BAB II KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT MENURUT UNDANGUNDANG NO. 5 TAHUN 1999 A. Tinjauan Umum Terhadap Korporasi Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata sebagai badan hukum, atau dalam bahasa belanda disebut rechtpersoon atau dalam bahasa Inggris dengan istilah legal person atau legal body. Pengertian subjek hukum pada pokoknya adalah manusia dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat, yang oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. Pengertian yang kedua inilah yang dinamakan badan hukum. 41 Menurut terminologi Hukum Pidana, bahwa ‘korporasi adalah badan atau usaha yang mempunyai identitas sendiri, kekayaan sendiri terpisah dari kekayaan anggota.” Menurut Kenneth S. Ferber, a corporation is an artificial person. It can do anything a person can do. It can buy and sell property, both real and personal, in its own name. It can sue and be sued in its own name. It is formal.42 A.Z Abidin menyatakan bahwa korporasi dipandang sebagai realitas sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan pribadi hukum, untuk tujuan tertentu.43 41 42
H.Setiyono, Kejahatan Korporasi, Bayumedia, Malang, 2003, hlm 2 Kenneth S. Ferber, Corporation Law, Prentice Hall, 2002, page 18
Universitas Sumatera Utara
Pengertian korporasi didalam hukum pidana sebagai ius constituendum dapat dijumpai dalam Konsep Rancangan KUHP Baru Buku I 2004-2005 Pasal 182 menyatakan,”Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dan dari orang dan/kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.” 44 Berdasarkan uraian diatas ternyata korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan hukum, yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Badan hukum oleh karena itu merupakan ciptaan hukum maka kecuali penciptaannya, kematiannya pun juga ditentukan oleh hukum. 45 Pengaturan kebijakan terhadap kejahatan korporasi faktanya masih sangat minim mengingat tidak ada aturannya dalam KUHP karna KUHP hanya mengatur hukum antar individu saja dan korporasi sebagai subjek hukum hanya terdapat dalam beberapa undang-undang saja. Pembangunan ekonomi besar-besaran menyebabkan korporasi bersaing dengan ketat untuk menguasai pasar. Kebijakan atas pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi telah menghasilkan korporasi-korporasi raksasa yang menguasai dan memonopoli ekonomi Indonesia. Kekuasaan yang luar biasa pada korporasi tahap berikutnya sangat mempengaruhi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat dan sangat merugikan kepentingan pelaku ekonomi lainnya 46. Berdasarkan bentuk kejahatan sosio-ekonomi yang memiliki tipe dan karakteristik yang berbeda dengan kejahatan konvensional pada umumnya, maka
43
A.Z Abidin, loc cit, hlm 54 Muladi dan Dwija Priyatno, op cit, hlm 31 45 Ibid, hlm 24 46 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, op cit, hlm 3-4 44
Universitas Sumatera Utara
mengutip tulisan Steven Box, Ruang lingkup kejahatan korporasi adalah sebagai berikut :47 1. Crimes for corporation yakni kejahatan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu guna memperoleh keuntungan. 2. Criminal corporation, yaitu korporasi yang bertujuan semata-mata untuk melakukan kejahatan. (dalam hal ini korporasi hanya sebagai kedok dari suatu organisasi kejahatan). 3. Crimes against corporation, yaitu kejahatan-kejahatan terhadap korporasi seperti pencurian atau penggelapan milik korporasi, dalam hal ini korporasi sebagai korban. Karakteristik dari sebuah organisasi juga disebutkan oleh Dan-Cohen, yaitu: “A very complete description of the characteristics of an organization is provided by Dan-Cohen who finds that an organization possesses functional structures, it is permanent, large, formal, complex and goal oriented, and has decision-making structures.” 48 Berdasarkan pendapat diatas, gambaran lengkap tentang suatu organisasi menurut Dan-Cohen adalah memiliki struktur fungsi, bersifat permanen, resmi, memiliki tujuan dan pelaksanaan tujuan. Eratnya keterkaitan antara hukum pidana, persaingan usaha dan korporasi menyebabkan pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana mengalami perkembangan khususnya dalam tindak pidana persaingan usaha tidak sehat. 47
Ibid, hlm 29 Jennifer A. Quaid, Mcgill Law Journal: The Assessment of Corporate Criminal Liability on the Basis of Corporate Identity: An Analysis,1998, page 79 48
Universitas Sumatera Utara
Pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana selanjutnya diperdebatkan kemampuannya dalam bertanggungjawab terhadap kejahatan yang diperbuatnya. B. Korporasi Sebagai Subjek Hukum Dalam Hukum Pidana Korporasi didalam KUHP yang digunakan saat ini belum mencantumkan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat diminta pertanggungjawabannya namun didalam Rancangan KUHP Tahun 2000 disebutkan: “korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan tindak pidana”. 49 Korporasi yang pada awalnya hanya menjadi subjek hukum dalam hukum perdata kini juga dibahas dan dirancang sebagai subjek hukum dalam hukum pidana. Beberapa sarjana menyatakan korporasi tidak dapat dijadikan subjek hukum pidana dengan alasan sebagai berikut :50 1. Menyangkut masalah kejahatan, sebenarnya kesengajaan dan kesalahan kesalahan hanya terdapat pada persona alamiah; 2. Bahwa yang merupakan tingkah laku materiil, yang merupakan syarat dapat dipidananya beberapa macam tindak pidana, hanya dapat dilaksanakan oleh persona alamiah (mencuri barang, menganiaya orang, perkosaan dan sebagainya; “selain itu juga disebutkan dalam buku Barda Nawawi dalam perkara yang menurut kodratnya tidak dapat dilakukan oleh korporasi, misal: bigami, perkosaan, sumpah palsu” 51. 3. Bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang, tidak dapat dikenakan pada korporasi; “hal ini juga disebutkan Barda Nawawi
49 50
H.Setiyono, Kejahatan Korporasi, opcit, hlm 10 Barda Nawawi Arief (II), Perbandingan Hukum Pidana, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm 45-46 51
Universitas Sumatera Utara
dalam bukunya, yaitu dalam perkara yang satu-satunya pidana yang dapat dikenakan tidak mungkin dikenakan kepada korporasi, misal pidana penjara atau pidana mati” 52. 4. Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya mungkin menimpa pada orang yang tidak bersalah; 5. Bahwa didalam praktik tidak mudah untuk menentukan norma-norma atas dasar apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau korporasi itu sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan dipidana; Sedangkan yang setuju menempatkan korporasi sebagai subjek hukum pidana menyatakan : 1. Mengingat
didalam kehidupan sosial-ekonomi, korporasi semakin
memainkan peranan yang penting pula; 53 2. Hukum pidana harus mempunyai fungsi didalam masyarakat dan menegakkan norma-norma dan ketentuan yang ada dalam masyarakat; 54 3. Dipidananya korporasi dengan ancaman pemidanaan adalah salah satu upaya untuk menghindari tindakan pemidanaan terhadap para pegawai itu sendiri; 55 4. Ternyata dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represif terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu
52
Ibid Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, opcit, hlm 18 54 Ibid 55 Muladi dan Dwija Priyatno, op cit, hlm 47 53
Universitas Sumatera Utara
korporasi. Karenanya diperlukan pula untuk dimungkinkan memidana korporasi, korporasi, atau pengurus saja; 56 Terlepas
dari
segala
pro
dan
kontra
terhadap
pengaturan
pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek hukum pidana, sehubungan dengan korporasi yang telah dijatuhi pidana, ternyata dalam praktik belum ada putusan pengadilan atau yurisprudensinya. Mengenai kedudukan badan hukum/korporasi sebagai subjek hukum pidana, telah terdapat suatu suatu putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 1 Maret 1969, Nomor 136/Kr/1966 dalam perkara antara PT Kosmo dan PT Sinar Sahara, yang menyatakan, “suatu badan hukum tidak dapat disita. Hal ini menjelaskan bahwa PT Kosmo dan PT Sinar Sahara bukan benda, karena hanya barang/bendalah yang dapat disita, melainkan subjek hukum.
