau dipengaruhi oleh kegiatankegiatan yang dilakukan oleh organisasi, sasaran-sararan dan keputusan-keputusan yang dibuat atau akan dibuat oleh organisasi. Teori pemangku kepentingan
ini dikembangkan dari konsep pemangku
kepentingan yang pertama kali digunakan dalam literatur manajemen pada sebuah
112
Philp R.P. Coelho, James E. & Jhon A Spray, The Soscial responsibility of Corporate Management, A Classical Citique, Mid-American Journal of Business, 2003, Volume 18, hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
memorandum internal di Stanford Research Institute 113 tahun 1963. Konsep pemangku kepentingan ini berkembang dan diterima luas dalam diskursus-diskursus di bidang manajemen strategis, tata kelola perusahaan, tujuan-tujuan usaha dan tanggung jawab sosial korporasi, setelah dibahas sebagai sebuah teori oleh R. Edward Freeman dalam Strategic Management: A Stakeholder Approach. Mengutip Freeman, 114 seorang penganjur pertama teori ini, yang dimaksud dengan pemangku kepentingan adalah kelompok atau individu yang mendapatkan keuntungan dari atau kerugian oleh, dan yang hak-haknya dilanggar atau dihargai oleh tindakan korporasi. Yang termasuk pemangku kepentingan adalah para pemegang saham itu sendiri, para kreditor, pekerja atau buruh, para pelanggan, pemasok, dan masyarakat atau komunitas pada umumnya. Teori pemangku kepentingan menekankan bahwa perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial yang menuntut dia harus mempertimbangkan semua kepentingan pelbagai pihak yang terkena pengaruh dari tindakannya. Acuan pertimbangan para manajer dalam mengambil keputusan dan tindakan bukan semata-mata para pemegang saham, melainkan juga pihak lain manapun yang terkena pengaruhnya. Jika dilihat dari berbagai kebijakan, program, dan proyek pemeritah, (publik), stakeholders dapat dapat dikelompokkan atas tiga, yaitu: 115
113
Stanford Research Institute, sekarang bernama SRI International, sebuah lembaga riset nirlaba independen yang berpusat di California, Amerika Serikat. 114 R. Edward Freeman, A Stakeholder Theory of the Modern Corporation, dalam L.B. Pincus (ed.), Perspectives in Business Ethics, Singapore: McGraw Hill, 1998, hlm. 171-181. 115 Busyra Azheri, Op.Cit. hal. 113.
Universitas Sumatera Utara
b. Primary Stakeholder, merupakan stakeholders yang memiliki kaitan kepentingan secara langsung dengan suatu kegiatan, kebijakan, program, dan/atau proyek tertentu. Mereka harus ditempatkan sebagai penentu utama dalam proses pengambilan keputusan, mereka antara lain: 1. Masyarakat dan tokoh masyarakat, yaitu mereka yang diidentifikasi akan memperoleh manfaat dan/atau terkena danpak (kehilangan tanah dan kemungkinan kehilangan mata pencaharian) dari suatu kegiatan tertentu. 2. Pihak manajer publik, adalah lembaga/badan publik yang bertanggung jawab dalam pengambilan dan implementasi suatu keputusan. c. Secondary Stakeholders, adalah stakeholders yang tidak memiliki kepentingan secara langsung terhadap suatu kebijakan, program dan proyek, tetapi memilkiki kepedulian (concern) dan keprihatinan, sehingga mereka turut bersuara dan berpengaruh terhadap sikap masyarakat dan keputusan legal pemerintah. Stakeholders sekunder terdiri dari: 1. Lembaga (aparat pemerintah) dalam suatu wilayah tetapi tidak memiliki tanggung jawab langsung. 2. Lembaga pemerintah yang terkait dengan isu, tetapi tidak memiliki kewenangan secara langsung dalam pengambilan keputusan. 3. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) setempat yaitu LSM yang “concern” terhadap CSR, termasuk organisasi massa yang terkait. 4. Perguruan tinggi yaitu kelompok akademisi yang memiliki pengaruh penting dalam pengambilan keputusan pemerintah. 5. Pengusaha (badan usaha) yang terkait. d. Key Stakeholders, yaitu stakeholders yang memiliki kewenangan secara legal dalam hal pengambilan keputusan. Satakeholders kunci yang dimaksud adalah unsur eksekutif sesuai dengan levelnya, legislatif, dan instansi terkait. D. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) Dalam Sistem Hukum Indonesia Terdapat beberapa instrumen hukum di Indonesia yang mewajibkan perseroan terbatas untuk melakukan tanggung jawab sosial yakni Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM), Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Mineba),
Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dan Undang-Undang Nomor
Universitas Sumatera Utara
19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Pasal 15 huruf b Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 menyatakan bahwa setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Kemudian disambung oleh Pasal 16 huruf d menyatakan bahwa setiap modal bertanggungjawab terhadap kelestarian lingkungan hidup. Pasal 16 huruf e Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyatakan bahwa setiap penanam modal bertanggungjawab untuk mencipatakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja. Selanjutnya Pasal 17 Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal menentukan bahwa penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan wajib mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Universitas Sumatera Utara
