BAB II MODEL PEMBELAJARAN KUANTUM PENDIDIKAN JASMANI BERBASIS KOMPETENSI DI SEKOLAH DASAR A. Hakikat dan Tujuan Pendidikan Jasmani 1. Pengertian Pendidikan Jasmani Pendidikan jasmani merupakan salah satu alat yang sangat penting untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan, khususnya pertumbuhan dan perkembangan gerak manusia yaitu gerak yang dibutuhkan manusia dalam aktivitas kesehariannya baik untuk belajar mengenal alam sekitar maupun belajar mengenal dirinya sebagai mahluk individu dan mahluk sosial dalam usaha mengatasi dan menyesuaikan perubahan yang terjadi di lingkungannya. Pendidikan jasmani juga merupakan suatu pendidikan yang menggunakan fisik alau tubuh sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan yaitu melalui aktivitas-aktivitas jasmani (Syarifudin dan Muhadi, 1993:6). Pendidikan
jasmani
pada
dasarnya
merupakan
pendidikan
yang
mengaktualisasikan seluruh potensi aktivitas manusia berupa sikap, tindak dan karya yang diberi bentuk, isi dan arah menuju kebulatan pribadi sesuai dengan cita-cita kemanusiaan. Pendidikan jasmani terutama pengalaman gerak memberikan kontribusi yang dominan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak didik secara menyeluruh, sehingga pandangan terhadap kehidupan manusia antara jiwa dan raga tidak bisa dipisahkan satu sama lain benar-benar dapat dibuktikan. Pendidikan jasmani adalah proses sosialisasi atau pembudayaan via aktivitas
64
jasmani, bermain dan atau olahraga untuk mencapai tujuan pendidikan. Pendidikan jasmani mengandung suasana pergaulan pendidikan melalui aktivitas jasmani atau pengalaman gerak jasmaniah (Cholik Mutohir dkk., 1998:8). Demikian pula Bûcher dalam Supandi (1994:30) mengemukakan hal yang sama bahwa pendidikan jasmani adalah bagian integral dari seluruh proses pendidikan yang bertujuan untuk perkembangan fisik, mental, emosi, dan sosial melalui aktivitas jasmani yang telah dipilih untuk mencapai hasilnya Pendidikan jasmani memberikan tekanan tidak hanya pada asfek psikomotor dan kognitif semata, akan tetapi menekankan pula pada aspek afektif dan sosial. Secara realistis memang dapat dimengerti bahwa nilai-nilai pendidikan jasmani yang menyeluruh pada perkembangan siswa tidak dapat lepas dalam koridor tiga domain perilaku dominan yaitu kognitif, psikomotor dan afektif. Hal ini sejalan dengan pandangan Syarifudin (1994:4) bahwa pendidikan jasmani adalah suatu proses melalui aktivitas jasmani yang dirancang dan disusun secara sistematik untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan, meningkatkan kemampuan dan keterampilan jasmani, kecerdasan, dan pembentukan watak serta nilai dan sikap yang positif bagi setiap warga negara dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Sebagai pembanding pernyataan tersebut dikemukakan oleh Nixon dan Jewett (1980) dalam Abdoellah dan Manadji (1994:5) mengemukakan bahwa pendidikan jasmani adalah satu tahap atau aspek dari proses pendidikan keseluruhan yang berkenaan dengan perkembangan dan penggunaan kemampuan gerak individu yang dilakukan atas kemauan sendiri serta bermanfaat dan dengan reaksi atau respons yang terkait langsung dengan mental, emosional, dan sosial.
65
Pernyataan tersebut, menuntut program pendidikan jasmani terutama terdiri atas lingkungan belajar yang khusus yang bercirikan banyak kondisi dan rangsang yang dirancang secara khusus pula dengan maksud untuk memberikan kesempatan terjadinya pengaruh yang baik terhadap jasmani, emosi, sosial, dan intelektual. Program yang demikian dapat membawa perubahan pada diri siswa kearah yang diinginkan. Selaras dengan pernyataan itu, Depdiknas (2003:5-7) mensepakati bahwa pendidikan jasmani merupakan bagian integral dari sistem pendidikan secara keseluruhan, yang memfokuskan pengembangan aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak, keterampilan berfikir kritis, stabilitas emosional, keterampilan sosial, penalaran dan tindakan moral melalui aktivitas jasmani. Dengan demikian pendidikan jasmani merupakan proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas jasmani dan direncanakan secara sistematik bertujuan untuk meningkatkan individu secara organik, neuromuskuler, perseptual, kognitif, sosial dan emosional. Pandangan di atas memperkuat asumsi bahwa program pendidikan jasmani khususnya di persekolahan terdiri dari satu lingkungan belajar yang berisikan berbagai dan beragam kondisi dan rangsang agar memberikan kemungkinan bereaksi secara jasmaniah, sosial, emosional dan intelektual. Melalui kondisi dan rangsang anak didik dapat berubah atau dididik ke arah yang diinginkan. Fasilitas yang tersedia merupakan bagian esensial dari lingkungan khusus pendidikan jasmani. Unsur esensial lainnya adalah guru pendidikan jasmani, pelatih, instruktur, program pendidikan jasmani dan perlombaan serta pertandingan. Hasil pendidikan jasmani yang diperoleh siswa bergantung pada respons dan sikap yang
66
mempengaruhinya, sebab pendidikan jasmani pada hakikatnya kondisi perubahan dan penyesuaian yang terjadi pada individu sebagai akibat dari pengalaman dalam mempelajari gerak (Frost, 1975; dalam Abdullah, 1994:6). Gerak yang dilakukan individu merupakan inti sari dari pendidikan jasmani, karena itu dalam pendidikan jasmani terdapat tiga faktor yang sangat mendasar dalam gerak manusia. Pertama, faktor unjuk kerja jasmani, faktor ini sangat berpengaruh dalam melakukan aktivitas jasmani malahan mendasari semua gerak seperti kelincahan, kecepatan, kekuatan, daya tahan, keseimbangan, kelentukan, dan stamina. Faktor kedua adalah aktivitas universal yakni keterampilan fundamental seperti: lari, lempar, lompat, panjat, dan menggantung. Sedangkan yang ketiga adalah gerakan khusus yang bertingkat tinggi yang dikuasai dengan latihan dan pengalaman khusus yakni mencakup aktivitas dalam pendidikan jasmani. Aktivitas jasmani yang teratur dan berprogram dilaksanakan oleh peserta didik untuk meningkatkan keterampilan motorik dan dan nilai-nilai fungsional yang mencakup aspek kognitif, afektif dan sosial. Aktivitas jasmani ini harus dipilih dan disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa agar pesereta didik tumbuh dan berkembang secara sehat dan harmonis. Kegiatan pendidikan jasmani merupakan suatu proses pendidikan melalui gerak fisik sebagai alat untuk mencapai sasaran. Pendidikan jasmani adalah bagian integral dari pendidikan dan merupakan alat pendidikan dengan menggunakan aktivitas otot-otot besar hingga proses pendidikan yang berlangsung tidak terhambat oleh gangguan kesehatan dan pertumbuhan badan (Abdulkadir, 1992:4)
J„:
C..1»_,^/D1'
f 7/Tim
Secara konseptual, misi program pendidikan jasmani adalah pendidikafr^gjjjj^ bersifat menyeluruh, sehingga dipandang bukan saja berkaitan dengan upaya pengembangan kemampuan jasmaniah semata, tetapi lebih luas dari hal tersebut mencakup dimensi fisikal, intelektual, mental, sosial, dan emosional. Hal ini sejalan dengan pendapat Syarifudin (1997:3), Pendidikan jasmani merupakan bagian integral dari pendidikan keseluruhan melalui berbagai aktivitas jasmani ya bertujuan mengembangkan individu secara organik, neuromuskuler, intelektual, dan emosional. Dalam pelaksanaan sehari-hari akan tampak dalam aktivitas gerak siswa saat melakukan tugas-tugas gerak dalam proses pembelajaran. Pendidikan jasmani merupakan bagian integral dari pendidikan dan melaksanakan kegiatan untuk menjamin seluruh perkembangan kualitas fisik dan moral anak-anak di sekolah dalam menyiapkan kehidupannya, bekerja dan mempertahankan negaranya. Secara lebih spesifik, pendidikan jasmani akan meningkatkan kesehatan, perkembangan keterampilan fisik, potensi organ-organ tubuh, keterampilan gerak fungsional dan menanamkan kualitas moral seperti nasionalisme, patriotisme, kerjasama, keberanian, ketekunan, dan keyakinan diri. Intisari pengertian pendidikan jasmani merupakan suatu proses pendidikan dengan menggunakan gerak sebagai medianya yang dilakukan secara sistematis untuk meningkatkan dan mengembangkan keterampilan motorik, sikap, nilai-nilai sosial, emosional dan intelektual. Pengertian ini sejalan dengan tujuan pendidikan jasmani yang pada intinya membina manusia seutuhnya yang meliputi aspek jasmaniah, intelektual, emosional, sosial, dan mental spritual melalui pemanfaatan
68
gerak yang teratur, terprogram, terkendali dan terarah dengan memperhatikan aspek manusia. Setelah tujuan pendidikan jasmani dikemukakan oleh Pangrazi dan Dauer (1995:27) ada lima tujuan pendidikan jasmani diselenggarakan di sekolah yaitu: Ï) motor skill and movement competences, artinya kemampuan gerak dan keterampilan gerakan, 2) health-related physical fitness and wellness, artinya kebugaran jasmani yang berhubungan dengan kesehatan dan kesejahtraan, 3) human movement principles, artinya prinsip gerak manusia, 4) social skills and positive self concept, artinya kemampuan berasosiasi dan perencanaan diri yang positif, dan 5) livetime participation in aktivity, artinya keikutsertaan beraktivitas selama hidup. Demikian pula tujuan pendidikan jasmani yang dikemukakan oleh Siedentop (1990:216) yaitu terdiri dari empat pokok mendasar yakni: 1) physical development objective, yaitu berkaitan dengan program aktivitas yang dapat mengembangkan kekuatan fisik individu melalui pengembangan berbagai sistem organ tubuh, 2) motor development objective, yakni yang berkaitan dalam mengembangkan gerak, 3) mental development objective, yakni yang berkaitan dengan pengetahuan dan pengembangan berfikir dalam menginterpretasikan pengetahuan tersebut, dan 4) social development objective, yakni berkaitan dengan membantu individu dalam memahami personal, kelompok, dan anggota masyarakat lainnya. Tampak jelas, bahwa kependidikan dalam esensi pendidikan jasmani akan nampak terwujud penyediaan pengalaman belajar melalui tugas-tugas gerak yang dilaksanakan oleh peserta didik yang berorientasi secara menyeluruh serta mempunyai tujuan atau sasaran yang dicapai oleh siswa itu sendiri berdasarkan
69
klasifikasi keterampilan, prinsip dan proses yang mendasari
performance
keterampilan tersebut. Apabila tujuan pendidikan jasmani di Sekolah Dasar membantu siswa ke arah kedewasaan maka hendaknya program aktivitas bermain merupakan suatu kebutuhan yang esensial. Aktivitas bermain merupakan kegiatan pendidikan jasmani di Sekolah Dasar sebab memberikan dampak yang sangat positif bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, termasuk perkembangan mental, emosional, sikap dan spritual, serta intelektual dan keterampilan fisik (multilateral skill). Rusli Lutan (1997:26) menegaskan bahwa tujuan pendidikan jasmani di Sekolah Dasar membantu peserta didik agar meningkatkan kemampuan gerak mereka, disamping agar mereka merasa senang dan mau berpartisipasi dalam berbagai aktivitas.
Diharapkan apabila mereka memiliki fondasi pengembangan
keterampilan gerak, pemahaman kognitif, dan sikap yang positif terhadap aktivitas jasmani kelak akan menjadi manusia dewasa yang sehat dan berkepribadian yang mantap. Nilai-nilai inti program pendidikan jasmani akan bermakna dalam konteks pendidikan Sekolah Dasar, jika dapat memberikan pengalaman gerak yang bermakna kepada siswanya. Ini dapat terwujud bukan saja pengembangan dalam dimensi jasmaniah yakni kebugaran jasmani siswa akan tetapi juga dalam pengembangan perubahan sikap sosial siswa. Melalui program pendidikan jasmani yang teratur, terencana, terarah, dan terbimbing diharapkan dapat dicapai seperangkat tujuan yang mencakup pembentukan dan pembinaan pertumbuhan dan perkembangan jasmani maupun rohani. Cakupan tujuan ini terdiri dari pertumbuhan dan perkembangan jasmani maupun rohani. Cakupan tujuan ini terdiri dari
70
pertumbuhan dan perkembangan unsur jasmani, rohani, sosial, emosional dan intelektual moral spritual (Cholik Mutohir dan Rusli Lutan, 1997). Pendidikan jasmani merupakan suatu proses dari pendidikan dengan maksud untuk mengubah perilaku peserta didik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Cholik Mutohir dan Rusli Lutan (1997:14) yaitu pendidikan jasmani adalah suatu proses yang dilakukan secara sadar dan sistematis melalui berbagai kegiatan jasmani untuk memperoleh pertumbuhan jasmani, kesehatan dan kesegaran jasmani untuk memperoleh pertumbuhan jasmani, kesehatan dan kesegaran jasmani, kemampuan dan keterampilan, kecerdasan dan perkembangan watak serta kepribadian yang harmonis dalam rangka pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang berkualitas berdasarkan Pancasila. Pendidikan jasmani pula merupakan bagian dari keseluruhan yang pada hakikatnya adalah proses pendidikan yang melibatkan interaksi antara anak didik dengan lingkungan yang dikelola melalui aktivitas jasmani secara sistematik menuju pembentukan manusia Indonesia seutuhnya. Aktivitas jasmani yang dimaksud adalah kegiatan anak didik untuk meningkatkan keterampilan motorik dan nilai-nilai fungsional yang mencakup kognitif, afektif, dan sosial. Melalui aktivitas jasmani diharapkan anak didik tumbuh dan berkembang menjadi bugar jasmani dengan perkembangan yang midti lateral. Hubungannya dengan peningkatan prestasi, pendidikan jasmani berupaya membentuk gerak yang bermanfaat dalam usaha pembinaan olahraga melalui kegiatan ekstrakurikuler (Cholik Mutohir dan Rusli Lutan, 1997:13).
71
Fokus utama dari para guru pendidikan jasmani ialah memenuhi tugasnya dalam membantu siswa untuk melakukan gerak secara efisien, meningkatkan kualitas penampilan anak didik, mempertinggi kemampuan belajar, dan memelihara kesehatan anak didiknya. Untuk memenuhi keseluruhan tugas yang ada, maka para guru pendidikan jasmani menjadikan gerak sebagai kunci utama dalam mencapai tujuan pendidikan jasmani di Sekolah Dasar sesuai dengan karakteristik usia siswa Sekolah Dasar. Pendidikan jasmani merupakan bagian dari pendidikan secara umum yang memberikan kontribusi terhadap pengalaman-pengalaman gerak, pertumbuhan dan perkembangan anak didik secara menyeluruh. Seperti dikemukakan Krool (1982; dalam Rusli Lutan, 1992:7) menyatakan "Physical education is education through, and not of the physical", maksudnya pendidikan jasmani adalah pendidikan yang sifatnya menyeluruh, dan bukan hanya pembentukan fisik saja. Hal yang sama, Pangrazi dan Dauer (1988) dalam Mahendra (1997:1) menyatakan pendidikan jasmani dipercaya sebagai suatu aktivitas yang memiliki manfaat dalam pengembangan sifat-sifat manusia yang unggul seperti: keteguhan, daya juang, sportivitas, kejujuran, serta kemampuan bekerja sama. Ini merupakan keunggulan atau nilai lebih yang melekat pada pendidikan jasmani di samping atribut lain dalam hal mengembangkan aspek-aspek psikomotor dan kognitif siswa. Keyakinan terhadap nilai lebih ini menjadikan alasan mengapa pendidikan jasmani selalu menjadi bidang studi wajib bagi siswa Sekolah Dasar sampai tingkat sekolah menengah, malahan ada beberapa perguruan tinggi mata kuliah pendidikan jasmani adalah program wajib yang harus ditempuh mahasiswa.
72
Pendidikan jasmani dalam mengembangkan kawasan afektif, baru sampai pada taraf perumusan ide-ide konseptual tentang permasalahan tersebut Hingga sekarang manfaat yang dapat diambil dari program pendidikan jasmani dalam kaitannya dengan penanaman afektif selalu mendapat sorotan tajam karena berbeda ketika konseptual baik namun taraf operasional berlainan. Ternyata kendala yang dihadapi bukan bersumber pada kelemahan guru dalam memahami bagaimana pelajaran pendidikan jasmani dapat diandalkan sebagai alat pendidikan, melainkan lebih berkaitan dengan masalah-masalah mendasar dari pendidikan nasional yang masih belum memungkinkan para pendidik mampu menggali aspek-aspek unggulan dalam proses pendidikan jasmarii.yang mengajarkan pendidikan jasmani yang berisikan nilai-nilai kependidikan. Lebih khusus lagi ketidakmampuan siswa untuk ikut serta dalam pendidikan jasmani termasuk penguasaan, bukan saja terkait dengan kemampuan dasar dan faktor gender, tetapi dipengaruhi oleh atribut yang melekat seperti faktor etnis dan cacat bawaan termasuk cacat karena sakit atau kecelakaan. Salah satu unsur yang tidak nampak dalam pembelajaran Penjas adalah unsur pembangkit motivasi. Masalah pengetahuan dan skill dapat dikatakan lebih mudah dipahami dan dikaitkan dengan kehidupan. Namun masalah pembiasaan sikap perlu penajaman lebih lanjut. Unsur pembiasaan sikap ini merupakan kunci kesuksesan penguasaan knowledge dan skill. Tanpa keinginan yang kuat untuk mencoba belajar setiap hari, mustahillah pengetahuan dan keterampilan itu akan menyatu dalam diri seorang pembelajar.
73
2. Tujuan Pendidikan Jasmani Dalam melaksanakan pembelajaran pendidikan jasmani, guru harus memahami secara konseptual maupun operasional tentang tujuan pendidikan jasmani di Sekolah Dasar. Tujuan pendidikan jasmani secara khusus untuk siswa Sekolah Dasar telah dirumuskan di dalam Kurikulum SD mata pelajaran pendidikan jasmani (Depdiknas, 2003:6-7) sebagai berikut: a. Meletakan landasan karakter moral yang kuat melalui internalisasi nilai Pendidikan Jasmani. b. Membangun landasan kepribadian yang kuat, sikap cinta damai, sikap sosial dan toferansidalam konteks kemajemukan budaya, etnis, dan agama. c. Menumbuhkan kemampuan berfikir kritis melalui pelaksanaan tugas-tugas ajar Pendidikan Jasmani. d. Mengembangkan sikap sportif, jujur, disiplin, bertanggungjawab, kerjasama, percaya diri dan demokratis melalui aktivitas jasmani. e. Mengembangkan kemampuan gerak dan keterampilan berbagai macam permainan dan olahraga. f. Mengembangkan keterampilan pengelolaan diri dalam upaya pengembangan dan pemeliharaan kebugaran jasmani serta pola hidup sehat melalui berbagai aktivitas jasmani. g. Mengembangkan keterampilan untuk menjaga keselamatan diri sendiri dan orang lain. h. Mengetahui dan memahami konsep aktivitas jasmani sebagai informasi untuk mencapai kesehatan, kebugaran, dan pola hidup sehat.
74
i. Mampu mengisi waktu luang dengan aktivitas jasmani yang bersifat rekreatif. Dari rumusan tujuan pendidikan jasmani di atas pada hakikatnya kawasan pendidikan jasmani mencakup aspek organik, kognitif, neuromuskuler, perseptual, sosial dan emosional. Akibatnya seorang yang terdidik dalam pendidikan jasmani, maka ia telah mempelajari berbagai macam keterampilan yang diperlukan dalam melakukan berbagai aktivitas jasmani, seperti: (1) Bergerak dengan menggunakan kesadaran tentang tubuhnya, ruang, usaha dan hubungan, (2) Menunjukkan penguasaan keterampilan dalam berbagai keterampilan manipulatif, lokomotor, dan nonlokomotor, (3) Memperlihatkan kemampuan keterampilan dalam kombinasi manipulatif, lokomotor, dan nonlokomotor yang dilakukan secara individual atau dengan orang lain, (4) Menunjukkan kemampuan dalam berbagai bentuk aktivitas jasmani (Abdullah, 2003). Aspek organik berhubungan dengan sistem tubuh menjadi lebih baik sesuai dengan tuntutan lingkungannya untuk pengembangan keterampilan seperti kekuatan otot, daya tahan otot dan kardiovaskuler, serta peningkatan fleksibelitas persendian. Aspek neuromuskuler yang berorientasi pada keharmonisan antara fungsi saraf dan otot lebih tertuju pada pengembangan keterampilan gerak dasar sebagai wujud konkrit kebutuhan nyata gerak sehari-hari, seperti mengembangkan keterampilan lokomotor, nonlokomotor, dan keterampilan dasar manipulatif Aspek perseptual yang lebih terfokus pada pengembangan yang berkaitan dengan kemampuan menerima dan membedakan isyarat, tempat dan ruang, koordinasi gerak visual, dan keseimbangan statis dan dinamis. Pada aspek kognitif yang memiliki titik sentral pengembangan kemampuan menemukan sesuatu,
75
memahaminya, memperoleh pengetahuan dan pengambilan keputusan. Aspek kognitif lebih dominan pada garapan memahami peraturan permainan, penggunaan taktik dan strategi dan pertimbangan mengimplementasikan aktivitas yang terorganisasi. Sedangkan aspek sosial dalam fungsi pendidikan jasmani seseorang akan berusaha menyesuaikan diri dengan orang lain dan lingkungan dimana dia berada.
