BAB II LANDASAN TEORETIS 2.1
Puisi
2.1.1
Pengertian Puisi Dalam kesusastraan Indonesia ada dua istilah sajak dan puisi. Kedua istilah itu sering dicampurpadukan penggunaannya. Misalnya sajak Chairil Anwar disebut juga puisi Chairil Anwar, sajak “Aku” disebut juga puisi “Aku”. Hal ini disebabkan oleh masuknya istilah puisi dari bahasa asing ke dalam sastra Indonesia. Istilah ini berasal dari bahasa Belanda poezie. Dalam bahasa Belanda ada istilah lain gedicht yang berarti sajak, tetapi istilah gedicht tidak diambil ke dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia (Melayu) dahulu hanya dikenal satu istilah sajak yang berarti poezie ataupun gedicht. Poezie (puisi) adalah jenis sastra (genre) yang berpasangan dengan istilah prosa. Gedicht adalah individu karya sastra, dalam bahasa Indonesia sajak, misalnya sajak “Aku”. Jadi, dalam bahasa Indonesia hanya ada satu istilah sajak, baik untuk poezie maupun untuk gedicht. Dalam bahasa Inggris ada istilah poetry sebagai istilah jenis sastra puisi dan poem sebagai individunya. Oleh karena itu, istilah puisi itu sebaiknya dipergunakan sebagai jenis sastra poetry, sedangkan sajak untuk individu puisi poem. Dengan demikian, penggunaan istilah puisi dan sajak tidak dikacaukan. Misalnya, antologi puisi, puisi Chairil Anwar untuk menunjuk jenis sastranya, sedagkan untuk individunya sajak “Aku” , sajak “Pahlawan Tak Dikenal” dan sebagainya. 8
Decaunes (18:1946) mengemukakan : La poésie est un art et un genre littéraire. Elle ne se réduit pas aux vers, mais pendant plusieurs siècles, et encore aujourd’hui pour certaines productions, elle a utilisé ce mode d’écriture qui l’a distinguée de la prose. Puisi adalah salah satu karya seni dan bagian dari karya sastra. Puisi tidak sama dengan sajak, tetapi selama beberapa abad, dan sampai sekarang pun dalam beberapa karya sastra, puisi telah digunakan sebagai model tulisan yang membedakan dengan prosa. Puisi, menurut Kleden (2004), bisa berfungsi sebagai kritik sosial, karena sebuah karya sastra tidak dapat mengelak dari kondisi masyarakat dan situasi kebudayaan tempat karya itu dihasilkan. Sebagai karya sastra, puisi memiliki dua fungsi utama seperti yang dikemukakan Horatius (Teeuw, 2003: 7), dulce et utile; sastra memiliki fungsi keindahan/kenikmatan dan kegunaan/bermanfaat bagi pembacanya. Sebuah puisi biasanya memiliki setidaknya satu dari dua fungsi tersebut. Ada puisi yang indah, seperti puisi-puisi lirik Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi W.M., dan Goenawan Mohamad, sehingga pembaca merasa nikmat membaca puisi itu, namun memerlukan proses yang cukup panjang untuk memahaminya. Biasanya puisi semacam itu lahir dari ekspresi perasaan penyairnya. Puisi-puisi yang mengangkat topik cinta biasanya seperti itu. Ia lahir dari perasaan penyair yang terdalam, sehingga kalau kita membaca puisi itu cukup dengan menghayatinya saja. Ada empat komponen utama dalam kritik sastra: a. Sastrawan (artist: novelis, cerpenis, penyair, dramaturgi). b. Alam (universe; kenyataan). 9
c. Karya sastra (work). d. Pembaca (audience). Rumusan sederhananya adalah
sastrawan
melihat
kenyataan sosial dalam
masyarakatnya, kemudian mengungkapkan fakta itu dalam bentuk cerita (fiksi), untuk kemudian dibaca oleh masyarakat pembaca. Dua hal yang perlu mendapat perhatian utama pembaca terhadap suatu karya sastra, dalam hal ini puisi, adalah kecenderungan tematik dan stilistik yang dikedepankan sastrawan. 2.1.2
Unsur-unsur Pembentuk Puisi
Ada beberapa pendapat tentang unsur-unsur pembentuk puisi. Salah satunya adalah pendapat I.A. Richard. Dia membedakan dua hal penting yang membangun sebuah puisi yaitu hakikat puisi (the nature of poetry), dan metode puisi (the method of poetry).
Hakikat puisi terdiri dari empat hal pokok, yaitu.
1. Sense (tema, arti)
Sense atau tema adalah pokok persoalan (subject matter) yang dikemukakan oleh pengarang melalui puisinya. Pokok persoalan dikemukakan oleh pengarang baik secara langsung maupun secara tidak langsung (pembaca harus menebak atau mencari-cari, menafsirkan).
10
2. Felling (rasa)
Feelling adalah sikap penyair terhadap pokok persoalan yang dikemukakan dalam puisinya. Setiap penyair mempunyai pandangan yang berbeda dalam menghadapi suatu persoalan.
3. Tone (nada)
Tone adalah sikap penyair terhadap pembaca atau penikmat karyanya pada umumnya. Terhadap pembaca, penyair bisa bersikap rendah hati, angkuh, persuatif, sugestif.
4. Intention (tujuan)
Intention adalah tujuan penyair dalam menciptakan puisi tersebut. Walaupun kadangkadang tujuan tersebut tidak disadari, semua orang pasti mempunyai tujuan dalam karyanya. Tujuan atau amanat ini bergantung pada pekerjaan, cita-cita, pandangan hidup, dan keyakinan yang dianut penyair
Untuk mencapai maksud tersebut, penyair menggunakan sarana-sarana. Sarana-sarana tersebutlah yang disebut metode puisi. Metode puisi terdiri dari :
1. Diction (diksi)
Diksi adalah pilihan atau pemilihan kata yang biasanya diusahakan oleh penyair dengan secermat mungkin. Penyair mencoba menyeleksi kata-kata baik kata yang bermakna denotatif maupun konotatif sehingga kata-kata yanag dipakainya benar-benar mendukung maksud puisinya.
11
2. Imageri (imaji, daya bayang)
Imageri adalah kemampuan kata-kata yang dipakai pengarang dalam mengantarkan pembaca untuk terlibat atau mampu merasakan apa yang dirasakan oleh penyair. Maka penyair menggunakan segenap kemampuan imajinasinya, kemampuan melihat dan merasakannya dalam membuat puisi.
Imaji disebut juga citraan, atau gambaran angan. Ada beberapa macam citraan, antara lain
a. Citra penglihatan, yaitu citraan yang timbul oleh penglihatan atau berhubungan dengan indra penglihatan b. Citra pendengaran, yaitu citraan yang timbul oleh pendengaran atau berhubungan dengan indra pendengaran c. Citra penciuman dan pencecapan, yaitu citraan yang timbul oleh penciuman dan pencecapan d. Citra intelektual, yaitu citraan yang timbul oleh asosiasi intelektual/pemikiran. e. Citra gerak, yaitu citraan yang menggambarkan sesuatu yanag sebetulnya tidak bergerak tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak. f. Citra lingkungan, yaitu citraan yang menggunakan gambaran-gambaran selingkungan g. Citra kesedihan, yaitu citraan yang menggunakan gambaran-gambaran kesedihan
12
1. The concrete word (kata-kata kongkret)
Yang dimaksud the concrete word adalah kata-kata yang jika dilihat secara denotatif sama tetapi secara konotatif mempunyai arti yang berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi pemakaiannya. Slametmulyana menyebutnya sebagai kata berjiwa, yaitu katakata yang telah dipergunakan oleh penyair, yang artinya tidak sama dengan kamus.
2. Figurative language (gaya bahasa)
Adalah cara yang dipergunakan oleh penyair untuk membangkitkan dan menciptakan imaji dengan menggunakan gaya bahasa, perbandingan, kiasan, pelambangan dan sebagainya. Jenis-jenis gaya bahasa antara lain
a. Perbandingan (simile), yaitu bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, umpama, laksana, dll. b. Metafora, yaitu bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain tanpa mempergunakan kata-kata pembanding. c. Perumpamaan epos (epic simile), yaitu perbandingan yang dilanjutkan atau diperpanjang dengan cara melanjutkan sifat-sifat perbandingannya dalam kalimat berturut-turut. d. Personifikasi, ialah kiasan yang mempersamakan benda dengan manusia di mana benda mati dapat berbuat dan berpikir seperti manusia. e. Metonimia, yaitu kiasan pengganti nama. f. Sinekdoke, yaitu bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting untuk benda itu sendiri.
13
g. Allegori, ialah cerita kiasan atau lukisan kiasan, merupakan metafora yang dilanjutkan.
1. Rhythm dan rima (irama dan sajak)
Irama ialah pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembutnya ucapan bunyi bahasa dengan teratur. Irama dibedakan menjadi dua,
a. Metrum, yaitu irama yang tetap, menurut pola tertentu. b. Ritme, yaitu irama yang disebabkan perntentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur.
Irama menyebabkan aliran perasaan atau pikiran tidak terputus dan terkonsentrasi sehingga menimbulkan bayangan angan (imaji) yang jelas dan hidup. Irama diwujudkan dalam bentuk tekanan-tekanan pada kata. Tekanan tersebut dibedakan menjadi tiga,
a. Dinamik, yaitu tekanan keras lembutnya ucapan pada kata tertentu. b. Nada, yaitu tekanan tinggi rendahnya suara. c. Tempo, yaitu tekanan cepat lambatnya pengucapan kata.
Rima adalah persamaam bunyi dalam puisi. Dalam rima dikenal perulangan bunyi yang cerah, ringan, yang mampu menciptakan suasana kegembiraan serta kesenangan. Bunyi semacam ini disebut euphony. Sebaliknya, ada pula bunyi-bunyi yang berat, menekan, yang membawa suasana kesedihan. Bunyi semacam ini disebut cacophony.
Berdasarkan jenisnya, persajakan dibedakan menjadi
a. Rima sempurna, yaitu persama bunyi pada suku-suku kata terakhir.
14
b. Rima tak sempurna, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada sebagian suku kata terakhir. c. Rima mutlak, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada dua kata atau lebih secara mutlak (suku kata sebunyi) d. Rima terbuka, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada suku akhir terbuka atau dengan vokal sama. e. Rima tertutup, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada suku kata tertutup (konsonan). f. Rima aliterasi, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada bunyi awal kata pada baris yang sama atau baris yang berlainan. g. Rima asonansi, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada asonansi vokal tengah kata. h. Rima disonansi, yaitu persamaan bunyi yang terdapaat pada huruf-huruf mati/konsonan.
