BAB II KONSEP TENTANG RIBA DAN BMT
A. Pengertian Riba Riba menurut bahasa berarti tambahan, bertambah, meningkat, membesar. Dengan kata lain riba adalah pertambahan, pembesaran, peningkatan, perkembangan pemberi pinjaman dari peminjam dari jumlah pinjaman pokok sebagai imbalan karena meninggalkan / berpisah dari sebagian modalnya selama periode waktu itu. Definisi riba menurut syara’ masih menjadi perselisihan para ahli fiqh sesuai dengan pengertian masing-masing menurut sebab penerapan haramnya. Golongan hanafi mislanya mendefinisikan, bahwa setiap kelebihan tanpa adanya imbalan pada takaran dan timbangan diantara pembeli dan penjual di dalam tukar menukar misalnya dirham dengan berat yang sama diperbolehkan. Menurut golongan syafi’i riba ialaha transaksi dengan imbalan tertentu yang tidak di ketahui kesamaan takarannya, maupun ukurannya, waktu di lakukan transaksi, atau dengan penundaan waktu penyerahan kedua barang yang ditukar salah satunya. Kesamaan tukaran/ukuran yang di maksud di sini adalah pada barang sejenis, seperti emas, perak dengan perak. Penundaan waktu penyerahan boleh jadi harga yang ditukar salah satu barang itu tekah berubah harganya. Menurut golongan syafi’i sebab larangan berlakunya pada barang makanan, meskipun barang tersebut pengukurannya menggunakan
15
16
takaran/timbangan yang dilakukan tida secara tunai. Alasan larangan tersebut pada barang yang sama, adalah hadits Ubadah bin Shamid, dari Nabi SAW yang artinya: “emas dengan emas, perak dengan perak, kurma dengan kurma, gandum dengan gandum, dan beras dengan beras, garam dengan garam haruslah sebanding serta tunai” Menurut golongan Hambali riba menurut syara’ adalah tambahan yang diberikan pada barang tertentu, yang dimaksud dengan tertentu adalah yang dapat ditukar atau di timbang dengan jumlah yang berbeda. 1 Tindakan inilah yang dinamakan riba. Dalam Islam riba secara khusus merujuk pada kelebihan yang diminta dengan cara-cara tertentu seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar Asqalani mengatakan bahwa inti dari pad ariba adalah kelebihan, baik itu dalam bentuk barang/uang. Seperti dua puluh sebagai penukaran satu rupiah. Sedangkan menurut Syah Waliullah dari Delhi, unsur riba terdapat dalamm hutang yang diberikan dengan persyaratan bahwa peminjam akan membayar lebih dari pada yang diterima dari pemberi pinjaman.2 Riba secara formal dapat didefinisikan sebagai suatu keuntungan moneter tanpa ada nilai imbangan yang ditetapkan untuk salah satu dari dua pihak yang mengadakan kontrak dalam pertukaran dua nilai moneter.3 Dalam bukunya M. Abdul Manan yang berjudul Teori dan Praktek Ekonomi Islam mendefinisikan bunga sebagai berikut: “Praktek meminjamkan 1
M. Muslehudin, Asuransi dalam Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995, hlm. 24-25. Fazlur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jlid III, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1996, hlm. 83-84. 3 Mervyn Lewis dan Latifa Algaoud, perbankan Syari’ah, Prinsip, Prospek, Jakarta: PT. Serambi Ilmu semesta, 2001, hlm. 35. 2
17
uang dengan bunga yang luar biasa tingginya, terutama dengan bunga yang lebih tinggi dari pada yang di perkenankan oleh undang-undang”4 Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan dnegan prinsip muamalah dalam Islam. Mengenai hal ini, Allah SWT mengingatkan dalam firman-Nya
(29: )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ.... ﺎ ِﻃ ِﻞﻢ ﺑِﺎﹾﻟﺒ ﻨ ﹸﻜﻴﺑ ﻢ ﺍﹶﻟ ﹸﻜﻣﻮ ﺗ ﹾﺄﻛﹸﻠﹸﻮﺍ ﹶﺃ ﻮﺍ ﻻﻣﻨ ﻦ ﺁ ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻳﻬﺎ ﹶﺃﻳ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesama dengan jalan yang batil…”. (An-Nisa’ : 29) Dalam kaitannya dengan pengertian al-bathil dalam ayat tersebut, Ibnu AlArabi al-Malik dalam kitabnya, Ahkam Al-Qur’an, menjelaskan,
ﻭﺍﻟﺮﺑﺎ ﰱ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﻫﻮ ﺍﻟﺰﻳﺎﺩﺓ ﻭﺍﳌﺮﺩﺑﻪ ﰱ ﺍﻻﻳﺔ ﻛﻞ ﺯﻳﺎﺩﺓ ﱂ ﻳﻘﺎﺑﻠﻬﺎ ﻋﻮﺽ Artinya: “Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat al-Qur’an iniiadalah setiap penambahan yang di ambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syari’ah” Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan 4
M. Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993, hlm., 165.
