BAB II KEBIASAAN MENONTON SINETRON REMAJA DENGAN KEBIASAAN BELAJAR SISWA
A. Konsep Kebiasaan Belajar 1. Pengertian Kebiasaan Makna kebiasaan berasal dari kata biasa, yang mengandung arti pengulangan atau sering melakukan. Parea (1987), kebiasaan terjadi melalui pengulangan. Sesuai dengan pernyataan, maka jika suatu perbuatan atau tingkah laku yang dilakukan seseorang secara berulang-ulang dalam hal yang sama, akan menjadi suatu kebiasaan. Sedangkan menurut Witherington (1982), kebiasaan merupakan suatu cara bertindak yang telah dikuasai yang bersifat tahan uji, seragam dan banyak sedikitnya otomatis. Tingkah laku yang cenderung selalu ditampilkan individu dalam menghadapi situasi atau kondisi tertenu disebut kebiasaan. Dalam proses pembentukan kebiasaan siswa dilakukan melalui kegiatan pembiasaan. Pembiasaan adalah kegiatan yang dikondisikan untuk selalu ditampilkan, seperti yang terdapat dalam buku pedoman pelaksanaan Pembiasaan Pusat Kurikulum (2005 : 3) menyebutkan pembiasaan adalah “proses pembentukan sikap dan perilaku yang relatif menetap melalui pengalaman yang berulangulang sampai pada tahap otonomi (kemandirian)”. Perilaku yang relatif menetap artinya sudah menjadi kebiasaan.
17
18
Pengalaman yang berulang-ulang adalah pengalaman yang dibentuk melalui proses pembelajaran, bukan merupakan hasil kematangan atau proses pemaksaan, melainkan proses pembelajaran akhirnya sampai pada tahap otonomi (kemandirian). Tahap otonomi berarti sikap dan perilaku sudah menjadi bagian dari diri individu sendiri (internalisasi) yang ditandai dengan munculnya rasa bersalah (guilty feeling) apabila melakukan pelanggaran, berani menyatakan pendapat secara tegas (asertif) apabila situasi atau kondisi tidak sesuai dengan keyakinan dan perasaannya maka individu dengan tegas bisa menolak atau mengatakan “tidak” dan akan mengatakan setuju apabila sesuai dengan perasaan dan keyakinannya, mampu mengambil keputusan atas dasar pertimbangan yang matang dari diri sendiri, tanpa adanya intervensi dari pihak lain. Kebiasaan merupakan perilaku individu yang selalu ditampilkan apabila individu menghadapi situasi atau kondisi tertentu, maka kebiasaan perlu dibentuk melalui kegiatan pembiasaan. Pusat Kurikulum dalam buku Pedoman Pembiasaan SMP/MTs (Sularti, 2008 : 22) menyatakan ada 4 bentuk kegiatan pembiasaan adalah sebagai berikut : a.
Rutin, yaitu kegiatan yang dilakukan secara reguler baik di kelas maupun di luar kelas, di rumah ataupun di masyarakat. Seperti kebiasaan shalat, kebiasaan senam, pemeriksaan kesehatan, pergi ke perpustakaan, kebiasaan sebelum belajar, dan lain sebagainya dengan tujuan agar siswa memiliki kebiasaan yang baik.
19
b.
Spontan, yaitu kegiatan melatih siswa terbiasa secara spontan bersikap baik kepada siapa saja, di mana saja, dan kapan saja seperti tidak tergantung waktu dan tempat seperti memberi salam, membuang sampah pada tempatnya, menolong teman yang sakit, bertanya secara baik dan lain sebagainya.
c.
Teladan, kegiatan yang mengutamakan pemberian contoh dan teladan kepada siswa, seperti datang tidak terlambat, berpakaian rapih, menggunakan bahasa yang baik, sopan santun dan tata krama yang baik sesuai dengan norma yang ada.
d.
Terprogram, kegiatan yang direncanakan dan diprogramkan secara berkala seperti seminar, kunjungan ke panti, aneka lomba, bazar dan sebagainya. Tujuan dari kegiatan Pembiasaan menurut Pusat Kurikulum (Sularti,
2008 : 22) secara umum bertujuan untuk “mengembangkan potensi peserta didik secara optimal, yaitu menjadi manusia yang mampu menata diri dan menjawab berbagai tantangan dari dalam diri dan lingkungan secara adaptif dan konstruktif”. Kebiasaan adalah suatu cara individu bertindak yang sifatnya otomatis untuk suatu masa tertentu. Tingkah laku yang menjadi kebiasaan yang memerlukan fungsi berpikir yang cukup tinggi karena sifatnya sudah relatif tetap (Mohamad Surya, 1992:28). The Liang Gie (1995) “suatu kebiasaan adalah perilaku seseorang yang dilakukannya secara tetap atau sama dari
20
waktu ke waktu tanpa pemakaian banyak pikiran sadar”. Oleh karena sifat dasarnya yang spontan dan otomatis. Kebiasaan menurut Hasan Alwi (2001:146) adalah sesuatu yang biasa dikerjakan. Kebiasaan menurut Nurhasanah (2000:48) adalah tingkah laku yang sering diulang sehingga lama kelamaan menjadi otomatis dan bersifat menetap. Selanjutnya menurut Prayitno (2004 : 19) kebiasaan adalah Tingkah laku yang cenderung selalu ditampilkan oleh individu dalam menghadapi keadaan tertentu atau ketika berada dalam keadaan tertentu, kebiasaan terwujud dalam tingkah laku nyata seperti memberi salam, tersenyum, ataupun yang tidak nyata seperti berpikir, merasakan, dan bersikap. Sikap dan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam hubungan sosial, mengikuti aturan, belajar serta sikap dan kebiasaan dalam menghadapi kondisi tertentu seperti : jatuh sakit, menghadapi ujian, bertemu guru atau orang tua dan ketika mempunyai sesuatu yang menakutkan dan lain sebagainya.
Paparan mengenai kebiasaan yang dijelaskan membentuk kebiasaan siswa dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah khususnya dan menjadikan “aktivitas kehidupan” sehari-hari, kehidupan pribadi seperti : makan, minum, tidur, shalat, berdoa, belajar, mengikuti aturan, tata tertib dan norma-norma dan aktivitas lainnya. Dari beberapa paparan kebiasaan suatu perilaku manusia yang menetap, berlangsung secara otomatis. Kebiasaan mungkin merupakan hasil pelaziman yang berlangsung pada waktu yang lama atau sebagai reaksi khas yang diulangi seseorang berkali-kali.
21
2. Pengertian Belajar Belajar merupakan aktivitas siswa dalam rangka mengembangkan potensi dirinya, baik menyangkut aspek kognitif (intelektual), afektif (sikap, keyakinan, kebiasaan), konatif (motif, minat, dan cita-cita), maupun psikomotorik (keterampilan), melalui interaksi dengan lingkungan (seperti di rumah, dengan orang tua, di sekolah dengan guru, dsb) (Syamsu Yusuf, 2009: 162). Skinner, yang dikutip Barlow (1985) berpendapat belajar adalah suatu proses adaptasi (penyesuaian tingkah laku) yang berlangsung secara progresif. Diungkapkan dalam pernyataan ringkasnya, belajar adalah: “… a process of progressive behavior adaption”. Menurut Drs. Slameto belajar adalah suatu prosedur yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Cronbach berpendapat learning is shown by change in behavior as a result of experience. Belajar sebagai suatu aktivitas yang ditunjukan oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Chaplin (1972) dalam Dictionary of Psychology membatasi belajar dengan dua rumusan. Rumusan pertama berbunyi: “… acquisition of any relatively permanent change in behavior as a result of practice and experience” (Belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat latihan dan pengalaman). Rumusan keduanya adalah
22
process of acquiring responses as a result of special practice (Belajar ialah proses memperoleh respon-respon sebagai akibat adanya latihan khusus). Hintzman (1978) ”Learning is a change in organism due to experience which can affect the organism’s behavior” (Belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri organisme, manusia atau hewan, disebabkan oleh pengalaman yang mempengaruhi tingkah laku organisme). Reber (1989) dalam kamusnya, Dictionari of Psychology membatasi belajar dengan dua definisi. Pertama, belajar adalah pross memperoleh pengetahuan. Kedua, belajar adalah suatu perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil latihan yang diperkuat. Dalam definisi terdapat empat macam istilah yang perlu disoroti untuk memahami proses belajar, istilah-istilah sebagai berikut. a. Relatively permanent (yang secara umum menetap), konotasinya ialah perubahan yang bersifat sementara seperti perubahan karena mabuk, lelah, jenuh, dan perubahan karena kematangan fisik tidak termasuk belajar. b. Response potentially (kemampuan bereaksi), berarti menunjukan pengakuan terhadap adanya perbedaan antara belajar dan penampilan atau kinerja hasil-hasil belajar. c. Reinforced (yang diperkuat), konotasinya ialah kemajuan yang didapat dari proses belajar mungkin akan musnah atau sangat lemah apabila tidak diberi penguatan.