Berdasarkan letaknya, rima dibedakan
a. Rima awal, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada awal baris pada tiap bait puisi. b. Rima tengah, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di tengah baris pada bait puisi c. Rima akhir, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di akhir baris pada tiap bait puisi. d. Rima tegak yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada bait-bait puisi yang dilihat secara vertikal e. Rima datar yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada baris puisi secara horisontal f. Rima sejajar, yaitu persamaan bunyi yang berbentuk sebuah kata yang dipakai berulangulang pada larik puisi yang mengandung kesejajaran maksud. g. Rima berpeluk, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama antara akhir larik pertama dan larik keempat, larik kedua dengan lalrik ketiga (ab-ba)
15
h. Rima bersilang, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama antara akhir larik pertama dengan larik ketiga dan larik kedua dengan larik keempat (ab-ab). i. Rima rangkai/rima rata, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama pada akhir semua larik (aaaa) j. Rima kembar/berpasangan, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama pada akhir dua larik puisi (aa-bb) k. Rima patah, yaitu persamaan bunyi yang tersusun tidak menentu pada akhir larik-larik puisi (a-b-c-d)
Pendapat lain dikemukakan oleh Roman Ingarden dari Polandia. Orang ini mengatakan bahwa sebenarnya karya sastra (termasuk puisi) merupakan struktur yang terdiri dari beberapa lapis norma. Lapis norma tersebut adalah
1. Lapis bunyi (sound stratum) 2. Lapis arti (units of meaning) 3. Lapis obyek yang dikemukakan atau "dunia ciptaan"
a. Lapis implisit b. Lapis metafisika (metaphysical qualities)
2.1.3
Pembelajaran Puisi Dari jaman ke jaman wujud struktur puisi berubah-ubah namun tetap sebagai struktur. Majas, versifikasi, dan pengkonsentrasian bahasa merupakan unsur-unsur puisi yang tetap bertahan. Struktur puisi dibangun oleh struktur fisik (metode pengucapan makna) dan struktur batin (makna puisi). 16
Langkah-langkah menelaah puisi dapat melalui tahap-tahap sebagai berikut : 1.
Struktur Puisi Pada tahap pertama kita harus memahami struktur karya sastra secara umum. Apakah puisi ini berstruktur sebagai puisi lama, baru , ataukah puisi kontemporer. Apakah bentuk puisi ini konvensional ataukah nonkonvensional. Penelaah berusaha memahami bait-bait dan lirik-lirik, serta memahami secara global tema apakah yang dikemukakan oleh penyair.
2.
Penyair dan Kenyataan Sejarah Untuk melengkapi pemahaman secara global karya yang kita telaah, maka kita bahas siapakah penyairnya, bagaimana aliran filsafat, corak khas yang menjadi cirri dari jaman penyair itu berkarya, kata-kata dan ungkapan khusus yang berhubungan dengan penyair, aliran, filsafat, dan jaman saat puisi itu diciptakan. Dengan dilengkapi data tentang penyair dan kenyataan sejarah ini, totalitas puisi akan lebih mudah diinterprestasikan.
3.
Telaah unsur-unsur Struktur fisik dan batin puisi ditelaah unsur-unsurnya. Kedua struktur itu harus mempunyai kepaduan dalam mendukung totalitas puisi. Telaah ini berusaha membedah puisi sampai ke unsur yang sekecil-kecilnya. a. Struktur fisik Dalam telaah ini dibahas bagaimana kecakapan/kreatifitas penyair dalam menciptakan puisi. Maka metode ini disebut juga metode puisi. Ditelaah bagaimana penyair memilih, mengurutkan, dan member sugesti kata (diksi), bagaimana
penyair
menciptakan
pengimajian,
bagaimana
kata-kata 17
diperkonkret, bagaimana penyair menciptakan lambing dan kiasan (majas), bagaimana versifikasi dalam puisi itu, dan bagaimana penyair menyusun tata wajah puisi. Telaah struktur fisik tidak dapat dilepaskan dengan telaah struktur batin. Dapat juga ditelaah hubungan antara struktur fisik dengan tuntutan pengucapan batin penyair. b. Struktur batin Adanya jalinan antara struktur fisik dan struktur batin yang begitu kuat, menyebabkan perlunya pembaca memahami kedua struktur ini secara bersama-sama. Tingkat pemikiran, luapan rasa hati penyair, dan tingkat imajinasi (pengalaman) penyair, diungkapkan dengan metode atau teknik pengucapan khas milik penyair. Nilai artistik sebuah karya sastra terletak dari tepat tidaknya penyair mengungkapkan struktur batinnya ke dalam struktur fisik (teknik). Jika takarannya tepat, akan terasa ada keharmonisan antara kedua struktur itu. Keharmonisan antara kedua struktur itu tidak bersifat statis. Jadi, struktur batin dan gaya pengucapan disampaikan lewat bahasa penyair merupakan dua hal yang saling berhubungan dan saling menentukan. 4.
Sintesis dan Interpretasi Setelah menelaah struktur puisi hingga ke unsur-unsurnya, kemudian kita dapat mensintesiskan telaah kita itu. Sintesis itu dapat berwujud jawaban atas pertanyaan sebagai berikut : (1). Apakah amanat (pesan) yang hendak disampaikan penyair ? (2). Mengapa penyair menggunakan bahasa yang demikian (hubungannya dengan perasaan dan nada)
18
(3). Apakah arti karya tersebut bagi kita (peneliti) ? (4). Bagaimana sikap anda terhadap apa yang dikemukakan penyair ? (5). Bagaimana penyair menciptakan puisi itu, apakah cukup mahir ?
2.2
Pemilihan Bahan Pembelajaran Prinsip penting dalam pembelajaran sastra khususnya pemilihan bahan yang harus diperhatikan oleh guru adalah kesesuaian antara bahan pembelajaran tersebut dengan kemampuan siswanya pada suatu tahapan pembelajaran tertentu. Rosidi mengemukakan bahwa salah satu cara untuk mencapai tujuan pembelajaran sastra adalah dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkenalan langsung dengan karya sastra. Berkaitan dengan hal tersebut, doperlukan pemilihan karya sastra yang sesuai untuk siswa sebagai bahan pembelajaran. Bahan pembelajaran yang sesuai untuk siswa tentunya harus betul-betul memenuhi aspek-aspek yang berhubungan dengan siswa selaku pembeaca, aspek tersebut bisa berupa aspek sastra dan aspek pendidikan. Tanpa kesesuaian bahan pembelajaran dengan kemampuan siswa, otomatis tujuan pembelajaran tidak akan tercapai. Aspek-aspek yang diperlukan untuk memilih bahan pembelajaran sastra yang tepat, menurut Rhamanto (1988: 27:33), meliputi aspek bahasa, psikologi, dan latar belakang kebudayaan para siswa. Berikut ketiga aspek tersebut.
19
1. Bahasa Aspek kebahasaan dalam sastra tidak hanya ditentukan oleh masalah-masalah yang dibahas, tetapi juga faktor-faktor lain, seperti cara penulisan yang dipakai si pengarang, ciri-ciri karya sastra pada waktu penulisan karya itu, dan kelompok pembaca yang ingin dijangkau pengarang. Guru perlu mengembangkan keterampilan khusus untuk memilih bahan pengajaran sastra yang biasanya sesuai dengan tingkat penguasaan bahasa siswanya agar pengajaran sastra dapat lebih berhasil. Apabila bahasa merupakan pertimbangan utama, dalam pelajaran bahasa perlu disediakan bacaan-bacaan khusus sebagai proses pengayaan pelajaran bahasa itu sendiri. Dalam usaha memilih bahan ini, kita akan bertolak dari kebutuhan-kebutuhan siswa yang dianggap telah melewati tahap penguasaan bahasa tingkat dasar. Hendaknya kita mengadakan pemlihan bahan berdasarkan wawasan yang ilmiah, misalnya memperhitungkan kosakata yang baru, memperhatikan segi keterbahasaan, dan sebagainya agar kita dapat merasa lebih yakin bahwa pemilihan bahan yang akan kita tentukan sudah tepat ditinjau dari kebahasaan siswa-siswanya sehingga berdasarkan pemahaman itu guru dapat memilih materi yang cocok untuk disajikan. Guru juga perlu mempertimbangkan situasi dan pengertian isis wacana termasuk ungkapan dan referensi yang ada. Perlu diperhatikan juga cara penulis menuangkan ideidenya dan hubungan antarkalimat dalam wacana itu, sehingga pembaca dapat memahami kata-kata kiasan yang digunakan.
20
2. Psikologi Anak-anak dewasa meliputi tahap-tahap perkembangan psikologis tertentu yang cukup jelas untuk dipelajari. Tahap psikologis sangat besar pengaruhnya terhadap daya ingat kemauan mengerjakan tugas, kesiapan bekerjasama, dan kemungkinan pemahaman situasi atau pemecahan masalah yang dihadapi.
3. Latar Belakang Budaya Siswa akan mudah tertarik pada karya-karya sastra dengan latar belakang kehidupan mereka, terutama bila karya sastra itu menghadirkan tokoh yang berasal dari lingkungan mereka dan mempunyai kesamaaan dengan mereka atau dengan orang-orang sekitar mereka. Guru sastra hendaknya memilih bahan pengajarannya dengan menggunakan prinsip mengutamakan karya-karya sastra yang latar ceritanya dikenal oleh para siswa. Guru sastra juga hendaknya memahami apa yang diamati oleh siswanya sehingga dapat menyajikan suatu karya sastra yang tidak terlalu menuntut gambaran di luar jangkauan kemampuan pembanyangan yang dimiliki oleh para siswanya. Guru sastra hendaknya berpengalaman luas. Dia bertanggung jawab mengarahkan siswa-siswanya untuk menyerap berbagai pengetahuan, sehingga memiliki wawasan luas untuk memahami bebrbagai macam peristiwa kehidupan. Wawasan yang luas perlu dikembangkan untuk dapat menyajikan pengajaran sastra yang mencakup dunia yang lebih luas.
