27
BAB II KEDUDUKAN HUKUM AHLI WARIS GOLONGAN II SETELAH TERBITNYA PENETAPAN PENGESAHAN YANG DILAKUKAN SETELAH PEWARIS MENINGGAL DUNIA
A. Pewarisan Dalam Sistem Hukum Perdata 1. Prinsip Pewarisan Perdata Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih memakai ketentuan-ketentuan
yang
terdapat
dalam
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Perdata/KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek/BW). Dalam KUH Perdata hukum waris merupakan bagian dari hukum harta kekayaan sehingga pengaturan hukum terdapat dalam Buku Ke II KUH Perdata tentang Benda. “Hukum Waris erat hubungannya dengan Hukum Keluarga, karena seluruh masalah mewaris yang diatur undang-undang didasarkan atas hubungan kekeluargaan sedarah karena perkawinan”.38 “Hukum Waris sebagai bidang yang erat kaitannya dengan hukum keluarga adalah salah satu contoh klasik dalam kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen yang tidak mungkin dipaksakan agar terjadi unifikasi”.39 Hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disebut KUH Perdata) adalah kumpulan peraturan yang mengatur mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orangorang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.40 38 Pitlo, Hukum Waris Buku Kesatu, diterjemahkan oleh F. Tengker, PT. Cipta Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 8 39 Erman Suparman, Hukum Perselisihan, Refika Aditama, Jakara, 2005, hal. 128 40 A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Terjemahan M. Isa Arief, Intermasa, Jakarta, 1979, hal. 1.
27
Universitas Sumatera Utara
28
Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki atau perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan maupun hak-hak yang diperoleh beserta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan selama hidupnya, baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat wasiat. Dasar hukum bagi ahli waris untuk mewarisi sejumlah harta pewaris menurut sistem hukum waris KUH Perdata adalah sebagai berikut : a. Menurut ketentuan undang-undang. b. Ditunjuk dalam surat wasiat”.41 Dasar hukum tersebut menentukan bahwa untuk melanjutkan kedudukan hukum bagi harta seseorang yang meninggal, sedapat mungkin disesuaikan dengan kehendak dari orang yang meninggal itu. Undang-undang berprinsip bahwa seseorang bebas menentukan kehendaknya tentang harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia. Namun, bila orang dimaksud tidak menentukan sendiri ketika ia masih hidup tentang apa yang akan terjadi terhadap harta kekayaannya, dalam hal demikian undang-undang kembali akan menentukan perihal pengaturan harta yang ditinggalkan oleh seseorang dimaksud. Di samping itu, peraturan perandang-undangan yang menjadi dasar hukum bagi seseorang yang akan menjadi ahli waris terhadap seseorang yang meninggal dunia adalah surat wasiat. “Surat wasiat atau testamen adalah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia”.42 “Sifat utama
41 42
R Subekti, Op. cit., hal. 78. R Subekti, Ibid., hal. 88
Universitas Sumatera Utara
29
surat wasiat adalah mempunyai kekuatan berlaku sesudah pembuat surat wasiat meninggal dunia dan tidak dapat ditarik kembali”.43 Selama pembuat surat wasiat masih hidup, surat wasiat masih dapat diubah atau dicabut, sedangkan setelah pembuat wasiat meninggal dunia maka surat wasiat tidak dapat diubah, dicabut dan ditarik kembali oleh siapa pun termasuk yang menjadi ahli waris. Kekayaan dalam pengertian waris adalah sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia berupa kumpulan aktiva dan pasiva. Namun, pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya, yang dinamakan pewarisan, terjadi karena adanya kematian. Oleh karena itu, unsur-unsur terjadinya pewarisan mempunyai tiga persyaratan sebagai berikut: a.
ada orang yang meninggal dunia;
b.
ada orang masih hidup, sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia;
c.
ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris.44 Hukum waris menurut KUH Perdata berlaku asas “apabila seseorang
meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya”45 sebagaimana diatur dalam Pasal 833 jo Ps. 955 KUH Perdata. Hak-hak dan kewajiban dimaksud, yang beralih kepada ahli waris adalah termasuk ruang lingkup harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. 43
Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 85 Zainuddin Ali, Op cit, hal. 82 45 R. Subekti, Op cit, hal. 79. 44
Universitas Sumatera Utara
30
“Sekalipun redaksi pasal-pasal tersebut hanya berbicara tentang aktiva warisan saja, namun di dalam doktrin dari pasal-pasal tersebut ditafsirkan, bahwa yang beralih adalah baik aktiva maupun pasiva warisan”.46 Menurut Pasal 830 KUH Perdata : “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian.“ Jadi harta peninggalan atau warisan baru terbuka kalau si pewaris sudah meninggal dunia dan si ahli waris masih hidup saat warisan terbuka. M. Idris Ramulyo mengutip pendapat Wirjono Prodjodikoro yang menyatakan bahwa pengertian kewarisan menurut KUH Perdata memperlihatkan beberapa unsur, yaitu : a. Seorang peninggal warisan atau erflater yang pada wafatnya meninggalkan kekayaan. Unsur pertama ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana hubungan seseorang peninggal warisan dengan kekayaannya dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, di mana peninggal warisan berada. b. Seseorang atau beberapa orang ahli waris (erfgenaam) yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan itu. Hal ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana harus ada tali kekeluargaan antara peninggal warisan dan ahli waris agar kekayaan si peninggal warisan dapat beralih kepada si ahli waris. c. Harta Warisan (nalatenschap), yaitu wujud kekayaan yang ditinggalkan dan beralih kepada ahli waris. Ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana wujud kekayaan yang beralih itu, dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, dimana peninggal warisan dan ahli waris bersama-sama berada.47 Adapun syarat-syarat untuk memperoleh warisan adalah sebagai berikut : a.
