BAB II LANDASAN TEORETIS
A. Pengertian Sastra Lisan Sastra
lisan
merupakan
kesusasteraan
yang
mencakup
ekspresi
kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan dari mulut ke mulut (Hutomo, 1991: 1). Sastra lisan bersifat komunal, artinya milik bersama suatu anggota masyarakat tertentu dalam suatu daerah. Hal inilah yang membuat sastra lisan yang lahir dalam suatu masyarakat di masa lampau tersebut, memberikan ciri khas daerahnya sendiri karena di dalam sastra lisan tertuang banyak nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang mengikat masyarakatnya. Sastra lisan menjadi aset kebudayaan masyarakat yang seyogianya dilestarikan dan menjadi almamater masyarakat itu sendiri, sehingga bisa membedakannya dari komunitas lain. Dalam pandangan Teeuw (Endraswara, 2011: 151), sastra lisan masih terdapat di berbagai
pelosok
masyarakat.
Sastra
lisan
yang
terdapat
di
daerah
terpencil/pelosok, biasanya lebih murni karena mereka belum mengenal teknologi dan juga buta aksara, dibandingkan dengan sastra lisan yang berada di tengah masyarakat perkotaan yang justru malah hanya terdengar gaungnya saja dikarenakan mulai tergeser dengan kecanggihan teknologi dan pengaruh dari budaya luar. Umumnya, masyarakat terpencil yang berada di pedesaan terdiri dari satu entik/suku bangsa dominan yang masih menjaga keutuhan budaya atau tradisi peninggalan nenek moyangnya. Sementara masyarakat kota lebih cenderung
12
berbaur
karena
terdiri
dari
berbagai kalangan
masyarakat/etnik
yang
berbeda. Sehingga penelitian sastra lisan, lebih utama ditujukan pada daerahdaerah terpencil. Menurut Endraswara (2011: 150), penelitian sastra lisan sangat membutuhkan kecermatan dan ketelitian. Oleh karena, sastra lisan kadang-kadang ada yang murni dan ada juga yang tidak murni. Sastra lisan murni misalnya, berupa dongeng, legenda, mite, atau cerita yang tersebar secara lisan di masyarakat. Adapun sastra lisan yang tidak murni, biasanya berbaur dengan tradisi lisan di masyarakat. sastra lisan yang berbaur ini kadang-kadang hanya berupa penggalan cerita sakral. Mungkin saja cerita hanya berasal dari tradisi leluhur yang tidak utuh. Ciri umum dari sastra lisan yang tersebar di dalam masyarakat, yakni banyak mengungkapkan kata-kata atau ungkapan-ungkapan klise dan sering bersifat menggurui. Mengenai ciri-ciri sastra lisan tersebut diperjelas kembali oleh Suwardi (2011: 151), sebagai berikut: a. Lahir dari masyarakat yang polos, belum melek huruf, dan bersifat tradisonal; b. menggambarkan budaya milik kolektif tertentu, yang tak jelas siapa penciptanya; c. lebih menekankan aspek khayalan, ada sindiran, jenaka, dan pesan mendidik; dan d. sering melukiskan tradisi kolektif tertentu. Sastra lisan pun memiliki jenis-jenis atau corak sastra lisan yang sangat beragam. Menurut Hutomo (1991: 62), jenis-jenis sastra lisan yang bisa menjadi bahan kajian sastra lisan (folklor) dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yakni:
13
1. Bahan yang bercorak ceritera: (a) ceritera-ceritera biasa (tales), (b) mitos (myths), (c) legenda (legends), (d) epik (epics), (e) cerita tutur (ballads), (f) memori (memorates); 2. bahan yang bercorak bukan cerita: (a) ungkapan (folk speech), (b) nyanyian (songs), (c) peribahasa (proverbs), (d) teka-teki (riddles), (e) puisi lisan (rhymes), (f) nyanyian sedih pemakaman (dirge), (g) undang-undang atau peraturan adat (law); 3. bahan yang bercorak tingkah laku (drama): (a) drama panggung, dan (b) drama arena. Berdasarkan deskripsi di atas, yang akan menjadi bahan kajian peneliti adalah sastra lisan yang bercorak ceritera. Dalam hal ini adalah cerita rakyat yang berjudul Carita Maung Panjalu, yang memiliki kesakralan tinggi dan tidak sembarang orang/masyarakat bisa menceritakan cerita rakyat tersebut karena disinyalir cerita rakyat ini dianggap bukan sembarang cerita melainkan cerita rakyat yang penuh magis. Tergambar dari banyaknya pantangan masyarakat Panjalu yang menguatkan mitos-mitos tentang keberadaan Harimau Panjalu yang dianggap keramat/nenek moyang oleh masyarakat pendukungnya. Tak heran, apabila peneliti menggolongkan cerita rakyat tersebut ke dalam jenis mite. Untuk lebih jauh memahami mite, terlebih dahulu disajikan pengertian folklor yang memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan sastra lisan.