18
tersebut secara adil, sperti transaksi jaul beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa dari si penyewa, Mobil misalnya, sesudah dipakai maka nilai ekonomisnya pasti menurun jika dibandingkan sebelumnya. Demikian juga dalam bagi hasil, para peserta perkonsian berhak mendapatkan keuntungan karena disamping menyertakan
modal juga turut serta
menanggung kemungkinan risiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat. Dalmtransaksi simpan pinjam dana, secara konvensional, si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam tersebut. Yang tidak adil di sini adalah si peminjam di wajibkan untuk selalu, tidak boleh, harus mutlak, dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut. Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan ketika orang tersebut mengusahakan bisa saja untung bisa juga rugi. Pengertian senada disampaikan oleh Jumhur ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagai Mazahib Fiqhiyyah. Diantaranya sebagai berikut:
19
1. Badrad Din Al-Ayni Prinsip utama riba adalah penambahan, menurut syari’ah riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil. 2. Imam Sarakhsi dari Mazhab Hanafi Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (padanan) yang dibenarkan syari’ah atas penambahan terebut. 3. Raghib al-Asfahan Riba adalah penambahan atas harga pokok5
B. Macam-macam Riba Mengani pembagian dan jenis riba, berkata Ibnu Hajar al-Haitsami, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Syafi’i Antonio menyebutkan macammacam riba sebagai berikut: Riba itu terdiri atas tiga jenis: riba fadl, riba al-yaad dan riba an-nasi’ah. AlMutawally menmabahkan jenis keempat, yaitu riba al-qard. Beliau jyga menyatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secara ijma’ berdasarkan nash Qur’an dan Hadits Nabi.6 1. Riba Fadl Menurut ualama Hanafiyah, riba fadl adalah:
ﺯﻳﺎﺩﺓ ﻋﲔ ﻣﺎﻝ ﰱ ﻋﻘﺪ ﺑﻴﻊ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﻌﻴﺎﺭ ﺍﻟﺸﺮﻋﻰ ﻋﻨﺪ ﺍﲢﺎﺩ ﺍﳉﻨﺲ 5
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, hlm. 37-38. 6 Ibid, hlm. 41.
20
Artinya: “Tambahan zat harta pada akad jual-beli yang diukur dan sejenis”. Dengan kata lain, riba fadl adalah jual-beli yang mengandung unsur riba pada barang dengan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut. Oleh karena itu melaksanakan akad jual-beli antar barang yang sejenis, tidak boleh di lebihkan salah satunya agar terhindar dari unsur riba. 2. Riba Nasi’ah Menurut ulama Hanafiyah, riba nasi’ah adalah:
ﻓﻀﻞ ﺍﳊﻠﻮﻝ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺟﻞ ﻭﻓﻀﻞ ﺍﻟﻌﲔ ﻋﻠﻰﺍﻟﻌﲔ ﰱ ﺍﳌﻜﻴﻠﲔ ﺍﻭ ﺍﳌﻮﺭﻣﻨﲔ ﻋﻨﺪ ﺍﺧﺘﻼﻑ ﺍﳉﻨﺲ ﺍﻭ ﻏﲑ ﺍﳌﻜﻴﻠﲔ ﺍﻭﺍﳌﻮﺯﻧﲔ ﻋﻨﺪ ﲢﺎﺩ ﺍﳉﻨﺲ Artinya: “Memberikan kelebihan terhadap pembayaran dari yang ditangguhkan atau ditimbang yang berbeda jenis atau selain yang ditakar dan ditimban yang sama jenisnya.
Maksudnya, menjual barang dengan sejensinya, tetapi satu lebih banyak, dengan pembayaran diakhirkan, seperti menjual satu kilogram gandum dengans atu setengah kilogram gandum, yang dibayarkan setelah dua bulan. Contoh jual beli yang tidak ditimbang, seperti membeli satu buah semangka dengan dua buah semangka yang aan dibayar setelah sebulan.7 Adapun pengertian riba nasi’ah menurut Wahbah al-Zuhaily adalah “penambahan harga atas barang kontan lantaran penundaan waktu 7
Rachmat Syafe’i, Figh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2004, hlm. 262-263.
21
pembayaran atau penambahan ‘ain (barang kontan) atas dain (harga utang) terhadap barang berdeda jenis yang ditimbang atau ditakar atau terhadap barang sejenis yang tidak ditakar atau ditimbang”.8 3. Riba al-Yaad Juali beli dengan mengakhirkan penyerahan (al-qabdu), yakni bercerai berai antara dua orang yang akad sebelum timbang terima, seperti menganggap sempurna jual beli antara gandum dengan sya’ir tanpa harus saling menyerahkan dan menerima di tempat akad.9 4. Riba al-Qard Bunga pinjaman, meliputi beban atas pinjaman yang bertambah seiring dengan berjalannya waktu dengan kata lain merupaan pinjaman berbunga dan kadang-kadang disebut sebagai riba an-nasia, tambahan karena menunggu. Riba ii muncu apabila peminjam harta orang lain, apapun bentuknya di bebani oleh si pemberi pinjaman untuk membayar suatu tambahan tertentu disamping pokok pinjaman pada saat pelunasan.10 Dengan kata lain riba al-qara yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap berutang.11
8
Ghufron A. Mas’adi, figh Muamalah Kontekstual, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 159-160. 9 Radimat Syafe’i, op. cit., hlm. 264. 10 Mervyn Lewis dan Latifa Algaoud, op. cit., hlm. 57. 11 M. Syafi’i Antonio, op. cit., hlm. 41.
22
C. Dasar Hukum Riba Umat Islam dilarang mengambil riba apa pun jenisnya. Larangan supaya umat Islam tidak melibatkan diri dengan riba bersumber dari berbagai surah dalam al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW. 1. Larangan riba dalam Al-Qur’an Larangan riba yang terdapat dalam Al-Qura’an tidak diturunkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap. Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah SWT.