Syarat yang berhubungan dengan pewaris
46
A. Pitlo, Op cit, hal. 58 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal 85 47
Universitas Sumatera Utara
31
Untuk terjadinya pewarisan maka si pewaris harus sudah meninggal dunia/mati, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 830 KUH Perdata. Matinya pewaris dalam hal ini dapat dibedakan menjadi : 1) Matinya pewaris diketahui secara sungguh-sungguh (mati hakiki), yaitu dapat dibuktikan dengan panca indra bahwa ia benar-benar telah mati. 2) Mati demi hukum, dinyatakan oleh Pengadilan, yaitu : tidak diketahui secara sungguh-sungguh menurut kenyataan yang dapat dibuktikan bahwa ia sudah mati. b.
Syarat yang berhubungan dengan ahli waris Orang-orang yang berhak/ahli waris atas harta peninggalan harus sudah ada atau masih hidup saat kematian si pewaris. Hidupnya ahli waris dimungkinkan dengan: 1) Hidup secara nyata, yaitu dia menurut kenyataan memang benar-benar masih hidup, dapat dibuktikan dengan panca indra. 2) Hidup secara hukum, yaitu dia tidak diketahui secara kenyataan masih hidup. Dalam hal ini termasuk juga bayi dalam kandungan ibunya (Pasal 1 ayat (2) KUH Perdata). “Menurut sistem hukum waris perdata, atas suatu pewarisan berlakulah
ketentuan
tentang
pewarisan
berdasarkan
Undang-undang,
kecuali
pewaris
mengambil ketetapan lain dalam surat wasiat”.48 Dalam hal ini terdapat asas yang penting dalam hukum waris perdata sebagaimana ditentukan dalam Pasal 847 KUH 48
J. Satrio, Op cit, hal. 17
Universitas Sumatera Utara
32
Perdata yang menentukan bahwa tiada seorangpun diperbolehkan bertindak untuk orang yang masih hidup selaku penggantinya. Ciri khas hukum waris perdata Barat antara lain adanya hak mutlak dari para ahli waris masing-masing untuk sewaktu-waktu menuntut pembagian dari harta warisan. Hal itu berarti bila seseorang ahli waris menuntut pembagian harta warisan di pengadilan, maka tuntutan dimaksud, tidak dapat ditolak oleh ahli waris yang lainnya. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 1066 KUH Perdata sebagai berikut : 1. Seseorang yang mempunyai hak atas sebagian dari harta peninggalan tidak dapat dipaksa untuk membiarkan harta benda peninggalan dalam keadaan tidak terbagi-bagi di antara para ahli waris yang ada. 2. Pembagian harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut walaupun ada perjanjian yang melarang hal tersebut. 3. Perjanjian penangguhan pembagian harta peninggalan dapat saja dilakukan hanya beberapa waktu tertentu. 4. Perjanjian penangguhan pembagian hanya berlaku mengikat selama lima tahun, namun dapat diperbarui jika masih dikehendaki oleh para pihak. “Selain itu, dalam KUH Perdata terdapat pula sebab-sebab ahli waris tidak patut atau terlarang (onwaardig) untuk menerima warisan dari si pewaris (Pasal 838, untuk ahli waris karena undang-undang dan Pasal 912 untuk ahli waris karena adanya wasiat)”.49 Menurut Pasal 838 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Ahli waris yang dinyatakan tidak patut untuk menerima warisan, adalah: a. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh si pewaris. b. Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena secara fitnah telah melakukan pengaduan terhadap si pewaris, ialah suatu pengaduan 49
Suparman Usman, Ikhtisar Hukum Waris Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Darul Ulum Press, Serang, 1993, hal 58
Universitas Sumatera Utara
33
telah melakukan kegiatan kejahatan yang diancam hukuman penjara lima tahun lamanya atau lebih berat. c. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiat. d. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si pewaris. Dalam hukum waris perdata berlaku asas-asas yaitu : a. Hanyalah hak-hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. b. Adanya Saisine bagi ahli waris, yaitu : sekalian ahli waris dengan sendirinya secara otomatis karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, dan segala hak serta segala kewajiban dari seorang yang meninggal dunia. c. Asas Kematian, yaitu ; Pewarisan hanya karena kematian. d. Asas Individual, yaitu : Ahli waris adalah perorangan (secara pribadi) bukan kelompok ahli waris. e. Asas Bilateral, yaitu : Seseorang mewaris dari pihak bapak dan juga dari pihak ibu. f. Asas Penderajatan, yaitu : Ahli waris yang derajatnya dekat dengan pewaris menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya.50 Di dalam KUH Perdata berlaku prinsip, bahwa dengan matinya pewaris, maka si mati berhenti sebagai persoon, dan semua hak dan kewajibannya beralih kepada ahli warisnya (Pasal 833 jo Pasal 955 KUH Perdata). Sekalipun redaksi pasal-pasal tersebut hanya berbicara tentang aktiva warisan saja, namun di dalam doktrin dari pasal-pasal tersebut ditafsirkan, bahwa yang beralih adalah baik aktiva maupun pasiva warisan. “Orang menggambarkannya dengan ungkapan le mort saisit le vif, si ahli waris melanjutkan persoon si pewaris. Hal ini berarti bahwa ahli-waris mengalihkan warisan dengan alas hak umum”.51