21
2.3
Stilistika
2.3.1
Pengertian Stilistika
Stilistika berasal dari Bahasa Inggris yaitu “Style” yang berarti gaya dan dari bahasa serapan “linguistic” yang berarti tata bahasa. Stilistika menurut kamus bahasa Indonesia yaitu Ilmu Kebahasaan yang mempelajari gaya bahasa. Stilistika (stylistic) adalah ilmu tentang gaya, sedangkan stil (style) secara umum adalah cara-cara yang khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu,sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal. Leech (1981: 13) mendefinisikan stilistika sebagai studi tentang gaya bahasa, yang secara sederhana adalah sebagai latihan dalam menggambarkan dalam fungsi ‘apa’ bahasa dibuat. Stilistika karya sastra mencoba menjelaskan hubungan antara bahasa dengan fungsi artistiknya. Style/gaya bahasa menjadi sebuah konsep hubungan, dan tujuan stilistika sastra adalah menghubungkan dalam rasa yang lebih menarik dibanding yang terlah disebutkan, menghubungkan kritik apresiasi estetik dengan deskripsi bahasa. Menurut Aminuddin (2004:72) menyatakan bahwa istilah gaya mengandung pengertian cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan mengunakan media bahasa yang indah yang harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. Pernyataan tersebut maksudnya ialah penggayaan bahasa merupakan suatu ekspresi seorang pengarang dalam mengeksploitasi bahasa sebagai bahan pembangun utama karyanya agar memiliki keindahan dan sarat nuansa makna yan harmonis sehingga enak saat dibaca. Sedang menurut Stanton (2007:61), gaya ialah cara pengarang dalam menggunakan bahasa,
22
maksudnya yaitu gaya pengarang dalam mengolah bahasa yang digunakan untuk membangun karyanya.
Dalam bidang bahasa dan satra style dan stylistic berarti cara-cara penggunaan bahasa yang khas sehingga menimbulkan efek tertentu. Dalam pengertian yang sempit, stilistika sebagai bagian ilmu sastra lebih sempit lagi ilmu gaya bahasa dalam kaitannya dengan aspek-aspek keindahan. Gaya bahasa sesungguhnya terdapat dalam segala ragam bahasa: ragam lisan dan ragam tulis, ragam nonsastra dan ragam sastra, karena gaya bahasa ialah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu oleh orang tertentu dan untuk maksud tertentu (Sobur, 2004:82). Maksud dari pernyataan itu ialah segala ragam bahasa pasti didalamnya tedapat unsur gaya bahasa. Berdasarkan cakupannya gaya bahasa memliki bagian yaitu diksi (pilihan kata), struktur kalimat, majas dan citraan, pola rima, dan matra yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalamsebuah karya sastra (Sudjiman,1993:13-14). Berdasarkan batasan masalah yang telah disebutkan sebelumnya, fokus penelitian ini ialah pada pilihan kata atau diksi dan majas. Maka penjelasan yang dilakukan selanjutnya hanya mengenai pilihan kata atau diksi dan majas saja. Hal ini dmaksudkan
supaya
penelitian
ini
mempunyai
fokus
pengkajian.
Stilistika telah didefinisikan secara beragam dan berbeda-beda. Beberapa definisi yang perlu dipertimbangkan (Ratna, 2007: 236), sebagai berikut : 1.
Ilmu tentang gaya bahasa .
2.
Ilmu interdisipliner antara linguistic dengan sastra. 23
3.
Ilmu tentang penerapan kaidah-kaidah linguistic dalam penelitian gaya bahasa.
4.
Ilmu yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya sastra.
5.
Ilmu yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya satra, dengan mempertimbangkan
aspek-aspek
keindahannya
sekaligus
latar
belakang
sosialnya. Sedangkan menurut Molinié, (p.146 :1934) untuk mempelajari teks sastra dan gaya setiap penulis bisa dengan : a. l’étude stylistique d’une période littéraire ; b. l’étude des styles des écrivains en fonction de leur appartenance à un courant ou à un groupement littéraire ; c. l’étude des styles des écrivains en fonction d’une particularité de style commune, conformément aux affinités ou filiations ; d. l’étude stylistique d’un genre ou d’un sous-genre littéraire. Maksudnya adalah untuk memepelajari teks sastra dan gaya setiap penulis bisa dengan : a. Mempelajari stilistika saat mempelajari sastra. b. Mempelajari gaya dari setiap penulis atau sastrawan dari segi angkatan mereka. c. Mempelajari gaya dari setiap penulis atau sastrawan dari segi gaya mereka yang unik dan sama menurut hubungan dan afiliasi. d. Mempelajari gaya dari genre dan sub-genre. 2.3.2
Ruang lingkup penelitian stilistika Menurut Hough,1972:31-39) ruang lingkup penelitian stilistika sangat luas, dianggap sebagai tugas yang tidak mungkin untuk dilakukan, lebih-lebih apabila
24
dikaitkan dengan pengertian gaya bahasa secara luas, yaitu : bahasa itu sendiri, karya sastra, karya seni, dan bahasa sehari-hari, termasuk ilmu pengetahuan. Untuk membatasiya ruang lingkup dbedakanmenjai dua maca, yaitu: a). ruang lingkup dalm kaitanya dengan objek stilistika itu sendiri, dan b). ruang lingkup dalam kaitannya dengan objek yang mungkin dilakukan dalam suatu aktivitas penelitian. Ruang lingkup yang paling luas adalah keseluruhan khazanah sastra, sebab akibat yang ditimbulkan oleh adanya usaha untuk menciptakan bahasa yang khas, baik sastra lama maupun modern, baik sastra lisan maupun tulisan. Dengan melihat luasnya objek penelitian, maka untuk membatasinya perlu dipertimbangkan pembagian wilayah-wilayah kajian, baik dalam kaitannya dengan eksistensi karya sastra itu sendiri maupun pengarang sebagai pencipta. Dikaitkan dengan objeknya, maka ruang lingkup yang paling sempit adalah karya sastra secara otonom, seperti sebuah puisi, cerpen, novel, drama dan sebagainya. Satu bait puisi yang terdiri atas beberapa baris dapat dianalisis dari segi gaya bahasa, sebagai analisis stilistika. Nilai analisis sama dengan sebuah novel yang terdiri atas seribu halaman, tergantung dari kualitas pemahamannya. Jangkauan yang lebih luas dilakukan terhadap pengarangnya dengan melibatkan keseluruhan karyanya. Pada apresiasi sastra, analisis kajian stilistika digunakan untuk memudahkan menikmati, memahami, dan menghayati system tanda yang digunakan dalam karya sastra yang berfungsi untuk mengetahui ungkapan ekspresif yang ingin diungkapkan oleh pengarang. Dari penjelasan selintas di atas dapat ditarik kesimpulan tentang analisis yang dilakukan apresiasi sastra meliputi : 25
Analisis tanda baca yang digunakan pengarang. Analisis hubungan antara system tanda yang satu dengan yang lainnya. Analisis kemungkinan terjemahan satuan tanda yang ditentukan serta kemungkinan bentuk ekspresi yang dikandungnya (Aminuddin : 1995 :9). Kaitannya dengan kritik sastra, kajian stilistika digunakan sebagai metode untuk menghindari kritik sastra yang bersifat impesionistis dan subyektif. Melalui kajian stilistika ini diharapkan dapat memperoleh hasil yang memenuhi kriteria obyektifitas dan keilmiahan (Aminuddin :1995 : 42).
Karya sastra merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan medium bahasa. Kritikus menyendirikan satuan-satuan berfungsi dan konvensi-konvensi sastra yang berlaku. Satuan-satuan berfungsi yaitu: alur, setting, penokohan, satuan-satuan bunyi, kelompok kata, kalimat (gaya bahasa), dan satuan visual (tipografi, enjabement, bait, dll.)
Sebagai satuan berfungsi, gaya bahasa sebuah karya sastra dapat dikaji melalui pilihan kata/diksi dan bahasa kiasan sebagai bagian dari kajian stilistika yang mengaji gaya bahasa suatu karya sastra.
26
2.4
Gaya Bahasa
2.4.1
Pengertian gaya bahasa Gaya bahasa dalam retotika lebih dikenal dengan istilah style. Gaya bahasa atau style menjadi masalah atau bagian dari diksi atau pilihan kata yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa atau klausa tertentu untuk mengahadapi situasi tertentu. Sebab itu, persoalan gaya bahasa meliputi semua hinarki kebahasaan: pilihan kata secara individual, frasa, klausa dan kalimat, bahkan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan. Jadi, jangkauan gaya bahasa sebenarnya sangat luas, tidak hanya mencakup unsur-unsur kalimat yang mengandung corak-corak tertentu, seperti yang umum terdapat dalam retorika-retorika klasik. Menurut Kridalaksana (2001:63), gaya bahasa adalah pemanfaatan atas kekayaan bahasa seseorang dalam bertutur atau menulis, pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra. Sedangkan gaya bahasa menurut Keraf adalah cara mengungkapkan pikiran melalaui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Dale dalam Tarigan (1985:5) mengatakan bahwa gaya bahasa indah yang dipergunakan
untuk
meningkatkan
efek
dengan
jalan
memperkenalkan
serta
memperbandingkan suatu benda atau hal lain yang lebih umum. Berdasarkan uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa gaya bahasa itu merupakan suatu kekhasan pengungkapan untuk meningkatkan efek yang dapat mempengaruhi penyimak dan pembaca.
27
Berikut contoh gaya bahasa menurut dictionnairerhetorique.org : 1. Antithèse (Antitesis) Antitesis adalah gaya bahasa yang mengandung gagasan yang bertentangan, dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan. Gaya ini timbul dari kalimat berimbang, contoh : - Ia sering menolak, tapi sekali pun tak pernah melukai hati. - Nous ne voulons point troquer ce que tu appeles notre ignorance contre tes inutiles lumières. (Diderot). 2. Apostrof Apostrof adalah semacam gaya yang berbentuk pengalihan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang digunakan untuk menegaskan pemanggilan, misalnya: << Hai kamu semua yang telah menumpahkan darahmu untuk tanah air tercinta ini berilah agar kami dapat mengenyam keadilan dan kemerdekaan seperti yang pernah kamu perjuangkan >> << Hé ! Bonjour, Monsieur du Corbeau. Que vous êtes joli ! que vous me semblez beau ! >> (<< Le Corbeau et le Renard >>, Fables, Jean de La Fontaine), Monsieur du Corbeau disini merupakan apostrof.
3. Epanalepse (Epanalepsis) Epanalepsis adalah pengulangan yang berwujud pada kata terkahir dari baris, klausa, atau kalimat, mengulang kata pertama, misalnya :
28
-
Kami cintai perdamaian karena Tuhan kami.
