BAB II KERANGKA TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Stakeholder Teori stakeholder mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingan sendiri namun harus memberikan manfaat bagi stakeholdernya. Dengan demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut (Ghozali dan Chariri, 2007). Rhenald Kasali sebagaimana dikutip oleh Wibisono (dalam Kirana, 2009), menyatakan bahwa yang dimaksud stakeholder adalah setiap kelompok yang berada di dalam maupun di luar perusahaan yang mempunyai peran dalam menentukan keberhasilan perusahaan. Mereka adalah pemasok, pelanggan, pemerintah, masyarakat lokal, investor, karyawan, kelompok politik, asosiasi perdagangan dan lainnya. Stakeholder
pada
dasarnya
dapat
mengendalikan
atau
memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi pemakaian sumber-sumber ekonomi yang digunakan oleh perusahaan. Oleh karena itu, power stakeholder ditentukan oleh besar kecilnya power yang dimiliki stakeholder atas sumber ekonomi tersebut (Ghozali dan Chariri, 2007). Power tersebut dapat berupa kemampuan untuk membatasi pemakaian sumber ekonomi yang terbatas (modal dan tenaga kerja), akses terhadap media yang berpengaruh, kemampuan untuk mengatur perusahaan,
atau juga kemampuan untuk mempengaruhi konsumsi atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan (Deegan, 2000). Guthrie, Petty dan Yongvanich (2004) menyatakan bahwa manajemen perusahaan diharapkan dapat melakukan aktivitas sesuai dengan yang diharapkan stakeholder dan melaporkannya kepada stakeholder. Pengungkapan informasi mengenai aktivitas perusahaan merupakan suatu alat manajemen untuk mengelola kebutuhan informasi yang dibutuhkan oleh berbagai kelompok stakeholder. Adanya teori stakeholder ini diharapkan dapat menjadi landasan bagi suatu perusahaan harus mampu untuk memberikan maanfaat bagi para stakeholdernya. Manfaat tersebut dapat diberikan dengan cara menerapkan program Corporate Social Responsibility (CSR). Program CSR yang dilakukan oleh perusahaan tersebut diharpakan akan dapat meningkatkan kesejahteraan tidak hanya bagi pemilik modal (investor dan kreditor) namun juga para karyawan, pelanggan, dan masyarakat lokal, sehingga diharapkan terjalin hubungan yang baik antara perusahaan dengan lingkungan sekitar. 2.1.2 Definisi Corporate Social Responsibility (CSR) Secara teoritis CSR merupakan inti dari etika bisnis, dimana suatu perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban-kewajiban ekonomis dan legal kepada pemegang saham (shareholders) tetapi perusahaan juga mempunyai kewajiban terhadap pihak lain yang berkepentingan (stakeholders) yang tidak dapat lepas dari kenyataan bahwa suatu perusahaan tidak bisa hidup, beroperasi dan bertahan serta memperoleh keuntungan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Sehingga CSR lebih menunjukkan kepedulian perusahaan terhadap kepentingan
pihak-pihak lain secara lebih luas (stakeholders) daripada hanya sekedar kepentingan perusahaan itu sendiri (Utama, 2007). The World Business Council for Sustainable Development (dalam Moir, 2001)
mendefinisikan
CSR
sebagai
komitmen
perusahaan
untuk
mempertanggungjawabkan dampak operasinya dalam dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan serta terus menerus dampak tersebut memberikan manfaat kepada masyarakat dan lingkungan. CSR merupakan komitmen berkelanjutan dari perusahaan untuk berperilaku dengan etis dan memberikan kontribusi kepada pengembangan ekonomi sekaligus meningkatkan kualitas hidup tenaga kerja dan keluarganya. Demikian pula terhadap masyarakat sekitar tempat perusahaan beroperasi dan terhadap masyarakat luas. Definisi tersebut menunjukkan bahwa adanya perubahan paradigma yakni perubahan dari pandangan tradisional terhadap bisnis yang hanya mementingkan perolehan profit. Praktik bisnis pada masa sekarang ini tidak terbatas pada tujuan pembuatan profit tetapi juga meliputi elemen CSR dan akuntabilitas (Ghozali dan Chariri, 2007). Effendi (2009) mengatakan bahwa terdapat dua hal yang mendorong perusahaan menerapkan CSR, yaitu faktor yang berasal dari luar perusahaan (external drivers) dan dari dalam perusahaan (internal drivers). Yang termasuk ke dalam faktor pendorong dari luar perusahaan adalah adanya regulasi, hukum dan diwajibkannya analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dari operasi perusahaan. Sedangkan faktor yang berasal dari dalam perusahaan antara lain nilai, kebijakan manajemen, strategi dan tujuan perusahaan.
