BAB II PENYESUAIAN DIRI REMAJA DAN ASUHAN IBU TIRI
A. Penyesuaian Diri Remaja 1.
Pengertian Penyesuaian Diri Remaja a.
Pengertian Penyesuaian Diri Penyesuaian diri menurut Musthafa Fahmi dikutip pada buku Psikologi Umum karya Alex Sobur, bahwa penyesuaian diri adalah suatu proses dinamik terus menerus yang bertujuan untuk mengubah kelakuan guna mendapatkan hubungan yang lebih serasi antara diri dan lingkungan.1 Kemudian menurut Sunarto, penyesuaian diri adalah usaha manusia untuk mencapai keharmonisan pada diri sendiri dan pada lingkungannya, dan penyesuaian diri adalah proses bagaimana individu mencapai keseimbangan diri dalam memenuhi kebutuhan sesuai dengan lingkungan.2 Dalam buku Teori-Teori Psikologi karya M.Nur Ghufron dan Rini Risnawita, definisi penyesuaian diri menurut beberapa ahli antara lain: 1.) Satmoko, penyesuaian diri dipahami sebagai interaksi seseorang yang kontinu dengan dirinya sendiri, orang lain, dan dunianya. Seseorang dikatakan mempunyai penyesuaian diri yang berhasil
1
Alex Sobur, Psikologi Umum, (Bandung : Pustaka Setia, 2003) , hlm.526 Sunarto dan B. Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 222 2
20
21
apabila ia dapat mencapai kepuasan dalam usahanya memenuhi kebutuhan, mengatasi ketegangan, bebas dari berbagai simptom yang mengganggu (seperti kecemasan kronis, kemurungan, depresi, obsesi, atau gangguan psikosomatis yang dapat menghambat tugas seseorang), frustasi, dan konflik.sebaliknya, gangguan penyesuaian diri terjadi apabila seseorang tidak mampu mengatasi masalah yang dihadapi dan menimbulkan respon dan reaksi yang tidak efektif, situasi emosional tidak terkendali, dan keadaan tidak memuaskan. Tinggi rendahnya penyesuaian diri dapat diamati dari banyak sedikitnya hambatan penyesuaian diri. Banyaknya hambatan penyesuaian diri mencerminkan kesukaran seseorang dalam penyesuaian dirinya. 2.) Schneiders, penyesuaian diri mempunyai empat unsur yaitu: a.
Adaptation artinya penyesuaian diri dipandang sebagai kemampuan beradaptasi. Orang yang penyesuaian dirinya baik berarti ia mempunyai hubungan yang memuaskan dengan lingkungan. Penyesuaian diri dalam hal ini diartikan dalam konotasi fisik, misalnya untuk menghindari ketidaknyamanan akibat cuaca yang tidak diharapkan, maka orang membuat sesuatu untuk bernaung.
b.
Conformity
artinya
seseorang
dikatakan
mempunyai
penyesuaian diri baik bila memenuhi kriteria sosial dan hati nuraninya.
22
c.
Mastery artinya orang yang mempunyai penyesuaian diri baik mempunyai
kemampuan
membuat
rencana
dan
mengorganisasikan suatu respon diri sehingga dapat menyusun dan menggapai segala masalah dengan efesien. d.
Individual variation artinya ada perbedaan individual pada perilaku dan responya dalam menggapai masalah. Dan ia berpendapat bahwa penyesuaian diri mengandung arti, antara lain usaha manusia untuk menguasai tekanan akibat dorongan kebutuhan,
usaha
memelihara
keseimbangan
antara
pemenuhan kebutuhan dan tuntutan lingkungan, dan usaha menyelaraskan hubungan individu lingkungan, dan usaha menyelaraskan
hubungan
individu
dengan
realitas.
Ia
memberikan batasan penyesuaian diri sebagai proses yang melibatkan respon mental dan perilaku manusia dalam usahanya mengatasi dorongan-dorongan dari dalam diri agar diperoleh kesesuaian antara tuntutan dari dalam diri dan dari lingkungan. Ini berarti penyesuaian diri merupakan suatu proses dan bukannya kondisi statis.3 Berdasarkan pendapat para ahli diatas, penyesuaian diri adalah kemampuan individu dalam menghadapi tuntutan-tuntutan, baik dari dalam diri maupun dari lingkungan sehingga terdapat keseimbangan
3
M.Nur Ghufron dan Rini Risnawita.S, Teori-Teori Psikologi, (Jakarta : Ar-Ruzz Media, 2014), hlm.50-51
23
antara pemenuhan kebutuhan dengan tuntutan lingkungan. Kemudian tercipta keselarasan antara individu dengan relitas.4 Jadi, penyesuaian diri pada prinsipnya adalah suatu proses yang mencangkup respon mental dan tingkah laku, dengan mana individu berusaha untuk dapat berhasil mengatasi kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik dan frustasi yang dialaminya, sehingga terwujud tingkat keselarasan atau harmoni antara tuntutan dari dalam diri dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan dimana ia tinggal.5 b.