-
L’enfance sait ce qu’elle veut, elle veut sortir de l’enfance. (Jean Cocteau)
4. Ellipse (Elipsis) Elipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsure kalimat yang mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar, sehingga struktur gramatikalnya atau kalimatnya memenuhi pola yang berlaku, misalnya : -
Masihkah kau tidak percaya bahwa dari segi fisik engkau tak apa-apa, badanmu sehat; tetapi psikis …
-
Le ciel est nuageux, le temps…
Elipsis dapat pula dibentuk dari gabungan ellipsis dan inverse, contohnya adalah << Bleu est ciel, verte la mer >>. Elipsis juga merupakan salah satu cirri khas penting dalam bahasa telegram, contohnya adalah suis reçu examen. Rentre samedi. Dalam jurnalistik dan iklan ellipsis digunakan untuk memberikan kesan kalimat efifien : Attentat de Djakarta, La marquee Al-Qaeda Froid, moi? Jamais ! 5. Hyperbole (Hiperbola) Hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dan membesar-besarkan sesuatu hal, misalnya : -
Kemarahanku sudah menjadi-jadi hingga hampir-hampir meledak aku.
29
-
<< La liberté, c’est le Bonheur, c’est la raison, c’est la égalité, c’est la justice, (…), c’est votre sublime Constitution >> Camille Desmoulins.
6. Ironie (Ironi) Ironi atau sindiran adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian katakata, misalnya : -
Tidak diragukan lagi bahwa andalah orangnya, sehingga semua kebijaksanaan.
-
<< Ah ! Tue s proper ! Regarde toutes ces taches ! >>
7. Litote (Litotes) Litotes adalah semacam gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri, misalnya : -
Kedudukan saya ini tidak ada artinya sama sekali.
-
Votre tarte n’est vraiment pas mauvaise.
8. Métaphore (Metafora) Metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal secara langsung tetapi dalam bentuk yang singkat, misalnya : -
L’aurore est un cheval qui s’ebrouant, chasse au loin les corneilles. (l’aurore
dan
le
cheval
merupakan
pembanding
dan
yang
dibandingkannya).
30
Terdapat tiga bentuk metafora : a. La métaphore annoncée : pembanding dan yang dibandingkannya terbentuk benar secara gramatikal. “Je me suis baigné dans le poème de la mer” Arthur Rimbaud b. La métaphore directe : tidak terdapat perbandingan, perubahannkalimat nyata menjadi kalimat kias tidak menyatakan secara langsung. “des mains frisées couraient de toutes parts sur la neige “. c. La métaphore fillée : terbentuk dalam suatu kalimat yang merupakan turunan dari metafora induk. << La mer démontée secouait furieusement les noires collines. >> (<< les noires collines >> : gelombang ombak gelap diibaratkan seperti bukit yang hitam). 9. Personofication (Personifikasi) atau Prosopopoeia Personifikasi merupakan gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan, misalnya. -
Kulihat ada bulan di kotamu lalu turun di bawah pohon belimbing depan rumahmu barangkali ia menyeka pipimu.
-
Je suis la pipe d’un auteur ;/ On voit, à contempler ma mine/ D’abyssinienne ou de Cafrine/ Que mon maîtreest un grand fumeur. (Charles Baudelaire).
31
10. Prétérition (Pretesio) Pretesio merupakan sebuah gaya bahasa yang digunakan penulis atau pengarang untuk menegaskan sesuatu, tetapi tampak menyangkal, misalnya : -
Saya tidak mau mengungkapkan dalam forum ini bahwa saudara telah menggelapkan ratusan juta rupiah uang negara.
-
Je n’ai pas envie de vous chacher la vérité mais préfere la garder pour moi.
11. Paronomase (Paronomasia) Paronomasia adalah kiasan dengan menggunakan kemiripan bunyi, misalnya : Tanggal dua gigi saya tinggal dua. << Qui vole œuf vole un bœuf >> 12. Périphrase (Periprasis) Perifrasis adalah gaya bahasa yang mirip dengan pleonasme, yaitu menggunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan. Perbedaannya terletak dalam hal bahwa kata-kata yang berlebihan itu sebenarnya dapat diganti dengan satu kata saja. Misalnya : -
Ia telah beristirahat dengan damai (= mati, atau meninggal).
-
Le toit du monde (= l’Himalaya)
13. Prolepse (Prolespsis) Prolepsis adalah semacam gaya bahasa dimana orang mempergunakan lebih dahulu kata-kata atau sebuah kata sebelum peristiwa atau gagasan yang sebenarnya terjadi, misalnya :
32
-
Almarhum Pardi pada waktu itu menyatakan bahwa ia tidak mengenal orang itu.
-
<< Cela serait trop long à expliquer >>
14. Répétition (Repetisi) Repetisi adalah pengulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk member tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai, misalnya : Tokoh Camille dalam drama Corneille , Horace, babak IV, adegan 5 : Rome, l’unique objet de mon ressentiment Rome, à qui vient ton bras d’immoler mon amant Rome, qui t’a vu naître et que ton cœur adore Rome, enfin, que hais parce qu’elle t’honore !
2.4.2
Jenis-jenis gaya bahasa Gaya bahasa dapat ditinjau dari bermacam-macam sudut pandangan. Oleh sebab itu, sulit diperoleh kata sepakat mengenai suatu pembagian yang bersifat menyeluruh dan dapat diterima oleh semua pihak. Pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat tentang gaya bahasa sejauh ini sekurang-kurangnya dapat dibedakan, pertama dilihat dari segi non bahasa , dan kedua dilihat dari segi bahasanya sendiri. Untuk melihat gaya secara luas, maka pembagian berdasarkan masalah non bahasa tetap diperlukan. Tetapi untuk memberi kemampuan dan keterampilan, maka uraian gaya dilihat dari aspek kebahasaan akan lebih diperlukan.
33
a.
Segi nonbahasa Pengikut Aritoles menerima style sebagai hasil dari bermacam-macam unsur. Pada dasranya style dapat dibagi atas tujuh pokok sebagai berikut: 1). Berdasarkan pengarang: gaya yang disebut dengan nama pengarang dikenal berdasarkan cirri pengenal yang digunakan pengarang atau penulis dalam karangannya. Pengarang yang kuat dapat mempengaruhi orang-orang sejamannya, atau pengikut-pengikutnya, sehingga dapat membentuk sebuah aliran. Kita mengenal gaya Chairil, gaya Takdir, dan sebagainya. 2). Berdasarkan Masa: gaya bahasa yang didasarkan pada masa dikenal karena cirriciri tertentu yang berlangsung dalam suatu kurun waktu tertentu. Misalnya ada gaya lama, gaya klasik, gaya sastra modern, dan sebagainya. 3). Berdasarkan Medium : yang dimaksud dengan medium adalah bahasa dalam arti komunikasi. Tiap bahasa, karena struktur dan situasi social pemakainya, dapat memiliki corak tersendiri. Sebuah karya yang ditulis dalam bahasa Jerman akan memiliki gaya yang berlainan, bila ditulis dalam bahasa Indonesia, Perancis, atau Jepang. Dengan demikian kita mengenal gaya Jerman, Inggris, Perancis, Indonesia, dan sebagainya. 4). Berdasarkan subyek : subyek yang menjadi pokok pembicaraan dalam sebuah karangan dapat mempengaruhi pula gaya bahasa sebuah karangan. Berdasarkan hal ini kita mengenal gaya : filsafat, ilmiah (hokum, teknik, sastra, dsb), popular, didaktik, dan sebagainya.
34
5). Berdasarkan Tempat : gaya ini mendapat namanya dari lokasi geografis, karena cirri-ciri kedaerahan mempengaruhi ungkapan atau ekspresi bahasanya. Ada gaya Jakarta, gaya Jogja, gaya Medan, gaya Bandung, dan sebagainya. 6). Berdasarkan Hadirin : seperti halnya dengan subyek, maka hadirin atau jenis pembaca juga mempengaruhi gaya yang dipergunakan seorang pengarang. Ada gaya popular atau gaya demagog yang cocok untuk rakyat banyak. Ada gaya sopan yang cocok untuk lingkungan istana atau lingkungan keluarga atau untuk orang yang akrab. 7). Berdasarkan Tujuan : gaya berdasarkan tujuan memperoleh namanya dari maksud yang ingin disampaikan oleh pengarang, dimana pengarang ingin mencurahkan gejolak emotifnya. Ada gaya sentimental, sarkastik, gaya agung atau luhur, gaya teknis atau informasional, dan gaya humor. b.
Segi Bahasa Dilihat dari sudut bahasa atau unsur-unsur bahasa yang digunakan, maka gaya bahasa dapat dibedakan berdasarkan titik tolak unsur bahasa yang dipergunakan, yaitu :
1. Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata . Gaya bahasa ini membahas kata mana yang paling tepat dan sesuai untuk posisi-posisi tertentu dalam kalimat, serta tepat dan tidaknya penggunaan kata-kata dilihat dari lapisan pemakaian bahasa dalam masyarakat. Dengan kata lain, gaya bahasa ini mempersoalkan ketepatan dan kesesuaian dalam menghadapi situasi-situasi tertentu. Gaya bahasa ini dibagi menjadi tiga macam , yaitu :
35
a. Gaya bahasa resmi Gaya bahasa resmi adalah gaya dalam bentuknya yang lengkap, gaya yang dipergunakan dalam kesempatan-kesempatan resmi, gaya yang dipergunakan oleh mereka yang diharapkan mempergunakannya dengan baik dan terpelihara. Gaya bahasa ini biasanya digunakan dalam amanat kepresidenan, berita Negara, khotbahkhotbah mimbar, tajuk rencana, pidato-pidato yang penting, artikel-artikel yang serius atau esei yang memuat subyek-subyek yang penting, semuanya dibawakan dengan bahasa resmi. b. Bahasa tak resmi Gaya bahasa tak resmi juga merupakan gaya bahasa yang dipergunakan dalam bahasa standar, khususnya dalam kesempatan-kesempatan yang tidak formal atau kurang formal. Gaya bahasa ini biasanya dipergunakan dalam karya-karya tulis, buku-buku pegangan, artikel-artikel mingguan atau bulanan yang baik, dalam perkuliahan, editorial, kolumnis, dan sebagainya. Singkatnya, gaya bahasa tak resmi adalah gaya bahasa yang umum dan normal bagi kaum terpelajar. c. Gaya bahasa percakapan Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata popular dan kata-kata percakapan. Namun disini harus ditambahkan segi-segi morfologis dan sintaksis. Jika dibandingkan dengan bahasa resmi dan bahasa tak resmi, maka gaya bahasa percakapan ini dapat diumpamakan sebagai bahasa dalam pakaian sport.