Aspek
emosional
siswa
dalam
pendidikan
jasmani
berusaha
mengembangkan respon positif terhadap aktivitas jasmani lebih kreatif dalam mengekpresikan diri. Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan jasmani yang berkualitas memang diakui tidak mudah, banyak tantangan yang harus dihadapi oleh guru pendidikan jasmani, seperti minimnya fasilitas yang berupa sarana dan prasarana pendidikan jasmani, rendahnya kemampuan guru pendidikan jasmani yang profesional, rendahnya motivasi siswa, dan kurangnya pembinaan terhadap guru serta kondisi yang kurang mendukung dalam penyelenggaraan pendidikan jasmani di Sekolah Dasar. B. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Jasmani Berbasis Kompetensi 1. Hubungan Kurikulum dan Pembelajaran Perbedaan antara kurikulum, pembelajaran, dan hubungannya merupakan permasalahan yang mengundang orang untuk membahasnya, walaupun para ahli kurikulum lebih senang menyederhanakan perbedaan definisi kurikulum dan pembelajaran dengan menggunakan istilah "apa" dan "bagaimana". Kurikulum lebih menekankan pada"apa" yang diajarkan, sementara pembelajaran lebih menekankan "bagaimana" mengajarkannya. Karena itu kurikulum lebih banyak berisikan
76
pembahasan tentang yang menyangkut program, perencanaan, isi, dan sejumlah pengalaman belajar. Sementara pembelajaran lebih dominan berisikan pembahasan tentang "interaksi" pembelajaran seperti: metode, strategi, gaya mengajar, pendekatan, implementasi, dan penampilan mengajar. Oliva Peter F. (1992) melihat hubungan kurikulum dan pembelajaran berdasarkan empat katagori, yaitu dualistic model, interlocking model, concentric model, dan cyclical model. Pada model dualistic, pelaksanaan proses belajar mengajar yang dikendalikan guru sama sekali tidak berkaitan dengan perencanaan program kurikulum, walaupun sebenarnya sangat berkaitan. Pembuat kurikulum sengaja mengabaikan para pengajar, sebaliknya para pengajar mengabaikan kurikulum. Model dualistic ini, program kurikulum dan proses pembelajaran mungkin berubah tanpa saling mempengaruhi satu sama lain secara signifikan. Pada model interlocking, kurikulum dan pembelajaran memiliki posisi yang sama, keduanya saling mempengaruhi, pemisahan dari keduanya dianggap akan membahayakan. Keberhasilan pembelajaran dianggap dipengaruhi oleh perencanaan kurikulum yang baik, sebaliknya perencanaan kurikulum yang baik harus mempertimbangkan pembelajaran. Pada model concentric, salah satu dari keduanya merupakan subsistem dari yang lainnya. Pada model ini satu kubu berpendapat bahwa kurikulum lebih dominan dan pembelajaran hanya sebagai subordinatnya. Sementara kubu yang lain mengatakan bahwa subordinatnya.
pembelajaran
lebih
dominan dan
kurikulum sebagai
77
Model cyclical memanfaatkan pentingnya elemen feedback. Kurikulum dan pembelajaran dipisahkan dalam judul dan lingkupnya namun memanfaatkan feedback dari keduanya untuk saling memperbaiki. Kurikulum secara terus menerus mempengaruhi
pembelajaran,
demikian
juga
sebaliknya
pembelajaran
mempengaruhi kurikulum. Sirkulasi seperti ini terus menerus berlangsung tanpa ada hentinya untuk saling memberikan feedbak dalam rangka penyempurnaan dari keduanya. Model-model hubungan kurikulum dan pembelajaran dipandang secara berbeda-beda, walaupun diantara model tersebut terdapat beberapa pernyataan yang banyak disepakati, yaitu 1) kurikulum dan pembelajaran merupakan sesuatu yang berhubungan namun tetap berbeda, 2) hubungan kurikulum dan pembelajaran saling memberi kontribusi dan saling mempengaruhi, 3) kurikulum dan pembelajaran dapat dipelajari dan dianalisis secara terpisah namun tidak bisa berfungsi secara terpisah. 2. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Jasmani Kurikulum merupakan inti dari proses pendidikan, sebab diantara bidangbidang pendidikan seperti manajemen pendidikan, psikologi pendidikan, dan bimbingan siswa, kurikulum merupakan bidang yang langsung menyentuh dan menentukan terhadap maju mundurnya kualitas pendidikan Secara umum, kurikulum merupakan rancangan pendidikan yang merangkum semua pengalaman belajar yang disediakan bagi siswa. Konteks kurikulum terintegrasi nilai-nilai, filsafat, manajemen, pengetahuan, dan perbuatan pendidikan. Kurikulum disusun oleh para ahli kurikulum, ahli pendidikan, birokrat pendidikan, pengusaha dan unsur masyarakat lainnya, karena itu diperlukan rancangan kurikulum dengan maksud
78
memberi arah pedoman bagi para pelaku pendidikan, dalam proses pembimbingan dan perkembangan anak didik untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan peserta didik, keluarga, maupun masyarakat (Sukmadinata, 2002:150) Dalam pengembangan kurikulum dapat dibedakan antara desain kurikulum atau kurikulum tertulis dengan implementasi kurikulum atau kurikulum perbuatan. Desain kurikulum mencakup seluruh bentuk rancangan dan komponen kurikulum seperti kerangka dasar dan struktur kurikulum, sebaran mata pelajaran, silabus, satuan pelajaran, rancangan pengembangan media, sumber dan evaluasi, tetapi dapat juga yang berkenaan dengan salah satu bentuk desain misalkan satuan pelajaran atau silabus. Implementasi kurikulum berkenaan dengan seluruh kegiatan penerapan rancangan, seperti kegiatan pembelajaran, pembimbingan, pelatihan, kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler, penelitian, karyawisata, tugas mandiri, ujian dan pengabdian pada masyarakat, atau berkenaan dengan salah satu kegiatan saja seperti kegiatan belajar mengajar. Hal yang lumrah ketika masyarakat memandang kurikulum dalan arti yang luas yaitu semua komponen rancangan dan implementasi atau secara sempit struktur kurikulum saja, itupun dibatasi kumpulan mata pelajaran. Menurut Hamid Hasan (2004:4), terdapat dimensi pengembangan kurikulum untuk sekolah, yaitu:
1) pengembangan ide dasar untuk kurikulum, 2)
pengembangan program, 3) silabus, 4) satuan pelajaran, 5) pengalaman belajar, dan 6) hasil. Keenam dimensi kurikulum tersebut dapat dikelompokan menjadi tiga katagori, yaitu: 1) perencanaan kurikulum, 2) implementasi kurikulum, dan 3) evaluasi kurikulum. Dimensi pertama, yaitu perencanaan kurikulum berkaitan
1
dengan pengembangan pokok pikiran atau ide kurikulum yang diambil oleh lembaga
pendidikan. Sedangkan implementasi kurikulum berkenaan dengan pelaksanaan kurikulum di lapangan atau lembaga pendidikan terutama yang dilakukan guru. Evaluasi kurikulum yang berkenaan dengan penilaian apakah kurikulum tersebut memberikan hasil yang sesuai dengan dengan apa yang sudah dirancang ataukah ada masalah lain baik yang berkenaan dengan salah satu dimensi atau keseluruhan Dalam konteks ini evaluasi kurikulum dilakukan oleh tim di luar tim pengembang kurikulum dan dilaksanakan setelah kurikulum dianggap cukup waktu untuk menunjukkan kinerja. Langkah-langkah pengembangan kurikulum terdiri dari:
1) diagnosis
kebutuhan, 2) perumusan tujuan, 3) pemilihan dan pengorganisasian materi, 4) pemilihan dan pengorganisasian pengalaman belajar, dan 5) pengembangan alat evaluasi (Susilana, 2003:3-5). Analisis dan diagnostik kebutuhan dapat dipelajari melalui kebutuhan siswa, tuntutan masyarakat, tuntutan dunia usaha atau dunia kerja. Sedangkan harapan pemerintah dapat dianalisis melalui kebijakan khusus bidang pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Pendekatan yang dapat ditempuh dalam menganalisis kebutuhan, yaitu: survei kebutuhan, studi kompetensi, dan analisis tugas. Hasil akhir kegiatan analisis dan diagnosis kebutuhan adalah deskripsi
kebutuhan
sebagai
bahan yang
akan
dijadikan
masukan bagi
pengembangan aspek tujuan sebagai langkah lanjutan dalam pengembangan kurikulum.
80
Perumusan tujuan dalam pengembangan kurikulum berhirarki, mulai tujuan paling umum sampai pada tujuan operasional. Jenjang tujuan tersebut meliputi: tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan kurikuler, tujuan instruksional, tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus. Benyamin S. Bloom (1964), membagi tujuan menjadi tiga domain, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Domain kognitif berkenaan dengan penguasaan kemampuan berfikir, domain afektif berhubungan dengan penguasaan dan pengembangan perasaan, sikap, minat dan nilai, sedangkan domain psikomotor berkenaan dengan pengembangan keterampilan motorik. Materi kurikulum disusun berdasarkan prosedur tertentu yang merupakan bagian pengembangan kurikulum secara keseluruhan khususnya berkaitan dengan kegiatan memilih, menilai, dan menentukan jenis bidang studi, pokok-pokok bahasan, juga ruang lingkup dan urutannya. Tahapan dalam pengembangan materi kurikulum
meliputi:
identifikasi
kebutuhan,
merumuskan misi
kurikulum,
menentukan anggaran biaya, membentuk tim, mendapatkan susunan bahan, menganalisis bahan, menilai bahan, membuat keputusan adopsi, menyebarkan, mempergunakan, dan memonitor penggunaan bahan. Memilih dan mengorganisasikan pengalaman belajar dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan, strategi, metode dan teknik yang disesuaikan dengan tujuan dan sifat materi yang diberikan. Pengalaman belajar
dapat
diorganisasikan dengan bantuan alat peraga dan media pembelajaran, sedangkan pengorganisasian pengalaman belajar dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan pembelajaran yang bervareasi metode, pendekaran, strategi dan teknik.
81
Pengembangan alat evaluasi dimaksudkan untuk menelaah kembali apakah kegiatan yang telah dilakukan itu sesuai dengan tujuan yang telah dilakukan Penilaian kurikulum akan terfokus pada dua hal, yaitu kegiatan yang telah diorganisasikan memungkinkan pencapaian tujuan yang telah dicita-citakan dan kurikulum
yang
dikembangkan
harus
dapat
diperbaiki
dan
bagaimana
memperbaikinya. Langkah-langkah pengembangan kurikulum berbasis kompetensi hampir sama dengan langkah-langkah pengembangan kurikulum secara umum, yaitu: I) identifikasi kebutuhan, 2) analisis dan pengukuran kebutuhan, 3) penyusunan desain kurikulum, 4) validasi kurikulum (ujicoba dan penyempurnaan), 5) implementasi kurikulum, dan f) evaluasi kurikulum (Sukmadinata, 2004:80-86). Sedangkan ahli pengembangan kurikulum lain seperti Ibrahim (2005:6-8) menjelaskan bahwa langkah-langkah pengembangan kurikulum sebagai berikut: I) analisis kebutuhan, 2) penyusunan draf naskah kurikulum inti, 3) reviu dan validasi, 4) finalisasi, dan sosialisasi. Langkah-langkah pengembangan kurikulum berbasis kompetensi yang telah dikemukakan para ahli kurikulum tersebut, pada hakikatnya ada kesamaan pendapat, oleh karena itu paparan berikut peneliti akan mendeskripsikan langkah-langkah pengembangan kurikulum berbasis kompetensi berdasarkan kedua pendapat di atas. 1. Identifikasi kebutuhan Pengembangan kurikulum diawali dengan identifikasi kebutuhan, yaitu mengidentifikasi tenaga-tenaga terampil atau kompeten yang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan dan tugas-tugas dalam unit-unit pekerjaan yang ada sesuai
82
bidang keahlian dan jumlah personal. Kebutuhan yang semakin dinamis menuntut berbagai kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap siswa. Dengan demikian kompetensi bersifat terus berkembang sesuai dengan kebutuhan dunia profesi atau ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Perkembangan prosedur kerja atau adanya kemampuan yang baru menghendaki adanya kompetensi baru yang harus dikuasai oleh anak didik. 2. Analisis dan pengukuran kebutuhan Suatu pengembangan kurikulum dilakukan di suatu jenjang pendidikan tidak dilakukan tanpa suatu alasan, mengapa kurikulum itu dikembangkan. Setiap pengembangan kurikulum mesti ada landasan yang menjadi dasar pertimbangan. Dasar pertimbangan pengembangan kurikulum berdasarkan kompetensi dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat dan teknologi maka terjadi perubahan yang cukup drastis dalam pola pekerjaan. Diversifikasi pekerjaan dan tugas-tugas dalam suatu pekerjaan berimplikasi dengan lahirnya spesialisasi yang menuntut sikap profesionalisme. Hal ini mengakibatkan keragaman dalam pola tugas-tugas dan pekerjaan. Oleh karena itu, analisis kebutuhan mutlak diperlukan secara berkala minimal 5 tahun sekali sebelum perbaikan kurikulum. Analisis kebutuhan dapat dilakukan melalui kajian literatur, dokumen-dokumen kebijakan, dan pertemuan dengan pihak-pihak yang berkepentingan temasuk pemakai lulusan, pakar bidang yang bersangkutan dan wakil dari organisasi profesi. 3. Penyusunan desain kurikulum program studi Penyusunan desain
kurikulum merupakan
rangkaian kegiatan dalam
merumuskan tujuan, isi atau bahan, proses atau metode, dan media serta evaluasi
83
hasil pendidikan. Sukmadinata (2004:7), terdapat beberapa langkah dalam penyusunan desain Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yaitu: 1) merumuskan tujuan program pendidikan, 2) merumuskan kompetensi, 3) merumuskan metode pembelajaran dan bahan ajar, 4) menghitung dan menentukan waktu, dan 5) menentukan struktur kurikulum dan sebaran mata pelajaran. Kepmendiknas Nomor: 045/U/2002, kurikulum inti suatu program studi merupakan suatu rancangan program pendidikan yang berisi delapan butir pokok sebagai berikut: 1) deskripsi program studi, 2) ciri khas kompetensi utama, perangkat kompetensi yang harus dicapai oleh semua lulusan program studi tersebut yang diberlakukan secara nasional, 3) subtansi kajian, perangkat bahan kajian yang esensial dan strategis untuk mendukung pencapaian kompetensi utama, 4) proses pembelajaran, 5) sistim evaluasi, 6) persyaratan akademik pengajar, 7) fasilitas utama, dan 8) kelompok pemrakarsa. Langkah-langkah penyusunan desain kurikulum yang dikemukakan kedua ahli di atas, pada intinya dapat dirumuskan bahwa pengembangkan KBK dapat disusun sebagai berikut: 1) merumuskan tujuan kurikulum, 2) merumuskan kompetensi, 3) menentukan struktur program dan sebaram mata pelajaran, 4) menghitung dan menentukan waktu, 5) merumuskan metode pembelajaran dan bahan ajar, 6) merumuskan persyaratan akademik tenaga pengajar, 7) merumuskan sistim evaluasi, dan 8) menentukan sarana prasarana. 4. Reviu dan validasi kurikulum (ujicoba dan penyempurnaan) Secara ideal desain kurikulum yang telah disusun tidak langsung digunakan tetapi terlebih dahulu divalidasikan. Kegiatan validasi dilakukan melalui uji coba
84
minimal pada satu kelas tahun pertama atau beberapa kelas selama masa pendidikan berlangsung. Selama ujicoba diselenggarakan evaluasi yang intensif dan kontinyu sebagai pijakan penyempurnaan. 5. Implementasi kurikulum Kurikulum yang telah disempurnakan tersebut diimplementasikan pada seluruh kelas selama masa penyelenggaraan pendidikan. Dalam mengimplementasikan kurikulum ini semaksimal mungkin menyediakan faktor penunjang kurikulum mencakup personalia seperti tenaga pengajar, staf administrasi, teknisi, laboran, pustakawan dan pesuruh, prasarana, peralatan pendidikan, media dan sumber belajar, biaya, manajemen dan iklim pendidikanyang kondusif. 6. Evaluasi kurikulum Evaluasi kurikulum yang telah dikembangkan perlu dilakukan secara konprehensif dan berkelanjutan, mulai dari identifikasi dan analisis kebutuhan hingga implementasi kurikulum di lapangan. Evaluasi yang komprehensif dan berkelanjutan ini dilakukan untuk memperoleh feed back demi perbaikan kurikulum yang sedang dilaksanakan. Perbaikan yang dilakukan sebagai tindak lanjut kegiatan evaluasi terhadap bahan kurikulum dan pelaksanaan kurikulum dalam rangka pemutahiran. Menurut Ibrahim (2005:12), evaluasi dalam rangka pemutakhiran kurikulum erat kaitannya dengan dinamika kebutuhan masyarakat maupun globalisasi ipteks dan dilakukan melalui kajian tentang kesenjangan kurikulum yang ada dengan perkembangan yang terjadi di lapangan. Oemar Hamalik (2004:34), evaluasi kurikulum memiliki empat fungsi utama, yaitu: 1) fungsi edukatif, 2) fungsi diagnostik, 3) fungsi kurikuler, 4) fungsi
i — i f..i
,./DF
MTUlf
85
administratif. Fungsi edukatif berarti evaluasi kurikulum berfungsi menyediakan informasi tentang proses pendidikan yang telah terlaksana melalui prosedur pelaksanaan
kurikulum,
dan
memberikan
informasi
menyeluruh
tentang
ketercapaian tujuan pendidikan baik tujuan institusional, tujuan kurikuler, maupun tujuan instruksional. Fungsi kurikuler, berarti evaluasi dapat memberikan gambaran yang tepat tentang pelaksanaan dan hasil kurikulum. Kebaikan dan kelemahan, kesulitan dan masalah yang ada, keseluruhannya menjadi umpan balik bagi perbaikan kurikulum. Fungsi diagnostik, berarti evaluasi kurikulum berfungsi menyediakan informasi akurat tentang kesulitan yang ditemui pendidik dan masalah yang dirasakan oleh peserta didik. Pada masa lampau pendidikan lebih menekankan pada humanistis, pembentukan pribadi, dan sifat-sifat mental. Konsep seperti ini ternyata tidak dapat memberikan hasil yang pragmatis yang sesuai dengan kebutuhan dunia pekerjaan. Oleh karena itu dengan nuansa dan hakikat pendidikan yang lebih praktis, yang mengutamakan pengembangan domain psikomotor siswa maka timbul pendidikan yang menekankan pada manfaat hasil yang diperoleh untuk kepentingan dunia kerja. Hakikat
pendidikan jasmani
berbasis
kompetensi
secara
pragmatis
mengutamakan keterampilan-keterampilan dalam melaksanakan pekerjaan, baik secara prosedural maupun mekanisme pekerjaan, kompetisi, di samping kerjasama. Tujuan pembelajaran diarahkan untuk mendapatkan spesialisasi bidang pekerjaan yang lebih baik, dapat bekerjasama dengan rekan-rekannya dari berbagai lapisan masyarakat, disamping itu pula ia mendapatkan penghasilan yang lebih baik. Kurikulum pendidikan teknologi menekankan kompetensi atau kemampuan-
86
kemampuan praktis. Materi disiplin ilmu atau mata-mata pelajaran yang harus dikuasai adalah yang mendukung penguasaan kemampuan-kemampuan. Disini yang menjadi pengembang kurikulum tidak hanya guru akan tetapi keterlibatan para ahli yang profesional dihidangnya mutlak diperlukan. Subandijah
(1996:228)
mengemukakan
karakteristik
dasar
kurikulum
berdasarkan kompetensi, yang lebih dikenal dengan pendidikan vokasional, yaitu: orientasi, jastifikasi, fokus, standar keberhasilan di sekolah, standar keberhasilan di luar sekolah, hubungan sekolah dengan masyarakat, keterlibatan di luar sekolah, keterlibatan pemerintah daerah, responsiveness, logistik dan biaya. Secara tradisional, orientasi pendidikan berdasarkan kompetensi adalah product or graduate orientation. Jadi orientasi program pendidikan berdasarkan produk, yaitu prestasi siswa di sekolah maupun di luar sekolah. Justifikasi, kurikulum berdasarkan kompetensi mengacu pada pertimbangan kebutuhan pekerjaan (occupation). Kebutuhan ini dijabarkan secara jelas ke dalam bentuk kurikulum. Fokus, pengembangan program pendidikan berdasarkan kompetensi difokuskan pada pengembangan kompetensi pekerjaan tertentu, baik pengetahuan, keterampilan, sikap maupun nilai peserta didik. Lingkungan belajar harus ditata sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk lingkungan yang sebenarnya. Standar keberhasilan sekolah berhubungan erat dengan penampilan yang diharapkan dari peserta didik dalam suatu pekerjaan dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh guru, yang sering digunakan sebagai standar pekerjaan. Peserta didik menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan guru dengan baik sesuai dengan perilaku yang diperankan.
87
Standar keberhasilan di luar sekolah, sebagai acuan keberhasilan pendidikan berdasarkan kompetensi adalah prestasi kerja peserta didik di lapangan pekerjaan. Keberhasilan kurikulum pendidikan berdasarkan kompetensi harus dinilai dari prestasi kerja peserta didik sesuai dengan peranan yang dilakukan dalam melaksanakan tugas pekerjaannya.
Hubungan sekolah dengan masyarakat
merupakan faktor internal yang akan mempengaruhi keberhasilan sistem pendidikan. Oleh karena itu, dalam batas-batas tertentu sekolah memiliki hubungan yang erat dengan masyarakat. Pendidikan berdasarkan kompetensi tidak terlepas dari kehidupan masyarakat. Keterlibatan pemerintah daerah dalam dunia pendidikan sangat penting terutama dalam menyediakan sarana dan prasarana untuk kelancaran sistem pendidikan terutama dalam pengembangan pendidikan ke masa mendatang. Responsiveness, artinya pendidikan berdasarkan kompetensi tanggap terhadap berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat sekelilingnya, khususnya perubahan alih teknologi dan ilmu pengetahuan yang terus berputar setiap saat yang akan mempengaruhi terhadap efisiensi program pendidikan Logistik seperti sarana dan prasarana akan mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kompetensi. Biaya merupakan variabel yang tidak dapat dipisahkan
dalam
program
pendidikan
berdasarkan
kompetensi.