57
Adanya putusan MA tersebut berarti ada pengakuan yuridis bahwa korporasi sebagai subjek hukum pidana namun tidak hanya sebatas pengakuan yuridis sebab pengertian subjek tindak pidana dibedakan antara yang melakukan tindak pidana (pembuat) dan yang bertanggungjawab. Menurut Helen Anderson dan Michelle Welsh: “Department of Business Law and Taxation, Monash University. “As a matter of public policy it is of vital importance that companies comply with the legislative provisions that are the subject of this review. The question is how to best ensure that companies comply with this legislation. Can compliance be secured by placing liability on the corporation alone or it is necessary to also impose liability on the directors and managers of those corporations? If so, what type of liability should be imposed on those managers?” 58 56
Ibid Ibid, hlm 49 58 Helen Anderson and Michelle Welsh, Department of Business Law and Taxation, Monash University, Personal Liability For Corporate Fault, page, 50-51 57
Universitas Sumatera Utara
Menurut pendapat diatas bagaimana caranya untuk memastikan korporasi menuruti undang-undang? Dapatkah penempatan pertanggungjawaban itu diberikan kepada korporasi itu sendiri atau juga dijatuhkan kepada direktur dan manager dari korporasi tersebut? Perubahan dan perkembangan kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana, mengalami perkembangan secara bertahap. Pada umumnya secara garis besar dapat dibedakan dalam tiga tahap, yaitu: 1. Tahap Pertama Tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar agar sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan (natuurlijk persoon). Sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut. 59 Tahap ini merupakan dasar bagi Pasal 59 KUHP yang isinya: “Dalam halhal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tindak pidana.” 60 Melihat ketentuan tersebut diatas, maka para penyusun kitab undangundang hukum pidana dipengaruhi oleh asas societas delinquere non potest, yaitu badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana.
59 60
Muladi dan Dwija Priyatno, op cit, hlm 52 KUHP
Universitas Sumatera Utara
Pengurus pada tahap ini tidak memenuhi kewajiban yang sebenarnya merupakan kewajiban korporasi dapat dinyatakan bertanggungjawab. Kesulitan yang timbul dalam Pasal 59 KUHP ini adalah apabila hal pemilik atau pengusahanya adalah korporasi, sedangkan tidak ada pengaturan bahwa pengurusnya bertanggungjawab, maka bagaimana memutuskan tentang pembuat dan pertanggungjawabannya? 61 Kesulitan ini dapat diatasi dengan perkembangan kedudukan dalam tahap kedua. 2. Tahap Kedua Tahap kedua ini ditandai dengan pengakuan yang timbul sesudah Perang Dunia I dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak pidana, dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi). Tanggung jawab untuk itu juga menjadi beban dari pengurus badan hukum tersebut. Tanggung jawab pada tahap ini perlahan-lahan beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang memerintahkan, atau dengan larangan melakukan apabila melalaikan memimpin secara sesungguhnya. Tahap ini menyebabkan korporasi dapat menjadi pembuat delik, akan tetapi yang dipertanggungjawabkan adalah para anggota pengurus, asal dinyatakan dengan tegas dalam peraturan itu. Walaupun pertanggungjawaban pidana secara langsung dari korporasi masih belum muncul. 62 Penentuan kapan pengurus dapat dapat diminta pertanggungjawabannya terdapat dalam Rancangan KUHP Tahun 2000 Pasal 47 yang menyatakan:
61 62
Muladi dan Dwija Priyatno, op cit, hlm 53-54 Ibid
Universitas Sumatera Utara
“pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi.” 63 3. Tahap Ketiga Tahap ketiga ini merupakan permulaan adanya tanggung jawab yang langsung dari korporasi yang dimulai pada waktu dan sesudah Perang Dunia II. Pada tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Alasan lain adalah karena misalnya dalam delik-delik ekonomi dan fisika keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Alasan yang diajukan bahwa dengan memidana para pengurus tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut. Pemidanaan korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat korporasi itu, diharapkan dapat memaksa korporasi untuk menaati peraturan bersangkutan. 64 Rancangan KUHP Tahun 2000 Pasal 46 mencantumkan kapan korporasi dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara langsung, yaitu:“ korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan atas nama korporasi apabila perbuatan tersebut tidak termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.” 65
63 64
Ibid, hlm, 56
65
Universitas Sumatera Utara
Hal senada pun dikemukakan oleh Daniela Holler Branco dalam tesisnya yang berjudul Towards a New Paradigm For Corporate Criminal Liability in Brazil: Lessons From Common Law Developments. “The harm caused by corporations can be measured by the power that they have. One way to control their power and to reduce the harm that they cause is by controlling their misbehaviour through effective sanctions. The role of criminal law is to bring corporate power to face criminal conviction for wrongdoing by making society aware of their crimes and by properly deterring them from committing crimes. The present criminal law has made attempts to effectively punish corporate wrongdoing, but the issue is still controversial and needs to be deeply analysed.”66 Peraturan perundang-undangan yang menempatkan korporasi sebagai subjek hukum dan secara langsung dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah Undang-Undang Drt No.7 Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi yang menyatakan : “Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perikatan orang atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan baik terhadap badan hukum perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu maupun terhadap kedua-duanya.” 67 Perumusan diatas menyatakan bahwa yang dapat melakukan maupun yang bisa dipertanggungjawabkan adalah orang dan/atau perserikatan/korporasi itu sendiri. Tahap ketiga ini menyebabkan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mencantumkan tanggungjawab langsung dari korporasi masih terbatas dalam perundang-undangan khusus diluar KUHP.