14
B. Pengertian Folklor Berbicara mengenai sastra lisan, pastilah selalu dikaitkan dengan istilah folklor. Folklor merupakan khazanah sastra lama. Kata folklor berasal dari bahasa Inggris yaitu folklore. Kata majemuk ini terdiri dari dua kata dasar folk dan lore. Secara etimologi, folk artinya kolektif, atau ciri-ciri pengenalan fisik atau kebudayaan yang sama dalam masyarakat, sedangkan lore merupakan tradisi dari folk. Atau menurut Dundes (Danandjaya, 2002: 2) folk sama artinya dengan kolektif (collectivity), folk juga berarti sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompokkelompok lainnya. Folklor merupakan produk budaya masyarakat yang menjadi aset kekayaan suatu daerah yang perlu dijaga dan dilestarikan keberadaannya. Folklor pun merupakan warisan turun-temurun, sedikitnya dua generasi yang dapat mereka akui sebagai milik bersamanya. Di samping itu, yang paling penting bahwa mereka sadar akan identitas kelompok mereka sendiri. Jadi, folk adalah sinonim dengan kolektif, yang juga memiliki ciri-ciri pengenal fisik atau kebudayaan yang sama, serta mempunyai kesadaran kepribadian sebagai kesatuan masyarakat. Lore sendiri berarti tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan turun temurun secara lisan atau melalui sebuah contoh yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Pengertian folklor menurut Brunvand (dalam Hutomo, 1991: 5) folklore may be defined as those materials in culture that circulate tradisionally among member of any group in different versions, whether in oral by means of customary example. Definisi ini kemudian diubah oleh Danandjaya
15
(2002: 2), yakni
pengertian folklor secara keseluruhan adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan atau contoh yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Sama halnya dengan sastra lisan, folklor pun bersifat komunal (milik bersama) karena pencipta folklor itu tidak diketahui (anonim). Folklor hidup dalam masyarakat pendukungnya dalam bentuk penyebaran yang masih sangat tradisional yakni diwariskan secara lisan dari mulut ke mulut dari satu generesi ke generasi berikutnya. Hutomo (1991: 7) menjelaskan bahwa sifat folklor yang tradisonal, maka folklor itu disebarkan di dalam bentuknya yang relatif tetap, atau di dalam bentuk baku di dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Oleh karena penyebaran folklor secara lisan inilah, maka semakin jauh dari sumbernya folklor ini semakin banyak mengalami perubahan, walaupun intinya tetap. Konsep folklor yang dikemukakan Hutomo (1991: 7) meliputi: (1) sastra lisan; (2) sastra tertulis penduduk daerah pedesaan dan masyarakat kota kecil; dan (3) sekspresi budaya yang mencakup: (a) teknologi budaya, (b) pengetahuan rakyat, dan (c) kesenian dan rekreasi (arsitektur tradisional, kerajinan rakyat, seni pandai gamelan, pengetahuan obat-obatan tradisional, ilmu firasat, numerologi, seni ukir, tari-tarian dan permainan). Sementara itu, menurut Brunvand (Hutomo, 1991: 8) lebih memperinci konsep folklor tersebut dan mengelompokannya ke dalam tiga bagian, antara lain: a. Folklor lisan (verbal folklore), mencakup: (a) ungkapan tradisional (peribahasa, pepatah); (b) nyanyian rakyat; (c) bahasa rakyat (dialek, julukan,
16
sindiran, titel-titel, wadanan, dan lain-lain); (d) teka-teki; dan (e) cerita rakyat (dongeng, dongeng suci atau mite, legenda, sage, cerita jenaka, cerita cabul, dan lain-lain); b. folklor setengah lisan (partly verbal folklore), mencakup: (a) drama rakyat (ketoprak, ludruk, lenong, wayang orang, wayang kulit, topeng, langendriyan, dan lain-lain); (b) tari (serimpi, kuda lumping, kupu-kupu, serampang duabelas, dan lain-lain); (c) kepercayaan dan takhayul; (d) upacara-upacara (ulang tahun, kematian, perkawinan, sunatan, pertunangan, dan lain-lain); (e) permainan rakyat dan