1.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Pada tanggal 16 Agustus 2007, Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas disahkan. Dalam Undang-undang ini muncul suatu bab yang mengartur tentang Tanggung Jawab Sosial Lingkungan, yaitu Bab V yang memuat hanya satu pasal yaitu pasal 74. Sekalipun tidak dengan jelas dikemukakan di dalam penjelasan Pasal 74 Undang-Undang tersebut namun dapat dipastikan bahwa yang dimaksud dengan pembuat undang-undang dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah tidak lain apa yang dalam bahasa inggris disebut social and environmental responsibility, atau yang disebut juga corporate social responsibility 116 yang pemahamannya adalah sebagaimana telah dijelaskan sebelumya.
CSR yang dikenal dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas sebagaimana yang termuat dalam Pasal 1 Ayat 3 yang mencantumkan bahwa: Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Tanggung jawab sosial perusahaan yang dikenal dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 ini sebagaimana yang termuat dalam Pasal 74 ayat 1, 2, 3 dan 4 adalah sebagai berikut:
116
Jamal Wiwoho, Pengantar Hukum Bisnis, (Surakarta: 11 Maret University Press, 2007),
hal. 52-53.
Universitas Sumatera Utara
a.
b.
c.
d.
Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau yang berkaitan dengan sumnber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. 117 Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 118 Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ada beberapa hal yang perlu dicermati atau dipahami dan disikapi dengan baik dalam ketentuan tersebut yaitu sebagai berikut: 119 1)
Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai Kewajiban Hukum Tanggung jawab sosial perusahaan oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang
Perseroan Terbatas telah ditetapkan sebagai kewajiban hukum
(statutory obligation), bukan sebagai kewajiban moral semata yang pelaksanaannya bersifat sukarela. Dengan demikian Tanggung jawab sosial perusahaan harus dilaksanakan. Dimasukkannya ketentuan Tanggung jawab sosial perusahaan kedalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas sebagai
kewajiban hukum merupakan langkah maju bagi kepentingan masyarakat. Banyak 117
Penjelasan Pasal 74 ayat (1). Ketentuan ini bertujuan untuk tetap menciptakan hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Yang dimaksud dengan “perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam” adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Yang dimaksud dengan “perseroan yang menjalankan kegitan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam” adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. 118 Penjelasan Pasal 74 ayat (3). Yang dimaksud dengan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan adalah dikenai segala bentuk sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait. 119 Sutan Remy Sjahdeini, Corporate Social Responsibility: Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26-No. 3 Tahun 2007, hlm 65-66.
Universitas Sumatera Utara
negara yang tidak memasukkan sebagai kewajiban hukum tetapi mengatur secara tidak langsung yaitu sebagai insentif berupa pengurangan pajak bagi perseroan yang melaksanakannya. Dengan kata lain dibanyak negara hal tersebut tetap merupakan kewajiban moral semata, tetapi bagi perseroan yang bersedia melaksanakan kewajiban moral tersebut akan memeperoleh insentif kareana pengeluarannya dapat diperhitungkan sebagai pengurangan pajak. Dalam pelaksanaannya di luar negeri, insentif tersebut telah mendorong perusahaan untuk menganggarkannya dan dan melaksanakan program-program tanggung jawab sosial perusahaan tersebut. Pasal yang mewajibkan perusahaan melaksanakan TJSL ini telah dimohonkan untuk diuji secara formil dan materil terhadap UUD 1945 di depan Mahkamah Konstitusi, dengan dalil bahwa Pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Para pemohon uji materil berpendapat bahwa Pasal 74 ayat (1) hingga (3) yang mewajibkan CSR bagi perusahaan telah: 120 a) b) c)
Bertentangan dengan prinsip dasar CSR yaitu kesuka-relaan; Membebani perseroan secara ganda yaitu kewajiban membayar pajak dan menanggung biaya TJSL atau CSR; Meniadakan atau setidaknya menafikan konsep demokrasi ekonomi yang berintikan pada efisiensi berkeadilan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, sehingga pada akhirnya justru akan mengakibatkan program CSR menjadi hanya sebatas formalitas belaka yang pada akhirnya akan menimbulkan sifat ketergantungan.