2.1.3 Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) Menurut Ghozali dan Chariri (2007), pengungkapan (disclosure) berarti tidak menutupi atau tidak menyembunyikan. Apabila dikaitkan dengan laporan keuangan, laporan keuangan harus memberikan informasi dan penjelasan yang cukup mengenai hasil aktivitas suatu unit usaha. Sedangkan pengungkapan sosial adalah pengungkapan informasi tentang aktivitas perusahaan yang berhubungan dengan lingkungan sosial perusahaan. Pengungkapan sosial dapat dilakukan melalui berbagai media antara lain laporan tahunan, laporan interim atau laporan sementara, prospektus, pengumuman kepada bursa efek atau melalui media masa. Menurut Purwanto (2011), di Indonesia, pengungkapan pertanggung jawaban sosial merupakan praktik pengungkapan yang wajib (mandatory disclosure) dilaksanakan bagi perusahaan karena telah diatur dalam beberapa peraturan dan perundangan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pada pasal 66 ayat 1 menyatakan bahwa hal-hal yang harus dimuat dalam laporan tahunan perusahaan diantaranya adalah pelaporan
pelaksanaan
tanggung
jawab
sosial
perusahaan.
Pedoman
pengungkapan pertanggungjawaban sosial di Indonesia dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia yaitu dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 1 (Revisi 2009) paragraf 12, yang berbunyi sebagai berikut: “Entitas dapat pula menyajikan, terpisah dari laporan keuangan, laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), khususnya bagi industri dimana faktor-faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap karyawan sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting”.
PSAK No. 1 (Revisi 2009) tersebut menunjukkan bahwa perusahaan yang ada di Indonesia diberikan suatu kebebasan dalam mengungkapkan informasi tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam laporan tahunan perusahaan. Peraturan mengenai perlunya pengungkapan oleh perusahaan juga diberikan oleh Bapepam. Bapepam selaku lembaga yang mengatur dan mengawasi pelaksanaan pasar modal dan lembaga keuangan di Indonesia telah mengeluarkan beberapa aturan mengenai pengungkapan (disclosure) yang harus dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang go public. Peraturan tersebut, yaitu dalam Peraturan Bapepam No. VIII G.2 mengenai annual report, dimaksudkan untuk melindungi para pemilik modal dari adanya asimetri informasi (Purwanto, 2011). 2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) 2.1.4.1 Tipe Industri Menurut Utomo (2000), para peneliti akuntansi sosial tertarik untuk menguji pengungkapan sosial pada berbagai perusahaan yang memiliki perbedaan karakteristik. Salah satu perbedaan karakteristik yang menjadi perhatian adalah tipe industri, yaitu industri yang high profile dan low profile. Perusahaan yang termasuk dalam tipe industri high profile merupakan perusahaan yang mempunyai tingkat sensitivitas tinggi terhadap lingkungan, tingkat risiko politik yang tinggi, atau tingkat kompetisi yang kuat (Utomo, 2000). Selain itu, perusahaan yang termasuk kategori high profile umumnya merupakan perusahaan yang memperoleh sorotan dari masyarakat karena aktivitas operasi