Pengertian Remaja Para ahli psikologi mendefinisikan beberapa pengertian remaja dengan istilah asing, yaitu antara lain : Puberteit, Adolescentia, dan Youth. Sedangkan dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan istilah Pubertas.6 Kata pubertas berasal dari kata latin yang berarti “usia kedewasaan”. Kata ini lebih menunjuk pada perubahan fisik dari pada perubahan perilaku yang terjadi pada saat individu secara seksual menjadi matang dan mampu memberikan keturunan. Akan tetapi di
4
Ibid., hlm. 52 Desmita, Psikilogi Perkembangan Peserta Didik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2009), hlm. 193 6 Panut Panuju dan ida Umami, Psikologi Remaja, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm.1. 5
24
sana juga terdapat perubahan-perubahan perilaku yang terlihat semakin spesifik antara laki-laki dan perempuan.7 Menurut Sarlito Wirawan Sarwono dikutip dalam buku Psikologi Perkembangan karya Elfi Yuliani Rochman, bahwa masa puber merupakan masa pematangan fisik yang berjalan kurang lebih dua tahun dan biasanya dihitung mulai haid yang pertama pada wanita atau sejak seorang laki-laki mengalami mimpi basah yang pertama.8 Menurut Yudrik Jahja dala buku Psikologi Perkembangan bahwa masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluh tahun.9 “Aku”-nya dalam individu menjadi penting sekali, dia mulai memikirkan secara serius perasaan religius, etis, estetis, nasionalis, nilai-nilai hidup, cita-cita, dan pedoman hidupnya. Pada tahap ini remaja lebih emosional dari sebelumnya dan sesudahnya. Dalam kehidupan sehari-hari, biasanya individu terus menerus menyesuaikan diri dengan cara-cara tertentu, sehingga penyesuaian tersebut merupakan suatu pola. Biasanya seseorang dapat memenuhi dan memuaskan kebutuhannya dengan cara-cara yang dapat diterima oleh umum. Keberadaan remaja sekarang ini banyak remaja yang mempunyai masalah yang beragam salah satunya konflik orang tua
7
Elfi Yuliani Rochman, Psikologi Perkembangan, (yogyakarta : STAIN Ponorogo Press, 2005), hlm. 179 8 Ibid., hlm. 180 9 Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan, (Jakarta : Kencana, 2011), hlm. 220
25
dengan remajanya. Konflik remaja dengan orang tua merupakan salah satu hal yang banyak mengundang perhatian para peneliti. Timbulnya konflik remaja dan orang tuanya terutama sang ayah, karena sang ayah telah menemukan ibu baru untuk anak-anaknya menjadi tidak begitu memperhatikan lagi bagaimana keadaan remaja, karena sang ayah telah menyerahkan semua kewajiban keadaan rumah dan anak-anaknya kepada ibu. Ayah pun tidak begitu tau menau tentang keadaan remajanya, seperti keadaan remaja selama ia sekolah, atau menanyakan nilai tugas-tugas sekolahpun tidak dilontarkan kepada remaja, itu mengakibatkan remaja merasa kecewa terhadap orang tua terutama ayah, karena ayah adalah orang tua kandungnya sendiri. Konflik pasti sering terjadi dalam keluarga, terutama sang ayah dan remajanya yang sering ketidaksetujuan apa yang ibu barunya lakukan. Cara pandang orang tua dan remaja terhadap konflik dan ketidaksetujuan
diantara
mereka
sering
kali
berbeda.
Dalam
mengahadapi ketidaksetujuan dengan remaja, orang tua sering membenarkan sudut pandangnya berdasarkan kewenangannya sebagai orang tua atau peraturan sosial. Dengan perspektif demikian, orang tua menganggap konflik terselesaikan ketika remaja sudah menyetujui pendapat orang tua. Oleh karena itu, pada umumnya orang tua sering menilai hubungan dengan anaknya baik-baik saja. Namun dari sudut pandang remaja, mematuhi atau menurut pada pendapat orang tua
26
terjadinya perbedaan, pertentangan, atau konflik tidak selalu berarti konflik telah selesai.10 Remaja harus menyesuaikan diri dengan ibu barunya dalam hubungan keluarga harus diterapkan dan itu akan berpengaruh juga terhadap lingkungan pada diri remaja. Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja juga harus membuat banyak penyesuaian baru yaitu penyesuaian diri pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan, nilainilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial serta nilai-nilai baru dalam seleksi pemimpin.11 Penyesuaian diri remaja terhadap ibu barunya kebanyakan sulit untuk menerapkannya, dan tidak menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga kebutuhan dalam dirinya terhambat oleh satu objek yang tidak biasa ia hadapi, namun remaja harus menerima hal itu. Masalah ini remaja harus menyesuaikan dirinya dengan mencari dan berusaha untuk mencapai kepuasan diri dengan cara yang tidak diinginkannya. Remaja harus menyesuaian dirinya terhadap masalah-masalah yang dihadapinya. Menurut Crutchfield yang dikutip dalam buku Psikologi Umum karya Alex Sobur, mendefinisikan persesuaian sebagai “menyerah kepada tekanan kelompok”. Ini tidak berarti bahwa sebuah kelompok benar-benar memaksa seseorang untuk berperilaku tertentu.
