BAB II KEBIJAKAN HUKUM PROGRAM PEMBAHARUAN AGRARIA NASIONAL PASCA REFORMASI SAAT INI A. Reforma Agraria Pra Reformasi Agenda Reforma Agraria di dalam sejarah bangsa Indonesia memiliki perjalanan yang panjang dan sejalan dengan agenda pembentukan bangsa dan negara. Sejak tahun 1946 (seribu sembilan ratus empat puluh enam) Indonesia sudah menjalankan program landreform. Landreform dapat dimaknai sebagai usaha sistematis untuk memperbaiki hubungan antara manusia dengan tanah yang karena faktor-faktor historis, politis dan ekonomis masih dirasakan belum harmonis dan belum mencerminkan keadilan sosial. Usaha perbaikan semacam ini dilakukan dengan menata kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah menjadi tatanan keagrarian baru yang dapat menjamin keadilan, harmoni sosial, produktivitas dan keberlanjutan, berdasarkan prinsip bahwa “tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri”.52 Pelaksanaan landreform dengan demikian bertujuan untuk memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat melalui pembagian yang lebih adil atas sumber penghidupan petani berupa tanah. Landreform juga diharapkan dapat meningkatkan semangat kerja petani penggarap dengan jalan memberikan kepastian hak pemilikan 52
Tampil Anshari Siregar, Op. Cit, hal. 90
Universitas Sumatera Utara
atas tanahnya. Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor. 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Dan Pemberian Ganti Kerugian yang menyebutkan bahwa “landreform bertujuan mengadakan pembagian yang adil dan merata atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, sehingga dengan pembagian tersebut diharapkan akan dapat dicapai pembagian hasil yang adil dan merata.” Secara umum, ada enam elemen pokok program landreform sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yaitu:53 1. 2. 3.
4. 5.
Larangan untuk menguasai tanah pertanian yang melampaui batas (pembatasan pemilikan maksimum); Larangan pemilikan tanah secara absentee; Redistribusi tanah-tanah yang melampaui batas maksimum, tanah-tanah yang terkena ketentuan absentee, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah Negara lainnya; Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian; Penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil. Implementasi kebijakan landreform ini pada masa lalu ternyata masih sangat
terbatas dan belum dapat memenuhi tujuan-tujuan seperti yang diharapkan di atas karena pada intinya ada dua hambatan pokok dalam pelaksanaan program landreform ini. Pertama adalah hambatan hukum. Baik di pusat maupun di daerah, aparat hukum belum menguasai benar persoalan agraria. kedua, yaitu hambatan ilmiah. Berbeda dari negara berkembang lainnya, di Indonesia jumlah ilmuwan agraria amat terbatas. 53
Supriadi, Op.Cit, hal. 203
Universitas Sumatera Utara
Akibatnya setiap kali membahas agraria, yang dibahas selalu “hukum agraria”. Padahal agraria itu mencakup hampir semua aspek kehidupan (sosial, ekonomi, budaya, lingkungan dan politik, bahkan juga pertahanan dan keamanan).54 Walf Ladejinsky, adalah seorang arsitek landreform di Jepang dan setelah tiga kali datang ke Indonesia pada tahun 1961-1963, memberi penilaian serupa mengenai pelaksanaan landreform yang saat itu sedang dilaksanakan. Ada dua kritik utama Ladejinsky yaitu: 1. Antara gagasan dan tindakan pelaksanaan landreform tidak konsisten. Gagasannya revolusioner, tetapi pelembagaan pelaksanaannya rumit, Birokrasi berbelit-belit dan data tidak akurat sehingga di lapangan pelaksanaan redistribusi menjadi sulit dan terhambat. 2. Model redistribusinya tidak sesuai dengan kondisi obyektif yang ada. Batasan kepemilikan minimum 2 ha (dua hektar) yang diberlakukan secara menyeluruh menurut Ladejinsky tidaklah realistis dan juga tidak jelas siapa dan berapa jumlah orang yang berhak menerima redistribusi tanah (potential beneficiaries), dan berapa yang diperkirakan akan menjadi penerima nyata (real beneficiaries) serta tanah-tanah apa saja yang akan menjadi objek landreform.55 Pasca perubahan drastis politik sejak tahun 1965 (seribu sembilan ratus enam puluh lima), pelaksanaan reforma agraria mulai surut. Namun ini tidak berarti bahwa program distribusi tanah terhenti sama sekali, melainkan mengalami pergeseran makna yang signifikan. Tanah-tanah yang dibagikan, yang pada awalnya terutama berasal dari tanah-tanah yang terkena ketentuan landreform, tanah kelebihan dari batas maksimum dan tanah absentee, bergeser menjadi tanah-tanah yang dikuasai 54
Shohibuddin dan Muhammad Nazir Salim, Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007 Bunga Rampai Perdebatan, Sekolah Tinggi Pertanahan Negara Press, Yogyakarta, 2012, hal. 793. 55 Ibid, hal. 794
Universitas Sumatera Utara
langsung oleh negara. Hal ini dilakukan baik dengan cara pembagian tanah secara langsung kepada petani maupun melalui skema-skema program seperti: transmigrasi, Perusahaan Inti Rakyat (PIR) dan sebagainya.56 Ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yang semakin meningkat dan pengaruhnya terhadap merebaknya angka kemiskinan dan pengangguran dipedesaan tidak terlepas dari faktor kebijakan pertanahan yang diorientasikan untuk mendukung kebijakan makro ekonomi nasional yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi semata akan tetapi kebijakan pertanahan bukannya didasarkan atas penataan aset produksi terlebih dahulu, melainkan langsung diarahkan kepada upaya peningkatan produktivitas. Akibat pembangunan semacam ini, maka rakyat kecilpun semakin terpinggirkan dan banyak petani yang kehilangan akses terhadap tanah.57 Selain itu juga telah melahirkan berbagai persoalan keagrariaan yang mendasar dalam bentuk kerusakan sumber-sumber agraria serta meluasnya konflikkonflik sosial terkait agraria. Kesemua permasalahan ini pada intinya dapat dijelaskan dari bagaimana proses peruntukan, penatagunaan dan alokasi pemanfaatan dari sumber-sumber agraria yang dilakukan pemerintah. Secara khusus bisa dicatat bahwa pengadaan sumber-sumber agraria ternyata lebih sering diperuntukkan kepada segolongan masyarakat yang bermodal besar dan untuk jenis pemanfaatan dengan skala besar. Sementara di pihak lain, komunitas lokal seringkali justru merasa disingkirkan dan bahkan dihilangkan hak-haknya terhadap 56
Noer Fauzi dan Khrishna Ghimire, Prinsip-Prinsip Reforma Agraria, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001, hal. 142 57 www. Adisuara.blogspot.com, diakses pada tanggal 2 juli 2013
Universitas Sumatera Utara
penguasaan serta pemanfaatan sumber-sumber agraria yang selama ini melekat dalam kehidupan petani lokal tersebut. Kebijakan pemerintah semacam ini didasari pemikiran bahwa mereka yang memiliki modal besar diyakini akan mampu mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yang pada gilirannya akan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak, suatu asumsi yang hasilnya tidak pernah terbukti. Dari sini bisa disimpulkan bahwa kebijakan peruntukan, penatagunaan dan alokasi
pemanfaatan
sumber-sumber
agraria
dalam
rangka
memfasilitasi
pertumbuhan ekonomi telah melahirkan hubungan yang tidak sesuai di antara pihakpihak pelaku yang berkepentingan dengan sumber-sumber agraria. Seiring perkembangan waktu dan makin langkanya tanah maka hubungan ini menjadi kian kompleks. Keadaan inilah yang menimbulkan perselisihan tanah di tingkat rumah tangga petani, meningkatnya penguasaan tanah skala besar, konversi penggunaan tanah yang tidak terencana, tata ruang dan penatagunaan tanah yang tidak konsisten dan tumpang tindih, serta terus berlangsungnya konflik dan sengketa tanah, tentu saja yang dikorbankan dari proses ini adalah sebagian besar masyarakat, pembangunan itu sendiri, maupun hal-hal mendasar bagi rakyat dan bangsa ini seperti: ketahanan pangan, infrastruktur sosial dan ekonomi masyarakat, perumahan rakyat, serta lingkungan hidup.58
58
Shohibuddin, Op. Cit, hal. 803
Universitas Sumatera Utara
Kesemuanya ini menghendaki dilaksanakannya reforma agraria yang merupakan kebijakan yang bertujuan mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah pertanian yang pada akhirnya akan bermuara pada pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Bergulirnya reformasi pada tahun 1998 (seribu sembilan ratus sembilan puluh delapan), membuat peluang politik untuk menata kondisi ekonomi, sosial dan politik bangsa Indonesia, termasuk di bidang pertanahan, terbuka kembali. Pada masa ini Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor 16/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Pasal 7 ayat (1) menyatakan: “Pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam lainnya harus dilaksanakan secara adil dengan menghilangkan segala bentuk pemusatan penguasaan dan pemilikan dalam rangka pengembangan kemampuan usaha ekonomi kecil, menengah, koperasi dan masyarakat luas.” 59 Ketetapan MPR ini telah mengawali komitmen seluruh bangsa Indonesia untuk menjalankan kembali reforma agraria demi mewujudkan distribusi penguasaan dan pemanfaatan tanah yang adil dan dapat melahirkan kesejahteraan rakyat.