120
Para pemohon tersebut adalah Ketua Umum dari Kamar Dagang dan Industri (KADIN), HIPMI, dan IWAPI, serta 3 (tiga) Perseroan Terbatas yaitu PT. LILI PANMA, PT. APAC CENTRA CENTERTEX Tbk., PT. KREASI TIGA PILAR., yang masing-masing diwakili oleh Presiden Direkturnya. Sumber : Mahkamah Konstitusi, Putusan No 53/PUU-VI/2008, Perkara Permohonan Pengujian UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, terhadap UUD 1945. Tanggal 15 April 2009.
Universitas Sumatera Utara
Terhadap dalil hukum di atas Mahkamah Konstitusi (MK) berpendapat berbeda sehingga MK menolak permohonan uji materil tersebut dan menyatakan bahwa Pasal 74 UU PT tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Jo. Pasal 28I ayat (2) Jo. Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Dikatakan oleh para hakim MK bahwa: Pertama, menjadikan CSR sebagai suatu kewajiban hukum melalui rumusan Pasal 74 merupakan kebijakan hukum dari pembentuk Undang-Undang untuk mengatur dan menerapkan CSR dengan suatu sanksi, dan hal ini adalah benar, karena: 121 (1) Secara faktual, kondisi sosial dan lingkungan telah rusak di masa lalu ketika perusahaan mengabaikan aspek sosial dan lingkungan sehingga merugikan masyarakat sekitar dan lingkungan pada umumnya. (2) Budaya hukum di Indonesia tidak sama dengan budaya hukum negara lain, utamanya negara industri maju tempat konsep CSR pertama kali diperkenalkan di mana CSR bukan hanya merupakan tuntutan bagi perusahaan kepada masyarakat dan lingkungannya tetapi juga telah dijadikan sebagai salah satu indikator kinerja perusahaan dan syarat bagi perusahaan yang akan go public. Dengan kata lain, MK tampaknya berpendapat bahwa sesuai kultur hukum Indonesia, penormaan TJSL sebagai norma hukum yang diancam dengan sanksi hukum merupakan suatu keharusan demi tegaknya TJSL atau CSR. (3) Menjadikan TJSL sebagai kewajiban hukum dinilai oleh MK justru untuk memberikan kepastian hukum sebab dapat menghindari terjadinya penafsiran yang berbeda-beda tentang TJSL oleh perseroan sebagaimana dapat terjadi bila TJSL dibiarkan bersifat sukarela. Hanya dengan cara memaksa tersebut akan dapat diharapkan adanya kontribusi perusahaan untuk ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kedua, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 74 tidak menjatuhkan pungutan ganda kepada perseroan sebab biaya perseroan untuk melaksanakan
121
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008, hal. 92-93.
