BAB II KONSEP DASAR TENTANG WADI’AH
A. Pengertian dan Dasar Hukum Wadi’ah Wadi’ah berasal dari bahasa arab. Berakar dari kata wad’u berarti meninggalkan dan wadi’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang ditinggalkan pada orang yang bukan pemiliknya untuk dijaga.1 Wadi’ah menurut bahasa adalah wadi’a asyai yang berarti meninggalkannya. Dinamai wadi’a asyai karena sesuatu yang ditinggalkan seseorang pada orang lain untuk dijaga dengan sebutan qadi’ah lantaran ia meninggalkannya pada orang yang menerima titipan.2 Barang yang dititipkan disebut ida’, orang yang menitipkan barang disebut mudi’ dan orang yang menerima titipan barang disebut wadi’. Dengan demikian maka wadi’ah menurut istilah adalah akad antara pemilik barang (mudi’) dengan penerima barang titipan (wadi’) untuk menjaga harta atau modal (ida’) dari kerusakan atau kerugian dan untuk keamanan harta.3 Dalam tradisi fiqh Islam prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan prinsip al-wadi’ah. Al-Wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.4
1
Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Bank Syari’ah, Jakarta, PT. Grasindo, 2005, hl.m. 196. 2 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz 13, Alih Bahasa Kamaluddin A. Marzuki, Andung: PT. Al-Ma’arif, 1997, hlm. 74. 3 Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syari’ah, Jakarta: Alvabet, Cet. Ke-2, 2003, hlm. 27. 4 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Suatu Pengenalan Umum, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, Cet. Ke-1, 1999, hlm. 121
17
18
Dasar hukum yang melandasi akad wadi’ah adalah : 1. Al-Qur’an
(58: )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ....ﺎﻫِﻠﻬ ﺕ ِﺇﻟﹶﻰ ﹶﺃ ِ ﺎﺎﻧﻭﺍ ﺍﹾﻟﹶﺄﻣﺆﺩ ﺗ ﻢ ﹶﺃ ﹾﻥ ﻛﹸﺮﻳ ﹾﺄﻣ ﻪ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat (titipan), kepada yang berhak menerima…”. (Q.S. AnNisa’ : 58)5
....ﻪ ﺭﺑ ﻪ ﺘ ِﻖ ﺍﻟﻠﱠﻴﻭﹾﻟ ﺘﻪﻧﺎﻦ ﹶﺃﻣ ِﻤﺅﺗ ﺩ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ﺍ ﺆ ﻀﹰﺎ ﹶﻓ ﹾﻠﻴﺑﻌ ﻢ ﻜﹸﻌﻀ ﺑ ﻦ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﹶﺃ ِﻣ... (283:)ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ Artinya : “…Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutang) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Tuhannya…”. (Q.S. Al-Baqarah : 283)6 2. Al-Hadits
ﻭﻗﻴﺲ ﻋﻦ ﺃﰉ. ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻃﻠﻖ ﺑﻦ ﻏﻨﺎﻡ ﻋﻦ ﺷﺮﻳﻚ.ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﻛﺮﻳﺐ ﺃﺩ. ﻡ. ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﱮ ﺹ: ﻭﻋﻦ ﺃﰉ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻗﺎﻝ, ﻋﻦ ﺃﰉ ﺻﻠﺢ,ﺣﺼﲔ .ﺍﻷﻣﺎﻧﺔ ﺍﱃ ﻣﻦ ﺍﺋﺘﻤﻨﻚ ﻭﻻﲢﻦ ﻣﻦ ﺧﺎﻧﻚ Artinya : “Diceritakan dari Abu Kuroib, diceritakan dari Tolkun bin Ghonnam dari Syarik dan Kois dari Abi Khasin, dari Abi Sholeh, dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda: Serahkanlah amanat kepada orang yang mempercayai anda dan janganlah anda mengkhianati orang yang menghianati anda.7 3. Kaidah Ushul Fiqh 5
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semaran: CV Toha Putra, 1989,
hlm. 128. 6 7
12.
Ibid. hlm. 71. Abu Isa Muhammad bin Isa bin Sauroh, Jami’us Shahih, Libanon: Dar al-Fikr, tt., hlm.