B. Reforma Agraria Pasca Reformasi Terlepas dari upaya yang telah dilakukan di atas, namun sampai saat ini struktur penguasaan tanah di Indonesia masih amat timpang. Pelaksanaan dan redistribusi tanah di masa lalu belum pernah berhasil dilakukan sebagai sebuah 59
Ibid
Universitas Sumatera Utara
kebijakan yang menyeluruh dan konsisten sehingga belum berdampak signifikan terhadap pengurangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah yang timpang dan tidak adil. Sebagai gambaran, saat ini ada sekitar 40% (empat puluh persen) rumah tangga
pedesaan
yang
merupakan
petani
tanpa
tanah.60
Hal
lain
yang
memperihatinkan adalah: banyak petani setelah menerima tanah melalui program landreform terpaksa melepaskan tanahnya kepada orang lain. Hal ini terjadi karena kebanyakan petani, setelah diberi tanah, ternyata tetap tidak memiliki akses kepada sumber finansial, pasar, manajemen usaha, hingga teknologi pertanian. Akibatnya, tidak dapat memaksimalkan manfaat dari tanah yang dimiliki, dan melalui sistem pewarisan yang berlaku maka penguasaan tanah oleh petani generasi berikutnya semakin kecil dan tidak lagi mencapai skala ekonomi untuk menjalankan usaha tani yang berkelanjutan. Secara makro, saat ini bangsa Indonesia juga menghadapi permasalahan struktural yang mendasar berupa kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan. Tekanan dalam sektor pertanian telah menyebabkan para petani yang tidak mempunyai tanah dan para petani yang mempunyai tanah sempit beralih kesektor bukan pertanian dan ternyata pendapatan tambahan petani diluar sektor non pertanian juga belum mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga petani.61 Data peringkat kemiskinan dari BPS (Badan Pusat Statistik) pada Maret 2012 (dua ribu dua belas) menunjukkan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 60
Sohibuddin, Op. Cit, hal. 797 Erman Rajagukguk, Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah Dan Kebutuhan Hidup, Chandra Pratama, 1995, hal. 99 61
Universitas Sumatera Utara
29,13 (dua puluh sembilan koma tiga belas) juta jiwa atau 11,96% (sebelas koma sembilan puluh enam persen) dari total populasi Indonesia. Di kawasan perkotaan, percepatan kemiskinan adalah 8,78% (delapan koma tujuh puluh delapan persen), sedangkan di kawasan pedesaan mencapai 18,48% (delapan belas koma empat puluh delapan persen). Ini menunjukkan kemiskinan paling banyak dialami penduduk pedesaan yang umumnya petani.62 Selanjutnya pada tahun 2001 (dua ribu satu) MPR mengeluarkan Ketetapan Nomor: IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,63 TAP MPR tersebut menyebutkan bahwa arah kebijakan pembaharuan agraria di Indonesia adalah melakukan mengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip
pembaharuan
agraria
dan
melaksanakan
penataan
kembali
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat.64 Secara rinci, Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 ini memberikan perintah mengenai arah kebijakan pembaruan agraria yang tersebut dalam Pasal 5 sebagai berikut: 1. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor
62
www.bps.go.id/brs_file/kemiskinan_02 Januari 2013.pdf, diakses pada tanggal 04 Juni 2013 Noer Fauzi, Bersaksi Untuk Pembaharuan Agraria, Insist Press, Yogyakarta, 2003, hal. 120 64 Bernhard Limbong, Reforma Agraria, Margaretha Pustaka, Jakarta, 2012, hal. 290 63
Universitas Sumatera Utara
2.
3.
4.
5.
6.
demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsipprinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini. Memperkuat kelembagaan dan kewenangan dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaharuan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria. Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaharuan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumber daya agraria yang terjadi. Sejalan dengan amanat konstitusi tersebut, Pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono dan Jusuf Kalla (SBY-JK) sejak awal telah berkomitmen untuk melaksanakan reforma agraria ini.65 Sejak tahun 2006 (dua ribu enam) pelaksanaan Reforma Agraria ini secara tegas dinyatakan sebagai program pemerintah, yaitu ditetapkan sebagai salah satu fungsi Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia melalui Peraturan Presiden atau Perpres Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional. Perpres ini harus dilihat sebagai penguatan kelembagaan di dalam kerangka pelaksanaan agenda
65
Dianto Bachriadi, jurnal keadilan “Pandangan Kritis Tentang Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) atau redistribusi tanah ala pemerintahan SBY”, 2012, hal. 79
Universitas Sumatera Utara
reforma agraria. Pada bagian menimbang, Perpres ini mencantumkan konsiderankonsideran sebagai berikut: 1. bahwa hubungan bangsa Indonesia dengan tanah adalah hubungan yang bersifat abadi dan seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia 2. bahwa tanah merupakan perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia, karenanya perlu diatur dan dikelola secara nasional untuk menjaga keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara 3. bahwa pengaturan dan pengelolaan pertanahan tidak hanya ditujukan untuk menciptakan ketertiban hukum, tetapi juga untuk menyelesaikan masalah, sengketa, dan konflik pertanahan yang timbul 4. bahwa kebijakan nasional di bidang pertanahan perlu disusun dengan memperhatikan aspirasi dan peran serta masyarakat guna dapat memajukan kesejahteraan umum. Berdasarkan pertimbangan itu, Perpres No. 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional ini menempatkan BPN sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Sebelumnya, lembaga ini berada di bawah koordinasi Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya, Perpres No. 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional ini menetapkan tugas pokok BPN adalah: “melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral.” Sedangkan fungsinya mencakup 21 fungsi, beberapa poin di antaranya adalah: 66 Butir a: perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan Butir c: koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan butir g:pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah butir f: reformasi agraria 66
Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal. 89
Universitas Sumatera Utara
butir j: pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah butir m: pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan butir n: pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang pertanahan Penetapan tugas pokok dan fungsi BPN sebagaimana tersebut di atas, maka Perpres No. 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional ini memiliki beberapa signifikansi yang mendasar dalam konteks pelaksanaan pembaruan agraria di Indonesia yaitu:67 1. Perpres No. 10 Tahun 2006 ini mengangkat dan menekankan kembali acuan nilai yang telah ditegaskan dalam Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 mengenai kesatuan hubungan abadi antara bangsa dan tanah air Indonesia. 2. Perpres ini menegaskan lagi kedudukan tanah sebagai perekat kesatuan bangsa dan fungsi sosialnya sebagai landasan untuk memajukan kesejahteraan umum. 3. Perpres ini juga menyatakan bahwa kebijakan pertanahan harus bersifat nasional dan tidak boleh terkotak-kotak oleh sekat-sekat sektoral dan regional. 4. Perpres ini merevitalisasi kelembagaan BPN untuk menjalankan fungsi-fungsi yang telah diperluas, di antaranya adalah untuk melaksanakan reforma agraria dan menangani sengketa, konflik dan perkara agraria. 5. Fungsi dan struktur BPN RI yang baru ini juga ada penekanan mengenai fungsi pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan yang membuka ruang bagi dilaksanakannya program dukungan pasca redistribusi tanah sebagai kesatuan paket reforma agraria. Hal tersebut juga selaras dengan pidato Presiden Republik Indonesia pada awal tahun 2007 (dua ribu tujuh) dengan mengeluarkan kebijakan untuk mengalokasikan lahan sebagai objek pelaksanaan reforma agraria. Melalui pelaksanaan reforma agraria diyakini bahwa pertanahan akan dapat berkontribusi secara nyata pada perwujudan keadilan sosial, penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan serta dapat dijamin kontribusi pertanahan pada proses 67
Yusuf Nafiri, Op. Cit, hal. 33
Universitas Sumatera Utara
