BAB II KONSEP KEKUASAAN YUDISIAL
Di
Indonesia
sistem
pemerintahan
menurut
Undang-undang Dasar 1945 adalah suatu sistem yang unik, dimana didalamnya diatur tentang kedudukan, tugas dan wewenang serta tata cara pembentukan lembaga-lembaga Negara.
2.1 Konsep
Kekuasaan
YudisialDalam
Kerangka Asas Trias Politika. Pembagian kekuasaan Negara beserta lembagalembaga Negaranya menurut Undang-undang Dasar 1945 tidaklah mengikuti ajaran “Trias Politica” walaupun pemisahan
lembaga-lembaga
tersebut
hampir
sama
dengan ajaran konsep kekuasaan dalam kerangka asas Trias Politika. 2.1.1. Asas Trias Politica. Sejarah pada masa lalu munculnya Trias politika bumi ini dihuni oleh masyarakat primitif sebagai suku, yang 10
dipimpin oleh kepala suku yang memutuskan seluruh perkara
yang
ada
perkembangannya
dari
suku
suku-suku
tersebut.
kemudian
Pada
memiliki
sebuah dewan yang menumpukkan tiga kekuasaan Trias Politika
yaitu
yudikatif
yang
kekuasaan
Legislatif,
mempunyai
Eksekutif,
kesamaan
di
dan
Indonesia
sekarang ini yaitu Dewan Perwakilan Daerah. Trias Politika dari pemikiran John Locke adalah pemisahan
kekuasaaan
Legislatif,
Eksekutif,
dan
federatif yang kemudian disempurnakan oleh pemikiran dari Montesgue yaitu Kekuasaan Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif yang sekarang ini menjadi acuan negaranegara didunia saat ini. 2.1.2.
Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif.
Kekuasaan Legislatif adalah struktur politik yang fungsinya
membuat
undang-undang.
Di
Indonesia
disebut dengan Dewan Perwakilan rakyat, lembaga ini dipilih melalui pemilihan umum yang diadakan secara periodik dan berasal dari partai-partai politik. Produk Undang-undang yang dihasilkan oleh Dewan Perwakilan 11
Rakyat
ini
Pendidikan
diantaranya Nasional,
Undang-undang
Undang-undang
Sistem
Penanaman
Modal, Undang-undang Kehakiman dan sebagainya. Dari produk Undang-undang yang dihasilkan oleh Kekuasaan Legislatif pelaksanaan dari Undang-undang dilaksanakan oleh Lembaga Eksekutif. Di Indonesia dilaksanakan oleh Presiden dan menteri-menterinya. 2.1.3.
Kekuasaan
Kehakiman
menurut
Undang-
undang Dasar 1945. Kekuasaan Yudisial berwenang menafsirkan Undangundang maupun memberi sanksi atas setiap pelanggaran dari Undang-undang. Kekuasaan Yudisial dispesifikan kedalam
masalah
yang
berkaitan
dengan
hukum,
pelaksana dari kekuasaan Kehakiman adalah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar tahun 1945 Sebelum
diamandemen
Undang-Undang
Dasar
Tahun 1945, masalah Kekuasaan Kehakiman diatur di dalam Pasal 24 dan 25. Ketentuannya ditegaskan sebagai berikut : 12
(1)
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan lain-lain Badan Kehakiman menurut Undang-Undang. (2)
Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman
itu diatur dengan Undang-undang. Sedangkan di dalam Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa “Syarat-syarat untuk menjadi
dan
untuk
diberhentikan
sebagai
Hakim,
ditetapkan dengan Undang-Undang”. Penjabaran dari Pasal 24 dan Pasal 25 Undangundang Dasar Tahun 1945 tersebut, diatur di dalam Undang-undang Kekuasaan
Nomor
Kehakiman.
14
Tahun
Setelah
1970
amandemen
Tentang ketiga
terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka ketentuan pasal 24 dirubah menjadi Pasal 24, Pasal 24 A, Pasal 24 B (tentang Komisi Yudisial), dan Pasal 24 C (tentang Mahkamah Konstitusi) sebagai salah satu pelaku Kekuasaan Kehakiman selain Mahkamah Agung. Berdasarkan
Pasal-pasal
tersebut
pasca
amandemen ketiga Undang-undang Dasar 1945, maka 13
Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk
menegakkan
menyelenggarakan
hukum
dan
peradilan
keadilan.
Hal
guna
dimaksud
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan peradilan
yang
ada
umum,
dibawahnya lingkungan
dalam agama,
lingkungan lingkungan
peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha Negara, serta sebuah Mahkamah Konstitusi.1 Setelah reformasi kekuasaan kehakiman sebagai salah satu kekuasaan Negara, pelaku kekuasaan kehakiman tidak hanya dilakukan oleh Mahkamah Agung dan peradilanperadilan
yang
ada
dibawahnya,
akan
tetapi
juga
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan
mengadili
pada
tingkat
pertama
dan
terakhir yang putusannya bersifat final pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk undang
menguji Dasar,
Undang-undang memutuskan
terhadap
sengketa
Undang-
kewenangan
Undang-undang Dasar 1945 (Amandemen Ketiga), Pasal 24 ayat 1 dan 2
1
14
lembaga Negara yang kewenangannya diberikan Undangundang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.2
2.2 Kekuasaan Kehakiman menurut Undangundang Nomor 48 tahun 2009. Indonesia
Di
sesuai
dengan
ketentuan
Umum
Undang-undang No. 48 tahun 2009 Pasal 1 ayat (2) pelaksana dari kekuasaan Kehakiman adalah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar tahun 1945. Di dalam Undang – Undang Nomor 14 tahun 1970 (UU tentang Pokok – pokok Kekuasaan Kehakiman) yakni pada : 1.
Pasal 2 ayat 1 isinya, adalah sebagai berikut :
“penyelenggaraan
kekuasaan
kehakiman
dalam
diserahkan
kepada
pasal
peradilan
dan
1
ditetapkan
dengan
tercantum
Badan-badan
Undang-Undang,
dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan
2
Ibid, Pasal 24 C
15
mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya”. 2.
Pasal 4 ayat 2 yang isinya adalah, sebagai berikut :
“Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”. 3.