ﻦ ﻢ ِﻣ ﺘﻴﺗﺎ ﺁﻭﻣ ﺪ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﻨﻮ ِﻋﺮﺑ ﻳ ﺱ ﻓﹶﻼ ِ ﺎﺍ ِﻝ ﺍﻟﻨﻣﻮ ﻮ ﻓِﻲ ﹶﺃ ﺮﺑ ﻴﻦ ﺭِﺑﹰﺎ ِﻟ ﻢ ِﻣ ﺘﻴﺗﺎ ﺁﻭﻣ (39:ﻀ ِﻌﻔﹸﻮ ﹶﻥ )ﺍﻟﺮﻭﻡ ﻤ ﻢ ﺍﹾﻟ ﻫ ﻚ ﻪ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﹶﻓﺄﹸﻭﹶﻟِﺌ ﺟ ﻭ ﻭ ﹶﻥﺮِﻳﺪﺯﻛﹶﺎ ٍﺓ ﺗ Artinya: “Dan, sesuatu riba (tamahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan, apa yang kau berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang –orang yang melipat-gandakan (pahalanya)”. (Q.S. Ar-Rum : 39) Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah SWT mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.
ﻦ ﻋ ﻢ ﺪ ِﻫ ﺼ ﻭِﺑ ﻢ ﻬ ﺖ ﹶﻟ ﺕ ﺃﹸ ِﺣﻠﱠ ٍ ﺎﻴﺒﻢ ﹶﻃ ﻴ ِﻬﻋﹶﻠ ﺎﻣﻨ ﺮ ﺣ ﻭﺍﺎﺩﻦ ﻫ ﻦ ﺍﱠﻟﺬِﻳ ﹶﻓِﺒﻈﹸ ﹾﻠ ٍﻢ ِﻣ ﺱ ِ ﺎﺍ ﹶﻝ ﺍﻟﻨﻣﻮ ﻢ ﹶﺃ ﻭﹶﺃ ﹾﻛِﻠ ِﻬ ﻨﻪﻋ ﻮﺍﻧﻬ ﺪ ﻭﹶﻗ ﺑﺎ ﺍﻟﺮﺧ ِﺬ ِﻫﻢ ﻭﹶﺃ .ﺳﺒِﻴ ِﻞ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﹶﻛﺜِﲑﹰﺍ
23
(161-160 :ﻋﺬﹶﺍﺑﹰﺎ ﹶﺃﻟِﻴﻤﹰﺎ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﻢ ﻬ ﻨﻦ ِﻣ ﺎ ِﻟ ﹾﻠﻜﹶﺎِﻓﺮِﻳﺪﻧ ﺘﻋ ﻭﹶﺃ ﺎ ِﻃ ِﻞﺑِﺎﹾﻟﺒ Artinya: “Maka, disebabakan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan merke memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orangorang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”. (Q.S. An-Nisa’ : 160-161) Tahap ketiga,
riba diharamkan dnegan dikaitkan kepada suatu
tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Allah berfirman.
ﻢ ﻌﻠﱠﻜﹸ ﻪ ﹶﻟ ﺗﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﺍﻋ ﹶﻔ ﹰﺔ ﻭ ﺎﻣﻀ ﺎﻓﹰﺎﺿﻌ ﺑﺎ ﹶﺃﺗ ﹾﺄﻛﹸﻠﹸﻮﺍ ﺍﻟﺮ ﻮﺍ ﻻﻣﻨ ﻦ ﺁ ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻳﻬﺎ ﹶﺃﻳ (130:ﻮ ﹶﻥ )ﺁﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥﺗ ﹾﻔِﻠﺤ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganah kamu meemakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat kebenruntungan”. (Q.S. Ali Imran : 130)
Ayat ini turun pada tahun ke-3 Hijriah. Secara umum, ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalai bunga berlipat ganda bukanlag merupakan syarat dari terjadinya riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktik pembungaan uang pada saat itu.
24
Demikian juga ayat ini harus dipahami secara komprehensif dengan ayat 278-279 dari surah al-Baqarah yang turun pada tahun ke-9 Hijriah (keterangan lebih lanjut, lihta pembahasan “Alasan pembenaran pengambilan Riba”, poin “Berlipat Ganda”). Tahap terakhir, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharmakan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman.