10
Sri Lestari, Psikologi Keluarga, (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2012), hlm. 111-112 Diyah Mardliyah, “Perbedaan Kemampuan Penyesuaian Diri Terhadap Pubertas Pada Remaja Laki-Laki Dengan Remaja Perempuan (Studi Kasus Di SLTP Al-Ikhlas Kandeman Batang)”, Skripsi Sarjana Pendidikan Agama Islam, (Pekalongan : STAIN Press, 2011), hlm. 7 11
27
Keberadaan keyakinan kelompok akan membuat beberapa orang menyesuaikan terhadap keyakinan tersebut, tanpa adanya paksaan yang nyata dalam bentuk apa pun.12 Artinya remaja melakukan setiap hal yang dilakukannya secara tidak dalam hati yang baik atau tidak dengan hati nurani yang lapang tetapi dengan keadaan yang tertekan. Secara tidak langsung remaja melakukan suatu kegiatan itu hanya semata-mata untuk menyesuaikan dirinya terhadap ibu barunya dengan tidak adanya keterpaksaan.
2.
Macam-Macam Penyesuaian Diri Menurut Schneiders macam-macam penyesuaian diri ada 3, yaitu : a.
Penyesuaian Diri Personal Penyesuaian diri personal adalah penyesuaian diri yang diarahkan kepada diri sendiri. Penyesuaian diri personal meliputi : 1.) Penyesuaian diri fisik dan emosi Penyesuaian diri ini melibatkan respon-respon fisik dan emosional sehingga dalam penyesuaian diri fisik ini kesehatan fisik merupakan pokok untuk pencapaian penyesuaian diri yang sehat. Berkaitan dengan hal ini, ada hal penting berupa edukasi emosi, kematangan emosi, dan kontrol emosi. 2.) Penyesuaian diri seksual
12
Alex Sobur, op.cit., hlm.529
28
Penyesuaian diri seksual merupakan kapasitas bereaksi terhadap realitas seksual (implus-implus, nafsu, pikiran, konflikkonflik, frustasi, perasaan salah, dan perbedaan seks). 3.) Penyesuaian diri moral dan religius Dikatakan moralitas adalah kapasitas untuk memenuhi moral kehidupan secara efektif dan bermanfaat yang dapat memberikan kontribusi ke dalam kehidupan yang baik dari individu.13 b.
Penyesuaian Diri Sosial Rumah, sekolah, dan masyarakat merupakan aspek khusus dari kelompok sosial dan melibatkan pola-pola hubungan diantara kelompok tersebut dan saling berhubungan secara integral diantara ketiganya. Penyesuaian diri ini meliputi : 1.) Penyesuaian diri terhadap rumah dan keluarga Penyesuaian diri ini menekankan hubungana yang sehat antar-anggota keluarga, otoritas orang tua, kapasitas tanggung jawab berupa pembatasan, dan larangan. 2.) Penyesuaian diri terhadap sekolah Berupa perhatian dan penerimaan murid atau antar-murid beserta partisipasinya terhadap fungsi dan aktivitas sekolah, manfaat hubungan dengan teman sekolah, guru, konselor, penerimaan keterbatasan dan tanggung jawab, dan membantu
13
M.Nur Ghufron dan Rini Risnawita.S, op.cit., hlm.52-53
29
sekolah untuk melestarikan tujuan intrinsik dan ekstrinsik. Hal-hal tersebut merupakan cara penyesuaian diri terhadap kehidupan di sekolah. 3.) Penyesuaian diri terhadap masyarakat Kehidupan di masyarakat menandakan kapasitas untuk bereaksi secara efektif dan sehat terhadap realitas. c.
Penyesuaian Diri Matrial atau Perkawinan Penyesuaian diri ini pada dasarnya adalah seni kehidupan yang efektif dan bermanfaat dalam kerangka tanggung jawab. Hubungan dan harapan yang terdapat dalam kerangka perkawinan.14
3.
Reaksi-Reaksi Penyesuaian Diri Remaja Penyesuaian diri membuat keadaan diri remaja tertekan dan menjadikan kondisi fisik terutama rohani tidak baik seperti marah, kecewa atau tidak puas. Berikut adalah beberapa reaksi dalam penyesuaian diri remaja dalam bentuk kekecewaan. a.
Rasionalisasi (Rationalization) Ini terjadi bila seorang individu berupaya memberi penjelasan yang menyenangkan (rasional) tapi tidak benar penjelasan untuk perilaku yang khusus dan sering tidak diinginkan. Sebenarnya, orang yang berupaya membenarkan perilaku yang dirasakannya tidak dikehendaki secara sadar atau bawah sadar
14
Ibid., hlm.53-54
30
terlibat dalam rasionalisasi. Hal ini remaja berusaha bersikap senang dan membenarkan suatu keadaan meskipun sebenarnya tidak senang dalam kehidupannya. b.
Konpensasi (Conpensation) Pada konsep konpensasi ketika membicarakan suatu situasi saat orang-orang dengan perasaan ketidakcukupan, sesungguhnya atau dibayangkan berusaha sendiri dengan upaya tambahan guna mengatasi perasaan-perasaan tidak aman. Contoh, kita sering mendengar tentang orang-orang cacat fisik yang banyak meraih prestasi tinggi, jauh melampaui kemampuan banyak orang “normal”. Hal ini menunjukan betapa semangatnya luar biasa untuk mencapai cita-cita tertentu yang ditetapkan sendiri, dan ini mempertunjukan bentuk reaksi penyesuaian. Keadaan seperti itu remaja merasa kurang lengkap dalam kehidupannya, yaitu ditinggalkannya oleh ibu kandung. Tetapi dengan adanya ibu pengganti, remaja akan tetap berdiri tegar dan ia akan menyesuaikan dirinya dengan baik sesuai dengan prinsip hidupnya.
c.
