BAB II LANDASAN TEORI
2.1.
Konsep Diri
2.1.1. Pengertian Konsep Diri Berpikir mengenai diri sendiri adalah aktivitas manusia yang tidak dapat dihindari, secara harafiah orang akan berpusat pada dirinya sendiri. Faktor genetik memainkan sebuah peran terhadap identitas diri atau konsep diri yang sebagian besar didasarkan pada interaksi dengan orang lain yang dipelajari mulai dengan anggota keluarga terdekat kemudian meluas ke interaksi dengan mereka diluar keluarga (Baron & Byrne, 2004). Konsep diri merupakan gambaran yang bersifat individual dan sangat pribadi, dinamis dan evaluatif. Setiap individu mengembangkan konsep dirinya didalam transaksi dengan lingkungan dan dibawa dalam perjalanan hidupnya (Burns, 1993). Menurut Hurlock (2005) konsep diri didasarkan atas keyakinan anak mengenai pendapat orang yang penting dalam kehidupan mereka, yaitu orangtua, guru, dan teman sebaya tentang diri mereka. Apabila anak yakin bahwa orangorang yang penting baginya menyenangi mereka, maka mereka akan berpikir secara positif tentang diri mereka dan sebaliknya. Konsep diri adalah gambaran yang dimiliki orang tentang dirinya yang merupakan gabungan dari keyakinan yang dimiliki orang tentang diri mereka sendiri yang meliputi karakteristik fisik, psikologis, sosial dan emosional, aspirasi dan prestasi. Konsep diri terdiri dari aspek fisik dan psikologis. Keadaan fisik seseorang merupakan salah satu faktor
yang turut menentukan dalam pembentukan konsep diri. Aspek fisik terbentuk terlebih dahulu dari pada aspek psikologis dan berkaitan dengan penampilan fisik, seperti: daya tariknya, kesesuaian atau ketidaksesuaian dengan jenis kelaminnya, pentingnya bagian-bagian tubuh terhadap tingkah laku dan prestasi yang diakibatkan oleh penampilan fisiknya dimata orang lain. Aspek psikologis merupakan konsep mengenai karakteristik-karakteristik tertentu yang didasarkan atas pikiran, perasaan, dan emosi. Aspek psikologis terdiri atas kualitas dan kemampuan yang mempengaruhi penyesuaian pada kehidupan, sifat-sifat seperti: keberanian, kejujuran, kemandirian dan kepercayaan diri serta berbagai jenis aspirasi dan kemampuan. Konsep diri menurut Rogers (Schultz, 1991) adalah kesadaran batin yang tetap, mengenai pengalaman yang berhubungan dengan aku dan membedakan aku dari yang bukan aku. Konsep diri ini terbagi menjadi dua yaitu konsep diri real dan konsep diri ideal. Untuk menunjukkan apakah kedua konsep diri tersebut sesuai atau tidak, Rogers mengenalkan dua konsep lagi, yaitu Incongruence dan Congruence. Incongruence adalah ketidakcocokan antara self yang dirasakan dalam pengalaman aktual disertai pertentangan dan kekacauan batin. Sedangkan Congruence berarti situasi di mana pengalaman diri diungkapkan dengan seksama dalam sebuah konsep diri yang utuh, integral, dan sejati. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah gambaran seseorang mengenai dirinya yang bersifat individual, yang merupakan gabungan dari keyakinan yang dimiliki orang tentang diri mereka sendiri. Gambaran ini terbentuk sebagai hasil interaksi dengan orang lain/lingkungan.