.ﲔ ﺆ ِﻣِﻨ ﻢ ﻣ ﺘﻨﺑﺎ ِﺇ ﹾﻥ ﹸﻛﻦ ﺍﻟﺮ ﻲ ِﻣ ﺑ ِﻘ ﺎﻭﺍ ﻣﻭ ﹶﺫﺭ ﻪ ﺗﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻮﺍ ﺍﻣﻨ ﻦ ﺁ ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻳﻬﺎ ﹶﺃﻳ ﺱ ﻭﺭﺅ ﻢ ﻢ ﹶﻓﹶﻠﻜﹸ ﺘﺒﺗ ﻭِﺇ ﹾﻥ ﻮِﻟ ِﻪﺭﺳ ﻭ ﻦ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺏ ِﻣ ٍ ﺮ ﺤ ﻮﺍ ِﺑﻌﻠﹸﻮﺍ ﹶﻓ ﹾﺄ ﹶﺫﻧ ﺗ ﹾﻔ ﻢ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﹶﻟ (279-278:ﻮ ﹶﻥ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓﺗ ﹾﻈﹶﻠﻤ ﻻﻮ ﹶﻥ ﻭﺗ ﹾﻈِﻠﻤ ﻢ ﻻ ﺍِﻟ ﹸﻜﻣﻮ ﹶﺃ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orangorang yang beriman. Maka, jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya”. (Q.S. al-Baqarah : 278279)12 Di dalam buku lain dijelaskan juga berapapun jumlahnya, baik sedikit maupun banyak. Harta hasil riba hukumnhya jelas-jelas haram. Dan tidak seorangpun boleh memilikinya, serta harta itu akan dikembalikan kepada pemiliknya, jika mereka telah diketahui. Allah SWT. Berfirman dalam Surah Al-Baqarah : 27513
12
Muhammad Syafi’i Antonio, op. cit., hlm. 48-50. Taqyuddin An-Nabhani, Membangun Sitem Ekonomi Alternatif; Perpektif Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1996, hlm. 200. 13
25
ﻦ ﻴﻄﹶﺎ ﹸﻥ ِﻣﺸ ﺍﻟﺒﻄﹸﻪﺨ ﺘﻳ ﻡ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ﻳﻘﹸﻮ ﺎﻮ ﹶﻥ ِﺇﻟﱠﺎ ﹶﻛﻤﻳﻘﹸﻮﻣ ﺑﺎ ﻻﻳ ﹾﺄ ﹸﻛﻠﹸﻮ ﹶﻥ ﺍﻟﺮ ﻦ ﺍﱠﻟﺬِﻳ ﺑﺎﻡ ﺍﻟﺮ ﺮ ﺣ ﻭ ﻊ ﻴﺒﻪ ﺍﹾﻟ ﺣﻞﱠ ﺍﻟﱠﻠ ﻭﹶﺃ ﺑﺎﻊ ِﻣﹾﺜﻞﹸ ﺍﻟﺮ ﻴﺒﺎ ﺍﹾﻟﻧﻤﻢ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ِﺇ ﻧﻬﻚ ِﺑﹶﺄ ﺲ ﹶﺫِﻟ ﻤ ﺍﹾﻟ ﺩ ﺎﻦ ﻋ ﻣ ﻭ ِﺇﻟﹶﻰ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪﻩﻣﺮ ﻭﹶﺃ ﻒ ﺳﹶﻠ ﺎ ﻣﻰ ﹶﻓﹶﻠﻪﺘﻬﻧﺑ ِﻪ ﻓﹶﺎﺭ ﻦ ﻮ ِﻋ ﹶﻈ ﹲﺔ ِﻣ ﻣ ﺎ َﺀﻩﻦ ﺟ ﻤ ﹶﻓ (275:ﻭ ﹶﻥ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓﺎِﻟﺪﺎ ﺧﻢ ﻓِﻴﻬ ﻫ ﺎ ِﺭﺏ ﺍﻟﻨ ﺎﺻﺤ ﻚ ﹶﺃ ﹶﻓﺄﹸﻭﹶﻟِﺌ Artinya: “Orang-orang yang maka (mengambil) ria tidak daatberdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan, lantaran (tekana) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jua;-beli itu sama dengan riba. Orang-orang yang teah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. orangorang yang telah sampai padanya larangan Thannya, lalu terus berhenti (dari mengamil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penguni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. Al-Baqarah : 275)14 Adapun sifat yang tampak dalam riba tersebut adalah adanya suatu keuntungan yang diambil oleh orang yang menjalankan riba, yaitu mengeksploitasi tenaga orang lain, dimana ia mendapatkan upah tanpa harus mencurhkan tenaga sedikit pun. disamping karena harta yang menghasilkan riba itu dijamin keuntungannya, dan tidak mungkin rugi. dan ini tentu bertantang dengan kaidah: al-gharam bil gharami (maksdunya bila ada kuntungan, maka ada pula kerugian) oleh karena itu, mengelola harta dengan perseroan -yang Islamisemisal transaksi mudharabah dan musaqat dengan segala macam persyaratannya adalah mubah. sebab,pengelolaan semacam ini bisa
14
0
26
dimanfaatkan oleh suatu jama’ah, dimana tidak ada sedikitpun tenafa orang lain yang dieksploitir. bahkan, ia merupakan sarana yang memungkinkanmereka untuk memanfaatkan tenaga mereka sendiri, dimana ia bisa menderita kerugian, begitu pula bisa mendapatkan keuntungan. ini berbeda dengan riba.15 Kemudian, kecamatan keras dan pengharaman riba hyga terdapat dalam surah al-Baqarah 276 yang merupakan jawaban kalimat kunci hikmah pengharaman riba, yakni Allah bermaksud menghapuskan tradisi riba dan menumbuhkan tradisi shadaqah16 dalam kondisi sempit maupun lapangan merupakan sebagian pertanda orang yang bertakwa. Berdasarkan uraian singkat tentang pernyataan al-Qur’an tentang riba dalam surat al-Baqarah dan surat Ali ilmran, tampaklah bahwa keduanya berada dalam konteks seruan shadaqah (termasuk seruan infaq fi sabilillah dan kewajiban berzakat). Dalam pernyataan al-Qur’an antara keduanya (yakni riba dan shadaqah) selalu dipertetangkan. Kecaman, ancaman keras dan pengharaman riba dipertentangkan
dengan seruan
shadaqah yang sangat gencar. Prkatek riba yang memungut keuntungan secara berlipat ganda dipertentangkan dengan pahala shadaqah yang spektakuler, dan riba sebagai hutang kepad manusia dipertentangkan dengan shadaqah yang dinyatakan sebagai pinjaman kepada Allah. Jelaslah bahwa tujuan dari semua itu adalah bahwa Allah bermaksud
15 16
Taqyuddin An-Nabhani, op. cit., hlm. 201. Ghufron A. Mas’adi, op. cit., hlm. 152.