Pasal 5 yang isinya adalah, sebagai berikut : a. Pengadilan mengadili menurut Hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. b. Dalam perkara perdata Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeraskerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapai peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan”.
4. Pasal 14 ayat 1 yang isinya adalah, sebagai berikut : “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak/atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Sebagai cikal bakal dari pada reformasi 16
kekuasaan
usaha pelaksanaan
kehakiman
yang
termasuk
didalamnya reformasi birokrasi pada Mahkamah Agung dan peradilan-peradilan yang berada dibawahnya adalah pada dasarnya sejak ditetapkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAPMPR) Nomor X/MPR/1998 yang ditindaklanjuti dengan diundangkannya UndangUndang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokokpokok Kekuasaan Kehakiman sebagai salah satu buah dari adanya reformasi di Indonesia pada tahun 1998. Undang-undang dimaksud menghendaki penyatu atapan dalam pembinaan dan pengawasan pada peradilanperadilan yang berada dibawah Mahkamah Agung, yang sebelumnya pembinaan dan pengawasannya berada dibawah
eksekkutif
untuk
masalah
administrasi
financial dan menejemen seperti kepegawaian, keuangan dan lain sebagainya. Sedangkan untuk hal-hal yang bersifat teknis peradilan berada dalam pembinaan dan pengawasan yudikatif (Mahkamah Agung). Perundangan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dimaksud adalah untuk memperkuat prinsip 17
kekuasaan kehakiman yang merdeka sesuai dengan tuntutan reformasi dibidang hukum. Penguatan prinsip kekuasaan kehakiman dimaksud, adalah agar mendapat jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Undang-undang dimaksud menetapkan satu
garis
politik
hukum
mengenai
kehakiman,
bahwa
pembinaan
dan
kekuasaan pengawasan
peradilan berada di bawah Mahkamah Agung, dan tidak bagi
kekuasaan
eksekutif
turut
campur
dalam
pembinaan dan pengawasannya.3 Akan tetapi dalam kurun waktu beberapa tahun sampai dengan tahun 2004, politik hukum satu atap yang digariskan oleh Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tersebut belum bisa terwujud, mengingat masih berlakunya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang
Pokok-pokok
Kekuasaan
Kehakiman.
Hal
Abdul Gani Abdulah, Prof, Dr, SH. Paradigma Baru Peradilan Agama Dalam Era Bagir Manan, dalam Bagir Manan Hukuman dan Penegakan Hukum (Keuangan sebuah Pengadilan), MARI, 2008, Halaman 5 3
18
tersebut
baru
terwujud
setelah
amandemen
ketiga
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Seperti
telah
disinggung
diawal
bahwa
amandemen dimaksud telah menegaskan karakter dan sifat
dari
pada
kekuasaan
menegaskan
Kekuasaan
kekuasaan
Negara
kehakiman
Kehakiman yang
dengan
merupakan
merdeka
untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan peradilan. Dari amandemen ketiga dimaksud telah berkonsekwensi
diamandemennya
Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dan terakhir diamandemen lagi dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Dengan
amandemen
Undang-undang
tersebut
diatas, maka Mahkamah Agung adalah sebagai salah satu puncak kekuasaan kehakiman serta peradilan Negara tertinggi. Mahkamah Agung sebagai peradilan tertinggi
bagi
peradilan
yang
berada
dibawahnya 19
mempunyai
posisi
dan
peran
strategis
dibidang
kekuasaan kehakiman. Hal ini dikarenakan Mahkamah Agung tidak hanya membawahi 4 (empat) lingkungan peradilan
tetapi
juga
sebagai
puncak
manajemen
dibidang administrative, personil dan finansial, serta sarana dan prasarana keempat lembaga peradilan.4 Kebijakan satu atap yang digariskan undang-undang tersebut
diatas
memberikan
tanggung
jawab
dan
tantangan, karena Mahkamah Agung dituntut untuk menunjukan
kemampuannya
guna
mewujudkan
organisasi yang professional, efektif, efisien, transpran dan
akuntabel.5
Tanggung
jawab
tersebut
sebagai
konsekuensi logis dari politik hukum satu atap yang termaktub di dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970
Tentang
Pokok-pokok
Kekuasaan
Kehakiman. Setelah amandemen ketiga Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, tentang Kekuasan Kehakiman, Pasal 21 jo. Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, Pasal 13 ayat 1 jo. Undang-undang Nomor 35 tahun 199, Pasal 11 5Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, Mahkamah Agung RI, 2010 Halaman 1. 4
20
Dasar 1945, maka Undang-undang Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut diganti dengan Undangundang Nomor 4 Tahun 2004 dan diperbaiki kembali melalui
Undang-undang
Justifikasi
politik
hukum
Nomor
48
satu
atap
Tahun tersebut
2009. juga
termuat didalam berbagai Undang-undang yakni : a. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 jo, Undangundang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung; b. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 jo, Undangundang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum; c. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 jo, Undangundang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama; dan d. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 jo, Undangundang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
21
2.2.1 Kekuasaan dan Peranan Lembaga Pengadilan Peranan pengadilan tidak dapat disangsikan lagi, sebab dengan lembaga pengadilan inilah segala yang menyangkut hak dan tanggung jawab yang terabaikan dapat diselesaikan, lembaga ini memberikan tempat bahkan
membantu
kepada
mereka
yang
merasa
dirampas hak-haknya dan memaksa kepada pihak-pihak agar bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan yang
merugikan
pihak
lainnya.
Aktivitas
lembaga
pengadilan demikian itu pada dasarnya adalah berupaya melendingkan rumusan-rumusan hukum yang sifatnya masih
abstrak
karena
dengan
melalui
bekerjanya
lembaga pengadilan, hukum itu baru dapat diwujudkan, sebagaimana dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa; kehadiran
lembaga
hukum
itu
merupakan
operasionalisasi dari ide rumusan konsep-konsep hukum yang nota bene bersifat abstrak. Melalui lembaga dan bekerjanya lembaga-lembaga itulah hal-hal yang bersifat
22
abstrak
tersebut
dapat
diwujudkan
ke
dalam
kenyataan.6 Di
dalam
Undang-Undang
telah
memberikan
kedudukan pada lembaga pengadilan, yaitu sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan
(pasal
2
UU
No.2
tahun
1986).