36
2. Gaya bahasa berdasarkan nada yang terkandung dalam wacana Gaya bahasa berdasarkan nada didasarkan pada sugesti yang dipancarkan dari rangkaian kata-kata yang terdapat dalam sebuah wacana. Gaya bahasa dilihat dari sudut nada yang terkandung dalam sebuah wacana, dibagi menjadi : a. Gaya Sederhana Gaya ini biasanya cocok untuk member instruksi, perintah, pelajaran, perkuliahan, dan sejenisnya. Sebab itu, untuk mempergunakan gaya ini secara efektif, penulis harus memiliki kepandaian dan pengetahuan yang cukup. b. Gaya mulia dan bertenaga Gaya bahasa ini biasanya digunakan untuk menggerakkan sesuatu. Menggerakan sesuatu tidak saja dengan mempergunakan tenaga dan vitalitas pembicara, tetapi juga dapat mempergunakan nada keagungan dan kemuliaan. Nada yang agung dan mulia akan sanggup pula menggerakkan emosi setiap pendengar. Khotbah tentang kemanusiaan dan keagamaan, kesusilaan dan Ketuhanan biasanya disampaikan dengan nada yang agung dan mulia. c. Gaya menengah Gaya menengah adalah gaya yang diarahkan kepada usaha untuk menimbulkan suasana senang dan damai. Karena tujuannya adalah menciptakan suasana tenang dan damai, maka nadanya juga bersifat lemah lembut, penuh kasih sayang, dan mengandung humor yang sehat. Pada kesempatan-kesempatan khusus seperti pesta, pertemuan, dan rekreasi, orang lebih menginginkan ketenangan dan kedamaian.
37
3. Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat Struktur sebuah kalimat dapat dijadikan landasan untuk menciptakan gaya bahasa. Ada kalimat yang yang bersifat periodik, yaitu bila bagian yang terpenting atau gagasan yang mendapat penekanan ditempatkan pada akhir kalimat. Ada pula kalimat yang bersifat kendur, yaitu bila bagian kalimat yang mendapat penekanan ditempatkan pada awal kalimat. Dan jenis yang terakhir adalah kalimat berimbang, yaitu kalimat yang mengandung dua bagian kalimat atau lebih yang kedudukannya sama tinggi atau sederajat. Berdasarkan ketiga jenis struktur kalimat, peneliti dapat menyebutkan berbagai gaya bahasa berikut : a. Klimaks Klimaks diturunkan dari kalimat yang bersifat periodik. Klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya. Misalnya dalam kalimat : Dalam dunia perguruan tinggi yang dicengkam rasa takut dan rasa rendah diri, tidak dapat diharapkan pembaharuan, kebanggaan akan hasil-hasil pemikiran yang objektif atau keberanian untuk mengungkapkan pendapat secara bebas. b. Antiklimaks Antiklimaks
dihasilkan
oleh
kalimat
yang
berstruktur
mengendur.
Antiklimaks sebagai gaya bahasa merupakan suatu acuan yang gagasan-gagasan 38
diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Misalnya dalam kalimat : -
Pembangunan lima tahun telah dilancarkan serentak di Ibukota Negara, ibu kota- ibu kota provinsi, kabupaten, kecamatan, dan semua desa diseluruh Indonesia.
-
« C'était un esprit ingénieux et habile, perspicace et persévérant, rusé et tenace, enfin, pour tout dire, une intelligence supérieure et une conscience sans scrupules »
c. Parelelisme Paralelisme adalah semacam gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. Gaya ini lahir dari struktur kalimat berimbang , misalnya : -
Sangatlah ironis kedengaran bahwa ia menderita kelaparan dalam sebuah daerah yang subur dan kaya, serta mati terbunuh dalam sebuah negeri yang sudah ratusan tahun hidup dalam ketentraman dan kedamaian. -L'ironie blesse, l'humour guérit L'ironie peut tuer, l'humour aide à vivre L'ironie veut dominer, l'humour libère L'ironie est impitoyable, l'humour est miséricordieux L'ironie est humiliante, l'humour est humble
(Comte-Sponville, Petit traité des grandes vertus.)
39
d. Antithesis Anthitesis adalah sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan, dengan mempergunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan. Gaya ini timbul dari kalimat berimbang, contohnya dalam kalimat : -
Mereka sudah kehilangan banyak dari harta bendanya, tetapi mereka juga telah banyak memperoleh keuntungan daripadanya.
-
Nous ne voulons point troquer ce que tu appeles notre ignorance contre tes inutiles lumières. (Diderot).
e. Repetisi Repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk member tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Repetisi pun lahir dari kalimat berimbang, misalnya dalam kalimat : -
Atau maukah kau pergi bersama serangga-serangga tanah, pergi bersama kecoak-kecoak, pergi bersama mereka yang menyusupi tanah, menyusupi alam ?
-
Rome, l’unique objet de mon ressentiment Rome, à qui vient ton bras d’immoler mon amant Rome, qui t’a vu naître et que ton cœur adore Rome, enfin, que hais parce qu’elle t’honore !
Karena nilainya dalam oratori dianggap tinggi, amka para orator menciptakan bermacam-macam repetisi yang pada prinsipnya didasarkan pada tempat kata yang diulang dalam baris, klausa, atau kalimat. Yang penting diantaranya adalah : 40
1. Epizeuksis : repetisi yang bersifat langsung. Misalnya: - Kita harus bekerja, bekerja, sekali lagi bekerja untuk mengejar semua ketinggalan kita. - "O horror, horror, horror." 2. Tautotes : repetisi atas sebuah kata berulang-ulang dalam sebuah konstruksi. Misalnya : Kau menuding aku, aku menuding kau, kau dan aku menjadi seteru. 3. Anafora : repetisi yang berwujud perulangan kata pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya. Misalnya : - Bahasa yang baku pertama-tama berperan sebagai pemersatu dalam pembentukan suatu masyarakat bahasa-bahasa yang bermacam-macam dialeknya. Bahasa yang baku akan mengurangi perbedaan variasi dialek Indonesia secara geografis, yang tumbuh karena kekuatan bawah sadar pemakai bahasa Indonesia, yang bahasa pertamanya suatu bahasa Nusantara. Bahasa yang baku itu akan mengakibatkan selingan bentuk yang sekecil-kecilnya. - « Marcher à jeun, marcher vaincu, marcher malade » (Victor Hugo). 4. Epistrofa : repetisi yang berwujud perulangan kata atau frasa pada akhir baris atau kalimat berurutan. Misalnya : -
Bumi yang kudiami, laut yang kau layari adalah puisi Udara yang kau hirupi, air yang kau teguki adalah puisi Kebun yang kau Tanami, bukit yang kau gunduli adalah puisi Gubuk yang kau ratapi, gedung yang kau tinggali adalah puisi
41
(Emile Verhaeren,Les villages illusoires): prototype même de l'épiphore. « Moi qui n'ai jamais prié Dieu Que lorsque j'avais mal aux dents Moi qui n'ai jamais prié Dieu Que quand j'ai eu peur de Satan Moi qui n'ai prié Satan Que lorsque j'étais amoureux Moi qui n'ai prié Satan Que quand j'ai eu peur du Bon Dieu. 5. Simploke : repetisi pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat berturut-turut. Misalnya : Kau bilang hidup ini brengsek. Aku bilang biarin Kamu bilang hidup ini ngga punya arti. Aku bilang biarin Kamu bilang aku ga punya kepribadian. Aku bilang biarin Kamu bilang aku ga punya pengertian. Aku bilang biarin 6. Mesodiplosis : repetisi ditengah-tengah baris atau beberapa kalimat berurutan. Misalnya : Pegawai kecil jangan mencuri kertas karbon Babu-babu jangan mencuri tulang-tulang ayam goring Para pembesar jangan mencuri bensin Para gadis jangan mencuri perawannya sendiri. 7. Epanalepsis : pengulangan yang berwujud kata terakhir dari baris, klausa atau kalimat, mengulang kata pertama. Misalnya : -
Kita gunakan pikiran dan perasaan kita.
-
« Ô triste, triste était mon âme À cause, à cause d’une femme. » Verlaine, Romances sans paroles, Ariettes oubliées VII: « Ô triste, triste était mon âme » -
42
8. Anadiplosis : kata atau frasa terkahir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau kalimat berikutnya. Misalnya : -
Dalam laut ada tiram, dalam tiram ada mutiara Dalam mutiara : ah tak ada apa Dalam baju ada aku, dalam aku ada hati Dalam hati : ah tak a pa jua yang ada Dalam syair ada kata, dalam kata ada makna Dalam makna : mudah-mudahan ada Kau !
-
« Le néant a produit le vide, le vide a produit le creux, le creux a produit le souffle, le souffle a produit le soufflet et le soufflet a produit le soufflé. » (Paul Claudel dans Le Soulier de satin) .
-
« La peur mène à la colère, la colère mène à la haine, la haine... mène au côté obscur. » (Yoda, dans Star Wars : épisode V - L'Empire contreattaque).
4. Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna Suatu penyimpangan bahasa secara evaluative atau secara emotif dari bahasa biasa, entah dalam ejaan, pembentukan kata, konstruksi (kalimat, klausa, kata), atau aplikasi sebuah istilah, untuk memperoleh kejelasan, penekanan, hiasan, humor, atau sesuatu efek yang lain. Gaya bahasa ini dibagi menjadi dua kelompok, yaitu gaya bahasa retoris dan bahasa kiasan .
43
1. Gaya bahasa retoris Gaya bahasa yang semata-mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu. Macam-macam gaya bahasa retoris adalah : a. Aliterasi Aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama. Biasanya digunakan dalam puisi, kadang-kadang dalam prosa, untuk perhiasan atau untuk penekanan. Misalnya : -
Takut titik lalu tumpah. Keras-keras kerak kena air lembut juga.
-
Dans les 3 jours, voilà le tac-tac-tac Des mitraillettes qui reviennent à l'attaque » Serge Gainsbourg, Bonnie and Clyde.
-
« La rue assourdissante autour de moi hurlait » (Baudelaire, Les Fleurs du mal, À une passante)
b. Asonansi Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Misalnya : -
Ini muka penuh luka siapa punya
-
Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidah tahu.