2.1.2. Perkembangan Konsep Diri Lukman (2006) mengemukakan bahwa secara dinamis, konsep diri akan berkembang karena adanya pengalaman interaksi antara dirinya dengan orang lain. Dasar pengalaman dan interaksi ini kemudian menilai dirinya dan gilirannya menggunakan penilaiannya tersebut menjadi tolak ukur dalam berpikir dan berperilaku. Perkembangan konsep diri menurut Hurlock (2005) bersifat hierarkis, dari yang paling dasar, yaitu konsep diri primer dan kemudian membentuk konsep diri sekunder. Konsep diri primer mencakup citra fisik dan psikologis diri. Citra psikologis diri didasarkan atas hubungan anak dengan saudara kandungnya. Begitu pula konsep awal mengenai peranannya dalam hidup, aspirasi dan tanggung jawabnya terhadap orang lain didasarkan atas ajaran dan tekanan orangtua. Dengan meningkatnya pergaulan dengan orang di luar rumah anak memperoleh konsep yang lain tentang diri mereka, yang kemudian akan membentuk konsep diri sekunder. Konsep sekunder ini berhubungan dengan bagaimana anak melihat dirinya melalui mata orang lain.
2.1.3
Aspek Konsep Diri Menurut Baron & Byrne (2004), bahwa terdapat 4 (empat) aspek dalam
konsep diri diantaranya:
a. Self Esteem Mungkin sikap yang paling penting dikembangkan oleh seseorang adalah sikap terhadap diri. Evaluasi terhadap diri sendiri dikenal sebagai self esteem. Sikap seseorang terhadap dirinya sendiri dalam rentang dimensi positif-negatif. Baron & Byrne (2004) menyatakan tiga kemungkinan motif dalam evaluasi diri.
Orang dapat mencari self assesment (untuk memperoleh
pengetahuan yang akurat tentang dirinya sendiri), self enhancement (untuk mendapatkan informasi positif tentang diri mereka sendiri), self verificatoin (untuk mengkonfirmasi sesuatu yang sudah mereka ketahui tentang diri mereka sendiri). Memiliki self esteem yang tinggi berarti seseorang individu menyukai dirinya sendiri. Evaluasi positif ini sebagian berdasarkan opini orang lain dan sebagian berdasarkan dari pengalaman spesifik. Self esteem sering kali diukur sebagai sebuah peringkat dalam dimensi yang berkisar dari negatif sampai positif atau dari rendah sampai tinggi. Sebuah sumber informasi utama yang relevan dengan evaluasi diri adalah orang lain, kita menilai diri sendiri atas dasar perbandingan sosial (social comparisons). b. Self Focusing Menurut Fiske & Taylor (dalam Baron & Byrne, 2004), pada saat kapanpun, perhatian seseorang dapat diarahkan kedalam dirinya sendiri atau pada dunia eksternal. Self focusing didefinisikan sebagai perhatian yang diarahkan pada diri sendiri. Anak-anak yang sangat kecil akan lebih sering memfokuskan diri diri pada dunia eksternal. Namun fokus diri akan meningkat pada anak-anak dan
remaja karena pada saat anak memasuki usia remaja mereka akan memperhatikan fisik mereka. c. Self Monitoring Istilah self monitoring merujuk pada kecenderungan untuk mengatur tingkah laku berdasarkan petunjuk eksternal seperti bagaimana orang lain bereaksi (self monitoring tinggi) atau berdasar pada petunjuk internal seperti keyakinan seseorang dan sikapnya (self monitoring rendah). Orang dengan self monitoring yang rendah cenderung bertingkah laku dengan cara yang konsisten terlepas dari situasi yang ia hadapi, sementara orang dengan self monitoring yang tinggi cenderung mengubah tingkah laku saat situasi berubah. d. Self Efficacy Self efficacy adalah keyakinan seseorang akan kemampuan atau kompetensinya atas kinerja tugas yang diberikan, mencapai tujuan, atau mengatasi sebuah hambatan. Self efficacy yang tinggi adalah penting bagi performa tugas yang sukses, tugas-tugas sekolah, latihan fisik, kesehatan, aksi politik, dan menghindari laku pelanggaran. Kuper & Kuper (dalam Fiest & Fiest, 2006) menyebutkan 2 (dua) aspek besar dalam menjelaskan konsep diri, yaitu identitas dan evaluasi diri. a. Konsep identitas, konsep ini terfokus pada makna yang dikandung diri sebagai suatu obyek, memberi struktur dan isi pada konsep diri, dan mengaitkan diri individu pada sistem sosial. Secara umum, identitas mengacu pada siapa atau apa dari seseorang, sekaligus mengacu pada
berbagai makna yang diberikan pada seseorang oleh dirinya sendiri dan orang lain. b. Evaluasi diri (atau harga diri) dapat terjadi pada identitas-identitas tertentu yang dianut oleh individu, atau dapat juga terjadi pada evaluasi holistik tentang diri.