Kedudukan sebenarnya merupakan wadah yang isinya adalah hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban tadi merupakan peranan atau rule.7
Dengan
demikian
lembaga
pengadilan
yang
merupakan wadah bagi rakyat pencari keadilan berisikan hak dan kewajiban, berarti pemegang peranan. Adapun peranannya adalah sebagaimana yang telah disebutkan di atas antara lain adalah menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan
hukum
dan
keadilan.
Peranan
demikian digolongkan sebagai peranan yang ideal.8
Satjipto Raharjo,” Teori dan Metode dalam Soiologi Hukum” (Makalah dalam pertemuan ilmiah, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta 11-12 November 1984, Halaman 5 7 Soerjono Soekanto, “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum’ Jakarta Penerbit Rajawali, 1983, Halaman 11 8 Ibid, halaman 5 6
23
Kedua peranan tersebut di atas belum memberikan arti baik bagi lembaga pengadilan sendiri maupun kepada pencari keadilan sebab, apabila hanya berhenti terbatas kepada kedua peranan tersebut berarti lembaga pengadilan
belum
melakukan
suatu
peranan
yang
sebenarnya atau peranan yang aktual.9 Oleh karena itu bagi
lembaga
pengadilan
harus
pula
mewujudkan
peranan tersebut. Peranan aktual ini adalah menyangkut perilaku nyata dari para pelaksana peranan, yakni para penegak
hukum
yang
di
satu
pihak
menerapkan
perundang - undangan, dan di lain pihak melakukan dikreasi di dalam keadaan-keadaan tertentu.10 Lembaga pengadilan seperti juga pada organisasi lainnya mempunyai tujuan-tujuan baik yang sudah ditetapkan dalam hukum positif maupun tujuan-tujuan yang dipilih atas dasar diskresi. Tujuan utama lembaga pengadilan
adalah
terselenggaranya
Negara
Hukum
Republik Indonesia. Pemilihan terhadap suatu tujuan
9
Ibid, halaman 15. Ibid, halaman 16
10
24
sering kali mengalami perubahan dan tidak selalu sama dari masa ke masa. Perubahan ini dapat muncul karena adanya kebijaksanaan formal baik dari Negara maupun dari lembaga pengadilan sendiri. Contoh mengenai perubahan ini terdapat dalam UU No.19 tahun 1964 dan UU
No.14
tahun
1970,
kedua-duanya
mengenai
kekuasaan kehakiman. Pada UU pertama tujuan yang dipilih adalah Masyarakat Sosial Indonesia, sedangkan UU
yang
kedua,
tujuan
yang
dipilih
adalah
Terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.11 Tujuan lembaga pengadilan ini kembali berubah setelah berlakunya UU No 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Undang-Undang ini nampaknya tujuan yang dipilih berbeda dengan tujuan yang dipilih dalam UU
sebelumnya.
Tujuannya
adalah
terwujudnya
keadilan, kebenaran, kepastian hukum dan ketertiban.
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Bandung : Penerbit Sinar Baru, 19, Halaman 77
11
25
Tujuan ini disimpulkan dari penjelasan umum UndangUndang No. 2 tahun 1986 yaitu sebagai berikut12 : “Lebih dari itu, hal pokok tersebut merupakan masalah yang sangat penting dalam usaha mewujudkan suasana perikehidupan yang sejahtera, aman, tentram dan tertib seperti yang diamanahkan oleh Garis-garis Besar
Haluan
mewujudkannya
Negara.
Oleh
dibutuhkan
karena
adanya
itu
untuk
lembaga
yang
bertugas menyelenggarakan keadilan dengan baik. Salah satu lembaga untuk menegakkan kebenaran dalam mencapai Undang
keadilan
sebagaimaan
dimaksud
Nomor 14
tahun 1970
tentang
Undang-
Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang masingmasing
mempunyai
lingkup
kewenangan
mengadili
perkara atau sengketa di bidang tertentu”. Di dalam hubungan-hubungan sosialnya, peranan pengadilan dapat dihubungkan dengan tugas-tugas dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Bergesernya tugas
C.S.T. Kansil. Kitab Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (KUKK), Jakarta, Penerbit Bina Aksara, Halaman 67
12
26
dan
tujuan-tujuan
tersebut
baik
karena
adanya
perubahan undang-undang maupun karena diskresi pengadilan akan berpengaruh kepada peranan yang dilakukan oleh lembaga pengadilan. Dalam hal terjadi perubahan tujuan niscaya akan terjadi pula perubahan peran pengadilan. Perubahan tujuan pengadilan yang berakibat perubahan pula peranan dapat dicontohkan misalnya, pengadilan menentukan
tujuan
utamanya
yakni,
terciptanya
kerukunan dan perdamaian di antara pihak-pihak yang bersengketa,
peranan
merukunkan
dan
pengadilan
mendamaikan
di
sini
pihak-pihak
adalah yang
bersengketa itu dengan jalan mediasi maupun secara kompromi. Akan tetapi karena tujuan utama ini tidak berhasil maka terjadi pergeseran kepada tujuan lainnya, misalnya adalah penegakan hukum. Dengan berubahnya tujuan utama tersebut menunjukkan pula terjadinya perubahan peranan yaitu bukan lagi mendamaikan atau merukunkan akan tetapi peranan pengadilan di sini adalah menetapkan secara tegas apa yang dihadapinya 27
dan menentukan pula pihak-pihak yang dinyatakan melanggar peraturan hukum itu. 2.2.2 Mediasi dalam Ketentuan Hukum Acara Perdata. Mediasi adalah penyelesesaian sengketa secara damai dalam Hukum Acara Perdata. Pengertian Mediasi dengan Ajudikasi Menurut Pakar adalah Kata
mediasi
berasal
dari
bahasa
Inggris
mediation yang artinya penyelesaian sengketa yang melibatkan
pihak
penyelesaian
ketiga
sengketa
sebagai secara
penengah
menengahi,
atau yang
menengahinya dinamakan mediator atau orang yang menjadi penengah. Ada beberapa batasan mediasi yang dikemukakan oleh para ahli, di antaranya : Gary Goodpaster Gary Goodpaster mengemukakan bahwa : “Mediasi adalah proses negoisasi pemecahan masalah di mana pihak luas yang tidak memihak (impartial) 28
dan
netral
bekerja
dengan
pihak
yang
bersengketa
untuk
membantu
mereka
memperoleh
kesempatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim atau artiber, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak. Namun, dalam hal ini para pihak menguasakan kepada
mediator
untuk
membantu
mereka
menyelesaikan persoalan-persoalan di antara mereka. Asumsinya bahwa pihak ketiga akan mampu mengubah kekuatan dan dinamika sosial hubungan konflik dengan cara memengaruhi kepercayaan dan tingkah laku pribadi para pihak, dengan memberikan pengetahuan atau informasi, atau dengan menggunakan proses negosiasi yang lebih efektif, dan dengan demikian membantu para peserta untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dipersengketakan.13 Christopher W. Moore Hal yang senada juga dikemukakan Christopher W. Moore seperti di bawah ini : Gary Goodpaster, 1993, Negosiasi dan mediasi : sebuah Pedoman negosiasi dan Penyelesaian sengketa melalui Negosiasi, Jakarta,ELIPS Project, Halaman 201
13
29
“Mediasi
adalah
intervensi
dalam
sebuah
sengketa atau negosiasi oleh pihak ketiga yang bisa diterima pihak yang bersengketa, bukan merupakan bagian dari kedua belah pihak dan bersifat netral. Pihak ketiga ini tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan. Dia bertugas untuk membantu pihak-pihak yang bertikai agar secara sukarela mau mencapai kata sepakat yang diterima oleh masing-masing pihak dalam sebuah persengketaan.14 Jacqueline M. Nolan Haley Jacqueline
M.
Nolan
Haley
juga
mengemukakan batasan mediasi sebagai berikut : “Mediation is generally understood to be a shortterm structured, task-oriented, participatory intervention process. Disputing parties work with a neutral third party, the mediator, to reach a mutually acceptable agreement. Unlike the adjudication process, where a third party intervener imposes a decision, no such compulsion exists
Christopher W. Moore, Mediasi lingkungan,Jakarta: Indonesia center for Environmental Law dan CDR Associates, Halaman. 18 14
30
in mediation. The mediator aids the parties in reaching a consensus. It is the parties themselves who shape their agreement.15 Kimberlee K. Kovach Kemudian, Kimberlee K. Kovach merumuskan batasan mediasi tersebut sebagai berikut : “Facilited negotiation, it is a process by which a neutral third party, the mediator, assists disputing parties in reaching a mutually satisfactory resolution.16 Mark E. Roszkowski Mark E. Roszkowski17 dalam buku Business Law, Principle, Cases and Policy mengemukakan bahwa : “Mediation is a relatively informal process in which a neutral third party, the mediator, helps to resolve a dispute”.
Jacqueline M. Nolan Haley 1992, Alternative DisputeResolition, USA, West Publising Co, Halaman 56 16 Kimberlee K. Kovach 1994, Mediation and Practice, St. Paul : Publising Co, Halaman. 16 17 Mark E. Roszkowski dalam buku Business Law, principle, Cases and Policy sebagaimana dikutip Gunawan Widjaya dan Ahmad yani 2000, seri Hukum Bisnis: hukum Arbitrase, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, Halaman 33 15
31
“In many respect, therefore, mediator can be considered
as
structured,
negotiation
in
which
the
mediator facilities the process”. Black’s Law Dictionary Berikutnya
dalam
Black’s
Law
Dictionary18
dikatakan bahwa : “Mediation is private, informal dispute resolution process in which a neutral third person, the mediator, helps, disputing parties to reach an agreement”. “The mediator has no power to impose a decision on the parties”. Kamus Hukum Ekonomi ELIPS Selanjutnya, Kamus Hukum Ekonomi ELIPS mengatakan bahwa : “Mediation, mediasi : salah satu alternative penyelesaian
sengketa
di
luar
pengadilan
dengan
menggunakan jasa seorang mediator atau penengah; sama seperti konsiliasi”.
18
Sebagaimana dikutip Gunawan Widjaya dan Ahmad yani. Ibid
32
“Mediator
penengah
:
seseorang
yang
menjalankan fungsi sebagai penengah terhadap pihakpihak
yang
bersengketa
dalam
menyelesaikan
sengketanya.19 Kamus Besar Bahasa Indonesia Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan batasan bahwa : “Mediasi : proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam
penyelesaian
suatu
perselisihan
sebagai
penasihat”. “Mediator : perantara (penghubung, penegah) bagi pihak-pihak yang bersangketa itu.20 Kamus
Hukum
:
Dictionary
of
Law
Kamus
Hukum
Complete Edition Sementara
itu,
dalam
:
Dictionary of Law Complete Edition, mengartikan mediasi diartikan sebagai :
Tim Penyunting Kamus Hukum Ekonomi WLIPS, 1997. Kamus Hukum Ekonomi ELIPS, Jakarta Halaman 111. 20 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1988. Kamus Besar bahasa Indonesia, Jakarta, Departemen pendidikan dan Kebudayaan. 19
33
“Mediasi
adalah
suatu
proses
penyelesaian
sengketa secara damai yang melibatkan bantuan pihak ketiga untuk memberikan solusi yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa.21 Pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa antara dua pihak”. Undang – Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UUAAPS) Sehubungan ketentuan
dengan
dalam
Pasal
pengertian
mediasi,
6
UUAAPS
ayat
(3)
menyatakan sebagai berikut :
“Dalam
hal
sengketa
atau
beda
pendapat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaiakan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasihat ahli maupun melalui seorang mediator”. M. Marwan dan Jimmy P, 2009, Kamus Hukum, Dictionary of Law Complete Editions. Surabaya, Reality Publisher, Halaman 426
21
34
Dari beberapa rumusan pengertian mediasi di atas, dapat disimpulkan bahwa mediasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang bersikap netral (non intervensi) dan tidak berpihak (impartial) kepada pihak-pihak yang bersengketa serta diterima kehadirannya oleh pihak-pihak yang bersengketa.