hiburan rakyat; (f) adat kebiasaan (gotong royong, batas umur pengkhitanan anak, dan lain-lain), dan (g) pesta-pesta rakyat (wetonan, sekaten, dan lain-lain); dan c. folklor bukan lisan (non verbal folklore), mencakup: (a) folklor yang material, antara lain mainan (boneka), makanan dan minuman, peralatan dan senjata, alat-alat musik, pakaian dan perhiasan, obat-obatan, seni kerajianan tangan, dan arsitektur rakyat (misalnya: bentuk rumah); dan (b) folklor yang berupa bukan material, meliputi musik, dan bahasa isyarat (mengangguk tanda setuju, menggelengkan kepala berarti tidak setuju, dan lain-lain). Sejalan dengan kedua pendapat di atas, maka penelitian ini akan menganalisis konsep folklor sebagai sastra lisan atau folklor lisan dalam bentuk prosa/cerita rakyat. Menurut William Bascom (Danandjaya, 2002: 50), cerita prosa rakyat dapat dibagi dalam tiga golongan besar, yaitu: (1) mite (myth), (2) legenda (legend), dan (3) dongeng (folktale). Mite adalah cerita prosa rakyat yang
17
dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita yang ditokohi oleh para dewa atau mahluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain atau di dunia yang bukan seperti yang kita kenal sekarang dan terjadi pada masa lampau. Legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap pernah benar-benar terjadi tetapi tidak dianggap suci. Legenda ditokohi oleh manusia, walaupun ada kalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa dan seringkali juga dibantu mahluk-mahluk ajaib. Tempat terjadinya adalah di dunia seperti yang kita kenal saat ini, karena waktu terjadinya belum terlalu lampau. Sementara itu, dongeng adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benarbenar terjadi oleh yang empunya cerita dan dongeng tidak terikat oleh waktu maupun tempat. Dari ketiga uraian tersebut, yang menjelaskan pengertian mite, legenda, maupun dongeng, maka peneliti mengkategorikan cerita rakyat berjudul Carita Maung Panjalu ke dalam kategori mite. Hal tersebut didasarkan pada pengertian Bascom di mana memposisikan cerita sebagai peristiwa yang benar-benar terjadi dan dianggap suci oleh masyarakat pendukungnya dengan memunculkan para tokoh di luar nalar atau logika manusia (berwujud dewa: binatang yang bisa berbicara layaknya manusia).
18
C. Pengertian Mite Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, mite termasuk ke dalam genre prosa dalam bentuk cerita rakyat. William Bascom (dalam Sutarto, 1997: 12-13) mengatakan cerita rakyat dalam bentuk prosa terdiri dari mite, legenda, dan dongeng yang saling terkait dan memiliki ciri-ciri tertentu sehingga membedakan ketiganya dari bentuk-bentuk seni lisan lainnya seperti peribahasa, teka-teki, balada, puisi, tongue-twisters (serangkaian kata atau kalimat yang sulit diucapkan), dan lain-lainnya. Bascom mendefinisikan ketiga bentuk tersebut sebagai berikut. Mite adalah cerita rakyat dalam bentuk prosa yang oleh masyarakat pemiliknya dipercaya sebagai kejadian yang sungguh-sungguh terjadi pada zaman dahulu kala. Mite diajarkan untuk dipercayai karena dianggap memiliki kekuatan untuk menjawab ketidaktahuan, keragu-raguan, atau ketidakpercayaan, dan sering dikaitakan dengan teologi dan ritual. Tokoh-tokoh utama mite biasanya binatang, dewa, atau pahlawan kebudayaan yang tindakannya terjadi pada zaman dahulu kala, ketika dunia belum seperti sekarang ini. Mite menerangkan tentang asal usul dunia, manusia, kematian, atau tentang sifat-sifat burung, binatang, bentuk geografis, dan gejala alam. Mite berkisah tentang kegiatan, hubungan keluarga, sahabat dan musuh, kemengan dan kekalahan, serta kisah cinta para dewa. Bentuk ini kadang-kadang juga memberi tahu rincian berbagai upacara dan ritual, atau mengapa tabu harus dipatuhi, tetapi unsur-unsur etimologi semacam ini tidak terbatas pada mite.