Agar
penyelenggaraan pendidikan baik maka alokasi biaya harus ditentukan secara cermat dan hati-hati. Jika hal itu diabaikan, maka berdampak pada keberhasilan pendidikan. Perkembangan dunia pendidikan berpengaruh terhadap pengembangan kurikulum terutama pada praktik kurikulum yakni pembelajaran yang mengharuskan
88
berbasis kompetensi. Mulyasa (2004:17-18) mengatakan bahwa, suatu program pendidikan dapat dikatakan menggunakan konsep kompetensi, minimal dalam proses pengembangan kurikulumnya melakukan tahapan-tahapan, sebagai berikut: (1) Memilih/seleksi kompetensi yang sesuai/tepat (the selection of appropriate competencies); (2) Spesifikasi indikator-indikator evaluasi yang sesuai untuk menentukan kesuksesan pencapaian kompetensi; (3) Mengembangkan sistem pengajaran (the development of functional instructional delivery system). Langkah awal dalam pengembangan kurikulum adalah memilih atau menyeleksi kompetensi-kompetensi yang akan dikembangkan agar dapat memenuhi tuntutan kebutuhan. Pada bidang apa kompetensi itu berada, dan seberapa tingkat kedalaman dari kompetensi yang diharapkan. Setelah kedalaman kompetensi ditetapkan pada tahap awal, selanjutnya diidentifikasi bentuk-bentuk perilaku yang dapat dijadikan indikator bahwa seseorang telah atau belum memiliki kompetensi. Jadi perlu disusun spesifikasi indikator-indikator evaluasi yang cocok untuk menentukan kesuksesan pencapaian kompetensi. Pengembangan kurikulum pada tahap berikutnya adalah mengembangkan sistem pengajaran yang antara lain menetapkan dan menjaga konsistensi dari kompetensi yang diajarkan dalam kelas tanpa memandang siapa guru yang mengajarkan mata pelajaran tersebut. Keterkaitan pernyataan di atas dengan kurikulum 2004 yang sedang dikembangkan saat ini di sekolah-sekolah lebih dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Sebenarnya dalam dunia pendidikan KB K bukan hal yang baru, Wardani (2004:1) dan Hamalik (2004:86) dalam dunia pendidikan khususnya pendidikan guru, istilah Pendidikan Guru Berdasarkan Kompetensi (PGBK) atau
89
Performance Based Teacher Education (PBTE) telah disosialisasikan pada akhir tahun tujuh puluhan. Secara teoritis pengembangan kurikulum berbasis kompetensi kebanyakan merujuk pada kompetensi seseorang yang lebih berorientasi pada kemampuankemampuan pekerjaan. Akan tetapi, secara umum pengembangan kurikulum berbasis kompetensi menurut Yulaelawati (2004:17) sangat sesuai pula untuk digunakan dalam pendidikan persekolahan. Dalam Kurikulum 2004 yang menjadi dasar pemikiran untuk menggunakan konsep kompetensi adalah: 1. Kompetensi berkenaan dengan kemampuan peserta didik melakukan sesuatu dalam berbagai konteks; 2. Kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui peserta didik untuk menjadi kompeten; 3. Kompetensi merupakan hasil belajar (leaming outcomes) yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan peserta didik setelah melalui proses pembelajaran; 4. Kehandalan kemampuan peserta didik melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur (Depdiknas, 2002). Kompetensi dalam Kurikulum 2004 merupakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Kebiasaan berfikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten. Kebiasaan berfikir dan bertindak menurut Spencer dan Spencer (1993) dalam Yulaelawati (2004:15) meliputi lima tipe kompetensi, yaitu (1) motif, adalah sesuatu yang dimiliki seseorang untuk berfikir secara konsisten atau keinginan untuk melakukan suatu aksi, (2) pembawaan adalah karakteristik fisik yang merespon secara konsisten berbagai situasi dan informasi, (3) konsep diri, adalah tingkah laku, nilai atau citraan seseorang, (4) pengetahuan, adalah informasi
90
khusus yang dimiliki seseorang, dan (5) keterampilan, adalah kemampuan untuk melakukan tugas secara fisik atau mental. Sejalan dengan pengertian kompetensi tersebut, secara rinci Gordon (1988) dalam Mulyasa (2002: 38) mengemukakan aspek-aspek kompetensi yang meliputi (1) pengetahuan (knowledge), (2) pemahaman (understanding), (3) keterampilan (skills), (4) nilai (value), (5) sikap (attitude), dan (6) minat (interest). Kompetensikompetensi yang dikembangkan dalam KBK (Depdiknas, 2002) merupakan penjabaran dari tujuan pendidikan nasional. Penjabarannya melalui kompetensi tamatan, kompetensi lintas kurikulum, kompetensi rumpun pelajaran dan kompetensi dasar setiap mata pelajaran. Kompetensi tamatan merupakan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilainilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak setelah siswa menyelesaikan suatu jenjang tertentu. Kompetensi lintas kurikulum adalah kompetensi yang perlu dicapai melalui rumpun pelajaran dalam kurikulum. Kompetensi
lintas kurikulum merupakan pernyataan tentang pengetahuan,
keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang direalisasikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak yang mencakup kecakapan belajar sepanjang hayat dan keterampilan hidup yang dimiliki. Hasil belajar dari kompetensi lintas kurikulum dicapai melalui pembelajaran-pembelajaran semua rumpun pelajaran. Kompetensi rumpun pelajaran merupakan pernyataan tentang pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam berfikir dan bertindak yang seharusnya dicapai setelah siswa menyelesaikan rumpun pelajaran tertentu. Kompetensi dasar merupakan pernyataan minimal atau memadai tentang pengetahuan, keterampilan, sikap dan
91
nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak setelah siswa menyelesaikan satu aspek atau sub aspek mata pelajaran tertentu. Orientasi pada pengembangan sejumlah kompetensi yang mesti dimiliki oleh peserta didik, maka KBK memiliki ciri, yaitu: (1) menekankan pada ketercapaian kompetensi peserta didik baik secara individual maupun klasikal; (2) berorientasi pada hasil belajar (leaming outcomes) dan keberagaman; (3) penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi; (4) sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif; (5) penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi. Menurut William Blank (1982:26-35) ada dua belas langkah pengembangan kurikulum berdasarkan kompetensi yang pada dasarnya dapat dibagi kedalam dua phase kegiatan yaitu phase pertama adalah kegiatan mengidentifikasi kompetensi pada bidang okupasi spesifik. Berdasarkan hasil analisis terhadap okupasi tersebut kemudian selanjutnya dianalisis pula pengetahuan dan keterampilan yang perlu dimiliki untuk melaksanakan pekerjaan. Phase kedua adalah phase kegiatan pengembangan kurikulum program pembelajaran untuk mencapai kompetensi yang diharapkan tadi. Pada phase ini langkah-langkah terpisah menjadi beberapa tahapan. Tahapan pertama adalah merumuskan objektif performansi terminal terhadap kompetensi yang ditetapkan dan mengatur urutan. Objektif performansi terminal mana yang harus dikuasai oleh siswa sebelum mempelajari objek terminal selanjutnya. Kedua, mengembangkan alat evaluasi (test) berdasarkan pada tujuan pembelajaran yang dibuat sebelum
92
materi pelajaran disusun. Tes tertulis dapat dikembangkan untuk mengukur hasil belajar yang berkaitan dengan pengetahuan tertulis dan sikap. Tes perbuatan dibuat apabila siswa dituntut harus mampu melakukan demonstrasi atau peragaan. Ketiga, pengembangan paket pengajaran yang dimulai dengan draft kemudian dilakukan uji coba ke lapangan. Hasil uji coba digunakan untuk mengevaluasi efektivitas paket pembelajaran dalam mencapai tujuan pembelajaran. Paket pembelajaran yang telah diuji, kemudian diadakan revisi dan disempurnakan sebelum dipergunakan. Keempat, menggunakan prosedur untuk mengelola program pembelajaran, bagaimana implementasinya dan bagaimana pula mengelola pengadministrasian program pembelajaran. Kelima yaitu mengevaluasi program yang dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana program pembelajaran pendidikan jasmani dilaksanakan dan bagaimana efektivitas dalam mencapai tujuan kompetensi yang ditetapkan. C. Karakteristik Siswa Sekolah Dasar Proses pengembangan keterampilan motorik anak melalui pendidikan jasmani, anak harus dipandang sebagai anak. Maksudnya, pola pembelajaran, materi, sarana prasarana dan alat evaluasi pembelajaran harus disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik anak. Fox (1984} menjelaskan bahwa aktivitas gerak anak dapat dikembangkan mulai dari gerakan yang memerlukan energi rendah sampai gerakan yang memerlukan energi tinggi. Hal ini mengisyaratkan untuk pengembangan gerak dasar siswa Sekolah Dasar sebaiknya ditekankan pada peletakan gerak dasar, kesegaran jasmani dan kesegaran motorik. Anak Sekolah Dasar yang memiliki rentang usia enam sampai dua belas tahun telah memiliki kemampuan untuk
melakukan berbagai keterampilan gerak dasar, tetapi masih memerlukan faktor keseimbangan untuk mengendalikan tubuh terhadap ruang dan waktu sesuai dengan karakter anak tersebut (Corbin, 1979 ; dalam Kiram, 1992). Terdapat dua faktor yang mempengaruhi keseimbangan, yaitu kekuatan dan daya tahan otot-otot tungkai. Kekuatan dan daya tahan otot-otot tungkai akan meningkat sesuai dengan usia dan latihan (Haywood, 1988). Karakteristik anak merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan (integral) dalam proses pendidikan jasmani dan olahraga, karena semua komponen yang diperlukan
dalam
pendidikan jasmani
harus
disesuaikan dengan tingkat
pertumbuhan dan perkembanganya. Karakteristik anak-anak usia enam sampai dengan dua belas tahun sebagai berikut: (1) pertumbuhan relatif stabil; (2) anggota badan tumbuh dengan cepat; (3) pada masa pra remaja terjadi beberapa perubahan pinggul dan bahu baik anak laki-laki maupun perempuan; (4) pada masa pra remaja terjadi lonjakan lemak, terutama anak laki-laki; (5) perbedaan kecepatan pertumbuhan lebih banyak terjadi pada akhir periode, seperti percepatan pertumbuhan pada awal kematangan; (6) keseimbangan berkembang dengan pesat, (7) pola gerak dasar menjadi lebih terkoordinasi dengan baik; (8) koordinasi mata tangan meningkat, begitu juga gerak manipulatif; (9) organisasi dan pengendalian gerak membaik; (10) kekuatan dan daya tahan meningkat; (11) jangkauan atau luas perhatian menjadi meningkat; (12) memerlukan latihan untuk peningkatan keterampilan, memperoleh status sosial dan pengembangan daya tahan; (13) jiwa petualangan sangat dominan; (14) kematangan untuk bersosialisasi meningkat; (15) rasa ingin tahu dengan menggunakan akal pikiran sehat meningkat; (16) minat
94
terhadap suatu kecakapan dan jiwa petualang tinggi; (17) terjadi beberapa perbedaan penampilan dan terjadi permusuhan antara jenis kelamin (Espenchade dan Ekert, 1980). Fakta lapangan menunjukkan bahwa anak-anak Sekolah Dasar mengalami perkembangan di semua segi, baik dari segi fisik, psikologis maupun sosiologis. Pada bidang keterampilan motorik anak usia Sekolah Dasar telah memasuki pola gerak dasar dan untuk menjadi terampil diperlukan latihan. Mereka juga perlu latihan untuk kematangan sosial dan peningkatan kesegaran jasmani. Menurut Gallahue (1989) ada empat teori dalam pertumbuhan dan perkembangan anak yang relevan dengan tugas gerak anak usia Sekolah Dasar, yaitu: 1. Teori Freud (1927) mengacu psikoanalitik
di
mana
kepada teori
perkembangan
pentahapan perkembangan
seseorang
anak tercermin
dari
perkembangan psikoseksual, dan melalui bagian tersebut anak mencari pemuasan. Perkembangan tiap tahap menekankan pentingnya aktivitas motorik. 2. Teori Erikson (1963) yang menekankan pada perkembangan anak melalui delapan tahapan. Pada teori ini tidak menekankan perkembangan motorik secara eksplisit, namun menekankan bahwa keberhasilan pengalaman gerak merupakan alat untuk perkembangan seseorang pada setiap tahap yang dilaluinya. 3. Teori Havighurst (1952) yang memahami perkembangan sebagai interaksi antara faktor biologis, sosial, dan budaya. Faktor inilah yang merupakan faktor pendorong bagi perkembangan kemampuan anak untuk berfungsi di masyarakat Teori ini menekankan pentingnya gerak, bermain, dan aktivitas fisik bagi
95
perkembangan, terutama pada masa bayi dan masa anak-anak. Tahapan perkembangan terdiri dari beberapa periode umur tertentu yaitu masa bayi 0-2 tahun, masa kanak-kanak 2-11 tahun, masa remaja 11-19 tahun, masa dewasa 20-81 tahun. 4. Teori perkembangan ke empat adalah bersumber dari teori kognitif Piaget (1969) yang menekankan pada tahapan perkembangan kognitif meliputi: tahapan sensoris motorik usia sejak lahir sampai 2 tahun, tahap praoperasional 2-7 tahun, tahap operasional konkrit 7 - 1 2 tahun dan operasional formal usia 12 tahun ke atas. Keempat teori pertumbuhan dan perkembangan tersebut mengilustrasikan bahwa perkembangan setiap individu anak mestinya melalui tahapan-tahapan tertentu dan masing-masing periode memiliki ciri-ciri tertentu dan tahapan sebelumnya akan mendukung tahapan berikutnya. Perbedaan pada keempat teori (Freud, Erikson, Havighurst, dan Piaget) hanya penekanan aspeknya, tetapi sepaham dalam penekanan terhadap gerak, perkembangan motorik dan bermain sebagai alat penting untuk merangsang fungsi psiko-fisik. Tingkah laku dalam setiap periode perkembangan tertentu akan berbeda dengan tingkah laku pada periode lain sesuai dengan ciri-ciri khas kemampuan dalam setiap periode tersebut. Pada anak usia Sekolah Dasar antara 2-7 tahun adalah masa yang paling efisien untuk belajar keterampilan gerak dasar seperti gerak melempar, menangkap, lari, dan melompat (Rink, 1985). Pada fase ini belum disarankan untuk melakukan keterampilan gerak khusus, sebab anak-anak belum siap baik secara kognitif, afektif maupun psikomotor. Alangkah lebih baik anak usia Sekolah Dasar ini diberi
96
kesempatan sebanyak-banyaknya untuk mengembangkan pengalaman geraknya. Umumnya anak usia 1-6 tahun (prasekolah) suka bergerak dan bersifat individualistis, suka ingin menang sendiri, dan dalam bermain suka gaduh. Pada usia anak antara 6-12 tahun senang bermain dalam situasi lomba dan selalu menginginkan persetujuan dari orang dewasa mengenai apa yang dilakukannya. Seorang guru harus memahami tahap-tahap perkembangan anak dan memiliki sejumlah kecakapan agar mampu menyesuaikan materi dan strategi pembelajaran sesuai dengan tuntutan mereka. Memahami perkembangan anak didik dan mengaitkan perkembangan tersebut dengan proses belajar, sehingga metode pengajarannya dapat dilaksanakan secara efektif. Masa usia Sekolah Dasar adalah masa sejarah baru dalam kehidupan anak, yang antara lain ditandai dengan perubahan dalam tingkah lakunya. Anak Sekolah Dasar merupakan individu yang sedang berkembang dan berada dalam perubahan fisik serta berpikir ke arah yang lebih baik, ini dapat dilihat dari banyaknya pertanyaan yang diajukan anak, di samping tingkah laku mereka meningkat dalam menghadapi lingkungan baik sosial maupun non sosial (Prayttno, 1992). Selanjurnya Nasunon (1992) mengatakan bahwa usia kanak-kanak awal adalah usia permainan karena sebagian besar waktu anak digunakan untuk bermain. Kemudian Haywood (1988) menyarankan agar pengembangan gerak anak sebaiknya ditekankan pada peletakan gerak dasar yang benar secara mekanika. Secara khusus, pertumbuhan dan perkembangan motorik merupakan fundasi untuk mengembangkan keterampilan anak sehingga materi dan pola pembelajaran harus disesuaikan dengan tuntutannya. Karakteristik anak usia delapan sampai
A„;
V*iJiantinH/DP
C3ITTDT
97
sepuluh tahun sebagai berikut: (1) rata-rata tidak terdapat perbedaan tinggi dan berat badan antara anak laki-laki dan perempuan; (2) pertumbuhan kepala dan otak mulai stabil; (3) pertumbuhan jaringan otot dan tulang antara anak perempuan dan laki-laki relatif tidak berbeda; (4) semua jaringan dalam proses pertumbuhan; (5) setelah usia sembilan tahun pertumbuhan anak perempuan lebih cepat di banding dengan anak laki-laki (Corbin, 1979). Annarino, CowelI dan Hazelton (1980) secara khusus mendeskripsikan karakteristik anak usia delapan sampai sembilan tahun ditinjau dari segifisiologis, psikologis, dan sosiologis sebagai berikut: Karakteristik fisiologis adalah sebagai berikut: (l) koordinasi keterampilan gerak dasar meningkat; (2) daya tahan bertambah kuat; (3) pertumbuhan mantap; (4) koordinasi mata tangan membaik; (5) keberadaan postur tubuh (terhadap ruang dan waktu) masih lemah; (6) secara fisiologis anak perempuan lebih mantap dibanding dengan anak laki-laki; (7) mulai tumbuh gigi permanen; (8) perbedaan jenis kelamin tidak terpengaruh; (9) sering mengalami kecelakaan akibat mobilitas yang tinggi. Karakteristik psikologis adalah sebagai berikut: (1) jangkauan perhatian bertambah; (2) kemampuan rasional bertambah; (3) imajinatif, menyenangi suara dan gerak ritmik; (4) senang meniru pujaannya; (5) minat dalam organisasi bertambah, tapi sulit untuk menerima peraturan bermain yang kompleks; (6) menyenangi ulangan aktivitas; (7) senang aktivitas yang bersifat kompetitif. Karakteristik sosiologis adalah sebagai berikut: (1) mudah naik darah dan mudah tersinggung karena dikritik; (2) sesekali senang membual; (3) senang menggoda dan mendorong satu sama yang lain; (4) kadangkadang berpenampilan yang tidak sebenarnya; (5) senang berteman tetapi tidak ada
98
tanda-tanda adanya teman khusus; (6) berkeinginan mengetahui sesuatu yang asing bagi dirinya; (7) ingin diakui keberadaannya oleh kelompok; (8) menjadi lebih bebas tetapi memerlukan perlindungan yang lebih dewasa; (9) sering kelihatan bertindak sembrono, gaduh dan cerewet; (10) menyenangi aktivitas kelompok dibandingkan individu; (ll)senang berfikir apabila diperlukan; (12) sering menunjukkan kontradiksi sosial; (13) mengangkat dan mengikuti pemimpin dalam organisasi kelompok bermain; (14) cenderung membandingkan kemampuan dengan yang lain dan sering
membuat perhatian karena
kurang terampil,
kegagalan dan
ketidakwibawaan; (15) mulai mengenal kebutuhan; (16) dapat memonitor permasalahan sosial dan menjaga kelompoknya agar tetap utuh; (17) teman yang bertindak jahat terkucilkan; (18) secara sederhana ciri seksual mulai nampak. Sehubungan dengan proses pengembangan keterampilan motorik anak, atas dasar karakteristik-karakteristik di atas terdapat enam hal yang perlu diperhatikan oleh guru pendidikan jasmani di Sekolah Dasar: (1) Pada usia enam sampai dua belas tahun merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat, sehingga belum saatnya untuk belajar gerak dengan menggunakan beban. (2) Tahap perkembangan gerak yang dialami anak usia Sekolah Dasar masih tahap perkembangan gerak mencapai fase gerak dasar. (3) Rasio anak mulai digunakan untuk memecahkan masalah, oleh karena itu jangan menanamkan peletakan gerak dasar yang keliru. Apabila terjadi kesalahan peletakan gerak dasar pada masa anak-anak maka sulit diperbaiki pada masamasa berikutnya.
99
(4) Anak-anak suka bermain maka kegiatan individu jangan dulu ditonjolkan, mereka senang berkelompok, belajar memimpin dan dipimpin. Karena itu permainan beregu sangat tepat sebagai materi pembelajaran. (5) Anak-anak suka terhadap hal yang baru dan memiliki sifat kreatif, karena itu dalam proses pembelajaran sebaiknya memberikan model-model permainan yang menarik perhatian anak dan sesekali waktu anak-anak diberi kebebasan untuk bermain guna mengembangkan kreativitasnya.
D. Model Pembelajaran Pendidikan Jasmani di Sekolah Dasar 1. Mata Pelajaran Pendidikan Jasmani di Sekolah Dasar Dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani guru diharapkan mengajarkan berbagai keterampilan gerak dasar, teknik dan strategi permainan/olahraga, internalisasi nilai-nilai (sportivitas, kejujuran, kerjasama, disiplin, tanggungjawab) dan pembiasaan hidup sehat. Dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran pendidikan jasmani bukan pengajaran konvensional di dalam kelas yang bersifat kajian teoritis, namun melibatkan unsur fisik, mental intelektual, emosi dan sosial. Kegiatan yang diberikan dalam pengajaran harus mendapatkan sentuhan didaktik metodik, sehingga aktivitas yang dilakukan dapat mencapai tujuan pengajaran (Depdiknas, 2003). Mata pelajaran pendidikan jasmani di Sekolah Dasar mempunyai nilai strategis untuk menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki peran yang semakin mantap dalam era globalisasi. Oleh karena itu peran pendidikan jasmani di Sekolah Dasar perlu dimantapkan agar pembelajaran mempunyai makna bagi siswa
100
seperti halnya dengan kemaknaan dari bidang studi lainnya. Pembelajaran pendidikan jasmani melalui aktivitas jasmani dapat meningkatkan kesehatan jasmani termasuk mental akan mewujudkan manusia Indonesia yang berkualitas, sehingga akan diperoleh sumber daya manusia yang berkompeten untuk menunjang gerak pembangunan yang dinamis. Hasil yang diharapkan dari pembelajaran pendidikan jasmani, selain siswa menguasai aktivitas jasmani yang berupa penguasaan berbagai macam keterampilan secara otomatis juga dihasilkan kondisi tubuh yang sehat, sehingga memperoleh tingkat kebugaran jasmani yang prima. Di samping itu pula terjadinya perubahan perilaku gerak yang dialami peserta didik setelah menempuh program pembelajaran tertentu. Pembelajaran pendidikan jasmani hendaknya memiliki makna bagi siswa, oleh karena itu guru pendidikan jasmani dalam pembelajaran hendaknya dapat diterima dan dapat diserap siswa. Wujud konkrit pembelajaran pendidikan jasmani menurut kurikulum 1994 (Depdiknas, 1995) berupa berbagai jenis kegiatan pokok dan kegiatan pilihan seperti permainan, senam, atletik dan kegiatan pilihan yang meliputi tenis meja, bulutangkis, renang dan lain-lain. Sedangkan menurut kurikulum 2004 (Depdiknas, 2003) bahwa ruang lingkup materi pelajaran pendidikan jasmani meliputi permainan dan olahraga, aktivitas pengembangan, uji diri/senam, aktivitas ritmik, akuatik (aktivitas air) dan pendidikan luar sekolah (Outdoor Education). Sejumlah materi kegiatan tersebut di atas ada aktivitas yang menyenangkan dan ada pula yang tidak menyenangkan. Sehubungan dengan itu, agar materi pengajaran pendidikan jasmani dapat diserap oleh siswa maka guru hendaknya
101
memiliki strategi untuk menentukan pembelajaran yang efektif dalam menciptakan atmosfir pembelajaran yang menyenangkan. Atmosfir pembelajaran tidak diartikan sekedar pengertian suasana pembelajaran dalam arti "lingkungan fisik", tetapi lebih menekankan pada pengertian "lingkungan non fisik" seperti sosial, emosional, dan intelektual. Suasana pembelajaran seperti itu yang dibentuk guru selama pembelajaran berlangsung. Dalam kegiatan pembelajaran pendidikan jasmani, guru hendaknya respek terhadap integritas siswa dan menerima tanggung awab dalam mendidik para siswa sebagai manusia seutuhnya. Dedikasi pada setiap anak sangat diperlukan karena hal ini dapat membantu siswa mencapai potensinya secara maksimal, sehingga anak bertambah bebas melakukan aktivitas jasmaninya, baik jasmani maupun rohaniah. Materi pembelajaran pendidikan jasmani menurut Siti Nurochmah (1997:1) terdiri dari berbagai macam keterampilan
olahraga yang mempunyai
makna
tersendiri, yaitu: 1) memenuhi tuntunan hasrat bergerak, 2) berbagai perwujudan dari kegiatan rekreatif, 3) pengeluaran tenaga yang berlebihan. Sedangkan tujuan utama pembelajaran pendidikan jasmani menurut Rachman (1985) dalam Siti Nurochmah (1997:9) dikatakan bahwa: 1) mencapai perkembangan fisik yang mencakup perkembangan organik dan keterampilan, 2) perkembangan kecerdasan, 3) membentuk sikap dan gerak tubuh yang baik 4) menambah penguasaan gerak dasar dan unsur-unsur gerak, 5) menguasai berbagai keterampilan jasmani, 6) meningkatkan kesegaran jasmani dan 7) memelihara dan meningkatkan derajat sehat.