2.2.
Tunarungu Tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran
yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera pendengarannya (Somantri, 2006). Dwidjosumarto (dalam Somantri, 2006) mengemukakan bahwa seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu. Ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar (low of hearing). Tunarungu merupakan salah satu bentuk kekurangan dalam diri individu yang tersembunyi, maksudnya walaupun mereka memiliki kekurangan dalam hal pendengaran, secara jasmani anak tunarungu tidak terlihat berbeda dibandingkan anak-anak lainnya. Selain itu, keseharian manusia yang lebih mengandalkan indera penglihatan membuat kekurangan pendengaran yang dimiliki anak tunarungu. Hal tersebut kemudian membuat sebagian orang menganggap bahwa tunarungu bukan sebagian hal yang serius dan kurang mendapat simpati dari banyak orang (Bowley & Gardner, 1972). Mufti Salim (dalam Somantri, 2006) menyimpulkan bahwa anak tunarungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan
mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya. Ia memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus untuk mencapai kehidupan lahir batin yang layak. Berdasarkan pendapat ahli diatas disimpulkan bahwa tunarungu adalah mereka yang kehilangan pendengaran baik sebagian (hard of hearing) maupun seluruhnya (deaf) yang menyebabkan pendengarannya tidak memiliki nilai fungsional di dalam kehidupan sehari-hari. 2.2.1. Klasifikasi tunarungu a. Klasifikasi menurut penyebab ketunarunguan. Dalam hal ini penyebab ketunarunguan ada beberapa faktor, yaitu: 1). Pada saat sebelum dilahirkan a) Salah satu atau kedua orang tua anak menderita tunarungu atau mempunyai gen sel pembawa sifat abnormal, misalnya dominat genes, recesive gen, dan lain-lain. b) Karena penyakit; sewaktu ibu mengandung terserang suatu penyakit, terutama penyakit-penyakit yang diderita pada saat kehamilan tri semester pertama yaitu saat pembentukan ruang telinga. Penyakit itu ialah rubella, moribili, dan lain-lain. c) Karena keracunan obat-obatan; pada suatu kehamilan, ibu meminum obat terlalu banyak, ibu seorang pecandu alkohol, atau ibu tidak menghendaki kehadiran anaknya sehingga ia meminum
obat
penggugur
kandungan,
hal
ini
akan
menyebabkan
ketunarunguan pada anak yang dilahirkan. 2). Pada saat kelahiran a) Sewaktu melahirkan, ibu mengalami mengalami kesulitan sehingga persalinan dibantu dengan penyedotan (tang). b) Prematuritas, yakni bayi yang lahir sebelum waktunya. 3). Pada saat setelah kelahiran (post natal) a) Ketulian yang terjadi karena infeksi, misalnya infeksi pada otak (meningitis) atau infeksi umum seperti difteri, morbili, dan lainlain. b) Pemakaian obat-obatan ototoksi pada anak-anak. c) Karena
kecelakaan
yang
mengakibatkan
kerusakan
alat
pendengaran bagian dalam, misalnya jatuh. b. Klasifikasi menurut tarafnya Klasiikasi menurut tarafnya dapat diketahui dengan tes audiometris. Untuk kepentingan pendidikan ketunarunguan diklasifikasikan sebagaimana pendapat Dwidjosumarto (dalam Somantri, 2006) mengemukakan bahwa: Tingkat I,
kehilangan kemampuan mendengar antara 35 sampai 54 dB, penderita hanya memerlukan latihan berbicara dan bantuan mendengar secara khusus.