19
Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
ﺍﻻﺻﻞ ﰱ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ ﺣﱴ ﻳﺪﻝ ﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﺤﺮﱘ Artinya: “asal sesuatu adalah boleh, sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya.”8 Kandungan kaidah di atas, menunjukkan bahwa segala sesuatu yang belum ditunjuk oleh dalil yang tegas mengenai halal dan haramnya sesuatu tersebut hendaklah dikembalikan kepada ketentuan aslinya yaitu mubah.9 Kaidah tersebut di atas berlaku dalam lapangan muamalah atau urusan keduniaan, dimana hamba diberi banyak kebebasan untuk mencapai kemaslahatan dunia. Sampai pada saat sekarang ini belum ada dalil yang mengharamkan tentang wadi’ah jadi berdasarkan hadits di atas wadi’ah hukumnya adalah mubah (boleh) untuk mencapai kemaslahatan di dunia, bahkan wadi’ah hukumnya dapat berubah menjadi mandhub (disunnahkan) dalam rangka tolong menolong sesama manusia.
B. Rukun dan Syarat Wadi’ah Rukun wadi’ah ada 4 macam, yaitu: 1. Barang yang dititipkan (al wadi’ah)
8
Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-1, 2001, hlm. 58. 9 Ibid, hlm. 59.
20
2. Pemilik barang / orang yang bertindak sebagai pihak yang menitipkan (muwaddi’) 3. Pihak yang menyimpan / memberikan jasa custodian (mustawda’) 4. Ijab qabul (sighot)10 Syarat-syarat wadi’ah adalah sebagai berikut: 1. Barang titipan, syaratnya adalah Barang titipan itu harus jelas bisa dipegang dan dikuasai. Maksudnya barang titipan itu bisa diketahui jenisnya, identitasnya dan bisa dikuasai untuk dipelihara.11 Kalau ia menitipkan budak yang kabur dan tidak diketahui keberadaannya atau burung di udara yang tidak diketahui ke mana arahnya atau harta yang jatuh ke laut yang tidak diketahui l;etaknya maka ini tidak dijamin.12 2. Pemilik barang, syaratnya adalah Pemilik barang itu harus sudah baligh, berakal dan cerdas (dapat bertindak secara hukum), tidak sah penitipan jika dilakukan oleh anak kecil walaupun dia sudah baligh, hal itu disebabkan karena dalam akad wadi’ah banyak mengandung resiko penipuan, selain itu orang
yang
melakukan penitipan tersebut juga harus dapat bertindak secara hukum.13 3. Pihak yang menyimpan, syaratnya adalah
10
Sunarto Zulkifli, Panduang Praktis Perbankan Syari’ah, Jakarta: Zikrul Hakim, Cet. Ke-1, 2003, hlm. 34. 11 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalah), Edisi 1, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-1, 2003, hlm. 248. 12 Wiroso, op. cit., hlm. 199. 13 M. Ali Hasan, loc. cit
21
Bagi penerima titipan harus menjaga barang titipan tersebut dengan baik dan memelihara barang titipan tersebut di tempat
yang aman
sebagaimana kebiasaan yang lazim berlaku pada orang banyak berupa pemeliharaan.14 4. Ijab qabul Akad ijab qabul di dalam wadi’ah yaitu ijabnya diucapkan dengan perkataan dan qabulnya dilakukan dengan perbuatan. Akad ijab qobul antara penitip dengan penerima titipan dapat dilakukan secara jelas atau tersirat asalkan bisa menunjukkan kalau perbuatan tersebut akan mengakibatkan ijab qabul. Seperti contoh “perkataan penitip kepada seseorang (penerima titipan) “saya titipkan”, dan penerima tiitpan menerima maka sempurnalah ijab qabul titipan secara jelas, atau seseorang datang dengan membawa sebuah pakaian kepada seseorang, penitip berkata “ini titipan kepadamu”, dan penerima titipan diam maka sahlah ijab qobul titipan secara tersirat”.15
14
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Penterjemah Imam Ghazali Zaid, A. Zainudin, Jilid IV, Jakarta: Pustaka Amani, Cet. Ke-1, 1995, hlm. 467. 15 Wiroso, op. cit., hlm. 197.