perusahaan memiliki potensi dan kemungkinan berhubungan dengan kepentingan masyarakat luas. Industri high profile diyakini melakukan pengungkapan pertanggungjawaban sosial yang lebih banyak daripada industri yang low profile. Dimana perusahaan low profile ini memiliki tingkat sensitivitas yang rendah terhadap lingkungan, tingkat risiko politik, dan tingkat kompetisi yang rendah, sehingga tidak terlalu mendapat sorotan dari masyarakat luas mengenai aktivitas perusahaannya meskipun dalam melakukan aktivitasnya tersebut perusahaan melakukan kesalahan atau kegagalan pada proses maupun hasil produksinya. Adapun perusahaan yang tergolong dalam industri high profile pada umumnya memiliki karakteristik seperti memiliki jumlah tenaga kerja yang besar dan dalam proses produksinya mengeluarkan residu, seperti limbah dan polusi (Zuhroh dan Sukmawati, 2003). Perusahaan yang dikategorikan sebagai high profile antara lain perusahaan perminyakan dan pertambangan lain, kimia, hutan, kertas, otomotif, penerbangan, agribisnis, tembakau dan rokok, produk makanan dan minuman, media dan komunikasi, energi (listrik), engineering, kesehatan serta transportasi dan pariwisata. Sedangkan kelompok industri low profile terdiri dari bangunan, keuangan dan perbankan, supplier peralatan medis, properti, retailer, tekstil dan produk tekstil, produk personal, dan produk rumah tangga (Sembiring, 2006). 2.1.4.2 Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan merupakan variabel yang banyak digunakan untuk menjelaskan pengungkapan sosial yang dilakukan perusahaan dalam laporan tahunan yang dibuat. Secara umum perusahaan besar akan mengungkapkan
informasi lebih banyak daripada perusahaan kecil. Hal ini karena perusahaan besar akan menghadapi resiko politis yang lebih besar dibanding perusahaan kecil. Secara teoritis perusahaan besar tidak akan lepas dari tekanan politis, yaitu tekanan untuk melakukan pertanggungjawaban sosial. Pengungkapan sosial yang lebih besar merupakan pengurangan biaya politis bagi perusahaan (Hasibuan, 2001) Ukuran perusahaan dapat digunakan untuk menjelaskan mengenai variasi pengungkapan dalam laporan tahunan perusahaan. Terdapat beberapa penjelasan mengenai pengaruh ukuran perusahaan terhadap kualitas pengungkapan. Beberapa asumsi menyatakan bahwa perusahaan kecil akan mengungkapkan lebih rendah kualitasnya dibandingkan perusahaan besar. Hal ini karena ketiadaan sumber daya dan dana yang cukup besar dalam laporan tahunan. Perusahaan yang berukuran lebih besar cenderung memiliki public demand akan informasi yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan kecil. 2.1.4.3 Leverage Leverage merupakan alat untuk mengukur seberapa besar perusahaan tergantung pada kreditur dalam membiayai aset perusahaan. Perusahaan yang mempunyai tingkat leverage tinggi berarti sangat bergantung pada pinjaman luar untuk membiayai asetnya. Sedangkan perusahaan yang mempunyai tingkat leverage lebih rendah lebih banyak membiayai asetnya dengan modal sendiri. Tingkat leverage perusahaan menggambarkan risiko keuangan perusahaan (Jensen & Meckling, 1976).