23
d. Practice (praktek atau latihan), menunjukan proses belajar membutuhkan latihan yang berulang-ulang untuk menjamin kelestarian kinerja akademik yang telah dicapai siswa. Sementara itu, Moh. Surya (1997) mengemukakan hasil belajar akan tampak dalam hal-hal sebagai berikut ini. a. Kebiasaan, seperti peserta didik belajar bahasa berkali-kali menghindari kecenderungan penggunaan kata atau struktur yang keliru; sehingga akhirnya ia terbiasa dengan penggunaan bahasa secara baik dan benar. b. Keterampilan, seperti menulis dan berolah raga yang meskipun sifatnya motorik; keterampilan-keterampilan memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi. c. Pengamatan, yakni proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui indera-indera secara obyektif sehingga peserta didik mampu mencapai pengertian yang benar. d. Berpikir asosiatif, yakni berfikir dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan lainnya dengan menggunakan daya ingat. e. Berpikir rasional dan kritis, yakni menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam menjawab pertanyaan kritis seperti “bagaimana” (how) dan “mengapa” (why). f. Sikap, yakni kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan. g. Inhibisi, yakni (menghindari hal yang mubazir).
24
h. Apresiasi (menghargai karya-karya bermutu). i. Perilaku afektif, yakni perilaku yang bersangkutan dengan perasaan takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang, benci, was-was dan sebagainya. Dari beberapa pengetian, belajar diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan perilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
3. Pengertian Kebiasaan Belajar Adapun kebiasaan belajar diartikan sebagai perilaku (kegiatan) belajar yang relatif menetap, karena sudah berulang-ulang (rutin) dilakukan (Syamsu Yusuf, 2009: 138). Kebiasaan belajar adalah segenap perilaku siswa yang ditunjukan secara ajeg dari waktu-kewaktu dalam rangka menambah ilmu pengetahuan baik di sekolah, di rumah maupun bersama teman. Perlu diperhatikan kebiasaan belajar tidaklah sama dengan keterampilan belajar. Kebiasaan belajar adalah perilaku belajar seseorang dari waktu kewaktu dengan cara yang sama, sedangkan keterampilan belajar adalah suatu sistem, metode, teknik yang telah dikuasai untuk melakukan studi. Dalam pembentukan kebiasaan mula-mula individu mencari cara-cara yang paling mudah dilaksanakannya yang memberikan kepuasan. Cara-cara yang paling mudah akan diulang jika individu mendapatkan situasi yang
25
seragam dengan situasi terdahulu, sehingga lama kelamaan cara-cara paling mudah menjadi menetap pada diri individu yang bersangkutan selama caracara atau pola-pola perilaku dipertahankan. Mengenai pembentukan kebiasaan belajar ada dua cara yang diamati. Pertama, dilakukan melalui pengulangan suatu kegiatan dengan cara yang sama, karena cara tertentu lebih mudah dilakukan dari pada cara-cara lain sehingga dilakukan secara berulang-ulang. Cara kedua, untuk membentuk kebiasaan lebih disengaja dan berencana. Individu dengan sengaja melakukan perbuatan dalam cara tertentu sehingga terbentuklah semacam pola yang otomatis. Pola tersebut digunakan individu untuk mengubah kebiasaan lama dan menggantikannya dengan kebiasaan baru yang dianggap memiliki efek yang lebih baik bagi dirinya. Kebiasaan yang baik merupakan pola-pola perilaku yang relatif menetap dalam menunjang kegiatan belajar yang berdampak pada hasil yang baik pula karena terdapat kesesuaian antara yang dilakukan siswa dengan pola-pola perilaku yang dituntut dalam proses belajar. Dudung Sulaeman (1984 : 19) mengungkapkan kebiasaan belajar adalah tindakan atau usaha yang nyata para siswa dalam belajar yang akan menentukan besar kecilnya hasil yang dicapai. Teknik-teknik yang perlu dikuasai para siswa untuk mencapai hasil yang baik tidak lain daripada berbagai tindakan yang diharapkan menjadi kebiasaan sehari-hari dalam belajar. Kebiasaan belajar bukan merupakan bakat alamiah yang berasal dari faktor bawaan, tetapi merupakan perilaku yang dipelajari dengan secara
26
sengaja dan sadar selama beberapa waktu. Berbagai perilaku menjadi terbiasa karena diulang sepanjang waktu, oleh karena itu, akhirnya terlaksana secara spontan tanpa memerlukan pikiran sadar sebagai tanggapan otomatis terhadap sesuatu proses belajar. Dengan demikian, kebiasaan belajar adalah tindakan atau usaha yang nyata para siswa dalam belajar yang akan menentukan besar kecilnya hasil yang dicapai.
4. Aspek-Aspek Kebiasaan Belajar Menurut Sulaeman (1984 : 70) kebiasaan belajar diartikan sebagai caracara atau teknik-teknik yang mantap yang dilakukan siswa pada waktu ia menerima pelajaran dari guru, membaca buku dan mengerjakan tugas-tugas sekolah, serta pengaturan waktu untuk menyelesaikan kegiatan-kegiatan. Menurut Chaniago (2007 : 72) kebiasaan adalah sesuatu yang dikerjakan berulang-ulang. Sementara itu, menurut Surya (1992 : 28) kebiasaan adalah suatu cara individu bertindak yang sifatnya otomatis untuk suatu masa tertentu. Tingkah laku yang menjadi kebiasaan tidak memerlukan fungsi berpikir yang cukup tinggi karena sifatnya sudah relatif menetap. Aspek-aspek kebiasaan belajar menurut Dadang Sulaeman (1984) adalah sebagai berikut ini. 1) Kebiasaan siswa sebelum belajar. a. Menyiapakan PR/Tugas; b. Menyiapkan perlengkapan sekolah; c. Menyiapkan mental;
27
d. Menyiapkan fisik. 2) Kebiasaan belajar siswa diwaktu senggang. a. Pemanfaatan waktu istirahat; b. Pemanfaatan waktu jam pelajaran kosong; c. Menggunakan waktu luang saat di rumah atau saat libur. 3) Kebiasaan belajar bersama teman. a. Kemampuan mengendalikan diri; b. Aktivitas dalam belajar bersama; c. Menerima/menolak pendapat teman. 4) Kebiasaan belajar di kelas. a. Sebelum pelajaran dimulai; b. Saat pelajaran berlangsung. 5) Kebiasaan siswa dalam belajar kelompok. a. Tanggapan terhadap pendapat teman; b. Kehadiran dalam kelompok belajar; c. Aktivitas dalam kelompok belajar. 6) Kebiasaan belajar di rumah. a. Belajar di rumah; b. Belajar dengan bantuan kakak/orang tua.
5. Karakteristik Kebiasaan Belajar Sularti (2008 : 90-92) mengemukakan aspek-aspek perilaku yang termasuk dalam kebiasaan belajar yang baik diantaranya menyiapkan alat,
28
mental, dan fisik saat akan belajar, baik belajar di rumah atau di sekolah, memanfaatkan waktu luang untuk menambah ilmu pengetahuan, belajar kelompok, memperhatikan saat guru menerangkan mata pelajaran di kelas, berkontribusi dalam diskusi kelompok, serta memiliki jadwal belajar di rumah. Kebiasaan belajar meliputi kegiatan belajar di rumah, di sekolah, (di kelas, di perpustakaan, dan di tempat praktek). Sikap dan kebiasaan belajar yang positif (Syamsu Yususf, 2009: 139) adalah sebagai berikut. a.