Tingkat II,
kehilangan kemampuan mendengar antara 55 sampai 69 dB, penderita kadang-kadang memerlukan penempatan sekolah secara
khusus, dalam kebiasaan sehari-hari memerlukan latihan berbicara dan bantuan latihan berbahasa secara khusus. Tingkat III,
kehilangan kemampuan mendengar antara 70 sampai 89 dB.
Tingkat IV,
kehilangan kemampuan mendengar 90 dB ke atas.
Penderita dari tingkat I dan II dikatakan mengalami ketulian. Dalam kebiasaan sehari-hari mereka sesekali latihan berbicara, mendengar berbahasa, dan memerlukan pelayanan pendidikan secara khusus. Anak yang kehilangan kemampuan mendengar dari tingkat III dan IV pada hakekatnya memerlukan pelayanan pendidikan khusus. 2.2.2. Perkembangan Anak Tunarungu Somantri (2006) mengemukakan bahwa ada 4 (empat) perkembangan anak tunarungu yaitu diantaranya: a. Perkembangan Bahasa Dalam perkembangan bahasa, anak tunarungu jelas mengalami hambatan, akibat terbatasnya ketajaman pendengaran, anak tunarungu tidak mampu mendengar dengan baik. Perkembangan kemampuan bahasa dan komunikasi anak tunarungu terutama yang tergolong tunarungu total tentu tidak mungkin untuk sampai pada penguasaan bahasa melalui pendengarannya, melainkan harus melalui penglihatan dan memanfaatkan sisa pendengarannya. Oleh sebab itu komunikasi bagi anak tunarungu mempergunakan segala aspek yang ada pada dirinya. Adapun berbagai media komunikasi yang dapat digunakan sebagai berikut:
1) Bagi anak tunarungu yang mampu bicara, tetap menggunakan bicara sebagai media dan membaca ujaran sebagai sarana penerimaam dari pihak anak tunarungu. 2) Menggunakan media tulisan dan membaca sebagai sarana penerimaannya. 3) Menggunakan isyarat sebagai media. b. Perkembangan Kognitif Pada umumnya inteligensi anak tunarungu secara potensial sama dengan anak normal, tetapi secara fungsional perkembangannya dipengaruhi oleh tingkat kemampuan bahasanya, keterbatasan informasi, dan daya abstraksi anak. Akibat ketunarunguannya menghambat proses pencapaian pengetahuan yang lebih luas. Dengan demikian perkembangan intelegensi secara fungsional terhambat. Perkembangan kognitif anak tunarungu sangat dipengaruhi oleh perkembangan bahasa, sehingga hambatan pada bahasa akan menghambat perkembangan inteligensi anak tunarungu. Kerendahan tingkat inteligensi anak tunarungu bukan berasal dari hambatan intelektualnya yang rendah, melainkan secara umum karena inteligensinya tidak mendapat kesempatan untuk berkembang. Pemberian bimbingan yang teratur terutama dalam kecakapan berbahasa akan dapat membantu perkembangan inteligensi anak tunarungu. Aspek inteligensi yang terhambat perkembangannya ialah yang bersifat verbal, misalnya merumuskan pengertian menghubungkan, menarik kesimpulan, dan meramalkan kajadian.