Pihak
ketiga
tersebut
dinamakan
“mediator” atau “penengah”, yang tugasnya hanya membantu
pihak-pihak
yang
bersengketa
dalam
menyelesaikan masalahnya dan tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan. Dengan perkataan lain, mediator di sini hanya bertindak sebagai
fasilitator
belaka.
Dengan
mediasi
diharapkan dicapai titik temu penyelesaian masalah atau
sengketa
bersengketa, sebagai
yang
yang
dihadapi
selanjutnya
kesepakatan
para akan
bersama.
pihak
yang
dituangkan Pengambilan
keputusan tidak berada di tangan mediator, tetapi di tangan para pihak yang bersengketa. 35
Dalam terdapat
pelaksanaan beberapa
mediasi
proses
di
mediasi
Pengadilan yang
harus
dilakukan yang dibagi dalam tiga tahap yaitu : 1. Pra mediasi -
Para Pihak dalam hal ini Penggugat mengajukan gugatan dan mendaftarkan perkara.
-
Ketua
Pengadilan
Negeri
menunjuk
Majelis
Hakim -
Pada hari pertama sidang Majelis Hakim wajib mengupayakan perdamaian kepada para pihak melalui
proses
mediasi.
Para
pihak
dapat
memilih mediator Hakim atau non Hakim yang telah memiliki sertifikat sebagai mediator dalam waktu 1 (satu) hari. Apabila dalam waktu 1 (satu) hari belum ditentukan maka Majelis Hakim menetapkan mediator dari para Hakim.
36
2. Proses mediasi -
Setelah penunjukan mediator para pihak wajib menyerahkan foto copy dokumen yang memuat duduk perkara, foto copy surat-surat yang diperlukan dan hal-hal lain yang terkait dengan sengketa kepada mediator dan para pihak.
-
Mediator wajib menentukan jadwal pertemuan untuk penyelesaian proses mediasi.
-
Pemanggilan
saksi
ahli
dimungkinkan
atas
persetujuan para pihak, dimana semua biaya jasa
ahli
itu
ditanggung
oleh
para
pihak
berdasarkan kesepakatan. -
Apabila diperlukan kaukus atau pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa kehadiran pihak lainnya dilakukan.
3. Proses Akhir mediasi -
Jangka
waktu
proses
mediasi
di
dalam
Pengadilan paling lama adalah 40 hari kerja dan 37
dapat diperpanjang lagi paling lama 14 hari kerja. -
Jika mediasi menghasilkan kesepakatan para pihak
wajib
merumuskan
secara
tertulis
kesepakatan yang dicapai dan ditanda tangani kedua
pihak,
dimana
Hakim
dapat
mengukuhkan sebagai akta perdamaian. -
Apabila
tidak
tercapai
Hakim
melanjutkan
suatu
kesepakatan
pemeriksaan
perkara
sesuai dengan ketentuan hukum yang Acara yang berlaku.
2.3 Hakim
sebagai
Personifikasi
dari
Kekuasaan Yudisial. Kekuasaan kehakiman
yang
kehakiman merdeka
merupakan untuk
kekuasaan
menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar pasca Amandemen). Kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung 38
RI,
Badan-badan
peradilan
lain
di
bawah
Mahkamah Agung (Peradilan Umum, PTUN, Peradilan Militer, Peradilan Agama) serta Mahkamah Konstitusi (Pasal
24
ayat
Penyelenggaraan
2
Undang-Undang
kekuasaan
Dasar
Kehakiman
1945). tersebut
diserahkan kepada badan-badan peradilan (Peradilan Umum,
Peradilan
Agama,
Peradilan
Militer,
dan
Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan
setiap
perkara
yang
diajukan
kepadanya). (Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Peradilan Umum adalah salah satu pelaksana kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya (Pasal 2 UU No.2 Tahun 1984). Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang, memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama (Pasal 50 UU No.2 Tahun1986) Pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan
dan
nasihat
tentang
hukum
kepada
instansi pemerintah di daerahnya apabila diminta (Pasal 52 UU No.2 Tahun 1986). 39
2.3.1 Fungsi dan Tugas Hakim menurut Undangundang Kekuasaan Kehakiman: Tugas Pokok : Hakim Pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman, untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama. Fungsi : Melakukan tugas-tugas Pengawasan sebagai Pengawas Bidang dengan memberi petunjuk dan bimbingan yang diperlukan
bagi
para
Pejabat
structural
maupun
Fungsional. Pada prinsipnya peran merupakan dua sisi yang tak terpisahkan dengan fungsi dan kewenangan, yakni peran merupakan limpahan dari fungsi dan kewenangan, oleh karena itu berbicara mengenai peran sekaligus berbicara tentang fungsi dan kewenangan. 2.3.2 Kewenangan hakim secara umum. Peranan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman melalui badan peradilan, tidak lain daripada 40
melaksanakan fungsi peradilan sesuai dengan batasbatas kewenangan yang disebutkan Undang-Undang. Peran Hakim Dari Segi Tujuan Melaksanakan Fungsi Dan Kewenangan Peradilan. Pasal 2 ayat (2 dan 4), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1 dan 2) dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyebutkan beberapa asas, bahwa : -
Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
-
Peradilan menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
-
Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan
- Dalam menjalankan tugas dan fungsinya hakim wajib menjaga kemandirian peradilan. -
Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
41
-
Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
-
Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tak tercela, jujur, adil, profesional dan pengalaman di bidang hukum.
-
Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili
dan
memutus
suatu
perkara
yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang
jelas,
melainkan
wajib
untuk
memeriksa dan mengadilinya dan tidak menutup usaha penyelesaian perkara secara perdamaian. Bertitik tolak dari segi tujuan melaksanakan fungsi dan kewenangan peradilan dari asas-asas di atas, peran hakim secara umum dapat diuraikan sebagai berikut: a. Menegakkan Kebenaran dan Keadilan Menegakkan
kebenaran
dan
keadilan
bukan
menegakkan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit, yakni hakim tidak berperan menjadi mulut undang-undang 42
dan
hakim
tidak
boleh
berperan
mengidentikkan dengan
kebenaran
rumusan
dan
peraturan
keadilan
itu
sama
perundang-undangan.