revitalisasi pertanian, revitalisasi pedesaan, pembangunan perumahan rakyat, dan pembangunan infrastruktur serta proses pemenuhan hak-hak dasar rakyat. Pelaksanaan kebijakan redistribusi tanah ini dijalankan dalam sebuah kerangka program terpadu yang disebut Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN). Program Pembaharuan Agraria Nasional sebagaimana yang diatur dalam TAP MPR Nomor: IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam ini pada prakteknya hanya melanjutkan program PRONA atau LARASITA (Layanan Rakyat Untuk Sertifikat Tanah) dengan sampul PPAN, dimana pelaksanaan reforma agrarianya hanya di bidang pensertifikatan atas tanah-tanah pertanian yang dimiliki oleh para peserta PPAN saja tidak ada redistribusi tanah atau pembagian tanah-tanah yang berasal dari tanah negara, tanah obyek landreform seperti absentee, tanah kelebihan maksimum kepada para petani dan tidak ada juga pengalokasian lahan seluas 9,25 juta ha (Sembilan koma dua puluh lima juta hektar) kepada para petani seperti yang telah dipidatokan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2007 hal ini dikarenakan objek reforma agraria yang telah direncanakan untuk dialokasikan tersebut belum diketahui berasal dari tanah apa dan letak tanah-tanah tersebut juga tidak diketahui didaerah mana saja. Pelaksanaan PPAN ini juga seharusnya dibarengi dengan tindak lanjut pelaksanaan access reform yang merupakan ciri utama dan pembeda antara PPAN ini dengan program landreform sebelumnya tapi pada kenyataannya dilapangan
Universitas Sumatera Utara
pelaksanaan access reform ini belum ditemukan pelaksanaannya, hal ini dikarenakan belum adanya kerjasama atau kemitraan yang dituangkan dalam Nota Kesepahaman (MoU) antara Badan Peratanahan Nasional dengan instansi-instansi lain seperti Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan, Kementerian Negara UKM (Usaha Kecil Menengah), Lembaga Keuangan dan instansi lainnya yang terkait. Di daerah Provinsi dan Kabupaten juga pelaksanaan access reform ini belum terealisasi karena Kantor Pertanahan di daerah belum ada yang menjalin kerja sama dengan instansi lain seperti kerja sama dengan pemerintah daerah setempat, lembaga keuangan dan instansi lainnya sehingga pelaksanaan PPAN ini hanya berakhir sampai diterbitkannya sertifikat hak atas tanah oleh Kantor Pertanahan setempat tanpa ada pelaksanaan dari access reform lagi, begitu juga pelaksanaan PPAN di Kabupaten Serdang Bedagai tidak ada pelaksanaan access reform sehingga PPAN ini sama saja dengan PRONA ataupun LARASITA (Layanan Rakyat Untuk Sertifikat Tanah) Cuma yang membedakan antara PPAN ini dengan PRONA ataupun LARASITA adalah dalam penerbitan sertifikat melalui PPAN peserta tidak dikenakan biaya dan khusus tanah-tanah pertanian yang belum memiliki sertifikat yang boleh mengikuti program ini sedangkan dalam PRONA dan LARASITA itu peserta diberi keringanan biaya untuk mengurus menerbitan sertifikat dan semua jenis tanah bisa disertifikatkan karena tidak ada patokan harus tanah apa yang harus disertifikatkan seperti bisa tanah yang ada bangunan, tanah pertanian, dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
C. Kebijakan Pembaharuan Agraria Berdasarkan TAP MPR Nomor: IX/MPR/2001 Tentang Pembaharuan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Ketetapan MPR Nomor: IX/MPR/2001 sebenarnya merupakan momentum sekaligus landasan legal formal untuk melakukan reformasi hukum agraria nasional.68 Pada Pasal 5 TAP MPR Nomor: IX/MPR/2001 Tentang Pembaharuan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam menyebutkan bahwa pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip:69 1. Memelihara dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia 2. Menghormati dan menjunjung tinggi Hak Azasi Manusia 3. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum 4. Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia 5. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi, dan optimalisasi partisipasi rakyat 6. Mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria dan sumber daya alam 7. Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang dengan tetap memperhatikan daya tampung dan dukung lingkungan 8. Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis, sesuai dengan kondisi sosial, budaya setempat 9. Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sektor pembangunan dan pelaksanaan pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam 10. Mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria dan sumber daya alam
68
Bernhard limbong, Hukum Agraria Nasional, Margaretha Pustaka, Jakarta, 2012, hal. 361 Sarjita, Masalah Pelaksanaan Urusan Pertanahan Dalam Era Otonomi Daerah, Tugujogja, Yogyakarta, 2005, hal. 162 69
Universitas Sumatera Utara
11. Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban Negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu 12. Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan ditingkat masional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan managemen sumber daya agrari dan sumber daya alam. Prinsip-prinsip tersebut sinkron dengan Pasal 6 TAP MPR Nomor: IX/MPR/2001 Tentang Reforma Agraria Dan Pengelolaan Sumber daya Alam yang menyebutkan bahwa arah kebijakan pembaharuan agraria adalah sebagai berikut: 1. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agrarian dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsipprinsip sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ketetapan ini 2. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat baik tanah pertanian maupun tanah perkotaan 3. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform 4. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 ketetapan ini 5. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaharuan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan sumber daya agraria yang terjadi 6. Mengupayakan pembiayaan dalam melaksanakan program pembaharuan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik sumber daya agraria yang terjadi.
Universitas Sumatera Utara
D. Kebijakan Pembaharuan Agraria Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor: 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan Pasal 1 Keppres ini menyebutkan bahwa Dalam rangka mewujudkan konsepsi, kebijakan dan sistem pertanahan nasional yang utuh dan terpadu, serta pelaksanaan Tap MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Suinber Daya Alam, Badan Pertanahan Nasional melakukan langkahlangkah percepatan: a. penyusunan Rancangan Undang-undang Penyempurnaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Rancangan Undang-undang tentang Hak Atas Tanah serta peraturan perundang-undangan lainnya di bidang pertanahan. b. pembangunan sistim informasi dan manajemen pertanahan yang meliputi: 1. penyusunan basis data tanah-tanah aset negara/pemerintah/pemerintah daerah di seluruh Indonesia 2. penyiapan aplikasi data tekstual dan spasial dalam pelayanan pendaftaran tanah dan penyusunan basis data penguasaan dan pemilikan tanah, yang dihubungkan dengan e-government, e-commerce dan e-payment 3. pemetaan kadasteral dalam rangka inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan menggunakan teknologi citra satelit dan teknologi informasi untuk menunjang kebijakan pelaksanaan landreform dan pemberian hak atas tanah;
Universitas Sumatera Utara
4. pembangunan dan pengembangan pengelolaan pengunaan dan pemanfaatan tanah melalui sistim informasi geografi, dengan mengutamakan penetapan zona sawah beirigasi. dalam rangka memelihara ketahanan pangan nasional. Pasal 2 Keppres ini menyebutkan bahwa: (1) Sebagian kewenangan Pemerintah di bidang pertanahan dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. (2) Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayal (1) adalah : a. pemberian ijin lokasi; b. penyelenggaraan pengadaan tanah inuuk kepentingan pembangunan c. penyelesaian sengketa tanah garapan d. penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan e. penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee f. penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat g. pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong h. pemberian izin membuka tanah i. perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota; Berbicara masalah sumber daya agraria khususnya tanah, sejak memasuki reformasi menjadi sangat dinamis khususnya sejak munculnya gaung “otonomi daerah” yang mencapai klimaknya pada saat diterbitkannya Ketetapan MPR RI No.