Menurut Belkaoui dan Karpik (1989) semakin tinggi tingkat leverage (rasio utang/ekuitas) semakin besar kemungkinan perusahaan akan melanggar perjanjian kredit, sehingga perusahaan akan berusaha untuk melaporkan laba sekarang yang lebih tinggi dengan cara mengurangi biaya-biaya, termasuk biaya untuk mengungkapkan informasi sosial. Pada dasarnya, perusahaan akan lebih terdorong dalam mengungkapkan CSR yang lebih luas apabila perusahaan tersebut memiliki rasio leverage yang tinggi, hal tersebut bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan
informasi
kreditur,
karena
kreditur
memerlukan
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan sebagai informasi untuk mengavaluasi risiko perusahaan secara benar. 2.1.4.4 Profitabilitas Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dengan menggunakan sumber-sumber yang dimiliki perusahaan, seperti aktiva, modal atau penjualan (Sudana, 2009). Profitabilitas menunjukkan seberapa besar kinerja keuangan perusahaan dalam menghasilkan atau memperoleh keuntungan. Profitabilitas merupakan faktor yang membuat manajemen menjadi bebas dan fleksibel untuk mengungkapkan pertanggungjawaban sosial kepada pemegang saham (Anggraini, 2006). Sehingga semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan, semakin besar pengungkapan pertanggungjawaban. Dengan demikian pengukuran profitabilitas suatu perusahaan menunjukkan tingkat efektifitas manajemen secara menyeluruh dan secara tidak langsung. Para investor jangka panjang akan sangat berkepentingan dengan analisis ini. Selain itu keuntungan (profitabilitas) sangat penting bagi perusahaan bukan saja untuk terus
mempertahankan pertumbuhan bisnisnya namun juga memperkuat kondisi keuangan perusahaan. 2.2 Pengembangan Hipotesis 2.2.1 Pengaruh Tipe Industri Terhadap Corporate Social Responsibility (CSR) Tipe industri merupakan karateristik yang dimiliki oleh perusahaan yang berkaitan dengan bidang usaha, risiko usaha, karyawan yang dimiliki dan lingkungan perusahaan. Tipe industri didefinisikan sebagai faktor potensial yang mempengaruhi praktek pengungkapan sosial perusahaan. Dalam penelitian yang sudah dilakukan oleh Sembiring (2005) variabel tipe industri yang dikelompokkan dalam industri high profile dan low profile memberikan hasil yang signifikan. Hal tersebut dikarenakan perusahaan yang bertipe high profile dalam melakukan aktivitasnya banyak memodifikasi lingkungan, dan menimbulkan dampak sosial yang negatif terhadap masyarakat. Hal tersebut juga berlaku dalam penelitian Robert (1992) yang menunjukkan bukti empiris bahwa tipe industri memiliki pengaruh signifikan terhadap pengungkapan pertanggungjawaban sosial. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah : H1 = Tipe Industri berpengaruh positif terhadap Corporate Social Responsibility (CSR) 2.2.2
Pengaruh
Ukuran
Responsibility (CSR)
Perusahaan
Terhadap
Corporate
Social
Ukuran perusahaan merupakan variabel penduga yang banyak digunakan untuk menjelaskan variasi pengungkapan dalam laporan tahunan perusahaan. Pada umumnya, perusahaan besar mengungkapkan informasi yang lebih banyak daripada perusahaan kecil. Perusahaan besar merupakan emiten yang paling banyak disoroti oleh publik sehingga pengungkapan yang lebih besar merupakan pengurangan biaya politis sebagai wujud tanggung jawab sosial perusahaan (Sembiring, 2005). Beberapa penelitian mengenai variabel ukuran perusahaan terhadap CSR telah banyak dilakukan. Salah satu penelitian yang sudah dilakukan adalah penelitian Ho dan Taylor (2007) menunjukkan adanya hubungan positif signifikan antara ukuran perusahaan dengan pengungkapan tanggung jawab sosial. Serta, dalam penelitian lain yang dilakukan Purwanto (2011) yang memasukkan variabel ukuran perusahaan ke dalam penelitiannya yang dikaitkan dengan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan tetapi menggunakan kriteria sampel yang berbeda, yaitu perusahaan non keuangan yang terdaftar di BEI pada tahun 2009. Hasilnya adalah Purwanto (2011) juga menemukan hubungan yang positif signifikan terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah : H2 = Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap Corporate Social Responsibility (CSR) 2.2.3 Pengaruh Leverage Terhadap Corporate Social Responsibility (CSR)