19
Legenda adalah cerita rakyat dalam bentuk prosa, yang seperti halnya mite dianggap benar-benar terjadi baik oleh pencerita maupun pendengarnya, tetapi waktu kejadiannya dalam zaman yang lebih muda, ketika dunia sudah seperti sekarang ini. Legenda dapat bersifat sekuler atau suci dan tokoh-tokoh utamanya adalah manusia. Bentuk ini bercerita tentang migrasi, perang dan kemenangan, kehebatan pahlawan, pemimpin dan raja-raja pada zaman dahulu, serta tentang suksesi dalam suatu dinasti yang sedang memerintah. Kehadiran legenda seringkali memberi sumbangan yang berarti bagi penulisan sejarah lisan, meskipun di dalamnya terdapat cerita setempat tentang harta karun, hantu, peri, dan orang-orang suci. Adapun dongeng adalah cerita rakyat dalam bentuk prosa yang dianggap sebagai rekaan. Bentuk ini tidak dianggap sebagai dogma atau sejarah dan tidak dipermasalahkan kebenaran tentang kejadian peristiwanya. Meskipun sering dikatakan hanya untuk hiburan, dongeng memliki fungsi penting seperti yang dikesankan oleh dongeng-dongeng yang mengandung nasihat. Dongeng tidak terikat oleh tempat dan waktu, dapat terjadi kapan saja dan di mana saja. Selain berkisah tentang kehebatan peri dan dewa, dongeng juga berkisah tentang petualangan manusia dan binatang. Untuk memudahkan pengklasifikasian uraian ketiga bentuk cerita rakyat tersebut, maka dibuat tabel sebagai berikut:
20
TABEL 2.1 Cerita Rakyat Bentuk Prosa
Bentuk Mite
Dipercayai sebagai Fakta
waktu
Tempat
Sifat
Dahulu, lebih awal
Dunia yang lain atau lebih awal Dunia seperti sekarang Di mana saja
Suci
Legenda
Fakta
Dahulu, lebih akhir
Dongeng
Rekaan
Kapan saja
Tokoh Utama Bukan manusia
Sekuler atau suci
Manusia
Sekuler
Manusia atau bukan manusia
*sumber: Legenda Kasada dan Karo Orang Tengger Lumajang (Sutarto, 1997: 14)
Sutarto (1997: 14) istilah dongeng sering dipakai secara luas untuk menunjukkan (1) cerita lisan apa saja selain mite dan legenda (2) semua cerita rakyat (termasuk mite dan legenda) yang dikategorikan sebagai lisan, rakyat, tradisional, atau diceritakan oleh rakyat (Finnegan dalam Sutarto, 1992: 147-149). Antara legenda dengan mite jelas memiliki perbedaan apabila dilihat dari uraian definisi-definisi di atas. Dalam KBBI Edisi Ketiga (2002: 749), mite adalah cerita yang memiliki latar belakang sejarah, dipercayai oleh masyarakat sebagai cerita yang benar-benar terjadi, dianggap suci, banyak mengandung hal-hal yang ajaib, dan umumnya ditokohi oleh dewa. Sementara Legenda adalah cerita rakyat pada zaman dahulu yang ada hubungannya dengan peristiwa sejarah (KBBI, 2002: 651). Meski Danandjaja (2002: 61) mengaitkan dongeng sebagai mite yang rusak (broken-down myth), tetapi tidak semua cerita mite termasuk ke dalam dongeng. Mite tetap hidup sebagai cerita yang dianggap suci manakala muatan
21
kesakralan yang mengikat dalam masyarakat masih tetap dijunjung tinggi oleh generasi pengikutnya. Berikut ini adalah tabel yang memuat perbedaan antara mite, legenda, dan dongeng. TABEL 2.2 Perbedaan Mite, Lengenda, dan Dongeng
No. 1. 2. 3. 4.