50
M. Idris Ramulyo, Op.Cit, hal 95-96 J. Satrio, Surat Keterangan Waris Dan Beberapa Permasalahannya, Pertemuan Notaris, Samarinda, 14 September 2004, hal. 3 51
Universitas Sumatera Utara
34
Pada asasnya yang beralih adalah seluruh kekayaan Pewaris, semua hak-hak dan kewajiban-kewajiban Pewaris dalam lapangan hukum kekayaan yang seringkali disebut dengan istilah “boedel warisan”. Boedel warisan meliputi, baik hak-hak maupun kewajiban-kewajiban Pewaris dalam lapangan Hukum Kekayaan. Jika seorang suami mengingkari keabsahan seorang anak (ahli waris), maka harus dibuat akte pengingkaran keabsahan anak dalam waktu 1 bulan jika ia berada di daerah kelahrian anak atau 2 bulan jika berada di luar daerah kelahiran anak. Jika dalam jangka watu tersebut suami meninggal, dan para ahli waris tidak melanjutkan pengingkaran tersebut maka tuntutan pengingkaran keabsahan anak tersebut menjadi gugur, sehingga dalam jangka watu 2 bulan anak tersebut dapat melakukan tuntutan hukum. Peralihan itu terjadi demi hukum, yang berarti, bahwa pada asasnya semuanya terjadi dengan sendirinya, tanpa si pewaris dan si ahli waris harus melakukan suatu tindakan atau mengambil sikap tertentu. Sudah cukup apabila pewarisnya meninggal dunia dan orang yang terpanggil untuk mewaris masih hidup, dengan pengecualian sebagai yang disebutkan dalam Pasal 2 KUH Perdata. Apabila prinsip tersebut dilaksanakan secara absolut, maka akan timbul ketidakadilan. Ketidakadilan akan muncul bagi ahli waris apabila warisannya negatif yaitu apabila hutang-hutang warisan lebih besar dari aktivanya. Selain itu ketidakadilan juga muncul apabila seseorang yang pada saat meninggalnya ahli waris, ia masih hidup, namun kemudian ia meninggal dunia dan memiliki keturunan. Berpegang pada asas tersebut di atas, maka si pewaris maupun keturunannya tidak mewaris dari pewaris.52
52
Ting Swan Tiong, Surat Keterangan Waris, Media. Notariat, No. 18 - 19 tahun VI - Januari 1991, hal. 160
Universitas Sumatera Utara
35
Terhadap kemungkinan munculnya ketidakadilan tersebut di atas, KUH Perdata ternyata memberikan kesempatan kepada ahli waris untuk menentukan sikapnya terhadap warisan yang terbuka, yaitu menerima atau menolak warisan, sedang untuk menghindarkan munculnya ketidak-adilan pada peristiwa yang disebut kedua, diciptakan lembaga penggantian tempat (plaatsvervuling). Apabila ahli waris tersebut menerima warisan, maka semua hak dan kewajiban pewaris, untuk suatu bagian tertentu, sesuai dengan hak bagian dalam pewarisan beralih kepada dirinya. Hak bagiannya atas harta warisan tersebut bercampur dengan harta pribadinya. Dalam hal hutang warisan lebih besar daripada aktivanya, maka kekurangannya untuk suatu bagian yang sebanding dengan haknya dalam pewarisan ditanggung/dibayar dengan harta pribadi ahli waris yang bersangkutan.53 Dengan demikian dalam hukum waris menurut KUH Perdata berlaku asas : 1.
Menolak warisan berarti menolak seluruh warisan sebagai satu kesatuan
2.
Mereka yang sudah menerima warisan tidak bisa menolak lagi. Untuk menghindari kerugian akibat adanya pewarisan, maka tersedia
lembaga: 1. Menerima secara beneficiair Ahli-waris yang menerima warisan secara beneficiair hanya mau menerima warisan, apabila aktivanya lebih besar dari pasivanya. Untuk menentukan sikap seperti itu, maka aktiva dan pasiva warisan harus didaftar. Itulah sebabnya, bahwa penerimaan warisan secara beneficiair disebut juga menerima warisan dengan hak utama untuk mengadakan pencatatan boedel. Terhadap ahli waris yang menerima warisan secara beneficiair, harta warisan yang jatuh kepada ahli waris yang bersangkutan untuk sementara tidak bercampur dengan harta pribadinya. 2. Menolak warisan Mereka yang menolak warisan dianggap tidak pernah menjadi ahli waris. Ia tidak menerima apa-apa dari warisan, tetapi ia juga tidak menanggung beban-
53
Ting Swan Tiong, Ibid, hal. 161
Universitas Sumatera Utara
36
beban warisan. Pada asasnya, mereka yang telah menolak warisan tidak bisa menerimanya lagi (vide perkecualian dalam Pasal 1056 KUH Perdata).54 2.