Universitas Sumatera Utara
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) berbeda dengan pajak. 122 Lebih jauh, disebutkan oleh MK bahwa pelaksanaan TJSL didasari oleh kemampuan perusahaan, dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran, yang pada akhirnya akan diatur lebih lanjut oleh PP. Demikian pula tentang sanksi bagi perseroan yang tidak melaksanakan TJSL, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 74 ayat (3) yang merujuk pada sanksi hukum yang terdapat pada perundang-undangan sektoral merupakan rumusan yang tepat dan justru memberikan kepastian hukum, bila dibandingkan kalau UU PT menetapkan sanksi tersendiri. 123 Jadi, Mahkamah Konstitusi tidak sependapat dengan para pemohon yang mengata kan adanya berbagai pasal dalam perundang-undangan yang juga mengatur tentang TJSL mengakibatkan ketidak-pastian hukum dan tumpang tindih sehingga tidak dapat mewujudkan TJSL yang efisien berkeadilan. Ketiga, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa norma hukum yang mewajibkan pelaksanaan TJSL oleh perusahaan tidak berarti meniadakan konsep demokrasi ekonomi yang berintikan pada efisiensi berkeadilan seperti diatur dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dan tidak akan membuat TJSL sekedar formalitas perusahaan saja, sebab: 124 (1) Prinsip demokrasi ekonomi memberi kewenangan kepada Negara untuk tidak hanya menguasai dan mengatur sepenuhnya kepemilikan dan pemanfaatan bumi, air, dan kekayaan alam, serta untuk memungut pajak semata, melainkan juga kewenangan untuk mengatur pelaku usaha agar mempunyai kepedulian terhadap lingkungan. 122
Ibid., hal. 92. Ibid., hal. 93. 124 Ibid. 123
Universitas Sumatera Utara
(2) Pelaksanaan TJSL menurut Pasal 74 tetap akan dilakukan oleh perseroan sendiri sesuai prinsip kepatutan dan kewajaran, Pemerintah hanya berperan sebagai pemantau. Dengan demikian, tak perlu dikhawatirkan akan terjadi penyalah-gunaan dana TJSL ataupun membuat perseroan melaksanakan TJSL hanya sebagai formalitas belaka. (3) Pengaturan TJSL dalam bentuk norma hukum merupakan suatu cara Pemerintah untuk mendorong perusahaan ikut serta dalam pembangunan ekonomi rakyat. Dari rumusan Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tampaknya pembuat undang-undang seperti bermaksud untuk membatasi perusahaan yang diwajibkan melaksanakan TJSL,
yaitu dengan menyebut perseroan yang
menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam. Frasa ini kemudian, dalam bagian Penjelasan dari ayat yang bersangkutan, dijelaskan sebagai perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam, dan/atau perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Apakah dengan demikian Pasal 74 Ayat (1) tersebut tidak bersifat diskriminatif sebab hanya mewajibkan TJSL kepada perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau yang berkaitan dengan sumber daya alam saja. Artinya, perseroan yang kegiatan usahanya tidak berhubungan dengan sumber daya alam, termasuk badan usaha yang bukan berupa perseroan yaitu Koperasi, CV, Firma, dan Usaha Dagang, dibebaskan dari kewajiban melakukan TJSL. Hal inilah yang juga menjadi dalil dari para pemohon hak uji materil Pasal 74 Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas kepada Mahkamah Konstitusi seperti disebut di atas.
Universitas Sumatera Utara
2)
Biaya Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) Sebagai Beban Perusahaan Pendanaan untuk kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan SCR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1), dapat dianggarkan oleh perseroan tersebut dan pengeluarannya dapat diperhitungkan sebagai baiaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Dengan demikian pengeluaran tersebut dapat diperhitungkan sebagai pengurangan beban pajak. Maksud kewajiban perusahaan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perusahaan adalah bahwa tanggung jawab sosial perusahaan harus ditetapkan dalam anggaran perusahaan. Disinilah maksudnya penerapan tanggung jawab sosial perusahaan ada unsur pemaksaan, yang apabila tidak dilaksanakan akan dikenakan sanksi hukum (Pasal 74 ayat (3) UUPT). Apabila tanggung jawab sosial perusahaan ditetapkan di dalam anggaran perusahaan maka tentu saja dapat memberatkan perusahaan, apalagi perusahaan yang sedang tahap berkembang. Oleh karena itu, ada frase kepatutan dan kewajaran
sebagai exit clause bagi pemerintah untuk
menentukan pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan. Maksudnya adalah sebagai alasan pemerintah untuk menerapkan tanggung jawab sosial perusahaan kepada perusahaan-perusahaan yang sedang berkembang tadi, tentu saja penerapan tanggung jawab sosial perusahaan diutamakan kepada perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang sumber daya alam. Tetapi tidak tertutup kemungkinan untuk dilakukan oleh perusahaan yang tidak bergerak dalam bidang sumber daya alam.
