BAB II LANDASAN TEORI
II. A. Stres Kerja II. A. 1. Pengertian Stres Kerja Dalam hubungannya dengan pekerjaan, setiap orang pasti pernah mengalami stres. Adakalanya stres yang dialami seseorang itu adalah kecil dan hampir tak berarti, namun bagi yang lainnya dianggap sangat mengganggu dan berlanjut dalam waktu yang relatif lama (Efendi, 2001). Pekerjaan dapat menimbulkan stres karena pekerjaan memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia (Dawis, dkk, 1989). Lingkungan kerja, sebagaimana lingkungan-lingkungan lainnya, menuntut adanya penyesuaian diri dari individu yang menempatinya. Oleh karena itu, individu akan memiliki kemungkinan untuk mengalami suatu keadaan stres dalam lingkungan kerja (Leila, 2002). Secara sederhana stres dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana individu terganggu keseimbangannya (Dharmawan, dkk, 2005). Sering pula stres diartikan sebagai perasaan khawatir dan takut (Dawis, dkk, 1989). Hans Selye (dalam Efendi, 2001) yang dikenal sebagai father of stress theory mendefinisikan stres sebagai respon tubuh non-spesifik terhadap segala tekanan yang menimpanya. Cox dan Mackay (dalam Leila, 2002), menyatakan bahwa stres merupakan
hasil
penafsiran
seseorang
mengenai
keterlibatannya
dalam
lingkungannya, baik secara fisik maupun psikososial. Stres atau ketegangan timbul sebagai suatu hasil ketidakseimbangan antara persepsi orang tersebut mengenai tuntutan yang dihadapinya dan persepsinya
12
Universitas Sumatera Utara
mengenai kemampuannya untuk menanggulangi tuntutan tersebut (Fraser, dalam Leila, 2002). Stres dapat disebabkan oleh apapun yang menstimulasi kita; hal itu adalah bagian dari kehidupan. Beberapa tingkatan stres dapat distimulasi, namun bila terlalu banyak akan bisa merusak (Lazarus, dalam Austin, 2004). Stres berhubungan dengan situasi lingkungan yang dipersepsikan sebagai suatu tekanan yang melampaui kemampuan dan keadaan diri seseorang untuk mengatasinya (Mc Grath, dalam Chandraiah, dkk, 2003). Penghayatan stres ditentukan oleh penafsiran tentang tuntutan apa yang dihadapi dan oleh analisis dari sumbersumber yang dimiliki untuk mampu menghadapi tuntutan (Munandar, 2001). Stres yang kemunculannya mengacu pada pekerjaan seseorang disebut stres kerja (Austin, 2004). Stres kerja menurut Kahn, dkk (dalam Cooper, dkk, 2003) merupakan suatu proses yang kompleks, bervariasi, dan dinamis dimana stresor, pandangan tentang stres itu sendiri, respon singkat, dampak terhadap kesehatan,
dan
variabel-variabelnya
saling
berkaitan.
Cooper
(1998)
mengemukakan bahwa stres kerja adalah ketidakmampuan untuk memahami atau menghadapi tekanan, di mana tingkat stres tiap individu dapat berbeda-beda dan bereaksi sesuai perubahan lingkungan atau keadaan. Dunnette dan Hough (1998) menjelaskan bahwa dalam model stres dari Cooper ini stres muncul sebagai sebuah bentuk hipotetik dari manifestasi fisik, perilaku, mental, dan organisasi, yang pada akhirnya pemicu stres yang dipelajari akan menimbulkan hasil yang dapat dilihat melalui sisi individu (kesehatan mental dan fisik) serta tingakt organisasi (produktivitas, absen, turnover). Stres kerja juga dapat dirumuskan sebagai suatu keadaan tegang yang dialami di dalam suatu organisasi. Stres ini merupakan akibat dari lingkungan
13
Universitas Sumatera Utara
fisik, sistem dan teknik dalam organisasi, interaksi sosial interpersonal, struktur pekerjaan, tingkah laku individu sebagi anggota, dan aspek-aspek organisasi lainnya (Leila, 2002). Stres yang berlangsung dalam waktu yang lama akan menunjukkan hasil yang beragam. Stres berkepanjangan akan menyebabkan kerusakan kesehatan fisik dan psikologis, misalnya kesehatan memburuk, timbulnya perilaku psikotis, dan kelelahan kerja (Berry, 1997).
II. A. 2. Elemen Stres Kerja Williams dan Cooper (1998) mengidentifikasi 3 elemen dari proses stres, yaitu: 1.
Sumber tekanan; yaitu beban kerja, hubungan, pengenalan, kondisi organisasi, tanggung jawab individu, peran manajer, keseimbangan pekerjaan/rumah, gangguan sehari-hari.
2.
Perbedaan individual; yaitu tipe kepribadian, sabar/tidak sabar, kontrol, pengaruh pribadi, fokus masalah, keseimbangan kehidupan pekerjaan, dukungan sosial.
3.