Status Sebagai Ahli Waris Ahli waris menurut KUH Perdata dapat diidentifikasi melalui adanya
hubungan sedarah, semenda (ikatan perkawinan), dan orang lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pewaris (melalui surat wasiat). Pasal 290 ayat (1) KUH Perdata: “keluarga sedarah adalah pertalian kekeluargaan antara mereka, yang mana yang satu adalah keturunan yang lain, atau yang semua mempunyai nenek moyang yang sama”. Sedangkan cara mengatur perderajatan diatur dalam Pasal 290 (2) KUH Perdata: “Pertalian keluarga sedarah dihitung dengan jumlah kelahiran dinamakan derajat”. Yang dimaksud garis lurus yaitu urutan perderajatan antara mereka yang satu adalah keturunan yang lain. Contohnya hubungan anak dengan orang tuanya. Sedangkan yang dimaksud garis menyamping yaitu urutan perderajatan antara mereka yang mana yang satu bukanlah keturunan yang lain, melainkan yang mempunyai nenek moyang yang sama (Pasal 291 KUH Perdata). Contohnya hubungan antara seseorang dengan saudara saudaranya. Undang-undang telah menetapkan tertib keluarga yang menjadi ahli waris, yaitu: Isteri atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli waris menurut undang undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan hubungan darah terdapat empat golongan, yaitu:
54
Ting Swan Tiong, Ibid, hal. 161
Universitas Sumatera Utara
37
a. Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan / atau yang hidup paling lama. Suami atau isteri yang ditinggalkan / hidup paling lama ini baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami / isteri tidak saling mewarisi; b. Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Bagi orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang dari ¼ (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewaris bersamasama saudara pewaris; c. Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris; d. Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam.55 Suatu surat wasiat seringkali berisi penunjukan seseorang atau beberapa orang ahli waris yang akan mendapat seluruh atau sebagian dari warisan. Akan tetapi seperti juga ahli waris menurut undang-undang atau ab intestato, ahli waris menurut surat wasiat atau ahli waris testamenter akan memperoleh segala hak dan segala kewajiban dari pewaris. Berdasarkan beberapa peraturan-peraturan yang termuat dalam KUHPerdata tentang surat wasiat, dapat disimpulkan bahwa yang diutamakan adalah ahli waris menurut undang-undang. Hal ini terbukti beberapa peraturan yang membatasi kebebasan seseorang untuk membuat surat wasiat agar tidak sekehendak hatinya. Ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata yang isinya membatasi seseorang pembuat surat wasiat agar tidak merugikan ahli waris menurut undang-undang antara lain dapat dilihat dari substansi Pasal 881 ayat (2) KUH Perdata, yaitu: “Dengan sesuatu pengangkatan waris atau pemberian hibah, pihak yang mewariskan atau
55
Ting Swan Tiong, Ibid, hal. 162-163
Universitas Sumatera Utara
38
pewaris tidak boleh merugikan para ahli warisnya yang berhak atas sesuatu bagian mutlak”. Seseorang yang akan menerima sejumlah harta peninggalan terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat, sebagai berikut: a. Harus ada orang yang meninggal dunia (Pasal 830 KUH Perdata); b. Harus ahli waris atau para ahli waris harus ada pada saat pewaris meninggal dunia. Ketentuan ini tidak berarti mengurangi makna ketentuan Pasal 2 KUH Perdata, yaitu: “anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendakinya”. Apabila ia meninggal saat dilahirkan, ia dianggap tidak pernah ada. Dengan demikian berarti bayi dalam kandungan juga sudah diatur haknya oleh hukum sebagai ahli waris dan telah dianggap cakap untuk mewaris; c. Seseorang ahli waris harus cakap serta berhak mewaris, dalam arti ia tidak dinyatakan oleh undang-undang sebagai seorang yang tidak patut mewaris karena kematian, atau tidak dianggap sebagi tidak cakap untuk menjadi ahli waris.56 Setelah terpenuhi syarat-syarat tersebut di atas, para ahli waris diberi kelonggaran oleh undang-undang untuk selanjutnya menentukan sikap terhadap suatu harta warisan. Ahli waris diberi hak untuk berfikir selama empat bulan setelah itu ia harus menyatakan sikapnya apakah menerima atau menolak warisan atau mungkin saja ia menerima warisan dengan syarat yang dinamakan “menerima warisan secara beneficiaire”, yang merupakan suatu jalan tengah antara menerima dan menolak warisan. Seorang yang menurut hukum waris berhak atas warisan, belum tentu berkedudukan sebagai ahli waris, karena kedudukannya sebagai ahli waris digantungkan kepada sikapnya terhadap warisan yang terbuka. Apabila ahli waris yang bersangkutan menerima warisan, maka ahli waris tersebut berkedudukan sebagai ahli waris, dan menerima semua hak dan kewajiban
56
J. Satrio, Op cit, hal. 23
Universitas Sumatera Utara
39
