BAB II LATAR BELAKANG BERDIRINYA KOPERASI BATIK PPBI
A. Riwayat Batik di Yogyakarta Batik di Yogyakarta dikenal sejak zaman Kerajaan Mataram. Pembatikan pada awalnya hanya dikenal di lingkungan kraton yang di tekuni oleh wanita-wanita yang menjadi pembantu Ratu di keraton. Dari sinilah pembatikan pada tahap awal meluas di kalangan keluarga kraton, untuk membedakan batik yang dipergunakan oleh keluarga kraton, bangsawan, dengan yang dipakai masyarakat kebanyakan.1 Pada tahun 1769 Susuhunan Surakarta mengeluarkan suatu keputusan formal bahwa motif jlamprang dilarang dipakai oleh siapapun, kecuali oleh beliau sendiri dan putera dan puterinya. Sedangkan di Yogyakarta pada tahun 1785 Sultan Yogyakarta mencanangkan pola parang rusak bagi pemakain pribadi.2 Secara sosial batik Yogyakarta hampir mempunyai kemiripan dengan batik Solo. Kasultanan Yogya sangat mempengaruhi perkembangan batik di daerahnya. Motif batik yang di ciptakan kasultanan bertujuan untuk kepentingan politik, yaitu agar terjadi keharmonisan kehidupan dalam masyarakat. Motif batik tidak menimbulkan gejolak sosial dan membawa ketenangan bagi masyarakatnya. Hal tersebut sangat membantu dalam mengokohkan situasi dari kerajaan. Dengan demiian tidak mudah menggoyahkan kedudukan kesultanan serta kekuasaan sultan. 1 2
Anonim., 20 Tahun GKBI 1948-1968, (Jakarta: GKBI, 1968) hlm. 176 Ibid., hlm. 177. 19
20
Motif batik Yogya diilhami dari kejiwaan masyarakat dalam kurun waktu tertentu. Dahulu kekuasaan bersumber dari kekuatan magis yang biasanya dihubungkan dengan kekuatan alam seperti, awan dilangit, matahari bersinar terang, rembulan bersinar redup, laut kidul yang bergelombang dahsyat, pusaka-pusaka keramat, kuda panal, dan masih banyak yang lainnya lagi. Materi itulah yangdijadikan bahan inspirasi untuk motif batik yang beraroma magis. Seiring perkembangan waktu terjadi proses akulturasi, namun tidak menggeser derajat gelar kebangsawanan keraton. Hal tersebut tetap dipertahankan dalam mendominasi jiwa dan karakteristik motif batik Yogya yang memiliki tradisi yang melekat. Pada umumnya batik Yogya tidak ada ruang yang kosong. Hal ini menggambarkan begitu eratnya kehidupan sosial bagi masyarakat Yogya. Dimana seakan menggambarkan ikatan keluarga besar masyarakat Yogya dalam suatu wadah kultur sosial. Motif batik kawung diarahkan sebagai sumber kekuatan magis dan kekuasaan Sri Sultan. Dimana motif kawung yang berpusat di tengah titik bumi dan terpancar ke seluruh dunia. Batik Yogya juga menggambarkan ikatan persaudaraan dalam tata krama pergaulan di Yogyakarta yang sangat hormat kepada budaya di daerahnya. Dalam mempertahankan kejenakaannya batik kawung dicerminkan dan dipakai oleh punakawan dalam kisah pewayangan.3
3
Teguh Prayitno. Batik dan Tenun, (Semarang: PT. Sindur Press, 2009), hlm. 17
21
Pada abad ke-17 batik mulai berkembang di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari para pengusaha batik yang memulai impor kain katun (catoon fabrik) yang merupakan kain yang berkualitas tinggi. Kain katun itu diimpor dari Cina dan India, negeri itu masih daerah jajahan Inggris. Kain katun itu disalurkan oleh VOC pada pengusaha batik dari Pulau Jawa batik itu dijual lagi oleh VOC ke benua Eropa. Saat itu para pembatik di Jawa sudah berhasil dalam menciptakan peralatan membatik yang berupa canting. Canting merupakan alat yang sederhana yang digunakan untuk menyalurkan malam. Dari lubang kecil pada cantinglah malam digunakan untuk membentuk motif bentuk pada kain. Canting juga dapat dibuat untuk membuat gambar ornamen yang halus, membesarkan atau mengecilkan lingkaran serta menambah taau membuang goresan-goresan yang dapat memadukan keindahan suatu karya seni batik tangan.4 Pembuatan batik tulis dengan sentuhan kejiwaan dan penyaluran imajinasi para pembatik. Pembatik ini sangat tertopang dengan peralatan batik yaitu “canting” sehingga canting bagi para pembatik merupakan nyawa bagi pembatik tulis. Canting sangat dirawat dengan baik oleh pemiliknya. Apabila terjadi perubahan-perubahan fisik sedikitpun pada canting dapat mengganggu kelancaran pekerjaan membatik. Pada tahun 1918 pembatik Indonesia sudah menggunakan pewarna kimia (chemical dyestuft) yang sangat mendorong perkembangan industri batik. Adanya zat pewarna yang masuk ke Pulau Jawa membuat para pembatik lebih mudah dalam 4