102
Atas dasar tujuan pendidikan jasmani itu, tujuan pokok pembelajaran Penjas di Sekolah Dasar dapat tercapai apabila program pendidikan jasmani dirancang dan dilaksanakan secara profesional dan didukung pula dengan peralatan dan fasilitas yang cukup dan alokasi waktu yang memadai diatur dalam kurikulum. Namun kondisi sekarang ini sekolah dasar di Indonesia amat sulit tujuan dan program yang dibuat ideal tersebut dapat tercapai. 2. Program Pembelajaran Pendidikan Jasmani di Sekolah Dasar Pada anak usia Sekolah Dasar kemampuan motorik belum sepenuhnya berkembang secara keseluruhan, karena merupakan masa penyempurnaan kemampuan gerak dasar periode sebelumnya. Pada masa ini biasanya mereka memerlukan gerakan-gerakan dasar dari aktivitas jasmani seperti lompat, lempar, lari, memanjat, berjingkat, menangkap, memukul, dan menendang. Kemampuan gerak dasar tersebut sudah dikuasainya, walaupun belum nampak sempurna. Karena itu proses perbaikan perlu dilakukan pada masa usia Sekolah Dasar. Pembelajaran pendidikan jasmani di Sekolah Dasar harus diajarkan dengan jelas dan ringkas sehingga anak dapat menerima sejumlah informasi yang disampaikan dengan baik dan mempelajari gerakan-gerakan tersebut secara langsung dan kontrol gerak penuh kesadarannya (Pangrazi dan Victor, 1995). Maksudnya anak akan memperoleh manfaat dari kegiatan pembelajaran sesuai dengan tingkat tahapan perkembangannya dan dengan penjelasan-penjelasan konkrit. Hal ini sejalan dengan pendapat Piaget (1969) dalam Sukmadinata (2003) bahwa pada usia praoperasional, yaitu usia antara dua sampai enam tahun seorang anak mulai berinteraksi dengan lingkungannya dan baru dapat memahami konsepsi.:
v..l.^~,„„fT>v_Kinii>i
103
konsep yang sederhana. Anak menyukai jenis-jenis permainan yang peraturannya tidak ketat dan sulit dengan menggunakan gerakan tubuhnya yang sederhana dan ritmis. Oleh karena itu, guru pendidikan jasmani di Sekolah Dasar seyogyanya mampu merencanakan dan menciptakan berbagai variasi gerak dengan berbagai ragam sarana dan prasarana dalam lingkungan belajar yang sesuai dengan tingkat perkembangan keterampilan dan kematangan anak. Banyak ahli sependapat bahwa bermain merupakan aktivitas jasmani yang menyenangkan bagi manusia karena dapat memberikan rasa kepuasan tersendiri bagi si pelakunya. Huizinga (1962) dalam Siedentop (1991) mengatakan bahwa bermain adalah sebuah kegiatan bebas di luar kesadaran kebiasaan hidup manusia yang kurang serius, namun pada saat yang bersamaan dapat menyerap permainan itu. Bermain bukan hanya sebagai dasar untuk hidup, tetapi juga agar hidup dapat bermakna. Hal-hal yang terkandung di dalamnya adalah keanggunan fisik dan fikiran yang senang, serta klimaknya adalah saat pikiran dapat menyatu dengan lingkungan. Dalam kaitannya dengan proses pembelajaran pendidikan jasmani, bermain merupakan salah satu bentuk atau cara pembelajaran yang dapat memberikan situasi yang menyenangkan, sehingga siswa dapat menguasai beberapa keterampilan olahraga. Variasi latihan keterampilan lebih penting, ketimbang spesialisasi. Situasi bermain yang kondusif dapat merangsang pertumbuhan dan perkembangan serta keterampilan gerak dasar siswa usia Sekolah Dasar. Bentuk permainan yang berisikan unsur-unsur gerak dasar seperti lompat, lari, lempar, dan jalan dapat diciptakan oleh guru atau dikemas dalam bentuk permainan. Oleh karena itu,
104
pembelajaran pendidikan jasmani untuk siswa Sekolah Dasar harus kaya akan gerak beragam serta memberikan tantangan yang selaras dengan tingkat perkembangan keterampilan anak. Untuk itu guru pendidikan jasmani dituntut kreativitasnya dalam menyusun program pembelajaran yang berisikan bentuk gerak di mana tantangannya sesuai dengan tingkat kemampuan anak didik. Mengacu pada kerangka pembelajaran pendidikan jasmani tersebut, maka tujuan program pendidikan jasmani seharusnya dapat mengembangkan kemampuan dan keterampilan anak didik secara menyeluruh baik fisik, mental, maupun intelektual. Namun demikian realisasinya kualitas pembelajaran pendidikan jasmani belum efektif sebagaimana tujuan pendidikan jasmani yang antara lain mengembangkan individu secara organik, neuromuskuler, persuasif, kognitif, sosial, dan emosional. Sehubungan dengan tujuan yang harus dicapai dalam pendidikan jasmani tersebut, maka beberapa aktivitas yang seringkah diberikan dalam suatu program pendidikan jasmani adalah aktivitas keterampilan lokomotor, non lokomotor, manipulatif, atletik, aktivitas senam, aktivitas ritmik, aktivitas air, komponen kebugaran jasmani, aktivitas sosial, permainan dan keterampilan olahraga (Kurikulum, 2004). Namun demikian berdasarkan pengamatan penulis dan didukung oleh beberapa data hasil penelitian bahwa pelaksanaan pengelolaan pendidikan jasmani terutama di Sekolah Dasar masih kurang menggembirakan (Cholik Mutohir, 1996; Rusli Lutan, 1992; dan Maksum, 1998). Sebagai indikasi adalah rendahnya partisipasi siswa dalam kegiatan pendidikan jasmani, belum berkualitasnya
\ pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah, kualifikasi tenaga pengajar yariff~"~"~~ sesuai, penggunaan waktu efektivitas belajar masih kurang, minimnya infrastruktur di sebagian sekolah masih terbatas, dan persepsi masyarakat pendidikan kurang menguntungkan yang menyebabkan posisi pendidikan jasmani cukup dilematis. Ini semua berpangkal pada muara belum efektifnya pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah, terutama Sekolah Dasar. Guru pendidikan jasmani sebaiknya memiliki perhatian yang tinggi terhadap model pembelajaran pendidikan jasmani di Sekolah Dasar yang berorientasi pada pengayaan pengalaman gerak dasar melalui strategi modifikasi materi, alat-alat dan sarana lainnya. Semua ini akan dicoba digunakan pada siswa Sekolah Dasar yang masih tingkat pemula, sehingga kemasan materi pelajaran pendidikan jasmani beradaptasi terhadap keterampilan gerak yang efisien, efeknya belajar gerak dilakukan secara bertahap mulai tingkat rendah menuju ke tingkat lebih kompleks.
E. Kriteria Model Pembelajaran (Konseptual) Model pembelajaran merupakan produk dari teknologi pembelajaran. Tujuan dari teknologi pembelajaran adalah meningkatkan hasil belajar siswa. Penggunaan sebuah model pembelajaran itu titik beratnya pada hasil dan menjelaskan bahwa belajar adalah tujuan, sedangkan pembelajaran adalah alat. Dalam pembelajaran lebih banyak berisikan pembahasan tentang interaksi pembelajaran termasuk metode, gaya mengajar, strategi, implementasi, dan penampilan mengajar (Oliva Peter F. (1992). Bagaimanapun hebatnya suatu model, parameter keberhasilannya terletak pada hasil belajar siswa.
106
Ada beberapa asumsi penting yang menjadi parameter keberhasilan menerapkan model pembelajaran (Seels dan Richey, 1994), yaitu sebagai berikut:
1. Kriteria tujuan Tujuan merupakan kriteria yang harus dipenuhi dalam pemilihan dan kegiatan serta pengalaman belajar agar hal ini dapat dicapai secara efektif dan fungsional. Begitu pula model pembelajaran kuantum Penjas memiliki tujuan selain mencapai keberhasilan belajar siswa dalam meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam pelajaran Penjas juga bagaimana memberikan situasi dan kondisi saat belajar yang menyenangkan dengan penuh kegembiraan kepada siswa, sehingga mereka mengikuti pelajaran Penjas dengan penuh semangat, riang gembira tetapi penuh bermakna. Segalanya bertujuan mengandung arti bahwa guru dalam merancang tahapan pembelajaran berorientasi pada tujuan yang jelas, fleksibel dan efisien baik dalam proses maupun produk pencapaian keberhasilan pembelajaran. Dalam tahapan pembelajaran pendidikan jasmani, kegiatan pemanasan bertujuan untuk merangsang organ tubuh siap melakukan gerak, kegiatan pokok bertujuan mempelajari keterampilan gerak apa yang harus dimiliki siswa, baik yang sudah dimiliki maupun keterampilan gerak yang baru, sedangkan kegiatan penutup bertujuan menurunkan tensi kegiatan pada kondisi awal sebagai persiapan menghadapi kegiatan berikutnya. Merumuskan tujuan pembelajaran berarti menentukan kemampuan yang harus dicapai dalam setiap kali pertemuan atau interaksi belajar mengajar. Untuk menilai seberapa jauh tujuan pembelajaran dapat tercapai, maka perlu dilakukan penilaian
107
terhadap perilaku siswa pada awal kegiatan belajar dan prosedur pengajaran. Semua hasil penilaian itu penting dalam memberikan umpan balik bagi proses pengajaran secara keseluruhan untuk masa berikutnya. 2. Kriteria Relevansi Model pembelajaran yang tepat harus relevan dengan kebutuhan dan tuntutan perkembangan masyarakat, karena inti model pembelajaran adalah menyiapkan siswa untuk berkarya di masyarakat. Dewasa ini masyarakat berkembang sangat cepat, perubahan-perubahan drastis terjadi setiap saat pada seluruh sektor kehidupan. Oleh karena itu, agar para lulusan kelak bisa hidup di masyarakat, bisa berkarya dan bekerja di masyarakat, perlu dibekali pengetahuan dan keterampilan profesional yang sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat dan dunia kerja. Kesesuaian bukan hanya dalam keahliannya, tetapi juga dalam mutu atau standar penguasaan. Relevansi pembelajaran dengan lingkungan kehidupan peserta didik, relevansi dengan kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan datang, dan relevansi dengan tuntutan dunia kerja baik secara teoritis maupun praktis. Pembelajaran pendidikan jasmani meliputi komponen penunjang dimana harus ada keterkaitan yang selaras antara komponen tersebut. Komponen tujuan, bahan pelajaran, metode yang digunakan, media alat bantu pelajaran, dan penilaian merupakan sebuah sistem yang berkaitan satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain kriteria relevansi pada pengembangan
model
pembelajaran
sama
halnya
pengembangan kurikulum yaitu prinsip-prinsip relevansi.
dengan
prinsip-prinsip
108
3. Kriteria Konsistensi (Keajegan) Keajegan mengandung makna bahwa pembelajaran bagi anak didik mengandung implikasi yaitu tidak saja memberikan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan pada saat peserta didik belajar di sekolah akan tetapi memberikan bekal kecerdasan dan keterampilan untuk dapat menumbuhkembangkan diri sebagai bekal menghadapi kehidupan di masa mendatang. Begitu pula model pembelajaran kuantum pendidikan jasmani mengandung arti bahwa apa yang dipelajari, bagaimana membelajarkan siswa, dan mengapa siswa perlu belajar sesuatu keterampilan tertentu dalam pendidikan jasmani, karena diprediksi bahwa di masa mendatang keterampilan tersebut sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. 4. Kriteria Aplikabel Aplikabel dalam arti sesuatu yang dapat dilakukan, diterapkan dan digunakan oleh yang memerlukan. Hal ini berarti bahwa dalam pembelajaran pendidikan jasmani, guru Penjas diberikan kebebasan untuk mengembangkan model pembelajaran sesuai dengan minat, bakat dan kebutuhan lingkungannya. Begitu pula siswa, dapat memilih cara belajar seperti apa yang sesuai dengat minat, bakat, dan kebutuhan lingkungannya. Model pembelajaran kuantum dalam pendidikan jasmani memberikan
kemudahan bagi
guru
dan
siswa untuk
bebas
berinovasi,
mengembangkan kreativitas, dan berimprovisasi karena dilaksanakan dalam situasi yang rileks, menyenangkan, penuh gairah, tanpa beban, rasa optimis dan jauh dari kejenuhan dalam pembelajaran berbagai keterampilan dalam pendidikan jasmani.
109
5. Kriteria Efektivitas Pembelajaran mencakup rancangan dan kegiatan pelaksanaan. Bagaimanapun baiknya rancangan pembelajaran, akan tetapi implementasinya tidak sesuai dengan apa yang dirancang, maka hasilnya tidak akan baik. Efektivitas model pembelajaran menunjuk kepada sejauhmana harapan-harapan yang dirancang dalam desain dapat dilaksanakan dan dicapai. Makin lengkap dan tinggi tingkat pencapaiannya makin tinggi tingkat implementasinya. Ketercapaian harapan-harapan tersebut sangat dipengaruhi oleh kesungguhan para guru sebagai pelaksana pembelajaran. Mutu proses dan hasil belajar siswa tidak hanya ditentukan oleh baiknya desain pembelajaran, akan tetapi unsur pelaksana dan fasilitas pendukung turut mewarnai Kriteria efektivitas berkenaan dengan sejauhmana yang direncanakan dapat dilaksanakan sehingga mencapai sasaran. Dalam pembelajaran biasanya diperlukan kompetensi guru dalam menyesuaikan dan memilih bahan pelajaran yang sesuai dengan minat, kemampuan dan kebutuhan peserta didik serta lingkungan. Adanya kesesuaian suatu program pembelajaran dengan unsur waktu yang tersedia, biaya yang dibutuhkan dan tenaga yang tersedia. Model pembelajaran kuantum Penjas bersifat efektif karena hemat dalam biaya dan waktu. Media alat peraga pendidikan jasmani dapat dimodifikasi dengan menggunakan bahan-bahan yang sederhana, mudah dan murah, dapat dilakukan dan diusahakan oleh guru dan siswa asalkan memiliki komitmen dalam pembelajaran Penjas.
Sedangkan waktu dalam
pembelajaran, anak didik dapat melakukan baik dalam waktu pelajaran Penjas atau di luar pelajaran Penjas seperti jam istirahat, kegiatan kokurikuler dan kegiatan
110
ekstrakurikuler. Mereka dapat melakukannya karena alat tersebut mudah diperoleh dimana saja, sekalipun barang bekas kalau berguna dapat dimanfaatkan.
F. Modet-ModeE Pembelajaran Pendidikan Jasmani Model adalah sebuah persamaan atau simulasi di mana konsepnya berhubungan dengan alat yang telah dikenal atau pengertian dari sistem fasilitas (Bruce Joice dan Marsha Weil, 1972). Model berguna untuk memecahkan masalah yang dianggap rumit (Schmidt, 1991). Suriasumantri (1996) menyatakan bahwa dengan adanya model permasalahan tidak menjadi sukar, malah dapat dipermudah. Model itu pula dapat dijadikan sebagai teknik untuk membentuk dan membina perilaku seseorang.
Oleh karena itu, dalam dunia pendidikan sebaiknya guru
menggunakan suatu prototipe dari suatu teori atau model. Model merupakan garis besar atau pokok-pokok yang memerlukan pengembangan yang sangat situasional. Model pula merupakan gambaran tentang sesuatu, bagaimana hendaknya, dan bagaimana adanya sesuatu itu. Model dirancang untuk menjelaskan aspek-aspek suatu persoalan atau ruang lingkup persoalan dan dapat menjelaskan hubunganhubungan yang penting (Stephen P. Robbins, 1978; dalam Laurens Seba, 2005). Model
pembelajaran
merupakan
suatu
proses
pembelajaran
sebagai
pengorganisasian lingkungan yang dapat menggiring siswa berinteraksi dan mempelajari bagaimana belajar, karena itu setiap siswa memiliki cara belajar beraneka ragam sesuai dengan perkembangan dan latar belajar sejarahnya. Karena itu, model belajar yang mereka kembangkan disesuaikan dengan suatu rujukan yang disebut model belajar. Dengan kata lain mereka mempunyai keyakinan bahwa
Ill
model pembelajaran sebenarnya merupakan cerminan dari model belajar. Bruce Joice dan Marsha Weil (1972) membagi model belajar menjadi empat rumpun, yaitu rumpun sosial, proses informasi, personal, dan sistem behavioral. Model
pembelajaran
pendidikan jasmani
lebih
banyak
berkembang
berdasarkan orientasi kurikulumnya bahkan nuansa kurikulumnya selalu terbawabawa pada model tersebut. Interaksi pembelajaran termasuk di dalamnya metode, gaya, strategi dan evaluasinya akan secara otomatis berdaptasi sesuai dengan rujukan mode! kurikulumnya. Spesifikasi simbolik nama model itu sering diberikan pada nama pengembangannya, sistimatika isi, dan tujuan, sedangkan kesamaannya cenderung menggunakan metodologi yang bervariasi dan berorientasi pada siswa. Agar lebih gamblang akan dipaparkan beberapa model pembelajaran pendidikan jasmani sebagai berikut: 1. Model Pembelajaran Hellison Salah satu model pembelajaran pendidikan jasmani yang termasuk dalam kategori model rekonstruksi sosial adalah model Hellison (1995), yang dikenal dengan sebutan "Teaching Responsibility Throught Physical Activity". Pembelajaran pendidikan jasmani dalam model ini lebih menekankan pada kesejahteraan individu secara total, pendekatannya lebih berorientasi pada siswa, yaitu self-actualization dan social reconstruction. Model pembelajaran pendidikan jasmani dari Hellison ini diberi nama level of affective development. Tujuan model ini adalah untuk meningkatkan perkembangan personal dan responsibility siswa dari irresponsibility, self control, involvement, self direction and caring melalui berbagai aktivitas pengalaman belajar gerak sesuai kurikulum yang berlaku. Hellison dalam bukunya
112
mengungkapkan beberapa bukti keberhasilan modelnya dalam mengatasi masalah pribadi dan sosial siswa. Namun demikian ia menyadari akan beberapa kritik yang dilontarkan terhadap modelnya ini misalkan produk sosial dan personal dan model ini walaupun penting namun tidak berhubungan secara spesifik dengan obyek materi pendidikan jasmani seperti keterampilan olahraga atau kebugaran tetapi bersifat umum berlaku bagi mata pelajaran lain. Model Hellison (1995) ini sering digunakan untuk membina disiplin siswa {self-responsibility). Untuk itu model ini sering digunakan pada sekolah-sekolah yang bermasalah dengan kedisiplinan para siswanya. Hellison begitu yakin bahwa perubahan perasaan, sikap, emosional, dan tanggung jawab sangat mungkin terjadi melalui pendidikan jasmani, namun tidak mungkin terjadi dengan sendirinya. Perubahan sangat mungkin terjadi manakala pendidikan jasmani direncanakan dan dicontohkan dengan baik dengan merefleksikan kualitas yang diinginkan. Potensi ini diperkuat oleh keyakinan Hellison bahwa siswa secara alami berkeinginan untuk melakukan sesuatu yang baik dan penghargaan ekstrinsik adalah "counter productive ". Melalui model ini guru Penjas berharap bahwa siswa berpartisipasi dan menyenangi aktivitas untuk kepentingan sendiri dan bukannya untuk mendapatkan penghargaan ekstrinsik. Fair play dalam pendidikan jasmani akan direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu pada dasarnya model Hellison ini dibuat untuk membantu siswa mengerti dan berlatih rasa tanggung jawab pribadi (self-responsibility) melalui pembelajaran pendidikan jasmani. Rasa tanggung jawab pribadi yang dikembangkan dalam model ini terdiri dari lima tingkatan, yaitu level irresponsibility, self-control, involvement, self-responsibility, dan caring.
113
Pada level irresponsibility anak didik tidak mampu bertanggung jawab atas perilaku yang dibuatnya dan biasanya anak suka mengganggu orang lain dengan mengejek, menekan orang lain dan mengganggu orang lain secara fisik. Pada level self-control anak terlibat aktif belajar tetapi sangat minim sekali. Anak didik akan melakukan apa-apa yang ditugaskan guru tanpa mengganggu yang lain. Artinya anak didik nampak melakukan aktivitas tanpa usaha yang sungguhsungguh. Pada level involvement anak didik secara aktif terlibat dalam belajar. Mereka bekerja keras, menghindari bentrokan dengan orang lain, dan secara sadar tertarik untuk belajar dan untuk meningkatkan kemampuan. Pada level self-responsibility anak didik didorong untuk mulai bertanggung jawab atas belajarnya. Ini berarti bahwa siswa belajar tanpa harus diawasi langsung oleh gurunya dan siswa mampu membuat keputusan secara independent tentang apa yang harus dipelajari dan bagaimana mempelajarinya. Pada level ini anak didik sudah mampu membuat permainan dan urutan gerakan bersama-sama temannya pada kelompok kecil. Biasanya mereka menghabiskan waktu untuk berargumentasi daripada membuat gerakan bersama-sama. Pada level caring, anak didik tidak hanya pandai bekerjasama dengan temannya, tetapi mereka tertarik ingin mendorong dan membantu temannya belajar. Anak didik pada level ini akan sadar dengan sendirinya menjadi sukarelawan tanpa disuruh gurunya untuk melakukan itu. Hellison (1995) dalam Suherman (2005:1-10) mengemukakan terdapat tujuh strategi pembelajaran yang digunakan Hellison dalam mengjar tanggung jawab
114
pribadi melalui pendidikan jasmani, yaitu: l) penyadaran, 2) tindakan, 3) refleksi, 4) keputusan pribadi, 5) pertemuan kelompok, 6) konsultasi, dan 7) kualitas mengajar. Strategi penyadaran dan tindakan dimaksudkan untuk menyadarkan siswa tentang definisi tanggung jawab baik secara kognitif maupun dalam bentuk tindakan. Strategi refleksi dimaksudkan untuk membantu siswa mengevaluasi sendiri mengenai komitmen dan tindakan rasa tanggung jawabnya. Strategi keputusan pribadi dan pertemuan kelompok dimaksudkan untuk memberdayakan siswa secara langsung dalam membuat keputusan pribadi dan keputusan kelompok. Strategi konsultasi dan kualitas mengajar dimaksudkan untuk menyediakan beberapa struktur dan petunjuk bagi siswa untuk dapat berinteraksi mengenai kualitas rasa tanggung jawab yang dikembangkannya. Kelebihan dari mode! Hellison ini dapat membantu siswa dalam penegakan disiplin, berlatih rasa tanggung jawab, menanamkan sikap sosial yang tinggi di kalangan siswa, dan perkembangan sosial lain yang erat kaitannya dengan aktivitas pengalaman gerak siswa dalam pendidikan jasmani. Kelebihan lain model ini bersifat mendasar, menempatkan guru sebagai pengambil inisiatif dan nara sumber. Model ini menempatkan guru sebagai perencana, pelaksana, dan juga penyempurna dari pembelajaran di kelasnya. Dialah yang paling tahu kebutuhan di kelasnya, karena itu dialah yang paling kompeten menyusun program pengajaran. Kelemahan dari model Hellison ini bahwa produk yang dihasilkan yaitu sikap sosial dan personal yang mengutamakan rasa tanggungjawab, toleransi, hidup bersama tidak langsung berhubungan dengan mata pelajaran Penjas, akan tetapi bersifat umum berlaku pada pelajaran lain
Avi Suh*man/PKS3/VPI
Kriteria model pembelajaran pendidikan jasmani Hellison ditinjau dari aspel tujuan, relevansi, konsistensi, aplikabel, dan efektivitas sebagai berikut:
Tujuan
Relevansi
Membina disiplin Memupuk siswa, belajar sikap sosial, bertanggung beken asama jawab, dan antar siswa, menanamkan dan sikap sosial yang bertanggung jawab sesuai tinggi di kalangan siswa, dengan nilaidan berusaha nilai yang belajar untuk dapat dikembangkan meningkatkan kemampuannya dalam' pembelajaran Penjas
Konsistensi
Aplikabel
Efektivitas
Nilai-nilai kePenjasan sikap sosial, tanggung jawab, dan ken asama akan tetap diperlukan dalam setiap kegiatan pembelajaran Penjas baik saat ini maupun masa yang akan datang
Guru Penjas dapat menggunakan model pembelajaran ini pada setiap menyajikan maten pembelajaran ketika memahami betapa pentingnya nilai-nilai tsb bagi siswa
Kesesuaian dengan program, waktu, peralatan, dana akan berdampak meringankan pekerjaan guru dan memudahkan aktivitas siswa tetapi tidak menghilangkan karakteristik model belajar tersebut malahan mengembangkan kreativitas dan inisiatif
Gambar 2-1 Kriteria Model Pembelajaran Hellison 2. Model Pembelajaran Canter's Asertif Model ini dikembangkan oleh Canter (1976) dengan maksud untuk mengembangkan pembinaan disiplin siswa dengan sebutan Canter's Assertive Discipline. Perbedaan model ini dengan model Hellison terutama terletak pada motivasi yang dijadikan landasan untuk mengembangkan disiplin siswa. Model Hellison lebih menekankan pada motivasi instrinsik yang dilandasi pada suatu keyakinan bahwa siswa secara alami berkeyakinan untuk melakukan sesuatu yang baik dan penghargaan ektrinsik adalah counter productive. Sementara itu model Canter lebih menekankan pada motivasi ektrinsik, seperti penghargaan, pujian dorongan termasuk konsekuensi.