pewaris, yang tentu saja untuk bagian yang sebanding dengan haknya berdasarkan hukum waris.57 Dengan meninggalnya Pewaris maka warisan menjadi hak para ahli waris menurut undang-undang dan/atau berdasarkan wasiat, sehingga terhadap warisan yang terbuka, para ahli waris diberikan kesempatan untuk menyatakan sikapnya apakah menerima atau menolak warisan tersebut. “Penerimaan suatu warisan bisa terjadi baik dengan suatu pernyataan tegas-tegas atau secara diam-diam, yaitu disimpulkan dari tindakan dan sikapnya”.58 B. Penetapan Pengesahan Ahli Waris Pembuatan Surat Keterangan Hak Waris (SKHW) disebut juga dengan istilah Surat Bukti Waris, Keterangan Ahli Waris atau Surat Keterangan Waris menurut golongan penduduk didasarkan pada : 1. Asas konkordansi Pasal 13 Wet op de Grootboeken der Nationale Schuld (Undang-Undang tentang Buku Besar Perutangan Nasional) di Belanda; 2. Surat Edaran Departemen Dalam Negeri Direktorat Jenderal Agraria tanggal 20 Desember 1969 No. Dpt/12/63/69; 3. Fatwa Mahkamah Agung, atas permintaan dan ditujukan kepada Ny. Sri Redjeki Kusnun, SH, tertanggal Jakarta, 25 Maret 1991 No. KMA/041 /III/1991 jo. Surat Ketua Mahkamah Agung kepada Ketua Pengadilan Tinggi, Pengdilan Tinggi Agama, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama di seluruh Indonesia tertanggal Jakarta, 8 Mei 1991 No. MA/Kumdil/171/V/K/1991; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 42 ayat 1 juncto Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Negara Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997, Pasal 111 ayat 1 huruf c angka 4.59 57
Ting Swan Tiong, Op cit, hal. 162 Ting Swan Tiong, Ibid, hal. 162 59 Herlien Budiono, Menuju Keterangan Hak Waris yang Uniform (Wacana Pembuktian Sebagai Ahli Waris Dengan Akta Notaris), Kongres XX – Pembekalan dan Penyegaran pengetahuan Ikatan Notaris Indonesia, Royal Ballroom Hotel J.W Marriot, Surabaya, 29 Januari 2009, hal. 7-8 58
Universitas Sumatera Utara
40
Mengenai siapa ahli waris dari pewaris tertentu, ditetapkan oleh hukum yang berlaku bagi pewaris. Dalam praktek, untuk membuktikan kedudukan seseorang sebagai ahli waris, diperlukan suatu dokumen yang menjabarkan ketentuan hukum waris tentang hal itu, yang dapat dipakai sebagai pegangan oleh para ahli waris maupun pejabat-pejabat, yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum waris. Surat Keterangan Waris merupakan dokumen yang sangat penting dan dibutuhkan oleh para ahli waris pada umumnya. Selama ini pembuatan Surat Keterangan Waris bagi warganegara Indonesia penduduk asli adalah kewenangan regent atau kepala pemerintah setempat. Pembuktian sebagai ahli waris dibuat di bawah tangan, bermeterai oleh para ahli waris sendiri dengan 2 (dua) orang saksi dan diketahui atau dikuatkan oleh Lurah/Kepala Desa dan Camat setempat sesuai dengan tempat tinggal terakhir pewaris. Wewenang Kepala Desa/Lurah dan Camat menurat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah yang jelas secara tegas batasan kewenangannya diantaranya Pasal 126 ayat (2) dan ayat (3) (Camat)” dan Pasal 127 ayat 2 dan ayat 3 (Lurah), sedangkan wewenang Desa diatur Pasal 206 dan Pasal 207. Lurah/Kepala Desa dan Camat tunduk pada kaidah-kaidah dan berada dalam ruang lingkup Hukum Administrasi sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak tepat jika bukti ahliwaris yang berada dalam ruang lingkup Hukum Perdata harus
Universitas Sumatera Utara
41
disaksikan/diketahui dan dibenarkan serta ditandatangani oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Surat Keterangan Waris merupakan akta yang menetapkan siapa ahli waris pada saat pewaris meninggal dunia dan berapa hak bagiannya atas warisan. Surat Keterangan Waris pada umumnya dibuat atas permintaan satu atau beberapa diantara para ahli waris.
Sekalipun Surat Keterangan Waris mendapat pengakuan dalam
undang-undang maupun yurisprudensi, namun ternyata tidak ada suatu ketentuan umum yang mengatur bentuk dan isi Surat Keterangan Waris. “Surat Keterangan Waris yang dibuat oleh notaris di Indonesia, dibuat dengan mengikuti jejak para notaris seniornya, yang pada gilirannya mengikuti jejak dari para Notaris di Negeri Belanda”.60 Di Negeri Belanda Verklaring van Erfrecht termasuk dalam kelompok akta yang dikecualikan dari kewajiban pembuatan secara Notariil dalam bentuk minut. Walaupun tidak ada ketentuan umum yang mengatur tentang Surat Keterangan Waris tetapi ternyata ada suatu undang-undang, yang kebetulan mengandung suatu ketentuan yang mengatur peralihan hak atas obligasi negara yang terdaftar dalam buku besar dari pemiliknya kepada para ahli warisnya (Wet op de Grootboek der Nationale Schuld S. 1913 - 105), yang dalam Pasal 14 ayat (2) mengatakan, bahwa untuk itu harus dibuat suatu Surat Keterangan Waris (Verklaring van Erfrecht), dalam mana disebutkan antara lain pada pokoknya Verklaring van Erfrecht berisi tentang : 1. Siapa pewarisnya, kapan meninggal dan dimana domisili terakhirnya. 60
J. Satrio, Op cit, hal. 1
Universitas Sumatera Utara
42