Ibid., hlm. 18
22
mewarnai batik. Pewarna kimia itu berasal dari Jerman , Swiss, Perancis, dan Jepang. Para pembatik di Pulau Jawa sangat diuntungkan dengan masuknya zat pewarna kimia. Banyak pembatik yang semula menggunakan pewrana alami misalnya untuk mendapatkan warna biru menggunakan bahan pewarna alami yang sangat merepotkan para pembatik. Setelah mengetahui pewarna sintetis banyak para pembatik yang beralih menggunakannya karena banyak keuntungan yang di dapatkan dalam menggunakan pewarna kimia seperti penggunaaanya sangat mudah, paraktis, dan hemat tenaga.5 Dalam proses pembuatan batik dilakukan melalui melalui dua cara, yaitu menggunakan tangan yang dibantu dengan “canting” batik yang diproses seperti ini dinamakan “batik tulis”. Dari segi nilai batik tulis sangat mahal karena kualitasnya sangat bagus, masyarakat biasa menyebut batik tulis dengan sebutan batik halus. Proses pembuatan batik yang kedua dengan menggunakan metode cap. Memproduksi batik dengan metode cap sangat menguntungkan karena dilihat dari segi waktu dan kualitas. Pengerjaan batik dengan metode seperti ini lebih cepat. Tapi batik tulis dihargai sangat tinggi oleh para pemakai karena jika batik tulis dipakai dapat meningkatkan derajat dari pemakainya. Sedangkan produk yang menggunakan metode cap digunakan berdasarkan permintaan pasar yang sangat besar. Dengan begitu pengerjaanya lebih singkat sehingga metode menggunakan cap banyak dipilih 5
Ibid., hlm. 20
23
oleh pengusaha dalam memenuhi permintaan pasar yang cukup besar.6 Pada tahun 1792 dan 1798 kraton mengeluarkan pembatasan-pembatasan selanjutnya atas pola-pola yang membuat corak-corak seperti sawat, lar, parang, rusak, cumengkirang, dan udanliris. Keputusan-keputusan yang dikeluarkan Sultan Yogyakarta tersebut memperlihatkan bahwa batik telah kehilangan sifat-sifat ekslusifnya yang dahulu, karena kini dibuat para pengrajin Jawa diluar kraton. Pangkat atau kedudukan tidak lagi dihubungkan dengan corak atau motif produk batik itu sendiri. Maka rumah tangga kraton terpaksa harus membuat rancangan pola yang dikerjakan secara teliti dan terperinci untuk menunjukkan para pemakai batik dari keluarga kraton dan membedakan para pemakai batik di luar kraton.7 Oleh karena pembatikan bukan lagi monopoli keluarga keraton dan telah banyak di pakai oleh rakyat maka produksinya telah beralih dari produksi untuk pakaian sendiri menjadi produksi pasar. Maka mulailah pembatikan menjadi salah satu cabang mata pencaharian rakyat, walaupun masih merupakan kerajinan rumah tangga. Akan tetapi kemudian berkembang menjadi industri batik di Indonesia pada umumnya dan di Yogyakarta pada khususnya. Bahwa pada akhir abad 19 pembuatan batik dilakukan oleh kaum tani wanita di waktu senggangnya, kemudian di perdagangkan melalui pedagang perantara secara eceran dalam bungkusan-bungkusan
6 7
Ibid., hlm. 22
Philip Kitley, Batik dan Kebudayaan Populer, PRISMA, Maret no.43. (Jakarta: LP3ES, 1987) hlm. 55
24
yang berisi 20 potong kain batik atau 1 kodi kain batik.8 Industri batik ini ternyata juga menarik perhatian perusahaan percetakan tekstil di Inggris yang kemudian mulai memproduksi batik imitasi yang menggunakan zat-zat pewarna sintetis.9 Tujuan para pengusaha Inggris ialah menyediakan serta menawarkan kain batik buatan pabrik, bermutu rendah, dan lebih murah untuk pasaran Jawa. Produksi batik imitasi diambil alih oleh perusahaan Belanda ketika Jawa di kembalikan pada Belanda berdasarkan Perjanjian Perdamaian tahun 1815. Pada tahun 1835 sebuah pabrik dengan pekerja-pekerja Jawa yang terlatih didirikan di