Menyenangi pelajaran (teori dan praktek).
b.
Merasa senang untuk mengikuti kegiatan belajar yang diprogramkan sekolah.
c.
Mempunyai jadwal belajar yang teratur.
d.
Mempunyai disiplin diri dalam belajar (bukan karena orang lain).
e.
Masuk kelas tepat pada waktunya.
f.
Memperhatikan penjelasan dari guru.
g.
Mencatat pelajaran dalam buku khusus secara rapih dan lengkap.
h.
Senang mengajukan pertanyaan apabila tidak memahaminya.
i.
Berpartisipasi aktif dalam kegiatan diskusi kelas.
j.
Membaca buku-buku pelajaran secara teratur.
k.
Mengerjakan tugas-tugas atau PR dengan sebaik-baiknya.
l.
Meminjam buku-buku ke perpustakaan untuk menambah wawasan keilmuan.
m. Ulet atau tekun dalam melaksanakan pelajaran praktek.
29
n.
Senang membaca buku-buku lain, majalah atau koran yang isinya relevan dengan pelajaran atau program studi yang ditempuhnya.
o.
Tidak mudah putus asa apabila mengalami kegagalan dalam belajar (seperti tidak lulus tes atau nilainya rendah). I Nengah Konten (2009 : http://www.balispot.com/mediadetail.php)
mengemukakan kebiasaan belajar yang baik dilakukan oleh siswa, dengan mendominasi asas-asas sebagai berikut ini. a.
Melakukan semua kegiatan belajar di tempat yang sama, dalam kamar sendiri kalau mungkin.
b.
Tidak melakukan usaha belajar pada kamar yang dipergunakan untuk rekreasi.
c.
Tidak bersaing dengan pengganggu-pengganggu perhatian.
d.
Melakukan aktivitas belajar terhadap suatu mata pelajaran atau bahan ajaran pada waktu yang sama setiap hari.
e.
Tidak belajar dalam posisi terlalu santai.
f.
Tidak melakukan hal lain ketika belajar.
g.
Menggunakan waktu yang cukup untuk belajar.
h.
Segera memulai belajar setelah duduk menghadapi meja belajar.
i.
Tidak terlalu banyak beraktivitas di luar pelajaran.
j.
Membuat contoh-contoh guna memeriksa pemahaman bahan ajaran.
k.
Mencari kegunaan praktis dari pengetahuan yang diperoleh, terlebih pengetahuan yang baru.
30
l.
Pada awal setiap mata pelajaran, mengusahakan memperoleh gambaran menyeluruh mengenai isinya.
m. Mencurahkan perhatian penuh sehingga ada keinginan untuk mencapai sesuatu, dan selalu ingin belajar. n.
Melatih kebiasaan untuk belajar tuntas.
o.
Memperhatikan secara teliti kata-kata baru atau kata-kata asing.
6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebiasaan Belajar Siswa yang meyakini belajar penting bagi pengembangan kualitas diri, bernilai ibadah,
merasa senang terhadap kegiatan belajar, maka dia
cenderung untuk melakukan kegiatan belajar dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi,
apabila
kenyataan
dan
perasaan
siswa
sebaliknya,
maka
kecenderungan yang timbul adalah siswa akan malas atau enggan belajar. Kebiasaan belajar terwujud dan dilaksanakan siswa dalam kaitannya dengan aktivitas kehidupan yang nampak yaitu dalam bentuk tingkah laku khususnya dalam proses pembelajaran di sekolah. Kebiasaan belajar tidak muncul dengan sendirinya tetapi dikondisikan dan dibentuk melaui berbagai kegiatan baik melalui pengalaman, latihan dan belajar, yang dilakukan secara terus menerus, maupun yang berkesinambungan dalam suasana pembelajaran. Pengalaman dan latihan yang disengaja dan disadari merupakan proses belajar sampai dengan tercapainya kematangan dan kemantapan dalam mengambil keputusan dan rencana masa depan. Perubahan dapat terjadi karena adanya proses pembelajaran, dalam pembentukan kebiasaan dengan
31
melalui pembelajaran. Individu akan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor luar individu (eksternal) dan faktor dalam individu sendiri (internal). Sejalan dengan yang diungkapkan Syamsu Yusuf (2004) kebiasaan belajar dipengaruhi oleh faktor intern dan ekstern dan dikembangkan melalui latihan, pemahaman, perasaan dan keyakinan tentang manfaat belajar. Sularti (2008 : 33-35) mengemukakan faktor dari luar dan dari dalam individu yang mempengaruhi kebiasaan belajar. Faktor dari luar individu yang sering berpengaruh pada kebiasaan belajar adalah sebagai berikut. a.
Sikap Guru, yaitu guru yang kurang memahami dan mengerti tentang kondisi siswa, guru tidak adil, kurang perhatian, khususnya pada anakanak yang kurang cerdas atau pada siswa yang memiliki gangguan emosi atau lainnya, guru yang sering marah jika siswa tidak dapat mengerjakan tugas.
b.
Keadaan ekonomi orang tua, yaitu siswa tidak sekolah atau alpa (tanpa keterangan) disebabkan siswa tidak memiliki uang transport untuk ke sekolah karena lokasi sekolah sangat jauh dari rumah, atau siswa tidak dapat mengerjakan tugas karena tidak memiliki buku lembar kegiatan siswa (LKS), dan kesulitan belajar di rumah karena tidak memiliki buku paket dan kelengkapan belajarnya.
c.
Kasih sayang dan perhatian orang tua, yaitu siswa malas pada umumnya berasal dari keluarga yang kurang utuh, orang tua bercerai, memiliki ibu atau bapak tiri, sibuk dengan pekerjaan, berangkat pagi dan pulang larut
32
malam sehingga tidak bertemu dengan anak-anaknya karena sudah tidur, sehingga orang tua kurang mencurahkan perhatian dan kasih sayang pada anaknya, anak merasa ditelantarkan, disia-siakan, merasa dirinya tidak berarti. d.
Layanan bimbingan dan konseling, yaitu guru pembimbing dianggap kurang memberikan layanan yang maksimal kepada setiap siswa. Akibat dari keterbatasan tenaga yaitu satu guru pembimbing harus menangani 875 siswa, seharusnya satu guru pembimbing mengenai 150-225 siswa sebagaimana telah dijelaskan dalam Panduan Pelayanan Bimbingan dan Konseling (2002 : 17), keterbatasan sarana, dan dorongan dari para pemegang kebijakan sekolah. Faktor dari dalam individu yang sering berpengaruh adalah sebagai
berikut. a.
Minat, motivasi dan cita-cita, yaitu pada umumnya siswa yang memiliki kebiasaan malas belajar atau sering tidak masuk sekolah karena tidak memiliki cita-cita atau harapan.
b.
Pengendalian diri dan emosi, yaitu siswa malas atau membolos dapt disebabkan siswa tidak dapat menolak ajakan teman, perasaan takut, kecewa atau tidak suka kepada guru, emosi yang tidak stabil seperti mudah tersinggung, mudah marah dan mudah putus asas.
c.
Kelemahan fisik, panca indra, kecacatan lainnya, yaitu siswa yang memiliki
kekurangan
fisik
kurang
berkembang
dengan
normal
dimungkinkan memiliki sikap dan kebiasaan belajar yang kurang baik,
33
siswa ingin diperhatikan, kurang percaya diri dan sebaliknya sombong sekedar menutupi kekurangannya. d.