66
Daniela Holler Branco, Towards a New Paradigm For Corporate Criminal Liability in Brazil: Lessons From Common Law Develooments , University of Saskatchewan 67 Undang-Undang Drt No.7 Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi
Universitas Sumatera Utara
Yang menyatakan korporasi sebagai subjek tindak pidana, tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan hanya pengurus antara lain dalam: 68 1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1951 Tentang Kerja 2. Undang-Undang No. 2 Tahun 1951 Tentang Kecelakaan 3. Undang-Undang No. 3 Tahun 1951 Tentang Pengawasan Perburuhan 4. Undang-Undang No. 12 Tahun 1951 Tentang Senjata Api 5. Undang-Undang No. 83 Tahun 1958 Tentang Penerbangan Yang menyatakan korporasi sebagai subjek tindak pidana, dan dapat dipertanggungjawabkan antara lain dalam : 69 1. Undang-Undang Drt No.7 Tahun 1955 (undang-undang Tindak Pidana Ekonomi); 2. Undang-Undang No. 6 Tahun 1984 (Pos) 3. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 (Psikotropika) 4. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 (Tindak Pidana Korupsi); 5. Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 (Tindak Pidana Pencucian Uang) 6. Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 (Perindustrian) 7. Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 (Pasar Modal) 8. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 (Lingkungan Hidup) 9. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 10. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 (Perlindungan Konsumen)
68
Barda Nawawi Arief (I), Kapita Selekta Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm 233 69 Muladi dan Dwija Priyatno, op cit, hlm, 89
Universitas Sumatera Utara
Perumusan delik dalam Undang-Undang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat hanya diatur dalam 1 pasal, yaitu pasal 48, yang terdiri dari pelanggaran beberapa pasal dalam undang-undang ini. Dalam pasal-pasal yang disebut didalam pasal 48 itu sama sekali tidak disebut-sebut korporasi atau badan hukum. Subjek yang disebut adalah “pelaku usaha”.70 Diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana juga memerlukan kajian yang mendalam terhadap kesengajaan dan kealpaan pada korporasi yaitu, sebagai berikut: 1. Kesengajaan dan Kealpaan Pada Korporasi Sangat sulit untuk menentukan unsur kesalahan dalam tindak pidana korporasi dan mempertahankan asas tiada pidana tanpa kesalahan (Green Straf Zonder Schuld) khususnya masalah kesengajaan dan kealpaan korporasi. Menurut Remmelik, bahwa pengetahuan bersama dari sebagian besar anggota direksi dapat dianggap sebagai kesengajaan badan hukum itu, apabila mungkin sebagai kesengajaan bersyarat dan bahwa kesalahan ringan dari setiap orang yang bertindak untuk korporasi itu, apabila dikumpulkan akan dapat merupakan kesalahan besar dari korporasi itu sendiri. 71 Menurut Daniela Holler Branco: “Ascriptions of criminal liability require that the agent had acted intending to do wrong, or in a reckless or negligent way. The maxim actus non facit reum nisi mens sit rea which can be translated as an act is not criminal in the absence of a guilty mind is a distinctive feature of criminal law. There are only few exceptions to this principle, usually statutory offences and often in the field of regulatory offences. It prevails in both common law and civil law legal systems that to characterize an offence, mens rea must be 70 71
Ibid, hlm 236-237 Muladi dan Dwija Priyatno, opcit, hlm, 126
Universitas Sumatera Utara
present and contemporanous to the actus reus. Accordingly, in order to attribute criminal liability to a corporate entity corporate mens rea must be found.”72 Sulitnya mengetahui dan menentukan kapan suatu korporasi melakukan kesengajaanan kelalaian menyebabkan asas tiada pidana tanpa kesalahan tidak dapat berlaku mutlak terhadap korporasi. 2. Alasan Pengahapusan Pidana Korporasi Seperti halnya subjek hukum alamiah (natuurlijk persoon), badan hukum/korporasi juga memiliki alasan penghapusan pidana sebagai konsekuensi diterimanya asas kesalahan pada korporasi. Korporasi sebagai subjek hukum pidana pada dasarnya dapat menunjuk alasan-alasan penghapusan pidana kecuali yang berkaitan dengan keadaan kejiwaan tertentu (Pasal 44 KUHP). Sesuai dengan sifat kemandirian (persoonlijk) alasan-alasan penghapus pidana harus dicari pada korporasi itu sendiri. Mungkin sekali terjadi pada diri seseorang terdapat alasan penghapus pidana tetapi tidak demikian halnya pada korporasi. 73 Muladi dan Dwija Priyatno dalam bukunya mencontohkan: “seorang supir truk terpaksa bersedia untuk mengangkut narkotika karena jiwa keluarganya terancam. Sementara itu perusahaan pengangkut tempat sopir itu bekerja, atas dasar pertimbangan untuk memperoleh keuntungan, telah membiarkan/mengizinkan mengakut narkotika tersebut. Padahal perusahaan tersebut sesungguhnya mampu untuk mencegah perbuatan pengangkutan narkotika tanpa perlu mengorbankan kepentingan sopir sebagai pegawainya.” Kesimpulan yang dapat ditarik bahwa dalam menentukan ada atau tidak adanya alasan penghapusan pidana pada korporasi tak selalu dapat dicari secara terpisah antara perorangan dan korporasi. Dalam beberapa hal mungkin terjadi
72 73
Daniela Holler Branco, op cit Muladi dan Dwija Priyatno, opcit, hlm, 131
Universitas Sumatera Utara
suatu korporasi ternyata telah mengambil alih keadaan dalam diri perorangan. 74 Terhadap alasan pembenar dan pemaaf terdapat dalam Konsep Rancangan KUHP Tahun 2000 Pasal 49 yang menyatakan: “ alasan pemaaf atau pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk dan atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan pada korporasi.” Selain kesengajaan dan kealpaan pada korporasi, juga terdapat falsafah pembenaran pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai dampak diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana, yaitu: 1. Identification Theory/Direct Liability Doctrine Doktrin pertanggungjawaban pidana langsung atau doktrin identifikasi adalah
salah
satu
teori
yang
digunakan
sebagai
pembenaran
bagi
pertanggungjawaban pidana korporasi meski pun korporasi bukanlah sesuatu yang dapat berdiri sendiri. Menurut doktrin ini perusahaan dapat melakukan tindak pidana secara langsung melalui “pejabat senior” (senior officer) dan diidentifikasi sebagai perbuatan perusahaan/korporasi itu sendiri, dengan demikian maka perbuatan dipandang sebagai perbuatan korporasi, sehingga pertanggungjawaban perusahaan tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi. Teori ini disebut juga teori/doktrin “alter ego” atau “teori organ” : 75 a. Arti sempit (inggris) : Hanya perbuatan pejabat senior (otak dipertanggungjawabkan kepada korporasi. b. Arti luas (amerika serikat) 74 75
korporasi)
yang
dapat
Ibid, hlm, 132 Barda Nawawi Arief, opcit (I), hlm 246
Universitas Sumatera Utara