27
menghapuskan tradisi Jahiliyah, yakni praktek riba, dan menggantinya dengan tradisi baru, yakni tradisi shadaq.17 Pengharaman tentang riba dalam surah al-Baqarah ayat 278-279 yang dikutip oleh M. Syafi’i Antonio dalam bukunya Bank Syari’ah; dari Teori ke Praktek, pernayataan senada juga dikutip oleh Yusuf Al-Qarwadi yang dialih bahasakan oleh Muammal Al-Hamidy dalam kitabnya Halal dan Haram dalam Islam. Yang intinya adalah Islam menutup pintu bagi siapa saja yang berusaha mengembangkan uangnya itu dengan jalan riba. Maka di haramkannyalah riba itu sedikit demi sdikit maupun banyak, dan mencela orang-orang Yahudi yang menjalankan riba padahal mereka telah melarangnya.18 2. Larangan Riba dalam Hadits Pelarangan riba dalam hadits tidak hanya merujuk pada Al-Qur'an, melainkan juga al-hadits. Hal ini sebagaimana posisi umum hadits yang berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah digariskan melalui Al-Qur'an, pelarangan riba dalam hadits lebih terinci. Dalam amanat terakhirnya pada tanggal 9 dzulhijjah tahun 10 Hijriyah, Rasulullah SAW masih menekankan sikap Islam yang melarang riba. “ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu dan Dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba. Oleh karena itu, utang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu
17
Ibid, hlm. 154. Syekh Muhammad Yusuf Al-Qardhawi, alih Bahasa Muammal Al-Hamidy, halal dan Haram dalam Islam, Jakarta: Bina Ilmu, hlm. 264. 18
28
adalah hak kamu, kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan.”19 Selain masih banyak lagi hadits yang menguraikan masalah riba. Di antaranya:
ﺭﺃﻳﺖ ﺃﰊ ﺇﺷﺘﺮﻯ ﺣﺠﺎﻣﺎ ﻓﺄﻣﺮ: ﺃﺧﱪﻧﺎ ﻋﻮﻥ ﺑﻦ ﺃﰊ ﺟﺤﻴﻔﺔ ﻗﺎﻝ ﲟﺤﺎﲨﻪ ﻓﻜﺴﺮﺕ ﻓﺴﺄﻟﺘﻪ ﻋﻦ ﺫﻟﻚ ﻗﺎﻝ ﺇﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻰ ﻋﻦ ﲦﻦ ﺍﻟﺪﻡ ﻭﲦﻦ ﺍﻟﻜﻠﺐ ﻭﻛﺴﺐ ﺍﻷﻣﺔ ﻭﻟﻌﻦ ﺍﻟﻮﺍﴰﺔ ﻭﺳﻠﻢ .ﻭﺍﳌﺴﺘﻮﴰﺔ ﻭﺃﻛﻞ ﺍﻟﺮﺑﺎ ﻭﻣﻮﻛﻠﻪ ﻭﻟﻌﻦ ﺍﳌﺼﻮﺭ Artinya: “Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa, “Ayahku membeli seorang budak yang pekerjaannya membekam (mengeluarkan darsah kotor dari kepala). Ayahku kemudian memusnahkan peralatan bekam si budak tersebut. Aku bertanya kepada ayah mengapa beliau melakukannya. Ayahkuu menjawab bahwa Rasulullah saw melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing, dan kasab busak perempuan. Beliau juga melaknat pekerjaan penato dan uang meminta ditato, menerima dan memberi riba serta beliau melaknat para pembuat gambar” (H.R. bukhari No. 2084 kitab Al-Buyu)20 3. Pendapat Para Ulama Tentangh Riba Pendapat Syekh Muhammad Abu Zahrah, guru besar Syari’at Silam pada Fakultas Hukum di Universitas Cairo: “Hukum mengharamkan riba itu terdapat di dalam al-Qur’an dan dalam Sunah Rasul. Ulama besar dari Salafus Saleh pun telah sekata mengharamkannya. Begitu juga ulama mujtahidin yang datang di belakang merka. Abad berganti abad, ijma’ tersebut berlaku seperti biasa, segenap hati orang yang mu’min rela dengan tenang menerima hukum riba itu haram; yang jengkel dan ribut hanyalah orang yang berhati keras. Yang belakangan ini terkadang dengan