2. Siapa ahli waris Pewaris dan berapa hak bagian masing-masing. 3. Ada tidaknya wasiat dan kalau ada, perlu ada penyebutannya secara rinci isi wasiat tersebut. 4. Hubungan kekeluargaan antara Pewaris dan para ahli waris. 5. Pembatasan-pembatasan kewenangan terhadap para ahli waris kalau ada. 6. Dibuat in originali.61 Pembuatan Surat Keterangan Waris oleh Notaris dengan mendasarkan pada ketentuan Wet op de Grootboek der Nationale Schuld seperti itu, walaupun tidak didasarkan atas suatu ketentuan umum yang secara khusus mengaturnya, tetapi karena telah dilaksanakan untuk waktu yang lama dan diterima, maka sekarang dapat dikatakan, bahwa praktek pembuatan Surat Keterangan Waris seperti itu sudah menjadi hukum kebiasaan. Jadi dari suatu ketentuan khusus telah ditarik menjadi suatu ketentuan umum.62 Berdasarkan apa yang disebutkan diatas, maka Surat Keterangan Waris yang dibuat oleh Notaris pada umumnya berbentuk pernyataan sepihak dari Notaris, dengan mendasarkan kepada keterangan-keterangan dan bukti-bukti (dokumendokumen) yang disampaikan atau diperlihatkan kepadanya, berisi data-data sebagai yang disyaratkan oleh Wet op de Grootboek der Nationale Schuld tersebut di atas. Kewenangan pembuatan Surat Keterangan Waris bagi mereka yang tunduk pada hukum waris yang diatur dalam KUH Perdata didasarkan pada asas konkordansi dengan Pasal 14 ayat (1) dan (3) Wet op de Grootboeken der Rationale Schuld (Stb. 1931-105) di Nederland yang kemudian diterima sebagai doktrin dan yurisprudensi di Indonesia dan dianggap sebagai hukum kebiasaan. Adapun terjemahan bebas dari Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3) Wet op de Grootboeken der Nationale Schuld adalah sebagai berikut: Pasal 14 ayat (1): 61 62
J. Satrio, Op cit, hal. 2 Ting Swan Tiong, Op cit, hal. 158
Universitas Sumatera Utara
43
Para ahli waris atau dalam hal seseorang sesuai dengan Pasal 524 BW (Ned) dengan keputusan pengadilan dinyatakan diduga meninggal, yang diduga ahli waris dari pewaris, yang mempunyai suatu hak terdaftar dalam buku-buku besar utang-utang nasional, harus membuktikan hak mereka dengan suatu keterangan hak waris setelah kematian atau diduga meninggalnya pewaris dibuktikan. Pasal 14 ayat (3): Jika suatu warisan terbuka di negeri ini (Nederland), keterangan hak waris dibuat oleh seorang notaris. Akta yang dibuat dari keterangan ini harus dikeluarkan in original. Sebenarnya Wet op de Grootboeken der Nationale Schuld bukan undangundang yang khusus mengatur wewenang notaris dalam pembuatan Surat Keterangan Waris, namun di dalam praktek dianggap sebagai dasar hukum kewenangan notaris dalam pembuatan Surat Keterangan Waris. Menurut Tan Thong Kie “selama ini pembuatan keterangan waris oleh seorang notaris di Indonesia tidak mempunyai dasar dalam undang-undang di Indonesia.”63 Demikian pula pendapat dari Ting Swan Tiong64 dan Oe Siang Djie.65 Akibatnya di dalam praktek ditemukan bermacammacam bentuk Surat Keterangan Waris. Bagi warganegara Indonesia keturunan Tionghoa bentuk Surat Keterangan Waris selama ini dibuat dalam bentuk suatu keterangan di bawah tangan yang dibuat oleh notaris, namun ada sejumlah notaris membuat dalam bentuk minuta dari keterangan yang diberikan oleh para saksi, sedangkan Surat Keterangan Waris dalam 63 Tan Thong Kie, Studi Notarial dan Serba-Serbi Praktek Notaris, P.T. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta 1994, hal. 362 64 Ting Swan Tiong, Op cit, hal. 13 65 Oe Siang Djie, Tentang Surat Keterangan Hak Waris, Media Notarial, No. 18-19, JanuariApril 1991, hal. 4
Universitas Sumatera Utara
44
bentuk keterangan dibawah tangan yang dibuat notaris. Bentuk surat keterangan sedemikian tidak masuk dalam golongan akta otentik menurut ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata dimana akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang untuk itu dalam bentuk yang ditetapkan oleh UndangUndang dan dalam wilayah kewenangannya. Lagipula kekuatan pembuktiannya tetap sebagai akta di bawah tangan. “Adapula notaris yang membuat Surat Keterangan Waris dengan minuta yang isinya adalah keterangan yang diberikan oleh saksi dan kesimpulan berupa siapa ahli waris dan bagian warisnya diberikan oleh notaris dengan alasan untuk memudahkan pemegang protokol untuk membuat salinan jika di kemudian hari ada yang memintanya”.66 Mengenai Surat Keterangan Waris sampai saat ini tidak ada peraturan yang mengatur secara spesifik. Dalam prakteknya dibedakan dengan dua istilah yang hampir sama tetapi berbeda dari Instansi yang mengeluarkan Surat Keterangan Waris tersebut. Surat Keterangan Hak Waris biasanya dibuat oleh Notaris yang berisikan keterangan mengenai pewaris, para ahli waris dan bagian-bagian yang menjadi hak para ahli waris berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.67 Surat Keterangan Hak Waris tersebut sebagai awal bagi kelanjutan dibuatnya Akta pembagian Harta Peninggalan. Berdasarkan Surat Keterangan Hak Waris tersebut nantinya akan dibuat suatu akta yang berisikan rincian pembagian harta peninggalan dari Pewaris misalnya rumah, tanah dan sebagainya (akta Pembagian Pemisahan Harta Peninggalan). Dalam akta tersebut akan disebutkan nama-nama ahli waris berikut harta peninggalan yang menjadi bagiannya.68
66
Tan Thong Kie, Op cit, hal. 355-356. http://herman-notary.blogspot.com/2009/06/surat-keterangan-waris.html, Surat Keterangan Waris, dipublikasikan tanggal 8 Juni 2009, diakses tanggal 1 Maret 2011 68 http://herman-notary.blogspot.com/2009/06/surat-keterangan-waris.html, Ibid 67
Universitas Sumatera Utara
45
Namun dalam praktek sehari-harinya lebih banyak ditemui berupa Surat Keterangan Waris. Surat Keterangan Waris ini secara umum hanya berisikan keterangan dan pernyataan dari para ahli waris bahwa mereka adalah benar-benar merupakan ahli waris yang sah dari Pewaris yang telah meninggal dunia. Dibuat di bawah tangan