c. Perkembangan Emosi Kekurangan akan pemahaman bahasa lisan atau tulisan seringkali menyebabkan anak tunarungu menafsirkan sesuatu secara negatif atau salah, dan ini sering menjadi tekanan bagi emosinya. Tekanan pada emosinya itu dapat menghambat perkembangan kepribadiannya dengan menampilkan kebimbangan dan keragu-raguan. Emosi anak tunarungu selalu bergolak disatu pihak karena kemiskinan bahasanya dan dipihak lain karena pengaruh dari luar yang diterimannya. Anak tunarungu bila ditegur oleh orang yang tidak dikenalnya akan tampak resah dan gelisah. d. Perkembangan Sosial Manusia sebagai makhluk sosial selalu memerlukan kebersamaan dengan orang lain. Demikian pula anak tunarungu, ia tidak lepas dari kebutuhan tersebut. Akan tetapi karena mereka memiliki kelainan dalam segi fisik, biasanya akan menyebabkan suatu kelainan dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan. Pada umumnya lingkungan melihat mereka sebagai individu yang memiliki kekurangan dan menilainya sebagai seseorang yang kurang berkarya. Dengan penilaian lingkungan yang demikian, anak tunarungu merasa benar-benar kurang berharga.
2.3.
Konsep Diri Remaja Tunarungu Menurut Hurlock (2005), kekurangan fisik yang dialami remaja dapat
menjadi sumber kesulitan dan rasa rendah diri padanya. Perasaan rendah diri ini timbul dari rasa ketidaksempurnaan seseorang dalam suatu segi kehidupan. Hal
ini karena keadaan fisiknya yang tidak normal, maka mereka merasa adanya perasaan kurang percaya diri, tidak diterima bila berhubungan dengan mereka. Powel (dalam Somantri, 2006) mengatakan bahwa remaja yang mengalami ketunarunguan
tampak mempunyai
kesukaran emosi
yang lebih
besar
dibandingkan dengan teman-teman sebayanya yang normal. Pada anak tunarungu, keterbatasan kecakapan berbahasa mengakibatkan kesukaran dalam berkomunkasi dan akhirnya menghambat perkembangan emosi. Emosi berkembang karena pengalaman dalam berkomunikasi antara anak tunarungu itu sendiri dengan orang-orang disekitarnya. Selain disebabkan kemiskinan bahasa anak tunarungu yang mengakibatkan kedangkalan emosinya, juga sikap masyarakat serta kegagalannya dalam banyak hal mengakibatkan emosi anak tunarungu menjadi tidak stabil. Mereka selalu ragu-ragu dan semua perbuatannya disertai perasaan cemas, sehingga menimbulkan rasa curiga pada lingkungan dan kurang percaya diri. Bunawan (1995) menyatakan bahwa pertemuan faktor-faktor dalam diri anak tunarungu yaitu ketidakmampuan dalam menerima rangsang pendengaran, kemiskinan dihubungkan
bahasa, dengan
ketidaktetapan sikap
emosi,
lingkungan
dan
keterbatasan
terhadapnya
dapat
intelektual menghambat
perkembangan kepribadiannya. Seorang anak tunarungu yang ditertawakan ketika berkomunikasi dengan orang lain dapat menjadi segan untuk berlatih berbicara dan berbicara. Perasaan bersalah karena ketidaksempurnaan fisik yang ada dalam diri anak tunarungu dapat menimbulkan rasa malu dan takut yang menetap. Anak tunarungu akan memiliki konsep diri yang positif jika ada pengertian, perhatian
dan sikap yang membantu dari orang-orang yang ada di dekatnya. Seperti orang tua, guru, dan teman sekolahnya yang selalu membantu anak tersebut dalam mengembangkan konsep diri yang dimilikinya.
2.4.