19 20
M. Syafi’i Antonio, op. cit., hlm. 51.
29
cara berterusterang, terkadang dengan cara mencari-cari helah, melanggar hukum tersebut.21 Menurut Hanafi bahwa tidak dibolehkan memberikan qiradl kepada seseorang lain dengan syarat meminta sesuatu yang lain yang berupa manfaat umpamanya dipinjamkan dengan qiradl 20 kurang gandum yang belum bersih, dengan syarat harus dikembalikan 20 karung gandum yang sudah bersih. Kalau disyaratkan, qiradl itu tidak sah. Syafi’i berpendapat bahwa qiradl itu fasid dengan mensyaratkan sesuatu yang menarik menfaat bagi yang meminjamkan. Dan ini diperinci ke dalam tiga pasal: a. Qiradl yang disyaratkan menarik manfaat, ini membinasakan bagi aqad qiradl tersebut. b. Syarat yang memberi keuntungan bagi yang meminjam saja, seperti yang dikembalikan harus buruk, sedang yang dipinjam baik. Sudah tentu qiradl ini tidak sah, karena merugikan kepada yang mempunyai benda (kapital) c. Syarat untuk menambah kepercyaan, seperti minta jaminan, borg, maka syarat ini dapat dibenarkan. Sedang Madzab Maliki bahwa mengadakan enam yang syarat untuk qiradl ini, dan syarat yang keenam itu berbunyi tidak harus di dalam aqad qiradl itu disyaratkan sesuatu syarat yang menarik manfaat bagi yang meminjamkan, umpamanya yang meminjam harus memberi kepada 21
Moh. Fachruddin, Riba dalam Bank, Koperasi, Perseroan dan Asuransi, Bandung: PT. Al-Maarif, 1993, hlm. 80
30
sipeminjam rumah untuk tempat dan sebagainya. Demikian juga kepada yang meminjam tidak harus memberi kurang daripada apa diterimanya.22 Adapun Madzab Hanbali, Ibnu Qayyim, juga mengatakan pengharaman riba dengan aspek moralnya dengan merujuk kepada riba pra-Islam, ia mengatakan bahwa dalam kebanyak kasus si debitur adalah orang yang melarat yang tidak memiliki pilihan selain menunggak pembayaran utang. Alasan inilah, menurut kaum modernis, yang membuat pengharaman riba secara moral berlanjut dalam lingkungan sosialekonomi yang berubah. Menurut salah seorang mufassir modern, Muhammad Asad: Garis besarnya, kekejian riba (dalam arti dimana istilah ini digunakan dalam al-Qur’an dan dalam banyak ucapan Nabi) terkait dengan keuntungan-keuntungan yang diperoleh melalui pinjaman-pinjaman berbunga yang mengandung eksploitasi atas orang-orang yang berekonomi lemah oleh orang –orang yang kuat dan kaya. Dengan menyimpan defini ini di dalam benak, kita menyadari bahwa persoalan mengani jenis transaksi keuangan mana yang jatuh kedalam kategori riba, pada akhirnya adalah persoalan moral, yang sangat terkait dengan motivasi sosialekonomi yang mendasari hubungan timbal balik antara dipeminjam dan pemberi pinjaman.23 Imam Rozi juga mencoba menjelaskan alasan pelarangan riba, pertama, karena riba berarti mengambil di peminjam secara tidak adil. 22 23
Ibid, hlm. 102. Abdullah Saed, Menyoal Bank Syari’ah, Jakarta: E.J. Brill, 1996, hlm. 61.
31
Pemilik uang biasanya berdalih ia berhak atas keuntyungan bisnis yang dilaukan si peminjam. Namun, ia tampaknya lupa bila ia tidak meminjamkan, uangnya tidak bertambah. Ia pun berdalih kesempatannya berbisnis hilang karena meminjamkan uangnya karenanya berhak atas riba. Ini pun keliru karena belum tentu bisnisnya menghasilkan untung dan yang pasti ia harus menanggung risiko bisnis. Kedua, dengan riba seseorang akan malas bekerja dan berbisnis karena dapat duduk-duduk tenang sambil enunggu uangnya berbunga. Imam Razi mengataan bahwa kegiatan produksi dan perdangan akan lesu. Lihat saja saat ini, bisnis mana yang akan berkembang dengan bunga 60%. Ketiga, riba akan mernedahkan martabat manusia karena untuk memnuhi hasrat dunianya seseorang tidak segan-segan meminjam dengan bunga tinggi walau akhirnya dikejar-kejar penagih utang. Saat ini, berapa banyak orang yang terpandang kedudukannya menjadi pesakitan karena tidak mampu membayar bunga kartu kreditnya. Keempat, riba akan membuat yang kaya bertambah kaya dan yang miskin bertambah miskin. Dalam masa krisis saat ini, orang kaya malah bertambah kaya karena bunga deposito dan simpanan dolarnya. Kelima, riba jelas-jelas dilarang oleh Al-Qur’an dan Sunnah.24 Sekalipun ayat-ayat dan hadits riba sudah sangat jelas dan sharih, masih saja ada beberapa cendikiawan yang mencoba memberikan pembenaran atas pengambilan bunga uang. Dia antaranya karena alasan: 24
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani, 2001, hlm. 71.
32
1. Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya 2. Hanya bunga yang berlipat ganda saja dilarang. Sedangkan suku bunga yang “wajib” dan tidak mendzalimi, diperkenankan a. Darurat
ﺍﻟﻀﺮﻭﺭﺍﺕ ﺗﻘﺪﺭ ﺑﻘﺪﺭﻫﺎ Artinya: darurat itu ada msa berlakunya serta ada batasan ukuran dan kadanya. Contoh, seandainya dihutan ada sapi atau ayam maka dispensasi untuk memakan daging babi menjadi hilan. Demikian juga seandainya untuk mempertahankan hidup cukup dengan tig asuap maka tidak boleh melampui batas hingga tujuh atau lebih. b. Berlipat ganda Pendapat bahwa bunga hanya dikategorikan riba bila sudah berlipat-ganda dan memberatkan. Sementara bila kecil dan wajarwajar saja dibenarkan. Pendapat ini berasal dari pemahaman yang keliru atas Surat Ali Imran ayat 130.