22
C. Macam-macam Ketentuan dalam Akad Wadi’ah 1. Jaminan Orang yang menerima titipan tidak berkewajiban memberikan jaminan atas barang titipan, kecuali jika ia tidak melakukan kewajiban sebagaimana mestinya / melakukan kelalaian terhadap barang titipan tersebut.16 Jika seorang anak dibawah umur menitipkan harta, maka si penerima titipan harus menanggungnya, dan ia tidak boleh melepaskan tanggung jawab itu. Dan tidak ada tanggungan bagi anak di bawah umur atas barang yang dititipkan kepadanya baik karena disia-siakan atau tidak.17 Jika ia dititipi seekor binatang, lalu dia tidak memberi makan binatang itu hingga mati, maka ada tanggungan baginya atas kelalaiannya tersebut.18 Jikalau barang titipan itu telah bercampur dengan barang miliknya dan telah dipergunakan untuk diambil manfaatnya, maka ia harus menanggung barang tersebut .19 Penerima titipan harus menjaga dan memelihara barang titipan tersebut sesuai dengan keinginan penitip. Jika si penitip berkata: “jangan dikunci dengan dua kunci”, atau “jangan di tiduri ! ” Kemudian dilanggarnya, maka ia harus menaggung atas perbuatannya.20
16
Sayyid Sabiq, loc. cit. Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf, Al-Tanbih fii Fiqhi As-Syafi’i “Kunci Fiqh Syfi’i”, Penterjemah Moh. Hafid Abullah, Semarang: CV As-Syifa’, 1992, hlm. 159. 18 Ibid., hlm. 160. 19 Ibid, hlm. 161. 20 Ibid., hlm. 159. 17
23
Seluruh fuqaha sependapat bahwa tidak ada tanggungan atas pemilik titipan (orang yang dititipi) kecuali jika ia melakukan kesalahan. Hanya saja, mereka masih berselisih pendapat tentang hal-hal mana yang dianggap sebagai kesalahan dan yang tidak.21 2. Titipan sebagai Amanat Titipan itu merupakan amanat yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja penitip mengambilnya, mengenai dalil bagi status titipan ini sebagai
amanat,
fuqaha
Malik
mengatakan
bahwa
Allah
telah
memerintahkan agar mengembalikan amanat dan tidak memerintahkan agar mempersaksikannya. Oleh karenanya, pengakuan orang yang dititipi (al-mustauda’) bahwa ia telah mengembalikan titipan tersebut harus dipercayai, dan dibarengi dengan sumpahnya manakala orang yang menitipkan (al-mudi’) tidak mempercayai pengakuannya.22Jika orang yang diberi titipan mengaku bahwa barang titipan telah rusak tanpa adanya unsur kesengajaan darinya, maka ucapan yang disertai sumpah darinya diterima.23 Sedangkan orang yang menyerahkan amanat tersebut bukan karena orang yang memberikan semula, penyerahan tersebut harus dipersaksikan seperti halnya bagi wali anak Yatim. Demikianlah menurut pendapat Imam Malik. Jika tidak demikian, maka orang yang dititipi itu dibebani tanggungjawab untuk mengganti. Dan ini adalah maksud dari firman Allah surat An-Nisa’ ayat 6, yang berbunyi: 21
Ibnu Rusyd, op. cit., hlm. 466. Ibid, hlm. 463. 23 Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 75. 22
24
(6: )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ.... ﻢ ﻴ ِﻬﻋﹶﻠ ﻭﺍﺷ ِﻬﺪ ﻢ ﹶﻓﹶﺄ ﻬ ﺍﹶﻟﻣﻮ ﻢ ﹶﺃ ﻴ ِﻬﻢ ِﺇﹶﻟ ﺘﻌ ﺩﹶﻓ ﹶﻓِﺈﺫﹶﺍ... Artinya: “Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. (Q.S. An-Nisa’ : 6)24 3. Orang yang meninggal dunia dan terbukti padanya ada barang titipan pada orang lain Orang yang meninggal dunia dan terbukti padanya ada barang titipan orang lain dan barang tersebut diketemukan, maka itu merupakan hutangnya yang wajib dibayar oleh orang yang ditinggalkannya (ahli waris).25 Jika ternyata terdapat surat dengan tulisannya sendiri yang berisi pengakuan adanya