Sebutan resmi
Cerita Rakyat dalam bentuk prosa Mite Legenda Dongeng
Formula pembuka Diceritakan setelah gelap Dipercaya sebagai Latar
Tidak ada Tidak ada batasan Fakta Pada suatu waktu dan di suatu tempat
Tidak ada Tidak ada batasan Fakta Pada suatu hari dan di suatu tempat
Biasanya ada Biasanya begitu Rekaan Tidak terikat waktu dan tempat
4a. Waktu 4b. Tempat
Lebih muda Dunia seperti sekarang Suci atau sekuler Manusia
Kapan saja Di mana saja
5.
Sifat
Lebih tua Dunia lain lebih tua Suci
6.
Tokoh Utama
Bukan manusia
Sekuler Manusia atau bukan manusia
*sumber: Legenda Kasada dan Karo Orang Tengger Lumajang (Sutarto, 1997: 17)
D. Pendekatan Struktural Terhadap Karya Sastra Pendekatan struktural merupakan konsep dasar dalam menganalisis sebuah karya sastra. Karya sastra yang dimaksud dalam penelitian ini adalah karya sastra bercorak cerita rakyat yang di dalamnya memuat teks cerita. Seperti halnya Badrun (2003: 21) yang mengatakan bahwa setiap teks memiliki struktur, maka cerita rakyat pun demikian halnya. Menurut Halliday (Badrun, 2003: 21), teks merupakan bahasa yang berfungsi, bahasa yang sedang melaksanakan tugas
22
tertentu dalam konteks tertentu. Teks merupakan satuan makna yang dikodekan melalui bahasa. Menurut Todorov (1985: 40), analisis struktur adalah aspek sintaksis menyangkut struktur naratif sebuah teks. Tentunya yang dimaksudkan adalah teks lisan. Dalam analisis ini sebuah karya sastra dapat diuraikan dalam unsur-unsur terkecil. Jenis hubungan inilah yang dapat digunakan sebagai kriteria pertama untuk membedakan satu struktur tekstual dengan yang lainnya. Endraswara (2011: 152) mengatakan, menganalisis struktur teks sangat penting karena di dalamnya terdapat hubungan antara unsur-unsur yang membentuk teks sebagai suatu kesatuan. Hal tersebut bertujuan untuk memahami makna dan fungsi cerita yang diperoleh setelah peneliti menganalisis struktur cerita sastra lisan yang sudah ditranskripsikan ke dalam bentuk tulis/teks. Dalam melakukan analisis struktur cerita rakyat ini, peneliti akan menganalisis cerita meliputi alur, tokoh, dan latar (tempat dan waktu).
1.
Alur/Plot Alur adalah sebuah deretan peristiwa yang logik dan kronologik saling
berkaitan dan yang diakibatkan atau dialami oleh para pelaku (Bunanta, 1998: 171). Sementara itu, Aminudin (1995: 85) menjelaskan alur sebagai rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Jadi, alur merupakan rangkaian kejadian atau tahapan-tahapan peristiwa yang dialami oleh tokoh dalam sebuah cerita.
23
Memahami alur/plot sangat penting karena alur merupakan energi terpenting yang menggerakkan cerita sehingga menjadi penceritaan, dengan episode terpenting yang terdiri atas permulaan, komplikasi, dan penyelesaian (Ratna, 2004: 139). Setiap tahapan plot memuat semua unsur yang membentuk cerita. Tahapan-tahapan tersebut dibentuk oleh satuan-satuan peristiwa. Adapun setiap peristiwa selalu diemban oleh pelaku-pelaku dengan perwatakan tertentu, selalu memiliki setting tertentu, dan selalu menampilkan suasana tertentu pula. Lewat pemahaman plot inilah, dapat dipahami penokohan, perwatakan, maupun setting (Aminudin, 1995:87). Untuk menganalisis alur dan penagluran ini, peneliti menggunakan teori Tzevan Todorov, yakni dengan menganalisis aspek sintaksis dengan meneliti urutan peristiwa secara kronologis dan logis (Ratna, 2004: 136).