Universitas Sumatera Utara
XI/MPR/2001 tentang adanya Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumbet Daya Alam, kemudian ditindak lanjuti dengan ditetapkannya Keputusan Presiden No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan di Bidang Pertanahan. Namun kenyataan klimak dari ketetapan MPR itu tidak sejalan pada saat di Undangkannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun tidak banyak menyentuh permasalahan dibidang pertanahan. Hanya terdapat pada satu pasal dengan menyebutkan bahwa pelayanan pertanahan diserahkan kepada daerah tanpa adanya kejelasan batasan dari pelayanan pertanahan tersebut. Walaupun UU Otonomi Daerah tidak banyak menyentuh permasalahan dibidang pertanahan, namun tidak dapat dipungkiri keberadaan otonomi daerah telah menjadi pijakan oleh daerah untuk menyusun segala permasalahan-permasalahan menyangkut dibidang pertanahan. Walaupun tetap saja segala ketentuan tersebut tetap tersentralisasi pada Kantor Badan Pertanahan Nasional Pusat, walaupun didaerah terdapat Kantor Wilayah Pertanahan di tingkat Propinsi, dan Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten.
E. Kebijakan Pembaharuan Agraria berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Menurut Penjelasan Umum Pasal 2 PP ini menyebutkan bahwa Tanah yang sudah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, atau Hak Pengelolaan dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanahnya tidak diusahakan,
Universitas Sumatera Utara
tidak dipergunakan atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya. Menurut Penjelasan Umum Pasal 15 Ayat (1) PP ini juga menyebutkan bahwa Tanah negara bekas tanah terlantar merupakan tanah cadangan umum negara yang didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara, melalui reforma agraria. Reforma Agraria merupakan kebijakan pertanahan yang mencakup penataan sistem politik dan hukum pertanahan serta penataan asset masyarakat dan penataan akses masyarakat terhadap tanah sesuai dengan jiwa Pasal 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, dan Pasal 10 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Penataan aset masyarakat dan penataan akses masyarakat terhadap tanah dapat melalui distribusi dan redistribusi tanah negara bekas tanah terlantar Sampai sekarang realisasi dari Peraturan Pemerintah ini untuk redistribusi tanah-tanah terlantar kepada penduduk miskin belum terlaksana
F. Kebijakan Pembaharuan Agraria Berdasarkan Perkaban Nomor 3 Tahun 2011 Kebijakan Pembaharuan Agraria menurut Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian Dan Penanganan Kasus Pertanahan mempunyai tujuan untuk memberikan kepastian
Universitas Sumatera Utara
hukum akan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang ruang lingkupnya meliputi: a. Pelayanan pengaduan dan informasi kasus pertanahan b. Pengkajian kasus pertanahan c. Penanganan kasus pertanahan d. Penyelesaian kasus pertanahan e. Bantuan hukum dan perlindungan hukum
G. Kebijakan Pembaharuan Agraria Berdasarkan Keputusan Kepala BPN RI Nomor 34 Tahun 2007 Kebijakan Pembaharuan Agraria menurut Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan mempunyai maksud dan tujuan: a. Petunjuk teknis ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi unit kerja di lingkungan Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan Kantor Wilayah BPN dan seksi sengketa, konflik dan perkara Kantor Pertanahan se Indonesia dalam menyusun pemetaan masalah dan akan masalah pertanahan b. Tujuan penyusunan petunjuk teknis ini adalah agar terdapat standarisasi penyusunan pemetaan masalah dan akan masalah pertanahan di seluruh Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Ruang lingkup peraturan ini meliputi: a. Pemetaan masalah pertanahan b. Pemetaan akar masalah pertanahan
H. Kebijakan Pemerintah Dalam PPAN Komitmen Pemerintah Indonesia dalam mengatasi masalah pertanahan sudah mendapatkan legitimasi yang sangat kuat yaitu dengan disahkannya TAP MPR Nomor: IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang menetapkan prinsip-prinsip dan arah kebijakan pembaruan agraria dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkeadilan dan berkelanjutan. Ketetapan tersebut memberikan perintah kepada Pemerintah Indonesia untuk melakukan berbagai hal baik menyangkut upaya penataan peraturan dan perundang-undangan maupun penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang kesemuanya diletakkan dalam kerangka membangun kesejahteraan rakyat yang berkelanjutan, serta menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari ancaman disintegrasi bangsa baik ancaman dari dalam maupun dari luar. Upaya untuk mengatasi masalah yang dihadapi saat ini, Pemerintah Indonesia memandang perlu membangun suatu Kerangka Kebijakan Pertanahan Nasional yang mampu memberikan rujukan (pedoman atau acuan) untuk pengelolaan pertanahan bagi semua pihak baik pemerintah, pengusaha, dan masyarakat yang berkepentingan dengan masalah penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.
Universitas Sumatera Utara
Presiden SBY sebagai pihak pemerintah telah menegaskan bahwa program reforma agraria akan dilaksanakan secara bertahap mulai tahun 2007 (dua ribu tujuh) ini. Saat menyampaikan Pidato Politik Awal Tahun 2007 pada tanggal 31 Januari 2007 lalu, Presiden menyatakan arah kebijakannya mengenai pertanahan sebagai berikut: Program Reforma Agraria ... secara bertahap ... akan dilaksanakan mulai tahun 2007 ini. Langkah itu dilakukan dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin yang berasal dari hutan konversi dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan kita boleh diperuntukkan bagi rakyat. Inilah yang saya sebut sebagai prinsip Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat... (yang) saya anggap mutlak untuk dilakukan.70
Dalam dokumen “Reforma Agraria: dinyatakan bahwa program reforma agraria ini merupakan bagian penting dari agenda pembangunan nasional yang dicanangkan Presiden SBY dalam rangka mengatasi problem kritikal kemiskinan dan pengangguran, Presiden SBY telah menetapkan tiga strategi pembangunan yang disebut Triple Track Strategy sebagai berikut: 71 1. meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui investasi dan ekspor; 2. menggerakkan sektor riil agar semakin tumbuh dan berkembang; 3. melaksanakan revitalisasi pertanian dan pembangunan perdesaan. Strategi pertama dan kedua dimaksudkan untuk memacu perekonomian agar tumbuh lebih cepat sekaligus mengatasi masalah pengangguran. Sedangkan strategi ketiga dimaksudkan untuk mengurangi masalah kemiskinan. Namun penerapan tiga
70 71
Shohibuddin dan Muhammad Nazir Salim, Op. Cit, hal. 810 Ibid, hal. 811
Universitas Sumatera Utara
strategi ini secara nyata menyebabkan pencapaian hasil-hasil pembangunan tidak saling berkaitan satu sama lain sehingga stabilitas di tataran makro yang sudah baik tidak mampu untuk mengatasi dua masalah kritikal pengangguran dan kemiskinan di tataran mikro. Oleh karena itu, diperlukan suatu kebijakan yang sekaligus dapat menerapkan ketiga unsur triple track strategy ini. Mengingat kedua masalah kritikal ini berada pada tataran mikro, maka kebijakan dimaksud haruslah langsung menyentuh rakyat yang mengalami kemiskinan dan pengangguran yang sekaligus diyakini akan efektif meningkatkan pertumbuhan dan memperkuat stabilitas perekonomian di tingkat makro. Kebijakan yang dipandang dapat mewujudkan semua itu adalah restrukturisasi sumber-sumber kemakmuran terutama tanah secara lebih adil dan lebih mampu menjamin kesejahteraan rakyat, yaitu melalui pelaksanaan reforma agraria. Program ini yang akan mengalokasikan tanah dan layanan-layanan pendukungnya, dan diyakini akan berdampak signifikan pada pengurangan kemiskinan dan penciptaan tambahan kesempatan kerja. Untuk menciptakan dampak semacam itu, maka reforma agraria haruslah merupakan proses sistematis restrukturisasi penggunaan, pemanfaatan, penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria, terutama tanah, yang mampu menjamin keadilan dan keberlanjutan peningkatan kesejahteraan rakyat. Apabila makna ini didekomposisi, terdapat lima komponen mendasar di dalamnya yaitu:72 1. restrukturisasi penguasaan aset tanah ke arah penciptaan struktur sosial-ekonomi dan politik yang lebih berkeadilan (equity); 72
Ibid, hal. 812
Universitas Sumatera Utara
2. sumber peningkatan kesejahteraan yang berbasis keagrariaan(welfare); 3. penggunaan/pemanfaatan tanah dan faktor-faktor produksi lainnya secara optimal (efficiency); 4. keberlanjutan (sustainability); 5. penyelesaian sengketa tanah (harmony).