suatu barang titipan, maka surat itu dijadikan pegangan. Karena tulisan sama persis dengan pengakuan, manakala ia ditulis dengan tangannya sendiri.26 Pihak yang menitipkan dan yang dititipi barang boleh saja membatalkan titipan itu kapan saja mereka menghendaki, dan jika salah seorang dari mereka meninggal dunia atau menjadi gila atau pingsan, maka batallah titipan barang tersebut.27 Pada dasarnya titipan atau wadi’ah itu adalah sebagai amanat yang ada pada orang yang dititipi dan ia berkewajiban menjaga dan mengembalikan pada saat pemiliknya meminta.28 4. Berbagai bentuk dalam akad wadi’ah 24
Dapertemen Agama RI, op. cit., hlm. 116. Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 76. 26 Ibid. 27 Imam Abu Ishaq bin Ali bin Yusuf, op. cit., hlm. 161. 28 Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 74. 25
25
Di zaman modern seperti sekarang ini konsep dari akad wadi’ah telah banyak diaplikasikan disegala sendi kehidupan manusia, dan yang paling jelas dapat kita lihat adalah praktek penyimpanan uang di bank. Adapun bentuk akad wadi’ah yang dipraktekkan di bank tersebut adalah penyimpanan uang yang terbagi menajdi 3 jenis yaitu: a. Untuk jangka waktu tertentu b. Dengan syarat penarikannya diberitahukan terlebih dahulu c.
Dalam peti besi.29 Al-Wadi’ah adalah perjanjian antara pemilik barang dengan
penyimpan dimana pihak penyimpan bersedia untuk menyimpan dan menjaga keselamatan barang yang dititipkan kepadanya.30 Terdapat dua jenis Wadi’ah a. Wadi’ah Yad Amanah Wadi’ah yad amanah adalah akad titipan dimana penerima titipan (custodian) adalah penerima kepercayaan (trustee), artinya ia tidak diharuskan mengganti segala resiko kehilangan, kerusakan yang terjadi pada titipan, kecuali bila hal itu terjadi karena akibat kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan atau bila status titipan telah berubah menjadi wadi’ah yad dhamanah.31 Dengan konsep al-wadi’ah yad amanah, pihak yang menerima tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang 29
Fuad Mohd Facruddin, Riba dalam Bank, Koperasi, Perseroan dan Asuransi, Bandung: PT. Al-Ma’arif, hlm. 121. 30 Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga terkait, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 31. 31 Zainul Arifin, op. cit., hlm. 28.
26
dititipkan tetapi harus benar-benar menjaganya sesuai kelaziman. Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan.32 Status penerima titipan berdasarkan wadi’ah yad amanah akan berubah menjadi wadi’ah yad dhamanah apabila terjadi salah satu dari dua hal ini: 1) Harta dalam titipan telah dicampur, dan 2) Custodian atau penerima titipan menggunakan harta titipan.33 b. Wadi’ah Yad Dhamanah Wadi’ah yad dhamanah adalah titipan dimana penerima titipan adalah penerima kepercayaan, yang sekaligus penjamin keamanan barang yang dititipkan. Penerima titipan bertanggungjawab penuh atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan tersebut.34 Mengacu pada pengertian wadi’ah yad dhamanah, lembaga keuangan sebagai penerima titipan dapat memanfaatkan al-wadi’ah sebagai tujuan untuk giro, dan tabungan berjangka. Sebagai konsekuensinya semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik lembaga keuangan (termasuk penanggung semua kemungkinan kerugian). Sebagai imbalan, si penitip mendapat jaminan keamanan terhadap hartanya, demikian juga fasilitas-fasilitas
32
Muhammad Syafi’i Antonio, op. cit., hlm. 123. Zainul Arifin, loc. cit. 34 Ibid. 33
