BAB II LANDASAN TEORI
A. KECANDUAN BLACKBERRY SERVICE 1. Definisi Kecanduan Secara historis, kecanduan telah didefinisikan semata-mata untuk suatu hal yang berkenaan dengan zat adiktif (misalnya alkohol, tembakau, obat-obatan) yang masuk melewati darah dan menuju ke otak, dan dapat merubah komposisi kimia ke otak. Istilah kecanduan sendiri berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat, sehingga istilah kecanduan tidak selamanya melekat pada obat-obatnya tetapi dapat juga melekat pada kegiatan atau suatu hal tertentu yang dapat membuat seseorang ketergantungan secara fisik atau psikologis. Kata kecanduan (adiksi) biasanya digunakan dalam konteks klinis dan diperhalus dengan perilaku berlebihan (excessive). Konsep kecanduan dapat diterapkan pada perilaku secara luas, termasuk kecanduan teknologi komunikasi informasi (ICT) (Yuwanto, 2010) Menurut Hovart (1989), kecanduan tidak hanya terhadap zat saja tapi juga aktivitas tertentu yang dilakukan berulang-ulang dan menimbulkan dampak negatif. Griffiths (Essau, 2008) menyatakan bahwa kecanduan merupakan aspek perilaku yang kompulsif, adanya ketergantungan, dan kurangnya kontrol. Cooper (2000) berpendapat bahwa kecanduan merupakan perilaku ketergantungan pada suatu hal yang disenangi. Individu biasanya secara otomatis akan melakukan apa yang disenangi pada kesempatan yang ada. Orang dikatakan kecanduan apabila
Universitas Sumatera Utara
dalam satu hari melakukan kegiatan yang sama sebanyak lima kali atau lebih. Kecanduan merupakan kondisi terikat pada kebiasaan yang sangat kuat dan tidak mampu lepas dari keadaan itu, individu kurang mampu mengontrol dirinya sendiri untuk melakukan kegiatan tertentu yang disenangi. Seseorang yang kecanduan merasa terhukum apabila tak memenuhi hasrat kebiasaannya. Berdasarkan uraian di atas maka kecanduan dapat di artikan sebagai suatu kondisi dimana individu merasakan ketergantungan terhadap suatu hal yang disenangi pada berbagai kesempatan yang ada akibat kurangnya kontrol terhadap perilaku sehingga merasa terhukum apabila tidak memenuhi hasrat dan kebiasaannya. 2. Jenis Kecanduan Menurut Lance Dodes dalam bukunya yang berjudul “The heart of Addiction” (dalam Yee, 2006) ada dua jenis kecanduan, yaitu : a.
Physical addiction, Yaitu jenis kecanduan yang berhubungan dengan alkohol atau kokain, dan
b. Nonphysical addiction, Yaitu jenis kecanduan yang tidak melibatkan dua hal di atas (alcohol dan kokain) 3. Penyebab Kecanduan Yuwanto (2010) dalam penelitiannya mengenai mobile phone addict mengemukakan beberapa faktor penyebab kecanduan telepon genggam yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1. Faktor internal Faktor ini terdiri atas faktor-faktor yang menggambarkan karakteristik individu. Pertama, tingkat sensation seeking yang tinggi, individu yang memiliki tingkat sensation seeking yang tinggi cenderung lebih mudah mengalami kebosanan dalam aktivitas yang sifatnya rutin. Kedua, selfesteem yang rendah, individu dengan self esteem rendah menilai negatif dirinya dan cenderung merasa tidak aman saat berinteraksi secara langsung dengan orang lain. Menggunakan telepon genggam akan membuat merasa nyaman saat berinteraksi dengan orang lain. Ketiga, kepribadian ekstraversi yang tinggi. Keempat, kontrol diri yang rendah, kebiasaan menggunakan telepon genggam yang tinggi, dan kesenangan pribadi yang tinggi dapat menjadi prediksi kerentanan individu mengalami kecanduan telepon genggam. 2. Faktor situasional Faktor ini terdiri atas faktor-faktor penyebab yang mengarah pada penggunaan telepon genggam sebagai sarana membuat individu merasa nyaman secara psikologis ketika menghadapi situasi yang tidak nyaman, seperti pada saat stres, mengalami kesedihan, merasa kesepian, mengalami kecemasan, mengalami kejenuhan belajar, dan leisure boredom (tidak adanya kegiatan saat waktu luang) dapat menjadi penyebab kecanduan telepon genggam.