Tidak hanya pejabat senior/direktur tetapi juga agen dibawahnya. Umumnya pejabat senior adalah orang yang mengendalikan perusahaan, baik sendiri maupun bersama-sama, pengendali perusahaan adalah para direktur dan manajer. Korporasi pada asasnya dapat dipertanggungjawabkan sama dengan orang pribadi berdasarkan asas identifikasi. Misalnya dalam hal ini suatu korporasi yang melakukan tindak pidana persaingan usaha tidak sehat, suatu delik yang mensyaratkan adanya mens rea dan actus reus. Pengadilan dalam hal ini memandang atau menganggap, bahwa perbuatan dan sikap batin dari pejabat teras tertentu yang dipandang sebagai perwujudan dari kedirian organisasi tersebut adalah perbuatan dan sikap batin dari korporasi. Korporasi dalam hal ini bukannya dipandang bertanggung jawab atas dasar pertangunggjawaban dari perbuatan pejabatnya, melainkan korporasi itu seperti halnya dalam pelanggaran terhadap kewajiban hukum justru dipandang telah melakukan delik itu secara pribadi. 76 Bagi korporasi yang melakukan bentukbentuk tindak pidana persaingan usaha tidak sehat maka dengan adanya doktrin ini korporasi tersebutlah yang dimintakan pertanggungjawabannya secara langsung, bukan pengurus korporasi tersebut. Menurut Pertanggungjawaban Pidana terhadap badan hukum dalam sistem hukum Common Law: “It was not until the 1940s that English law contemplated a form of corporate liability which could apply to serious offences such as fraud, theft and manslaughter. One of the objections to finding corporations liable for such offences was that they required proof of a mental element of intention, recklessness or negligence. For the purposes of corporate liability for this type of offence, courts developed the alter ego, or 76
Barda Nawawi Arief (II), op cit, hlm 45-46
Universitas Sumatera Utara
identification theory, under which certain key personnel are said to act as the company (rather than on behalf of it, as is the case with vicarious liability). The underlying theory is that company employees can be divided into those who act as the 'hands' and those who represent the 'brains' of the company.” 77 Menurut hukum Inggris terhadap kejahatan yang dilakukan korporasi dimintakan pembuktiannya, seperti maksud, kesembronoan, dan kelalaiannya. Tujuan pertanggungjawaban korporasi menurut teori ini pegawai korporasi dapat dibagi kepada siapa yang bertindak sebagai ‘pekerja’ dan yang bertindak sebagai ‘otak dari korporasi’. 2. Dokrin Strict Liability Strict liability atau absolute liability atau yang disebut juga dengan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (no-fault liability or liability without fault) adalah prinsip tanggung jawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan. Menurut Barda Nawawi Arief sering dipersoalkan, apakah strict liability itu sama dengan absolute liability. Mengenai hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan, bahwa strict liability merupakan absolute liability. Alasan atau dasar pemikirannya ialah, bahwa dalam perkara strict liability seseorang yang telah melakukan perbuatan terlarang (actus reus) sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang sudah dapat dipidana tanpa mempersoalkan apakah si pelaku mempunyai kesalahan (mens rea) atau tidak. Jadi sesorang yang sudah melakukan tindak pidana menurut rumusan undang-undang harus/mutlak dapat dipidana. 78
77
Criminal Responsibility of Legal Persons in Common Law Jurisdiction, Paper prepared for OECD Anti-Corruption Unit Working Group on Bribery in International Business transactions, Paris 4th October 2000, page 5 of 10 78 Barda Nawawi Arief (II), op cit, hlm 40
Universitas Sumatera Utara
Pendapat kedua menyatakan, bahwa strict liability bukan absolute liability, artinya orang yang telah melakukan perbuatan terlarang menurut undang-undang tidak
harus/belum
tentu
dipidana.
Menurut
doktrin
strict
liability
(pertanggungjawaban mutlak), seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea). 79 Sedangkan mens rea kata ini diambil orang dari suatu maksim yang berbunyi : “actus non est reus nisi mens sif rea”, yang maksudnya adalah suatu perbuatan tidak menjadikan seseorang bersalah kecuali pikirannya adalah salah.” 80 Menurut L.B Curson, doktrin strict liability ini didasarkan pada alasanalasan sebagai berikut :81 a. Adalah sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan sosial. b. Pembuktian adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan sosial itu. c. Tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang bersangkutan. Argumentasi yang hampir serupa dikemukakan pula dalam bukunya Ted Honderich. Dikemukakan olehnya bahwa premisse (dalil/alasan) yang bisa dikemukakan untuk strict liability adalah: 82 a. Sulitnya membuktikan pertanggungjawaban untuk tindak pidana tertentu.
79
Muladi dan Dwija Priyatno, opcit, hlm 107 Ibid, hlm 108 81 Ibid 82 Ibid, hlm, 108-109 80
Universitas Sumatera Utara
b. Sangat perlunya mencegah jenis-jenis tindak pidana tertentu untuk, menghindari adanya bahaya yang sangat luas. c. Pidana yang dijatuhkan sebagai akibat dari strict liability adalah ringan. Kaitannya dengan pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana usaha tidak sehat adalah apabila suatu korporasi melakukan bentuk-bentuk persaingan usaha tidak sehat maka dengan adanya doktrin strict liability menegaskan bahwa korporasi itu dapat dibenarkan menjadi subjek hukum pidana dan dapat dimintai pertanggungajwabannya tanpa harus membuktikan adanya kesalahan pada diri korporasi yang melakukan bentuk persaingan usaha tidak sehat. 3. Doktrin Vicarious Liability Doktrin ini didasarkan pada “employment principle”. Bahwa majikan (“employer”)
adalah
penanggungjawab
utama
dari
perbuatan
para
buruh/karyawan; jadi “the servant’s act is the master act in law”. Prinsip ini dikenal juga dengan istilah the agency principle (the company is liable for the wrongful acts of all its employees). 83 Vicarious Liability sering diartikan “pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain” (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another). 84 Atau sering diartikan “pertanggungjawaban pengganti”. Pertanggungjawaban demikian misalnya terjadi dalam hal perbuatan yang dilakukan oleh orang lain adalah dalam ruang lingkup pekerjaan atau jabatan. 83 84
Barda Nawawi Arief, opcit (I), hlm 249 Barda Nawawi Arief, opcit (II), hlm 41
Universitas Sumatera Utara
Pada umumnya terbatas pada kasus-kasus yang menyangkut hubungan antara majikan dengan buruh, pembantu atau bawahannya. Sehingga walau pun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam arti yang biasa, ia masih dapat dipertanggungjawabkan. Menurut hukum pidana inggris, vicarious liability hanya berlaku terhadap: a. Delik-delik yang mensyaratkan kualitas b. Delik-delik yang mensyaratkan adanya hubungan antara buruh dan majikan 85 Menurut sistem hukum Common Law: “Vicarious liability, a doctrine transplanted from civil law which grew out of the development of the liability of a master (employer) for his servant (employee), facilitated the development of both the civil and criminal liability of corporations. The vicarious principle applied only to some statutory offences in the regulatory field and, by 1900, a number of regulatory provisions were construed as applying to corporations.” 86 Vicarious liability, doktrin yang ditransplantasi dari hukum perdata yang berkembang
menjadi
pertanggungjawaban
majikan
terhadap
buruhnya,
memudahkan perkembangan pertanggungjawaban perdata dan pidana. Menurut undang-undang (statute law) vicarious liability, dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut: 87 a. Seseorang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, apabila terdapat adanya pendelegasian (the delegation principle). 85
Muladi dan Dwija Priyatno, op cit, hlm 110 Criminal Responsibility of Legal Persons in Common Law Jurisdiction, Paper prepared for OECD Anti-Corruption Unit Working Group on Bribery in International Business transactions, Paris 4th October 2000, page 4 of 10 87 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, op cit, hlm 62 86
Universitas Sumatera Utara
b.