Kebijakan Pertanahan Nasional dalam hal yang menyangkut hukum, kebijakan, dan pedoman dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, maupun Keputusan Presiden menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah otonomi, yaitu mengenai:73 1. 2. 3. 4. 5.
penetapan persyaratan pemberian hak atas tanah penetapan persyaratan landreform penetapan standar administrasi pertanahan penetapan pedoman biaya pelayanan pertanahan penetapan kerangka dasar kadastral nasional Komitmen pemerintah untuk menata kembali struktur dan sistem hukum
pertanahan nasional inilah yang membuat pelaksanaan reforma agraria harus diarahkan untuk bisa mewujudkan distribusi/redistribusi aset yang dimiliki negara untuk rakyat yang tidak memiliki aset atau yang asetnya tidak memadai untuk menopang kehidupannya, terutama di dalamnya adalah aset tanah dan aspek-aspek agraria lainnya. Namun distribusi/redistribusi aset saja tidak cukup. Menyadari kekurangan program serupa di masa lalu, maka distribusi/redistribusi aset harus disertai dengan pengembangan akses terhadap berbagai hal yang memungkinkan 73
Arie Sukanti Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 74-76
Universitas Sumatera Utara
rakyat memanfaatkan asset secara baik. Hal ini antara lain mencakup akses rakyat untuk bisa berpartisipasi secara bermakna dalam kehidupan sosial dan politik, akses pada modal, teknologi, manajemen, pendampingan/pembinaan, peningkatan kapasitas dan kemampuan, bahkan juga penataan organisasi usaha serta akses-akses lain yang dibutuhkan para petani untuk dapat berkembang.74 Atas dasar ini, maka PPAN yang akan dilaksanakan oleh BPN didefinisikan sebagai landreform plus, yakni landreform untuk mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, ditambah dengan access reform. Atau secara mudah diringkaskan dalam rumusan sebagai berikut: PPAN= Land Reform + Access Reform. Dengan pengertian yang menyeluruh semacam ini, maka pelaksanaan reforma agraria diharapkan dapat mencapai tujuan-tujuan sebagai berikut:75 1. menata kembali ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah ke arah yang lebih adil 2. mengurangi kemiskinan 3. menciptakan lapangan kerja 4. memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi, terutama tanah 5. mengurangi sengketa dan konflik pertanahan 6. memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup 7. meningkatkan ketahanan pangan. Program reforma agraria yang dicanangkan pemerintah ini disebut sebagai Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN). Secara umum, pelaksanaan program ini akan mencakup empat lingkup kegiatan sebagai berikut ini: 74 75
Shohibuddin, Op. Cit, hal. 813 Ibid
Universitas Sumatera Utara
1. penetapan obyek 2. penetapan subyek 3. mekanisme untuk distribusi asset tanah, 4. pengembangan access reform. Program Pembaharuan Agraria Nasional ini pada teorinya sudah tepat namun pelaksanaannya dilapangan belum sesuai dengan teori yang ada seperti penetapan objeknya juga tidak seperti teorinya ada pengalokasian lahan seluas 9,25 juta ha (Sembilan koma dua puluh lima juta hektar) tetapi pada prakteknya objek itu belum terlihat, Mekanisme untuk distribusi asset tanah juga sampe sekarang belum terlihat realisasinya dan pengembangan access reformnya juga belum bisa terlaksana padahal access reform inilah ciri utama yang membedakan antara PPAN dengan program landreform terdahulu.
I. Obyek Program Pembaharuan Agraria Nasional Tanah-tanah yang ditetapkan sebagai obyek reforma agraria pada dasarnya adalah tanah Negara, tanah obyek landreform seperti tanah absentee dan tanah kelebihan maksimum. Identifikasi tanah negara yang dapat menjadi obyek reforma agraria merupakan tahapan yang sangat penting.76 Tanah Negara adalah bidang-bidang tanah yang tidak dimiliki perorangan atau badan hukum dengan hak tanah tertentu yang ditetapkan dalam UUPA dan peraturan pelaksanaannya, dan dengan demikian dikuasai langsung oleh negara. Terhadap tanah 76
Ibid, hal 814
Universitas Sumatera Utara
semacam ini kekuasaan negara bersifat penuh dan mutlak. Negara sebagai “Badan Penguasa” (bukan pemilik) dapat mengatur peruntukan tanah ini dan menentukan hubungan hukumnya dengan seseorang atau badan hukum dengan suatu hak tertentu sesuai dengan peruntukan yang telah ditentukan. Apabila tanah tersebut telah diberikan negara dengan suatu hak tertentu kepada perseorangan atau badan hukum, maka dengan sendirinya kekuasaan Negara telah dibatasi oleh isi dari hak itu.77 Meskipun demikian, dalam faktanya kekuasaan Negara atas tanah-tanah yang belum dipunyai oleh seseorang atau badan hukum ini sedikit banyak dibatasi pula, misalnya oleh hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat. Bilamana menurut kenyataan masih terdapat hak-hak ulayat sedemikian ini, maka kekuasaan negara atas tanah-tanah tersebut tidak bebas sepenuhnya. Begitu juga terhadap kawasan hutan yang secara legal juga tanah negara, tidak bisa diberikan suatu hak tertentu sampai dilepaskan terlebih dulu dari status kawasan hutan. Sehingga dengan demikian, tidak semua tanah negara dapat dengan bebas dijadikan sebagai obyek reforma agraria (PPAN). Tanah absentee adalah dimana objek tanah dengan si pemilik tanah berada di Kecamatan yang berbeda sehingga si pemilik tanah tidak bisa mengusahakan tanahnya tersebut secara aktif dan hal ini menurut peraturannya dapat diambil alih oleh pemerintah, namun pada prakteknya pengambilalihan tanah absentee dan tanah kelebihan tersebut oleh pemerintah tidak pernah ada realisasinya dikarenakan tidak ada orang yang mau memberikan tanahnya kepada orang lain tanpa ada ganti 77
Ibid, hal. 815
Universitas Sumatera Utara
kerugian yang layak dan pesatnya peningkatan jumlah penduduk yang mengakibatkan terbatasnya sumber daya tanah sehingga hal tersebut merupakan ketentuan landreform yang sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan kebutuhan masyarakat pada saat ini. Mengingat makna strategis reforma agraria ini adalah restrukturisasi penggunaan, pemanfaatan, penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria, maka diperlukan penyediaan tanah yang memadai baik dari luasnya maupun kualitasnya guna menjamin terselenggaranya restrukturisasi tersebut. Sehingga untuk itu, diperlukan penyediaan tanah dalam jumlah luas yang berada pada wilayah-wilayah yang berpenduduk kurang padat. Di sisi yang lain, pemilihan obyek reforma agraria di wilayah yang berpenduduk padat juga dipandang amat strategis untuk dapat menjawab persoalan kemiskinan dan penguasaan tanah yang sempit, selain diharapkan bisa turut membantu menyelesaikan sengketadan konflik pertanahan yang umumnya terkonsentrasi di wilayah-wilayah yang lebih padat penduduknya. Berdasarkan kesemuanya ini, maka persoalan mengenai lokasi yang akan ditetapkan sebagai obyek reforma agraria haruslah ditunjuk pada tanah-tanah yang penguasaannya ada pada negara sepenuhnya. Apabila masih terdapat hak-hak yang melekat pada tanah yang menjadi calon lokasi reforma agraria, atau yang haknya masih disengketakan oleh berbagai pihak, maka hal ini harus diselesaikan terlebih dahulu sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan melalui kesepakatan dari pihakpihak yang terlibat.