Universitas Sumatera Utara
3. Faktor sosial Terdiri atas faktor penyebab kecanduan telepon genggam sebagai sarana berinteraksi dan menjaga kontak dengan orang lain. Faktor ini terdiri atas mandatory behavior dan connected presence yang tinggi. Mandatory behavior mengarah pada perilaku yang harus dilakukan untuk memuaskan kebutuhan berinteraksi yang distimulasi atau didorong dari orang lain. Connected presence lebih didasarkan pada perilaku berinteraksi dengan orang lain yang berasal dari dalam diri. 4. Faktor eksternal Yaitu faktor yang berasal dari luar diri individu. Faktor ini terkait dengan tingginya paparan media tentang telepon genggam dan berbagai fasilitasnya. Sedangkan menurut Mark, Murray, Evans, & Willig (2004) kecanduan disebabkan karena: 1. Adanya keinginan yang kuat untuk selalu terlibat dalam perilaku tertentu, terutama ketika kesempatan untuk perilaku tertentu tidak dapat dilakukan. 2. Adanya kegagalan dalam melakukan kontrol terhadap perilaku, individu merasakan ketidaknyamanan dan stress ketika perilaku ditunda atau dihentikan. 3. Terjadinya perilaku terus menerus walaupun telah ada fakta yang jelas bahwa perilaku mengarah kepada permasalahan.
Universitas Sumatera Utara
4. Dampak Kecanduan Beberapa dampak dari kecanduan telepon genggam menurut Yuwanto (2010) antara lain : a. Konsumtif, penggunaan telepon genggam dengan berbagai fasilitas yang ditawarkan penyedia jasa layanan telepon genggam (operator) sehingga membuat individu harus mengeluarkan biaya untuk memanfaatkan fasilitas yang digunakan. b. Psikologis, individu merasa tidak nyaman atau gelisah ketika tidak menggunakan atau tidak membawa telepon genggam. c. Fisik, terjadi gangguan seperti gangguan atau pola tidur yang berubah d. Relasi sosial, berkurangnya kontak fisik secara langsung dengan orang lain. e. Akademis/pekerjaan, berkurangnya waktu untuk mengerjakan sesuatu yang penting dengan kata lain berkurangnya produktivitas sehingga mengganggu akademis atau pekerjaan. f. Hukum, keinginan untuk menggunakan telepon genggam yang tidak terkontrol menyebabkan
menggunakan
telepon
genggam
saat
mengemudi
dan
membahayakan bagi diri sendiri dan pengendara lain. 5. BlackBerry service Perangkat BlackBerry menggunakan sistem yang meng-update kotak pesan pengguna dan berbagai kemudahan komunikasi lainnya dengan mengirimkannya ke server RIM. BlackBerry memiliki kemampuan layanan push e-mail, telepon, SMS, menjelajah internet, dan berbagai kemampuan nirkabel lainnya. BlackBerry pertama kali diperkenalkan pada tahun 1997 oleh RIM
Universitas Sumatera Utara
sebagai perangkat yang mampu menyampaikan informasi melalui jaringan data nirkabel dari layanan perusahaan telepon genggam. Di Indonesia, smartphone ini diperkenalkan pertama kali pada pertengahan Desember 2004. Awalnya, layanan BlackBerry hanya bisa diakses melalui smartphone BlackBerry saja. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, ketiga operator ini telah menyediakan fasilitas BlackBerry Connect yang memungkinkan BlackBerry Internet Solution diakses melalui smartphone jenis lain seperti Nokia dan Sony Ericsson. Produk yang menjadi andalan utama dan membuat BlackBerry digemari di pasar adalah push e-mail. Produk ini mendapat sebutan ‘surategegas’ karena seluruh e-mail yang masuk, daftar kontak, dan informasi jadwal (calendar) masuk ke dalam BlackBerry secara otomatis. Dengan push e-mail, semua e-mail masuk dapat diteruskan langsung ke ponsel. E-mail juga sudah mengalami proses kompresi dan scan di server BlackBerry sehingga aman dari virus. Kelebihan lainya adalah kemampuan BlackBerry yang dapat menampung e-mail hingga puluhan ribu tanpa ada risiko hang, asalkan masih ada memori tersisa. BlackBerry juga bisa digunakan untuk chatting, yaitu BlackBerry Messenger (BBM). Faslitas ini mirip dengan Yahoo Messenger (YM), namun dilakukan melalui jaringan BlackBerry dengan memasukan nomor identitas (PIN). Fasilitas lain yang menjadi andalan BlackBerry adalah pesan instan. YM, Google Talk dan Skype kini telah menjadi rekanan BlackBerry. Tetapi yang berbeda pada BlackBerry adalah proses instalasi lengkap yang bisa dilakukannya melalui jaringan nirkabel (Rusmanto, 2009).