Seorang majikan atau pemberi kerja dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pekerjanya apabila menurut hukum, perbuatan dipandang sebagai perbuatan majikan. Apabila dibandingkan antara strict liability dan vicarious liability, maka
jelas tampak persamaan dan perbedaannya. Persamaan yang tampak bahwa baik strict liability crimes maupun vicarious liability tidak mensyaratkan adanya mens rea atau unsur kesalahan pada orang yang dituntut pidana. “In general, the process of judicial interpretation of the statutory objected to corporate liability being imposed only for regulatory offences, especially those offences which did not require proof of mens rea or a mental element.”88 Berdasarkan pengertian kalimat diatas pada umumnya penafsiran hukum menurut undang-undang penjatuhan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi hanya untuk pelanggaran yang khususnya tidak mensyaratkan mens rea atau unsur kejiwaan. Perbedaannya terdapat pada strict liability crimes pertanggungjawaban pidana bersifat langsung dikenakan kepada pelakunya, sedangkan pada vicarious liability pertanggungjawaban pidana bersifat tidak langsung. 89 4. Doctrine of Delegation Doctrine of Delegation atau sering juga disebut dengan The Delegation Principle (prinsip pendelegasian) merupakan salah satu asas pembenaran untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana yang dilakukan pegawainya
88
Criminal Responsibility of Legal Persons in Common Law Jurisdiction, Paper prepared for OECD Anti-Corruption Unit Working Group on Bribery in International Business transactions, Paris 4th October 2000, page 4 of 10 89 Muladi dan Dwija Priyatno, loc cit, hlm 110
Universitas Sumatera Utara
kepada korporasi. Menurut doktrin tersebut, alasan untuk dapat memberikan pertanggungjawaban
pidana
kepada
kepada
korporasi
adalah
adanya
pendelegasian kewenangan dari seseorang kepada orang lain untuk melaksanakan kewenangan yang dimilikinya. 90 Jadi, “a guilty mind” dari buruh/karyawan dapat dihubungkan kemajikan apabila ada pendelegasian kewenangan dan kewajiban yang relevan (harus ada “a relevan delegation of powers and duties”) menurut undang-undang. 91 Kebijakan hukum telah menentukan bahwa pendelegasian kewenangan yang dilakukan oleh pemberi kerja kepada bawahannya, tidak dapat menjadi alasan pemaaf bagi pemberi kerja untuk tidak memikul tanggung jawab karena tindak pidana tersebut dilakukan oleh bawahannya. 92 5. The Corporate Culture Model Menurut doktrin/teori ini, korporasi dapat dipertanggungjawabkan dilihat dari prosedur, sistem bekerjanya, atau budayanya (the procedures, operating systems, or culture of a company). Oleh karena itu, teori budaya ini sering juga disebut teori/model sistem atau model organisasi (organisational or systems model). 93 Corporate culture can be found in:94 a. an attitude, policy, rule, course of conduct or practice within the corporate body generally or in the part of the body corporate where the offences occured. 90
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, opcit, hlm 63 Barda Nawawi Arief, opcit (I), hlm 250 92 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, opcit, hlm, 64 93 Barda Nawawi Arief, , opcit (I), hlm, 251 94 Ibid, hlm 252 91
Universitas Sumatera Utara
b. evidence maybe led that the company’s unwritten rules tacitly authorised noncpmpliance or failed to create a culture of compliance. C. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Persaingan Usaha Tidak Sehat Menurut Sri Redjeki Hartono, kegiatan ekonomi yang terjadi dalam masyarakat membutuhkan campur tangan negara, mengingat tujuan dasar kegiatan ekonomi itu sendiri adalah untuk mencapai keuntungan. Sasaran tersebut mendorong terjadinya penyimpangan bahkan kecurangan yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu, bahkan semua pihak. Beliau menegaskan bahwa campur tangan negara terhadap kegiatan ekonomi secara umum dalam rangka hubungan hukum yang terjadi tetap dalam batas-batas keseimbangan kepentingan umum semua pihak. Campur tangan negara dalam hal ini adalah dalam rangka menjaga kesimbangan
kepentingan
semua
pihak
dalam
masyarakat,
melindungi
kepentingan produsen dan konsumen, sekaligus melindungi kepentingan negara dan kepentingan umum terhadap kepentingan perusahaan atau pribadi. 95 Menurut Goddin tanpa campur tangan pemerintah (dalam konteks negara kesejahteraan) “under tha law of the market, those who are dependent could and would be mercilessly exploited. Economically, you can drive very hard bargain indeed and dependent upon you for satisfaction of that need. Morally however you must do not so.”96 Berdasarkan pengertian diatas dapat diartikan, dibawah aturan pasar, mereka-mereka yang bergantung pada yang lainnya, akan sangat mudah 95 96
Johny Ibrahim, op cit, hlm 35 Ibid, hlm 35
Universitas Sumatera Utara
dieksploitasi tanpa belas kasihan sama sekali. Secara ekonomis anda dapat saja mengusahakan penawaran yang terbaik terhadap siapa pun yang membutuhkan dan bergantung pada anda untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Namun secara moral tindakan itu tidak dapat dibenarkan). Hukum mengatur hubungan diluar kebiasaan pasar (extra market provision) untuk melindungi mereka yang memiliki ketergantungan tersebut. Persaingan bebas dalam ekonomi pasar yang dikembangkan di Indonesia perlu di ingat bahwa bukanlah dalam arti bebas sebebas-bebasnya seperti dalam pengertian laissez fair (teori klasik laissez fair dari Adam Smith yang menyatakan bahwa pasar seharusnya dibiarkan bebas tanpa intervensi dari pemerintah), melainkan bebas tetapi terikat dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang dalam hal ini antara lain adalah Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Berkaitan dengan hal ini dapat dikatakan bahwa tugas sistem hukum adalah mengontrol jalannya perekonomian, yaitu dengan mendayagunakan hukum secara efektif agar dapat mengoperasikan sistem pasar, persaingan bebas, dan sebagainya.
97
.