Dalam hal inilah dituntut peran hakim. 1)
Harus
mampu
menafsir
Undang-undang
secara
aktual. Agar hukum yang diterapkan dilenturkan sesuai dengan kebutuhan perkembangan kondisi, waktu dan tempat, maka
hukum
yang
diterapkan
itu
sesuai
dengan
kepentingan umum dan kemasalahatan masyarakat masa kini, namun demikian pada setiap kegiatan peran hakim menafsir dan menentukan undang-undang mesti tetap beranjak dari landasan cita-cita umum (common basic idie) yang terdapat dalam falsafah bangsa dan tujuan peraturan undang-undang yang bersangkutan 2) Harus berani berperan menciptakan hukum baru atau sebagai pembentuk hukum. Dalam hal ketentuan peraturan undang-undang tidak mengatur sesuatu permasalahan tentang suatu kasus konkreto, hakim harus berperan menciptakan hukum baru disesuaikan dengan kesadaran perkembangan dan 43
kebutuhan masyarakat, hal itu dapat diwujudkan hakim dengan
jalan
masyarakat berusaha
dan
menyelami
kesadaran
kehidupan
dari
pengalaman
tersebut
menemukan
dasar-dasar
atau
hakim
asas-asas
hukum baru, akan tetapi dalam hal inipun harus tetap beranjak dari common basic idie falsafah bangsa dan tujuan peraturan undang-undang yang bersangkutan. 3) Harus berani berperan melakukan contra legem Dalam hal ini hakim harus berani menyingkirkan ketentuan pasal undang-undang tertentu, dilakukan setelah hakim menguji dan mengkaji bahwa ketentuan pasal
tersebut
bertentangan
dengan
ketertiban,
kepentingan dan kemasalahatan umum, maka dalam keadaan seperti ini kesampingkan pasal tersebut dan berbarengan dengan boleh mencipta hukum baru atau mempertahankan yurisprudensi yang sudah bersifat stare decesis, tapi hal inipun harus tetap beranjak dari common basic idie. 4) Harus mampu berperan mengadili secara kasuistik.
44
Pada prinsipnya setiap kasus mengandung particular reason, maka dalam kenyataan tidak ada perkara yang persis mirip, oleh karena itu hakim harus mampu berperan
mengadili
perkara
case
by
case,
tidak
dibenarkan sekedar membabi buta mengikuti putusan yang telah ada tanpa menilai keadaan khusus (particular reason)
yang
bersangkutan
terkandung dan
dalam
menerapkannya
perkara secara
yang
kasuistik
sesuai dengan keadaan konkreto perkara yang diperiksa. b. Memberi Edukasi, Koreksi, Prepensi dan Represip Memberi Edukasi, hakim melalui produk putusan yang dijatuhkan harus mampu memberi pendidikan dan pelajaran kepada yang berperkara dan masyarakat. Dari putusan yang dijatuhkan, anggota masyarakat harus dapat
memetik
pelajaran
dan
pengalaman
bahwa
berbuat seperti itu adalah salah dan keliru. Memberi Koreksi, bahwa putusan hakim harus jelas dan tegas memperbaiki dan meluruskan setiap kesalahan yang dilakukan seseorang. 45
Memberi prepensi, makna dan tujuan prepensi ini berkaitan dengan edukasi dan koreksi putusan yang dijatuhkan, hakim harus mampu memberi pengertian kepada masyarakat, mana yang benar dan mana yang salah. Pengertian yang demikian akan menanamkan kesadaran
bagi
mereka
untuk
tidak
melakukan
perbuatan yang seperti itu. Memberi Represif, bahwa putusan hakim harus tegas membenarkan yang benar dan menghukum yang salah. Ketegasan yang demikian akan berperan menegakkan kepastian hukum pada satu segi serta menegakkan kebenaran dan keadilan pada segi lain. Ketegasan memberi hukuman kepada yang salah sangat luas dampaknya, masyarakat merasa dilindungi dan mereka merasa tenteram serta citra wibawa pengadilan akan tegak sebagai lembaga pencari kebenaran dan keadilan. Dalam kerangka edukasi, koreksi, prepensi dan represip, peran
hakim
baru
dapat
memberi
makna
apabila
putusan-putusan yang dijatuhkan dilakukan melalui proses persidangan yaitu: 46
1) Didukung oleh integritas dan profesionalisme yang solid. Memang akui bahwa hakim bukan manusia yang bersifat ultimate,
juga
tidak
absolut
kemampuan
dan
kesempurnaannya, hakim memiliki kekurangan dan kelebihan, namun demikian pada diri hakim dituntut sifat dan sikap manusia tipe ideal dalam bentuk : a) Memegang teguh disiplin, yakni harus menepati ketentuan aturan persidangan,jika sidang ditetapkan pada hari dan jam tertentu, tepati dengan patuh. b) Kwalitas moral yang tinggi dan mantap, yakni tidak ragu-ragu
dan
terombang-ambing,
tidak
dapat
dipengaruhi apa dan siapapun, kokoh memegang prinsip kejujuran. c) Berwawasan luas, yakni cakap dan trampil, menguasai dengan
baik
antisipasi
tehnis
yang
justisial,
luwes
secara
memiliki
dinamika
efektif,
maupun
memodifikasi nilai-nilai yang segar secara analitis dan konstruktif,
sehingga
putusan
yang
dijatuhkan 47
mengandung nilai-nilai hukum, kebenaran dan keadilan yang berbobot hukum yang matang (the maturity of law), yaitu yang rasional, praktis dan aktual. 2) Didukung oleh sikap arif dan manusiawi. Hakim sebagai pejabat yang dianugerahi negara hukum memimpin persidangan, mutlak dituntut kearifan, yakni berbudi luhur yang tulus dan ikhlas sebagai seorang manusia sopan dan santun, mampu menempatkan diri sebagai agent of service tidak ubahnya sebagai pelayan yang mengabdi kepada keadilan, menjauhkan sikap dan perilaku instrument
arogansi of
(kecongkakan
power
dan
kekuasaan)
menjunjug
tinggi
dan harkat
martabat orang yang berperkara. 3)
Menegakkan
asas
Imperialitas
dan
audi