Kelemahan mental seperti kecerdasan, intelegensi, bakat khusus. Kebiasaan belajar bersifat individual dimana yang satu dengan yang
lain berbeda. Oleh karena itu, guru atau guru BK di sekolah hendaknya memupuk kebiasaan belajar yang teratur dan terarah kepada siswa-siswanya. Penggunaan dan pembagian waktu untuk belajar harus diperhatikan dalam rangka menuju keberhasilan dalam belajar. Jika rencana pembagian dan penggunaan waktu belajar dilaksanakan dengan baik setiap hari, maka akan menjadi suatu kebiasan belajar, akhirnya akan memberikan hasil yang memuaskan pada setiap usaha belajar. Ilmu yang sedang dituntut bisa dimengerti dan dikuasai dengan sempurna serta ujian-ujian dilalui dengan berhasil. Menurut Sunarja (1989 : 13) kebiasaan belajar siswa merupakan perilaku yang berulang kali dilakukan siswa dalam belajar. Kebiasaan belajar tidak muncul seketika, tetapi berawal dari kebiasaan sebelumnya dan berkembang terus dalam proses belajar yang dialami siswa. Timbulnya kebiasaan belajar tertentu pada diri siswa menurut Crow and Crow (Sunarja, 1989 : 14), dengan menyimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi kebiasaan belajar, sebagai beriukut ini. 1) Sikap belajar, yaitu sikap terhadap guru dan pendidikan yang diberikan kepada siswa, dan muncul dari pengalaman belajar. Jika siswa mengalami pengalaman belajar dengan gurunya di sekolah secara baik, maka
34
memunculkan sikap positif terhadap guru dan pendidikan di sekolah. Sikap belajar mendorong siswa untuk melakukan kebiasaan belajar yang efektif dan positif, sehingga memungkinkan terciptanya hasil belajar yang optimal. Sebaliknya, bila terjadi pengalaman belajar yang kurang menyenangkan siswa, maka sikap belajar yang negatif akan muncul. Keadaan demikian menyebabkan siswa melakukan kebiasaan belajar yang kurang efektif sehingga prestasi belajarpun akan menurun. 2) Kelelahan dalam belajar, yaitu kelelahan terjadi karena kondisi belajar yang tidak menyenangkan antara lain lampu belajar yang suram, udara di ruang belajar lembab, siswa mengalami gangguan emosi, dan adanya kebosanan karena bahan dan situasi belajar-mengajar tidak menarik. Jika keadaan lelah terus-menerus berlangsung, maka kemungkinan kebiasaan belajar negatif akan muncul. 3) Kurang kemampuan memusatkan perhatian, yaitu kurang kemampuan memusatkan perhatian mungkin menimbulkan kebiasaan belajar yang kurang baik. Sebab, ketidakmampuan memusatkan perhatian menyulitkan siswa dalam menghadapi dan menyelesaikan tugas-tugasnya. Akibatnya mungkin timbul kebiasaan menunda tugas, metode belajar atau bekerja yang tidak efisien, malas belajar, suka bolos dan sebagainya.
7.
Cara-Cara Mengembangkan Kebiasaan Belajar Kebiasaan belajar bukan merupakan bakat alamiah atau bawaan dari
lahir. Setiap orang membentuk sendiri kebiasaan. Kebiasaan belajar yang baik
35
timbul di dalam diri kita jika kita berniat melakukannya. Gie (1986) menyarankan agar seseorang belajar dengan baik, maka dia harus mengetahui metode, teknik, kemahiran atau cara-cara belajar yang efisien. Kemudian pengetahuan dipraktekkan setiap hari sampai menjadi kebiasaan dalam belajar. Tidak ada individu yang tepat sama dengan individu yang lainnya, sehingga kegiatan belajar yang dilakukan oleh individu yang satu dengan yang lainnya tidak sama. Pemakaian metode belajarpun berbeda ada yang menyukai belajar sendiri, ada pula yang menyukai belajar kelompok. Cara seseorang melakukan kegiatan belajar akhirnya akan membentuk kebiasaan belajar inilah yang merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan efektif tidaknya usaha belajar yang dilakukan. Kebiasaan belajar tidak dibentuk dalam waktu satu hari atau satu malam. Kebiasaan belajar perlu dikembangkan sedikit demi sedikit. Cara mengembangkan kebiasaan belajar yang dikembangkan oleh Novita (2005 : 29) adalah sebagai berikut. a. Menyusun Rencana Belajar Menyusun rencana belajar penting karena tiap siswa tentu berkeinginan agar belajarnya berhasil dengan baik, untuk siswa berusaha sedapat mungkin menggerakan segala daya yang ada agar berhasil mencapai tujuan. Rencana belajar besar manfaatnya dan menjadi keharusan bagi setiap siswa.
36
Manfaat rencana belajar yang baik menurut Namalik (Subroto, 2004 : 24) adalah (1) menjadi pedoman dan penuntun dalam belajar, sehingga perbuatan belajar menjadi lebih teratur dan lebih sistematis; (2) menjadi pendorong dalam belajar. Program yang telah dibuat akan merangsang siswa untuk belajar. Kegiatan belajar berarti berusaha menyelesaikan rencana tepat pada waktunya; (3) menjadi alat bantu dalam belajar; (4) rencana belajar yang baik akan membantu siswa untuk mengontrol, menilai, memeriksa sampai di mana tujuan belajar siswa tercapai, sehingga menimbulkan usaha-usaha untuk memperbaiki cara belajarnya. b. Menyusun Jadwal Belajar Menyusun jadwal belajar pada umumnya adalah belajar sedikit demi sedikit tetapi konsisten, akan lebih baik daripada belajar borongan. Pada umumnya setiap siswa menyediakan waktu untuk dua macam kegiatan, yaitu mengikuti pelajaran dan praktik (jika ada) di sekolah serta belajar di luar pelajaran dan praktikum. Seringkali siswa hanya belajar pada saat akan ada ulangan dan ujian saja, sehingga kadang-kadang hasilnya jauh dari yang diharapkan, bahkan pelajaran yang dipelajari dalam waktu semalam akan kurang bertahan dalam ingatan dibandingkan dengan jika dipelajari sedikit demi sedikit. c. Penggunaan Waktu Belajar Penggunaan waktu siswa ada dua hal, yaitu; (1) penjatahan waktu untuk masing-masing pelajaran, waktu yang diperlukan untuk mempelajari suatu mata pelajaran berbeda antara siswa yang satu dengan siswa yang
37
lain. Pada umumnya tiap-tiap siswa mengenal diri dan kemampuannya dengan baik sehingga akan membuat perkiraan mengenai alokasi waktu yang disediakan untuk masing-masing pelajaran. Selain itu, waktu belajar perlu diperhatikan karena setiap siswa ada yang suka belajar pada siang, sore, atau malam hari. Hendaknya penggunaan waktu diatur seefisien mungkin sesuai dengan keadaan masing-masing (2) menyiapkan dan mengulang mata pelajaran, bahan pelajaran akan dikuasai dengan baik bila mempelajarinya dengan baik dan akan lebih baik lagi jika siswa menyediakan waktu untuk menyiapkan apa yang akan diajarkan oleh guru yaitu dengan membaca buku wajib atau buku yang telah dianjurkan. Setelah pulang sekolah siswa perlu membaca kembali catatan pelajaran sambil menyempurnakan dan melengkapi. d. Cara Belajar Cara belajar yang paling baik tergantung pada masing-masing siswa karena sifatnya memang individual. Namun di samping perbedaan individual terdapat hal-hal yang bersifat umum yang berlaku pada siswa. Menurut Suryabrata (1989 : 56) hal-hal yang bersifat umum adalah cara mengikuti pelajaran. Cara yang baik dalam mengikuti pelajaran memegang peranan penting dalam keberhasilan studi siswa. Siswa harus mengetahui apa yang harus dilakukan sebelum, selama dan sesudah pelajaran. Menurut Hamalik (1990 : 37-39) petunjuk-petunjuk yang harus diikuti oleh siswa sebelum, selama dan sesudah pelajaran adalah sebagai
38