Pembangunan ekonomi Indonesia ditujukan untuk meningkatkan kehidupan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera. Hal ini sesuai dengan cita-cita dan amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, oleh karena itu pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi berdasarkan pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. 98
97
Hermansyah, op cit, hal 19 Biro Hubungan Masyarakat: Buku Pedoman Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia oleh Sekjen Depperindag, Jakarta, Mei 1999, hlm 3 98
Universitas Sumatera Utara
Kebijakan atas pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi telah menghasilkan korporasi-korporasi raksasa yang menguasai dan memonopoli ekonomi Indonesia. Kekuasaan yang luar biasa pada korporasi tahap berikutnya sangat mempengaruhi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat dan sangat merugikan kepentingan pelaku ekonomi lainnya 99. Soedjono Dirdjosisworo yang menyatakan bahwa : “kejahatan sekarang menunjukan bahwa kemajuan ekonomi juga menimbulkan kejahatan bentuk baru yang tidak kurang bahaya dan besarmya korban yang diakibatkannya. Indonesia dewasa ini sudah dilanda kriminalitas kontemporer yang cukum mengancam lingkungan hidup, sumber energi, dan pola-pola kejahatan dibidang ekonomi seperti kejahatan bank, kejahatan komputer, penipuan terhadap konsumen berupa barangbarang produksi kualitas rendah yang dikemas indah dan dijajakan lewat advertensi secara besar-besaran, dan berbagai pola kejahatan korporasi yang yang beroperasi lewat penetrasi dan penyamaran.” 100 Hal ini juga dikemukakan oleh Markus Wagner, yaitu: “In this context, the development of corporate criminal liability has become a problem which a growing number of prosecutors and courts have to deal with nowadays. In the common law world, following standing principles in tort law, English courts began sentencing corporations in the middle of the last century for statutory offenses. On the other hand, a large number of European continental law countries have not been able to or not been willing to incorporate the concept of corporal criminal liability into their legal systems. The fact that crime has shifted from almost solely individual perpetrators only 150 years ago, to white-collar crimes on an ever increasing scale has not yet been taken into account in many legal systems. At the same time, crime has also become increasingly international in nature.” 101
99
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, loc cit, hlm 3 Muladi dan Dwija Priyatno, opcit, hlm 3 101 Markus Wagner, Corporate Criminal Liability National and International Responses, International Society for the Reform of Criminal Law 13th International Conference Commercial and Financial Fraud: A Comparative Perspective, Malta, 8-12 July 1999, page 2 100
Universitas Sumatera Utara
Perbedaannya ialah apabila di negara-negara common law, korporasi telah dimasukkan ke dalam subjek hukum negaranya, tidak demikian di sebagian besar negara-negara dengan sistem hukum eropa continental. Selama era pemerintahan orde baru landasan kebijakan ekonomi telah digariskan dalam Ketetapan Majelis Permusyawarat Rakyat Sementara Republik Indonesia
(MPRS-RI)
Nomor
XXIII/MPRS/1966,
tentang
Pembaharuan
Kebijaksanaan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan. Amanat dalam pasal 7 (c) Ketetapan MPRS tersebut menegaskan bahwa dalam demokrasi ekonomi di Indonesia tidak ada tempat bagi monopoli yang merugikan masyarakat. 102 Berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai tindak lanjut hasil Sidang Istimewa MPR-RI yang digariskan dalam Ketetapan MPR-RI No. X/1998 tentang PokokPokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional, maka Indonesia memasuki tahap baru pengorganisasian ekonomi yang berorientasi pasar. 103 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tidak hanya berlaku bagi dunia usaha, tapi juga berlaku pada pemerintah. Artinya dengan adanya undang-undang ini, pemerintah tidak boleh mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang anti persaingan dan tidak konsisten dengan undang-undang No. 5 Tahun 1999 ini. 104 Menurut pasal 1 ayat (5) disebutkan Pelaku Usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan 102
Johny Ibrahim, opcit, hlm 13 Ibid, hlm 8 104 Biro Hubungan Masayarakat: Transkrip Pendalaman Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat kepada wartawan oleh Sekjen Depperindag, op cit, hlm 6 103
Universitas Sumatera Utara
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. 105 Korporasi termasuk kedalam subjek pelaku usaha dalam undangundang ini sehingga kegiatan usaha dibidang ekonomi yang dilakukan oleh korporasi tidak boleh bertentangan dengan undang-undang ini. Tujuan utama Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah untuk memberikan kontribusi terhadap upaya-upaya meningkatkan efisiensi ekonomi nasional. 106 Pelaku usaha dalam menjalankan usaha harus berasaskan demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi didalam proses produksi dan pemasaran barang atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan terciptanya ekonomi pasar yang wajar. Pasal 3 menyatakan bahwa tujuan pembentukan Undang-Undang No.5 Tahun 1999 adalah sebagai berikut: 107 1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. 2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan 105
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 106 Biro Hubungan Masayarakat: Transkrip Pendalaman Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat kepada wartawan oleh Sekjen Depperindag, op cit, hlm 2 107 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Universitas Sumatera Utara
berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil. 3. Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha yidak sehat yang ditimbulkan pelaku usaha. 4. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha. Tujuan pemidanaan korporasi (dalam tindak pidana ekonomi) sering dikaitkan dengan tujuan finansial, namun sebenarnya mengandung tujuan yang lebih jauh. Tujuan pemidanaan korporasi tidak sebatas finansial karena dalam menjatuhkan pidana pada sebuah korporasi harus dipertimbangkan dengan teliti dan hati-hati terhadap dampaknya. Misalnya, penutupan seluruh atau sebahagian usaha korporasi karna yang menderita tidak hanya korporasi tetapi juga pegawainya.
108
Menurut Muladi dan Dwija Priyatno, bilamana tindak pidana yang dilakukan sangat berat, maka diberbagai negara dipertimbangkan untuk menerapkan pengumuman keputusan hakim (adverse publicity) sebagai sanksi atas biaya korporasi, sebab dampak yang ingin dicapai tidak hanya yang mempunyai financial impacts, tetapi juga mempunyai non financial impacts.109 Menindak lanjuti kejahatan yang dilakukan korporasi dalam persaingan usaha maka dalam undang-undang nomor 5 tahun 1999 dijelaskan jenis-jenis kejahatan dibidang ekonomi apa saja yang dapat dilakukan oleh korporasi. Menurut beberapa pendapat sarjana jenis-jenis Perjanjian yang Dilarang adalah sebagai berikut: 108 109
Muladi dan Dwija Priyatno, op cit, 143 Ibid, hlm 144
Universitas Sumatera Utara
1. Oligopoli Larangan membuat perjanjian yang oligopolistik, yaitu pelaku usaha dilarang membuat satu perjanjian dengan pelaku usaha lain dengan maksud secara bersama-sama untuk menguasai produksi atau pemasaran barang atau jasa tertentu yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat (Ayat 1 Pasal 4). 110 2. Penetapan Harga Berdasarkan ketentuan undang-undang ini ada 4 (empat) penetapan harga yang dapat merugikan konsumen atau pelanggan dan dapat mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat. Penetapan harga yang dimaksud adalah: a. Penetapan harga (price fixing), yaitu perjanjian yang dibuat secara bersama-sama oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya, yaitu penetapan harga atas barang atau jasa tertentu yang dibuat oleh para pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya yang mengakibatkan konsumen atau pelanggan harus membayar harga yang ditetapkan untuk barang atau jasa tertentu, adalah salah satu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang ini (Pasal 5 Ayat 1). 111 b. Diskriminasi harga (price discrimination), dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga
110
Biro Hubungan Masyarakat: Buku Pedoman Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia oleh Sekjen Depperindag, op cit, hlm 8-17 111 Ibid
Universitas Sumatera Utara
yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan jasa yang sama (Pasal 6). 112 c. Penetapan harga dibawah harga pasar (predatory pricing), yaitu perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga dibawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat (Pasal 7). 113 d. Resale price maintenance, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang membuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang telah diperjanjikan sehingga mengakibatkan terjadi persaingan usaha tidak sehat(Pasal 8). 114 3. Pembagian wilayah pemasaran Pembagian wilayah pemasaran adalah pelaku usaha dilarang menetapkan pembagian wilayah pemasaran atau alokasi pasar berdasarkan undang-undang ini. Misalnya perusahaan A hanya boleh memproduksi barang atau memasarkannya didaerah X (Pasal 9). 115 4. Pemboikotan Pemboikotan berasal dari kata “boikot” yang dalam bahasa Inggris disebut “boycott”. Boikot mengandung arti penghentian pasokan barang oleh produsen untuk memaksa distributor menjual kembali barang tersebut dengan ketentuan
112
Ningrum Natasya Sirait, op cit, hlm 89 Ibid 114 Ibid, hlm 90 115 Biro Hubungan Masyarakat: Buku Pedoman Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia oleh Sekjen Depperindag, op cit, hlm 12 113
Universitas Sumatera Utara
khusus. Boikot dapat diartikan juga sebagai pelarangan impor atau ekspor tertentu, atau pelarangan sama sekali melakukan perdagangan internasional dengan negara tertentu oleh negara-negara lain. 116 Disebut juga dengan boikot apabila pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menolak setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut akan merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; atau membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar yang bersangkutan. 117 5. Kartel Kartel adalah wadah resmi yang merupakan wujud dari dua atau lebih penjual/pembeli untuk melakukan suatu kepentingan bersama. Bentuk dari wadah tersebut bisa berupa asosiasi, pemasaran bersama atau bentuk-bentuk lainnya. 118 Kartel menurut undang-undang ini adalah suatu perjanjian antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya dengan maksud untuk mengatur produksi barang dan pemasarannya atau untuk mengatur pelayanan jasa tertentu (Pasal 11). 6. Trust Trust adalah pembentukan suatu gabungan perusahaan baru. Pendirian satu gabungan perusahaan baru seperti ini dilarang oleh undang-undang ini apabila hal ini bertujuan agar para pelaku usaha tersebut dapat mengontrol produksi dan pemasaran suatu barang atau jasa tertentu (Pasal 12). Selain itu yang dimaksud
116
Hermansyah, , op cit, hlm 311 Ningrum Natasya Sirait, op cit, hlm 91 118 Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya Di Indonesia, Jakarta, Desember 1999, Elips Project, hlm 13 117
Universitas Sumatera Utara
dengan trust adalah perjanjian untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan. 119 7. Oligopsoni Mengenai Oligopsoni dimana pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (Ayat 1 Pasal 13). 120 Pelaku usaha patut diduga melakukan penguasaan pembelian atau penerimaan pasokan atas barang atau jasa tersebut, apabila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu (Ayat 2 Pasal 13). 121 8. Integrasi Vertikal (vertical integration) Integrasi vertikal adalah perjanjian yang dibuat oleh para pelaku usaha dengan maksud untuk menguasai proses pengolahan produksi dari hulu sampai hilir. Penguasaan proses pengolahan produksi ini dapat secara langsung maupun tidak langsung yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat
119
Biro Hubungan Masyarakat: Buku Pedoman Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia oleh Sekjen Depperindag, op cit, hlm 13 120 Ningrum Natasya Sirait, op cit, hlm 92 121 Biro Hubungan Masyarakat: Buku Pedoman Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia oleh Sekjen Depperindag, op cit, hlm 13-14
Universitas Sumatera Utara
dan akhirnya dapat merugikan masyarakat (Pasal 14), meskipun praktek integrasi vertikal seperti ini dapat menghasilkan barang dan jasa dengan harga murah. 122 9. Perjanjian Tertutup Mengenai Perjanjian Tertutup, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok kembali barang dan atau jasa tertentu kepada pihak tertentu atau tempat tertentu (Ayat 1 Pasal 15). Atau pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari perilaku usaha pemasok.123 10. Perjanjian dengan pihak luar negeri Perjanjian dengan pihak luar negeri adalah pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri apabila isi perjanjian tersebut akan mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat (Pasal 16). 124 Menurut beberapa pendapat sarjana jenis-jenis Kegiatan yang Dilarang adalah sebagai berikut: 1. Monopoli (monopoly) Monopoli secara sederhana dapat diartikan dimana situasi pasar hanya ada satu penjual atas suatu barang atau jasa tertentu. Artinya hanya ada satu perusahaaan yang menguasai barang atau jasa tertentu, dalam situasi pasar seperti 122
Ibid, hlm 15 Ningrum Natasya Sirait, op cit, hlm 94 124 Biro Hubungan Masyarakat: Buku Pedoman Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia oleh Sekjen Depperindag, opcit, hlm 17 123
Universitas Sumatera Utara
ini pelaku usaha tersebut tidak mempunyai pesaing, sehingga dia dapat menguasai kekuatan pasar dan dapat menentukan sendiri jumlah produksi suatu barang dan harganya (Ayat 1 Pasal 17). 125 2. Monopsoni Menurut Black Laws Dictionary, monopsoni adalah “a condition of market in which there is but one buyer for a particular commodity” 126 atau keadaan pasar secara tidak seimbang yang dipengaruhi seorang pembeli. Monopsoni terjadi ditingkat pembelian ketika pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar yang bersangkutan yang dapat mengkibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Pelaku usaha patut diduga menguasai penerimaan pasokan apabila suatu pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. 127 3. Penguasaan pasar Kegiatan penguasaan pasar yang dilakukan oleh pelaku usaha dilarang oleh undang-undang anti monopoli, baik sendiri maupun bersama-sama dengan pelaku usaha yang lain yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Kegiatan kegiatan para pelaku usaha yang dimaksud adalah: 128 a. Perilaku pelaku usaha yang tidak sportif, dapat berupa kegiatan:
125
Ibid, hlm 18 Hermansyah, op cit, hlm 40 127 Ningrum Natasya Sirait, op cit, hlm 97 128 Biro Hubungan Masyarakat: Buku Pedoman Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia oleh Sekjen Depperindag, opcit, hlm 20-21 126
Universitas Sumatera Utara
1) Menolak atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan atau 2) Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesainganya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu atau 3) Membatasi peredaran atu penjualan barang atau jasa pada pasar yang bersangkutan 4) Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu (Pasal 19). b. Penjualan dengan harga rugi Untuk menyingkirkan usaha pesaing dari pelaku usaha tertentu, pelaku usaha tersebut melakukan penjualan barang atau jasa tertentu dengan harga rugi atau harga yang sangat rendah (predatory price) dipasar tertentu (Pasal 20). c. Perbuatan curang Pelaku usaha melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang atau jasa tertentu. Hal ini dilakukan untuk memperoleh biaya produksi yang lebih rendah (Pasal 21). 4. Persekongkolan Persekongkolan adalah dimana pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. 129 Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini ditentukan 3 (tiga) jenis persekongkolan, yaitu: 130 a. Penentuan pemenang tender Bersekongkol untuk menentukan siapa pemenang tender diantara pelaku usaha yang mengikuti tender adalah suatu tindakan yang dilarang oleh undang-undang ini (Pasal 22). Tender yang dimaksud disini adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang, atau untuk menyediakan jasa. 129