Akibat; yaitu kepuasan kerja, kepuasan organisasi, stabilitas organisasi, keadaan pikiran, resiliensi, tingkat kepercayaan, simptom-simptom fisik, dan tingkat energi.
14
Universitas Sumatera Utara
II. A. 3. Faktor-faktor Stres Kerja Menurut Cooper dkk (2003) terdapat sembilan hal yang menjadi faktor stres kerja, yaitu: 1. Keterkaitan pekerjaan dengan kehidupan sosial atau keluarga, yaitu faktor yang berhubungan dengan hubungan sosial dan keluarga pekerja, misalnya resiko kegagalan hubungan, sikap pasangan terhadap pekerjaan, kurangnya kualitas hubungan dengan anak, tidak dapat menjalankan peran dalam keluarga dengan baik, terganggunya kehidupan sosial, merasa terisolasi, serta pekerjaan yang monoton. 2. Karir dan penghargaan, yaitu faktor yang berhubungan dengan kemajuan pekerjaan
individu,
misalnya
kurangnya
promosi,
kemampuan
tidak
dihargai/dikembangkan, kehilangan kesempatan, kurang dukungan sosial, kekhawatiran penurunan pendapatan, dan tingkat pembayaran. 3. Keamanan, yaitu faktor yang berhubungan dengan keselamatan kerja, misalnya terjadinya bencana, masalah fasilitas medis, perasaan tidak nyaman, kondisi kerja, resiko kesalahan, permasalahan konsentrasi, dan kesesuaian pekerjaan. 4. Persoalan manajemen dan hubungan dengan rekan kerja, yaitu persoalan hubungan dalam organisasi atau tempat kerja, misalnya masalah kerjasama, konselor, hubungan dengan atasan, ketidakpahaman instruksi, kesulitan untuk fokus, dan tidak adanya keseuaian karena bekerja terlalu lama. 5. Lingkungan fisik tempat kerja, yaitu faktor yang berhubungan dengan keadaan fisik lingkungan kerja, misalnya ketidaknamanan lingkungan kerja akibat panas, getaran, atau suara.
15
Universitas Sumatera Utara
6. Lingkungan tempat tinggal, yaitu faktor yang berhuibungan dengan kondisi tempat tinggal, misalnya buruknya kualitas sirkulasi udara, terganggunya masa istirahat, tinggal dengan orang lain, gangguan akomodasi tempat tinggal, dan berkurangnya ruang pribadi. 7. Peran manajerial, yaitu faktor yang berhubungan dengan kebijakan manajemen, misalnya dipromosikan terlalu tinggi, iklim dan semangat organisasi, dan keharusan mengerjakan atau mengawasi pekerjaan lain. 8. Ergonomi, yaitu faktor yang berhubungan dengan masalah-masalah ergonomi, misalnya sering mengangkat benda-benda berat, berlari cepat, atau bekerja dalam waktu lama. 9. Struktur organisasi, yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur dari organisasi tempat pekerja berada, misalnya pembagian waktu kerja, waktu libur, dan kurangnya kebebasan.
II. A. 4. Sumber-sumber Stres Kerja Sumber stres kerja merupakan interaksi dari beberapa faktor, yaitu stres di pekerjaan itu sendiri sebagai faktor eksternal, dan faktor internal seperti karakter dan persepsi dari karyawan itu sendiri (Rini, 2002). Dengan kata lain, stres kerja tidak semata-mata disebabkan masalah internal, sebab reaksi terhadap stimulus akan sangat tergantung pada reaksi subyektif individu masing-masing. Beberapa sumber stres yang menurut Cooper (dalam Rini, 2002) dianggap sebagai sumber stres kerja adalah: 1. Kondisi Pekerjaan
16
Universitas Sumatera Utara
Lingkungan Kerja. Kondisi kerja yang buruk berpotensi menjadi penyebab karyawan mudah jatuh sakit, mudah stres, sulit berkonsentrasi dan menurunnya produktivitas kerja.
Overload. Dapat dibedakan secara kuantitatif dan kualitatif. Dikatakan overload secara kuantitatif jika banyaknya pekerjaan yang ditargetkan melebihi kapasitas karyawan tersebut. Akibatnya karyawan tersebut mudah lelah dan berada dalam "tegangan tinggi". Overload secara kualitatif bila pekerjaan tersebut sangat kompleks dan sulit, sehingga menyita kemampuan teknis dan kognitif karyawan.
Deprivational Stres, yaitu kondisi pekerjaan yang tidak lagi menantang, atau tidak lagi menarik bagi karyawan. Biasanya keluhan yang muncul adalah kebosanan, ketidakpuasan, atau pekerjaan tersebut kurang mengandung unsur sosial (kurangnya komunikasi sosial).
Pekerjaan Berisiko Tinggi. Jenis pekerjaan yang beresiko tinggi, atau berbahaya bagi keselamatan, misalnya pekerjaan di pertambangan minyak lepas pantai, tentara, dan pemadam kebakaran, berpotensi menimbulkan stres kerja karena mereka setiap saat dihadapkan pada kemungkinan terjadinya kecelakaan.