27
giro lainnya.35 Lembaga keuangan sebagai penerima titipan sekaligus juga pihak yang telah memanfaatkan dana tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal atau persentase secara advance, tetapi betul-betul merupakan kebijaksanaan dari manajemen lembaga keuangan tersebut.36 Bentuk-bentuk lain dari aplikasi akad wadi’ah ini, ada dibeberapa bentuk produk perbankan, jika dalam bank konvensional dikenal dengan adanya “giro”, tabungan dan deposito, dalam bank konvensional ini prinsip operasionalnya menggunakan sistem bunga. Kalau dalam bank syari’ah penghimpunan dananya juga disebut dengan giro, tabungan, dan deposito. Sesuai dengan namanya bank syari’ah prinsip operasionalnya yang digunakan juga secara syari’ah. Dalam hal ini dewan syari’ah Nasional telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa giro yang dibenarkan secara syari’ah adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip wadi’ah dan mudharabah.37 Prinsip wadi’ah yang biasa diterapkan dalam lembaga keuangan syari’ah adalah menggunakan wadi’ah yad dhamanah, yang mana pihak yang dititipi bertanggung jawab atas keutuhan harta titipan sehingga ia boleh memanfaatkan harta titipan tersebut.38
35
Muhammad Syafi’i Antonio, loc. cit. Ibid., hlm. 124. 37 Adiwarman Karim, Bank Islam; Analisis Fiqh dan Keungan, Edisi 2, Jakrta, PT. Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-2, 2004, hlm. 265. 38 Ibid., hlm. 97. 36
28
Dalam mengaplikasikan prinsip mudharabah, penyimpanan atau deposan bertindak sebagai shahibul maal (pemilik modal) dan lembaga keuangan sebagi mudharib (pengelola).39 Ada dua jenis lembaga keungan yaitu lembaga keuangan syari’ah dan lembaga leuangan non syari’ah, maka terdapat dua sistem yang berbeda, dimana dalam lembaga keuangan non syari’ah dikenal dengan sistem bunga. Dalam hal bunga maka disitu terdapat pendapat mengenainya bahwa lembaga keuangan non syari’ah masa kini berjalan dengan sistem bunga, karena lembaga keuangan non syari’ah tersebut telah menetapkan jumlah bunga yang disodorkan di depan, hal itu merupakan riba, maka tidak berbeda bunga itu besar atau kecil.40 Keuntungan yang diberikan oleh lembaga keuangan non syari’ah dipandang riba, karena lembaga keuangan non syari’ah tersebut telah ditetapkan dan ditentukan lebih dahulu, maka sebagai alternatifnya adalah diciptakan lembaga keuangan syari’ah. Mendepositokan uang pada bank-bank ribawi, walaupun tanpa mengambil bunganya, tetap haram. Karena berarti membantu berlangsungnya pinjaman bunga yang dikeluarkan oleh lembaga keuangan tersebut. Tetapi ada yang berpendapat boleh mendepositokan uang dilembaga keuangan non syari’ah walaupun tidak ada kepentingan mendesak.41
39
Ibid., hlm. 98. Abu Sura’i dan Abdul Hadi, Ar Riba wa al-Qurudl, “Bunga Bank dalam Islam”, penterjemah M. Tolib, Surabaya: Al-Ikhlas, 1993, hlm. 211. 41 Ibid., hlm., 218. 40
29
Sementara itu para ulama fiqh modern berselisih pendapat tentang bunga, karena banyaknya nash dan bermacam ragamnya transaksi yang dijalankan oleh lembaga keuangan non syari’ah. Dalam pengertian seperti ini oleh sebagian ahli fiqh modern dipandang mutlak, sehingga mereka membenarkan pinjaman berbunga. Tetapi sebagian yang lain mengaharamkan hanya pada pinjaman konsumtif, karena dalam pinjaman jenis ini terjadi pemerasan. Adapun pinjaman produktif boleh, sebab peminjam mengelolanya untuk hal-hal yang menguntungkan dan menurut mereka membawa faedah.42
42
Ibid., hlm. 219.