Universitas Sumatera Utara
Apabila dalam faktanya ternyata tanah negara yang akan dijadikan lokasi reforma agraria telah digarap oleh para petani, maka penggarap ini harus mendapat prioritas sebagai penerima redistribusi tanah sehingga hak mereka atas tanah yang telah digarap selama ini dapat dikuatkan.78 Mengenai kategori obyek reforma agraria menurut tingkatan kepadatan penduduk, pemerintah sendiri telah menyiapkan alokasi tanah baik untuk wilayah yang berpenduduk kurang padat maupun yang padat. Untuk obyek reforma agraria di wilayah berpenduduk kurang padat, Presiden SBY telah mengalokasikan tanah seluas 8,15 juta ha (delapan koma lima belas juta hektar) yang berada di luar pulau Jawa.79 Tanah seluas ini diidentifikasi dari areal indikatif kawasan hutan produksi konversi yang akan dilepaskan statusnya sebagai kawasan hutan untuk tujuan reforma agraria ini. Sedangkan untuk obyek reforma agraria pada wilayah penduduk padat, BPN telah mengidentifikasi tanah negara seluas 1,1 juta ha (satu koma satu juta hektar) dari berbagai sumber yang dapat dialokasikan sebagai obyek reforma agraria. Dengan demikian, luas keseluruhan tanah obyek reforma agraria yang dialokasikan untuk pelaksanaan program reforma agraria ini dalam periode 2007-2014 adalah seluas 9,25 juta ha (Sembilan koma dua puluh lima juta hektar). 80 Hal ini dengan sendirinya menuntut BPN agar tidak membatasi pelaksanaan reforma agraria pada alokasi lahan seluas 8,15 juta ha (delapan koma lima belas juta hektar) semata. Namun, BPN juga diharapkan dapat menjalankan reforma agraria 78
Tampil Anshari, UUPA dalam Bagan, Op. Cit, hal. 89 Sohibuddin, Op. Cit, hal. 817 80 Ibid 79
Universitas Sumatera Utara
pada objek-objek yang dari awal memang menjadi kewenangan BPN. Dalam rangka ini, maka BPN juga dituntut untuk memperluas pelaksanaan reforma agraria pada tanah sengketa dan konflik, Hak Guna Usaha (HGU) yang sudah berakhir atau yang ditelantarkan, dan tanah-tanah objek landreform lainnya. Secara rinci, penyediaan tanah bagi pelaksanaan reforma agraria ini diperoleh dari sejumlah sumber sebagai berikut:81 1. 2. 3. 4.
Tanah bekas Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,atau Hak Pakai Tanah yang terkena ketentuan konversi Tanah yang diserahkan secara sukarela oleh pemiliknya Tanah hak yang pemegangnya melanggar ketentuan peraturan perundangundangan 5. Tanah obyek landreform 6. Tanah bekas obyek landreform 7. Tanah timbul 8. Tanah bekas kawasan pertambangan 9. Tanah yang dihibahkan oleh pemerintah 10. Tanah tukar menukar dari dan oleh pemerintah 11. Tanah yang dibeli oleh pemerintah 12. Tanah pelepasan Kawasan Hutan Produksi Konversi 13. Tanah bekas kawasan hutan yang pernah dilepaskan.
J. Subyek Program Pembaharuan Agraria Nasional Keberhasilan program reforma agraria selain ditentukan oleh ketersediaan tanah yang menjadi obyeknya, juga amat tergantung pada penentuan penerima manfaatnya (subyek reforma agraria) secara tepat. Pada prinsipnya, tanah yang dialokasikan untuk reforma agraria adalah untuk rakyat miskin.
81
Ibid, hal. 817
Universitas Sumatera Utara
Kriteria miskin ini disusun secara hati-hati dan mendalam dengan mempertimbangkan berbagai standar kemiskinan. Penyusunan penerima manfaat akan didasarkan pada pendekatan hak-hak dasar rakyat yang merupakan hak yang universal dan dijamin oleh konstitusi. Dari sini diperoleh tiga variabel pokok dalam menentukan kriteria, yaitu kependudukan, sosial-ekonomi, dan penguasaan tanah. Dari ketiga variabel ini ditetapkan kriteria umum, kriteria khusus dan urutan prioritas. Kriteria Umum: 1. Warga Negara Indonesia 2. Warga miskin 3. Berusia minimal 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah Kriteria Khusus 1. Bertempat tinggal atau bersedia tinggal di Kecamatan letak tanahnya 2. Kemauan yang tinggi untuk mendayagunakan tanah Urutan Prioritas 1. Orang yang tidak memiliki tanah (landless) 2. Banyaknya jumlah tanggungan keluarga 3. Lamanya bertempat tinggal 4. Mata pencaharian Tahapan penentuan rakyat miskin ini mestilah dimulai dari petani yang tinggal di dalam atau terdekat dengan lokasi, baru selanjutnya dibuka kemungkinan melibatkan kaum miskin dari daerah lain (termasuk dari daerah perkotaan), sejauh punya kemauan tinggi untuk mendayagunakan tanah.