116
Model Canter didasarkan pada beberapa asumsi sebagai berikut: 1. Semua siswa dapat berprilaku baik. 2. Pengawasan yang ketat atau kokoh akan tetapi tidak pasif dan tidak menakutkan adalah layak untuk diberikan. 3. Harapan atau keinginan guru yang rasional mengenai perbuatan siswa yang sesuai dengan perkembangan seperti peraturan harus diberitahukan kepada siswa 4. Guru harus mengharapkan siswa berperilaku secara layak dan pantas namun harus mendapat dukungan dari orang tua, guru lain dan kepala sekolah. 5. Tingkah laku siswa yang baik harus segera didukung atau dihargai, sementara tingkah laku yang tidak baik harus mendapat konsekuensi yang logis. 6. Konsekuensi logis akibat penyimpangan perilaku harus ditetapkan dan disampaikan kepada siswa. 7. Konsekuensi harus dilaksanakan secara konsisten tanpa bias. 8. Komunikasi verbal dan non verbal harus disampaikan dengan kontak mata antara guru dan siswa. 9. Guru harus melatih keinginan dan harapan serta konsekuensi secara mental dengan konsisten kepada siswa. Kelebihan model Canters Asertif ini adalah penanaman disiplin yang ketat terhadap siswa dapat betul-betul dipahami oleh semua pihak termasuk guru kelas, kepala sekolah dan orang tua siswa. Malahan guru Penjas sendiri secara konsisten akan melakukan hal yang sama dengan memberikan contoh perilaku disiplin kepada pihak lainnya. Model ini pula akan meningkatkan motivasi belajar siswa karena guru
117
Penjas sering memberikan penguatan berupa pujian, penghargaan dan dorongan terhadap keberhasilan belajar siswa. Kekurangan model ini terletak ketika pembinaan disiplin diterapkan berlebihan di sekolah, harus betul-betul adil dan konsisten sikap yang dimiliki guru Penjas dan guru lainnya dalam menegakkan disiplin tersebut. Jika terjadi kekurang kompakan dari unsur masyarakat sekolah tentang penanaman disiplin, maka akan merusak mental siswa. Belum lagi kesan seakan-akan mempersiapkan siswa agar patuh, taat, dan menuruti keinginan guru secara berlebihan akan cenderung melatih bukannya mendidik. Hal lain dalam menggunakan waktu kurang efisien sehingga sulit mencapai hasil yang optimal, kurang fleksibel atau keluwesan sehingga sukar menyesuaikan, diubah, dilengkapi atau dikurangi berdasarkan tuntutan kebutuhan. Kriteria model pembelajaran pendidikan jasmani dari Canters Asertif dari segi tujuan, relevansi, konsistensi, aplikabel, dan efektivitas sbb.: Tujuan
Relevansi
Selain membina disiplin siswa juga rtenfceri. apresiasi, pada pengembangan motivasi. perghargaan b e a p a pujian. hadiah ssbagai .•^miahi yang dapat merangkaikan semangat belajar siswa u t u k mencapai. tefcerhssilan belajar.
Memupuk sikap disiplin yang diikuti. pengawasan yang ketat tafradap siswa yang tertesi! diberikan penghargaan menjadikan SiSWtR7T+lt padaprcsss pembelajaran Penjas p-Kit-if Htyi perkembangan pribadi, siswa sendM
Konsistensi NdJat-rrilal keBaijasan sesial juga becfikicpcsitiS hPipril^Vii =pnrtif rtan menghaugai teriiadap karya orang lain akan iHdp copeduran "dalam sati^j kegidan pembelajaran Efenjas baik saat M maupun masa yang akan datang
Aplikabel
Efektivitas
Guru ferjas dan orang tua siswa dapat berfcolaborasi dalam menggunakan model p e m b e l a h a n ini peda sadap
Kesesuaian dangan program. wakb_v peralatan, dana akan berdampak meringankan pekerjaan guru dan memudahkan aktivitas siswa
pembelajaran Penjas daigan
namun kdtt^iidii tindakan dan ^niiFii yangtrpt" dalam rrengatasL Fermasalahan menjadi tavfcaigan
ada kesamaan persapsi dalam mengembangkan pemberian leward bagi anak didik
G a m b a r 2-2 Kriteria Model Pembelajaran C a n t e r s A s e r t i f
118
3. Model PembeLajaran S p o r t E d u c a t i o n
Sport education yang sebelumnya diberi nama play education (Jewet dan Bain (1985) dikembangkan oleh Siedentop (1995). Model ini bersumber pada disiplin ilmu dengan lebih berorientasi pada nilai kedisiplinan dan merujuk pada model kurikulum sosial sport. Siedentop banyak membahas model ini dalam bukunya yang berjudul "Quality Physical Education Through Positive Sport Experiences Sport Education ". Menurut Siedentop (1995), bukunya merupakan model kurikulum dan pembelajaran pendidikan j asmani. Model ini muncul dilandasi kenyataan bahwa olahraga merupakan salah satu materi Penjas yang banyak digunakan oleh guru Penjas dan siswanyapun senang melakukannya. Di sisi lain ia melihat bahwa pembelajaran olahraga dalam konteks Penjas tidak lengkap dan tidak sesuai diberikan kepada siswa karena nilai-nilai yang terkandung didalamnya sering terabaikan. Para guru lebih senang mengajarkan teknik-teknik cabang olahraga dan permainan, diikuti oleh peraturan-peraturan dan bermain dengan menggunakan permainan yang sebenarnya seperti untuk orang dewasa atau untuk orang yang sudah mahir, hal ini dianggapnya tidak sesuai dengan konsep developmentalfy appropriate practices.
Bahkan dalam kenyataannyapun
untuk sebagian besar siswa cara seperti ini kurang menyenangkan dan melibatkan siswa secara aktif karena kemampuannya yang belum memadai. Model sport education diharapkan mampu mengatasi berbagai kekurangan pembelajaran yang selama ini sering digunakan oleh guru Penjas di sekolah. Karakteristik model sport education (Siedentop, 1995:120-130) meliputi enam karakteristik model sport education yang sering absen dalam pembelajaran Penjas
119
yaitu, musim, anggota tim, pertandingan formal, puncak pertandingan, catatan hasil, dan perayaan hasil kompetisi. Musim (season) merupakan salah satu karakteristik dari model sport education yang di dalamnya terdiri dari musim latihan dan kompetisi serta sering kali diakhiri dengan puncak kompetisi. Dalam pendidikan jasmani pada umumnya karakteristik musim ini jarang diperhatikan walaupun kalender pendidikan memungkinkan ada pengaturan jadwal latihan seperti ini. Anggota
tim
merupakan
karakteristik
model
sport
education
yang
menitikberatkan keterlibatan semua siswa untuk menjadi salah satu anggota perkumpulan tim olahraga dan akan tetap sebagai anggota sampai satu musim selesai. Dalam pendidikan jasmani pada umumnya anggota tim berubah-rubah dari satu pertemuan ke pertemuan yang lainnya. Kompetisi formal dalam model ini mengandung arti bahwa festival, usaha meraih kompetensi, dan mengikuti pertandingan pada level yang berurutan. Pada kompetisi formal dilakukan secara berselang-selang dengan format latihan yang berbeda-beda, misalkan dua lawan dua, tiga lawan tiga dan seterusnya sampai pada tingkatan yang sesuai dengan kemampuan siswa. Penjadwalan ditetapkan dari sejak awal pembelajaran pendidikan jasmani sehingga siswa mengetahui waktunya secara pasti dan dari sejak kapan mereka harus mempersiapkan diri. Puncak pertandingan merupakan ciri khas dari even olahraga untuk mencari siapa yang terbaik pada musim itu, ciri khas ini merupakan karakteristik dari model sport education. Dalam pendidikan jasmani pada umumnya, pertandingan semacam
120
ini sering dilakukan, namun setiap siswa belum tentu masuk anggota tim sehingga terkadang lepas dari konteksnya. Catatan hasil merupakan karakteristik kelima dari model sport education yang menekankan pada catatan yang dilakukan dalam berbagai bentuk dari mulai catatan masuk goal, tendangan ke gawang, perbuatan curang, kesalahan-kesalahan dan seterusnya. Catatan ini dilakukan siswa dan guru untuk dijadikan feedback, baik bagi individu maupun tim. Perayaan hasil kompetisi seperti upacara penyerahan medali dan penghargaan lain berguna untuk meningkatkan makna dari partisipasi dan merupakan aspek sosial dari pengalaman yang dilakukan siswa. Tujuan utama dari model sport education adalah mengembangkan siswa menjadi olahragawan yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai olahraga dan berusaha menerapkan fair play, baik sebagai
pemain, wasit maupun sebagai
penonton. Melalui model ini diharapkan menyadari bahwa kemenangan tidak mengandung arti apa-apa kecuali diperoleh melalui permainan yang fair play dan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai olahraga. Untuk itu pengarahan, latihan dan timbal balik harus diberikan terhadap nilai-nilai ini sebagaimana diberikan terhadap keterampilan gerak dan strategi bermain. Kelebihan model sport education adalah guru Penjas paling senang mengajarkan teknik-teknik olahraga dan permainan serta sejumlah peraturan karena berorientasi pada kenyataan sebenarnya di lapangan sesuai dengan kebutuhan. Hal ini didukung oleh keteraturan model ini seperti adanya musim latihan, musim pertandingan dan adanya sasaran keberhasilan pencapaian prestasi. Penjas menjelma menjadi sebuah program pelatihan dalam rangka mempersiapkan sejumlah atlit yang akan dipersiapkan untuk sebuah kompetisi. Model ini memberikan keleluasaan bagi
121
guru untuk berinovasi dan mengembangkan kreativitas yang merupakan arah terbalik dari model konvensional (tradisional). Kekurangan dari model ini adalah mempersiapkan anak untuk berlatih berbagai cabang olahraga dengan peraturan seperti halnya orang dewasa bertentangan
dengan
konsep
Developmentally Appropriate Practice
(DAP).
Kenyataan di lapangan kurang melibatkan siswa secara aktif karena kemampuannya belum memadai. Kewajaran ini tentunya dapat diterima semua pihak sebab kompetisi adalah wadah unjuk kebolehan bagi pelaku yang sudah mahir bukan siswa yang masih pemula. Bagi siswa yang tidak turut berpartisipasi, kondisi pembelajaran seperti ini akan diterimanya dengan enggan dalam keadaan terpaksa, dan mungkin akan terjadi sikap apatisme. Kriteria model pembelajaran pendidikan jasmani dari sport education dari segi tujuan, relevansi, konsistensi, aplikabel, dan efektivitas sbb.:
Relevansi
Tujuan Membina dan mengajadsn teknik-teknik
Memupuk
t e s a l a atutai sejak diri sabagai menghadapi tatangan itasa ctewasa dengan tetap me^ungjung tir^naaHiOaiSFP=TK -fNnifly,
jujup sportivitas
seiakdiriutuk meningkatkan psnampLlai menjadi kebutuhan dalam dunia Eenjas saat M , apalagi sikap siswa yarg rtiemilUdriLlaLnOaLtetESbUt sangat petiu cHamiangka menegai titian paidldUsn manusia PR t\ ihn^a
Konsistensi NLlatnOaL telferjasan sikap sportivitas kebatanian, TPla tettotan menuakan parmmran keberhasilan. dalam , peiribeOajdUJLi Eenjass*ingga akan tetap dipadukan dalam setiap e w r t baik
Aplikabel Guru Eenjas
Kesesuaian
dty-uL menggunakan model pembelajaran i r i pada setiap menyajikan materi pembelajaran
dengan program, waktu, paralaSrv dana akan terdampak meringankan pekerjaan guru dan memudahkan aktivitas siswa tF+api tidak inenghilangkan karakteristik model telajar tetsabut malahan dapat merangkaikan penghargaan bagi sakalah di samping tarrangan kreativitas dan inì^^tìf d=iri r p i m
t o n i wiru r t i l s m
kegiatan panfcanaan pffistasL untuk memrjertahankan gengsi sekolah
egrt-irri rr-RiTpTn
s e l a g i PTRlf
masa ^ang akan datang
sangat senang dengan permainan dan perlombaan
1 H M i ii Tmnsnrm
t a r t a g l i dan f p f a h°rknrtvin,
Efektivitas
G a m b a r 2-3 K r i t e r i a Model Pembelajaran Penjas Sport Education
122
4. M o d e l R s m b e l a j a r a n K e b u g a r a n ( H e a l t h - R e l a t e d F i t n e s s M o d e l )
Model pembelajaran pendidikan jasmani dari perspektif Health related fitness education, memiliki pandangan bahwa generasi penerus dapat membangun tubuh yang sehat dan memiliki gaya hidup aktif dengan cara melakukan aktivitas fisik dalam kehidupan sehari-hari. Namun harapan itu tidak mungkin terealisasikan tanpa adanya usaha karena di sebagian besar generasi penerus tidak memiliki kebiasaan hidup aktif secara teratur dan aktivitas fisik menurun secara drastis setelah dewasa. Untuk itu program pendidikan jasmani di sekolah harus membantu generasi penerus untuk aktif sepanjang hidupnya. Kesempatan membantu generasi penerus untuk tetap aktif sepanjang hidupnya menurut model ini masih tetap terbuka sepanjang merujuk pada alasan individu melakukan aktivitas fisik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada beberapa alasan mengapa seseorang melakukan aktivitas fisik, diamaninya; 1) aktivitas fisik, 2} dapat dilakukan sama-sama, 3) untuk meningkatkan keterampilan, 4) untuk memelihara bentuk tubuh, dan 5) agar nampak lebih baik. Karakteristik mode! ini pada dasarnya berlandaskan pada disciplinary mastery value orientation yang sering kali merefleksikan orientasi nilai self-actualization, sehingga beberapa program dari model ini terintegrasi ke dalam pendidikan jasmani dalam kerangka konsep healthy lifestyle yang lebih luas dengan komponenkomponen sosio-culture (Jewet, 1995). Peranan guru dalam menerapkan model ini lebih menekankan untuk membimbing siswa pada program kegiatan kesegaran jasmani, mengajar keterampilan dalam pengelolaan dan pembuatan keputusan, menanamkan komitmen terhadap gaya hidup yang aktif, dan mengadmimstrasikan
123
program asesmen kesegaran jasmani individu siswa. Mengingat kritik yang mengatakan bahwa ruang lingkup dari program ini sangat terbatas pasa aktivitas kebugaran jasmani saja, maka program ini berisikan pengembangan berbagai variasi keterampilan dan pengalaman yang memungkinkan siswa dapat berpartisipasi dalam aneka ragam olahraga, aktivitas olahraga, dan aktivitas fisik. Program tahapan pencapaian gaya hidup aktif pada model kebugaran (AAHPERD, 1999) meliputi beberapa tahapan sebagai berikut: Step 1:
Melakukan latihan secara teratur (membiasakan berolahraga dan mempelajari dan menyenangi olahraga)
Step 2:
Perolehan status kebugaran (memenuhi status minimal sekolah dan belajar menetapkan target sendiri)
Step 3 :
Pola latihan sendiri (memilih latihan sendiri dan evaluasi program sendiri)
Step 4 : Evaluasi sendiri (tes kebugaran jasmani dan interpretasi hasil) Step 5 :
Mandiri yaitu merencanakan program dan gaya hidup aktif.
Kelebihan dari model kebugaran ini terletak pada keyakinan bahwa keberhasilan pendidikan jasmani berawal dari keyakinan individu melakukan aktivitas fisik dalam rangka pembentukan gaya hidup aktif, bugar dan sehat di masa mendatang. Melakukan aktivitas fisik dengan memiliki argumentasi semata-mata untuk kesenangan, dilakukan bersama-sama, memelihara bentuk tubuh dan meningkatkan keterampilan merupakan investasi untuk mempersiapkan generasi penerus yang lebih berkualitas. Kelemahan model ini terletak pada ruang lingkup dari program ini yang sangat terbatas pada aktivitas kebugaran jasmani saja dengan bermaterikan pengembangan
124
pada berbagai variasi keterampilan dan pengalaman yang memungkinkan siswa dapat berpartisipasi dalam aneka ragam olahraga dan aktivitas fisik. Belum lagi kesan seakan-akan menyiksa dan merendahkan martabat siswa, program ini untuk mempersiapkan siswa menjadi anggota militer yang berfokus melatih bukan mendidik. Padahal, yang sebenarnya memelihara gaya hidup dan kesehatan pribadi menghadapi era globalisasi dengan serba teknologi tinggi justru jauh lebih penting maknanya. Kriteria model pembelajaran kebugaran jasmani ditinjau dari segi tujuan, relevansi, konsistensi, aplikabel dan efektivitas dapat di lihat pada Gambar 2-4 berikut: Tujuan Membina kF+iiaswi hidup sefcetdan melakukan
akthatEBfiak j e n g tetam: akan membantu gaseiasi gmerrs urtuk irenjaga keeamtengan hicbp, sehingga memungkinkan sisva hPrrRiti^rasi dalam kegiatan PenjcsMab sarrpng rneningkatkan kemampuanma
Relevansi Menanamkan aktif telajar kesegaran jdbaitiiii dan memelihara hidup sehat separi^ng layat merupakan modal^eng sarx^ternilai hargar^a sebagai menjalari niiriras tegiatan danba^akn^a t a t a n a n karaH kemajiandL bicang teknologi danirfoaiasL
Konsistensi
Aplikabel
Efektivitas
Kondisi fisik ^ongbjgarckn gaya hidup yang serat s a r a
Guru tegas dapat menggunakan modal parrtoelajacaniit peda s t e p menyajikan maten pembelajaran ketika nemahami mapi p a r t i r g n ^ nilainilai tsb bagi siswa
Kesesuaian dengan prgrairv waktu, peralatan, cfana akan berdampak meringankan pakezjoHiguru dan memudahkan aktivitas s i s v e tBt^a. tidak merighilangkan karaktensak model belajar teta3*£ malahan
menuakan trerìiong dikembangkan dalam pantoelajaran fegas ?ralagi nilai-nilai .ditanamkan sejak dini akan tercarrpak positif bagi patterribangan di irasajang akandcLiJu
mengembangkan
ktBgthatasdan inisiatif
G a m b a r 2-4 K r i t e r i a M o d e l f t e m b e l a j a r a n F e n j a s K e b u g a r a n Jasmani
ini
CLmtn/Dir
VìrjsrtJ
125
G.
Konsep Model Bambelajaran Kuantum Penjas Berbasis Kompetensi
Belajar dalam proses pendidikan merupakan kegiatan yang paling pokok. Kondisi ini membawa implikasi bahwa berhasil tidaknya proses pendidikan, khususnya dalam pencapaian tujuan pendidikan sangat tergantung pada berhasil tidaknya proses belajar yang dilakukan peserta didik. Oleh karena itu, agar tujuan pendidikan dapat tercapai harus diupayakan agar pada diri siswa terjadi proses belajar, yaitu proses terjadinya perubahan perilaku dari tidak tahu menjadi tahu. Perubahan perilaku tersebut akibat pengalaman yang dialami individu setelah melakukan interaksi dengan lingkungan. Proses belajar merupakan proses yang disengaja, dan perubahan tersebut bersifat temporer dan bukan karena proses pematangan, pertumbuhan dan perkembangan. Dengan demikian di dalam proses belajar ada dua pihak yang terlibat, yaitu individu yang belajar dan lingkungan. Keberhasilan proses belajar yang dialami seseorang, tidak terlepas dari beberapa faktor yang mempengaruhinya, baik yang berasal dari dalam individu maupun dari luar individu yang bersangkutan. Faktor dari dalam diri individu adalah motivasi, organisasi, partisipasi, konfirmasi, pengulangan dan aplikasi. Adapun yang berasal dari luar individu diperoleh dari bahan ajar, pengajar, lingkungan tempat pembelajar. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, faktor yang berasal dari dalam diri lebih cenderung pada faktor yang proses perubahannya tidak dapat dilakukan dalam waktu yang relatif cepat. Hal ini dapat dipahami, mengingat faktor-faktor tersebut menyangkut pada sesuatu yang bersifat pribadi. Faktor yang berasal dari luar individu dapat dengan mudah diubah secara sistematik.
126
Howard Gardner (1996) dalam Bobbi DePorter (2002) menyatakan bahwa proses belajar yang terjadi pada individu yang belajar erat kaitannya dengan struktur otak yang dimilikinya. Struktur otak manusia pada dasarnya terdiri dari tiga bagian, yaitu batang otak reftilia, sistem limbik (otak mamalia), dan neokortek (otak berfikir). Batang otak memiliki peranan yang berhubungan dengan fungsi motorik sensorik, kelangsungan hidup, dan reaksi terhadap bahaya. Batang otak reftilia memiliki peranan yang berkaitan dengan perasaan atau emosi, memori, bioritmik dan sistem kekebalan. Otak berfikir memiliki peran yang berkaitan dengan berfikir intelektual, penalaran, bahasa, dan kecerdasan yang lebih tinggi. Dengan adanya neokortek, manusia menjadi unik karena semua kecerdasan yang lebih tinggi tersedia. Kecerdasan khusus yang dimiliki manusia itu diantaranya bahasa, matematika, visual, perasa, musikal, interpersonal, intra personal, dan intuisi. Selanjurnya Bobbi DePorter (1999) menjelaskan, bahwa berdasarkan belahannya, otak manusia terdiri dari belahan otak kanan dan otak kiri. Otak kanan memiliki karakteristik dalam cara berfikir yang logis, sekuensial, linier, dan rasional. Karena itu cara berfikirnya sesuai dengan tugas-tugas yang teratur, ekspresi verbal, menulis, membaca, dan berkaitan dengan simbol-simbol. Adapun otak kiri memiliki karakteristik dengan cara berfikir yang acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik. Dalam Cara berfikirnya, otak kiri berhubungan dengan non verbal seperti perasaan, emosi, pengenalan bentuk dan pola, musik, warna kreativitas dan visualisasi. Dalam proses pembelajaran yang seimbang harus diupayakan kerja otak kanan dan otak kiri berimbang. Semua itu pada akhirnya tertuju belajar apa saja dari setiap situasi, menggunakan apa yang dipelajari untuk keuntungan yang diperoleh,
127
mengupayakan agar segalanya terlaksana, bersandar pada kehidupan. Gambaran ini disandingkan dengan konsep belajar pasif yang terdiri dari tidak dapat melihat adanya potensi belajar, mengabaikan kesempatan untuk berkembang dari suatu pengalaman belajar, membiarkan segalanya terjadi dan menarik diri dari kehidupan. Model pembelajaran kuantum mengkonsep tentang "menata pentas lingkungan belajar yang tepat". Penataan lingkungan diarahkan kepada upaya membangun dan mempertahankan sikap positif Sikap positif merupakan aset penting untuk belajar. Peserta didik dikondisikan ke dalam lingkungan belajar yang optimal baik secara fisik maupun mental. Dengan mengatur lingkungan belajar sedemikian rupa, para anak didik diharapkan mendapat langkah pertama yang efektif untuk mengatur pengalaman belajar. Penataan lingkungan belajar ini dibagi dua yaitu lingkungan mikro dan lingkungan makro (Bobbi DePorter, 1999). Lingkungan mikro adalah tempat peserta didik melakukan proses belajar yaitu bekerja dan berkreasi. Pembelajaran kuantum menekankan penataan kondisi, musik dan desain ruang belajar karena semua itu dinilai mempengaruhi terhadap peserta didik dalam menerima, menyerap, dan mengolah informasi. Akan tetapi, dalam kaitan pengajaran umumnya di ruang-ruang pendidikan di Indonesia, lebih baik memfokuskan perhatian kepada penataan lingkungan formal dan terstruktur seperti meja, kursi, alat peraga, dan tempat khusus. Tujuannya agar dapat menciptakan suasana yang dapat menimbulkan kenyamanan dan rasa santai. Keadaan santai mendorong siswa untuk berkonsentrasi sangat baik dan belajar lebih mudah. Keadaan tegang akan menghambat aliran darah dan menghambat pula konsentrasi belajar siswa.