Leiden. Pabrik batik imitasi lainnya juga didirikan di Rotterdam, Harleem, Helmand, dan Apeldoorn. Negara-negara Eropa lainnya juga membina ahli pembatikan imitasi. Perusahaan-perusahaan Swiss kemudian memperkenalkan batik imitasi yang diberi warna dengan alizairin sintetis ke Jawa.10 Perdagangan Eropa dalam bidang batik imitasi ternyata juga menarik perhatian para pedagang perantara Cina untuk masuk lebih jauh ke dalam industri batik. Pedagang eceran Cina terlibat dalam industri itu melalui kegiatan-kegiatannya dalam menyediakan kain cambric, yang telah diimpor saudagar Belanda untuk dijual kepada orang Jawa untuk pembuatan batik. Impor batik imitasi ini semakin
8
Ibid., hlm. 56. Ari Wulandari. Batik Nusantara: Filosofi Cara Pembuatan dan Industri Batik, (Yogyakarta: ANDI, 2011) hlm. 15. 10 Philip Kitley., op.cit., hlm. 57. 9
25
memperkuat kedudukan Orang Cina dalam industri batik di Jawa.11 Komersialisasi batik oleh para pabrikan Eropa membawa suatu unsur persaingan etnis kedalam industri batik itu sendiri, yang akan membawa konsekuensi politis mendalam dan tidak terduga-duga pada permulaan abad 20. Hal ini menjadikan abad 19 merupakan periode yang berarti bagi perkembangan industri batik di Jawa, yang juga membawa dampak bagi perkembangan industri batik di Yogyakarta. Tekanan yang dilakukan atas industri batik pribumi oleh importir dari Inggris, Belanda, dan Swiss tidak tersaingi, hingga pada saat penemuan yang menggembirakan yaitu pengecapan lilin memungkinkan pengusaha batik pribumi meningkatkan produktivitasnya secara drastis dan menurunkan harga batik jadi atau batik imitasi dari luar negeri. Pada tahun 1871 memang pada umumnya pembuatan batik di Yogyakarta hanya dikerjakan oleh para puteri-puteri keraton dan hanya dengan ditulis tangan.12 Pembuatan batik tulis dengan tangan ini membutuhkan waktu yang sangat lama, satu potong kain batik memakan waktu 3 sampai 4 bulan, bahkan bisa menghabiskan waktu 6 bulan untuk satu potong batik.13 Oleh karena pembuatan batik tulis ini memakan waktu yang cukup lama sehingga tidak mampu memenuhi permintaan pasar yang besar, maka dimunculkan kreasi baru untuk memproduksi batik yaitu dengan menggunakan cap. 11
Ibid., hlm. 58-59. Sejarah Berdirinya Koperasi Batik PPBI Yogyakarta (Yogyakarta: Koperasi PPBI, 1970) hlm. 1. 13 Tim Sanggar Batik Barcode. Mengenal dan Cara Mudah Membuat Batik, (Yogyakarta: Kata Buku, 2010) hlm. 10. 12
26
Pada saat industri batik ini mengalami ancaman dengan adanya batik imitasi dari Eropa dengan harga yang lebih murah, akan tetapi dengan mutu yang lebih rendah. Penemuan cap pada tahun 1910 memudahkan pengusaha batik di Yogyakarta dan di Jawa pada umumnya.14 Memproduksi batik secara besar-besaran sekaligus mampu mempertahankan kelembutan dan mutu batik tradisional. Batik cap muncul karena sudah merupakan produksi massal disamping batik tulis. Dan ternyata batik cap jauh lebih populer daripada batik imitasi dari Eropa, dan dengan cepat dan pesat mampu menembus pasaran di kalangan penduduk pribumi khususnya di Yogyakarta. Revolusi industri yang tejadi pada pertengahan abad 18 dan kemudian dilanjutkan pada abad ke 19 di Eropa yang disebabkan oleh pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan. Kemajuan ini menimbulkan penemuan-penemuan yang ada di dalam lapangan industri mengakibatkan perubahan yang sangat besar. Apa yang dahulunya dikerjakan dengan tangan atau tenaga manusia, sekarang dengan adanya penemuan-penemuan baru itu mulai dikerjakan dengan tenaga mesin.15 Akibat kemajuan-kemajuan di bidang teknik yang di dapat oleh bangsa barat dan dibawa oleh bangsa Belanda ke Indonesia memberikan pengaruh besar pada tata cara kehidupan manusia. Setelah Perang Dunia I kemajuan teknik di Eropa bertambah, juga khususnya di bidang kimiawi dan ini membawa perubahan serta pengaruh yang besar pada 14 15
19.
Ibid., 11-12. Sagimun MD, Koperasi Indonesia, (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1988) hlm.