Negativisme (Negativism) Negativisme adalah suatu reaksi yang dinyatakan sebagai perlawanan bawah sadar pada orang-orang atau objek-objek lain. Seorang filsuf anonim menyatakaan, “seandainya kita semua mau mengaku saja bahwa kita gelisah”. Dengan kegelisahan ini memang cenderung meyakini bahwa makhluk hidup yang lain tidak
31
sama merasa seperti demikian, tetapi hanya sedikit saja dari kita yang bisa hidup tenang. Seperti kedatangannya ibu tiri, remaja sebenarnya merasa tidak nyaman, sehingga remaja menjalani kegiatannya dengan terpaksa. d.
Kepasrahan (Resignation) Kepasrahan adalah istilah psikologi yang umumn yang merujuk pada suatu tipe kekecewaan mendalam yang sangat kuat, yang ada kalanya dialami oleh individu-individu. Kondisinya mungkin berlangsung lama atau sementara. Kepasrahan dapat dinyatakan sebagai keadaan menyerah, menarik diri dari keterlibatan seseorang dengan suatu keadaan yang khusus. Hal ini remaja menjalani hidupnya dengan kepasrahan, karena ibu kandung tidak ada disampingnya, karena ibu kandunglah yang menjadi pedoman dalam suatu keluarga, apalagi remaja pasti merasa kecewa bila adanya ibu tiri dalam hidupnya yang tidak sepenuhnya menyayangi dan mengasihi sepenuh hati, sehingga remaja hanya pasrah saja pada sang pencipta.
e.
Pelarian (Flight) Reaksi penyesuaian pada kekecewaan yang disebut pelarian, boleh
jadi
dikacaukan
dengan
kepasrahan.
Namun,
pelarian
mencangkup sesuatu yang lebih jauh, yakni melarikan diri dari situasi khusus yang menyebabkan kekecewaan atau kegelisahan. Kepasrahan mungkin meliputi suatu sikap “tidak peduli” yang apatis tentang
32
masalah, tetapi berbeda dengan pelarian, tidak harus mencangkup meninggalkan sumber konflik atau kekecewaan. Pelarian dapat mengakibatkan seseorang mengambil suatu pekerjaan yang baru sebagai sarana untuk melarikan diri dari pekerjaan yang sekarang. Seperti melamun, lari dari rumah, bahkan mengonsumsi obat-obatan terlarang, dan lain sebagainya. Keadaan seperti inilah yang dikhawatirkan pada remaja, ada masalah dalam keluarga ingin lari dari maslah tersebut. Seperti adanya ibu tiri di rumah, remaja tidak betah di rumah bahkan dapat melakukan berbagai hal yang tidak baik bagi dirinya. f.
Represi (Repression) Jika tanpa diketahui, seseorang mengeluarkan pengalaman atau perasaan tertentu dari kesadarannya, berarti ia melakukan suatu reaksi penyesuaian yang disebut represi. Tidak semua represi itu negatif. Jiwa manusia adalah jiwa ajaib yang berkecenderungan untuk menekan aspek-aspek yang tidak menyenangkan. Misal, orang yang telah banyak mengalami tragedi selama hidupnya, seperti kecelakaan atau kematian mendadak dari mereka yang dicintai, ternyata tidak lagi terlalu terganggu oleh peristiwaperistiwa tersebut. Namun demikian, mereka mungkin saja terpengaruh secara mendalam oleh pengalaman-pengalaman ketika hal itu terjadi.
33
Pada remaja peristiwa yang dialaminya ini yang tadinya kaget akan kedatangannya ibu tiri, sekarang menjadi sudah terbiasa dalam keadaan rumah dengan adanya ibu pengganti. g.
Kebodohan-semu (Pseudostupidity) Dalam beberapa hal tindakan lupa, sebaliknya dari represi peristiwa-peristiwa secara tidak sadar, adalah disengaja dan digunakan sebagai alat untuk menghindarkan tipe-tipe kegiatan tertentu, ini disebut sebagai kebodohan-semu. Hal ini tampak pada sementara orang yang dengan sadar berupaya memberi kesan menjadi pelupa. Remaja pada hal ini berpura-pura lupa dalam menjalankan tugasnya di rumah yang semestinya membantu ibu untuk membersihkan rumah atau membantu ibu memasak. Dengan bersikap seperti demikian karena ada ibu pengganti yang tidak nyaman baginya, sehingga ia bersikap seenaknya.
h.
Pemikiran Obsesif (Obsessive Thinking) Istilah
ini
merujuk
pada
perilaku
seseorang
yang
memperbesar semua ukuran realistis dari masalah atau situasi yang dia alami. Masalah-masalah khusus yang hanya biasa saja, tetapi obsesi terhadap semua ini dapat menimbulkan pengaruh yang dilebih-lebihkan, dengan menciptakan masalah tampak menjadi luar biasa. Keadaan ini remaja pasti melebih-lebihkan keadaan, karena ibu tiri itu pasti berbuat kejam dan egois, sehingga remaja berpikir yang berlebih-lebihan.
34
i.