Universitas Sumatera Utara
6. Kecanduan BlackBerry service Kecanduan merupakan kondisi terikat pada kebiasaan yang sangat kuat dan tidak mampu lepas dari keadaan itu, individu kurang mampu mengontrol dirinya sendiri untuk melakukan kegiatan tertentu yang disenangi. Griffiths (Essau, 2008) menyatakan bahwa kecanduan merupakan aspek perilaku yang kompulsif, adanya ketergantungan, dan kurangnya kontrol. Cooper (2000) berpendapat bahwa kecanduan merupakan perilaku ketergantungan pada suatu hal yang disenangi. Individu biasanya secara otomatis akan melakukan apa yang disenangi pada kesempatan yang ada. Orang dikatakan kecanduan apabila dalam satu hari melakukan kegiatan yang sama sebanyak lima kali atau lebih. BlackBerry service adalah layanan yang disediakan BlackBerry dimana terdapat fitur-fitur seperti push e-mail, telepon, SMS, menjelajah internet, dan berbagai kemampuan nirkabel lainnya berupa fasilitas bbm (BlackBerry messanger). Jadi, kecanduan BlackBerry service adalah suatu kondisi dimana individu merasakan ketergantungan terhadap BlackBerry service akibat kurangnya kontrol terhadap perilaku sehingga secara otomatis akan melakukan apa yang disenangi pada berbagai kesempatan yang ada.
B. KONTROL DIRI 1. Definisi Kontrol Diri Menurut Mahoney dan Thoresen, (dalam Robert, 1975) kontrol diri merupakan komponen yang secara utuh (integrative) yang dilakukan individu
Universitas Sumatera Utara
terhadap lingkungannya. Individu yang memiliki kontrol diri yang tinggi akan menggunakan cara-cara yang tepat untuk berperilaku dalam kondisi yang berbeda atau bervariasi. Hurlock (1984) menyatakan bahwa kontrol diri berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan yang terdapat dalam dirinya. Calhoun dan Acocella (1990) mendefinisikan kontrol diri (selfkontrol) sebagai pengaturan proses-proses fisik, psikologis, dan perilaku seseorang dengan kata lain serangkaian proses yang membentuk dirinya sendiri. Goldfried dan Merbaum (dalam Lazarus, 1976), mendefinisikan kontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah konsekuensi positif. Kontrol diri juga menggambarkan keputusan individu yang melalui pertimbangan kognitif untuk menyatukan perilaku yang telah disusun untuk meningkatkan hasil dan tujuan tertentu seperti yang diinginkan (Lazarus, 1976). Kontrol diri merupakan suatu kecakapan individu dalam kepekaan membaca situasi diri dan lingkungannya serta kemampuan untuk mengontrol dan mengelola faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi untuk menampilkan diri dalam melakukan sosialisasi. Kemampuan untuk mengendalikan perilaku, kecenderungan untuk menarik perhatian, keinginan untuk mengubah perilaku agar sesuai untuk orang lain, menyenangkan orang lain, selalu konform dengan orang lain, menutup perasaannya (Roosianti, 1994). Calhoun dan Acocella (1990), mengemukakan dua alasan yang mengaruskan individu untuk mengontrol diri secara kontinyu. Pertama, Individu hidup bersama kelompok sehingga dalam memuaskan keinginannya individu
Universitas Sumatera Utara
harus mengontrol perilakunya agar tidak mengganggu kenyamanan orang lain. Kedua, Masyarakat mendorong individu untuk secara konstan menyusun standar yang lebih baik bagi dirinya, sehingga dalam rangka memenuhi tuntutan tersebut dibuatkan pengontrolan diri agar dalam proses pencapaian standar tersebut individu tidak melakukan hal-hal yang menyimpang. Berdasarkan penjelasan di atas, maka kontrol diri dapat diartikan sebagai suatu aktivitas pengendalian tingkah laku, pengendalian tingkah laku mengandung makna yaitu melakukan pertimbangan-pertimbangan terlebih dahulu sebelum memutuskan sesuatu untuk bertindak. Semakin tinggi kontrol diri semakin intens pengendalian terhadap tingkah laku. 2. Perkembangan Kontrol Diri Menurut Calhoun dan Acocella (1990), perkembangan kontrol diri (self kontrol) adalah penting untuk dapat