Universitas Sumatera Utara
2.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
(UU Penanaman Modal) yang mengatur terkait tanggung jawab sosial perusahaan, terdapat pada Pasal 15 berbunyi Setiap penanam modal berkewajiban: a. Menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik; b. Melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan; c. Membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal; d. Menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal; dan e. Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 16 UU Penanaman Modal dicantumkan pula kewajiban-kewajiban yang dipenuhi bagi penanam modal tersebut, berkewajiban itu adalah: Hanya (a) dan (b dalam Pasal 16 ini yang berkaitan dengan penanam modal bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan yaitu, menjaga kelestarian lingkungan hidup, dan menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja. Sehubungan dengan Pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal tersebut, dapat dipahami bahwa Undang-Undang Penanaman Modal mewajibkan tanggung jawab investor dalam menanamkan modal di Indonesia, yaitu: 1) 2) 3) 4) 5)
Menerapkan prinsip tata kelola persahaan yang baik; Tanggun jawab sosial; Membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal kepada BKPM; Menghormati tradisi budaya masyarakat; dan Mematuh peraturan perundang-undangan.
Universitas Sumatera Utara
Dilihat dari ketentuan di atas, tampak bahwa tanggung jawab sosial perusahaan yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 adalah Corporate Code of Conduct yang merupakan pedoman untuk berperilaku bagi perusahaan, maka menjadi suatu kebutuhan diperlukannya rambu-rambu etika bisnis, agar tercipta praktik bisnis yang beretika. Dalam hal ini etika bisnis merupakan seperangkat kesepakatan umum, yaitu mengatur antara relasi antar pelaku bisnis dan antara pelaku bisnis dengan masyarakat, agar hubungan tersebut terjalin dengan baik dan fair. Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dalam Pasal 15 butir b jo Pasal 17 jo Pasal 34 ditegaskan dan diamanatkan bahwa setiap penanam modal berkewajiban menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan, untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya setempat. 125
125
Lihat Undang – Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Pasal 15 butir b menyebutkan : ”Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan”, dan Pasal 17 menyebutkan : “ Penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan wajib mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” serta Pasal 34 menyebutkan: (1) Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 dapat dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis b. pembatasan kegiatan usaha c. pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau d. pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh instansi atau lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan (3) Selain dikenai sanksi administratif, badan usaha atau usaha perseorangan dapat dikenai sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.
Universitas Sumatera Utara
3.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara Dalam UU Nomor 40 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU
Minerba) CSR bersifat mandatory, hal tersebut dapat dilihat dari persyaratan permohonan izin usaha pertambangan yaitun Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), kewajiban pemberi izin (pemerintah dan pemerintah daerah), dan kewajiban pemegang izin. Persyaratan perizinan usaha pertambangan diatur dalam Pasal 65 ayat (1) UU Minerba yang mewajibkan setiap usaha pertambangan memenuhi persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan dan persyaratan finansial. Pemberi IUP dan IUPK wajib mencantumkan prinsip-prinsip CSR dalam persyaratan izin sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 39 (berkaitan dengan IUP), Pasal 78 (berkaitan dengan IPR) dan Pasal 79 (berkaitan dengan IUPK). Dengan dikabulkannya permohonan IUP, IPR dan IUPK maka kepada pemegang izin telah melekat segala hak dan kewajiban sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan perundangundangan. Perubahan sifat dalam bentuk perizinan, dari konsensi yang dituangkan dalam bentuk Kuasa Pertambangan (KP), Kontrak Karya (KK), dan Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan
Batubara
(PKP2B)
dalam
Undang-Undang
Pertambangan tahun 1967 menjadi IUP, IPR dan IUPK dalam UU Minerba, maka terjadilah suatu penguatan kelembagaan dalam upaya pengejawatahan Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945 yang dijadikan dasar dari pelaksanaan CSR. Dengan demikian,
Universitas Sumatera Utara
CSR merupakan suatau keharusan yang harus dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan dengan mengacu pada ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Minerba yang menegaskan bahwa dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara harus mengacu pada empat asas yaitu: (1) manfaat, keadilan dan keseimbangan, (2) keberpihakan pada kepentingan bangsa, (3) pastisipatif, transparansi, dan akuntabilitas serta (4) keberlajutan dan berwawasan lingkungan. Asas pengelolan pertambangan ini telah mencerminkan prinsip dasar dari CSR, karena tidk hanya mengedepankan asas manfaat keadilan dan keseimbangan, tetapi juga menyatakan keberpihakannya pada kepentingan bangsa yang didasarkan pada pastisipasi, transparansi, dan akuntabilitas serta asas keberlanjutan dan berwawasan lingkungan. 126 E. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) di Berbagai Negara Secara umum, setiap negara menyadari bahwa menyadari bahwa keberadaan lemabaga tanggung jawab sosial telah memberi manfaat yang cukup besar dan berdampak positif terhadap aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Permasalahanya adalah masih terdapat perbedaan dalam arti, apakah tanggung jawab sosial ini bersifat voluntary atau merupakan suatu yang bersifat mandatory. 127 Pelaporan tanggung jawab sosial hingga kini umumnya masih bersifat sukarela (voluntary) di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Namun, beberapa negara anggota Uni Eropa (seperti Perancis pada tahun 2001 dan Spanyol pada akhir tahun 126 127
Busyra Azheri, Op.Cit., hal.273. Ibid. hal. 159.