Pengalihan (Displacement) Pengalihan dapat didefinisikan sebagai proses psikologis dari perasaan-perasaan terpendam yang kemudian dialihkan ke arah objekobjek lain daripada ke arah sumber pokok kekecewaan. Pengambinghitaman (Scapegoating), yaitu menyalahkan orang lain karena problem atau kegelisahan-kegelisahan sendiri, juga merupakan jenis pengalihan. Beberapa reaksi negatif kita terhadap orang-orang lain, mungkin benar-benar merupakan jiwa kita sendiri yang mengatakan kepada kita (dan orang lain) sesuatu tentang diri kita. Hal ini remaja pasti akan menyalahkan apa yang telah ibu tiri lakukan dirumah dengan melaporkan kepada ayahnya, karena remaja tidak menyukai ibu barunya.
j.
Perubahan (Conversion) Istilah conversi digunakan untuk melambangkan suatu proses psikologis,
dalam
hal
kekecewaan-kekecewaan
emosional
diekspresikan dalam gejala-gejala jasmani yang sakit atau tak berfungsi sebagaimana mestinya.15 Keadaan seperti inilah remaja menjadi berubah total terhadap ayah kandungnya sendiri, dari sikap dan gaya bicaranya, karena ayah tidak begitu memperdulikan anaknya gara-gara kedatangan ibu pengganti. Inilah ungkapan kekecewaan remaja terhadap ayahnya.
15
Alex Sobur, op.cit., hlm.532-536
35
4.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri Remaja Menurut Mohammad Ali, setidaknya ada lima faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri remaja, yaitu : a.
Kondisi Fisik Sering kali kondisi fisik berpengaruh kuat terhadap proses penyesuaian diri. Aspek-aspek berkaitan dengan kondisi fisik yang dapat mempengaruhi penyesuaian dirir adalah hereditas dan konstitusi fisik, sistem utama tubuh dan kesehatan fisik.
b.
Kepribadian Unsur-unsur kepribadian yang penting pengaruhnya terhadap penyesuaian diri adalah kemauan dan kemampuan untuk berubah, pengaturan diri, realisasi diri dan intelegensi.
c.
Proses Belajar Termasuk
unsur-unsur
penting
dalam
edukasi
atau
pendidikan yang dapat mempengaruhi penyesuaian individu, adalah belajar, pengalaman, latihan, dan determinasi diri. d.
Lingkungan Berbicara
faktor
lingkungan
sebagai
variabel
yang
berpengaruh terhadap penyesuaian diri sudah tentu meliputi lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. e.
Agama dan Budaya Agama berkaitan eret dengan faktor budaya. Agama memberikan sumbangan nilai-nilai, keyakinan, praktik-praktik yang
36
memberi makna sangat mendalam tujuan, serta kestabilan dan keseimbangan hidup individu. Agama secara konsisten dan terus menerus kontinu mengingatkan manusia tentang nilai-nilai instrinsik dan kemuliaan manusia yang diciptakan oleh Tuhan.16 Dalam faktor lingkungan diatas meliputi lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat, di faktor inilah remaja harus mengalami penyesuaian yang sangat besar. Karena dalam lingkungan keluarga remaja ini telah menghadapi masalah yang begitu sulit untuk diterima dalam kehidupan, dengan datangnya ibu pengganti remaja harus menyesuaian dirinya dengan baik. Dari penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa banyak faktor yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri pada remaja. Seseorang dikatakan memiliki kemampuan penyesuaian diri yang baik manakala mampu melakukan
respon-respon
yang
matang,
efisien,
memuaskan,
dan
sehat.Dikatakan efisien artinya mampu melakukan respon dengan mengeluarkan tenaga dan waktu sehemat mungkin. Dikatakan sehat artinya bahwa respon-respon yang dilakukannya dengan hakikat individu, lembaga, atau kelompok antar individu, dan hubungan antar individu dengan penciptanya. Sebaliknya reaksi yang tidak memuaskan, tidak efektif dan tidak efisian sering kali diartikan sebagai penyesuaian diri yang kurang baik atau buruk.
16
Mohammad Ali, Psikolgi Remaja Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2005), hlm.181
37
B. Asuhan Ibu Tiri 1.
Pengertian Asuhan Ibu Tiri a.