berikut: (1) sehari sebelum pelajaran lihatlah kembali rencana belajar; (2) mempelajari buku atau sumber lain tentang materi pelajaran yang akan diajarkan esok harinya; (3) memberikan perhatian yang memusat terhadap pelajaran yang sedang berlangsung; (4) ikut aktif selama pelajaran berlangsung, misalnya berusaha menjawab pertanyaan dari guru dan mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang dianggap masih kurang jelas; (5) mencatat materi pelajaran secara garis besar dan tidak perlu mencatat seluruh materi pelajaran kata demi kata karena akan mengganggu konsentrasi untuk memperoleh pemahaman; (6) mencatat persoalanpersoalan yang mungkin timbul dan hal-hal yang belum dipahami untuk dipelajari di rumah dari buku bacaan; (7) bila pelajaran telah berakhir dan guru memberikan tugas-tugas pekerjaan rumah maka catatlah dan teliti apakah sudah memahami maksud dan isi tugas atau belum. Bila tugas belum dipahami apa maksud dan isi tugas, maka tanyakan kepada guru yang bersangkutan. Setelah sampai di rumah, kerjakanlah tugas-tugas dengan sebaik-baiknya, kemudian serahkan hasil pekerjaannya tepat pada waktunya; (8) belajar di luar waktu pelajaran sekolah, kegiatan tergantung kepada masing-masing siswa. Jika siswa mau melaksanakan maka kegiatan akan berlangsung. Sehingga disiplin diri sangat menentukan untuk melaksanakan kegiatan belajar di luar jam sekolah. Kegiatan belajar di luar pelajaran terdiri atas dua macam kegiatan yaitu: (a) mencari bahan atau sumber bacaan, sumber atau bahan terdapat dimana-mana, akan tetapi tempat yang paling lengkap sumbernya adalah
39
perpustakaan, baik perpustakaan sekolah maupun perpustakaan umum. Untuk menemukan bahan bacaan di perpustakaan diperlukan informasi tertentu agar sumber bacaan yang diperlukan cepat ditemukan. Misalnya untuk buku perlu diketahui nama pengarang dan judul buku. Belajar di perpustakaan dilakukan pada waktu luang, misalnya pada waktu istirahat; (b) membuat catatan atau ringkasan, seorang siswa yang belajar dari sumber bacaan tertentu sebaiknya membuat catatan atau ringkasan mengenai hal-hal yang telah dibacanya. Keuntungan dengan dibuatnya ringkasan adalah siswa lebih meresap akan apa yang dipelajarinya dan siswa langsung membaca ringkasannya apabila ia ingin mempelajari isi bahan bacaan kembali (Suryabrata, 1989 : 74); (9) bertanya dan diskusi, untuk lebih meresapkan apa yang dipelajari serta mengetahui apakah penangkapan
isi
yang
dipelajari
betul,
maka
siswa
perlu
mengkomunikasikan dengan orang lain, teman dan guru. Orang sering beranggapan yang terpenting sebagai bukti telah belajar adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya tanpa memikirkan mengajukan pertanyaan merupakan bukti orang tahu apa yang dipersoalkan (Suryabrata, 1989 : 76). Dengan bertanya atau menjawab pertanyaan berarti siswa telah membuka komunikasi yang sangat penting agar berpartisipasi dalam diskusi. Dengan diskusi siswa mengembangkan kebiasaan belajar yang baik.
40
e. Konsentrasi Setiap siswa yang menuntut ilmu harus konsentrasi dalam belajarnya, karena tanpa konsentrasi tidak mungkin berhasil menguasai pelajaran. Konsentrasi belajar adalah pemusatan pikiran terhadap suatu mata pelajaran dan bukan hal-hal lain yang tidak berhubungan dengan pelajaran. Konsentrasi yang tinggi akan membuahkan hasil belajar yang diinginkan. Kenyataannya ada siswa yang memiliki kemampuan konsentrasi yang besar dan untuk waktu yang lama, sebaliknya ada siswa yang sukar memusatkan perhatiannya terhadap pelajaran tertentu. Siswa yang cerdas pada umumnya mempunyai
kemampuan
konsentrasi
yang besar
dibandingkan dengan siswa yang kurang cerdas, tetapi kemampuan kosentrasi bukanlah bakat yang diperoleh sejak lahir. Kemampuan konsentrasi merupakan kebiasaan yang dilatih, jadi bukan suatu bakat yang diwarisi dari leluhur. Konsentrasi seseorangpun dipengaruhi oleh kondisi kesehatan. Siswa yang mengalami gangguan kesehatan akan sulit berkonsentrasi dalam mempelajari materi pelajaran. Siswa yang sakit harus segera berobat, demikian siswa yang mengalami kelelahan harus segera beristirahat. f. Disiplin Belajar Menurut Gie (1980 : 15) disiplin belajar akan membuat siswa memiliki kecakapan mengenai cara belajar dan merupakan proses kearah pembentukan yang baik. Cara belajar dimiliki oleh siswa dengan latihan
41
yang teratur dan sungguh-sungguh. Disiplin belajar yang baik, nanti akan memberikan hasil yang memuaskan pada setiap usaha belajar kita. Ilmu yang sedang dituntut dimengerti dan dikuasai dengan sempurna serta ujian dilalui dengan berhasil. Disiplin belajar sangat menentukan pencapaian keberhasilan. Memang setiap siswa mempunyai kebiasaan belajar masing-masing, ada yang biasa belajar pada malam hari dan ada yang biasa belajar pada pagi hari atau siang hari.
B. Kebiasaan Menonton Sinetron 1. Pengertian Kebiasaan Menonton Sinetron Nana Syaodih dan Moh. Surya dalam Tono Sumartono (1992: 26) mengemukakan pengertian kebiasaan sebagai cara individu bertindak yang sifatnya relatif menetap, seragam dan otomatis untuk masa tertentu. Kebiasaan merupakan hasil belajar, bukan bersifat pembawaan. Menurut Arswendo (Ardlz: 2008) mengemukakan
sinetron adalah sandiwara
bersambung yang disiarkan oleh stasiun televisi. Dari beberapa paparan kebiasaan dalam penelitian kebiasaan suatu perilaku manusia yang menetap, berlangsung secara otomatis. Kebiasaan merupakan hasil pelaziman yang berlangsung pada waktu yang lama atau sebagai reaksi khas yang diulangi seseorang berkali-kali. Sinetron adalah drama serial yang disiarkan ditelevisi dalam beberapa episode dan jenis alur tertentu yang penayangannya rutin.
42
Berdasarkan uraian, yang dimaksud
dengan kebiasaan menonton
tayangan sinetron dalam penelitian ialah suatu bentuk perilaku siswa yang dikerjakan secara terus menerus dan relatif menetap dalam menonton sinetron yang disiarkan oleh stasiun televisi di Indonesia.
2. Pengertian Televisi Televisi berasal dari kata tele dan visie, tele artinya jauh dan visie artinya penglihatan, jadi televisi adalah penglihatan jarak jauh atau penyiaran gambar-gambar melalui gelombang radio. (KamusInternasional Populer: 196) Sedangkan menurut KBBI (2001:919)2 televisi adalah pesawat sistem penyiaran gambar objek yang bergerak yang disertai dengan bunyi (suara) melalui kabel atau melalui angkasa dengan menggunakan alat yang mengubah cahaya (gambar) dan bunyi (suara) menjadi gelombang listrik dan mengubahnya kembali menjadi berkas cahaya yang dapat dilihat dan bunyi yang dapat didengar, digunakan untuk penyiaran pertunjukan, berita, dan sebagainya. Televisi sama halnya dengan media massa lainnya yang mudah kita jumpai dan dimiliki oleh manusia dimana-mana, seperti media massasurat kabar, radio, atau komputer. Televisi sebagai sarana penghubung yang dapat memancarkan rekaman dari stasiun pemancar televisi kepada para penonton atau pemirsanya di rumah, rekaman-rekaman tersebut dapat berupa pendidikan, berita, hiburan, dan lain-lain. Yang dimaksud dengan televisi adalah sistem elektronik yang mengirimkan gambar diam dan gambar hidup bersama suara melalui kabel.