Perusahaan dengan rasio leverage yang tinggi memiliki kewajiban untuk melakukan pengungkapan yang lebih luas daripada perusahaan dengan rasio leverage yang rendah. Semakin luas pengungkapan, maka makin banyak informasi yang dapat diperoleh investor, hal ini dilakukan supaya investor dapat memperoleh keyakinan atas terjaminnya hak mereka sebagai kreditur (Marbun, 2008 dalam Anugrah, Hutabarat, dan Faradilla, 2010). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hasibuan (2001) yaitu “Pengaruh Karakteristik Perusahaan Terhadap Pengungkapan Sosial” menghasilkan bahwa leverage berpengaruh signifikan terhadap CSR. Penelitian lain yang berhasil menemukan pengaruh antara kedua variabel tersebut adalah Giannarakis (2014). Penelitian yang dilakukan oleh Nur dan Priantinah (2012) leverage berpengaruh signifikan dan negatif, karena manajemen dengan tingkat leverage yang tinggi cenderung mengurangi pengungkapan tanggung jawab sosial yang dibuatnya agar tidak menjadi sorotan dari para debtholders. Selain itu, semakin tinggi tingkat leverage, maka semakin besar kemungkinan perusahaan akan melanggar perjanjian kredit sehingga perusahaan akan berupaya untuk melaporkan laba sekarang lebih tinggi dibandingkan laba di masa depan. Dengan laba yang dilaporkan lebih tinggi akan mengurangi kemungkinan perusahaan melanggar perjanjian kredit. Supaya laba yang dilaporkan tinggi maka manajer harus mengurangi biaya-biaya, termasuk biaya untuk mengungkapkan informasi sosial. Seiring dengan teori stakeholder, bahwa perusahaan dengan tingkat leverage tinggi diduga akan melakukan pengungkapan CSR yang semakin banyak
untuk mengurangi asimetri informasi yang mungkin mengakibatkan menguatnya tekanan kreditur dan investor terhadap perusahaan. Dengan diberikan disclose informasi seperti CSR diharapkan pihak-pihak seperti kreditor dan investor dapat melihat hal tersebut sebagai jaminan atas going concern perusahaan sehingga haknya sebagai kreditor dan investor tetap terjamin dan tidak memberikan tekanan yang lebih besar ke perusahaan. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah : H3 =
Leverage
berpengaruh
positif
terhadap
Corporate
Social
Responsibility (CSR) 2.2.4 Pengaruh Profitabilitas Terhadap Corporate Social Responsibility (CSR) Profitabilitas merupakan faktor yang membuat manajemen menjadi bebas dan fleksibel untuk mengungkapkan
pertanggungjawaban sosial kepada
pemegang saham, sehingga semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan maka akan semakin besar pula pengungkapan informasi sosialnya (Marbun, 2008 dalam Anugrah, et al., 2010). Dengan semakin meningkatnya profit suatu perusahaan, maka cadangan dana untuk melakukan aktivitas pengungkapan CSR akan semakin besar, hal tersebut karena biaya untuk pelaksanaan pengungkapan CSR sudah tersedia. Menurut Anggraini, Rafika dan Yulius (2014) berdasarkan teori stakeholders, pengungkapan CSR dilakukan untuk menyeimbangkan konflik antar stakeholders.
Dengan
adanya
pengungkapan
CSR,
stakeholders
dapat
mengevaluasi dan mengetahui sejauh mana perusahaan dalam melaksanakan
peranannya sesuai dengan keinginan stakeholders, sehingga menuntut adanya akuntabilitas perusahaan atas kegiatan CSR yang telah dilakukannya. Dalam hal ini, perusahaan dapat menyesuaikan mengenai banyak sedikitnya pengungkapan CSR berdasarkan kebutuhannya akan konflik tiap stakeholders. Dalam penelitian Susilatri dan Indriani (2011) menemukan hubungan postif signifikan antara CSR dan profitabilitas. Penelitian ini dilakukan pada perusahaan pertambangan yang listing di BEI tahun pengamatan periode 20042008. Semakin besar keuntungan yang diperoleh semakin besar kemampuan perusahaan untuk membayarkan dividennya. Para manajer tidak hanya mendapatkan dividen, tapi juga akan memperoleh power yang lebih besar dalam menentukan kebijakan perusahaan. Hasil tersebut juga sejalan dengan penelitian Giannarakis (2014) yang menemukan bahwa profitabilitas berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah : H4 = Profitabilitas berpengaruh positif terhadap Corporate Social Responsibility (CSR
2.3 Skema Konseptual Penelitian Variabel Independen Tipe Industri Ukuran Perusahaan Leverage
Profitabilitas
Variabel Dependen H1(+) H2(+) H3(+)
Corporate Social Responsibility (CSR)
H4(+) Gambar 2.1
Penelitian ini menguji pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai variabel dependen, sedangkan tipe industri, ukuran perusahaan, leverage, dan profitabilitas sebagai variabel independen.