-
avec le phonème /i/ : « Tout m'afflige et me nuit et conspire à me nuire » (Racine, Phèdre).
-
Avec le phonème /a/ : « Le pacha se pencha, attrapa le chat, l'emmena dans sa villa et le plaça près du lilas. » Autre exemple, avec le phonème /on/ :
-
44
" Si mon tonton tond ton tonton ton tonton sera tondu " (François Laboué) c. Anastrof Anastrof atau inverse yaitu semacam gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat. Misalnya : Pergilah ia meninggalkan kami, keheranan kami melihat perangainya. Bersorak-sorak orang ditepi jalan memukul bermacam-macam bunyi-bunyian melalui gerbang dihiasi bunga dan panji berkibar. d. Apofasis atau preterisio Apofasis atau preterisio adalah gaya bahasa dimana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal. Misalnya : -
Jika saya menyadari reputasimu dalam kejujuran, maka sebenarnya saya ingin mengatakan bahwa anda pasti membiarkan anda menipu diri sendiri. Saya tidak mau mengungkapkan dalam forum ini bahwa saudara telah menggelapkan ratusan juta rupiah uang Negara .
e. Apostrof Aprostof adalah semacam gaya yang berbentuk pengalihan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. Misalnya : -
Hai kamu dewa-dewa yang berada disurga, datanglah dan bebaskanlah kami dari belenggu penindasan ini.
45
-
<< Hé ! Bonjour, Monsieur du Corbeau. Que vous êtes joli ! que vous me semblez beau ! >> (<< Le Corbeau et le Renard >>, Fables, Jean de La Fontaine), Monsieur du Corbeau disini merupakan apostrof.
f. Asindeton Asindeton adalah suatu gaya yang berupa acuan, yang bersifat padat dan mampat dimana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. Misalnya : Vini, vidi, vici yang artinya saya datang, saya lihat, saya menang. g. Polisindeton Polisindeton adalah suatu gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari asindenton. Misalnya : Dan kemanakah burung-burung yang gelisah dan tak berumah dan tak menyerah pada gelap dan dingin yang bakal merontokkan bulu-bulunya ? h. Kiasmus Gaya bahasa ini terdiri dari dua bagian, baik frasa atau klausa, yang sifatnya berimbang, dan dipertentangkan satu sama lain, tetapi susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila dibandingkan dengan frasa atau klausa lainnya. Misalnya : Semua kesabaran kami sudah hilang, lenyap sudah ketekunan kami untuk melanjutkan usaha itu.
46
i. Elipsis Elipsis adalah suatu gaya bahasa yang berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diiisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar, ehingga struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yang berlaku. Misalnya : Jika anda gagal melaksanakan tugasmu … tetapi baiklah kita tidak mebicarakan hal itu. j. Eufemismus Eufimismus adalah semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung prasaan atau mensugetikan sesuatu yang tidak menyenangkan. Misalnya : Ayahnya sudah tidak ada ditengah-tengah mereka (=mati ). k. Litotes Litotes adalah semacam gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Misalnya : -
kedudukan saya ini tidak ada artinya sama sekali.
-
Votre tarte n’est vraiment pas mauvaise.
l. Histeron Proteron Histeron Proteron adalah semacam gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar, misalnya :
47
-
Saudara-saudara, sudah lama terbukti bahwa anda sekalian tidak lebih baik sedikitpun dari para pesuruh, hal itu tampak dari anggapan yang berkembang akhir-akhir ini.
m. Pleonasme dan Tautologi Pleonasme dan Tautologi adalah acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan. Misalnya : - « Je l'ai vu, dis-je, vu, de mes propres yeux vu, ce qui s'appelle vu... » Molière, Le Tartuffe. n. Periphrasis Hampir sama dengan pleonasme, namun perbedaannya terletak dalam hal bahwa kata-kata yang berkelebihan itu sebenarnya dapat diganti dengan satu kata saja. Misalnya : Ia telah beristirahat dengan damai (=mati, atau meninggal) o. Prolepsis atau Antisipasi Prolepsis atau Antisipasi adalah semacam gaya bahasa dimana orang memperguanakan lebih dahulu kata-kata atau sebuah kata sebelum peristiwa atau gagasan yang sebenarnya terjadi. Misalnya : Almarhum Pardi pada waktu itu menyatakan bahwa ia tidak mengenal orang itu. p. Erotesis atau Pertanyaan Retoris Erotesis atau Pertanyaan Retoris adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaba. 48
Misalnya : Rakyatkah yang harus menanggung akibat semua korupsi dan manipulasi Negara ini ? q. Silepsis dan Zeugma Silepsis dan Zeugma adalah gaya dimana orang mempergunakan dua konstruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama. Misalnya : Dengan membelalakkan mata dan telinganya, ia mengusir orang itu. r. Koreksio atau Epanortosis Koreksio atau Epanortosis adalah suatu gaya yang berwujud, mula-mula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya. Misalnya : Sudah empat kali saya mengunjungi daerah itu, ah bukan, sudah lima kali. s. Hiperbola Hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal. Misalnya : -
Kemarahanku sudah menjadi-jadi hingga hampir-hampir meledak aku.
-
« C'est un géant » (pour dire que c'est un homme de grande taille). « La surface du pain est merveilleuse d'abord à cause de cette impression quasi panoramique qu'elle donne : comme si l'on avait à sa disposition sous la main les Alpes, le Taurus ou la Cordillère des Andes » (Francis Ponge).
t. Paradoks Paradoks adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Misalnya : Ia mati kelaparan ditengah-tengah kejayaan yang berlimpah-limpah.
49
u. Oksimoron Oksimoron dalah suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan. Misalnya : -
Untuk menjadi manis, seseorang harus menjadi kasar. À travers la noirceur de l'ombre, qui cache la mer et les cieux, Une clarté blafarde et sombre, fait voir l'une et l'autre à nos yeux (Madeleine de Scudéry, Le Cabinet.)
2. Gaya bahsa kiasan Gaya bahasa kiasan ini pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan seauatu hal yang lain, berarti mencoba menemukan cirri-ciri yang menunjukkan kesamaan hal tersebut. Ada macam-macam gaya bahasa kiasan, yaitu : a. Persamaan atau simile Persamaan atau simile adalah pebandingan yang bersifat eksplisit, yaitu ia langsung mengatakan sesuatu sama dengan hal yang lain,kata-kata eksplisit yaitu : seperti, sama, sebagai, bagaikan,laksana, dan sebagainya. Misalnya : Bibirnya seperti delima merekah. b. Metafora Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Misalnya : -
Pemuda adalah bunga bangsa. 50
-
L’aurore est un cheval qui s’ebrouant, chasse au loin les corneilles. (l’aurore dan le cheval merupakan pembanding dan yang dibandingkannya).
c. Alegori, Parabel, Fabel Ketiga gaya bahasa ini biasanya mengandung ajaran-ajaran moral dan sering sukar dibedakan satu dari yang lain. Alegori adalah Suatu cerita singkat yang mengandung kiasan. Makna kiasan ini harus ditarik dari bawah permukaan ceritanya. Contohnya : La raison du plus fort est toujours la meilleure ; / / nous l’allons montrer tout à l’heure. Parabel adalah suatu kisah singkat dengan tokoh-tokoh biasanya manusia, yang selalu mengandung tema moral. Contohnya : Fabel adalah suatu metafora berbentuk cerita mengenai dunia binatang, dimana binatang-binatang bahkan makhluk yang tidak bernyawa bertindak seolah-olah sebagai manusia. d. Personifikasi atau Prosopopoeia Personifikasi
atau
Prosopopoeia
adalah
semacam
gaya
kiasan
yang
menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan. Misalnya : -
Angin yang meraung di tengah malam yang gelap itu menambah lagi ketakutan kami.
51
-
Je suis la pipe d’un auteur ;/ On voit, à contempler ma mine/ D’abyssinienne ou de Cafrine/ Que mon maîtreest un grand fumeur. (Charles Baudelaire).
e. Alusi Alusi adalah semacam acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antara orang, tempat, atau peristiwa. f. Eponim Eponim adalah suatu gaya dimana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu. Misalnya Hercules dipakai untuk menyatakan kekuatan. g. Epitet Epitet adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau cirri yang khusus dari seseorang atau suatu hal. Misalnya lonceng pagi untuk ayam jantan. h. Sinekdoke Sinekdok adalah semacam bahasa figurative yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian. Misalnya : Setiap kepala dikenakan sumbangan Rp. 1000. i. Metonimia Metonimia adalah gaya bahasa yang memepergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Misalnya : -
Pena lebih berbahaya dari pedang. 52
-
« Paris a froid Paris a faim » (vers de Paul Éluard)
j. Antonomasia Antonomasia juga merupakan bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah epiteta untuk menggantikan nama diri, atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri. Misalnya : -
Yang mulia tak dapat mengahdiri pertemuan ini.
-
« Le Prince des orateurs » désigne Cicéron.
-
« Le Monstre des Carpates » désigne Dracula.
k. Hipalase Hipalase adalah semacam gaya bahasa dimana sebuah kata tertentu dipergunakan untuk menerangkansebuah kata, yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang lain. Misalnya : Ia berbaring diatas sebuah bantal yang gelisah ( yang gelisah adalah manusianya, bukan bantalnya). l. Ironi, Sinisme, dan Sarkasme Sebagai bahasa kiasan, ironi atau sindiran adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Misalnya : -
Saya tahu anda.
-
<< Ah ! Tue s proper ! Regarde toutes ces taches ! >>
53
2.5
Pilihan kata atau diksi
2.5.1
Pengertian pilihan kata atau diksi
Diksi adalah pilihan kata dan kejelasan lagal untuk memperoleh efek tertentu dalam berbicara di depan umum atau dalam karang mengarang (Kridalaksana, 2001:92).
Menurut Keraf (2001:23-24) pengertian diksi atau pilihan kata jauh lebih luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan kata-kata. Istilah ini bukan saja dipergunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu idea tau gagasan tetapi juga untuk meliputi fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan.
Pada intinya, ada beberapa pengertian mengenai diksi. Pertama, pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang akan dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokkan kata atau menggunakan ungkapanungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Kedua, pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansanuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat pendengar/ penerima. Ketiga, pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosakata atau pembendaharaan kata bahasa itu.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:264) diksi adalah pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan). Jadi dapat disimpulkan bahwa diksi 54
adalah pilihan kata yang dianggap tepat untuk mewakili buah pikiran atau gagasan seseorang.