2. Konflik Peran Sebagian besar karyawan yang bekerja di perusahaan yang sangat besar, atau yang kurang memiliki struktur yang jelas, mengalami stres karena konflik peran. Mereka stres karena ketidakjelasan peran dalam bekerja dan tidak tahu apa yang diharapkan oleh manajemen (Rice, 1992). Para wanita yang bekerja dikabarkan sebagai pihak yang mengalami stres lebih tinggi dibandingkan
17
Universitas Sumatera Utara
dengan pria. Masalahnya, wanita bekerja ini menghadapi konflik peran sebagai wanita karir sekaligus ibu rumah tangga. 3. Pengembangan Karir Setiap orang memiliki harapan-harapan ketika mulai bekerja di suatu perusahaan atau organisasi. Namun pada kenyataannya, impian dan cita-cita untuk mencapai prestasi dan karir yang baik seringkali tidak terlaksana. Alasannya bisa bermacam-macam seperti ketidakjelasan sistem pengembangan karir dan penilaian prestasi kerja, budaya nepotisme dalam manajemen perusahaan, atau karena sudah tidak ada kesempatan lagi untuk naik jabatan. 4. Struktur Organisasi Kebanyakan bisnis-bisnis lain di Indonesia yang masih sangat konvensional dan penuh dengan budaya nepotisme, minim akan kejelasan struktur yang menjelaskan jabatan, peran, wewenang dan tanggung jawab. Iklim perusahaan yang tidak sehat serta minimnya keterlibatan atasan membuat karyawan jadi stres karena merasa segala sesuatu menjadi tidak jelas.
II. B. Pekerja Sosial II. B. 1. Pengertian Pekerja Sosial Pengertian pekerja sosial diberikan kepada individu dalam lingkungan yang melaksanakan berbagai pelayanan yang dinaungi oleh bermacam-macam organisasi.
Pengertian
ini
berbeda
dengan
mereka
yang
memberikan
kontribusinya melalui basis relawan, dalam hal ini relawan tidak menerima pembayaran atas usaha yang mereka lakukan (Morales, 1980).
18
Universitas Sumatera Utara
Pekerja sosial merupakan pihak-pihak yang melaksanakan usaha kesejahteraan sosial baik yang berasal dari pemerintahan (birokrasi) maupun dari kalangan masyarakat atau LSM (Hidayat, 2004). Pekerja sosial adalah siapa saja yang bekerja memberikan bantuannya atau menjadi pendamping untuk pemenuhan kebutuhan manusia yang paling mendasar, hakiki, dan mendesak kepada anggota komunitas atau populasi yang memiliki keterbatasan dalam pemenuhan kebutuhan tersebut dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip kerja kemanusiaan (Dharmawan, dkk, 2005). Pekerja sosial merupakan orang-orang yang membantu orang lain mencegah atau memecahkan masalah dalam fungsi sosialnya. Untuk melaksanakan hal ini, maka seorang pekerja sosial harus memiliki pengetahuan, nilai, dan kemampuan yang sesuai untuk memberikan bantuan dalam masalah yang berada dalam jangkauan individual maupun komunitas (Morales dan Sheafor, 1980). Para pekerja sosial mendefinisikan masalah sosial sebagai terganggunya keberfungsian sosial individu, kelompok, atau komunitas sehingga mempengaruhi kemampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan, merealisasikan nilai-nilai yang dianutnya, serta menjalankan peran-perannya di masyarakat (Suharto, 2006). Melalui proses pengembangan masyarakat, pekerja sosial membantu korban agar dapat memperbaiki kehidupannya maupun masyarakat melalui tindakan-tindakan kolektif (Suharto, dalam Twelvetrees, 1991). Bagi pekerja sosial tidak ada kehidupan individu tertentu yang lebih berharga daripada individu lainnya, tidak ada kehidupan suatu kelompok yang lebih bermanfaat dari kelompok lainnya. Semua manusia dan masing-masing kehidupan individu dihormati atas nilai-nilai yang tidak terbatas. Nilai ini tidak
19
Universitas Sumatera Utara
akan dipengaruhi oleh bermacam-macam perbedaan yang mungkin muncul dalam hal fisik, kultur, ideologis, dan bentuk perilaku tertentu (Morales dan Sheafor, 1980). Pekerja sosial melakukan pekerjaan sosial yang merupakan profesi pertolongan kemanusiaan yang tujuan utamanya adalah membantu keberfungsian sosial individu, keluarga dan masyarakat dalam melaksanakan peran-peran sosialnya (Suharto, 1997).