Pengertian Asuhan Asuhan atau bisa disebut dengan pola asuh, secara umum pola asuh mengacu kepada makna dan asal kata yang membentuk kata pola asuh itu sendiri. Pola asuh terdiri dari dua kata yaitu pola dan asuh. Dalam kamus Bahasa Indonesia kata pola diartikan sebagai cara, sedangkan asuh berarti menjaga (membantu, melatih dan sebagainya) orang supaya dapat berdiri sendiri.17 Menurut Hendar Surya, pola asuh adalah gambaran yang dipakai oleh orang tua dalam mengasuh, membesarkan, merawat, dan mendidik anak yang berpengaruh secara langsung terhadap kemandirian anak dalam belajar.18 Menurut Mohammad Shochib, pola asuh adalah upaya orang tua yang diaktualisasikan terhadap penataan lingkungan fisisk, lingkungan sosial internal dan eksternal, pendididkan eksternal dan internal.19 Sedangkan menurut Chabib Thoha, pola asuh adalah suatau terbaik yang dapat ditempuh dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada anak.20
17 18
Depdikbud, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1990), hlm. 664 Hendra Surya, Kiat Mengajak Anak Sukses dan Mandiri (Jakarta: PT Gramedia, 2003),
hlm. 5 19
Mohammad Shohib, Pola Asuh Orang Tua untuk Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm. 15 Chabi Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 109
38
Pola asuh orang tua dalam keluarga merupakan suatu upaya mengasuh, memelihara, mendidik, mengasihi, dan membesarkan yang dilakukan oleh orang tua yaitu ayah dan ibu kepada anaknya dengan penuh kasih sayang yang mana mempunyai tujuan membentuk dan menghasilkan anak yang berguna bagi nusa, bangsa, agama, dan berkepribadian mulia. Mengasuh anak adalah mendidik dan memelihara anak, seperti mengurus makanannya, pakaiannya, dan keberhasilannya dalam periode yang pertama sampai dewasa.21 Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pola asuh adalah cara mengasuh dan metode disiplin dalam berhubungan dengan anaknya
dengan
tujuan
membentuk
watak,
kepribadian,
dan
memberikan nilai-nilai bagi anak untuk dapat menyesuaikan diri di lingkungan sekitar. Dalam memberikan aturan-aturan atau nilai terhadap anak-anaknya tiap orang tua akan memberikan bentuk pola asuh yang berbeda berdasarkan latar belakang pengasuhan orang tua sendiri sehingga akan mengasilkan bermacam-macam pola asuh yang berbeda dari orang tua yang berbeda pula. b.
Pengertian Ibu Tiri Tiri mengandung arti bukan darah daging sendiri. Sedangkan ibu tiri adalah ibu non-biologis yang dinikahi ayah kandung.22 Bila kita mendengar kata tiri, kita akan selalu membayangkan adanya kekejaman. Sekalipun asosiasi itu tidak selalu benar. Sering
21 22
Maimunah Hasan, Pendidikan Anak Usia Dini, (Yogyakarta: Diva Press,2001), hlm.21 http://www.salamatahari.com/ibu-tiri.html. Diakses, 23 Agustus 2015
39
juga kita melihat adanya kehidupan yang cukup baik sekalipun didalam suatu keluarga ada unsur ketirian. Seorang ibu yang tidak pernah melahirkan anak, yang kemudian dipercaya oleh ayah yang telah ditinggalkan oleh istrinya, mendambakan kehidupan bahagia bersama anak-anak tirinya. Tetapi sianak tiri, tidak percaya bahwa ibu itu akan memperlakukannya
seperti
ibunya
sendiri.
Anak
itu
bersikap
memusuhi, menjauhi, dan mencurigai. Anak itu tidak rela bahwa kedudukan ibunya itu tidak ada seorang pun yang menggantikannya, hingga ia mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Ibu tiri itu telah merenggut kasih sayang ayah untuknya. Kecurigaan selalu mengikuti perlakuan ayah atau ibu tirinya. Apalagi bila ia hidup bersama dengan saudara-saudara tirinya.23 Nasib anak-anak tiri dan fungsi ibu tiri sebagian besar di determinir oleh mutu cinta ibu tiri kepada ayahnya dan oeh kepribadiannya. Jika ibu tiri itu bersifat halus, mesra, dan feminin, ia akan mampu menguasai kecenderungan yang negatif karena ia bukan ibu kandung dan bisa memahami serta mentolerir perasaan anak-anak tirinya. Ia pasti rela berkorban diri demi kebahagiaan ayah dan anakanak tirinya, agar bisa berfungsi sebagai ibu yang baik. Pola asuh ibu tiri pasti akan berbeda dengan pola asuh ibu kandung. Perbedaan pola asuh ibu tiri kepada anak kandungnya dan anak tirinya pastilah berbeda, kepada anak kandungnya diasuh dengan
23
Agus Sujanto, Psikologi Kepribadian, (Jakarta : Bumi Aksara, 2009), hlm. 49
40
cara yang baik dan penuh kasih sayang sehingga terbentuk pribadi yang baik pula. Sedangkan pola asuh ibu tiri kepada anak tirinya pasti akan acuh tak acuh, tidak peduli apa yang dilakukannya, dan bahkan ingin menghajarnya apabila ia melakukan kesalahan. Sang ayah di dalam keluarga sangat lemah walaupun berperan sebagai kepala keluarga, karena ibu tiri pasti akan mencari-cari perhatian dan sensasi agar hanya dirinya yang diperhatikan. Dengan demikian anak merasa terlantar tidak diperhatikan oleh ayah apalagi ibu tirinya. Pola asuh dalam keluarga yang seperti ini perilaku atau sikap dan kepribadian anak tidak akan terbentuk dengan baik. Apalagi yang menghadapi keadaan seperti ini adalah seorang remaja, pastilah remaja akan berbuat yang tidak-tidak akan dirinya karena dalam hidupnya tidak ada yang memperhatikannya lagi, remaja putus asa dan seperti tidak ada pandangan hidup dalam kehidupannya.
2.
Bentuk-Bentuk Pola Asuh dalam Keluarga Sering kali kita dengar bahwa ada orang tua yang tega dan rela mencelakai anaknya, ada pula orang tua yang sangat mencintai dan menyayangi anaknya, banyak juga orang tua yang selalu mengalah dan membiarkan anaknya melakukan sesuatu meskipun hal itu kadang akan berdampak negatif terhadap anak dan juga keluarganya. Pola asuh orang tua akan memberikan suatu sikap serta perkembangan kepribadian anak yang tertentu pula.