43
Sistem ini menggunakan peralatan yang mengubah cahaya dan suara ke dalam gelombang elektrik dan mengkonversi kannya kembali kedalam cahaya yang dapat dilihat dan suara yang dapat didengar . Dewasa ini televisi dimanfaatkan untuk keperluan pendidikan dengan mudah dapat dijangkau melalui siaran dari udara ke udara dan dapat dihubungkan melalui satelit. Apa yang kita saksikan pada layar televisi, semuanya merupakan unsur gambar dan suara. Jadi ada dua unsur yang melengkapinya yaitu unsur gambar dan unsur suara. Rekaman suara dengan gambar yang dilakukan di stasiun televisi berubah menjadi getaran-getaran listrik, getaran-getaran listrik ini diberikan pada pemancar, pemancar mengubah getaran getaran-getaran listrik tersebut menjadi gelombang elektromagnetik, gelombang elektromagnetik ini ditangkap oleh satelit. Melalui satelit inilah gelombang elektromagnetik dipancarkan sehingga masyarakat dapat menyaksikan siaran televisi.
3. Pengaruh Televisi Pengaruh positif dari menonton televisi yang paling menonjol adalah sebagai salah satu media belajar anak dan sebagai sumber informasi yang membantu anak untuk mengenal dunia luar lebih luas, diantaranya yaitu: 1. Sebagai salah satu media belajar anak. Televisi bisa menjadi salah satu media belajar anak apabila tayangan yang ditonton merupakan tayangan yang bersifat edukatif. Anak-anak
44
yang gemar menonton televisi tersebut memperoleh cukup banyak pengetahuan dari acara yang mereka saksikan di televisi. Acara kuis, program bimbingan rohani, talk show pendidikan atau bidang pengetahuan lain sangat berguna bagi anak-anak. Bagi sebagian anak yang memiliki pola belajar audio visual, menonton televisi bias dijadikan sebagai alternatif pembelajaran. Tentunya program televisi itu haruslah benar-benar mendidik dan tidak ada unsur-unsur di dalamnya yang dapat merugikan pemirsa. Pengaruh positif televisi sebagai media pembelajaran ini juga tidak lepas dari peran orang tua. Orang tua memilihkan acara yang bersifat mendidik dan cocok untuk usia anak mereka. Beberapa dari orang tua juga menggunakan fasilitas televisi kabel yang memiliki paket khusus acara untuk anak-anak. Contoh acara yang bersifat mendidik tersebut antara lain Bolang, Laptop si Unyil, Surat Sahabat, Are You Smarter than a 5th, dan sebagainya. 2. Sebagai sumber informasi untuk mengenal dunia luar Selain sebagai media pembelajaran, televisi juga berpengaruh positif sebagai sumber informasi bagi anak untuk mengenal dunia luar lebih luas. Sebenarnya fungsi sebagai sumber informasi tidak terlalu jauh berbeda dengan fungsi televisi sebagai media pembelajaran. Sumber informasi disini juga dapat diartikan dengan informasi-informasi yang didapat dari menyaksikan tayangan televisi yang bersifat mendidik dan informatif. Televisi dapat mengerutkan dunia dan menyebarkan berita sangat cepat. Dengan adanya media televisi manusia memperoleh kesempatan
45
untuk memperoleh informasi yang lebih baik tentang apa yang terjadi didaerah lain. Dengan menonton televisi akan menambahkan wawasan. Anak menjadi lebih tahu mengenai dunia luar dan saat ditanya, anak tersebut menjawab “Aku tahu dari TV”. Hal tersebut membuktikan bahwa fungsi televisi sebagai sumber informasi untuk mengenal dunia luar cukup berhasil. Namun hal ini perlu didukung dengan adanya pengawasan dari orang tua agar informasi yang diterima oleh anak sesuai dengan usia mereka. Selanjutnya adalah pengaruh negatif televisi diantaranya yaitu: 1. Mendorong anak menjadi konsumtif Anak-anak merupakan target pengiklan yang utama, anak-anak menjadi lebih konsumtif setelah melihat iklan di televisi. Mereka sering mengatakan “Ma, aku mau mainan itu yang ada di TV”. Hal tersebut menunjukan anak melakukan hal imitatif atau peniruan terhadap televisi, apa yang ditampilkan televisi anak-anak selalu ingin mengikuti, sehingga televisi berperan besar dalam mendorong anak menjadi konsumtif. 2. Mengurangi semangat belajar Bahasa televisi simpel, memikat, dan membuat ketagihan sehingga sangat mungkin anak menjadi malas belajar. Anak-anak yang terbiasa menghabiskan waktunya dengan menonton televisi akan sangat sulit saat diajak beralih untuk belajar. Televisi memberikan suatu hiburan sehingga anak-anak mendapatkan suatu kepuasan yang tidak didapatkan dalam belajar. Anak-anak akan lebih senang menyaksikan acara favoritnya
46
dibandingkan harus membuka buku dan mengerjakan tugas. Anak menjadi tidak semangat belajar setelah menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai kebiasaan. 3. Merenggangkan hubungan antara keluarga Kebanyakan anak menonton televisi lebih dari 4 jam sehari sehingga waktu untuk bercengkrama bersama keluarga biasanya terpotong atau terkalahkan dengan televisi. 40% keluarga menonton televisi sambil menyantap makan malam, yang seharusnya menjadi ajang “berbagi cerita” antar anggota keluarga, sehingga bila ada waktu dengan keluarga pun, menghabiskannya dengan mendiskusikan apa yang ditonton di televisi. Rata-rata, televisi dalam rumah hidup selama 7 jam 40 menit. Yang lebih memprihatinkan adalah terkadang masing-masing anggota keluarga menonton acara yang berbeda di ruangan rumah yang berbeda. 4. Menonjolkan perilaku imitatif Dwyer menyimpulkan, sebagai media audio visual, televisi mampu merebut 94% saluran masuknya pesan-pesan atau informasi kedalam jiwa manusia yaitu lewat mata dan telinga. Televisi mampu untuk membuat orang pada umumnya mengingat 50% dari apa yang dilihat dan dengar dilayar televisi walaupun hanya sekali ditayangkan. Atau secara umum orang akan ingat 85% dari apa yang dilihat di televisi setelah 3 jam kemudian dan 65% setelah 3 hari kemudian.
47
Dengan demikian terutama bagi anak-anak yang pada umumnya selalu meniru apa yang dilihat, tidak menutup kemungkinan perilaku dan sikap anak tesebut akan mengikuti acara televisi yang ditonton. 5. Meningkatkan kemungkinan obesitas Tidak berolah raga dengan cukup karena biasa menggunakan waktu senggang untuk menonton televisi, padahal televisi membentuk pola hidup yang tidak sehat. Lebih banyak anak menonton televisi, lebih banyak pula mengemil antara waktu makan, megkonsumsi makanan yang diiklankan di televisi dan cendrung mempengaruhi orang tua untuk membeli makananmakanan tersebut. Anak-anak yang tidak mematikan televisi sehingga jadi kurang bergerak beresiko untuk tidak pernah bisa memenuhi potensi mereka secara penuh. Selain itu, duduk berjam-jam di depan layar membuat tubuh tidak banyak bergerak dan
menurunkan metabolisme, sehingga lemak
bertumpuk, tidak terbakar dan akhirnya menimbulkan kegemukan. 6. Memperbesar kemungkinan terjangkit penyakit rabun. Sebagian besar anak tidak mau beranjak dari depan televisi apabila sudah jatuh hati dengan acara yang disiarkan. Jarak pandang anak dengan televisi juga biasanya tidak sesuai dengan jarak pandang yang baik. Tentu saja terjadi berulang- ulang dan terus-menerus apabila si anak telah menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai kebiasaan. Anak yang pada awalnya memiliki kondisi mata yang sehat menjadi harus menggunakan kacamata setelah terbiasa menonton televisi setiap
48
hari. Tentu saja dikarenakan oleh faktor jarak pandang yang tidak sesuai dan radiasi dari televisi sendiri yang bisa menyebabkan penyakit mata seperti rabun jauh ataupun rabun dekat.