bergaul dengan orang lain dan untuk mencapai tujuan pribadi. Kontrol diri kadang-kadang dianggap sebagai lawan dari kontrol eksternal. Pada mulanya, individu menetapkan standartnya sendiri, sedangkan terakhir, standar ditetapkan untuk dia. Proses belajar merupakan pusat bagi perkembangan kontrol diri. Melalui pengkondisian responden, kita mempelajari asosiasi dengan stimulus yang menyenangkan dan menyakitkan, jadi melatih diri sendiri untuk menunda pemuasan. Melalui pengkondisian operan, kita belajar mengontrol diri sendiri untuk mencapai konsekuensi yang memuaskan. Perilaku kita mungkin diperkuat dengan penguatan positif (stimulus menyenangkan) atau penguatan negatif
Universitas Sumatera Utara
(pemusnahan stimulus yang tidak menyenangkan). Perilaku dapat dilemahkan melalui hukuman atau pemusnahan. Ketika apa yang dipelajari seseorang dalam satu situasi atau tentang respon seseorang yang dipindahkan kesituasi atau respon lain, terjadilah generalisasi. Apabila perbedaan dibuat antara situasi atau respon, proses itu dinamakan diskriminasi. Respon-respon yang kompleks dapat dipelajari melalui pembentukan, proses mempelajari suatu respon melalui penguatan dari pendekatan yang berturut-turut mengenai respon itu, atau melalui peneladanan, belajar tentang suatu respon dengan mengamati orang lain. Kontrol
Diri
diartikan
sebagai
kemampuan
untuk
menyusun,
membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa ke arah konsekuensi positif. 3. Jenis Dan Aspek Kontrol Diri Averill
(dalam
Skinner,
1996)
menyebut
kontrol
diri
dengan
sebutanpersonal control, yang terdiri dari kontrol perilaku (behavior kontrol), kontrol kognitif (Cognitive kontrol) dan mengontrol keputusan (decesional kontrol). a. Behavioral Merupakan kesiapan tersedianya suatu respon yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku ini diperinci menjadi dua komponen, yaitu mengatur pelaksanaan (regulated administration) dan kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability). Kemampuan mengatur pelaksanaan merupakan
Universitas Sumatera Utara
kemampuan individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan, dirinya sendiri atau aturan perilaku dengan menggunakan kemampuan dirinya dan bila tidak mampu individu akan menggunakan sumber eksternal, kemampuan mengatur stimulus merupakan kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi. b. Cognitive kontrol Merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterprestasi, menilai, atau menghubungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau mengurangi tekanan. Aspek ini terdiri atas dua komponen, yaitu memperoleh informasi (information gain) dan melakukan penilaian (appraisal). Dengan informasi yang dimiliki oleh individu mengenai suatu keadaan yang tidak menyenangkan, individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai pertimbangan. c. Decisional Kontrol Merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya, kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan. Menurut Block dan Block (dalam Lazarus, 1976) ada tiga jenis kualitas kontrol diri, yaitu over kontrol, under kontrol, dan appropriate kontrol. Over kontrol merupakan kontrol diri yang dilakukan oleh individu secara berlebihan
Universitas Sumatera Utara
yang menyebabkan individu banyak menahan diri dalam bereaksi terhadap stimulus. Under kontrol merupakan suatu kecenderungan individu untuk melepaskan impulsivitas dengan bebas tanpa perhitungan yang masak. Appropriate kontrol merupakan kontrol individu dalam upaya mengendalikan implus secara tepat. Dari uraian dan penjelasan di atas, maka untuk mengukur kontrol diri digunakan aspek-aspek sebagai berikut: a. Kemampuan mengontrol perilaku b. Kemampuan mengontrol stimulus c. Kemampuan mengantisipasi suatu peristiwa atau kejadian d. Kemampuan menafsirkan peristiwa atau kejadian e. Kemampuan mengambil keputusan