128
Lingkungan makro ialah "dunia yang luas". Peserta didik diminta untuk menciptakan ruang belajar di masyarakat. Mereka diminta untuk memperluas lingkup pengaruh dan kekuatan pribadi, berinteraksi sosial ke lingkungan masyarakat yang diminatinya. Semakin siswa berinteraksi dengan lingkungan, semakin mahir mengatasi situasi-situasi yang menantang dan semakin mudah mempelajari informasi baru. Setiap siswa diminta berhubungan secara aktif dan mendapat rangsangan baru dalam lingkungan masyarakat, agar mereka mendapat pengalaman membangun dan membentuk pengetahuan baru. Pada intinya, interaksi ini diperlukan untuk mengenalkan siswa kepada kesiapan diri dalam melakukan perubahan. Mereka tidak boleh terbenam dengan situasi status quo yang diciptakan dalam lingkungan mikro. Mereka diminta untuk melebarkan lingkungan belajar ke arah sesuatu yang baru. Pengalaman mendapatkan sesuatu yang baru akan memperluas zona aman, nyaman, dan perasaan dihargai dari siswa. Melalui pola yang dikembangkan tersebut, maka dalam setiap individu diharapkan muncul sikap tanggungjawab terhadap diri, sehingga akan terus belajar dan berupaya menggali sesuatu yang baru dan menggunakannya. Pada gilirannya, dia akan mengenali dan memahami potensi apa yang sebenarnya dia miliki. Salah satu potensi yang harus dikenali dan dipahami oleh seorang pembelajar adalah gaya belajar yang dimilikinya. Gaya belajar yang dimiliki seseorang, merupakan manifestasi dari kemampuannya dalam menyerap, mengatur dan mengolah informasi yang diterimanya. Lebih lanjut, Bobbi DePorter (1999) menjelaskan bahwa pembelajaran kuantum adalah konsep pembelajaran yang diterapkan di SuperCamp oleh Eric
129
Jensen. SuperCamp adalah sebuah program pelatihan dan pengembangan diri yang intensif. Suatu model belajar cepat yang terintegrasi dengan menggunakan kurikulum ganda yang terdiri dari: (1) Kurikulum akademis "belajar untuk belajar" dan (2) Kurikulum untuk keterampilan dan pengembangan pribadi. Kurikulum akademis dengan program sepuluh hari, meliputi keterampilan menulis cepat, kreativitas, membaca cepat, persiapan ujian dan belajar untuk belajar. Sedangkan untuk kurikulum keterampilan, berisikan nilai dan kemampuan seseorang untuk berkomunikasi. Menurut konsep pembelajaran kuantum ini ada dua unsur utama yang mempengaruhi proses belajar, yaitu: (I) Bagaimana menciptakan suasana yang tepat untuk mengajar, (2) Apa topik yang akan dipelajari oleh siswa. Pendekatan pembelajaran kuantum berpusat pada siswa dan pada masyarakat sehingga kurikulum dirancang sesuai dengan kebutuhan siswa dan masyarakat. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa otak tidak bisa memperhatikan dan mengingat semua hal, seperti pelajaran yang tidak menarik, membosankan atau tidak menggugah emosi. Pembelajaran kuantum menekankan pada empat aspek: (1) Citra diri dan perkembangan diri, (2) Pelatihan keterampilan hidup, (3) Belajar tentang cara belajar dan cara berpikir, (4) Kemampuan-kemampuan akademik, fisik, dan artistik yang spesifik (Bobbi DePorter, 1999). Oleh karena itu, setiap siswa dari segala umur boleh mengembangkan kurikulum sendiri dan mengakses sumbersumber informasi untuk mempelajari hal-hal yang mereka minati dengan cepat dan mudah. Gairah belajar yang tinggi dan kemampuan memadukan pengetahuan dengan kerja adalah kunci-kunci baru menuju masa depan.
130
Suasana pembelajaran kuantum sangat menyenangkan sehingga membuat siswa belajar lebih efektif. Menyenangkan berarti seluruh komponen fisik dan nonfisik siswa bebas dari segala tuntutan dan tekanan. Konsep menyenangkan berarti bahwa diri siswa berada dalam keadaan benar-benar lepas dan bebas dari target harus dicapai. Karena keadaan yang menyenangkan akan melapangkan jalan seseorang dalam mendayagunakan seluruh potensi yang dimilikinya secara optimal. Keadaan yang menyenangkan akan mendorong seseorang untuk bersungguhsungguh terlibat dalam melakukan sesuatu termasuk dalam belajar. Dalam interaksi pembelajaran kuantum, guru menjadi fasilitator dan manajer pembelajaran di pusatpusat pembelajaran dengan menempatkan siswa seolah-olah klien. Guru adalah tenaga profesional yang terlatih mengelola pusat belajar untuk melayani gaya belajar siswanya. Para guru harus memiliki pengetahuan luas tentang mata pelajaran tertentu dan mampu membawa dunia ke dalam suasana kelas. Musik, permainan dan kestabilan emosi merupakan kunci keberhasilan belajar siswa. Menurut Colin Rose dan Malcolm J. Nichol (2002) dalam Hernawan (2003) dalam model pembelajaran kuantum, siswa sangat cepat belajar karena mereka dibimbing menemukan sendiri prinsip belajar itu. Maksudnya sangat diutamakan konsep"learning how to learn", belajar bagaimana belajar, artinya belajar bertujuan untuk menguasai bagaimana teknik mempelajari sesuatu, bukan hanya belajar untuk menguasai sejumlah ilmu pengetahuan, sebab ilmu pengetahuan berkembang sangat cepat tidak bisa diajarkan satu persatu membutuhkan waktu yang lama. Dengan demikian, dalam belajar pendidikan jasmani para siswa akan termotivasi untuk belajar dan terus belajar tentang suatu keterampilan gerak sampai
131
mencapai tujuan pembelajaran. Jika siswa berhasil mencapai sasaran maka motivasi dan produktivitasnya akan meningkat. Hal ini merupakan investasi yang sangat berharga bagi seorang siswa yang sudah tumbuh kemauan sendiri untuk belajar. Sistem pembelajaran kuantum berorientasi pada tiga konsep utama, yaitu: (1) Mencintakan lingkungan yang memungkinkan proses belajar berjalan maksimum dengan membangun hubungan antar peserta dan mengembangkan rasa percaya diri setiap siswa; (2) Mengajar siswa dalam berbagai gaya belajar sehingga mereka dapat memahami materi yang diberikan; (3) Mengajari siswa keterampilan yang dibutuhkan untuk mempelajari materi apa saja dan bukan hanya materi tertentu (Bobbi DePorter, 1999). Untuk menciptakan lingkungan yang memungkinkan proses belajar berjalan maksimum guru harus memilih dan mempersiapkan musik dengan jumlah ketukan antara 50-70 per menit untuk digunakan saat memulai setiap sesi belajar. Tujuannya adalah agar terjadi perubahan suasana sehingga siswa dapat berganti-ganti kegiatan dari bernyanyi ke bertindak, ke berbicara, ke melihat, ke sajak, ke peta pikiran sampai diskusi kelompok. Menurut Jeannette Vos dalam Bobbi DePorter (1999) bahwa musik itu dapat berfungsi untuk mengurangi stress, meredakan ketegangan, meningkatkan energi dan memperbesar daya ingat Prinsip pembelajaran kuantum meliputi: (1) Segalanya berbicara, artinya sesuatu yang ada di lingkungan kelas dapat digunakan sebagai media belajar, (2) Segalanya bertujuan, artinya semua yang terjadi di kelas memiliki tujuan yang jelas, (3) Pengalaman sebelum pemberian nama, artinya pembelajaran diawali rasa ingin tahu sebelum mengetahui namanya, (4) Akui setiap saat, artinya pembelajaran
132
merupakan proses yang mengandung resiko karena mempelajari yang baru, dan (5) jika layak dipelajari maka layak pula dirayakan (Hamalik, 2003). Rancangan pembelajaran kuantum melalui proses mencari 'TANDUR" yaitu suatu istilah akronim dari Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi dan Rayakan (Bobbi DePorter, 1999). Tumbuhkan minat dengan selalu mengarahkan siswa terhadap pemahaman tentang apa manfaat setiap pelajaran bagi diri siswa atau Apakah Manfaatnya Bagi-Ku (AMBAK) yang sangat jelas dau spesifik akan dapat memotivasi seseorang untuk melakukan suatu kegiatan secara hebat. Apapun yang siswa lakukan, jika yang dilakukan itu tidak memberikan manfaat, ada kemungkinan siswa akan malas melakukannya. AMBAK akan membangkitkan minat anak didik untuk mempelajari sesuatu yang baru dan bermanfaat bagi perkembangan diri siswa, sedangkan AMBAK bagi guru akan mempersegar ketika berhadapan dengan siswa dikarenakan guru akan memperoleh sesuatu yang bermakna dalam proses kegiatan belajar mengajar. Hemawan
(2003)
menyarankan
bahwa
sebaiknya
dalam
mengimplementasikan pembelajaran kuantum dapat memadukan beberapa model kurikulum antara lain: (1) Model kurikulum perkembangan pribadi yang meliputi rasa percaya diri, motivasi, keterampilan berkomunikasi dan keterampilan menjamin relasi; (2) Model kurikulum keterampilan hidup meliputi pengaturan mandiri dan pemecahan masalah secara kreatif; (3) Model kurikulum keterampilan belajar untuk belajar dan belajar berpikir; (4) Model kurikulum isi pada umumnya dengan tematema terpadu.
Menurut Bobbi DePorter (1999), kita belajar 10 % dari apa yang kira b ^ a r ^ T ^ ' % dari apa yang kita dengar, 30 % dari apa yang kita lihat, 50 % dari apa yang kita lihat dan dengar, 70 % dari apa yang kita katakan, 90 % dari apa yang kita katakan dan lakukan. Atas dasar pertimbangan itu, maka metoda belajar pemecahan masalah dan penemuan merupakan metoda yang banyak digunakan dalam model pembelajaran kuantum. Dengan berpatokan pada prinsip belajar learning by doing siswa dapat mempelajari sesuatu dengan cepat dan efektif, karena mereka melihatnya, mendengarnya, dan merasakannya. Selain itu semakin sering dan luas siswa mengkait-kaitkan berbagai hal, semakin kaya pengalaman siswa untuk belajar. Model pembelajaran kuantum baik secara konseptual maupun implementasi sangat cocok digunakan, karena sesuai dengan kebutuhan siswa Sekolah Dasar. Pembelajaran yang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa akan membuat pembelajaran
lebih
bermakna
dan
lebih
efektif.
Pembelajaran
dengan
memperhatikan gaya belajar siswa membuat siswa merasa senang dalam belajar. Pembelajam kuantum juga lebih menekankan pada learning by doing, sehingga siswa lebih memahami apa yang dipelajarinya dan lebih kreatif karena itu mereka belajar lebih cepat, lebih bersikap positif, percaya dirinya berkembang dan merasa bebas dari tekanan baik tisik maupun psikologis. Pembelajaran kuantum pendidikan jasmani memberikan kebebasan kepada siswa untuk memilih isi pelajaran yang dikehendakinya sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Dengan demikian mereka bebas belajar dengan lebih leluasa dalam mengembangkan potensi, bakat yang dimilikinya dengan optimal. Misalkan dalam mata pelajaran Penjas, para siswa
134
diberikan kebebasan menentukan olahraga pilihan sesuai dengan bakat dan minat masing-masing. Proses belajar yang terjadi pada individu yang belajar, erat kaitannya dengan struktur otak yang dimilikinya. Struktur otak manusia pada dasarnya terdiri dari belahan otak kanan dan belahan otak kiri. Otak kanan memiliki karakteristik dalam cara berfikir logis dan rasional. Adapun otak kiri memiliki karakteristik dalam berfikir yang acak, tidak teratur dan holistik. Dalam cara berfikimya, otak kiri berhubungan dengan perasaan, emosi, pengenalan bentuk, musik, seni dan kreativitas. Agar terjadi keseimbangan, maka harus diupayakan kerja otak kanan dan otak kiri yang seimbang. Semua itu, pada akhirnya, tertuju pada proses belajar yang menargetkan tumbuhnya emosi positif, kekuatan otak, keberhasilan, dan kehormatan diri (Howard Gardner, 1996; dalam Bobbi DePorter, 1999).
H. Pengembangan
Model
Pembelajaran
Kuantum
Pendidikan
Jasmani
Berbasis Kompetensi di Sekolah Dasar
Model merupakan bentuk representasi akurat, sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model itu, sebagai representasi suatu sistem yang dipandang dapat mewakili sistem yang sesungguhnya, model merupakan gambaran tentang sesuatu, bagaimana hendaknya dan atau bagaimana adanya sesuatu itu (Mills, 1989; dalam Kuswana, 2003). Model dirancang untuk menjelaskan aspek-aspek suatu persoalan atau ruang lingkup persoalan, dan dapat menjelaskan pula hubungan-hubungan yang penting. Model merupakan suatu gambaran tentang sesuatu yang dapat memperjelas berbagai kaitan diantara unsur yang ada. Pembelajaran sebagai suatu sistem memerlukan
135
suatu model atau beberapa model yang dapat memberikan kejelasan hubungan diantara komponen, unsur atau elemen sistem tersebut (Laurens Seba, 2005:41-43). Model menurut Print (1993) adalah sesuatu gambaran yang disederhanakan dari keadaan yang sebenarnya dan sering digambarkan dalam diagram. Pandangan lain dari Zais (1976) bahwa model sebagai gambaran kecil dari data atau fenomena, sehingga model pembelajaran dapat didefinisikan sebagai rencana atau pola yang dapat digunakan untuk mendesain materi pelajaran dan membantu pembelajaran (Seller & Miller, 1985). Model pembelajaran identik dengan pola dasar mengajar, sistem, prosedur didaktik. Pola dasar mengajar yaitu sistem yang terdiri atas berbagai komponen yang bertautan satu sama lain untuk mencapai tujuan pengajaran (Engkoswara dan Rustiyah, 1984). Model mengajar merupakan suatu rencana atau pola yang digunakan dalam menyusun kurikulum, mengatur materi pengajaran, dan memberi petunjuk kepada pengajar di kelas atau di di lapangan dalam setting pengajaran atau setting lainnya (Bruce Joice dan Marsha Weil, 1972). Model
pembelajaran kuantum
merupakan
model
pembelajaran yang
menekankan kepada pengalaman belajar yang menyenangkan dan berhasil guna bagi siswa maka dari itu pemilihan strategi dan media pembelajaran yang bervareasi menjadi ciri utama model ini. Bobbi DePorter (1999) seorang pakar quantum learning and teaching menjelaskan bahwa pembelajaran kuantum merupakan upaya perubahan bermacammacam interaksi yang ada di sekitar momen belajar. Pembelajaran dikiaskan sebagai suatu simponi yang terdiri dari berbagai alat musik sebagai unsurnya dan guru
136
merupakan konduktor sebuah simponi. Guru berusaha merubah semua unsur menjadi simponi yang indah bagi semua orang di kelasnya. Asas utama pembelajaran kuantum adalah bawalah dunia mereka ke dunia kita dan antarkan dunia kita ke dunia mereka Pandangan tersebut memberi arti bahwa untuk melaksanakan suatu pembelajaran diperlukan pemahaman yang cukup tentang anak didik. Dengan demikian akan memudahkan semua proses pembelajaran itu baik bagi anak didik maupun guru. Pemahaman itu amat penting karena setiap manusia memiliki dinamikanya sendiri. Banyak hal yang mempengaruhi pengembangan model pembelajaran pendidikan jasmani, oleh karena itu relevansi antara tujuan, kegiatan belajar, dan penilaian sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan model pembelajaran pendidikan jasmani yang sesuai dengan karakteristik siswa tingkat pemula di Sekolah Dasar. Implementasinya bagaimana bahan-bahan pendidikan jasmani yang memiliki katagori gerak dasar fundamental lokomotor, nonlokomotor dan manipulatif dikemas sedemikian rupa sehingga aktivitas siswa yang masih pemula itu tinggi dikarenakan belajar gerak yang dilakukan disajikan dalam bentuk strategi permainan. Itu hanya bisa terjadi manakala guru pendidikan jasmani mampu menciptakan kondisi pembelajaran tidak kaku dan monoton, berarti guru harus memiliki sikap profesional mengelola mata pelajaran pendidikan jasmani. Begitu juga prasyarat lain seperti peralatan yang mendukung (sederhana), waktu yang tersedia cukup dan dukungan orang tua siswa. Salah satu hal yang harus mendapatkan prioritas agar mendukung proses pembelajaran pendidikan jasmani di atas adalah mengubah suasana pembelajaran
137
yang asalnya sarat prestasi menjadikan suasana bermain yang menyenangkan, sehingga baik secara fisiologis maupun psikologis makna pembelajaran terpenuhi. Alternatif ke arah itu adalah dengan memodifikasi peralatan olahraga baku, peraturan
bermain
dan
berlomba
masing-masing
cabang
olahraga,
dan
menyederhanakan sarana dan prasarana olaharaga. Ini merupakan tuntutan sebab karakteristik siswa Sekolah Dasar adalah terbatas kemampuan, wawasan, dan pengalaman. Ini pula yang mendorong siswa agar bisa berinteraksi dengan lingkungan sebab bahan-bahan itu bisa diperoleh dari lingkungan tempat tinggal siswa dan mudah didapat dengan tanpa biaya sekalipun Namun siswa sendiri harus memiliki sikap yang aktif, kreatif dan cerdas. Model pembelajaran merupakan acuan atau pola yang dipakai oleh seseorang untuk digunakan dalam proses belajar mengajar. Model pembelajaran pendidikan jasmani berarti pola yang digunakan oleh seorang guru Penjas dalam melakukan latihan yang dilakukan secara berulang-ulang, dengan kian hari kian bertambah beban pekerjaannya. Menurut Schmidt (1991) pembelajaran gerak adalah serangkaian proses yang dihubungkan dengan latihan atau pengalaman yang mengarah pada perubahan yang relatif permanen dalam kemampuan seseorang untuk menampilkan gerakan-gerakan yang terampil. Definisi pembelajaran yang diajukan Schmidt mengandung tiga aspek penting, yaitu: 1) belajar merupakan pengaruh latihan atau pengalaman, 2) belajar tidak langsung teramati, 3) belajar mengalami perubahan yang bersifat relatif melekat Keterampilan dasar dengan
merupakan kemampuan untuk membuat hasil akhir
kepastian yang maksimum dan pengeluaran energi dan waktu yang
138
minimum
(Schmidt,
1991).