Menurut Stuart Mill ((160 :1925) :
“les termes connotation et dénotation ont d'abord été utilisés en logique comme synonymes de compréhension et extension au sens mathématique du terme (c'est-à-dire pour désigner les propriétés communes aux éléments d'un ensemble d'une part et la liste de tous ces éléments de l'autre). Yang maksudnya bahwa istilah konotasi dan denotasi pertama kali digunakan untuk memahami dam memperluas arti matematika (artinya digunakan untuk menggambarkan sifat-sifat umum dari unsur-unsur dan sebuah daftar dari semua elemen yang lain). Sedangkan menurut Barthes dans S/Z ( 219 : 1920): “ que revient le soin d'élargir la notion jusqu'à son sens actuel, en faisant de la connotation une sorte de sens affectif, une valeur communément ajoutée à un mot par les locuteurs. Pour lui cependant, la connotation n'existait que si elle était exploitée par le texte, une condition dont les auteurs suivants se sont affranchis. Ainsi, on dira couramment que "blanc" connote la pureté, la virginité, même si l'auteur n'exploite pas cette symbolique”. Yang artinya bahwa konotasi adalah sebuah makna emosional, makna umum ditambahkan dengan menggunakan ungkapan. Baginya, bagaimanapun jika ada konotasi yang dieksploitasi oleh teks, para penulis harus mengembangkan kata tersebut. Kita sering mengatakan bahwa "putih" berkonotasi kemurnian, keperawanan, walaupun penulis tidak mengeksploitasi simbolisme ini.
55
2.5.2
Kata
Kridalaksana (2001:98) mendefinisikan kata sebagai berikut.
2. Morfem atau kombinasi morfem yang oleh bahwasanya dianggap sebagai satuan terkecil yang dapat diajarkan sebagai bentuk yang bebas. 3. Satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri, terjadi dari morfem tunggal atau gabungan morfem.
Kata merupakan satuan unit dalam bahasa yang memiliki stabilitas intern dan mobilitas posisional, yang berarti kata memiliki komposisi tertentu (baik fonologis maupun morfologis) dan secara relative memiliki distribusi yang bebas (Keraf, 2001:21) distribusi yang bebas misalnya dapat dilihat dari kalimat : Saya memukul anjing itu; anjing itu kupukul.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:213) kata adalah sebagai berikut.
-
Unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan yang merupakan perwujudan kesatuan, perasaan, pikiran, yang dapat digunakan dalam berbahasa.
-
Ujar atau berbicara.
-
Kata adalah morfem atau kombinasi morfem yang oleh bahwasanya dianggap satuan terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk bebas.
-
Satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri, terjadi dari morfem tunggal atau gabungan morfem.
56
Jadi dapat disimpulkan bahwa kata adalah satuan terkecil yang merupakan morfem yang dapat berdiri sendiri yang memiliki makna leksikal.
2.5.3
Syarat-syarat Keefektifan Diksi
Persoalan pendayagunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok, yaitu pertama, ketepatan memilih kata untuk mengungkapkan sebuah gagasan, hal atau barang yang akan dimanfaatkan, dan kedua, kesesuaian atau kecocokan dalam mempergunakan kata-kata tadi (Keraf, 2001:87).
1. Ketepatan Pilihan Kata Ketepatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis/pembaca. Ketepatan pemilihan kata menyangkut masalah makna kata dan kosakata (Keraf, 2001:87).
Menurut Arifin dan Tasai (1985:122), bahwa kata yang tepat akan mebantu seseorang mengungkapkan dengan tepat apa yang ingin disampaikan, baik lisan maupun tulisan. Disamping itu, pemilihan kata itu harus pula sesuai dengan situasi dan tempat penggunaan kata-kata itu. Beberapa butir berikut merupakan batasan agar bisa mencapai ketepatan pilihan kata (Keraf, 2001:88-89), diantaranya sebagai berikut. 1. Membedakan secara cermat denotasi dan konotasi. 2. Membedakan secara cermat kata-kata yang hamper bersinonim. Kata-kata yang bersinonim tidak selalu memiliki distribusi yang saling melengkapi. 57
3. Membedakan kata-kata yang mirip dalam ejaannya. 4. Hidarilah kata-kata ciptaan sendiri. 5. Waspadalah terhadap penggunaan akhiran asing, terutama kata-kata asing yang mengandung akhiran asing tersebut. Perhatikan penggunaannya :
favorable – favorit, idiom – idiomatic, progress – progresif, kultur – cultural, dan sebagainya.
6. Kata kerja yang menggunakan kata depan harus digunakan secara idiomatic : ingat akan bukan ingat terhadap; berbahaya, berbahaya bagi, membahayakan sesuatu bukan membahayakan bagi sesuatu, takut akan, menakuti sesuatu (lokatif). 7. Untuk menjamin ketepatan diksi, penulis atau pembicara harus membedakan kata umum dan kata khusus. Kata khusus lebih tepat menggambarkan sesuatu daripada kata umum. 8. Menggunakan kata-kata indria yang menunjukan persepsi yang khusus, contohnya : Wajahnya manis sekali. 9. Memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang sudah dikenal. 10. Memperhatikan kelangsungan pilihan kata.
2. Kesesuaian Menurut Keraf (2001:103-104) kesesuaian diksi mepersoalkan apakah pilihan kata dan gaya bahasa yang dipergunakan tidak termasuk suasana atau menyinggung perasaan orang yang hadir. Ada beberpa hal yang perlu diperhatikan agar kata-kata
58
yang dipergunakan tidak akan mengganggu suasana dan tidak menimbulkan ketegangan antara penulis atau pembicara dengan para hadirin atau para pembaca. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut. 1.
Hindarilah sejauh mungkin bahasa atau unsur substandard dalam suatu situasi formal.
2.
Gunakan kata-kata ilmiah dalam situasi yang khusus saja. Dalam situasi yang umum hendaknya penulis dan pembicara mempergunakan kata-kata popular.
3.
Hindarilah jargon dalam tulisan untuk pembaca umum.
4.
Penulis atau pembicara sejauh mungkin menghindari pemakaian kata-kata slang.
5.
Dalam penulisan jangan mempergunakan kata percakapan.
6.
Jauhkan kata-kata atau bahasa yang artificial.
2.5.4
Klasifikasi Kata Berdasarkan Diksi
1.
Denotatif dan Konotatif
Makna denotatif adalah makna dalam alam wajar secara eksplisit. Makna wajar ini adalah makna yang sesuai dengan apa adanya. Denotatif adalah suatu pengertian yang dikandung sebuah kata secara objektif. Sering juga makna denotatif disebut makna konseptual.
Kata makan, misalnya, bermakna memasukkan sesuatu kedalam mulut, dikunyah, dan ditelan. Makna kata makan seperti ini adalah makna denotatif. Makna denotatif disebut juga dengan istilah; makna denatasional, makna kognitif, makna konseptual,
59
makna ideasional, makna referensial, atau makna proposional (Keraf,2002:2080). Disebut makna denotasional, konseptual, referensial dan ideasional, karena makna itu mengacu pada referensi, konsep atau ide tertentu dari suatu referensi. Disebut makna kognitif karena makna itu berhubungan dengan kesadaran, pengetahuan dan menyangkut rasio manusia.
Dalam kamus bahasa Perancis, denotasi dimengerti oleh semua bahasa dan memiliki arti yang objektif, contohnya pada kata <
> yang artinya merah ,merupakan salah satu contoh warna satu dari tiga warna primer.
Makna konotatif adalah makna asosiatif, makna yang timbul sebagai akibat dari sikap sosial, sikap pribadi, dan kriteria tambahan yang dikenakan pada sebuah makna konseptual. Kata makan dalam makna konotatif dapat berarti untung atau pukul. Makna konotatif atau sering disebut juga makna kiasan, makna konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif. Kata-kta yang bermakna konotatif atau kiasan biasanya dipakai pada pembicaraaan atau karangan nonilmiah, seperti: berbalas pantun, peribahasa, lawakan, drama, prosa, puisi, dan lain-lain. Karangan nonilmiah sangat mementingan nilai-nilai estetika. Nilai estetika dibangun oleh bahasa figuratif dengan menggunakan kata-kata konotatif agar penyampaian pesan atau amanat itu terasa indah.
Makna konotatif berbeda dari zaman ke zaman. Ia tidak tetap. Kata kamar kecil mengacu kepada kamar yang kecil (denotatif), tetapi kamar kecil berarti juga jamban (konotatif). Dalam hal ini, kita kadang-kadang lupa apakah suatu makna kata itu adalah makna denotatif atau konotaif.
60
Kata rumah monyet mengandung makna konotatif. Akan tetapi, makna konotatif itu tidak dapat diganti dengan kata lain, sebab nama lain untuk kata itu tidak ada yang yang tepat. Begitu juga dengan istilah rumah asap.
Makna konotatif dan makna denotatif berhubungan erat dengan kebutuhan pemakaian bahasa. Makan denotatif ialah arti harfiah suatu kata tanpa ada satu makna yang menyertainya, sedangkan makna konotatif adalah makna kata yang mempunyai tautan pikiran, perasaan, dan lain-lain yang menimbulkan nilai rasa tertentu. Dengan kata lain, makna denotatif adalah makna yang bersifat umum, sedankan makna konotatif lebih bersifat pribadi dan khusus.
Contoh: Dia adalah wanita cantik (denotatif)
Dia adalah wanita manis (konotatif)
Kata cantik lebih umum dari pada kata manis. Kata cantik akan memberikan gambaran umum tentang seorang wanita. Akan tetapi, dalam kata manis terkandung suatu maksud yang lebih bersifat memukau perasaan kita.
Nilai kata-kata itu dapat bersifat baik dan dapat pula besifat jelek. Kata-kata yang berkonotasi jelek dapat kita sebutkan seperti kata tolol (lebih jelek dari pada bodoh), mampus (lebih jelek dari pada mati), dan gubuk (lebih jelek dari pada rumah). Di pihak lain, kata-kata itu dapat pula mengandung arti kiasan yang terjadi dari makna denotatif referen lain. Makna yang dikenakan kepada kata itu dengan sendirinya akan ganda sehingga kontekslah yang lebih banyak berperan dalam hal ini. 61
Contoh lain:
Sejak dua tahun yang lalu ia membanting tulang untuk memperoleh kepercayaaan masyarakat.