C. KONTROL
DIRI
SEBAGAI
PREDIKTOR
KECANDUAN
MENGGUNAKAN BLACKBERRY SERVICE Mark, Murray, Evans, & Willig (2004) mengemukakan penyebab kecanduan yaitu: pertama, karena adanya keinginan yang kuat untuk selalu terlibat dalam perilaku tertentu (terutama ketika kesempatan untuk perilaku tertentu tidak dapat dilakukan). Kedua, karena adanya kegagalan dalam melakukan kontrol terhadap perilaku, individu merasakan ketidaknyamanan dan stress ketika perilaku ditunda atau dihentikan. Ketiga, terjadinya perilaku terus menerus walaupun telah ada fakta yang jelas bahwa perilaku mengarah kepada permasalahan.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan menurut Yuwanto (2010) beberapa faktor penyebab kecanduan telepon genggam seperti salah satunya kecanduan BlackBerry service yaitu : Faktor internal, yang terdiri atas faktor-faktor yang menggambarkan karakteristik individu. Tingkat sensation seeking yang tinggi (individu yang memiliki tingkat sensation seeking yang tinggi cenderung lebih mudah mengalami kebosanan dalam aktivitas yang sifatnya rutin), self-esteem yang rendah, kepribadian ekstraversi yang tinggi, kontrol diri yang rendah, kebiasaan menggunakan telepon genggam yang tinggi, expectancy effect yang tinggi, dan kesenangan pribadi yang tinggi dapat menjadi prediksi kerentanan individu mengalami kecanduan telepon genggam. Faktor situasional yang terdiri atas faktor-faktor penyebab yang mengarah pada penggunaan telepon genggam sebagai sarana membuat individu merasa nyaman secara psikologis ketika menghadapi situasi yang tidak nyaman, seperti pada saat stres, mengalami kesedihan, merasa kesepian, mengalami kecemasan, mengalami kejenuhan belajar, dan leisure boredom (tidak adanya kegiatan saat waktu luang) dapat menjadi penyebab kecanduan telepon genggam. Faktor sosial terdiri atas faktor penyebab kecanduan telepon genggam sebagai sarana berinteraksi dan menjaga kontak dengan orang lain. Faktor ini terdiri atas mandatory behavior dan connected presence yang tinggi. Mandatory behavior mengarah pada perilaku yang harus dilakukan untuk memuaskan kebutuhan berinteraksi yang distimulasi atau didorong dari orang lain. Connected presence lebih didasarkan pada perilaku berinteraksi dengan orang lain yang berasal dari dalam diri. Faktor eksternal yang berasal dari luar diri individu. Faktor ini terkait
Universitas Sumatera Utara
dengan tingginya paparan media tentang telepon genggam dan berbagai fasilitasnya. Yuwanto (2010) melakukan validasi simtom-simtom kecanduan telepon genggam dengan subjek penelitian sebanyak 200 mahasiswa berusia 17-18 tahun dengan teknik incidental sampling. Hasil penelitiannya mengungkapkan terdapat empat simtom kecanduan telepon genggam antara lain ketidakmampuan mengontrol keinginan menggunakan telepon genggam, kecemasan dan kehilangan bila tidak menggunakan telepon genggam, mengalihkan diri dari masalah, dan kehilangan produktifitas. Widarti (2010) dalam penelitiannya mengenai Hubungan Antara Kontrol Diri dan Kecanduan Game Online pada Remaja di Malang, mendapatkan hasil yang menunjukkan terdapat hubungan negatif antara kontrol diri dan kecanduan game online. Seperti yang dikemukakan di atas, salah satu penyebab kecanduan adalah ketidakmampuan dalam mengontrol keinginan. Dan kecanduan dengan kontrol diri memiliki hubungan yang negatif, dimana kontrol diri merupakan prediktor kecanduan seseorang terhadap penggunaan telepon genggam seperti kecanduan menggunakan BlackBerry service. Jadi, berdasarkan paparan diatas, peneliti ingin mengetahui
apakah
kontrol
diri
merupakan
prediktor
dari
kecanduan
menggunakan BlackBerry service.
Universitas Sumatera Utara
D. HIPOTESIS PENELITIAN Berdasarkan uraian dipaparkan di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: “Kontrol diri merupakan prediktor kecanduan menggunakan BlackBerry service”
Universitas Sumatera Utara