Sedangkan
Singer (1980) menyatakan bahwa
keterampilan adalah derajat keberhasilan yang konsisten dalam mencapai suatu tujuan dengan efisien dan efektif. Jadi keterampilan pada hakekatnya adalah upaya untuk mencapai tujuan yang berhubungan dengan lingkungan melalui cara sebagai berikut: memaksimalkan kepastian prestasi, meminimalkan pengeluaran energi tubuh dan energi mental dan meminimalkan waktu yang digunakan. Kemampuan gerak dasar fundamental adalah kesanggupan seseorang dalam melakukan gerak yang terjadi atas dasar gerak refleksi yang berhubungan dengan badannya, yang dibawa sejak lahir dan terjadi tanpa latihan. Gerakan dasar fundamental dibagi atas: gerakan lokomotor, gerakan nonlokomotor, dan gerakan manipulatif (Dauer dan Pangrazzi, 1986). Gerakan lokomotor adalah gerakan yang menyebabkan terjadinya perpindahan tempat, seperti: jalan, lari dan lompat. Gerakan nonlokomotor yang menyebabkan pelakunya tidak berpindah tempat, seperti: gerak menekuk, menarik, mendorong dan meliukkan badan. Gerakan manipulatif sebagai gerakan yang mempermainkan obyek tertentu sebagai media yang biasanya menggunakan alat, seperti: gerak melempar, menangkap, menendang dan memukul. Pendekatan yang merupakan suatu usaha dalam aktivitas kajian atau interaksi, relasi dalam suasana tertentu dengan individu atau kelompok melalui penggunaan metode-metode tertentu secara efektif. Pendekatan pembelajaran berarti sebagai proses penyajian isi pembelajaran kepada siswa untuk mencapai kompetensi tertentu dengan suatu metode atau beberapa metode pilihan (Kuswana, 2003). Dengan
Avi
Suhermnn/PK-SMIPI
139
demikian pendekatan dapat dikatakan lebih luas dari metode, dan lebih konprehensif dalam kajian, akan tetapi lebih aplikatif dalam praktek baik disadari maupun tidak. Pendekatan pembelajaran pendidikan jasmani bagi siswa Sekolah Dasar merupakan pendekatan yang lebih didasarkan pada unsur kesenangan dan kegembiraan siswa. Desain proses pembelajaran lebih banyak memberikan suasana riang gembira jauh dari sifat formalitas dan monoton dalam melakukan aktivitas (Cholik Mutohir, 2000). Pendekatan pendidikan olahraga (konvensional) dalam konteks pembelajaran semata-mata digunakan sebagai media sosialisasi nilai-nilai pendidikan misalnya kepemimpinan, ketaatan, sportif, bertanggungjawab, dan kerjasama. Sungguhpun demikian dimungkinkan siswa berpartisipasi dalam cabang olahraga yang diminatinya secara lebih optimal Gambaran umum tentang pembelajaran yang bermakna dalam pendidikan jasmani ditandai oleh gurunya yang selalu aktif dan siswanya secara konsisten aktif belajar. Dalam tatanan pembelajaran yang efektif dan efisien, siswa tidak hanya bekerja sendirian melainkan
adanya
keterlibatan
guru sebagai
fasilitator
pembelajaran sehingga waktu yang tersedia dijalani dengan produktif. Jalannya aktivitas belajar nampak sibuk, aktif dan menantang bagi siswa akan tetapi masih berada antara tingkat perkembangan dan kemampuan siswanya. Pada akhirnya siswa dapat menerima pesan dari guru dengan baik dan dapat melakukan berlatih secara indipenden mempelajari sesuatu sesuai dengan tujuan pembelajaran. Graham (1992) menggambarkan karakteristik efektivitas mengajar pendidikan jasmani yang meliputi: 1) waktu, kesempatan belajar, dan materi yang diberikan, 2) harapan dan peranan, 3) pengelolaan kelas dan keterlibatan siswa, 4) tugas belajar yang
140
meaningful dan tingkat keberhasilan yang tinggi, 5) kelancaran dan momentum, 6) mengajar secara aktif, 7) pengawasan yang aktif, 8) tanggungjawab, 9) kejelasan, antusias, dan kehangatan. Konsep dasar model pembelajaran pendidikan jasmani mengarah kepada prinsip dasar kebermaknaan melaksanakan tugas sehari-hari yang berorientasi pada proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas jasmani yang direncanakan secara sistematis dan meliputi peningkatan individu secara organik, neuromuskuler, perseptual, kognitif, sosial dan emosional (Abdulkadir, 1992). Keterkaitan konsepkonsep tersebut dalam hubungannya dengan pengembangan model pembelajaran pendidikan jasmani yang bermakna tergambar sebagai berikut: Model pembelajaran pendidikan jasmani yang diperlukan dalam kerangka mengembangkan keterampilan dasar siswa
secara umum melalui pendekatan
bermain yang mengandung unsur materi yang berbentuk tema keterampilan teknikteknik dasar
yang telah dimodifikasi sesuai dengan kondisi atau karakteristik
perkembangan fisik dan psikis anak didik. Selanjutnya memberikan pengayaan gerak dasar dominan yang disenangi serta mengenalkan teknik dasar kecabangan olahraga (Cholik Mutohir, 2000). Model pembelajaran kuantum dalam pendidikan jasmani sebagai perubahan dari keadaan lama yang semula menjadi keadaan baru seperti bentuk, fungsi, cara penggunaan dan manfaat tanpa sepenuhnya menghilangkan karakteristik semula. Tujuan memodifikasi dalam mata pelajaran pendidikan jasmani adalah agar: (1) Siswa memperoleh kesenangan dalam mengikuti pelajaran, (2) Meningkatkan kemungkinan keberhasilan dalam berprestasi, dan (3) siswa dapat melakukan pola
141
belajar secara benar (Rusli Lutan, 1996). Dengan demikian, komponen yang dapat dimodifikasi meliputi ukuran, berat, peraturan, dan waktu. Memilih model pembelajaran yang sesuai dengan tujuan yang diinginkan dijelaskan Mosston (1994) sebagai berikut: 1) perhatikan interaksi antara guru-siswatujuan yang merefleksikan perilaku dalam suatu proses mencapai tujuan, 2) perhatikan rangkaian tahap yang membentuk satu proses pembelajaran, 3) rumuskan tujuan setiap tahap (tugas apa yang harus dilakukan siswa, standar kompetensi apa yang harus dicapai, tingkah laku apa yang harus dikembangkan siswa, dan tingkah laku mana yang harus dinilai), 4) tentukan apakah tugas-tugas tersebut bersifat reproduksi, 5) tentukan perilaku apa yang dikembangkan atau apa perilaku siswa yang dievaluasi, 6) bandingkan antara tujuan pengajaran yang dikehendaki dengan tujuan yang telah tercapai Kurikulum pendidikan jasmani bercirikan bahwa muatan pendidikan jasmani tidak hanya ditekankan pada penguasaan keterampilan motorik semata, akan tetapi pada pengembangan nilai-nilai kepribadian peserta didik, sehingga sebaiknya kurikulum pendidikan jasmani bersifat integratif dan eklektif dengan tidak menekankan pada satu model tertentu. Dengan demikian pendekatan pembelajaran yang digunakan memberikan peluang yang selaras kepada siswa untuk berekpslorasi sesuai dengan minat dan bakat, seimbang kebutuhan fisikal dan mental, verbal ski]] dan nonverbal skill, dan integrasi dan emosi (AAPHERD, 1999). Materi pembelajaran pendidikan jasmani di Sekolah Dasar pada dasarnya tidak bisa lepas dari gerakan-gerakan dasar fundamental yang merupakan pola gerakan yang menjadi dasar untuk ketangkasan gerak yang lebih komplek. Dauer dan
142
Pangrazzi (1986), berpendapat bahwa gerakan-gerakan dasar fundamental dibagi ke dalam tiga rumpun yaitu gerakan lokomotor, gerakan nonlokomotor, dan gerakan manipulatif. Realisasinya gerakan-gerakan dasar fundamental tersebut dalam kurikulum pendidikan jasmani Sekolah Dasar dikemas dalam bentuk label yang meliputi atletik, senam, permainan dan kemampuan dasar jasmani yang disajikan dalam kemasan permainan dengan peralatan, ukuran lapangan, dan peraturan permainan tidak harus mengarah pada peraturan baku seperti cabang olahraga tetapi disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan siswa. Konsep tersebut tidak berarti bahwa
pembelajaran
pendidikan jasmani
melalaikan
latihan
peningkatan
keterampilan motorik, namun yang harus diperhatikan peningkatan kebermaknaan Pembelajaran pendidikan jasmani merupakan kebutuhan yang mendesak untuk segera direalisasikan. Model pembelajaran pendidikan jasmani yang akan dikembangkan peneliti adalah model kuantum yang berbasis kompetensi yang memerlukan keterampilan gerak yang efisien. Artinya seorang siswa yang masih duduk di Sekolah Dasar yang memerlukan pembelajaran secara bertahap mulai tingkat gerakan yang masih rendah menuju ke tingkat gerakan paling kompleks. Karena itu, dalam pelaksanaan pembelajaran pendidikan jasmani harus dimulai dari pemberian pola gerakan dasar, aktivitas ritmik dan berbagai macam permainan anak-anak. Melalui belajar gerakan yang dilakukan berulang-ulang kemungkinan besar tingkat efisiensi dalam melakukan gerakan dapat tercapai.
143
Seseorang dikategorikan pemula dalam keterampilan gerak, bila ia meniru dan belajar suatu gerakan baru. Namun jika ia dapat melakukan gerakan-gerakan yang baru, dan dapat mengatasi kesulitan-kesulitan dengan mudah berarti ia telah memiliki
keterampilan
tingkat
menengah.
Keterampilan
tingkat
lanjutan
dikategorikan kepada mereka yang mampu melakukan gerakan-gerakan tersebut dengan mudah. Untuk mencapai tingkat keterampilan yang sempurna latihan-latihan perlu dilakukan secara bertahap dimulai dari gerakan dasar. Hal ini dijelaskan oleh Laban dan Laurence (1994) dalam Mahendra dan Mamun (1998) bahwa tingkat keterampilan dasar meliputi: gerakan dasar tingkat pemula, tingkat intermediate, tingkat advance, dan tingkat sempurna. Pendekatan pembelajaran pendidikan jasmani yang sesuai dengan karakteristik siswa Sekolah Dasar yang masih memiliki tingkat keterampilan dasar dan pemula sebaiknya merupakan adaptasi terhadap keterampilan yang digabungkan dan dibangun di atas efisiensi keterampilan dasar dan digabungkan dengan pengaturan dalam penerapannya, sehingga lebih menekankan pada penyediaan kesempatan kepada siswa seluas-luasnya untuk berpartisipasi aktif dalam setiap aktivitas sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Dalam konteks ini, kegiatan yang diciptakan secara bervariasi berdasarkan prinsip maju berkelanjutan, bergerak dan bentuk kegiatan yang sederhana menuju pada yang lebih kompleks. Sesuai dengan tahapan pembelajaran gerak yang dijelaskan oleh Fitts and Posner (1967), bahwa tiga tahapan belajar yang dapat diidentifikasi, yaitu 1) tahapan verbal kognitif, 2) tahapan motorik, dan 3) tahap otonomi.
144
Salah satu pendekatan pembelajaran pendidikan jasmani yang akan dikembangkan saat ini berupa model kuantum yang berbasis kompetensi yang dapat dilakukan melalui memodifikasi pada alat, ukuran lapangan, aturan permainan dan teknik pelaksanaan. Berbeda dengan pendekatan
pembelajaran yang biasa
digunakan guru pendidikan jasmani di Sekolah Dasar yaitu model pendidikan olahraga (tradisional) yang berorientasi pada pendekatan kecabangan olahraga dalam konteks pendidikan semata-mata hanya digunakan sebagai media sosialisasi nilai-nilai pendidikan (misalnya sportif,
bertanggung jawab, disiplin dan
bekerjasama). Suasana pendekatan olahraga ini akan terlihat diterapkan pada semua jenjang pendidikan, baik Pendidikan Dasar maupun jenjang menengah atas. Pendekatan seperti ini jelas akan sulit diaplikasikan di Sekolah Dasar, mengingat kemampuan siswa masih bertaraf rendah, sehingga harus ada pendekatan yang mampu mengatasi kelemahan model pembelajaran yang ada selama ini. Model pembelajaran kuantum yang dikembangkan akan lebih sesuai dengan karakteristik siswa Sekolah Dasar. Dipilihnya model ini karena konsep kompetensi menuntut kemampuan siswa sesuai dengan tarap perkembangan dan pertumbuhan yang dimilikinya. Karena itu konsep model pembelajaran kuantum pendidikan jasmani pada dasarnya relevan dengan prinsip Developmentaly Apropriate Practice (DAP) yang berorientasi pada pembelajaran individual (individualized instructional approach). Model ini dirancang untuk membantu anak dalam mengembangkan suatu pengertian yang lebih baik tentang diri dan lingkungannya serta hubungannya dengan olahraga yang digemari dan media yang digunakannya.
Ani CuAA'wnii/Pr, f t/r im
145
Model pembelajaran kuantum dalam pendidikan jasmani merupakan model pembelajaran yang menekankan kepada pengalaman belajar yang menyenangkan dan berhasil guna bagi siswa maka dari itu pemilihan strategi dan media pembelajaran yang bervareasi menjadi ciri utama model ini (Oemar Hamalik,2003). Karakteristik model ini dalam nuansa pendidikan jasmani yang dilakukan untuk siswa Sekolah Dasar sangat sesuai dengan tuntutan tujuan pembelajaran pendidikan jasmani, yaitu: (1) pembentukan gerak, (2) pembentukan prestasi, (3) pembentukan sosial, dan (4) pertumbuhan badan (Abdulkadir, 1992:8). Dengan demikian melalui pendidikan jasmani, guru berupaya menyiapkan anak didik agar dapat hidup bermasyarakat dan terampil serta berdiri sendiri tidak membebani orang lain. Karena itu tepat sekali dikatakan bahwa pendidikan jasmani merupakan suatu bagian dari pendidikan keseluruhan yang mengutamakan aktivitas jasmani, pertumbuhan dan pengembangan mental, sosial, dan emosional Langkah-langkah strategi pembelajaran kuantum dalan pendidikan jasmani adalah sebagai berikut: 1. Tumbuhkan
minat dengan selalu mengarahkan siswa terhadap pemahaman
tentang apa manfaatnya bagiku. Belajar pendidikan jasmani pada awalnya dimulai dari melakukan kegiatan memahami teknik, taktik, strategi dan evaluasi terus menerus dipelajari melalui fase kognitif yaitu memahami alur gerak yang akan dilakukan, sehingga ada gambaran apa yang akan dilakukan. 2. Alami, buatlah pengalaman umum yang dapat dimengerti oleh semua siswa melakukan aktivitas gerak mulai gerak yang sederhana sampai pada gerak yang kompleks. Tujuannya agar siswa mengalami langsung bagaimana gerak yang mesti dilakukan sehingga dapat merasakan setiap jenjang kesulitan gerak.
146
3. Namai, setiap pengajar mesti menyediakan kata kunci, konsep, model dan strategi apa yang tepat yang dilakukan dalam pembelajaran pendidikan jasmani untuk siswa Sekolah Dasar. 4. Demonstrasikan, sebaiknya guru menyediakan kesempatan bagi anak didik untuk menunjukkan keterampilannya. Keterampilan yang dilakukan oleh anak didik berupa unjuk kerja berbentuk alur gerak yang bebas sesuai dengan kemampuan dan karakter masing-masing. 5. Ulangi, guru harus menunjukkan cara mengulangi materi gerakan yang dilakukan oleh siswa, dan menegaskan "aku tahu bahwa aku memang tahu". Mengulang-ngulang materi dimaksudkan agar belajar dan berlatih gerakan yang baru menjadi sempurna untuk memperoleh gerakan secara otomatis yakni melakukannya tanpa dipikir-pikir lagi. 6. Rayakan, guru harus memberikan pengakuan terhadap setiap penyelesaian tugas, partisipasi yang tinggi dan pemerolehan pengetahuan dan keterampilan yang ditunjukan dalam belajar dan berlatih siswa. Guru tidak segan-segan memberikan pujian dan penghargaan ketika siswa menunjukkan hasil belajar yang memuaskan, sehingga akan membangkitkan motivasi belajar yang tinggi pada siswa. I.
Kompetensi Pendidikan Jasmani di Sekolah Dasar
Secara
umum,
kompetensi
dapat
didifinisikan
sebagai
sekumpulan
pengetahuan, keterampilan, sikap,- dan nilai sebagai kinerja yang berpengaruh terhadap peran, perbuatan, prestasi, serta pekerjaan seseorang. Dengan demikian, kompetensi dapat diukur dengan standar umum serta dapat ditingkatkan melalui pendidikan. Menurut Spencer dan Spencer (1993) dalam Yulaelawati (2004) kompetensi merupakan karakteristik mendasar seseorang yang be±ubungan timbal balik dengan suatu kriteria efektif dan atau kecakapan terbaik seseorang dalam pekerjaan atau keadaan.
147
Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang diwujudkan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak (Depdiknas, 2004). Sedangkan kompetensi atau keterampilan hidup dinyatakan dalam kecakapan, kebisaan, keterampilan, kegiatan, perbuatan atau performansi yang dapat diamati malahan dapat diukur. Suatu kompetensi apalagi kalau kompetensi tersebut berkenaan dengan tahap tinggi minimal aspek yaitu: pengetahuan, keterampilan, proses berfikir, penyesuaian diri, sikap dan nilai-nilai (Sukmadinata, 2004). Kompetensi dijabarkan melalui sejumlah hasil belajar dan indikatornya dapat diukur dan diamati. Kompetensi juga dapat dicapai melalui pengalaman belajar yang dikaitkan dengan bahan kajian dan bahan pelajaran secara kontekstual. Marunis Yamin (2005) mengartikan bahwa kompetensi merupakan kemampuan dasar yang dapat dilakukan oleh para siswa pada tahap pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Kemampuan dasar akan dijadikan sebagai landasan melakukan proses pembelajaran dan penilaian siswa. Kompetensi merupakan sasaran, target, standar yang telah digariskan oleh Benyamin S. Bloom dan Gagne dalam teori-teorinya terdahulu. Dalam menyampaikan materi pelajaran kepada siswa penekanannya adalah tercapainya tujuan pembelajaran. Cakupan materi yang terkandung pada setiap kawasan kompetensi cukup luas karena itu diperjelas dengan adanya indikatorindikator operasional. Standar kompetensi dinyatakan dengan kata-kata operasional, setiap standar kompetensi diuraikan menjadi tiga sampai enam kemampuan dasar, ini diurai lagi menjadi beberapa materi pembelajaran, ditetapkan sekurangkurangnya satu indikator yang cakupan kemampuan dasar lebih dipersempit. Hal ini
148
untuk mempermudah pencapaian sasaran pembelajaran pada setiap kali kegiatan belajar berlangsung. Secara mendasar dalam KBK antara kompetensi dasar dan standar kompetensi memiliki perbedaan yang prinsip yaitu jika kompetensi dasar mengharuskan siswa mencapai batas minimal kemampuan bagian tertentu dari mata pelajaran Penjas, maka standar kompetensi mewajibkan siswa menguasai mata pelajaran Penjas secara keseluruhan. Ini berarti adanya hubungan yang erat antara tujuan, materi dan kegiatan pembelajaran, sehingga alangkah bijaknya seorang guru Penjas dalam menyajikan bahan pelajaran Penjas menggunakan sumber belajar dari lingkungan kehidupan anak didik. Seperti dalam kegiatan pembelajaran luar kelas (outdoor education) berbentuk penjelajahan terbatas atau lebih luas sesuai waktu yang tersedia. Bahan kajian merupakan penjabaran dari standar isi yang mencakup kajian yang dibakukan dalam bentuk kompetensi. Sedangkan mata pelajaran merupakan seperangkat kompetensi dasar yang dibakukan dan subtansi pelajaran mata pelajaran tertentu per satuan pendidikan dan per kelas selama masa persekolahan. Mata pelajaran memuat sejumlah kompetensi dasar yang harus dicapai oleh siswa per kelas dan persatuan pendidikan sesuai dengan tingkatan pencapaian hasil belajarnya. Tolok ukur kompetensi di kemukakan dalam indikator-indikator. Kompetensi lulusan Sekolah Dasar menurut Depdiknas (2004) adalah sebagai berikut: (1) Mengenali dan membiasakan berperilaku sesuai dengan ajaran agama yang didiyakini, (2) Mengenali dan menjalankan hak dan kewajiban diri, beretos kerja, dan peduli terhadap lingkungan, (3) Berfikir secara logis, kritis, dan kreatif
serta berkomunikasi melalui berbagai media, (4) Menyenangi keindahan, (5) Membiasakan hidup bersih, bugar dan sehat, (6) Memiliki rasa cinta dan bangga terhadap bangsa dan tanah air. Berdasarkan kompetensi lulusan tersebut disusun kegiatan pembelajaran sebagai bentuk konkrit implementasi kurikulum untuk membentuk watak, peradaban, dan meningkatkan mutu kehidupan peserta didik. Kegiatan pembelajaran berusaha memberdayakan semua potensi peserta didik untuk menguasai sejumlah kompetensi
yang diharapkan.
Pemberdayaan diarahkan
untuk
pencapaian
kompetensi dan perilaku khusus supaya setiap individu anak didik mampu menjadi pembelajar sepanjang hayat dan diwujudkan masyarakat belajar. Kegiatan pembelajaran mengembangkan kemampuan untuk mengetahui, memahami, melakukan sesuatu, hidup dalam kebersamaan, dan mengaktualisasikan diri. Dengan demikian, Depdiknas dalam menyusun kerangka dasar kurikulum 2004 menganjurkan kiat-kiat kegiatan pembelajaran perlu memperhatikan berikut ini: 1) berpusat pada anak didik, 2) mengembangkan kreativitas peserta didik, 3) mencintakan kondisi menyenangkan dan menantang, 4) bermuatan nilai, etika, estetika, logika, dan kinestenka, dan 5) menyediakan pengalaman belajar yang beragam. Berpatokan pada rambu-rambu pembelajaran tersebut, maka pelaksanaan kegiatan pembelajaran di Sekolah Dasar mempertimbangkan untuk menerapkan berbagai strategi dan metode pembelajaran yang menyenangkan, konstektual, efektif,
efisien,
mengembangkan
dan bermakna. dan
Kegiatan pembelajaranpun harus
meningkatkan
kompetensi,
kreativitas,
mampu
kemandirian,
150
kerjasama, solidaritas, kepemimpinan, empati, toleransi dan kecakapan hidup peserta didik guna membentuk watak serta pada akhirnya meningkatkan peradaban dan martabat bangsa. Berdasarkan pada kerangka dasar kurikulum 2004, maka ruang lingkup program pembelajaran pendidikan jasmani dan standar kompetensi kelas 6 Sekolah Dasar meliputi hal-hal sebagai berikut. 1. Permainan dan Olahraga berisikan kegiatan dari berbagai jenis permainan dan olahraga, baik yang terstruktur maupun tidak dilaksanakan secara perorangan atau beregu termasuk pengembangan nilai-nilai yang terkandung di dalam permainan seperti pengembangan kerjasama, sportivitas, kejujuran, berfikir kritis dan mengikuti peraturan yang berlaku. Adapun standar kompetensi permainan dan olahraga adalah mengkombinasikan berbagai unsur dasar keterampilan sepak bola, bola basket, kasti/kipers/rounders/soft ball, atletik, dan permainan net (perorangan/berpasangan) dengan kontrol yang meningkat dan memiliki pengetahuan/konsep serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya 2. Aktivitas pengembangan berisikan kegiatan-kegiatan yang berfungsi untuk membentuk postur tubuh yang ideal, pengembangan komponen kebugaran jasmani, serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, seperti latihan kekuatan, daya tahan, kelenturan, keseimbangan, dan kelentukan. Bentuk-bentuk latihan yang dilakukan adalah senam kesegaran jasmani, senam aerobik, puli up, sit up, back up, push up, dan lain-lain. Standar kompetensi dari aktivitas pengembangan adalah merencanakan dan melakukan program kebugaran jasmani individu dan memiliki pengetahuan/konsep serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
151
3. Aktivitas uji diri berisikan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan ketangkasan seperti; senam lantai, senam alat dan aktivitas fisik lainnya yang bertujuan untuk melatih keberanian dan kapasitas diri. Standar kompetensi uji diri/senam yaitu melakukan latihan ketangkasan dengan baik dan memiliki pengetahuan/konsep serta nilai-nilai yang terkandung didalamnya. 4. Aktivitas ritmik berisikan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan berbagai gerak irama, seperti gerak irama bebas, gerak irama modifikasi dan gerak irama menetap (SKJ), senam aerobik dan nilai-nilai yang terkandung dalam aktivitas. Standar kompetensi aktivitas ritmik adalah mencintakan pola gerak ritmik secara berkelompok/beregu dan memiliki pengetahuan/konsep serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. 5. Aktivitas air berisikan kegiatan-kegiatan di air, seperti permainan air, berbagai gaya renang dan keselamatan di air serta etika di kolam renang. Standar kompetensi kegiatan aktivitas air adalah melakukan keterampilan dasar salah satu gaya renang dengan lancar serta kontrol yang baik dan memiliki pengetahuan serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. 6. Pendidikan luar kelas (outdoor education) berisikan kegiatan-kegiatan di luar kelas dan kegiatan alam terbuka/bebas lainnya, seperti bermain di lingkungan sekolah, bermain ke taman-taman, bermain di sela-sela perkampungan, lahan pertanian/nelayan, berkemah, petualangan (mendaki perbukitan/gunung dan menelusuri aliran sungai dan lain-lain), serta unsur perilaku yang berkaitan dengan kreativitas di alam bebas. Standar kompetensi aktivitas luar sekolah adalah melakukan keterampilan dasar berkemah dan penjelajahan di alam bebas
152
berdasarkan pengetahuan dan memiliki sikap serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. J.
Kerangka Model Pembelajaran Kuantum Penjas Berbasis K o m p e t e n s i yang Dikembangkan
Kerangka pengembangan model pembelajaran kuantum pendidikan jasmani berbasis kompetensi berdasarkan pada saran-saran yang dikemukakan oleh Seels dan Richey (2004) tentang teknologi pembelajaran yang memiliki langkah-langkah pembelajaran yang sistimatis dan metodis. Sistimatis dalam arti menggunakan langkah-langkah pembelajaran yang teratur sesuai dengan kebutuhan siswa dalam pembelajaran pendidikan jasmani di Sekolah Dasar. Metodis dimaksudkan dalam pembelajaran pendidikan jasmani, seorang guru menyajikan bahan pembelajaran dimulai dari yang mudah kemudian berjenjang menuju pada yang sulit. Teknologi pembelajaran memiliki kawasan yang terdiri dari: desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, dan penilaian baik secara teoritis maupun praktek tentang proses dan sumber belajar (Seels dan Richey, 2004). Berdasarkan pengembangan model pembelajaran yang mengacu pada teknologi pembelajaran tersebut, maka kajian setiap kawasan secara rinci sebagai berikut: 1. Desain adalah proses untuk menentukan kondisi belajar, bertujuan untuk menciptakan strategi dan produk pada tingkat makro seperti program, sedangkan pada tingkat mikro seperti pelajaran dan modul. Dalam konteks pembelajaran desain didefinisikan sebagai proses dan sistem. Desain sebagai proses yaitu pengembangan sistimatika pembelajaran yang spesifik dengan menggunakan teori pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
Desain sistem pembelajaran adalah
153
prosedur yang terorganisasi yang meliputi langkah - langkah penganalisaan, perancangan, pengembangan, pengaplikasian, dan penilaian pembelajaran (Oemar Hamalik. 2006). Dalam pembelajaran pendidikan jasmani penganalisaan adalah proses perumusan tujuan apa yang akan dipelajari, sedangkan perancangan adalah proses penjabaran bagaimana caranya tujuan tersebut akan dicapai. Pengembangan adalah proses pembuatan atau produksi bahan - bahan pembelajaran yang akan sisajikan dalam Penjas, sedangkan pelaksanaan adalah pemanfaatan bahan dan strategi yang dijalankan dalam pembelajaran Penjas. Penilaian adalah proses penentuan ketepatan pembelajaran Penjas sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan siswa Sekolah Dasar. Desain pesan model pembelajaran kuantum Penjas merupakan suatu proses membuat rancangan pesan pembelajaran yang meliputi perencanaan untuk merekayasa bentuk fisik dari pesan Desain pesan berhubungan dengan penjabaran bahan belajar yang harus disesuaikan dengan prinsip - prinsip belajar seperti perinsip perhatian, apersepsi, daya serap untuk menghasilkan proses komunikasi antar komunikator dengan komunikan. Dalam pembelajaran Penjas pesan dirancang dan dibuat dalam bentuk media pembelajaran seperti diperkenalkan beragam bentuk bola yang dimodifikasi baik itu yang terbuat dari kertas, plastik, sabut kelapa, dan busa. Desain pesan ini juga akan berhubungan dengan apakah materi tersebut merupakan pembentukan konsep atau sikap, pengembangan keterampilan, atau bentuk hafalan. Strategi
pembelajaran
merupakan
spesifikasi
penyeleksian
serta
mengurutkan langkah - langkah peristiwa belajar dalam suatu proses pembelajaran.