Universitas Sumatera Utara
2005) telah mewajibkan perusahaan publik untuk menerbitkan laporan tanggung jawab sosial. Umumnya, perusahaan di negara Uni Eropa jauh lebih maju dalam melaporkan kegiatan tanggung jawab sosial dibanding Amerika Serikat. Keadaan ini mungkin disebabkan kondisi di Amerika Serikat yang masyarakatnya sangat kapitalistis sehingga pemerintah Amerika Serikat cenderung kurang aktif dalam mendorong pelaporan tanggung jawab sosial. 128 1.
Kebijakan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) di Belanda Kebijakan pemerintah Belanda secra keseluruhan sangat mendukung tentang
tanggung jawab sosial, karena tanggung jawab sosial perusahaan dianggap sebagai bagian bisnis inti suatu perusahaan. Namun sampai saat ini pemerintah belum mengatur tanggung jawab sosial dalam suatu regulasi tersendiri . Ketentuan hukum perusahaan yang ada hanya ditujukan untuk melakukan hal yang bersifat minimum, yaitu bagaimana perusahaan mendapatkan kuntungan bagi pemegang saham. Oleh karena itu, pemerintah membatasi diri hanya dalam hal mempromosikan tanggung jawab sosial, baik pada level nasional maupun internasional. Selain itu, pemerintah Belanda memberikan stimulus agar tanggung jawab sosial perusahaan dilakukan secara transparan dan mengeluarkan petunjuk pembuatan laporan tahunan tentang penerapan tanggung jawab sosial. Untuk perusahaan multinasional pembuatan laporan mengacu pada Organization for Economic Co-operation and Development
128
Sidharta Utama, Evaluasi Infrastruktur Pendukung Pelaporan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap FE Universitas Indonesia, Jakarta 14 November 2007, hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
(OECD). Petunjuk itu dipromosikan lewat internet oleh Dutch National Contract Point (NCP). 129 Bagi perusahaan yang menerapkan tanggung jawab sosial pemerintah Belanda memberikan penghargaan (rewards) tahunan kepada perusahaan yang dianggap berprestasi di bidang “achievements in innovation and sustainability” dalam bentuk sertifikat. Pemberian ini didasarkan pada hasil penilaian terhadap transparansi laporan tahunan tentang penerapan tanggung jawab sosial pada suatu perusahan, karena transparansi merupakan salah satu tiang utama tanggung jawab sosial. Untuk itu perusahaan harus didorong meningkatkan performa mereka secara terus menerus dan memungkinkan masyarakat untuk menilai suatu perusahaan. Pemeintah Belanda tidak hanya mengharuskan perusahaan yang melaporkan aktivitas sosialnya, tetapi seluruh kementerian yang ada di lingkungan pemerintahan. Kebijakan ini dipelopori oleh Ministry of Economic Affairs, dimana tahun 2004 diikuti oleh Ministry for Agricultre, Nature and Food Quality juga menerbitkan laporan yang sama. 2.