et
alturampartem Hakim tidak bertindak berat sebelah, maka hakim harus memberi kesempatan yang sama dan seimbang kepada para pihak dalam membela dan mempertahankan hak dan kepentingan 48
mereka. Dengan demikian proses
persidangan benar-benar menegakkan prinsip equality before the law, equal protection of the law, equal justice under the law, tidak boleh bersikap diskriminatif, baik yang bersifat normatif dan kategoris berdasar jenis kelamin, etnis, golongan dan status social 4)
Menegakkan
asas
peradilan
sederhana,
cepat
danbiaya ringan Asas ini jangan hanya rumusan mati dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, tapi benarbenar diwujudkan jika ingin menampilkan putusan yang mengandung edukasi, koreksi, prepensi dan represip. Proses
persidangan
yang
panjang
dan
bertele-tele
mengakibatkan kebenaran dan keadilan hancur ditelan masa, menimbulkan kebingungan dan keresahan yang berkepanjangan bagi yang berperkara dan berakibat hilangnya
kepercayaan
masyarakat
atas
lembaga
peradilan. Baik dari segi doktrin maupun politik hukum, salah satu tujuan
penegakan
hukum
melalui putusan
hakim,
bertujuan memproyeksikan tatanan masyarakat pada 49
masa yang akan datang. Penegakan hukum melalui putusan
hakim
hukum
masa
bukan kini,
sekedar
tapi
memberi
sekaligus
kepastian
harus
mampu
merekayasa tatanan masyarakat pada masa yang akan datang,
dalam
kehidupan
hal
ini
tertentu,
paling
peran
tidak
hakim
pada
bidang
harus
mampu
memproyeksikan rekayasa atau menjadi bagian rekayasa tatanan masyarakat yang lebih baik dan lebih tertib di masa yang akan datang. Bahwa hakim tidak semata-mata berperan dan berfungsi untuk memeriksa dan memutus perkara, tapi sesuai pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 RBg, undang-undang memberi
para
hakim
untuk
mendamaikan.
Peran
mendamaikan lebih utama dari fungsi memutus perkara, upaya
mendamaikan
merupakan
prioritas
utama,
sedangkan fungsi mengadili merupakan kegiatan dan tindak lanjut atas kegagalan upaya mendamaikan. PERMA
Nomor
1
Tahun
2008
tentang
Mediasi,
menegaskan bahwa dalam perkara perdata, khususnya yang sifatnya contentius, mediasi adalah suatu hal yang 50
imperatif, bahkan menurut Pasal 2 ayat (3) PERMA Nomor
1
Tahun
2008
tersebut,
tidak
menempuh
prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 RBg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. Penegakkan hukum melalui badan peradilan (hakim) memerlukan terwujudnya unified legal framework dan unified
legal
keseragaman
opinion, landasan
yakni
perlu
terwujudnya
hukum
dan
keseragaman
pandangan hukum diantara para hakim, agar tidak berkembang
putusan-putusan
yang
yang
bersifat
fluktuasis dan yang bercorak disparitas tinggi. Law standard dapat terbina dan terwujud, para hakim harus meneliti putusan-putusan yang telah menjadi stare decesis, yakni putusan yang mengandung nilai judge made law, berupa putusan yang aktual yang bermakna pembaharuan
dari
pembangunan
hukum,
isinya
mengandung perlindungan kepentingan umum atau maslahat umum atau putusan tersebut mengandung 51
common basic idie tatanan hukum masa yang akan datang dan putusan dimaksud bersifat konstan, yaitu selalu diikuti dalam kasus yang sama dari jumlahnya sudah
banyak,
maka
putusan
yang
demikian
dikualifikasi sebagai yurisprudensi. Akan tetapi azas terikat mengikuti yurisprudensi, harus bersifat dinamik dengan
acuan,
Pertama
:
hakim
tetap
bebas
menjatuhkan putusan yang bersifat variabel dalam kasus yang sama, berarti boleh menjatuhkan putusan yang
menyimpang
dari
yurisprudensi,
tetapi
penyimpangan ini tidak bercorak fundamental hanya bersifat variabel, Kedua : hakim tetap bebas mencipta putusan baru, tetap dimungkinkan menyimpang secara keseluruhan dari putusan yurisprudensi yang telah bersifat stare decesis bilamana yurisprudensi tersebut tidak aktual lagi atau yurisprusensi itu bertentangan dengan kepentingan, ketertiban atau kemasalahatan umum.
52
2.3.3. Kewenangan Hakim Perdata. Kewenangan
Hakim
Perdata
adalah
mengadili
perkara Perdata yaitu tindakan Hakim atau Majelis Hakim sebelum sidang pertama dilangsungkan, dan tindakan hakim selama proses persidangan hingga mencapai
putusan
akhir
dan
musyawarah
Majelis
hakim. Kewenangan tersebut diantaranya :
2.4
-
Mempelajari gugatan masuk.
-
Menentukan hari sidang.
-
Pemanggilan pihak-pihak berperkara.
-
Mendamaikan para pihak.
Penyelenggaraan
Peradilan
Perdata
di
Indonesia. Tugas
utama
Pengadilan
adalah
menerima,
memeriksa dan mengadili perkara hukum yang masuk baik perkara pidana maupun perkara perdata. Dan menjadi tugas Hakim untuk menyelesaikan perkara tersebut sampai pada putusan akhir. 53
2.4.1 Peradilan Perdata dan Hukum Acara Perdata. Peradilan Perdata di Indonesia adalah peradilan yang
memeriksa,
mengadili
dan
memutus
perkara
Perdata yang terjadi pada perseorangan atau badan hukum. Sebelum menempuh penyelesaian secara hukum disarankan
untuk
menyelesaikan
sengketa
melalui
mediasi. Sumber hukum peradilan Perdata di Indonesia Undang-undang Hukum Perdata, HIR, RBg, dsb. Hukum Acara Perdata adalah hukum yang mengatur dan mempertahankan dalam
Hukum
hukum
perdata
Acara
Perdata
menyelenggarakan mengajukan
perkara
bagaimana perdata
materiil.