41
Menurut Moeljono Notosoedirdjo ada 3 jenis pola asuh, antara lain : a.
Demokratis
b.
Liberal
c.
Otoriter24 Penjelasan masing-masing jenis pola asuh tersebut adalah sebagai
berikut. a.
Demokratis Dalam pola asuh demokratis ada kerja sama antar pemimpin dan anggotanya. Dalam keluarga ini orang tua bertanggung jawab dan dapat dipercaya, setiap anggota keluarga saling menghormati dan saling memberi tanpa harus diminta. Antar anggota keluarga saling menghargai pendapat melalui teladan dan dorongan orang tua setiap masalah yang dihadapi dan diupayakan untuk dipecahkan bersama.25 Anak yang dibesarkan dalam susunan keluarga yang demokratis, membuat anak mudah bergaul, aktif dan ramah tamah. Anak belajar menerima pandangan-pandangan orang lain, belajar dengan
bebas
mengemukakan
pandangannya
sendiri
mengemukakan alasan-alasannya.26
24
Moeljono Notosoedirdjo, Kesehatan Mental Konsep Penerapan, (Malang : Universitas Muhammadiyah, 2002), Edisi ke 3, hlm. 4 25 Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, cet. Ke-7, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 73 26 Moeljono Notosoedirdjo, loc.cit, hlm. 4
dan
42
Orang tua yang bersikap demokratis memberikan andil terhadap perilaku anak untuk agresif dan menjadi pendorong terhadap perkembangan anak ke arah yang positif.27 Orang tua yang demokratis sedapat mungkin mereka akan berusaha memberikan semua yang ingin diketahui dan dibutuhkan oleh anak mereka yang sudah remaja, supaya ia bisa mengambil keputusan setelah cukup mengetahui berbagai kemungkinan dan hasilnya. Jadi dalam pola asuh demokratis ini anak merasa dihargai dalam keluarga. b.
Liberal Liberalisme berasal dari kata latin liberalis, kata yang diturunkan dari kata liber yang artinya bebas, merdeka, tak terikat, tak tergantung.28 Dalam
lingkungan
keluarga
anak
tidak
menunjukan
agresivitasnya tetapi dalam pergaulan sosialnya kelak anak banyak mendapatkan kesukaran. Dalam kehidupan sosialnya, anak tidak dapat mengendalikan agresivitasnya dan selalu mengambil sikap ingin menang dan benar, tidak seperti halnya dengan anak yang dibesarkan dalam susunan keluarga yang demokratis. Hal ini terjadi karena anak tidak mendapatkan tingkat interaksi sosial yang baik di keluarga.29 Dalam hal ini orang tua membebaskan anaknya untuk melakukan sesuatu, orang tua tidak memperdulikan apa yang dilakukan 27
Moh Sochib, Pola Asuh Orang Tua dalam Membentu Anak Mengembangkan Disiplin Diri, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm. 4 28 A. Mangun Hardjana, Isme-Isme dalam Etika dari A-Z, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 148 29 Moeljono Notosoedirdjo, loc.cit, hlm. 176
43
anaknya,
sehingga
kadang-kadang
si
anak
akan
melakukan
penyelewengan ataupun bisa meremehkan orang tua yang semestinya dihormati. c.
Otoriter Pola asuh otoriter ini orang tua menentukan segala-galanya semua aktivitas anak dijalankan atas intruksi orang tua.30 Anak yang dibesarkan dalam keluarga yang otoriter ini biasanya akan bersifat tenang, tidak melawan tidak agresif dan mempunyai tingkah laku yang baik. Anak akan selalu berusaha menyesuaikan pendiriannya dengan kehendak orang lain (yang berkuasa orang tua). Dengan demikian kreativitas anak akan berkurang, daya fantasinya kurang, dengan demikian mengurangi kemampuan anak untuk berfikir abstrak. Sementara itu, pada keluarga yang demokratis anak dapat melakukan banyak ekslorasi.31 Orang tua dan pengasuh yang lain menetapkan peraturanperaturan dan memberitahuka anak bahwa ia harus mematuhi peraturanperaturan tersebut, tidak ada usaha untuk menjelaskan pada anak, mengapa ia harus patuh dan padanya tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat tentang adil tidaknya peraturan-peraturan atau apakah peraturan itu masuk akal atau tidak. Kalau anak tidak mengikuti
30 31
Abu Ahmadi, Psikologi Sosial, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 134 Moeljono Notosoedirdjo, loc.cit, hlm. 176
44
peraturan ia akan dihukum yang sering kali kejam dan yang dianggap sebagai cara untuk mencegah pelanggaran di masa mendatang.32 Dari bentuk-bentuk pola asuh di dalam keluarga di atas adalah macam-macam orang tua yang memberikan pendidikan kepada anaknya, pasti bertujuan agar anak mempunyai akhlak yang terpuji, dan dapat berguna bagi nusa dan agamanya. Tetapi berbeda dengan bentuk pola asuh ibu tiri terhadap anak tirinya, dari beberapa bentuk pola asuh di atas biasanya ibu tiri mengasuh anak tirinya dengan bentuk pola asuh liberal dan otoriter. Pola asuh liberal sangat menunjukan bahwa orang tua membebaskan anak-anaknya untuk melakukan sesuatu, ibu tiri tidak memperdulikan apa yang dilakukan anak tirinya sehingga kadangkadang remaja akan melakukan penyelewengan. Pola asuh yang seperti ini akan membuat perkembangan remaja menjadi terhambat, biasanya remaja mengalami frustasi dan cenderung mudah untuk membenci seseorang. Biasanya ibu tiri lebih dominan menggunakan pola asuh kepada anak tirinya dengan bentuk pola asuh liberal. Sedangkan pola asuh otoriter, ibu tiri mendidik anak tirinya dengan tekanan-tekanan atau banyak peraturan, kalau anak tirinya tidak mengikuti peraturannya akan dihukum yang sering kali kejam dan keras. Disini remaja tidak diberi peluang untuk melakukan sesuatu dan remaja merasa tertekan dengan keadaannya karena remaja tidak pernah 32
Elisabert B Hurlock, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, (Jakarta: Erlangga, 1980), Edisi Ke-5, hlm. 125
45
dihargai pendapatnya dan harus mematuhi aturan yang ada dalam keluarga. Dalam keluarga tidak banyak ibu tiri mendidik anak tirinya dengan pola asuh bentuk otoriter, lebih cenderung ke bentuk liberal.