II. B. 2. Fungsi Pekerja Sosial Hal utama yang dilakukan pekerja sosial dalam pekerjaan sosial adalah memberikan perhatian dan kepedulian kepada orang lain. Bentuk perhatian dan kepedulian ini dimanifestasikan dalam suatu tahap dimana pekerja sosial membantu perubahan individual dalam kondisi eksternal maupun internal yang menyebabkan
munculnya
permasalahan
atau
pembatasan
pengembangan
personal. Dalam bentuk yang lebih luas, pekerja sosial akan terlibat untuk membantu individu atau kelompok yang mengalami perubahan melalui pemberian pengaruh terhadap kebijakan nasional dengan tujuan mencapai masyarakat yang sejahtera (Morales dan Sheafor, 1980). Istiana (2001) menyatakan untuk mencapai tujuan kesejahteraan individu dan kolektif, pekerjaan sosial melaksanakan fungsi sebagai berikut: 1.
Membantu
orang
secara
efektif
meningkatkan
dan
menggunakan
kemampuannya secara lebih efektif untuk melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan memecahkan masalah mereka. 2.
Mengaitkan orang dengan sistem sumber.
20
Universitas Sumatera Utara
3.
Mempermudah interaksi, mengubah, dan menciptakan hubungan baru antarorang dan sistem sumber kemasyarakatan.
4.
Mempermudah interaksi, mengubah, dan menciptakan relasi antarorang di lingkungan sistem sumber.
5.
Memberikan sumbangan bagi perubahan, perbaikan, serta perkembangan kebijakan dan perundang-undangan sosial.
6.
Meratakan sumber-sumber material.
7.
Bertindak sebagai pelaksana kontrol sosial. Istiana (2001) lebih lanjut menjelaskan fungsi pekerjaan sosial tersebut
bertujuan
untuk
membantu
orang
meningkatkan
kemampuannya
dalam
menjalankan tugas kehidupan; memecahkan permasalahan yang dihadapi dalm berinteraksi dengan orang lain maupun sistem sumber; dan mempengaruhi kebijakan yang ada.
II. B. 3. Fungsi Pekerja Sosial di Aceh Alhumami (2007) menyebutkan bahwa pekerja sosial di Aceh bekerja mengevakuasi dan menguburkan mayat, membereskan reruntuhan bangunan, membersihkan kota dari lumpur dan sampah, dan mengurusi penduduk yang hanya dalam hitungan detik menjadi Internally Displaced Persons (IDPs), lalu tinggal di kamp-kamp pengungsian. Pitaloka (2005) menyatakan daftar kerja utama yang dilakukan para pekerja sosial di Aceh yang dirinci berdasarkan kegiatan pekerja sosial di Aceh akibar tsunami:
21
Universitas Sumatera Utara
1. Identifikasi tempat-tempat penampungan dan kebutuhan pengungsi yang dikelompokkan dalam: lokasi, jumlah pengungsi (berdasarkan gender dan usia), kondisi makanan, kesehatan, pakaian, shelter, air dan sanitasi, juga permintaan informasi dan catatan khusus mengenai kondisi itu. 2. Distribusi kebutuhan tempat-tempat penampungan yang telah teridentifikasi. 3. Distribusi relawan ke tempat-tempat penampungan lainnya serta mendirikan posko. 4. Evakuasi jenazah (korban). 5. Memperbarui informasi untuk dapat dimanfaatkan pihak luar (yang berkepentingan). 6. Mengusahakan logistik untuk didistribusikan. 7. Bongkar-muat pangan yang diangkat dan disebarkan ke wilayah pengungsian. Melalui data dari Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh, tercatat tanggal 10 April 2007, bidang kerja yang dilakukan pekerja sosial dari berbagai LSM di Aceh tercatat sebagai berikut: 1.
Program makanan (distribusi dan keamanan makanan).
2.
Kesehatan masyarakat (pembangunan rumah sakit, klinik)
3.
Rekonstruksi perumahan (pembangunan rumah permanen, rekonstruksi infrastruktur, rumah transisi).
4.
Pemulihan
ekonomi
(pemulihan
kemiskinan,
budidaya
udang/ikan,
rehabilitasi agrikultur). 5.
Air dan sanitasi (distribusi air tangki, air bersih, rehabilitasi air, pemasangan pompa air, kanal, dan toilet umum).
22
Universitas Sumatera Utara
6.
Pengembangan masyarakat (respon darurat terhadap gempa dan tsunami, pendidikan kesehatan, pengembangan anak, pemulihan masyarakat).
7.
Rehabilitasi lingkungan (rehabilitasi batu karang, hutan hujan, hutan manggrove).
8.
Pembenahan populasi dan tempat tinggal (rekonstruksi desa, penyatuan komunitas).