Belajar
2.4.1. Pengertian Belajar Hilgard dan Bower (dalam Purwanto, 2006) mengemukakan bahwa belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atas dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang. Menurut Syah (2005), secara umum belajar dapat dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Purwanto (2006) mengemukakan bahwa terdapat elemen-elemen penting yang mencirikan pengertian tentang belajar, yaitu: belajar merupakan suatu perubahan tingkah laku, belajar merupakan suatu perubahan yang terjadi melalui latihan atau pengalaman, dan tingkah laku yang mengalami perubahan karena belajar menyangkut berbagai aspek kepribadian, baik fisik maupun psikis. 2.4.2. Proses Belajar Menurut Bruner (dalam Syah, 2005), dalam proses pembelajaran anak menempuh tiga fase.
a. Fase Informasi (tahap penerimaan materi). b. Fase Transformasi (tahap pengubahan materi). c. Fase Evaluasi (tahap penilaian materi). Dalam fase informasi, seorang anak yang sedang belajar memperoleh sejumlah keterangan mengenai materi yang sedang dipelajari. Dalam fase transformasi, informasi yang telah diperoleh itu dianalisis, diubah, atau ditransformasikan menjadi bentuk yang abstrak atau konseptual supaya kelak pada gilirannya dapat dimanfaatkan bagi hal-hal yang lebih luas. Dalam fase evaluasi, seorang anak akan menilai sendiri sampai sejauh manakah pengetahuan (informasi yang telah ditransformasikan) dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain atau memecahkan masalah yang dihadapi. Wittig (dalam Syah, 2005) menjelaskan bahwa setiap proses belajar selalu berlangsung dalam tiga tahapan, yaitu: Acquisition (tahap perolehan/penerimaan informasi), pada tingkat ini anak mulai menerima informasi sebagai stimulus dan melakukan respons terhadapnya, sehingga menimbulkan pemahaman dan perilaku baru. Storage (tahap penyimpanan informasi), dalam tingkat ini anak secara otomatis akan mengalami proses penyimpanan pemahaman dan perilaku baru yang ia peroleh ketika menjalani proses acquisitation. Retrieval (tahap mendapatkan kembali informasi), dalam tingkatan ini anak akan mengaktifkan kembali fungsi-fungsi sistem memorinya, misalnya ketika ia menjawab pertanyaan atau memecahkan masalah.
2.5.
Prestasi Belajar
2.5.1. Pengertian Prestasi Belajar Penilaian terhadap tingkat keberhasilan anak mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah program disebut evaluasi belajar/prestasi belajar. Padanan kata evaluasi adalah assessment yang berarti proses penilaian untuk menggambarkan prestasi yang telah dicapai seorang anak sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Selain kata evaluasi dan assessment ada pula kata lain yang memiliki arti yang sama dalam dunia pendidikan yakni, tes, ujian, dan ulangan. Ulangan dan Ulangan Umum yang dulu disebut THB (Tes Hasil Belajar) dan TPB (Tes Prestasi Belajar) adalah alat-alat ukur yang banyak digunakan untuk menentukan taraf keberhasilan sebuah proses belajar-mengajar atau untuk menentukan taraf keberhasilan sebuah program pengajaran. Prestasi belajar dapat diukur melalui nilai dalam raport. Istilah evaluasi biasanya dipandang dipandang sebagai ujian untuk menilai hasil pembelajaran para anak pada akhir jenjang pendidikan tertentu. Di Indonesia ujian seperti ini disebut Ujian Akhir Nasional (UAN) (Syah, 2005). Menurut Bloom (dalam Winkel, 1996), prestasi belajar adalah proses belajar yang dialami anak untuk menghasilkan perubahan dalam bidang pengetahuan, pemahaman, penerapan, daya analisis, sintesis, dan evaluasi. Sedangkan menurut Djamarah (dalam Rusyan, dkk., 1994) prestasi belajar adalah hasil penilaian pendidikan tentang perkembangan dan kemajuan siswa yang berkenan dengan penguasaan bahan pelajaran yang telah disajikan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah penilaian terhadap tingkat keberhasilan anak dalam penguasaan bahan pelajaran yang
telah
disajikan
sehingga
menghasilkan
perubahan
dalam
bidang