154
Hal ini dikemukakan oleh Oemar Hamalik (2001:201), bahwa strategi pembelajaran adalah keseluruhan metode dan prosedur yang menitikberatkan pada kegiatan siswa dalam proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan tertentu.
Strategi
pembelajaran pendidikan jasmani dalam implementasinya akan berbeda setiap waktu bergantung pada situasi dan kondisi seperti kebutuhan belajar siswa, karakteristik, materi yang akan disampaikan, dan jenis belajar yang diinginkan. Setiap strategi pembelajaran pendidikan jasmani memiliki karakteristik dan keunggulan tersendiri dalam implementasinya, penentuan strategi pembelajaran akan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi belajar siswa. Misalnya dalam pembelajaran individual strategi pembelajaran yang tepat digunakan dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani adalah penugasan pada siswa secara individu atau kelompok. Diharapkan melalui strategi pembelajaran tersebut mempelajari suatu materi secara individu atau melalui arahan dan bimbingan guru. 2.
Kawasan Pengembangan adalah proses penterjemahan spesifikasi desain ke
dalam bentuk fisik. Dalam hal ini pengembangan berhubungan erat dengan pengembangan bervariasinya teknologi dalam pembelajaran yang tidak lepas dari kajian teori dan praktek yang berhubungan dengan belajar. Dalam kawasan pengembangan terdapat hubungan yang kompleks antara teknologi pembelajaran dan teori yang mendorong pada pembuatan desain pesan maupun strategi pembelajaran karena pada dasarnya kawasan pengembangan dapat diartikan sebagai pesan yang didorong oleh isi, strategi pembelajaran yang didorong oleh teori, dan manifestasi fisik dari teknologi sebagai perangkat keras perangkat lunak, dan bahan pembelajaran. Kawasan pengembangan mencakup empat aspek yang meliputi: (1)
155
Teknologi cetak adalah cara untuk memproduksi dan menyampaikan bahan seperti buku dan bahan visual statis melalui proses percetakan mekanis atau fotografis; (2) Teknologi audiovisual merupakan teknik memproduksi dan menyampaikan bahan dengan menggunakan peralatan mekanis dan elektronik untuk menyampaikan pesan individual;
(3)
Teknologi
berbasis
komputer
cara
memproduksi
dengan
menggunakan perangkat yang bersumber pada mikroprosesor untuk menyampaikan pesannya; (4) Teknologi terpadu merupakan cara untuk memproduksi dan menyampaikan bahan dengan memadukan beberapa jenis media yang dikendalikan komputer. Teknologi cetak yang akan dikembangkan dalam pengembangan model pembelajaran kuantum pendidikan jasmani ini berupa buku paket yang bersumber dari kurikulum Penjas tahun 2004 untuk sekolah dasar sebagai bahan ajar utama. Sedangkan sumber penunjang berupa paket-paket modul yang disusun berdasarkan hasil Musyawarah Guru Bidang Studi (MGBS) Penjas sekabupaten Sumedang. Dalam pengembangan model pembelajaran kuantum Penjas dalam bentuk tercetak menggunakan sumber belajar yang disusun berdasarkan kompetensi Penjas siswa di sekolah dasar. 3. Kawasan Pemanfaatan adalah aktivitas menggunakan proses dan sumber untuk belajar. Bagi seorang guru Penjas melaksanakan pemanfaatan harus secara sadar mengetahui bagaimana menyesuaikan antara tujuan, karakteristik siswa, materi yang akan diberikan, dan strategi pembelajaran yang akan digunakan. Hal ini dilakukan supaya siswa berinteraksi dengan bahan dan kegiatan yang dipilih, sehingga tujuan dapat tercapai. Kawasan pemanfaatan memiliki empat unsur yang selalu
156
mempengaruhinya meliputi: pemanfaatan media, difusi inovasi, implementasi dan institusional. Pemanfaatan media adalah penggunaan sumber-sumber untuk belajar yang dilakukan secara sistimatis. Ragam media yang berada di sekolah adalah media by design dan media by utilization (Oemar Hamalik, 2006). Model pembelajaran kuantum Penjas menggunakan media by design adalah media yang dirancang khusus sesuai dengan kebutuhan pembelajaran guna mencapai tujuan, misalkan media pembelajaran modifikasi peralatan Penjas, tape recorder, casete video, dan televisi edukasi. Media by utilization dalam pembelajaran Penjas adalah menggunakan media yang sudah ada dimanfaatkan oleh sekolah guna menunjang pelaksanaan proses pembelajran, misalkan media di lingkungan sekitar sekolah (Kantin, UKS, Museum). Difusi dan inovasi merupakan suatu proses berkomunikasi melalui strategi yang terencana dengan tujuan untuk diadopsi. Tahap pertama dalam proses ini adalah membangkitkan kesadaran melalui kegiatan desiminasi informasi. Proses komunikasi dalam pembelajaran Penjas sangat penting, karena tanpa proses komunikasi maka difusi inovasi tersebut tidak berarti apa-apa. Artinya ketika proses pembelajaran Penjas berlangsung saling berkomunikasi antar siswa, siswa dengan guru, siswa dengan lingkungan masyarakat. Implementasi adalah strategi pembelajaran dalam keadaan yang sesungguhnya, sedangkan pelembagaan merupakan penggunaan rutin dan pelestarian dari inovasi pembelajaran dalam suatu struktur atau budaya organisasi. Tujuan implementasi adalah menjamin penggunaan yang benar oleh individu dalam organisasi, sedangkan tujuan dari pelembagaan
157
untuk mengintegrasikan inovasi dalam struktur dan kehidupan organisasi (Seels dan Richey, 1994). Kebijakan dan regulasi suatu aturan dan tindakan dari masyarakat yang mempengaruhi difusi dan penggunaan teknologi pembelajaran Kebijakan dan regulasi biasanya dihambat oleh permasalahan etika dan ekonomi. Keduanya timbul sebagai akibat dari tindakan yang dilakukan oleh individu atau kelompok. 4. Kawasan Pengelolaan merupakan bagian integral dalam bidang kajian teknologi pembelajaran
yang meliputi
perencanaan,
pengorganisasian,
pengendalian teknologi pembelajaran pengkoordinasian,
dan
supervisi.
melalui Kawasan
pengelolaan terdiri dari: pengelolaan proyek, pengelolaan sumber, pengelolaan sistim penyampaian, dan pengelolaan informasi. Pengelolaan proyek dalam pembelajaran Penjas meliputi perencanaan, momtoring,
pengendalian,
dan pengembangan.
Perencanaan yang disusun
berdasarkan strategi model pembelajaran kuantum yang meliputi tumbuhkan, alami, namai, demontrasikan, ulangi dan rayakan. Monitoring dalam pengelolan proyek harus melakukan kegiatan seperti menyusun anggaran, membentuk sistem pemantauan informasi dan menilai kemajuan pembelajaran. Pengelolaan sistem penyampaian meliputi perencanaan, pemantauan, pengendalian bagaimana distribusi bahan pembelajaran diorganisasikan, hal itu merupakan gabungan media dan cara penggunaan yang dipakai dalam menyajikan informasi pembelajaran kepada siswa. Pengelolaan informasi dalam pembelajaran Penjas meliputi aspek-aspek perencanaan, pemantauan, dan pengendalian cara penyimpanan, pengiriman atau pemrosesan informasi dalam rangka tersedianya sumber belajar. Pengelolaan informasi dalam pembelajaran Penjas penting untuk memberikan akses dan
158
kejelasan bagi interaksi guru dan siswa bagaimana pengelolaan pembelajaran agar mencapai tujuan. Pentingnya pengelolaan informasi bagi guru dan siswa karena bahan, sumber, dan metode yang digunakan sebagai bahan untuk mengadakan evaluasi kurikulum dan aplikasi desain pembelajaran yang dikembangkan. 5. Kawasan Evaluasi adalah proses penentuan memadai tidaknya pembelajaran bahkan evaluasi merupakan proses penentuan pada tingkatan mana seseorang berubah perilakunya. Unsur-unsur yang terkait dalam kawasan evaluasi, yaitu: analisis masalah, pengukuran acuan patokan, penilaian formatif dan sumatif (Tyler dalam Oemar Hamalik, 2006). Analisis masalah dalam model pembelajaran kuantum Penjas mencakup cara penentuan sifat dan parameter masalah yang dihadapi dalam berbagai materi pembelajaran Penjas sesuai dengan kurikulum berbasis kompetensi dengan menggunakan strategi pengumpulan informasi dan pengambilan keputusan. Kegiatan penilaian meliputi identifikasi kebutuhan, penentuan sejauhmana masalah dapat diklasifikasikan berdasarkan karakteristik siswa, penentuan tujuan dan skala perioritas. Analisis kebutuhan diadakan bukan untuk melaksanakan penilaian yang berorientasi agar model pembelajaran kuantum Penjas ini tetap dipertahankan, melainkan untuk perencanaan ke depan yang lebih memadai. Penilaian acuan patokan
meliputi
teknik-teknik untuk menentukan
kemampuan pembelajar dalam menguasai materi pembelajaran Penjas yang telah ditentukan sebelumnya. Penilaian acuan patokan memberikan informasi kepada siswa seberapa jauh mereka dapat mencapai sasaran sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Penggunaan PAP (Penilaian Acuan Patokan) membawa implikasi
159
tertentu terhadap pelaksanaan pembelajaran. Penilaian yang menggunakan patokan lebih menuntut keterpaduan antara pelaksanaan program pengajaran dan penilaian, karena penilaian yang menggunakan PAP lebih didasarkan pada penguasaan materi atau penguasaan kompetensi sesuai dengan tujuan instruksional, sehingga guru harus hati-hati dalam mengembangkan kompetensi-kompetensi atau penguasaan materi yang merupakan prasyarat untuk mengikuti program berikutnya. Penilaian
formatif berkaitan
dengan
pengumpulan informasi
tentang
kecukupan apakah bahan pembelajaran yang diberikan dapat diserap oleh siswa atau belum. Hasil dari penilaian sumatif dapat dijadikan bahan sebagai penggunaan informasi bersifat
menyeluruh bagi
pengembangan program
pembelajaran
selanjurnya. Jika penilaian formatif dilaksanakan pada saat perbaikan program untuk kepentingan, perbaikan kinerja guru pendidikan jasmani di sekolah, maka penilaian sumatif berhubungan dengan pengumpulan informasi tentang cukup tidaknya untuk mengambil keputusan selanjutnya dalam hal pemanfaatan. Oleh karena itu penilaian sumatif dilaksanakan selesai suatu program pembelajaran dan bagi kepentingan para pengambil keputusan. Kerangka model pembelajaran kuantum Penjas berbasis kompetensi merupakan perpaduan antara konsep teknologi pembelajaran yang disarankan Seels dan Richey (1994), yang meliputi rancangan, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, dan evaluasi dengan kerangka perancangan pembelajaran model kuantum yang meliputi tumbuhkan, alami, namai, demonstrasikan, ulangi, dan rayakan
(Bobbi
DePorter,
1999).
Perpaduan antara rancangan teknologi
pembelajaran dengan rancangan model pembelajaran kuantum melahirkan sebuah
160
model pembelajaran kuantum pendidikan jasmani berbasis kompetensi bertujuan tidak
semata-mata
menterjemahkan kurikulum
ke
dalam
langkah-langkah
pembelajaran yang praktis, akan tetapi mampu menterjemahkan kebutuhan siswa yang terus tumbuh dan berkembang. Rancangan model pembelajaran kuantum Penjas menggunakan langkahlangkah pembelajaran sebagai berikut: (1) Tumbuhkan
melalui pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan untuk mengungkap pengalaman belajar siswa yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas, (2) Namai merupakan tahapan kegiatan mengadakan penyelidikan melalui pengumpulan, pengorganisasian, interprestasi dan menentukan alternatif terbaik, (3) Demonstrasikan melalui kegiatan percobaan tentang materi belajar sehingga menemukan sendiri alternatif terbaik, (4) Ulangi bahan pelajaran yang telah dipelajari sehingga dilakukan secara otomatis, (5) Rayakan terhadap keberhasilan yang telah diraih sebagai bahan penguat kesuksesan mencapai tujuan dan revisi terhadap belajar yang belum berhasil. Pengembangan model pembelajaran kuantum Penjas merupakan produksi bahan-bahan pembelajaran mulai dari sumber belajar, media pembelajaran dan sarana prasarana yang dikembangkan dalam pembelajaran Penjas. Buku paket Penjas yang disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku dimiliki oleh setiap siswa ditambah poster dan gambar aktivitas Penjas yang ditugaskan guru kepada siswa. Media dan sarana prasarana belajar yang dimiliki sekolah dikembangkan melalui modifikasi berbagai peralatan Penjas yang dilakukan oleh guru bersama siswa sehingga secara kuantitas memadai sesuai dengan karakteristik fisik siswa SD.
Pemanfaatan model
pembelajaran
kuantum
Penjas yang merupakan-
kesesuaian antara kondisi siswa dengan materi dan strategi pembelajaran pendidikan jasmani menurut kurikulum berbasis kompetensi. Materi pembelajaran permainan, uji diri, atletik, akuatik dan outdor education dikemas dalam bentuk game sesuai dengan karakteristik siswa SD gemar bermain, sehingga peraturan, lapangan, dan peralatan Penjas dimodifikasi sedemikian rupa sesuai dengan kemampuan siswa tersebut. Pengelolaan model pembelajaran kuantum Penjas yang berorientasi pada sistem penyampaian implementasi pembelajaran meliputi kegiatan pokok, yaitu kegiatan pendahuluan, pengembangan fisik, inti kegiatan, dan penutup. Kegiatan pendahuluan berisikan kegiatan pemanasan, penyesuaian, dan melakukan kegiatan menuju pada inti. Sedangkan kegiatan pengembangan fisik untuk meningkatkan kondisi kebugaran tubuh sebagai jawaban dirmlikinya unsur-unsur gerak dasar seperti kekuatan, kelincahan, kecepatan, keseimbangan, kelenturan, dan daya tahan. Tahapan kegiatan inti mengulang bahan pelajaran yang sudah dan mempelajari materi pelajaran baru melalui pengulangan belajar yang memdai sehingga memiliki kompetensi tertentu. Selanjutnya dilakukan kegiatan penutup setelah pelaksanaan tugas-tugas pokok diberikan yang berisikan umpan balik dan penguat agar siswa belajar pendidikan jasmani lebih giat di masa mendatang. Penilaian yang merupakan penentuan seorang siswa berada pada tingkatan mana terjadi perubahan perilaku dalam model pembelajaran kuantum pendidikan jasmani khususnya kemampuan gerak dasar, pemahaman materi pelajaran, dan sikap positif terhadap aktivitas jasmani yang sedang dilakukan. Alat penilaian dalam
f.*-
°7
162
'9
pembelajaran pendidikan jasmani tidak hanya bersifat kuantitatif akan tetapi kualitatif dengan menggunakan observasi dan penjelasan pada setiap deskriftor yang dibuat sesuai karakteristik tingkatan gerak yang dimilikinya. Adapun langkah-langkah model pembelajaran kuantum pendidikan jasmani sebagai berikut: 1. Tumbuhkan
minat dengan selalu mengarahkan siswa terhadap pemahaman
tentang apa manfaatnya bagiku. Belajar Pendidikan jasmani sejak awal melakukan kegiatan memahami teknik, taktik, strategi dan evaluasi pada awalnya dipelajari melalui fase kognitif yaitu memahami alur gerak yang akan dilakukan, sehingga ada gambaran apa yang akan dilakukan. 2. Alami, buatlah pengalaman umum yang dapat dimengerti oleh semua siswa melakukan aktivitas gerak mulai gerak yang sederhana sampai pada gerak yang kompleks. Tujuannya agar siswa mengalami langsung bagaimana gerak yang mesti dilakukan sehingga dapat merasakan setiap jenjang kesulitan gerak. 3.
Namai, setiap pengajar mesti menyediakan kata kunci, konsep, model dan strategi apa yang tepat yang dilakukan dalam pembelajaran pendidikan jasmani untuk siswa Sekolah Dasar.
4.
Demonstrasikan, sebaiknya guru menyediakan kesempatan bagi anak didik untuk menunjukan keterampilannya. Keterampilan yang dilakukan oleh anak didik berupa unjuk kerja berbentuk alur gerak yang bebas sesuai dengan kemampuan dan karakter masing-masing.
5. Ulangi, guru harus menunjukkan cara mengulangi materi gerakan yang dilakukan oleh siswa, dan menegaskan "aku tahu bahwa aku memang tahu". Mengulang-
163
ngulang materi dimaksudkan agar belajar dan berlatih gerakan yang baru menjadi sempurna untuk memperoleh gerakan secara otomatisasi yakni melakukannya tidak lagi dipikir-pikir lagi. 6. Rayakan, guru harus memberikan pengakuan terhadap setiap penyelesaian tugas, partisipasi yang tinggi dan pemerolehan pengetahuan dan keterampilan yang ditunjukan dalam belajar dan berlatih siswa. Guru tidak segan-segan memberikan pujian dan penghargaan ketimenunjukkan hasil belajar yang memuaskan, sehingga akan membangkitkan motivasi belajar yang tinggi bagi siswa. Kerangka model pembelajaran kuantum pendidikan jasmani yang berbasis kompetensi cenderung memiliki pedoman yang jelas dalam hal menentukan tujuan, subtansi materi, metode pembelajaran dan penilaian. Tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran Penjas disesuaikan dengan kompetensi dasar yang akan dicapai sesuai dengan kondisi pembelajaran. Guru diperkenankan menambah dan mengurangi kompetensi dasar itu dengan asumsi standar kelulusan mencapai 75%. Subtansi materi ditetapkan pemerintah baik standar kompetensi maupun kompetensi dasar dan materi pokok, sekolah menyesuaikan berdasarkan perkembangan siswa dan kebutuhan lapangan. Model pembelajaran kuantum Penjas berbasis kompetensi lebih berorientasi pada pengetahuan, keterampilan, dan nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak yang hasilnya bermanfaat bagi kehidupan nyata anak didik. Pembelajaran Penjas berbasis kompetensi pada hakekatnya memungkinkan seluruh kegiatan didominasi oleh siswa, artinya siswa berbuat, melakukan sendiri, mencari
164
tahu dan mengambil kesimpulan. Peran guru sebatas sebagai fasilitator, motivator, dan mediator yang selalu memberikan arahan atau masukan ketika siswa mengalami kesulitan dalam memecahkan maasalah. Kriteria keberhasilan kompetensi Penjas ditentukan oleh faktor-faktor: 1) berfikir secara logis, kritis, kreatif inovatif dan memecahkan masalah berbagai keterampilan gerak yang dipelajari, 2) menyenangi kondisi pembelajaran Penjas dengan penuh antusias dan kegembiraan melakukannya, 3) produk pembelajaran Penjas bagi anak didik dapat membiasakan memelihara dan menjalankan pola hidup bugar, bersih dan sehat, dan 4) berpartisipasi aktif dalam melakukan aktivitas pendidikan jasmani baik perorangan maupun kelompok, sehingga aktivitas gerak yang dilakukannya tinggi. Berdasarkan analisis di atas pada hakekatnya, isi mata pelajaran pendidikan jasmani yang berbasis kompetensi ternyata memiliki kesesuaian dengan karakteristik pembelajaran menitikberatkan
kuantum,
antara
pada kemampuan
lain:
Pertama,
pembelajaran
berfikir (otak kiri
dan
otak
kuantum kanan),
memaksimalkan kemampuan motorik (gerak), dan menyalurkan perasaan emosi dalam suasana menyenangkan. Kedua, pembelajaran kuantum mempunyai dampak pembelajaran penguasaan sejumlah bahan ajar dan prestasi belajar secara optimal karena belajar melalui pengalaman. Hal ini sangat dibutuhkan dalam pembelajaran pendidikan jasmani, karena belajar pendidikan jasmani melahirkan manusia yang utuh, artinya tidak hanya cerdas akan tetapi terampil dan mampu mengatasi tantangan zaman yang semakin hari semakin kompleks. Di masa modem sekarang ini diperlukan generasi yang sehat jasmani, rohani, dan sosial serta berani
165
menantang tantangan 2aman. Ketiga, pembelajaran kuantum mempunyai dampak pengiring
yang
berupa
kemampuan
berinteraksi,
saling
menghargai,
bertanggungjawab, berani mengambil keputusan dan meningkatkan kemampuan berfikir dan memecahkan masalah. Sikap-sikap positif tersebut perlu ditanamkan sedini mungkin kepada anakdidik sejak dari Sekolah Dasar, sebagai bagian dari tujuan pendidikan jasmani yang harus dipelajari dan dilaksanakan di Sekolah Dasar. Keempat, pembelajaran kuantum secara konseptual memberikan kesempatan untuk diterapkan dalam berbagai disiplin ilmu dan berbagai jenjang pendidikan, sehingga memungkinkan diimplementasikan pada jenjang Sekolah Dasar. Atas dasar pertimbangan kesesuaian karakteristik pembelajaran kuantum dengan mata pelajaran pendidikan jasmani, maka secara konseptual model pembelajaran kuantum dapat diimplementasikan dalam pembelajaran pendidikan jasmani. Namun pembelajaran kuantum seperti apa yang cocok diimplementasikan dalam pembelajaran pendidikan jasmani?
Jika diimplementasikan, apakah
pembelajaran kuantum meningkatkan kualitas pembelajaran tersebut? Jika efektif, apakah kefektifannya lebih tinggi dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional yang saat ini diterapkan?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul untuk mendukung dan mendorong dilakukan penelitian tentang pengembangan model pembelajaran kuantum dalam meningkatkan pembelajaran pendidikan jasmani. Perpaduan antara rancangan teknologi pembelajaran dengan strategi pembelajaran kuantum melahirkan sebuah model pembelajaran kuantum pendidikan jasmani berbasis kompetensi bertujuan meningkatkan kinerja guru dan peningkatan hasil belajar siswa dalam mata pelajaran pendidikan jasmani di sekolah dasar terangkum dalam bagan kerangka model pembelajaran kuantum pendidikan jasmani berbasis kompetensi sebagai berikut:
166
KERANGKA MODEL PEMBELAJARANKUANTUM PENJAS
B a g a n 2-5 Kerangka
Model P e m b e l a j a r a n Kuantum
Penjas