II. C. Aceh Dalam situs resmi pemerintahan Nanggroe Aceh Darussalam, dijelaskan bahwa provinsi ini merupakan daerah paling barat pulau Sumatera dengan ibukota Banda Aceh yang luas wilayahnya 56.500,51 Km2. Nanggroe Aceh Darussalam memiliki penduduk yang berjumlah 3.899.290 jiwa dengan suku bangsa Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Jawa, Simeuleue, Kluet, dan Aneuk Jamee. Agama yang tercatat di provinsi ini adalah Islam 98,80 %, Kristen Protestan 0,84%, Kristen Katolik 0,16%, Buddha 0,18%, dan Hindu 0,02%. Aceh merupakan wilayah yang menarik perhatian masyarakat di Indonesia maupun di dunia internasional pada masa yang lalu, saat ini, ataupun mungkin pada masa yang akan datang. Sejarah dan perkembangan suku bangsa Aceh juga menarik perhatian para antropolog (Usman, 2003). Kajian sejarah membuktikan bahwa ajaran Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Aceh dan menjadi nilai-nilai yang mengakar kuat dalam Hukum Adat, seperti yang disebutkan oleh Riddel dalam Reid (2006): There was also a set of judicial practices under the direction of the rulers, which drew on traditional local practice and was known as Hukom Adat. Some offences were judged according to Islamic law, others according to the Hukom Adat.
23
Universitas Sumatera Utara
Secara kultural dapat dilihat bahwa penduduk Aceh dipengaruhi oleh kebudayaan dari Gujarat dan Timur Tengah yang juga diklaim sebagai Kebudayaan Islam. Hal ini terlihat dalam tata cara berpakaian, tari-tarian, bahasa dan perilaku yang dipraktikkan sehari-hari (Usman, 2003). Beberapa antropolog menggunakan agama (Islam) untuk melihat kebudayaan Aceh. Melalatoa (2005) menyatakan bahwa kajian untuk memahami masyarakat Aceh dapat dipilih dengan melihat agama sebagai fokusnya, karena konfigurasi unsur-unsur kebudayaan sebuah kelompok terjaring oleh akidah dan kaidah agama. Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Aceh. Sebagian orang juga mempercayai bahwa Islam di Indonesia masuk melalui Aceh, dan karena itu, orang Aceh memiliki sejarah keislaman yang lebih lama dibandingkan orang-orang di daerah lain di Indonesia (Melalatoa, 2005). Sebagaimana Reid (2006) menyebutkan bahwa Aceh telah lama menjadi pusat berkembangnya penyebaran Islam di nusantara, Acehnese pilgrim visited Arabia in increasing numbers during this time, and Acehnese religion scholars increasingly traveled to Arabia to study at a various centre of Islamic learning. Ini menunjukkan bahwa kebudayaan Aceh tak bisa dilepaskan dari nilainilai Islami. Keislaman orang Aceh dapat dilihat bagaimana cara berpakaian, cara berbicara yang selalu mengucapkan salam, dan perilaku yang menampakkan nuansa “Islami”. Sehingga, wajar jika terdapat kesan bahwa orang Aceh identik dengan ketaatan dan fanatik terhadap ajaran Islam. Bahkan, Aceh dijuluki sebagai “Serambi Makkah” atau terasnya Makkah, tempat kiblatnya umat muslim di seluruh dunia (Melalatoa, 2005)
24
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, sejumlah studi antropologi juga menyatakan bahwa masyarakat Aceh dikenal memiliki watak yang keras. Sebagaimana dinyatakan oleh Reid (2005), hal ini sejak dulu tergambar dari sikap masyarakat Aceh dalam menghadapi pendudukan asing di Nusantara, sehingga dalam sejarah penjajahan Belanda di Indonesia, Aceh adalah wilayah paling akhir yang berhasil ditaklukkan, dan bahkan penaklukan Belanda pun tidak bisa dikatakan berhasil menduduki seluruh wilayah Aceh. Perpaduan antara nilai-nilai Islami yang kuat dan kecenderungan watak yang keras ini menyebabkan tidak ada perang kolonial lain di Indonesia yang sedahsyat peperangan Belanda di Aceh (Alfian, 1977). Hal ini dapat dikaitkan dengan ilmu antropologi psikologi yang telah memperhatikan psikologi dari kolektif-kolektif di berbagai daerah dan watak penduduk, sehingga dapat menjembatani kebudayaan dan kepribadian, yang menjadi fokus dari dua ilmu yang berbeda, menjadi sangat erat hubungannya (Barnouw, dalam Danandjaja, 1994). Aceh di masa sekarang merupakan daerah yang sedang berbenah diri setelah diterpa bencana dahsyat Tsunami. Bencana yang menimpa Nanggroe Aceh Darussalam di hari Natal 2004 (untuk zona waktu Eropa) telah menghancurkan sekaligus melahirkan ketakutan yang hadir secara nyata di Aceh, bahkan dikatakan sebagai bencana paling hebat di abad ini. Sebelumnya Aceh juga merupakan daerah dengan berbagai permasalahan, sehingga pendekatan militeristik, darurat sipil hingga otonomi khusus pernah ditetapkan di daerah ini (Yudha, 2006). Sampai akhirnya pada saat ini Aceh dengan segala kompleksitas permasalahan di dalamnya, berusaha membenahi diri melalui bantuan berbagai
25
Universitas Sumatera Utara
lembaga swadaya masyarakat nasional dan internasional yang telah mendirikan perwakilannya di Aceh. Ditinjau dari teori Korten (dalam Zaim, 1995), terdapat empat generasi strategi lembaga swadaya masyarakat, yaitu relief and welfare, self reliance local development, sustainable system development, dan people movement. Dari 4 generasi tersebut, ditemukan 2 pendekatan konvenen untuk LSM, yaitu konvenen politik dan konvenen sosial ekonomi sosial budaya. Hal ini sesuai dengan fungsi utama pelayanan LSM menurut Kamerman dan Kahn (dalam Moroney, 1991) yaitu pengembangan sosial dan kontrol sosial. Dari data yang diperoleh dari BRR, diketahui terdapat 114 yang masih aktif di Aceh (terhitung hingga tanggal 10 April 2007) dan kebanyakan dari LSM yang berkegiatan di Aceh bergerak dalam pendekatan konvenen kedua, yaitu sosial ekonomi budaya. Organisasiorganisasi tersebut menjalankan program yang berhubungan dengan pemulihan dan pencapaian kesejahteraan sosial di Nanggroe Aceh Darussalam, baik individual maupun kolektif.