27
masyarakat Indonesia khususnya masyarakat yang berkecimpung dalam industri batik. Dengan adanya kemajuan-kemajuan teknik ini, maka mulai dikenal bahan baku mori dan obat batik yang diproduksi secara kimiawi. Pada akhir abad 19 bahan-bahan tekstil termasuk mori batik hasil industri Inggris dan Belanda telah banyak masuk ke Indonesia, khususnya produksi Jerman dan Inggris kira-kira tahun 1924. Para pengusaha batik di Yogyakarta dalam pembuatan batik pada awalnya selalu menggunakan obat-obat batik buatan dalam negeri buatan lokal yaitu nila tom, tinggi dan soga. Bahan kain putihnya waktu itu hasil tenunan sendiri, sebagian dibuat untuk lurik dan sebagian dibuat untuk batik sebagai kombinasi pakaian pada waktu itu. Bahan kain luar negeri baru dikenal kira-kira abad ke 19 setelah adanya revolusi industri di Inggris. Sedangkan oba-obat batik dari luar negeri yang diperkenalkan kepada pengusaha batik di Yogyakarta adalah indigo dan ergansoga. Oleh karena obat-obat kimiawi ini lebih mudah dan cepat meresap maka obat-obat batik ini mendapat sambutan yang baik dari para pengusaha batik di Yogyakarta. Akan tetapi ini berakibat obat batik buatan dalam negeri sedikit demi sedikit mulai kurang di pergunakan dalam pembuatan batik oleh para pembatik di Yogyakarta.16
B. Persaingan Industri Batik Pribumi, Cina, dan Arab Kerajinan batik merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan ekonomi masyarakat pada saat itu, hal ini dibuktikan dengan produksi tahunan, yaitu 16
Loekman Soetrisno, Problematik Eksternal Terhadap Pengembangan Kerajinan Rakyat di Indonesia, (Yogyakarta: P3PK UGM, 1985) hlm. 1.
28
tahun 1925. Sebagaimana telah diketahui bahwa batik telah menjadi barang perdagangan, yang menimbulkan daerah-daerah sentra penghasil batik di Indonesia, termasuk Yogyakarta.
Hasil produksi untuk daerah Solo dan Yogyakarta dinilai
kurang lebih 15 juta guden. Jumlah ini hanya untuk daerah Solo dan Yogyakarta saja, akan tetapi apabila di daerah sentra penghasil batik yang lainnya dilakukan penaksiran produksi tahunan maka akan di dapatkan sebuah angka 40 juta gulden. Hal ini merupakan bukti nyata bahwa kerajinan batik mempunyai arti yang tidak boleh diabaikan dalam kepentingan ekonomi negara ini.17 Sebelum krisis ekonomi dunia yang terjadi pada tahun 1930-an, pemerintah kolonial Belanda telah mendirikan Cambrics and Convennants yaitu semacam oligopoli untuk mori dan pewarna atau obat batik sengan sistem penyalurannya mempergunakan para pedagang Cina dan Arab. Pengusaha batik harus membeli segala kebutuhannya dari para pedagang Cina setempat yang merupakan distributor tunggal dari perusahaan-perusahaan ekspor Belanda. Pengaturan ini membuat pengusaha batik menjadi sangat tergantung dengan dengan pedagang Cina. Kedudukan pedagang Cina sebagai golongan perantara antara Belanda dengan penduduk pribumi diperkuat dengan adanya Undang-undang. Pada tahun 1925 Belanda mengeluarkan Indische Staatsregeling 1925, yang menyatakan bahwa Indonesia terbagi atas empat golongan. Pembagian 4 golongan penduduk itu yaitu: Golongan Eropa, golongan Cina, golongan Timur Asing selain orang Cina dan 17
Saroso Wirodihardjo, Koperasi dan Masalah Batik, (Jakarta: GKBI, 1954) hlm.27.
29
golongan orang Indonesia asli. Golongan Eropa memegang posisi paling atas dalam setiap lapangan kehidupan. Golongan Cina berada di posisi tengah antara bangsa Eropa dan Bangsa Indonesia asli. Mereka merupakan pihak yang dipentingkan dalam hukum dan undang-undang yang sama seperti golongan Eropa. Sedangkan golongan Timur Asing lainnya kedudukannya sama seperti orang Cina. Kedudukan golongan Cina sebagai golongan menengah antara kolonial dan masyarakat Indonesia asli tetap bertahan sampai masa pendudukan Jepang. Ketika depresi ekonomi melanda, industri batik pun ikut terpuruk. Produksi mengalami penurunan karena daya beli masyarakat pun ikut menurun.18 Apalagi keterikatan hutang pengusaha batik di Yogyakarta pada pedagang-pedagang Cina yang berakibat bangkrutnya perusahaan-perusahaan batik tersebut. Bahwa yang menyebabkan bangkrutnya perusahaan-perusahaan batik di Indonesia pada umumnya adalah ketidakmampuan mereka membayar hutang kepada pedgang-pedagang Cina dan Arab yang merupakan distrubutor tunggal bahan-bahan impor pembuatan batik. Perdagangan kain putih pada umumnya juga menjadi pedagang tangan pertama dalam penjualan kain-kain batik. Mereka umumnya mempunyai relasi tetap dan hubungan langsung dengan importir-importir Cina di kota-kota pelabuhan. Mengingat kekuasaan ada pada bangsa Asing maka kepincangan-kepincangan itu 18
Arifinal Chaniago, Perkembangan Koperasi Indonesia (Bandung: Angkasa, 1984) hlm.172.