2. Tokoh Tokoh adalah salah satu unsur penggerak dalam sebuah cerita, juga merupakan semua pelaku yang terlibat dalam sebuah cerita. Kehadiran tokoh menentukan kualitas baik atau buruknya peran yang dimainkan. Luxemburg, dkk menjelaskan bahwa tokoh adalah sifat-sifat pribadi seorang pelaku (1984: 171). Wellek dan Warren (1993: 287) berpendapat bahwa bentuk penokohan yang paling sederhana adalah pemberian nama. Penamaan tersebut digunakan pencipta untuk memberikan kepribadian dan menghidupkan tokoh ceritanya. Menurut Moustakis (Bunanta, 1998: 128), cerita rakyat seringkali menimbulkan pro dan kontra, antara lain karena anggapan adanya kekejaman
24
yang diperlihatkan oleh cerita rakyat, terutama mengenai penderitaan si protagonis dan ganjaran atau balasan untuk si antagonis. Penelitian ini akan membuktikan apakah dalam setiap cerita rakyat yang berkembang di masyarakat selalu harus didukung oleh tokoh antagonis dan protagonis di mana tokoh protagonis harus melewati beberapa fase rintangan dan cobaan atas kekejaman yang dilakukan oleh tokoh antagonis untuk mencapai kedewasaan/kematangan hidup. Sementara itu, tokoh antagonis akan mendapatkan balasan setimpal dengan perbuatannya berupa hukuman yang menjadi pesan moral dalam tema cerita (Bunanta, 1998: 128). Namun akan menjadi bantahan apabila pada kenyataannya, di dalam cerita rakyat berjudul Carita Maung Panjalu ini hanya ditemui satu kategori tokoh saja, misal tokoh protagonis saja. Dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan analisis tokoh yang terdapat dalam Carita Maung Panjalu berdasarkan pendapat Luxemburg di atas. Hasil analisis dari setiap tokoh yang terdapat dalam cerita ini akan menyimpulkan sifatsifat atau karakter yang dimiliki oleh masing-masing tokoh. Analisis tokoh ini sangat penting, karena tokoh yang ada dalam muatan cerita merupakan pelaku yang menjadi unsur penggerak cerita. Sementara penggambaran karakter tokoh diperoleh dari konteks cerita tersebut.
3.
Latar/Setting Setiap karya prosa tersusun atas serangkaian peristiwa-peristiwa atau
kejadian yang dilatarbelakangi oleh tempat, waktu, maupun situasi tertentu (Aminuddin, 2009: 67). Menurut Aminuddin, Setting memiliki dua fungsi, yakni
25
fungsi fisikal dan fungsi psikologis. Secara fisikal, setting berfungsi untuk membuat suatu cerita menjadi logis. Sementara itu, fungsi psikologis mampu menuansakan makna tertentu serta mampu menciptakan suasana-suasana tertentu yang menggerakkan emosi atau aspek kejiawaan pembacanya. Dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada analisis latar tempat dan waktu terjadinya peristiwa-peristiwa di dalam cerita. Latar/setting dalam cerita rakyat Carita Maung Panjalu ini dianalisis dalam keterkaitannya dengan struktur cerita.
E. Konteks Penuturan Konteks penuturan menggambarkan situasi yang menghubungkan penutur dengan pendengar atau audience. Konteks penuturan dapat dipahami melalui situasi percakapan yang didalamnya mengandung muatan kata-kata. Menurut Badrun (2003: 38), pemahaman konteks situasi saja belum cukup untuk memahami kata-kata yang digunakan dalam percakapan tetapi harus dibarengi dengan pemahaman konteks budaya. Jadi, konteks penuturan yang dimaksud ada dua, yakni konteks situasi dan konteks budaya. Konteks situasi berkaitan erat dengan lingkungan atau tempat peristiwa percakapan dalam sebuah cerita itu berlangsung. Sementara konteks budaya dikaitkan dengan nilai-nilai atau tradisi yang ada di dalam masyarakat, misalnya unsur ritual atau upacara-upacara adat. Kedua konteks tersebut menjadi nilai yang ikut memberikan makna pada sebuah penuturan si penutur cerita (Badrun, 2003: 40).