Dimana
mengatur proses
kepada
dan
seseorang Hakim
atau
Pengadilan. 2.4.2. Asas-asas hukum Acara Perdata di Indonesia. Bertitik
tolak
kepada
praktek
peradilan
di
Indonesia maka asas-asas dalam hukum Hukum Acara Perdata adalah : a.
54
Peradilan yang terbuka untuk umum.
Merupakan aspek yang fundamental dari hukum acara perdata , dimana sebelum sidang dimulai maka hakim Ketua Majelis harus menyatakan persidangan terbuka untuk umum. b.
Hakim bersifat pasif.
Dalam asas ini disebutkan bahwa apabila gugatan tidak diajukan oleh oleh para pihak maka tidak ada hakim yang mengadili perkara tersebut. c.
Peradilan dengan membayar biaya.
Peradilan
perdata
pada
asasnya
membayar
biaya
perkara, dan bagi yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk berperkara secara cuma-cuma. Peradilan perdata pada hakekatnya adalah bagian dari peradilan atau Kekuasaan Yudisial secara umum. Dalam
pengertian
demikian
maka
penyelenggaraan
Peradilan Perdata pada hakekatnya adalah tetap dalam kerangka Kekuasaan Yudisial yang memposisikan hakim sebagai ajudikator seperti dikehendaki oleh pasal 24 ayat
55
(1) UUD 1945 jo. Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Pokok Kehakiman. 1.
Mediasi dalam Ketentuan Hukum Acara Perdata.
Dalam pelaksanaan mediasi di Pengadilan
terdapat
beberapa proses mediasi yang harus dilakukan yang dibagi dalam tiga tahap yaitu : a.
Pra mediasi
-
Para Pihak dalam hal ini Penggugat mengajukan gugatan dan mendaftarkan perkara.
-
Ketua Pengadilan Negeri menunjuk Majelis Hakim
b.
Pada hari pertama sidang Majelis Hakim wajib
mengupayakan perdamaian kepada para pihak melalui proses mediasi. Para pihak dapat memilih mediator Hakim atau non Hakim yang telah memiliki sertifikat sebagai mediator dalam waktu 1 (satu) hari. Apabila dalam waktu 1 (satu) hari belum ditentukan maka Majelis Hakim menetapkan mediator dari para Hakim.
56
c.
Proses mediasi
-
Setelah penunjukan mediator para pihak wajib menyerahkan foto copy dokumen yang memuat duduk
perkara,
foto
copy
surat-surat
yang
diperlukan dan hal-hal lain yang terkait dengan sengketa kepada mediator dan para pihak. -
Mediator wajib menentukan jadwal pertemuan untuk penyelesaian proses mediasi.
-
Pemanggilan
saksi
ahli
dimungkinkan
atas
persetujuan para pihak, dimana semua biaya jasa ahli itu ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan. -
Apabila diperlukan kaukus atau pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa kehadiran pihak lainnya dilakukan.
d.
Proses Akhir mediasi
57
-
Jangka waktu proses mediasi di dalam Pengadilan paling lama adalah 40 hari kerja dan dapat diperpanjang lagi paling lama 14 hari kerja.
-
Jika
mediasi
pihak
wajib
menghasilkan
kesepakatan
merumuskan
secara
para
tertulis
kesepakatan yang dicapai dan ditanda tangani kedua pihak, dimana Hakim dapat mengukuhkan sebagai akta perdamaian. -
Apabila tidak tercapai suatu kesepakatan Hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan hukum yang Acara yang berlaku.
2. 4.3Dading. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda melalui Reglement op de burgerliske atau Rechtvordering atau disingkat RV pada tahun 1894 penyelesaian perkara secara damai sudah ada, bunyi pasal didalamnya mengatur : (1) Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang maka Pengadilan Negeri dengan pertolongan 58
Ketua
mencoba
akan
mendamaikan
mereka.(2) Jika perdamaian yang demikian itu dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akte) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menepati perjanjian yang diperbuat itu, surat
mana
akan
berkekuatan
hukum
dan
akan
dijalankan sebagai putusan yang biasa. Penyelesaian sengketa melalui upaya damai atau dikenal dengan istilah “ dading “ telah diatur dalam pasal 130 HIR/Pasal 154 Rbg dan beberapa peraturan lainnya. Namun upaya damai yang dimaksud dalam peraturan diatas
berbeda
dengan
mediasi
sebagaimana
yang
berkembang sekarang. Menurut
Ahli
Hukum
Acara
Perdata
M.
Yahya
Harahap dading dalam praktek Hukum Acara Perdata adalah persetujuan atau perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak yang bersengketa untuk mengakhiri perselisihan diselesaikan
terhadap oleh
suatu
perkara
Pengadilan.
yang
Perdamaian
sedang yang
dilaksanakan itu didasarkan pada pasal 130 HIR/ Pasal 154 Rbg dan pasal 1851 KUH Perdata. Hakim yang 59
mengabaikan pemeriksaan tahap mendamaikan dan langsung memasuki tahap-tahap pemeriksaan jawab menjawab dianggap melanggar tata tertib Akibatnya
pemeriksaan
dianggap
tidak
beracara sah
dan
pemeriksaan harus dinyatakan batal demi hukum.22 Menurut Sudikno Mertokusumo berdasarkan adanya perdamaian antara kedua belah pihak maka hakim menjatuhkan putusan yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang telah dibuat antara mereka. Jadi
pasal
130
HIR
telah
mengatur
lembaga
perdamaian , dimana hakim yang mengadili wajib mendamaikan lebih dahulu pihak yang berperkara sebelum hakim melanjutkan pemeriksaan perkaranya , jadi perdamaian tersebut hanya bersifat anjuran yaitu hakim hanya menawarkan dan bukan sebagai mediator dan pasal tersebut tidak mengatur keharusan bagi
22M.
Yahya Harahap, 2005 Hukum Acara Perdata Gugatan, persidangan, penyitaan , pemeriksaan dan putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, h.240.
60
hakim
untuk
mengusahakan
perdamaian
diantara
pihak-pihak.
61