30
hanya dapat dihadapi dan dirubah dengan kekuatan persatuan. Maka pada tahun 1908 Budi Oetomo menganjurkan untuk membentuk koperasi di bidang perdagangan dan produksi. Yogyakarta yang sering disebut sebagai tempat berdetaknya jantung tanah Jawa pada tahun 1908 dipilih sebagai kancah kongres pertama Budi Utomo. Tujuan dari organisasi Budi Utomo ialah memeperjuangkan kehidupan nasional yang layak melalui koperasi dan tujuan ini telah berhasil dengan dibentuknya koperasi bernama toko adil,19 yang menjual barang-barang keperluan hidup sehari-hari. Akan tetapi karena persaingan yang kuat dari pedagang perantara yaitu pedagang Cina, maka toko koperasi ini akhirnya mengalami kegagalan. Kegagalan ini juga disebabkan karena kurang sehatnya keadaan organisasi koperasi pada waktu itu, selain itu juga karena kurang disiplinnya para anggota koperasi.20 Lima tahun kemudian cita-cita mendirikan koperasi muncul lagi yang di propagandakan dan diperjuangkan oleh Sarekat Dagang Islam. Perkumpulan ini didirikan untuk memeperhatikan kepentingan-kepentingan para pedagang yang beragama islam dan secara tidak langsung tujuannya ialah akan menyaingi dan apabila mungkin menghilangkan organisasi distribusi asing, khususnya perdagangan perantaraan orang Cina. Walaupun gaung Koperasi sudah terdengar sejak tahun 1908 dengan budi oetomo bukan sistem koperasi juga diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan politik Etisnya, akan tetapi baru pada tahun 1929 gerakan 19
Edilius., et all., Koperasi Dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1996) hlm. 38. 20 Saroso Wirodihardjo., op.cit., hlm. 14.
31
nasioanal membuktikan bahwa koperasi dapat dipergunakan sebagai senjata ekonomi.21 C. Lahirnya Koperasi Batik PPBI di Yogyakarta Setelah masa krisis ekonomi Jepang mulai masuk ke pasaran Indonesia dengan produk morinya, menggunakan sistem dumping. Hal ini mengakibatkan Belanda tidak mampu menyaingi perdagangan mori dari Jepang. Untuk melawan saingan dari Jepang ini Belanda mengeluarkan Undang-undang Contingenteerring yaitu, undang-undang yang membatasi masuknya mori impor dari Jepang ke Indonesia dan akibatnya harga mori naik dan bahan-bahan batik sukar didapatkan. Keadaan ini menyebabkan kondisi industri batik di Yogyakarta pada khususunya menjadi memburuk dan memprihatinkan. Pada waktu berlakunya Undang-undang Contingenteering sebagai akibat krisis pada tanggal 1 Maret 1934, para pengusaha batik di Yogyakarta tidak dapat menyesuaikan dirinya dengan cepat akan perubahan-perubahan kualitas dari cambric yang di gunakan. Para pengusaha batik di Yogyakarta yang merasa dirinya paling terancam oleh peraturan-peraturan Contigenteerring tersebut. Ketidakmampuan penyesuain diri dengan kondisi tersebut terjadi karena para pengusaha batik di Yogyakarta bersifat sangat konservatif, selalu berpegang teguh pada kualitas cambric dan pakem pengerjaan batik yang lama,22 oleh karena itu para pengusaha batik di Yogyakarta
tampak
tidak
antusias
21
Arifinal Chaniago., loc.cit.
22
Saroso Wirodihardjo., op.cit., hlm 29
terhadap
berlakunya
undang-undang
32
Contigenteerring ini dan timbullah aksi protes yang menentang undang-undang tersebut.
Terlebih lagi aksi ini didukung oleh para pedagang Jepang mengingat peraturan impor tersebut pertama-tama ditujukan untuk menghadapi persaingan dengan Jepang.23 Antara pemerintah kolonial Belanda dengan delegasi Jepang diadakan perundingan untuk membicarakan Peraturan Contigenteerring sampai dua kali pertemuan akan tetapi tidak mendapatkan titik temu yang memuaskan kedua belah pihak. Disamping mengadakan pertemuan, Delegasi Jepang sangat aktif mengumpulkan pendapat, baik dari pengusaha batik maupun tokoh nasional dari Jakarta, Bandung, Solo, Yogyakarta, Pekalongan dan Surabaya. Pada awal bulan Juni 1934 datang utusan dari pemerintah kolonial Belanda ke Yogyakarta yang meminta M. Djajengkarso untuk datang ke Batavia bersama pengusaha-pengusaha batik utusan dari Solo dan Pekalongan, untuk membicarakan pembagian bahan cambric. Pada 4 Juni 1934 delegasi pengusaha-pengusaha batik tersebut berangkat ke Batavia yang terdiri dari M. Djajeng karso, H.M. Bilal, H.M Muksin dari Yogyakarta, dan R. Wongsodinomo, R. Danusubroto, M. Margolan dari Solo, serta H. Madenorwirejo, H. Abdul Hadi dari Pekalongan. Tanggal 5 Juni, diadakan pertemuan dengan departement Van Economic Zaken yang dipimpin oleh Mr. Meyeranef, dalam pertemuan ini delegasi pengusaha batik 23
Ibid., hlm. 32.