II. D. Gambaran Stres Kerja Pada Pekerja Sosial Suku Non Aceh di Aceh Krisis yang disertai bencana hebat seringkali memiliki dampak yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Bencana dahsyat tsunami yang menerjang Aceh telah menghancurkan sekaligus melahirkan drama horor kemanusiaan yang luar biasa (Yudha, 2006). Data kehancuran yang diperoleh dari BAKORNAS (24 Januari 2005) adalah kematian 170.000 jiwa, hilangnya 30.000 jiwa, terlukanya 8.500 jiwa, dan 394.285 menjadi Internally Displaced Persons di 10 distrik di Aceh.
26
Universitas Sumatera Utara
Aceh pasca tsunami menjadi daerah dimana kini berbagai organisasi nasional maupun internasional telah menjadi suatu pemandangan umum di provinsi yang sebelumnya sangat tertutup bagi orang asing ini (Rokhadi, 2005). Aceh pun kebanjiran pekerja sosial yang bergabung dengan berbagai LSM di Aceh, baik pekerja sosial yang berasal dari Aceh maupun non Aceh, dari dalam maupun luar negeri, baik yang terlatih maupun nekat (Pitaloka, 2005). Pekerja sosial adalah siapa saja yang bekerja memberikan bantuannya atau menjadi pendamping untuk pemenuhan kebutuhan manusia yang paling mendasar, hakiki, dan mendesak kepada anggota komunitas atau populasi yang memiliki keterbatasan dalam pemenuhan kebutuhan tersebut dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip kerja kemanusiaan (Dharmawan, dkk, 2005). Pekerja sosial yang bekerja melintasi wilayah akan memberikan kontribusi personal pada tingkat global, untuk memperoleh pengalamanan belajar langsung mengenai negara dan budaya lain, serta untuk bertukar pikiran dengan orang-orang yang sebelumnya belum pernah ditemui (Collins, dkk, 2002). Ketika bencana terjadi, ratusan bahkan ribuan orang akan mulai menghubungi berbagai organisasi untuk mencoba menjadi relawan pada lokasi bencana. Gambaran dan cerita juga akan memotivasi orang-orang ini untuk membantu secepatnya, secara personal (Cravens, dkk, 2007). Namun pelaksanaan pekerjaan sosial ini tidaklah semudah yang dibayangkan. Apa yang seirngkali tidak disadari oleh kebanyakan orang adalah pekerja sosial dadakan yang tidak memiliki bekal dan pengalaman sebenarnya dapat menyebabkan lebih banyak masalah daripada yang dapat mereka atasi di situasi bencana (Cravens, dkk, 2007). Selain itu, kesejahteraan bagi para
27
Universitas Sumatera Utara
pekerjanya sendiri merupakan isu penting yang sering terlupakan dalam bidang bantuan sosial dan kemanusiaan (Dharmawan, dkk, 2006). Pekerjaan sosial kerap pula dikarakteristikkan dengan berbagai gangguan dan hambatan yang tidak dapat diperkirakan (Scholte, 2006). Menyusul trauma akibat suatu kejadian tunggal yang amat menggoncang, dapat timbul kemungkinan terjadinya stress pascatrauma (Dharmawan, dkk, 2005). Orang yang bekerja memberi bantuan atau dukungan bagi orang lain, khususnya korban trauma, sangat mungkin mengalami masalah-masalah khusus akibat pekerjaannya (Dharmawan, dkk, 2005). Salah satu survei yang dilakukan oleh Davies (1998) menemukan bahwa dari 524 pekerja sosial yang disurvei, 96% menyatakan bahwa pekerjaan mereka penuh tekanan, 77% menyatakan bahwa mereka menyadari adanya simptom fisik yang berhubungan dengan stres, dan 58% menyatakan bahwa mereka memang merasakan simptom fisiologis dari stres. Stres kerja merupakan ketidakmampuan untuk memahami atau menghadapi tekanan, dimana tingkat stres tiap individu dapat berbeda-beda dan bereaksi sesuai perubahan lingkungan atau keadaan (Cooper, 1988). Kebanyakan stres yang terjadi di kalangan pekerja sosial adalah hasil tekanan pekerjaan setiap hari (Scholte, dkk, 2006). Ehrenreich & Elliot (2004) menggambarkan stresor pekerja sosial, yaitu tuntutan fisik berat dan kondisi kerja tidak menyenangkan, beban kerja berlebihan dan jangka waktu lama, berkurang atau hilangnya ruang pribadi, jauh dari keluarga, adanya bahaya mengancam, kemungkinan
melakukan
evakuasi
berulang,
kemungkinan