26
Konteks penuturan merupakan sebuah proses komunikasi yang ditandai dengan adanya interaksi di antara unsur-unsur pendukungnya. Jadi, hubungan tersebut terjadi antara penutur, petutur, kesempatan bertutur, dan hubungan dengan lingkungan serta masyarakat pendukungnya. Mengenai uraian di atas, Rusyana pun (1978: 8-14) menjelaskan unsurunsur yang terlibat dalam lingkungan penceritaan, antara lain: a. Penutur Cerita Penutur cerita adalah orang yang menuturkan cerita dan hafal dengan isi dari cerita yang dituturkan dengan baik, oleh laki-laki maupun perempuan. Seperti yang dikemukakan Rusyana (1981: 45) penutur cerita itulah pendukung aktif cerita lisan, atau bisa dikatakan penutur aktif adalah orang yang mengenal adat istiadat, kepercayaan, dan alam pikiran masyarakatnya sebab penutur cerita erat kaitannya, baik dengan isi cerita maupun masyarakatnya. Biasanya para informan atau penutur cerita adalah orang yang terkemuka di lingkungan masyarakatnya. Dalam hal ini masyarakat adalah pendukung pasif sebuah cerita, sedangkan penutur aktif adalah orang yang tetap memegang teguh cerita dan tetap memelihara keberlangsungan cerita. b. Kesempatan Bercerita Kesempatan bercerita adalah waktu di mana penutur menuturkan cerita. Kesempatan bercerita pun memiliki norma-norma yang harus dijalankan oleh penutur sebagai pemilik cerita. Kadang-kadang cerita yang dituturkan memiliki nilai sakralitas yang tinggi, sehingga tidak mungkin untuk dituturkan sembarang waktu atau sembarang tempat.
27
Penceritaan dapat dilakukan dalam berbagai kesempatan (Rusyana, 1978: 10), yaitu sebagai berikut: a) pada waktu berkumpul, misalnya pertemuan, hari lebaran, kenduri, dan pada kesempatan lainnya. Pada saat itu biasanya ada orang atau beberapa orang yang bercerita. Sebenarnya kesempatan itu tidak khusus untuk bercerita. Cerita muncul dalam suasana pertemuan itu hanya untuk mengisi pembicaraan saja. Cerita yang muncul tentu saja cerita yang sesuai dengan suasana pada saat itu; b) pada waktu mengobrol dua orang atau lebih. Dalam obrolan itu si penerima cerita berlaku sebagai lawan mengobrol atau hanya hadir mendengarkan saja; c) pada waktu sedang bekerja atau sedang dalam perjalanan; dan d) pada waktu ada orang yang bertanya mengenai asal usul benda, nama tempat, dan sejarah. Si penerima cerita berlaku sebagai penanya, atau sebagai orang yang kebetulan hadir dan ikut mendengarkan cerita. c. Tujuan Bercerita Semakin berkembangnya zaman, maka perkembangan sebuah cerita yang hidup di masyarakat akan semakin terkikis pula oleh kemunculan modernisasi yang siap menggatikan cerita tradisional yang hidup dalam masyarakat dengan kecanggihan ilmu teknologi sebagai akibat dari modernisasi tersebut. Salah satu antisipasi agar kebudayaan etnik tetap bertahan dengan baik adalah dengan diupayakan seringnya penutur cerita bertutur mengenai cerita-cerita yang berkaitan dengan kebudayaan yang keberadaannya patut dilestarikan. Tak lain,
28
penutur cerita memliki tujuan dalam mendukung upaya pelestarian sastra lisan daerah setempat. Tujuan bercerita pada umumnya ingin menyebarkan atau menceritakan kembali cerita tersebut kepada masyarakat setempat yang belum mengetahui cerita yang berkembang di daerahnya atau pun kepada orang lain yang ingin mengetahui cerita. Menurut Rusyana (1978: 11), tujuan cerita dapat diuraikan sebagai berikut: a) agar anak cucu mengetahui asal usul nenek moyangnya; b) agar orang mengetahui dan menghargai jasa orang yang telah melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi umum; c) agar orang mengetahui hubungan kekerabatan (pancakaki), sehingga walaupun telah berpisah karena mengembara ke tempat lain, hubungan ini tidak terputus; d) agar orang mengetahui asal mula sebuah tempat dibangun dengan penuh kesukaran; e) agar orang mengetahui keadaan kampung halamannya, baik keadaan alamnya maupun adat kebiasaannya; f) agar orang mengetahui benda-benda pusaka yang ada di suatu tempat; g) agar orang mengambil pengalaman dari perbuatan yang terdahulu sehingga ia dapat bertindak dengan selamat; dan h) agar orang terhibur sehingga pekerjaan yang berat akan terasa ringan.