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah Daerah yang bersangkutan dalam proses seleksi dan penentuan final nama-nama penerima manfaat ini harus banyak berperan. Secara umum, urutan kelompok-kelompok prioritas dalam penentuan subyek penerima PPAN sebagai berikut:82 1. Kelompok prioritas pertama adalah petani yang bekerja dan menetap di lokasi obyek PPAN 2. Kelompok prioritas kedua adalah petani yang berstatus petani penggarap dan buruh tani yang tidak memiliki tanah pertanian 3. Kelompok prioritas ketiga adalah petani yang memiliki luas tanah pertanian kurang dari 0,5 ha (nol koma lima hektar) 4. Kelompok prioritas keempat adalah petani pelaku pertanian dalam arti luas termasuk nelayan yang membutuhkan tanah guna untuk melangsungkan kehidupannya 5. Kelompok prioritas kelima adalah penduduk miskin yang mengacu pada data dari BPS (Badan Pusat Statistik) atau informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
K. Mekanisme PPAN Setelah obyek dan subyek reforma agraria ditetapkan, maka persoalan selanjutnya yang mendesak adalah mekanisme reforma agraria. hal ini penting terutama jika dihadapkan pada kondisi di mana subyek agraria tidak berada dalam satu lokasi dengan tanah yang tersedia (obyek reforma agraria). Kondisi semacam ini sangat mungkin terjadi karena, seperti diketahui, kepadatan penduduk terutama berada di Jawa, kemudian di Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Sementara sebagian besar alokasi tanah yang disiapkan untuk reforma agraria justru berada di
82
Ibid, hal. 820
Universitas Sumatera Utara
luar provinsi tersebut. Untuk itu dikembangkan model-model alternatif berdasarkan letak atau posisi obyek dan subyek reforma agraria. Secara garis besar mekanisme reforma agraria ini dapat dikelompokkan menjadi berikut: 1. Mekanisme pertama yaitu: objek mendekati subjek83 Mekanisme ini maksudnya adalah tanah dari daerah tidak padat penduduk didekatkan ke daerah padat penduduknya dan dekat dengan penerima manfaat. seperti ini relatif lebih sederhana dan langsung fokus pada ketiga objek tanah dalam Reforma Agraria ini, yaitu : a. tanah kelebihan maksimum; b. tanah absentee; c. tanah negara Penyelenggaraan Reforma Agraria dalam mekanisme ini dapat ditempuh melalui penataan asset atau meredistribusi subjek tanah di atas, serta penguatan akses atau memperbaiki akses petani kepada teknologi baru, mendekatkan pelaku usaha dengan sumber-sumber pembiayaan, serta menyediakan akses pasar dan pemasaran bagi produk yang akan dikembangkan oleh subjek Reforma Agraria. 2. Mekanisme kedua yaitu: Subjek mendekati objek.84 Mekanisme seperti ini diterapkan apabila subjek dan objek berada pada lokasi yang berjauhan. Skema transmigrasi seperti dengan memindahkan subjek 83 84
Ibid, hal. 821 Ibid
Universitas Sumatera Utara
petani miskin dan tidak bertanah dari daerah padat penduduk ke daerah jarang penduduk, serta memberikan atau meredistribusikan tanah seluas dua hektar atau lebih di daerah tujuan kepada subjek Reforma Agraria. 3. Mekanisme ketiga yaitu: Objek dan subjek di lokasi yang sama.85 Mekanisme seperti ini juga diterapkan apabila subjek dan objek berada pada lokasi yang sama. Ketiga mekanisme tersebut saling berkaitan erat dan sekaligus mempunyai manfaat sesuai dengan tujuan reforma agraria serta prinsip-prinsip pengelolaan pertanahan, yaitu: 1. Menyerap calon penerima manfaat sekaligus tenaga kerja yang mau berpindah ke lokasi tanah yang tersedia, untuk bekerja dan menerima tanah, dengan membangun kegiatan usaha yang sesuai. 2. Menyediakan tanah bagi calon penerima manfaat yang tidak ingin pindah ke tempat lain yang jauh. 3. Menyelesaikan konflik-konflik pertanahan yang sebagian besar berada di daerahdaerah yang berpenduduk padat dan ketersediaan tanahnya sangat terbatas.
L. Pengembangan Access Reform Kepastian keberlanjutan manfaat yang diterima oleh subyek reforma agraria memerlukan pengembangan access reform dalam arti luas secara tepat karena
85
Ibid
Universitas Sumatera Utara
kegiatan PPAN tidak terhenti sampai pemberian tanda bukti hak atas tanah (sertipikat atau asset reform), namun dilanjutkan dengan memberikan fasilitas untuk membuka akses kepada petani terhadap modal, teknologi, pasar, peningkatan kapasitas, manajemen dan pendampingan. Agar tanah petani dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin sehingga dapat memberikan hasil yang optimal pula, yang pada gilirannya dapat meningkatkan taraf hidup petani. Kegiatan access reform perlu direncanakan, diselenggarakan dan dikendalikan secara cermat dan matang baik dalam konteks penyediaan dukungan keuangan (modal), dukungan teknis dan management, pemasaran maupun dalam pembinaan lanjutan lainnya. Karena kegiatan ini merupakan komponen kegiatan yang bersifat multi-sektoral, maka koordinasi secara intensif dan kontributif serta bersinergi satu sama lain dari segenap pihak yang terkait baik internal maupun eksternal dalam kegiatan ini merupakan suatu keharusan. Kegiatan access reform dapat dilaksanakan pada tahap awal, pertengahan atau akhir kegiatan redistribusi tanah. Pada tahap awal, pelaksanaan access reform berbarengan dengan kegiatan redistribusi dimulai dalam melakukan koordinasi dengan berbagai pihak agar hubungan kerja sudah terbangun dengan baik. Sehingga potensi lokasi yang ada sudah terlihat sesuai dengan bentuk access reform yang akan dikembangkan, misalnya pemanfaatan tanah untuk apa, pihak-pihak yang turut serta, hak dan kewajibannya, besarnya bantuan modal atau kredit yang akan diberikan oleh lembaga keuangan atau perbankan, bantuan teknis yang diperlukan, siapa yang memberikan
Universitas Sumatera Utara
bimbingan atau pendampingan, siapa yang membeli atau menampung atau mengolah hasil tanah tersebut, dan sebagainya. Sedangkan yang dilaksanakan pada tahap pertengahan misalnya berbarengan pada saat pelaksanaan tahapan identifikasi subyek dan obyek dengan melihat potensi yang ada di lokasi redistribusi. Dan untuk yang dilaksanakan pada tahap akhir, dilaksanakan setelah sertipikat selesai diterbitkan kemudian dikembangkan melalui access reform. Adapun secara garis besar, tahapan pelaksanaan access reform adalah sebagai berikut: 1. Persiapan dan Perencanaan 86 Tahapan persiapan dan perencanaan dapat berbarengan pada saat pelaksanaan redistribusi tanah. Penentuan lokasi kegiatan sama dengan lokasi pada pelaksanaan redistribusi tanah 2. Melakukan penyuluhan. 87 Ditujukan kepada petani/petani penggarap penerima redistribusi atau calon petani penerima redistribusi, tokoh masyarakat (Pemuka Agama, Tetua Adat, Pengurus RT/RW dll) dan pemangku kepentingan (stake holders) lainnya, antara lain: intansi pemerintah terkait, lembaga keuangan (perbankan), lembaga swadaya masyarakat, organisasi petani. Tujuannya antara lain agar kegiatan Redistribusi Tanah tidak terhenti hanya dalam penerbitan sertipikat saja tetapi dapat 86
Petunjuk Pelaksana Kegiatan Redistribusi Tanah Obyek Landreform, Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, 2011 87 Ibid
Universitas Sumatera Utara
dipergunakan untuk keperluan peningkatan perekonomiannya petani penerima redistribusi. 3. Menginventarisir dan mengidentifikasi potensi yang ada.88 Hal ini menjadi dasar dalam pembentukan pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan akses reform. 4. Membentuk Tim Koordinasi Access Reform yang beranggotakan para stake holders (instansi terkait, pemerintah daerah dan lain-lain) 5. Melakukan fasilitasi dan rapat koordinasi dengan para pemangku kepentingan (stake holders).89 6. Pembuatan Nota Kesepahaman (MoU) 90 Kerjasama atau kemitraan selayaknya dituangkan dalam Nota Kesepahaman (MoU) antar para pemangku kepentingan (stake holders). Sebelum pembuatan MoU didahului dengan pembentukan Kelompok Tani Reforma Agraria, bagi lokasi yang belum terdapat Kelompok Tani. Contoh beberapa peran stake holders dalam rangka access reform, diantaranya: 1. Dinas Pertanian, antara lain: a. Penyuluh pertanian b. Penyediaan pupuk, bibit, teknologi pertanian, pemasaran
88
Ibid Ibid 90 Ibid 89
Universitas Sumatera Utara
2. Dinas Kehutanan, antara lain: pelepasan kawasan hutan yang secara nyata di lapangan telah digarap oleh masyarakat selama puluhan tahun. 3. Kementerian Negara UKM, antara lain: a. Penyediaan dana b. Pembentukan badan usaha baik koperasi atau badan hukum lainnya c. Pendampingan manajemen, pemasaran, modal, advokasi. 4. Dinas Pekerjaan Umum, antara lain: a. Pematangan tanah b. Pembangunan jalan desa dan jalan penghubung ke jalan kabupaten, provinsi dan nasional, jembatan, terminal dan lain sebagainya c. Pembangunan irigasi dan fasilitas pertanian lainnya d. Pembangunan pasar. 5. LSM dan Organisasi Petani, antara lain: a. Membantu menyeleksi petani yang memenuhi persyaratan b. Mencegah masuknya penduduk dari daerah lain ke daerah (desa atau kecamatan) letak tanah yang akan dibagikan c. Mencegah masuknya para spekulan tanah d. Pendampingan advokasi, manajemen, teknologi pertanian, pemasaran. 6. Lembaga keuangan, antara lain: a. Penyediaan kredit dengan bunga ringan untuk membiayai kegiatan pra–redistribusi dan redistribusi
Universitas Sumatera Utara
M. Tujuan Program Pembaharuan Agraria Nasional Menurut penjelasan pemerintah, ada 5 (lima) tujuan utama yang hendak dicapai dari pelaksanaan PPAN yaitu: 1. Menata kembali struktur penguasaan, pemilikan, pemanfaatan dan penggunaan tanah dan kekayaan alam lainnya sehingga menjadi lebih berkeadilan sosial, 2. Meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, khususnya kaum tani dan rakyat miskin di pedesaan, 3. Mengatasi pengangguran dengan membuka kesempatan kerja baru di bidang pertanian dan ekonomi pedesaan, 4. Membuka akses bagi rakyat terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik 5. Mewujudkan mekanisme sistematis dan efektif untuk mengatasi sengketa dan konflik agraria. Selain lima tujuan di atas, pemerintah juga menyatakan bahwa pelaksanaan PPAN ini diharapkan juga dapat mewujudkan ketahanan pangan dan energi, serta dapat memperbaiki dan menjaga kelestarian dan keberlanjutan lingkungan. Dalam konteks berbeda akan tetapi sangat terkait dengan tujuan di atas, Kepala BPN RI juga menekankan empat prinsip di dalam menjalankan kebijakan, program dan proses pengelolaan pertanahan di masa depan, yaitu: 91 1. Pertanahan berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, penciptaan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat, pengurangan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan, serta pemantapan ketahanan pangan. (Prosperity)
91
Yusuf nafiri, Op. Cit. hal. 35.