menyaksikan
kemarahan dan berkurangnya rasa syukur korban, pengalaman trauma pribadi,
28
Universitas Sumatera Utara
kurangnya dukungan, beban manajemen organisasi, konflik interpersonal, perasaan sakit dan tidak berdaya ketika tidak bisa memenuhi tuntutan, serta dilema etika. McFarlene (2004) juga menyatakan adanya konsekuensi kesehatan yang berhubungan dengan pekerja sosial, yakni mencakup kematian, sakit fisik, dan distres psikologi. Eriksson dkk (dalam McFarlane, 2004) menyebutkan bahwa 10% sampel dalam penelitian yang mereka lakukan (yaitu pekerja sosial yang berasal dari Amerika) ditemukan mengalami post-traumatic stress disorder setelah 3 tahun kembali ke rumah. Holtz dkk (dalam Ehrenreich dan Elliot, 2004) menemukan bahwa pekerja sosial di Kosovo mengalami depresi dan kecemasan yang berhubungan dengan lamanya mereka bekerja. Di Indonesia, seperti yang tercantum pada Harian Media Indonesia (edisi 11 Juli 2006), terdapat seorang sukarelawan asing dirawat di instalasi jiwa Rumah Sakit Sardjito karena mengalami stres berat. Relawan yang negara asalnya dirahasiakan itu adalah seorang dokter umum. Kemungkinan sukarelawan itu tertekan melihat kondisi yang ada. Disebabkan sejak kedatangannya dua hari pascagempa, sukarelawan tersebut berulang kali turun langsung ke lapangan, melihat ribuan korban gempa dan ribuan rumah hancur. Laporan dari sumber yang beragam juga telah berulangkali menyatakan hubungan stres, culture shock, dan kelelahan yang dialami pekerja kemanusiaan (Danieli, dalam McFarlane, 2004). Untuk pekerja lintas wilayah, isolasi sosial, kultur, dan geografi seringkali menjadi bagian dalam pengalaman mereka. Pekerja lintas wilayah ini seringkali terisolasi dari masyarakat, jauh dari keakraban budaya, dan jika mereka mereka tinggal di daerah yang sulit dijangkau, maka
29
Universitas Sumatera Utara
mereka akan terisolasi secara geografi (McFarlane, 2004). Pekerja sosial sering pula menemukan diri mereka bekerja secara minoritas, berbeda dengan komunitas atau kelompok yang ada. Adanya perbedaan budaya dan bahasa akan menyebabkan terhambatnya penciptaan komunikasi interpersonal bahkan kepercayaan terhadap para pekerja sosial ini (McFarlane, 2004). Bagi pekerja sosial suku non Aceh yang melakukan pekerjaan pendampingan komunitas di Aceh, tantangan yang ada akan lebih berat. Hal ini dikarenakan masuknya para pekerja sosial non Aceh dalam kehidupan masyarakat Aceh dengan membawa serangkaian gagasan, budaya, dan pola pikir yang asing mungkin saja akan ditanggapi dengan penolakan (Dharmawan, dkk, 2005). Aceh sendiri adalah daerah yang penduduknya secara kultural dipengaruhi oleh kebudayaan Islam yang tampak dalam tata cara berpakaian, tari-tarian, bahasa dan perilaku yang dipraktikkan sehari-hari (Usman, 2003). Dari segi kehidupan, Aceh merupakan daerah yang jauh “lebih tertib” dibanding daerah-daerah lain di Indonesia (Muldya, 2005). Dalam bidang kerja kemanusiaan, peraturan dan prosedur yang mempunyai tingkat formalitas tinggi biasanya tidak diharapkan, dan hal ini biasanya menjadi permasalahan autonomi profesionalisme dan kontrol terhadap pekerjaan mereka. Formalitas yang akan membatasi kebebasan para pekerja sosial untuk berinovasi ini merupakan kondisi yang tidak diharapkan dalam pekerjaan mereka dan disadari sebagai stresor pekerjaan yang signifikan (Summers, dkk, dalam Lait dan Wallace, 2002). Selanjutnya, dalam studi yang dilakukan terhadap pekerja sosial, diketahui bahwa beban kerja yang tinggi juga akan menyebabkan berbagai masalah yang
30
Universitas Sumatera Utara