33
diminta pendapat masing-masing mengenai pembatasan masuknya cambric Jepang. Dari pihak delegasi pengusaha batik, tidak bisa menerima kebijakan pemerintah kolonial belanda tentang Contingenteering dan menghendaki masuknya cambric Jepang bebas tidak terbatas. Pemerintah Belanda akhirnya tidak dapat membujuk delegasi pengusaha batik untuk mendukung pemerintah Belanda menghadapi delegasi jepang. Pengaruh perjuangan Dr. Wahidin Sudirohusodo dengan Budi Oetomonya yang merupakan pelopor dalam pembentukan koperasi industri kecil dan kerajinan. Ternyata menggerakkan hati para pengusaha batik Yogyakarta untuk membentuk satu wadah yang dapat berjuang bersama menghadapi pemerintah kolonial Belanda maupun pedagang Cina. Tumbuhnya Sarekat Dagang Islam dalam pada tahun 1911 yang di pelopori oleh H. Zarkasi di Yogyakarta dan H. Samanhudi di Solo dan kemudian di perkuat oleh
HOS
Cokroaminoto.
Merupakan
usaha
pertama
untuk
membela
pengusaha-pengusaha batik terhadap tindakan semena-mena para pedagang mori. Hasil materiil dari Sarekat Dagang Islam sebenarnya tidak seberapa artinya. Akan tetapi hal ini telah menumbuhkan benih kesadaran untuk bersatu di kalangan pengusaha batik semakin berkobar di pulau Jawa pada umumnya dan di Yogyakarta pada khususnya.24 Setelah mengirimkan delegasinya ke pertemuan dengan pemerintah kolonial 24
Majalah Batik. 20 Tahun Perdjoangan Koperasi Batik, September 1953, koleksi untuk keluarga batik. hlm. 6
34
Belanda di Batavia pada tanggal 5 Juni 1934, kemudian para pengusaha batik di Yogyakarta dikumpulkan dirumah M. Mangunprawiro salah satu pengusaha batik di Yogyakarta. Dalam pertemuan ini di bicarakan mengenai pembicaraan pertemuan di Batavia, permasalahan dan akibat baik atau buruknya. Untuk itu diperlukan satu wadah sebagai alat perjuangan dan dididrikan lah organisasi yang dinamakan Persatuan Perusahaan Batik Bumi Putera pada tahun 1934 dengan pelopornya antara lain Djajengkarso, H. Bilal, Mangunprawiro, H. Zarkasi, H. Abubakar, Saebani, Ronosentiko, Ramelan, H. Muchadi, M.Ng, Sutoprawiro, dan H. Romowiruno. Organisasi Persatuan Perusahaan Batik Bumi Putera atau yang disingkat dengan PPBBP yang berjiwa koperasi ini di dasarkan pada Undang-undang no. 91/1927 yaitu Reglement Voor de Opriching Van Inlandsche Cooperative (Peraturan Pendirian Perkumpulan Koperasi Bumi Putera).25 Pada awal berdirinya koperasi batik PPBBP ini beranggotakan 74 pengusaha batik terdiri dari 63 orang pria dan 11 wanita. Jumlah anngota koperasi ini untuk beberapa tahun tetap. Akan tetapi mulai tahun 1940-an, anggota koperasi ini mulai bertambah banyak. Berikut Susunan pengurus pertama koperasi batik PPBBP: Ketua I/ II 25
:
M. Djajengkarso dan M. Mangunprawiro
Undang-Undang no. 91/1927 ini merupakan undang-undang koperasi yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk mengatur tentang perkumpulan koperasi bumiputra. Menurut undang-undang ini, pemerintah kolonial Belanda berewajiban membina, membimbing, dan memberikan penerangan bagi masyarakat. Disamping itu juga diberikan keringanan-keringanan (segel dan pajak) dan badan hukum Indonesia dengan segala hal yang menyangkutnya, misalnya jaminan bagi koperasi kredit, seperti tanah dan lainnya.