4. Pengertian Sinetron Menurut Arswendo (Ardlz: 2008) mengemukakan
sinetron adalah
sandiwara bersambung yang disiarkan oleh stasiun televisi. Sinetron merupakan kepanjangan dari sinema elektronik yang berarti sebuah karya cipta seni budaya, dan media komunikasi pandang dengar yang dibuat berdasarkan sinematografi dengan direkam pada pita video melalui proses
elektronik
lalu
ditayangkan
melalui
stasiun
televisi
pengertian
sinetron,
(http://chendah.blogspot.com). Rahman
(2007)
mengemukakan
mengenai
diantaranya: a. Sinetron adalah akronim dari “Siaran Elektronik”. b. Dalam bahasa Inggris, sinetron disebut “soap opera”. c. Dalam bahasa spanyol disebut “telenovela”. Dalam perspektif kesenian, tayangan sinetron merupakan hasil rekaan sang sutradara yang isinya tidak mesti meliput realitas empiris dari pergaulan remaja kita sehari-hari. Sinetron merupakan drama yang menyajikan cerita dari berbagai tokoh secara bersamaan. Masing-masing tokoh memiliki alur cerita mereka sendiri-sendiri tanpa harus dirangkum menjadi suatu kesimpulan. Akhir cerita sinetron cenderung selalu terbuka dan sering kali
49
tanpa penyelesaian (open-ended). Cerita cenderung dibuat berpanjangpanjang selama masih ada audien yang menyukainya (Morissan, 2008: 213). Penayangan sinetron biasanya terbagi dalam beberapa episode. Sinetron yang memiliki episode terbatas disebut dengan mini seri. Episode dalam suatu miniseri merupakan bagian dari cerita keseluruhan. Dengan demikian, episode sama seperti bab dari buku.
5. Aspek-aspek Sinetron Ada beberapa aspek dalam sinetron yang mempunyai potensi untuk mengkikis keislaman umat muslim yang dikemukakan oleh Dudung (2005), yaitu: a. Aspek moralitas misalnya, yang menyangkut nilai-nilai baik, buruk, benar, salah. Aspek moralitas memang tidak terlihat seperti aspek kekerasan, tapi menjadi aspek yang penting. Ada beberapa perilaku tertentu di masyarakat dianggap salah, di sinetron ditampilkan begitu saja tanpa ada penekanan perilaku salah (Gantuarto, 2002). b. Aspek seksualitas misalnya, terlihat dari cara berbusana pemain yang menonjolkan daya tarik seksualnya hingga ekspresi cinta di antara mereka yang cenderung vulgar. Dari sekedar bergandengan tangan, berciuman, hingga berpelukan mesra layaknya suami-istri. c. Aspek kekerasan, dijadikan sebagai bumbu penyedap yang menajamkan konflik. Pemainnya diarahkan untuk menyelesaikan masalah dengan melibatkan pukulan dan jebakan-jebakan yang bisa merenggut nyawa.
50
Pada tahun 1994 koran-koran di Singapura menyajikan hasil polling pendapat yang dilakukan pihak kepolisian kepada 50 pemuda yang terlihat tindak kekerasan. Hasil polling menyimpulkan sebagian besar pemuda yang melakukan tindak kekerasan suka menonton film-film kekerasan di televisi (Arif Sadiman: 1994). d. Aspek perilaku, terlihat dari perilaku siswa yang menunjukan sikap permissif dan bebas dari aturan sekolah. Siswanya berani memamerkan tatto, rambutnya dicat dengan warna mencolok seperti truffle light, memakai anting, slayer, topi koboi, pakaian terlalu ketat (minim adan press body), rambut panjang, memakai gelang, atau berperilaku layaknya preman. Kancing baju bagian atas dibuka, dan kemeja lengan pendeknya digulung. Pergaulan bebas, merampok, memperkosa, bertengkar dan lain sebagainya. e. Aspek bahasa, bayak ragam bahasa yang ada dalam setiap tayangan sinetron Indonesia. Hampir disetiap tayangan sinetron masih saja mendengar kalimat-kalimat kasar dengan nada celaan, cacian, makian, kemudian mereka lontarkan sebagai bentuk kebencian, iri hati, dan kedengkian kepada lawan mainnya. Misalkan, Guwe, elo, goblok, sialan, berengsek, dan lain-lain.
6. Jenis Cerita dan Pengaruh Sinetron Terhadap Penonton Televisi termasuk dalam kategori barang kebutuhan pokok dalam masyarakat, semua masyarakat memiliki televisi dengan mudah dan dengan
51
harga yang bisa dikatakan “murah” dibanding di beberapa waktu sebelumnya. Dari televisi nantinya masyarakat akan memperoleh tayangan-tayangan yang menghibur atau memberikan informasi seperti yang diharapkan dan dibutuhkan oleh masyarakat sendiri. Berbagai tayangan hadir di layar televisi, baik tayangan yang nantinya memberikan nilai positif atau bahkan sebaliknya (negatif). Begitu dengan tayangan informasi yang disajikan oleh televisi tidak semua kategori informasi baik untuk kita lihat terutama oleh anak dibawah umur yang tidak didampingi orang tua, contohnya tayangan seperti; Buser, Sergap, Patroli, dimana tayangan berisi informasi mengenai kejadian tindak kriminal, dalam tayangan tidak ada sensor untuk suatu kejadian semua ditayangkan secara utuh, sehingga bagi mereka yang tidak paham betul akan tayangan, akan membawa dampak buruk (secara tidak langsung akan menginspirasi mereka untuk melakukan tindakan seperti apa yang mereka lihat). Begitu
dengan fenomena tayangan hiburan yang begitu marak
menghiasi layar televisi kita dengan istilah yang kita kenal yaitu sinetron (sinema elektronik) atau di luar negeri lebih dikenal dengan istilah opera sabun (heavy soap opera). Dimana dalam tayangan terjadi penokohan karakter yang dikemas dalam sebuah cerita drama yang menampilkan konflik dan gambaran kehidupan masyarakat kita. Tapi sayangnya yang banyak terjadi, gambaran kehidupan masyarakat yang ditampilkan dalam sinetron berlebihan dan lebih banyak bisa dibilang tidak sesuai.
52
Dalam sinetron selalu digambarkan kehidupan yang glamour (mewah), memiliki banyak harta kekayaan. Orang kaya sangat dominan dan terjadi diskriminasi terhadap mereka yang mempunyai kehidupan kurang dari cukup (miskin). Mereka yang kaya akan merasa malu untuk kenal, berkumpul, dan bergaul dengan mereka yang miskin. Digambarkan kehidupan remaja khas metropolitan (kota-kota besar yang maju/berkembang) yang mempunyai pergaulan yang “bebas” dan datang dari keluarga kaya sehingga mereka merasa berhak dan bisa melakukan apapun, ditampilkan
dalam sinetron
bagaimana cara para remaja bergaul (memilih pergaulan), berpakaian, berbicara dengan bahasa mereka, dan bersikap. Hal inilah yang sedikit banyak mempengaruhi mereka atau yang paling sering kita disuguhkan konflik antara orang tua dengan anak, konflik antar remaja, konflik perebutan harta, konflik antar suami istri yang berujung pada perselingkuhan dan perceraian. Padahal apa yang menjadi gambaran di sinetron bisa dikatakan tidak sesuai dengan kehidupan masyarakat kita sekarang. Kemiskinan, kelaparan, dan gizi buruk atau kurang pangan menjadi masalah klasik yang semakin bertambah parah. Tapi anehnya sinetron-sinetron begitu laris dan digemari oleh masyarakat kita terutama ibu-ibu rumah tangga dan para remaja (terutama remaja putri). Menurut wacana yang pernah dibaca, orang-orang yang suka menikmati opera sabun (sinetron) akan cendrung melakukan halhal yang hampir mirip dengan adegan apa yang ada dalam sinetron.