ﻪ ﺗﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﺍﻋ ﹶﻔ ﹰﺔ ﻭ ﺎﻣﻀ ﺎﻓﹰﺎﺿﻌ ﺑﺎ ﹶﺃﺗ ﹾﺄﻛﹸﻠﹸﻮﺍ ﺍﻟﺮ ﻮﺍ ﻻﻣﻨ ﻦ ﺁ ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻳﻬﺎ ﹶﺃﻳ (130:ﻮ ﹶﻥ )ﺁﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥﺗ ﹾﻔِﻠﺤ ﻢ ﻌﻠﱠﻜﹸ ﹶﻟ Artinya: “Hai Orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat-ganda dan bertaqwalah kalin
kepad
keberuntungan.”
Allah
supaya
kalian
mendapat
33
Menanggapi pembahasan Q.S. Ali Imran ayat 130 ini Syaikh Umar Abdul Aziz al-Matruk, penulis buku Riba dan transaksi lembaga keuangan dalam pandangan syari’ah Islam menegaskan “Adapun yang dimaksud dengan ayat 130 surat Ali Imran termasuk redaksi berlipat-ganda dan penggunaannya sebagai dalil, sama sekali tidak bermakna bahwa riba harus sedemikian banyak. Ayat ini menegaskan tentang karakteristik riba secara umum bahwa ia mempunyai kecenderungan untuk berkembang dan berlipat sesuai dengan berjalannya waktu. Dengan demikian redaksi ini (berlipat-ganda) menjadi sifat umum dari riba dalam terminologi syara (Allah dan Rasul-Nya)25 hal yang senada juga disebutkan oleh Yusuf Qardhawi yang di alih bahasakan oleh Muammal Al-Hamidy dalam kitab halal dan haram dalam Islam, sebagai berikut tetapi apabila di situ ada suatu keharusan yang tidak dapat dihindari dan mengharuskan kepada si peminjam untuk memberinya rente, maka waktyu itu dosanya haya terkena kepada si pengambil rente saja. Namun dalam hal ini diperlukan beberapa syarat: 1) adanya suatu dharurat yang benar-benar, bukan hanya sekedar ingin kesempurnaan kebutuhan. Sedang apa yang disebut dharurat, yaitu satu hal yang tidak mungkin dapat dihindari, apabila terhalang, akan membawa kebinasaan. Seperti makanan pokok, pakaian perlindungan dan berubat yang semesetinya dilakukan.
25
M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Suatu Pengenalan Umum, hlm. 80-83.
34
2) Kemudian perkenaan ini hanya sekedar dapat menutupi kebutuhan, tidak boleh lebih. Maka barangsiapa yang kiranya cukup dengan $ 9, - (9 pounds) mislanya, misalnya tidak halal butang $ 10,3) Dari segi lain, dia harus terus berusaha mencarai jalan untuk dapat lolos dari kesulitan ekonominya. Dan rekan-rekan seagamanya pun harus membantu dia untuk mengatasi problemanya itu. Jika tidak ada jalan lain kecuali dengan meminjam dengan riba, maka barulah dia boleh melakukan, tetapi tidak boleh dengan kesengajaan dan melewati batas. Sebab Alah adalah maha pengampun dan penyayang. 4) Dia berbuat begitu, tetapi harus dengan perasaan tidak senang. Begitulah sehingga Allah memberikan jalan keluar kepadanya.26
26
Yusu Qardhawi, alih bahasa Muammal Al-Hammidy, op. cit., hlm. 368.
35
D. Konseptualisasi tentang BMT 1. Pengertian BMT Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) pada dasarnya merupakan pengembangan dari konsep ekonomi dalam Islam terutama bidang keuangan. Istilah BMT adalah penggabungan dari baitul maal wa tamwil dan baitut tamwil. Baitul maal adalah lembaga keuangan yang kegiatannya mengelola dana yang bersifat Nirlaba (sosial). Sumber dana diperoleh dari zakat, infaq, dan sadaqah atau sumber lain yang halal. Kemudian dana tersebut disalurkan kepada mustakhiq,yang berhak atau untuk kebaikan. Adapun baitut tamwil adalah lembaga keuangan yang kegiatannya adalah menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dan bersifat profit motive. Penghimpunan dana diperoleh melalui simpanan pihak ketiga dan penyalurnya dilakukan dalam bentuk pembiayaan atau investsi yang dijalankan berdasarkan prinsip syari'at.1 Dengan demikian BMT menggabungkan dua kegiatan yang berbeda sifatnya, laba dan nirbala dalam satu lembaga. Namun secara organisasi BMT tetap merupakan entitas (badan) yang terpisah. 2. Produk BMT (Baitul Maal wa Tamwil) Untuk dapat menarik minat anggota dalam menabung, maka BMT perlu mengemas produknya ke dalam nama yang menarik dan mudah diingat. Produk penghimpunan dana BMT harus mampu menampung
1
Hertanto Widodo AT., Panduan Praktis Operasional BMT, Mizan, Jakarta, 1999, hlnm. 81
36
keinginan nasabah. Jenis produk-produk dapat dikembangkan sebagai berikut : -
Tabungan Haji (Taji) yakni tabungan khusus menampung keinginan masyarakat yang akan menunaikan ibadah haji dalam jangka panjang.7
-
Tabungan qurban (Taqur), yakni tabungan yang disediakan untuk para shohibul qurban, yaitu masyarakat disediakan produk yang dapat membantu merencanakan ibadah qurbannya.