Universitas Sumatera Utara
2. Pertanahan berkontribusi secara nyata dalam peningkatan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dan bermartabat dalam kaitannya dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T). (Equity) 3. Pertanahan berkontribusi secara nyata untuk mewujudkan tatanan kehidupan bersama yang harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa, konflik dan perkara pertanahan di seluruh tanah air dan penataan perangkat hukum dan sistem pengelolaan pertanahan sehingga tidak melahirkan sengketa, konflik dan perkara di kemudian hari. (Social Welfare) 4. Pertanahan berkontribusi secara nyata bagi terciptanya keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi yang akan datang terhadap tanah sebagai sumber kesejahteraan masyarakat. (Sustainability) Dengan digulirkannya kebijakan “landreform plus”, maka tantangan besar bagi pemerintah kemudian adalah mendesain operasionalisasi PPAN ini sehingga nantinya bisa dilaksanakan secara terpadu dan benar-benar diorientasikan pada penataan ulang struktur agraria yang timpang dan penyediaan program-program pendukungnya yang lebih luas. Pada saat yang sama, bagaimana bisa menggulirkan pelaksanaan PPAN ini agar mendapat dukungan yang luas baik di lingkungan elit politik, di antara lintas departemen dan level pemerintahan, maupun di kalangan masyarakat secara umum. Berkaitan dengan tujuan reforma agraria ini sebaiknya ada tiga yang harus dilakukan, yaitu: 1. hendaknya dibangun konsepsi utuh mengenai konsep, arah, model dan strategi implementasi PPAN yang akan dijalankan. Terwujudnya keadilan sosial, kesejahteraan umum, kemakmuran rakyat dan kemajuan segenap anak bangsa hendaknya jadi tujuan akhir yang dituju dalam
Universitas Sumatera Utara
pembaharuan agraria yang akan dijalankan, dari tujuan ini golongan lemah atau miskin seperti kaum tani, buruh tani, nelayan, buruh, masyarakat adat dan kaum miskin kota mestilah jadi pihak yang paling harus merasakan keuntungan dari hasil pembaharuan agraria. Adanya konsepsi yang utuh membantu sebagai panduan semua pihak untuk menjalankan reforma agraria dalam praktik di lapangan 2. Presiden RI hendaknya memimpin langsung pelaksanaan reforma agraria ini, mulai dari perumusan
konsepsi,
mengawal
pelaksanaan,
evaluasi
dan
pemantapannya. Untuk mengefektifkan operasi, Presiden didampingi oleh Kepala BPN RI yang diberi mandat untuk memimpin dan mengkoordinasikan teknis pelaksanaan PPAN. Semua menteri dan pejabat serta aparat pemerintah di berbagai departemen atau badan terkait di semua tingkatan baik dari pusat maupun sampai daerah hendaknya bersungguh-sungguh mensukseskan pelaksanaan PPAN ini. Sehingga Perlu dipertegas tugas pokok dan fungsi dari setiap unsur pemerintahan dalam pelaksanaan pembaruan agrarian dan siapa mengerjakan apa dan sejauh mana masing-masing punya andil yang hendaknya disinergikan secara lintas sektor dan lintas wilayah, dan harus dicegah adanya kesimpangsiuran dalam konsep dan praktik di internal pemerintahan karena dapat mengganjal kesuksesan pelaksanaan reforma Agraria. 3. Pemerintah bersama masyarakat harus mengupayakan pengumpulan data dan informasi seakurat mungkin mengenai posisi, jenis, sebaran, luasan tanah dan
Universitas Sumatera Utara
sumber-sumber agraria lain yang akan dijadikan objek reforma agraria. Begitu juga dengan data mengenai subjek penerima manfaatnya mesti disiapkan. Ketersediaan data yang akurat mengenai objek dan subjek reforma agraria menjadi syarat kunci keberhasilan PPAN itu sendiri. Ketepatan objek reforma agraria hendaknya disesuaikan dengan posisi, sebaran dan jumlah subjek calon penerima manfaat. Penyediaan data objek dan subjek reform ini dijalankan dengan melibatkan rakyat calon pemerima manfaat melalui organisasiorganisasinya. Tanah-tanah yang sudah diduduki dan dikuasai rakyat miskin hendaknya dijadikan sebagai bagian dari objek reforma agraria dan dijadikan prioritas untuk diberi legalisasi oleh pemerintah. Dengan demikian, pelaksanaan PPAN harus diletakkan dalam kerangka reforma agraria nasional yang menyeluruh. Sektor-sektor keagrariaan yang disentuh program pembaruan agraria nasional hendaknya mencakup pertanian, kehutanan, perkebunan, pertambangan, perairan, pesisir, pulau-pulau kecil dan kelautan. Hanya dengan pelaksanaan program reforma agraria nasional yang sesungguhnya maka tujuan mengatasi kemiskinan dan pengangguran dapat dicapai secara mendasar dan menyentuh hingga ke jantung akar persoalannya. Menyelenggarakan reforma agraria merupakan suatu keharusan bagi negaranegara yang sedang berkembang karena pembaharuan itu seyogiyanya dimanfaatkan
Universitas Sumatera Utara
untuk
kemajuan
di
bidang
pertanian
sebagai
dasar
untuk
mempercepat
perkembangan/pembangunan ekonomi.92 Indonesia sebagai Negara yang sedang berkembang seharusnya melaksanakan reforma agraria ini secara serius, berkesinambungan dan transparan bukan setengahsetengah agar smua pihak bisa ikut aktif dalam melaksanakan program ini sehingga dapat membantu pertumbuhan ekonomi Indonesia terutama di bidang pertanian.
92
Iman Sudayat, Beberapa Masalah Penguasaan Tanah Di Berbagai Masyarakat Sedang Berkembang, Liberty, Yogyakarta, 1982, hal. 204
Universitas Sumatera Utara