yang dikuatkan dan/atau dikeluarkan oleh
diketahui/dikuatkan
oleh
Camat,
untuk
keperluan-keperluan
Kelurahan dan tertentu
Surat
Keterangan tersebut dapat pula diwaarmerking oleh Notaris setelah adanya keterangan dari Kelurahan setempat. “Kegunaan Surat Keterangan Waris jenis ini biasanya untuk membuktikan bahwa benar ahli waris yang disebutkan dalam Surat Keterangan tersebut adalah ahli waris yang sah dari Pewaris”.69 C. Kedudukan Hukum Ahli Waris Golongan II Setelah Terbitnya Penetapan Pengesahan yang Dilakukan Setelah Pewaris Meninggal Dunia “Ahli waris golongan II merupakan ahli waris dalam garis lurus ke atas dari pewaris, yaitu bapak, ibu dan saudara-saudara si pewaris. Ahli waris ini baru dapat menjadi ahli waris apabila ahli waris golongan pertama tidak ada sama sekali dengan menyampingkan ahli waris golongan ketiga dan keempat”. 70 Jadi, apabila masih ada ahli waris golongan I, maka golongan I tersebut “menutup” golongan yang di atasnya. Mengenai ahli waris golongan kedua ini diatur dalam Pasal 854, 855, 856 dam 857 KUH Perdata. Menurut Pasal 854 KUH Perdata warisan golongan II
69
http://herman-notary.blogspot.com/2009/06/surat-keterangan-waris.html, Ibid Shandi Danuswarna, Hukum Waris Berdasarkan BW, http://www.docstoc.com/ docs/56795077/hukum-waris-bw, dipublikasikan tanggal 6 April 2009, diakss tanggal 1 Maret 2011 70
Universitas Sumatera Utara
46
diperoleh karena haknya sendiri, sedangkan menurut Pasal 855 sampai 857 diperoleh karena pergantian tempat (plaatsvervuling). Mengingat asas pergantian tempat ini merupakan penerobosan asas ketentuan yang mengatakan bahwa “yang berhak menerima warisan haruslah ahli waris yang masih hidup pada waktu si pewaris meninggal dunia (Pasal 836 KUH Perdata), juga asas ini seolah-olah menyalahi ketentuan bahwa “keluarga yang derajatnya lebih dekat akan menutup keluarga yang derajatnya lebih jauh”, padahal sesungguhnya asas ini, malahan menjadi solusi atas kedua ketentuan di atas, sebab bila kedua ketentuan di atas dijalankan secara ketat, maka dipastikan menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpatutan terhadap cucu yang orang tuanya lebih dahulu meninggal dunia daripada pewaris, sehingga si cucu tidak menerima harta warisan yang seharusnya orang tuanya terima sebagai ahli waris, hanya karena orang tuanya meninggal dunia lebih dahulu.71 “Dalam hukum perdata, mewarisi berarti menggantikan kedudukan orang yang meninggal terkait dengan hubungan hukum harta kekayaannya yang berkaitan erat dengan ke hendak terakhir orang yang meninggal tersebut. Kehendak terakhir inilah yang akan diperhitungkan sebagai sumber hukum pembagian waris perdata”.72 Kehendak terakhir orang yang telah meninggal dunia memiliki arti yang kompleks, baik dalam arti formal (dituangkan dalam akta yang dibuat dengan syarat terbentuknya) maupun dalam arti materiil (berupa kehendak atau kemauan orang yang telah meninggal terhadap hartanya. ”Terhadap arti materil ini kemudian
71 H. Hatpiadi, Beberapa Asas Hukum Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Hukum Islam Dan Hukum Adat, http://www.pa-palangkaraya.net/en/artikel/108-beberapaasas-hukum-kewarisan-menurut-kitab-undang-undang-hukum-perdata-hukum-islam-dan-hukumadat.html, dipublikasikan tanggal 13 Februari 2011, diakses tanggal 1 Maret 2011 72 Badriyah Harun, Op cit, hal. 15
Universitas Sumatera Utara
47
diformalkan dalam bentuk akta yang telah umum dikenal dengan sebutan testamen atau surat wasiat”.73 “Harta waris dalam hukum perdata disebut sebagai hak milik bersama yang terikat atau gebonden mede eigendom. Artinya, kebersamaan terhadap kepemilikan harta waris tidak dapat diakhiri hanya dengan kesepakatan dari para pihak, tetapi harus melalui perbuatan hukum tertentu dan juga memiliki hubungan lain atas kepemilikan bersama para pihak”. 74 Perbuatan
hukum
tertentu
misalnya
harus
ada
pemisahan
harta
peninggalan. Pemisahan harta peninggalan harus dibagi terlebih dahulu sebelum terjadi peralihan hak kepemilikan. Perbuatan pemisahan harta inilah yang disebut sebagai perbuatan hukum tertentu. ”Hubungan lain atas kepemilikan para pihak maksudnya harus memiliki hubungan yang dapat menyebabkan harta waris tersebut sah dibagi yang biasanya berasal dari hubungan darah, yaitu hubungan orangtua dan anak, atau hubungan perkawinan, yaitu hubungan suami dan istri”. 75 Menurut KUH Perdata yang beralih kepada ahli waris dari seseorang yang mati meliputi seluruh hak dan kewajiban si yang mati. Dengan demikian wajar jika KUH Perdata mengenal tiga macam sikap dari ahli waris terhadap harta warisan. Ahli waris dapat menentukan salah satu sikap diantara tiga tersebut yaitu : 1. Dapat menerima harta warisan seluruhnya 73
Badriyah Harun, Loc cit Badriyah Harun, Ibid, hal. 17 75 Badriyah Harun, Loc cit 74
Universitas Sumatera Utara
48
2. Menerima dengan syarat 3. Menolak. Sebelum menentukan sikap kepada ahli waris tersebut diberikan kesempatan dan waktu untuk berfikir selama tenggang waktu empat bulan, kalau perlu dapat diperpanjang oleh Pengadilan Negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 1023 s/d 1029 KUH Perdata. Secara limitatif KUH Perdata mengatur tentang ahli waris yang menerima harta peninggalan ialah : 1.