-
Tabungan Pendidikan (Tapen), yakni tabungan yang disediakan untuk membantu masyarakat dalam menyediakan kebutuhan dana pendidikan di masa yang akan datang.8
-
Tabungan berjangka Mudharabah (Tobah), yakni deposito
dengan
berjangka waktu tertentu. Masing-masing jenis tabungan tersebut memiliki jangka waktu yang berbeda, sehingga nisbah bagi hasilnya pun sangat mungkin juga berbeda. Di sisi lain BMT (baitukl Maal wa Tamwil) mempunyai banyak produk yang ditawarkan dalam rangka memperdayakan ekonomi. a. Al-Wadiah (Titipan/Simpanan) Didalam kita al-Mathali bil Asar menyebutkan :
ﻓﺮﺽ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻟﻮﺩﻋﺖ ﻋﻨﻪ ﻭﺩﻳﻌﺔ ﺣﻔﻈﻬﺎ ﻭﺭﺩﻫﺎ ﺇﱃ ﺻﺎﺣﺒﻬﺎ ﺇﺫﺍ ﻭﻗﺪ ﺻﺢ ﺭﺳﻮﻝ،ﻃﻠﺒﻬﺎ ﻣﻨﻪ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﱪ ﺣﻔﻆ ﻣﺎﻝ ﺍﳌﺴﻠﻢ ﺍﻭ ﺍﻟﺪﻣﺴﻰ 7
Muhammad Ridwan, Manajemen BMT, UII press, Yogyakarta, 2004, hlm. 155 Ibid., hlm. 158
8
37
ﻭﻫﺬﻯ ﻋﻤﻮﻡ ﳌﺎﻝ ﺍﳌﺮﺀ،ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻦ ﺇﺿﺎﻋﺔ ﺍﳌﺎﻝ ﻭﻣﺎﻝ ﻏﲑﻩ Artinya : “Orang yang mendapat titipan menjaga titipan itu sampai orang yang mempunyai titipan itu mengambilnya. Dan salah satu dari bentuk kebaikan adalah pemeliharaan harta orang muslim atau diizini (orang yang hidup dalam komunitas Islam (non Islam) dan sungguh sangat besar adanya larangan Nabi terhadap penyia-nyiaan harta baik hartanya sendiri apabila harta orang lain”.27 b. Al-Wakalah / Wakil Al-Wakalah berarti Penyerahan Mandat Pendelegasian, Atau Pemberian Mandat.28 c. Al-Kafalah / Jasa Peminjam Al-Kafalah
merupakan
jaminan
yang
diberikan
oleh
penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung.29 d. Ar-Rahn (Gadai) Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas peminjam yang diterimanya barang yang ditanam tersebut memiliki nilai ekonomis.30
27
Abu Muhamad Ali bin Said bin Hazm al Andaluzy, Al Makhali bil Asar, Beirut : Darul Kitab al Ilmiyah, 1978, hlm. 137. 28 Ibid., hlm. 89. 29 Muhamad Syafii Antonio, loc.cit., hlm. 176. 30 Ibid., hlm. 182.
38
Sistem yang digunakan dalam BMT Secara umum sistem yang digunakan dalam BMT adalah bagi hasil. Dalam hal ini bagi hasil dikenal dengan istilah profit sharing. Sesungguhnya prinsip bagi hasil dalam BMT dapat dilakukan dalam empat yakni; Al-Musyarokah, al-Mudhorobah, al-Muzara’ah, dan al-Musaqoh.31 Prinsip yang digunakan atau yang paling banyak dipakai adalah alMusyarokah dan al-Mudhorobah. a. Al-Musyarokah adalah syirkah musyarokah adalah kerjasama antara dua pihak kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.32 Landasan syari'ah/landasan hukumnya ada dalam QS. As-Shod : 24
ﻮﺍﻣﻨ ﻦ ﺀَﺍ ﺾ ِﺇﻟﱠﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ ٍ ﻌ ﺑ ﻋﻠﹶﻰ ﻢ ﻬﻌﻀ ﺑ ﺒﻐِﻲﻴﺨﹶﻠﻄﹶﺎ ِﺀ ﹶﻟ ﻦ ﺍﹾﻟ ﺍ ِﻣﻭِﺇﻥﱠ ﹶﻛِﺜﲑ ﺕ ِ ﺎﺎِﻟﺤﻋ ِﻤﻠﹸﻮﺍ ﺍﻟﺼ ﻭ Artinya : “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh”. (QS. As-Shod : 24).33 b. Al-Mudhorobah Mudhorobah dapat didefinisikan sebagai sebuah perjanjian diantara paling sedikit dua pihak dimana satu pihak pemilik modal 31
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syari'ah Suatu Pengenalan Umum, Tazkia Institut, Jakarta, 1999, hlm. 182. 32 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari'ah, Ekonosia, Yogyakarta, 2003, hlm. 63. 33 Yayasan Penyelenggara Penerjemah al-Qur’an, loc.cit., hlm. 735.
39
(shohibul maal atau rab al maal) mempercayakan sejumlah dana kedua pihak lain. Pengusaha (mudharib) untuk menjalankan suatu aktifitas atau usaha.34 c. Al-Muzaroah Al-Muzaroah adalah kerjasama pengelolaan pertanian antara pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan memberi imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.35 d. Al-Musaqoh adalah bentuk yang lebih sederhana dari Muzaroah, dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.36
34
Henry K. Lewis Latifa M al Gasup, Perbankan Syari'ah, Prinsip, Praktek dan Prospek, Sekambi, Jakarta, 2001, hlm. 66. 35 Muhammad Syafii Antonio, op.cit., hlm. 139. 36 Ibid., hlm. 140.