pengetahuan, pemahaman, penerapan, daya analisis, sintesis, dan evaluasi yang dapat diukur melalui nilai dalam raport. 2.5.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses dan Hasil Belajar Syah (2006) menjelaskan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar anak, antara lain: a. Faktor Internal Faktor internal (faktor dari dalam diri anak), yakni keadaan/kondisi jasmani dan rohani anak. Faktor ini meliputi dua aspek yakni aspek fisiologis dan aspek psikologis. Aspek fisiologis (kondisi jasmani) yang menandai tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya, yang dapat mempengaruhi semangat dan intensitas anak dalam mengikuti pelajaran. Banyak yang termasuk aspek psikologis yang dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas perolehan pembelajaran anak yakni, tingkat kecerdasan/inteligensi, sikap, bakat, minat, konsep diri dan motivasi. Tingkat kecerdasan atau inteligensi (IQ) tidak dapat diragukan lagi, sangat menentukan tingkat keberhasilan belajar, maka anak yang memiliki inteligensi yang tinggi akan memiliki peluang yang lebih besar dari pada anak yang berinteligensi rendah untuk meraih kesuksesan dalam belajar. Sikap negatif/positif anak terhadap guru atau mata pelajaran akan mempengaruhi dalam proses dan prestasi belajar anak. Anak yang memiliki sikap negatif terhadap guru atau mata pelajaran akan mengalami kesulitan dalam proses
belajarnya dibandingkan dengan anak yang memiliki sikap positif terhadap guru atau mata pelajaran. Bakat yang dimiliki anak akan mempengaruhi tinggirendahnya prestasi yang akan dicapai oleh anak tersebut. Minat anak dalam mata pelajaran akan mempengaruhi kualitas pencapaian hasil belajar anak tersebut. Anak yang memiliki konsep diri yang tinggi akan memiliki kesempatan untuk berprestasi dibandingkan dengan anak yang memiliki konsep diri yang rendah. b. Faktor Eksternal Faktor eksternal (faktor dari luar anak), yakni kondisi lingkungan di sekitar anak. Faktor ini terdiri atas dua macam, yakni faktor lingkungan sosial sekolah (para guru, staf administrasi, dan teman-teman sekelas) dan faktor lingkungan nonsosial (gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinggal anak dan letaknya, alat-alat belajar, dan lain-lain). c. Faktor Pendekatan Belajar Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yakni jenis upaya belajar anak yang meliputi strategi dan metode yang digunakan anak untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran. Terdapat tiga pendekatan belajar yang dilakukan anak agar dapat mencapai prestasi yang tinggi, yakni: pendekatan tinggi (speculative dan achieving), pendekatan sedang (analitical dan deep), dan pendekatan rendah (reproductive dan surface). Strategi yang dilakukan anak yang melakukan pendekatan tinggi dalam proses belajar akan menggunakan pendekatan belajar speculative dengan cara mencari kemungkinan dan penjelasan baru, sehingga dapat menciptakan pengetahuan baru dan pendekatan belajar achieving dengan mengoptimalkan pengaturan waktu dan
usaha (study skills). Strategi yang dilakukan anak yang melakukan pendekatan sedang dalam proses belajar akan menggunakan pendekatan belajar analitical dengan cara berpikir kritis, mempertanyakan, berargumen dan pendekatan belajar deep dengan memaksimalkan pemahaman dengan berpikir, banyak membaca, dan diskusi. Strategi yang dilakukan anak yang menggunaka pendekatan rendah dalam proses belajar akan menggunakan pendekatan belajar reproductive dengan cara menghafal, meniru, menjelaskan, meringkas dan pendekatan surface dengan memusatkan pada rincian-rincian materi dan mereproduksi secara persis.
2.6.
Hipotesa Penelitian Hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
Ha
: Ada hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan prestasi belajar pada remaja tunarungu di SLB/B.
Ho
: Tidak ada hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan prestasi belajar pada remaja tunarungu di SLB/B.