3.
Tujuan Pola Asuh dalam Keluarga Setiap orang tua dalam mendidik anaknya pasti mempunyai tujuan-tujan tertentu, dan tujuan-tujuan itu pastinya untuk kebaikan anaknya baik secara jasmaniah dan rohaniah. Oleh karena itu orang tua dalm mendidik anaknya harus memperhatikan pada pendidikan jasmani dan rohani. Adapun tujuan dari pola asuh orang tua itu dsesuaikan dengan tujuan dari pendidikan, yang mana tujuan terseut seharusnya sesuai dengan ajaran islam yaitu mencangkup tujuan jasmani, tujuan rohaniah, tujuan akal, dan tujuan sosial. a.
Tujuan Jasmaniah Secara jasmaniah pendidikan juga memperhatikan kesehatan lahiriyah. Untuk membina manusia yang sehat lahiriyah, perlu dibentuk melalui pemdidikan, misalnya melalui pendidikan jasmani, hal ini bertujuan agar perkembangan jasmaniah mendapat perhatian yang semestinya.33 Jadi tujuan jasmaniah yang dimaksud adalah membentuk manusia muslim yang sehat dan kuat serta memiliki ketrampilan yang tinggi.
33
Miftahul Huda, Idealitas Pendidikan Anak, (Malang: UIN Malang Press, 2009), hlm. 85
46
b.
Tujuan Rohaniah Tujuan rohaniah diarahkan kepada pembentukan akhlak mulia yang ini para pendidik modern barat dikategorikan sebagai tujuan pendidikan religius. Pendidikan islam dalam bidang etika bertujuan untuk menciptakan manusia yang memiliki akhlak yang luhur, akhirnya terciptalah masyarakat yang menjunjung nilai-nilai luhur kemanusiaan seperti yang diajarkan oleh islam, sehingga tercemin dalam perilaku yang adil, memahami persamaan sosial dan hak individu, menghargai kebebasan berpolitik, ekonomi, dan pemikiran atau keilmuan. Dan secara agamis, pendidikan islam memuat misi penegak dan sekaligus menyiarkan agama untuk menyiapkan kader-kader muslim agar siap mempertahankan sekaligus menyiarkan
agama. Maka mereka juga
dibekali kemampuan untuk menyerang musuh dan mengancam keberadaan agamanya. Dengan usaha inilah kelestarian agama islam akan tetap jaya.34 c.
Tujuan Akal Tujuan akal bertumpu pada perkembangan intelegensi yang mengarahkan manusia sebagai individu untuk dapat menemukan kebenaran yang sebenar-benarnya sehingga mampu memahami dan menganalisis fenomena-fenomena ciptaan Allah di jagad raya ini. Selain itu pendidikan islam juga bertujuan untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan memiliki daya nalar serta sikap kritis yang
34
Ibid., hlm. 21
47
tinggi. Maka objek berpikir ini meliputi alam raya dan manusia itu sendidi. Juga menangkap fenomena ajaran al-Qur’an sampai pada tahap transedental serta mampu mencari sebab akibat fenomena yang ada di alam raya ini dengan berdasarkan pada pandangan agama.35 d.
Tujuan Sosial Pendidikan berkenaan dengan perkembangan dan perubahan kelakuan anak didik. Dalam arti ini pendidikan mulai dengan interaksi pertama individu itu dengan anggota masyarakat lainnya, misalnya pada saat pertama kali bayi dibiasakan minum menurut waktu tertentu dalam definisi ini tidak diadakan perbedaan antara orang tua dengan anak, antara guru dengan murid,, yang diutamakan ialah adanya hubungan yang erat antara individu dengan masyarakat. Belajar adalah sosialisasi yang kontinu, setiap individu dapat menjadi murid dan menjadi guru. Individu belajar dari lingkungan sosialnya dan juga mengajar dan memengaruhi orang lain.36
35 36
Ibid., hlm. 21 Nasution, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm. 11