35
Pengurus I/II
:
Saebani dan M. Prawirosuparto
Bendahara I/II
:
HM. Bilal dan M. Mangunwerdoyo
Komisaris
:
R. Ng. Ronowirono, AZ, Djojoaminoto, Ng. Ronosentiko, dan Ng. Kudonarpodo.26
Sebagai sebuah organisasi koperasi, maka diperlukan adanya anggaran dasar untuk mengatur manajemen organisasi. Anggaran dasar koperasi batik PPBBP ini disesuaikan dengan undang-undang. Penyesuaian ini bertujuan supaya gerak perjuangan koperasi batik PPBBP lebih luas dan bebas berhubungan dengan dunia internasional. Oleh karena itu walaupun koperasi batik PPBBP sudah berdiri sejak tahun 1934, akan tetapi organisasi koperasi itu baru mendapatkan badan hukum 5 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1939. Koperasi Batik PPBBP disahkan oleh pemerintah Belanda, maka dari itu kemajuan Koperasi PPBBP sendiri sangat terhambat. Koperasi PPBBP ini menjadi koperasi batik pertama di Yogyakarta, yang bertujuan: a. Membeli langsung bahan baku batik dari convenant. b. Mendatangkan sendiri bahan baku batik dari luar negeri. c. Mendirikan pabrik mori dan obat-obat batik. d. Mendirikan badan kredit untuk menolong anggota koperasi dari lintah darat. e. Mencarikan pemasaran batik dan penjualan bersama. 26
Sejarah Singkat Koperasi PPBI, (Yogyakarta: Koperasi PPBI, 1970) hlm. 5
36
Kemerdekaan secara politis membawa dampak positif di segala bidang kehidupan bangsa Indonesia, termasuk kehidupan per-koprasian. Bahkan sejak diberlakukannya Undang -undang Dasar 1945 pada 18 Agustus 1945 maka peranan perkoprasian di Indonesia sangatlah diutamakan. Keinginan dan semangat untuk berkoprasi yang semula hancur akibat politik devide et impera pada masa kolonial Belanda dan dilanjutkan oleh sistem “Kumiai” pada masa pendudukan Jepang. Hal ini sejalan pula dengan menggeloranya semangat dan nilai-nilai perjuangan 1945, antara rakyat dan pemerintah saling bahu membahu berusaha mengatasi persoalan-persoalan di semua sektor kehidupan tak terkecuali perkoprasian. Mengenai peranan koperasi secara jelas dituangkan dalam pasal 33 UUD 1945 yang pada dasarnya menetapkan koperasi sebagai soko guru perekonomian Indonesia. Oleh karena itu perkembangan koperasi sejalan dan memenuhi jiwa pasal 33 UUD 1945 tersebut, pada Desember 1946 pemerintah Indonesia melakukan reorganisasi terhadap jawatan koperasi dan jawatan perdagangan.27 Jawatan Koperasi bertugas mengurus dan menangani pembinaan gerakan koperasi. Sedangakn jawatan perdagangan bertugas menangani perdagangan.28 Pada tahun 1946 inilah Koperasi Batik PPBBP berganti nama menjadi Koperasi Batik Persatuan Pengusaha Batik Indonesia (PPBI), karena dirasa nama lama koperasi ini tidak lagi sesuai dengan semangat nasionalisme yang ada. 27
28
Edilius., op.cit., hlm. 43-44. Saroso Wirodihardjo., loc.cit.,
37
Perlawanan sengit melawan penjajah yang berlangsung hingga tahun 1949, menyulitkan perkembangan koperasi. Tapi ketika Belanda melakukan blokade yang menyebakan banyak barang kebutuhan rakyat di kekuasaan pemerintah Republik Indonesia sangat sulit dicari dan terbatas, antusiasme berkoprasi muncul kembali. Koperasi kemudian mengambil peran sebagai distributor barang-barang kebutuhan rakyat. Jalannya Koperasi Batik Persatuan Pengusaha Batik Indonesia atau disingkat PPBI pada waktu itu boleh dikatakan berhasil dengan perkembangan dan kemajuan yang dicapainya koperasi batik PPBI mempunyai andil besar terhadap berdirinya Gabungan Koperasi Batik Indonesia. Akibat pengalaman dan tekanan-tekanan yang dialami oleh pengusaha-pengusaha batik di Yogyakarta, baik pada masa pemerintahan kolonial Belanda maupun pada masa pendudukan Jepang maka atas dasar dari dorongan
pejabat-pejabat
pemerintah
terutama
yang
duduk
di
kementrian
Kemakmuran, yaitu Ir Surachman, Ir. Teko Sumodiwirjo, Prof. R. Suriatmaja., Margono Djodjohadikusumo, L. Setyoso; menyarankan kepada pengurus PPBI dan Persatuan Perusahaan Batik Surakarta (PPBS), untuk mendirikan koperasi gabungan yang bersifat nasional. Organisasi gabungan inilah yang nantinya akan berhubungan dengan pemerintah pusat mengenai seluruh masalah yang berhubungan dengan batik.29 Dalam usaha pembentukan organisasi gabungan ini, pejabat pemerintah pusat 29
Majalah Batik. Perkembangan Koperasi Batik. 1953., hlm. 15
38
sangat besar peranannya. Merekalah yang mengumpulkan tokoh-tokoh pengusaha batik di Yogyakarta dan Solo, juga para pengurus koperasi batik PPBI dan PPBS serta membicarakan secara luas dan jelas akibat akibat serta kemungkinan-kemungkinan yang dicapai oleh organisasi ini untuk kepentingan masyarakat batik. Kepada pengurus koperasi PPBBS dianjurkan untuk menghubungi pengurus-pengurus koperasi batik di luar Yoyakarta dan Solo, yaitu Ponorogo, dan Tulungagung. Kemudian atas undangan Kementrian Kemakmuran pengurus-pengurus koperasi batik PPBI Yogyakarta, PPBS Surakarta, Bakti Ponorogo, dan BTA Tulungagung datang ke Yogyakarta untuk membicarakan pembentukan organisasi gabungan koperasi batik. Bertempat di kantor Kementrian Kemakmuran di Jl. Malioboro no.85 Yogyakarta pada tanggal 18 September 1948 berdirilah organisasi gabungan masyarakat batik yang dinamakan “Gabungan Koperasi Batik Indonesia” atau disingkat GKBI, yang berstatus sebagai Koperasi Pusat. Yang hadir pada waktu itu adalah: Koperasi PPBS di wakili oleh
: K.M. Idris, Priyoharjo, dan H.A. Muslim.