29
d. Hubungan Cerita dengan Lingkungan Cerita rakyat sangat erat kaitannya dengan lingkungan masyarakat pendukungnya ataupun alam sekelilingnya yang mendukung sebuah cerita. Ceritacerita tersebut dapat hidup dengan baik apabila masyarakat pemiliknya dapat memelihara keberadaan cerita itu dengan baik pula. Sebaliknya apabila cerita tersebut tidak dipertahankan oleh masyarakat, maka lambat laun keberadaan cerita akan mengalami kepunahan. Seiring perubahan zaman yang memunculkan modernisasi, lambat laun akan menggeser dan mendesak nilai-nilai tradisional yang berlaku dalam suatu tatanan masyarakat. Sama halnya dengan Carita Maung Panjalu yang sampai saat ini masih hidup di tengah komunitas masyarakat Panjalu. Cerita ini dinilai sebagai cerita sakral oleh masyarakat pengikutnya sehingga berpengaruh juga pada kehidupan masyarakat Panjalu. Kemunculan tokoh dalam cerita pun memiliki keterkaitan yang sangat erat satu sama lainnya dengan lingkungan alam sekitar Daerah Panjalu. Menurut pandangan Orang Sunda, penamaan tempat, gunung, dan lain sebagainya yang terdapat dalam Carita Maung Panjalu ini digunakan sebagai aspek simbolik untuk menjelaskan berbagai keharusan bagi masyarakat pendukungnya. Hal tersebut membuktikan bagaimana Orang Sunda memiliki keakraban hubungan dengan alam sekitar (Warnaen dkk, 1987: 13)
30
F. Proses Penciptaan Proses penciptaan merupakan suatu proses terjadinya/terciptanya sebuah karya yang tidak lepas dari fenomena yang melatarinya. Menurut Lord (Badrun, 2003: 43), komposisi (proses penciptaan) lisan diperoleh dengan cara menghafal dari penutur-penutur sebelumnya. Adapun proses penciptaan sangatlah penting dalam sebuah penelitian tradisi lisan. Carita Maung Panjalu terbentuk dari proses penciptaan yang sangat panjang. Proses penciptaan ini berlangsung dua tahap. Pertama, proses penuturan (meliputi spontanitas dan tekstualitas). Kedua, Proses pewarisan (meliputi pewarisan vertikal dan horizontal). Proses penuturan lebih cenderung menekankan pada teknik masing-masing penutur dalam menyampaikan cerita. Sementara itu, proses pewarisan adalah cara si penutur mendapatkan cerita, apakah dilakukan secara vertikal (turun-temurun), atau secara horizontal (kerabat, kuncen).
31
G. Fungsi Penelitian ini menggunakan teori fungsi yang dikemukakan oleh Hutomo (1991: 69-74). Ada delapan fungsi sastra lisan, antara lain: (1) sebagai sistem proyeksi, (2) pengesahan kebudayaan, (3) sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan sebagai alat pengendali sosial, (4) sebagai alat pendidikan bagi anak, (5) memberikan suatu jalan yang dibenarkan masyarakat agar ia dapat lebih superior daripada orang lain, (6) memberikan jalan kepada seseorang yang dibenarkan oleh masyarakat, agar ia dapat mencela orang lain, (7) sebagai alat untuk memprotes ketidakadilan dalam masyarakat, dan (8) untuk melarikan diri dari himpitan hidup sehari-hari sebagai hiburan semata. Sementara itu, Danandjaya mengungkapkan 5 fungsi folklor sebagai berikut: (1) sebagai penebal emosi keagamaan atau kepercayaan, (2) sebagai sistem proyeksi khayalan suatu kolektif yang berasal dari halusinasi seseorang yang sedang mengalami gangguan jiwa dalam bentuk mahluk-mahluk alam ghaib, (3) sebagai alat pendidikan anak atau remaja, (4) sebagai penjelasan yang dapat diterima akal suatu folk terhadap gejala alam yang sukar dimengerti sehingga sangat menakutkan dan dapat diusahakan penanggulangannya, dan (5) sebagai penghibur orang yang sedang mengalami musibah Dari kedua fungsi tersebut, teori fungsi Hutomo yang akan dominan dipakai oleh peneliti. Namun, teori fungsi kedua pun akan tetap digunakan peneliti sebagai pelengkap untuk menganalisis fungsi cerita dalam Carita Maung Panjalu.
32