akan diderita para pekerja sosial. Beban kerja dilaporkan sebagai stresor yang signifikan (Matteson dan Ivancevich, dalam Lait dan Wallace, 2002). Pekerja sosial di Aceh diketahui melakukan pekerjaan yang cukup berat. Alhumami (2007) menyebutkan bahwa pekerja sosial di Aceh bekerja mengevakuasi dan menguburkan mayat, membereskan reruntuhan bangunan, membersihkan kota dari lumpur dan sampah, dan mengurusi penduduk yang hanya dalam hitungan detik menjadi Internally Displaced Persons, lalu tinggal di kamp-kamp pengungsian. Pitaloka (2005) menyatakan daftar kerja utama yang dilakukan para pekerja sosial di Aceh adalah identifikasi tempat-tempat penampungan dan kebutuhan pengungsi, distribusi kebutuhan, distribusi relawan, mendirikan posko, evakuasi korban, memperbarui informasi, mengusahakan logistik, serta bongkar-muat pangan yang diangkat dan disebarkan ke wilayah pengungsian. Selain beratnya tugas yang harus dilakukan, pekerja sosial di Aceh yang bekerja di wilayah konflik dan pascabencana tentunya akan memiliki karakteristik konteks yang berbeda dengan situasi biasa. Kondisi lingkungan kerja akan penuh dengan situasi sulit yang membawa dampak dan konsekuensi tersendiri. Di wilayah pascabencana kelumpuhan infrastruktur, keterbatasan fasilitas dan persediaan logistik maupun akses informasi dan transportasi menuntut pekerja sosial untuk memiliki strategi agar bisa bertahan (Dharmawan, dkk, 2005). Keamanan merupakan isu yang penting pula di Aceh, karena wilayah ini pernah mengalami konflik kekerasan (Noorsalim, 2006). Aceh sendiri dengan pendekatan militeristik dengan berbagai jenis operasi milter, darurat sipil hingga penetapan sebagai wilayah dengan otonomi khusus
31
Universitas Sumatera Utara
ternyata bahkan tidak mampu menyelesaikan masalahnya. Aceh masih dan tetap menjadi wilayah dengan kompleksitas persoalan di dalamnya. Bahkan dari dua puluh satu kabupaten/kota yang terdapat di provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam, enambelas diantaranya masuk dalam kategori Daerah Tertinggal (Yudha, 2006). Hal ini dapat dikaitkan dengan penelitian McFarlane (2004) yang menyatakan bahwa pekerja sosial yang bekerja pada lingkungan yang kompleks dimana masalah yang ada berhubungan dengan konflik sipil yang berkepanjangan, kemiskinan, dan bencana akan menempatkan pekerja–pekerja tersebut pada resiko terjadinya pengalaman trauma dan kumulasi stres harian. Sehingga keadaan Aceh yang wilayahnya dulu pernah mengalami konflik kekerasan dan sampai sekarang memiliki kabupaten yang masih tergolong daerah tertinggal, akan mempengaruhi keadaan pekerja sosial yang bekerja di daerahnya. Dalam pekerjaan sosial, perhatian yang mendalam mengenai keamanan pribadi, rekan, keluarga, dan teman adalah hal yang umum. Eriksson (dalam McFarlane, 2004) menemukan bahwa tingginya frekuensi mengenai kecemasan akan hal ini dapat meningkatkan level stres para pekerja sekembalinya mereka ke rumah. Pekerja sosial suku non Aceh yang bekerja lintas wilayah dan terpisah jauh dari keluarga ini juga kerap diterpa isu-isu kontekstual. Pekerja sosial dihadapkan dengan prasangka yang kadang tertuju pada relawan asing atau mereka yang memiliki keyakinan berbeda dengan mayoritas masyarakat (Pitaloka, 2005). Generalisasi mengenai masyarakat Aceh juga telah berkembang di antara pemberi bantuan bahwa masyarakat Aceh bersikap pasif, tidak tahu berterima kasih, dan tidak turut membantu situasi darurat (Dharmawan, dkk, 2005).
32
Universitas Sumatera Utara
II. E. Permasalahan Penelitian Sebagaimana pembahasan sebelumnya maka yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah gambaran umum stres kerja pada pekerja sosial suku non Aceh di Aceh. Penelitian ini juga akan melihat faktor-faktor yang terdapat dalam stres kerja. Adapun permasalahan pada penelitian ini secara umum adalah: 1. Bagaimana gambaran umum stres kerja pada pekerja sosial suku non Aceh di Aceh? 2. Bagaimana gambaran mean score stres kerja pada pekerja sosial suku non Aceh di Aceh ditinjau dari usia, status pernikahan, wilayah kerja dan gaji? 3. Bagaimana gambaran mean score faktor-faktor stres kerja pada pekerja sosial suku non Aceh di Aceh ditinjau dari usia, status pernikahan, wilayah kerja dan gaji?
33
Universitas Sumatera Utara