Koperasi PPBI diwakili oleh
: Djajengkarso, H. Saebani, dan Tjitrosumarto.
Koperasi Bakti di wakili oleh
: S. Ismail, dan Wiriosubroto.
Koperasi BTA di wakili oleh
: Abdul Wahid, dan Muslani.
Dan dari pemerintah pusat di wakili oleh Prof. R. Suryaatmaja. Adapun
39
anggotanya baru terbatas pada Yogyakarta, Solo, Ponorogo, dan Tulungaagung.30 Setelah berdirinya GKBI pada tanggal 18 September 1948 pemerintah dan masyarakat Yogyakarta mendengar bahwa pada pagi harinya telah terjadi pemberontakan di Madiun yang di dalangi oleh PKI, sesudah itu kemudian datang pula agresi militer Belanda ke II dan akibatnya Yogyakarta dapat diduduki oleh Belanda. Sayang sekali sebelum GKBI dapat bergerak dan berkembang dengan baik karena adanya dua peristiwa tersebut, organisasi itu terpaksa membekukan aktivitasnya sementara.31 Akibat pecahnya Agresi Militer Belanda ke II tersebut juga berimbas kepada perkembangan Koperasi PPBI. Bisa ikatakan bahwa jalannya koperasi batik PPBI menjadi macet. Kegiatan koperasi PPBI dialihkan dari Koperasi menjadi organisasi yang aktif membantu perjuangan Republik Indonesia. Koperasi batik PPBI dan anggota-anggotanya aktif memberikan supply (bantuan) berupa makanan, dan pakaian pada gerilyawan-gerilyawan di medan juang. Sektor gerilyawan yang erat hubungannya dengan koperasi PPBI pada waktu itu adalah. Barulah setelah Belanda angkat kaki dari Yogyakarta pada akhir tahun 1949, koperasi batik PPBI mulai bangkit kembali. Setelah melalui perjuangan melawan agresi militer Belanda ke II, Koperasi batik PPBI kembali lagi menata diri. Pada waktu itu kepengurusan koperasi di pegang oleh: Ketua/Wakil ketua 30 31
: H. Citrosumarto dan H. Saebani
Ibid., hlm. 17 Teguh Prayitno. Batik dan Tenun, (Semarang: PT. Sindur Press, 2009), hlm.,27
40
Penulis I/II
: Winotosastro dan Hadiatmojo
Bendahara I/II
: Martohartono dan Sucipto
Oleh karena dalam pembentukan GKBI pada tahun 1948 di dasarkan atas Undang-Undang Koperasi Bumiputera no 97/1927 maka GKBI tidak dapat bergerak dalam perdagangan Internasional. Disamping itu kegiatan GKBI terhenti dan hubungan dengan pemerintah kurang, maka pengurus PPBI yang dipelopori oleh Saebani membentuk N.V Batik Trading Coy (N.V. BTC) pada tanggal 14 Juni 1949 di Yogyakarta.32 N.V BTC ini yang akan berhubungan dengan dunia internasional dalam hal pemasukan bahan baku batik yang dibutuhkan oleh anggota PPBI dan NV. BTC mampu berjalan dengan baik. N.V. BTC kemudian diganti nama dengan nama N.V. Batik, namun keberadaan N.V. Batik tidak dapat berlangsung lama. Kemudian tahun 1952 GKBI membentuk sebuah Pool Cambrics, yang merupakan usaha dari GKBI kepada pemerintah agar GKBI diberikan suatu badan hukum sebagai penyalur bahan batik dari luar negeri untuk dibagikan kepada koperasi batik primer di masing-masing wilayahnya. Dengan adanya usaha dari GKBI tersebut sedikit demi sedikit dapat meringankan beban para Koperasi Batik primer, khususnya Koperasi Batik PPBI.33
32
Saroso Wirodihardjo, Koperasi dan Masalah Batik, (Jakarta: GKBI, 1954) hlm. 21
33
Ibid.,