Ahli Waris yang mewaris berdasarkan kedudukan sendiri (uit eigen hoofde) atau mewaris secara langsung. Golongan Kedua, orang tua pewaris dan saudara-saudara pewaris, bagian orang tua disamakan dengan bagian saudara-saudara pewaris, tetapi ada jaminan dimana bagian orang tua tidak boleh kurang dari seperempat harta peninggalan (Pasal 854 KUH Perdata), sebagaimana dalam skema berikut :
Bagian masing-masing ahli waris adalah F = 1/3; G = 1/3; H = 1/3
Universitas Sumatera Utara
49
Bagian masing-masing ahli waris : F dan G mendapat prioritas masing-masing ¼ harta, sisa ½ untuk berbagi sama rata. Dalam kasus ini, almarhum Ngan Seng Mei yang meninggal pada 19 September 2007, sesuai dengan Surat Keterangan Nomor: 474 s/d 216 tanggal 02 Oktober 2007, tidak ada meninggalkan istri maupun anak semasa hidupnya. Kematian seseorang menurut KUH Perdata mengakibatkan peralihan segala hak dan kewajiban pada seketika itu juga kepada ahli warisnya, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 833 KUH Perdata, “sekalian ahli waris dengan sendirinya demi hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak, dan segala piutang dari yang meninggal”. Peralihan hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia kepada ahli waris memperoleh segala hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia, tanpa memerlukan suatu tindakan tertentu, demikian juga bila ahli waris tersebut mengetahui tentang adanya harta warisan dimaksud. Dalam Hukum Perdata/BW tidak ada dibedakan saudara kandung maupun saudara seibu saja atau saudara sebapak saja sesuai dengan pasal 854 KUH Perdata. Kedua orang tua almarhum Ngan Seng Mei telah terlebih dahulu meninggal dunia. Selanjutnya almarhum Ngan Seng Mei ada meninggalkan 4 (empat) orang saudara kandung yaitu Ngan Sim, Halidjah Gani, Ngang Seng Hin, dan Achmad Ghani. Oleh karena Ngan Seng Mei tidak ada meninggalkan istri, anak maupun orang tua, maka berdasarkan Pasal 854 KUH Perdata para saudara kandung almarhum Ngan Seng Mei menjadi ahli waris golongan II yang diperoleh karena haknya sendiri.
Universitas Sumatera Utara
50
Para saudara kandung almarhum Ngan Seng Mei telah mengajukan penetapan
sebagai ahli waris dari almarhum Ngan Seng Mei yang telah disahkan melalui Akta Surat Keterangan Hak Waris No. : 04/ SKHW/MSM/ XII/ 2007, tanggal 24 Desember 2007 yang dibuat oleh Notaris. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 memberikan definisi Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Notaris adalah pejabat umum sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1868 KUH Perdata yang berbunyi : ”Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akte dibuatnya”. Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2004, seorang Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan penuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pertanahan, kegiatan sosial, dan lain-
Universitas Sumatera Utara
51
lain, kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik semakin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional, regional, maupun global. Melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Walaupun sengketa tersebut dapat dihindari, dalam proses penyelesain sengketa tersebut, akta otentik yang merupakan alat bukti tertulis dan terpenuh memberi sumbangan nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan cepat. Berdasarkan uraian di atas, maka Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik tertentu tidak ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Selain akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak yang berkepentingan demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian, akta surat keterangan ahli waris dari Ngan Seng Mei tersebut yang dikeluarkan oleh Notaris, merupakan akta otentik yang mempunyai kepastian dan kekuatan hukum, serta perlindungan hukum. Oleh karenanya dengan dikeluarkannya penetapan pengesahan ahli waris tersebut, para ahli waris almarhum Ngan Seng Mei
memiliki kedudukan yang kuat sebagai ahli waris golongan II dari Ngan Seng Mei.
Universitas Sumatera Utara