Kata membanting tulang (makna denotatif adalah pekerjaan membanting sebuah tulang) mengandung makna “berkerja keras” yang merupakan sebuah kata kiasan. Kata membanting tulang dapat kita masukan ke dalam golongan kata yang bermakna konotatif.
Kata-kata yang dipakai secara kiasan pada suatu kesempatan penyampaian seperti ini disebut idiom atau ungkapan. Semua bentuk idiom atau ungkapan tergolong dalam kata yang bermakna konotatif.
Kata-kata idiom atau ungkapan adalah sebagai berikut:
Keras kepala Panjang tangan, Sakit hati, dan sebagainya. Berikut adalah tabel dari jenis konotasi dalam bahasa Perancis menurut www.espacefrancais.com:
Type
Fonction
Procédés utilisés
Connotations thématiques
Développer un thème: amour, mort, temps... de manière implicite.
Réseau lexical, images Sonorités, onomatopés
Connotation de caractérisation
Évoquer implicitement un personnage en suggérant ses origines, son milieu social, sa profession.
Registre de langue Construction des noms propres Lexique affectif Sonorités (notamment des noms
62
propres) Archaïsmes, termes étrangers, noms de lieu, comparaisons
Suggérer une appréciation: positive, élogieuse ou négative, critique.
Suffixes: -ette, -asse, -âtre, etc. Réseaux lexicaux: haut/bas, jour/nuit, etc. Certaines figures de style (euphémismes , hyperboles , antiphrases , comparaisons , etc.)
Faire allusion à d'autres textes, Connotation culturelle d'autres arts, d'autres cultures.
Emploi de mots, d'expressions, de noms propres... les évoquant Citations, comparaisons
Connotation appreciative
2.6
Puisi sebagai salah satu jenis karya sastra Pada dasarnya, karya sastra dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu sastra
imajinatif dan sastra non-imajinatif (sumardjo dan Saini, 1991 : 7) . sastra imajinatif diantaranya puisi, fiksi atau prosa naratif dan teater/drama, sedagkan sastra non-imajinatif dapat berupa esei, kritik, biografi, otobiografi, sejarah, catatan harian dan surat-surat. Sebagai sastra imajinatif, puisi dapat dikatakan lahir dari bawah sadar jiwa manusia. Ia tidak dapat dikuasai oleh logika, karena diciptakan secra spontan dan serta merta bersama emosi (Hassanuddin, 2002 : 5) . dalam puisi dituntut adanya kepuitisan yang dimaksudkan untuk merangsang imajinasi, panca indera, pemikiran, dan memberikan perasaan serta persepsi yang terkadang tidak lazim. Puisi dibentuk oleh beberapa unsur, antara lain : emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, susunan kata, kata-kata kiasan, dan kepadatan. Lebih khusus lagi, di dalam puisi terdapat tiga unsure pokok. Menurut Pradopo (1987 : 7 ) unsure tersebut adalah ide
63
atau emosi, bentuk, dan kesan. Ketiga unsur tersebut hadir dan saling mendunkung untuk mencapai efek kepuitisan. 2.7
Perkembangan puisi di Perancis Kata puisi berasal dari bahasa yunani poien yang berarti “menciptakan” (le dictionnaire du litterraire, 2002 ). Kata puisi menunjukan makna sebagai seni berbahasa. Plato mendefinisikan puisi sebagai ungkapan yang tidak masuk akal dan ekspresi antusiasme. Di Prancis sendiri, puisi baru dikenal pada akhir abad XV setelah munculnya chanson de geste yang merupakan puisi epic yang berisi cerita-cerita kepahlawanan. Perubahan besar pada dunia puisi di Prancis, terjadi setelah meletusnya revolusi di prancis. Baudelaire, seorang pengarang puisi yang muncul pada abad XIX menanamkan model menulis yang lebih modern seperti dalam Les Fleurs du Mal (1857) dan petits poems en prose (1869). Puisi-puisi tersebut secara keseluruhan berbicara mengenai kemarahan, pengalaman, kebodohan, dan cinta. Puisi ditulis melalui berbagai perwatakan yang disampaikan dalam tulisan seperti sebuah seni berbahasa yang murni. Dengan keadaan yang demikian, sedikit demi sedikit puisi mempunyai tempat tersendiri di dalam masyarakat prancis dan mampu bersanding dengan roman, teater dan bentuk literature lainnya.
2.8
Baudelaire beserta karyanya Charles Baudelaire lahir di Paris pada tahun 1821. Ia tumbuh menjadi seorang yang boros dan senang menghambur-hamburkan kekayaan yang diwariskan ayahnya.
64
Kemewahan yang dirasakannya tidak berlangsung lama. Keluarganya yang merasa tidak senang akan kemewahan dan gaya hidupnya yang boros, memaksanya untuk kehilangan seluruh kekayaannya dan membuatnya hidup miskin dan menderita. Meskipun demikian, perubahan yang terjadi pada hidupnya tidak merubah kecintaannya pada dunia literature. Ketertarikannya pada literature yang dimulai sejak ia masih berada di sekolah Louise-Le-Grand membawanya menjadi seorang penulis karya sastra dan ktitikus seni. Le Salon, adalah karya pertamanya yang terbit pada tahun 1845 dan dilanjutkan pada tahun 1846. Penulisan puisi Limbes yang diterbitkan pada majalah Les Messages memberinya ide untuk menyusun bukunya sendiri. “A Celle Qui Est Trop Gaie” (1852) adalah puisi pertamanya dalam Les Fleurs Du Mal yang ditulis untuk madame Sebastier (Ibunda Baudelaire) yang dilanjutkan dengan puisi XXXVII, Le Flambeau Vivant, Reversibilite, dan L’aube Sprirituelle (1854). Sebelum buku kumpulan puisi “Les Fleurs Du Mal” diterbitkan, Baudelaire terlebih dahulu menerbitkan puisinya melalui majalah “La Revue Deux Mondes” yang terdiri dari 80 puisi. Setelah melalui berbagai pertimbangan, pada tahun 1857 penerbitan buku kumpulan puisi “Les Fleurs Du Mal” dapat terrealisasikan.
65
Les Fleurs Du Mal memuat 100 puisi yang terdiri dari 5 bagian yaitu, Spleen et ideal (77 puisi), Fleurs du Mal (12 puisi), Revolte (3 puisi), Le Vin (5 puisi) dan La Mort (3 puisi). Beberapa puisi seperti Le Balcon, Le Poison, Parfum Exotique dan La Pipe ia dedikasikan untuk kekasihnya Jeanne Duval dan selebihnya ditulis berdasarkan pengalaman, protes social, kemarahan, cinta dan kritik pada alam. Pada awal kemunculannya Les Fleurs Du Mal, Baudelaire langsungmenerima berbagai kecaman dan kritikan. Puisis-puisinya dianggap tabu, tak bermoral, dan terlalu ekstrim. Keadaan tersebut meemaksanya untuk menarik enam dari pusi-puisinya yang terdapat dalam buku tersebut. Pada tahun 1861, Baudelaire menerbitkan edisi kedua Les Fleurs Du Mal yang memuat 126 puisi yang terdiri dari 94 puisi pada edisi pertama (dikurangi enam puisi yang ditarik dari penerbitan), ditambah 32 puisi baru. Edisi kedua ini terdiri dari enam bagian yaitu Spleen et Ideal (85 puisi), Fleurs Du Mal (9 puisi), Revolte ( 3 puisi), Le Vin (5 puisi), La Mort (6 puisi) dan satu tema yaitu Tableaux Parisiens yang memuat 18 puisi. Les Fleurs Du Mal dianggap sebagai symbol kejayaan dan kejeniusan Baudelaire. Melalui Les Fleus Du Mal inilah, ia mulai dikenal baik di Prancis maupun di Negara lain. Beberapa ahli sastra seperti Rimbaud yang menyatakan bahwa Baudelaire adalah “Roi des poetes” (rajanya para penyair), Flaubert (1857) menganggapnya sebagai pembawa nafas baru dalam aliran “romantisme”, dan Paul Verlaine (dalam Ouvres Poshtumes,
66
1867) memuji kejeniusan Baudelaire dan mensejajarkannya dengan Hugo dan Balzac, dua orang sastrawan yang terkenal pada masa itu. 2.9
Analisis Stilistika Dalam Pembelajaran Puisi Perancis
Dalam pembelajaran puisi bahasa Perancis, ada berbagai jenis pembejaran dalam memahami makna yang terkandung dalam puisi tersebut. Namun, pada dasarnya jenis pemahaman dalam menganalisis puisi Perancis, sama dengan pemahaman puisi berbahasa Indonesia. Dalam memahami puisi, terdapat beberapa jenis analisis yaitu dari segi linguistik, semiotika, makna, budaya, segi stilistika. Dalam pemahaman stilistika terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan karena stilistika pun dibagi ke dalam beberapa bagian lagi seperti gaya bahasa, makna kata, rima, denotasi dan konotasi, dan sebagainya. Molinié mengungkapkan dalam le livre cité, p.146 (1934) untuk memepelajari teks sastra dan gaya setiap penulis bisa dengan : a. l’étude stylistique d’une période littéraire ; b. l’étude des styles des écrivains en fonction de leur appartenance à un courant ou à un groupement littéraire ; c. l’étude des styles des écrivains en fonction d’une particularité de style commune, conformément aux affinités ou filiations ; d. l’étude stylistique d’un genre ou d’un sous-genre littéraire. Maksudnya adalah untuk memepelajari teks sastra dan gaya setiap penulis bisa dengan : a. b.
Mempelajari stilistika saat mempelajari sastra. Mempelajari gaya dari setiap penulis atau sastrawan dari segi angkatan mereka. 67
c.
Mempelajari gaya dari setiap penulis atau sastrawan dari segi gaya mereka yang unik dan sama menurut hubungan dan afiliasi.
d.
Mempelajari gaya dari genre dan sub-genre.
Menurut Sébastien Salbayre et de Nathalie Vincent-Arnaud, Wilfrid Rotgé ( 2006 : 188) : L’Analyse stylistique se compose de deux parties : « Outils théoriques pour l’analyse stylistique » et « Méthodologie et analyses de textes ». Dalam analisis stilistika ada dua cara yaitu dengan teori dan metodologi dan menganalisis teks. Sama halnya dalam mempelajari puisi Perancis, kedua cara tersebut bisa digunakan.
68