53
Para pecandu berat televisi (heavy viewers) akan menganggap apa yang terjadi di televisi adalah dunia senyatanya. Program acara sinetron yang diputar televisi swasta Indonesia nyaris seragam, masing-masing sinetron membahas konflik antara orang tua dengan anak, konflik suami istri, dan lainlain. Para pecandu berat televisi akan mengatakan di masyarakat sekarang banyak terjadi gejala yang sama dengan apa yang digambarkan dalam sinetron di televisi. Pendapat yang ada mungkin tidak salah, tapi terlalu menggeneralisasi ke semua lapisan masyarakat. Farinda (2008) mengungkapkan beberapa jenis atau tema cerita serta pengaruhnya terhadap penonton. a. Tema Ghaib Mendorong orang untuk pecaya ada mahluk selain jin dan manusia, seperti pocong dan kuntilanak. Padahal Allah menegaskan di dalam kitab suci Al-Qur’an Allah tidak menciptakan selain jin dan manusia. Allah berfirman “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz Dzaariyaat : 56). Akan menimbulkan kesyirikan dengan percaya kepada mahluk lain selain Allah SWT.
Terkadang
manusia
menakut-nakuti
dirinya-sendiri
dengan
bayangan setan (padahal manusia adalah mahluk yang mulia dan disegani oleh bangsa lain). Begitu pula tayangan mistik dan tahayul memiliki efek buruk bagi masyarakat yang menontonnys. Efek buruknya adalah selain berdampak pada kerusakan kognitif masyarakat, terutama anak-anak, bahaya terbesar
54
dari tayangan mistik dan tahayul adalah pada kerusakan sikap dan perilaku. Kerusakan sikap menyangkut pembenaran terhadap terhadap kondisi hidup yang irasional, toleransi terhadap keburukan, dengki, iri hati dan permisif terhadap sikap mental terabas serta “penyakit hati” manusia lainnya, yang mana sikap-sikap hidup dipandang sebagai sikap-sikap yang buruk di masyarakat. Walaupun secara ilmiah tidak ada hubungan konstan antara sikap dan perilaku, namun tayangan mistisme dan tahayul di media massa dalam televisi dikhawatirkan mempengaruhi perilaku masyarakat dengan perilaku-perilaku buruk yang ada pada tayangan-tayangan. b. Tema Cinta Tayangan dalam sinetron yang menampilkan anak-anak muda yang memiliki segalanya (fisik proporsional dan kekayaan yang melimpah), seolah-olah ukuran kesuksesan seseorang diukur dari banyaknya harta yang terlihat dari rumah megah, mobil mewah, dan istri yang cantik. Hal yang sering ditampilkan oleh sinetron adalah anak-anak muda dengan penampilan modis yang memiliki harta melimpah, rumah megah dan memiliki posisi di puncak kariernya tanpa asal usul yang jelas. Apa yang ditayangkan dalam sinetron berbeda dengan kondisi realita yang ada. Padahal di Indonesia tema yang seharusnya diangkat adalah kondisi realita bangsa, yaitu masalah kemiskinan. Agar masyarakat memiliki daya juang untuk memperbaiki kondisi perekonomiannya.
55
c. Tema Religi Sinetron religi lebih banyak mencampurkan antara hikmah dengan komersialisasi. Contohnya adalah pemeran di dalam sinetron religi berperan sebagai aktor yang baik, berperan sebagai goodman, semua hanya ada di dalam film saja lalu kembali kepada karakter semula bahkan mencontohkan hal yang tidak pantas dipertontonkan di depan umum. Film-film dengan sifatnya hanya mengejar profit semata hanya dengan minimya perhatian terhadap pesan yang disampaikan. Banyak sisi religi justru berbeda dengan ajaran agama sendiri. Sebagai contoh adalah adegan-adegan di dalam film religi berlabel hikmah. Film religi label hikmah bemenampilkan balasan terhadap orang-orang yang telah berbuat kemungkaran di dunia. Padahal siksaan bagi orang-orang yang berbuat kemungkaran berada di akhirat. Artinya, apa yang terjadi di dunia merupakan ujian dan azab tidak selalu hubungan sebab akibat. Ada pula adegan yang menampilkan pegangan tangan antara laki-laki dan perempuan bukan mukhrim. Seharusnya sinetron yang ada memberikan motivasi yang positif bagi para pemirsanya, sinetron
dijadikan sarana edukatif (pemberi
informasi/pendidik) yang bermanfaat bagi masyarakat karena menggiring persepsi (pendapat/pandangan) ke arah yang lebih baik bukan justru sebaliknya mendidik masyarakat kita untuk senang bermimpi seolah bisa hidup sukses seperti orang-orang dalam sinetron, yang sukses secara tiba-
56
tiba tanpa usaha, yang menyebabkan masyarakat kita menjadi malas. Diperjelas oleh beberapa kerangka teori efek komunikasi massa, yaitu: a.
Teori Jarum Hipodermik Teori jarum hipodermik merupakan teori turunan dari teori stimulus-respons. Teori jatum hipodermik yaitu teori klasik mengenai proses terjadinya efek media massa. Isi media dipandang sebagai obat yang disuntikkan ke dalam pembuluh audien, yang kemudian diasumsikan akan bereaksi seperti yang diharapkan (Mufid, 2005: 22) Teori jarum hipodermik mengasumsikan para pengelola media dianggap sebagai orang yang lebih pintar dibanding pemirsa (audience). Akibatnya, pemirsa (audience) bisa dikelabui sedemikian rupa dari apa yang disiarkannya. Teori ini mengasumsikan media massa mempunyai pemikiran audience bisa ditundukkan sedemikian rupa atau bahkan bisa dibentuk dengan cara apa pun yang dikehendaki media. Intinya, sebagaimana dikatakan oleh Jason dan Anne Hill (1997), media massa dalam Teori Jarum Hipodermik mempunyai efek langsung “disuntikkan” ke dalam ketidaksadaran audience. Berbagai perilaku yang diperlihatkan televisi dalam adegan filmnya atau sinetron memberi rangsangan masyarakat untuk menirunya. Padahal semua orang tahu apa yang disajikan itu semua bukan yang terjadi sebenarnya. Akan tetapi, karena begitu kuatnya pengaruh televisi, penonton tidak kuasa untuk melepaskan diri dari keterpengaruhan.
57
b.
Teori Kultivasi Menurut Teori Kultivasi, televisi menjadi alat atau alat utama dimana para penonton televisi belajar tentang masyarakat dan kultur di lingkungannya. Persepsi apa yang terbangun di benak penonton tentang masyarakat dan budaya sangat ditentukan oleh televisi. Artinya, melalui kontak penonton dengan televisi, ia belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya, serta adat kebiasaannya. Gerbner berpendapat , media massa menanamkan sikap dan nilai tertentu. Media pun kemudian memelihara dan menyebarkan sikap dan nilai antar anggota masyarakat kemudian mengikatnya bersamasama pula. Dengan kata lain, media mempengaruhi penonton dan masing-masing penonton meyakininya. Jadi, para pecandu televisi yaitu sinetron akan memiliki kecendrungan sikap yang sama satu sama lain.
c.
Teori Agenda Setting Dikemukakan oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw. Asumsi dasar teori agenda-setting adalah jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka ia akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting (Bungin, 2006: 285-286). Jadi, apa yang dianggap penting bagi media, maka penting bagi masyarakat. Apabila media massa memberi perhatian pada isu tertentu dan mengabaikan yang lainnya, akan memiliki pengaruh terhadap pendapat umum. Berasal dari asumsi lain, media massa memiliki efek
58
yang sangat kuat, terutama karena asumsi berkaitan dengan proses belajar dan bukan dengan perubahan sikap dan pendapat. Effendy (dalam Burhan Bungin, 2006: 286) Teori agenda setting mengangap masyarakat akan belajar mengenai isu-isu apa, dan bagaimana isu-isu disusun berdasarkan tingkat kepentingannya. Pada teori agenda-setting, media tidak menentukan “what to think”, tetapi “what to think about” (Rakhmat, 2007: 228). Teori agenda setting terdiri atas asumsi
media atau pers tidak
mencerminkan kenyataan tetapi lebih menyaring atau membentuknya. Dari sekian peristiwa dan kenyataan sosial yang terjadi, media massa memilih dan memilahnya berdasarkan kategori tertentu, dan menyampaikan kepada khalayak dan khalayak menerima peristiwa yang ada adalah penting.