Ningrum Natasya Sirait, op cit, hlm 99 Biro Hubungan Masyarakat: Buku Pedoman Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia oleh Sekjen Depperindag, op cit, hlm 22 130
Universitas Sumatera Utara
b. Mendapatkan rahasia perusahaan lain Persekongkolan diantara pelaku usaha untuk mendapatkan informasi pelaku usaha lain yang digolongkan sebagai rahasia perusahaanjuga suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang ini (Pasal 23). c. Menghambat produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa Bersekongkol dengan pelaku usaha lain untuk menghambat produksi atau pemasaran barang atau jasa dari pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang atau jasa yang ditawarkan atau dipasok dipasar menjadi berkurang dari segi jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang sudah dijanjikan adalah dilarang (Pasal 24). Menurut pendapat sarjana yang dimaksud dengan Posisi Dominan adalah sebagai berikut: 1. Penyalahgunaan posisi dominan Pelaku
usaha
dilarang
menggunakan
posisi
dominan
untuk
menyalahgunakan keduduannya baik secara langsung ataupun tidak langsung (Pasal 25). Penyalahgunaan terhadap posisi dominan menyebabkan diaturnya pengawasannya dalam undang-undang ini. 131 2. Jabatan rangkap Pasal 26 menetapkan secara jelas bahwa seorang direksi atau komisaris tidak boleh merangkap jabatan yang sama pada perusahaan lain pada waktu yang bersamaan kalau perusahaan tersebut: 132 a. Berusaha dalam pasar bersangkutan yang sama atau b. Memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang atau jenis usaha atau
131
Ningrum Natasya Sirait, op cit, hlm 101 Biro Hubungan Masyarakat: Buku Pedoman Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia oleh Sekjen Depperindag, op cit, hlm 25 132
Universitas Sumatera Utara
c. Secara bersama-sama menguasai pangsa pasar atas barang atau jasa tertentu yang mana hal ini dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat 3. Pemilikan saham Pemilikan saham suatu pelaku usaha pada beberapa perusahaan sejenis dapat juga menunjukan posisi dominannya atas satu jenis barang atau jasa tertentu didalam pasar tertentu. Hal ini dilarang apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan penguasaan pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Pasal 27. Membatasi pemilikan saham yang boleh dimiliki pelaku usaha.133 4. Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, melalui penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan badan usaha tertentu dapat mengarah kepada terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Pengawasan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan selanjutnya didasarkan kepada Pasal 25 Ayat 2: 134 a. Penggabungan dan peleburan Pasal 28 Ayat 1 menetapkan tentang penggabungan dan peleburan, bahwa pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat . b. Pengambilalihan Pasal 28 Ayat 2 mengatur tentang pengambilalihan yang ditetapkan, bahwa pelaku usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat . 133 134
Ibid, hlm 25 Ibid, hlm 26-27
Universitas Sumatera Utara
c. Pendaftaran penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan Pasal 29 menetapkan bahwa pelaksanaa penggabungan atau peleburan badan usaha atau pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 tersebut wajib diberitahukan kepada komisi selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan atau pengambilalihan seham tersebut nilai aset atau nilai penjualan melebihi jumlah tertentu yang ditetapkan. Berdasarkan penjelasan dari berbagai pendapat diatas mengenai kejahatan yang dapat dilakukan korporasi dalam bidang persaingan usaha, bentuk pertanggungjawaban korporasi menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah sebagai berikut: 1. Tindakan administratif Komisi menjatuhkan tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 Pasal 47 ini dapat berupa: 135 a. Pembatalan perjanjian yang dibuat berdasarkan Pasal 4 sampai dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16, atau b. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, atau c. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktik monopoli atau menyebabkan persaingan usaha yang tidak sehat atau yang merugikan masyarakat, atau d. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan, atau e. Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilan saham sebagaimana dimaksud Pasal 28, dan/atau f. Penetapan pembayaran ganti rugi, dan/atau g. Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp.25.000.000.000,00 (dua puluh lima milyar rupiah).
135
Ibid, hlm 38-39
Universitas Sumatera Utara
2. Pidana pokok Pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan ini komisi dapat menjatuhkan pidana pokok. Di dalam Ayat 1 Pasal 48 diatur, bahwa pelanggaran terhadap Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27 dan Pasal 28 undang-undang ini diancam pidana serendahrendahnya Rp.25.000.000.000,00 (dua puluh lima milyar rupiah) dan setinggitingginya Rp.100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah) atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan. 136 Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24 dan Pasal 26 undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp.1.000.0000.000,00 (satu milyar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan (Ayat 2 Pasal 48). 137 Selanjutnya pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 undang-undang ini diancam pidana serendah-rendahnya Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan (Ayat 3 Pasal 48). 138 3. Pidana tambahan Selain pidana pokok yang dijatuhkan oleh komisi terhadap pelaku usaha juga, komisi juga dapat menjatuhkan pidana tambahan dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 KUHP. Pidana tambahan tersebut berupa: 139
136
Ibid, hlm 39-40 Ibid 138 Ibid 139 Ibid 137
Universitas Sumatera Utara
a. Pencabutan izin usaha, atau b. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun, atau c. Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain (Pasal 49). Pasal 50 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 memberikan pengecualian berlakunya semua ketentuan dalam undang-undang tersebut, seperti diuraikan dalam pembahasan sebelumnya, diantara pengecualian-pengecualian tersebut ada beberapa jenis perjanjian. perjanjian usaha yang dimaksud adalah untuk melaksanakan peraturan perundangan-undangan, perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual (HAKI), perjanjian penetapan-penetapan standar teknis tertentu, perjanjian dalam rangka keagenan, perjanjian kerjasama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat, perjanjian internasional yang telah diratifikasi dan perjanjian ekspor.140 Penjelasan terhadap undang-undang tersebut sangat tidak memadai dan tidak memberikan elaborasi dan tuntunan atas berbagai seluk-beluk perjanjian yang dikecualikan tersebut hanya disebutkan “cukup jelas” tersebut justru membuka peluang bagi para pelaku usaha untuk memanfaatkannya sehingga ketidakjelasan tersebut dikhawatirkan akan disalahgunakan, kecuali KPPU mengantisipasinya secara lebih dini. 141 Pendapat Barda Nawawi Arief terhadap sanksi-sanksi undang-undang antimonopoli diatas menyatakan: “namun sangat disayangkan tindakan administratif ini tidak diintegrasikan kedalam sistem pertanggungjawaban pidana untuk korporasi. Artinya, 140 141
Johny Ibrahim, op cit, hlm 281 Ibid, hlm 28
Universitas Sumatera Utara
sanksi itu tidak merupakan salah satu jenis sanksi pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim/pengadilan apabila korporasi diajukan sebagai pelaku tindak pidana. Menurut pendapat saya, seyogianya jenis sanksi “tindakan administratif” itu diintegrasikan dalam sistem sanksi pidana atau sistem pertanggungjawaban pidana, seperti “tindakan tata tertib” dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (Undang-Undang Nomor. 7 Drt. 1955).”142 Kecenderungan penjatuhan sanksi
pidana denda dalam bentuk sanksi
pidana yang dapat dijatuhkan kepada korporasi diatas memang jauh dari kata efisien dan tidak proporsional. Mengingat tidak adanya langkah konkrit untuk menghentikan persaingan usaha tidak sehat tersebut serta tidak adanya efek jera yang diterima korporasi menyebabkan maraknya unfair competition diantara korporasi.
142
Muladi dan Dwija Priyatno, op cit, hlm 166
Universitas Sumatera Utara