Kebijakan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) di Kanada Konfrensi Dewan Kanada (Conference Board of Canada) memandang CSR
sebagai lembaga untuk menciptakan suatu keseimbangan antara tiga aspek penting yitu ekonomi, lingkungan dan sosial yang ditujukan pada harapan stakeholders dan
129
Busyra Azheri, Op.Cit., hal 160
Universitas Sumatera Utara
pemerintah serta nilai tambah bagi shareholders. Hal ini terlihat dari rumusan konferensi Dewan Kanada yang menyatakan: 130 an organization to achieve a balance between economic, environmental and social inperatives, address stakeholders expectations and demands and sustain shareholders value. As such, CSR is precieved to incorporate the theree pillars of sustainability while placing an emphasis on the active engagement of stakeholders. Untuk itu Board of Canada berusaha mengembangkan tanggung jawab sosial perusahaan dalam bentuk self- assessment dan benckmark yang meliputi lima hal yaitu: 131 a. Pengelolaan perusahaan dan praktek manajemen (corporate governance and management practices); b. Keterlibatan masyarakat (community) involvement; c. Praktek manajemen sumber daya manusia (human resources management practices); d. Lingkungan, kesehatan, dan keselamatan (environment, health and safety) e. Hak asasi manusia (human right). Selama ini perusahan melaksanakan tanggung jawab sosial (CSR) dalam bentuk kedermawanan dan kesukarelaan saja. Atas dasar tersebut Canadian Business for Corporate Social Responsibility (CBSR) berusaha mengembangkan CSR yang dituangkan dalam berbagai program, antara lain: 132 a. b. c. d. e. f.
Hubungan dengan karyawan/buruh (employe relations); Pengembangan komunitas (community develovement) Mengurusi lingkungan (eviromental stewaship) Hubungan internasional (interntional relationship) Praktik pasar (market place practices) Tanggung jawab dan pertangungjawaban fiscal (fiscal responsibility and accountability)
130
Ibid. hal 164 Ibid. 132 Ibid. hal 165. 131
Universitas Sumatera Utara
Agar setiap perusahan termotivasi menerapkan CSR, pemerintah Kanada memberikan simulus dalam bentuk penghargaan (CSR Award). Penghargaan ini diberikan kepada perusahaan yang mampu mengintegrasikan CSR kedalam stuktur perusahaan, pro aktif dan inovatif dalam mencarikan solusi terhadap CSR, bekerja sama dengan stakeholders internal, dan melaporkan hasil pelaksanaan CSR secara berkala. Diharapkan dengan adanya pemberian CSR award dalam bentuk sertifikat ini, masyarakat bisnis di Kanada menjadi tertantang untuk menjadi yang kompetitif, menguntungkan, produktif dan inovatif, serta bertanggung jawab terhadap perlindungan lingkungan, produksi, hak asasi manusia, praktek manajemen sumber daya manusia, perlindungan konsumen, hubungan distributor, pemasok, kesehatan dan keselamatan dalam bekerja.
Apabila semua ini dapat dilakukan, maka
perusahaan akan mendapat kepercayaan dan kredibilitas publik. 3.
Kebijakan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) di Perancis 133 Di Negara ini, sistem yang digunakan adalah terpusat pada pemerintah,
dimana
pemerintah
mengambil
pajak
yang
cukup
besar
terhadap
perusahaanperusahaan yang berada di negaranya, dan 45% dari dana tersebut difokuskan
bagi
pengeluaran-pengeluaran
sosial
seperti
untuk
kesehatan,
perlindungan sosial, dan dana pensiun. Beberapa perusahaan besar yang menganggarkan biaya pajak dengan beban yang cukup tinggi contohnya seperti Generale des Eaux, Elf Aquitaine dan Rhone Poulenc. Melalui tingginya pembayaran
133
Gunawan Widjaja, 2008, Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT, Forum Sahabat, Jakarta, hal.53.
Universitas Sumatera Utara
pajak tersebut yang sebagian besar dianggarkan untuk pengeluaran sosial menyebabkan banyak perusahaan beranggapan bahwa mereka secara tidak langsung telah melakukan CSR sehingga perusahaan tidak perlu lagi secara langsung melakukan kegiatankegiatan CSR.
4.
Kebijakan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) di Jerman Jerman memiliki kisah panjang terkait keterlibatan sosial oleh para pengusaha
dalam masyarakat. Dalam hal ini, Jerman memiliki sistem jaminan sosial yang kuat dan ekonomi pasar sosial. Pelaksanaan CSR oleh perusahaan secara mandiri masih cukup rendah karena negaralah yang memegang peran utama dalam memenuhi kebutuhan masyarakatnya akan kehidupan dan pekerjaan. Adapun keterlibatan stakeholder dalam CSR terbagi menjadi dua tingkatan, yakni struktur tata kelola perusahaan dengan melibatkan organisasi atau serikat buruh, dan pembaharuan lingkungan.
Universitas Sumatera Utara